Anda di halaman 1dari 6

Nama : Dina Nur Azlinah

Nim : 20190710007

PELANGGARAN KODE ETIK DALAM TAYANGAN TELEVISI: ADEGAN KEKERASAN


DALAM SINETRON MAGIC 5

Dina Nur Azlinah

Seiring dengan berkembangnya zaman media yang hadir di masyarakat juga semakin cangih.
Salah satu media yang masih populer dikalangan masyarakat hingga saat ini yaitu televisi. Media
televisi merupakan media yang memiliki kemampuan memanipulasi pesan sesuai dengan
kebutuhan (Situmorang, 2006). Televisi sebagai media informasi dan juga sebagai hiburan.

Di Indonesia, perkembangan informasi dan komunikasi juga dapat dilihat dengan hadirnya
televisi swasta. Pada tahun 1962 negara ini hanya memiliki 1 stasiun televisi yakni TVRI sebagai
media hiburan dan informasi sehari-hari (Saptya et al., 2019). Sejak tahun 90-an muncul stasiun
televisi swasta yakni RCTI dan TPI, dan berturut-turut lahir SCTV, MNCTV, Global TV,
TransTV, Trans7, TVOne, Kompas TV, Metro TV, I News TV, Net TV, Jak TV dan masih banyak
lagi. Kehadiran televisi nasional ini belum ditambah dengan televisi lokal, dimana pada masing-
masing daerah memilikinya. Hal ini juga ditambah dengan stasiun televisi kabel berbayar
(KPI, 2019)
.

Pada ranah positif, kehadiran banyak stasiun TV menghadirkan keuntungan bagi pemirsanya
(Desti, 2005). Diantaranya adalah ragam pilihan acara. Penonton dapat memilih banyak alternatif
ragam acara mulai dari musik, olah raga, berita, sinetron, film, kuliner dan lain sebagainya.
Pemirsa begitu dimanjakan dengan varian acaranya. Namun tak bisa dihindari, kehadiran televisi
swasta yang banyak menghadirkan kompetisi ketat antar stasiun TV. Sebagai akibatnya para
pemegang bisnis pertelevisian harus memutar otak dan menyusun strategi matang untuk merebut
penonton dimana iklan sangat tergantung pada hal ini. Komptetisi yang menjurus tidak sehat,
cendrung melahirkan tontonan minim kualitas.

Pesatnya perkembangan televisi di Indonesia mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan


melalui Undang-undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran agar dapat mengatur tayangan
yang memberikan dampak positif kepada masyarakat. Selain membuat kebijakan pemerintah
juga membentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang secara khusus
mengawasi dan membuat regulasi terkait tayangan televisi.

Dari James Monaco (1997) dalam (Alimuddin, 2015) menyebutkan, salah satu fungsi dari
televisi adalah mampu menimbulkan dampak langsung atas sikap dan prilaku seseorang yang
menonton. Jika dilihat dari berkembangnya tayangan yang ada di televisi banyak stasiun televisi
yang kurang memperhatikan tayangan yang disajikan. Sehingga konten yang disajikan tidak
sesuai dengan etika dan norma yang ada. Bertens (2007: 3) dalam (Rukiyati et al., 2018) etika
memiliki arti sebagai nilai-nilai maupun norma-norma yang menjadi pegangan suatu masyarakat
yang ada dalam mengatur suatu tingkah laku. Konten-konten yang ada di sinetron banyak yang
mengandung kekerasan, perselingkuhan, percintaan dan hal-hal yang tidak layak untuk
dipertontonkan. Dari hal tersebut mampu mempengaruhi penonton dikehidupan sehari-hari, baik
orang-orang dewasa maupun anak-anak.

Pada ranah positif, kehadiran banyak stasiun TV menghadirkan keuntungan bagi pemirsanya
(Desti, 2005). Diantaranya adalah ragam pilihan acara. Penonton dapat memilih banyak alternatif
ragam acara mulai dari musik, olah raga, berita, sinetron, film, kuliner dan lain sebagainya.
Pemirsa begitu dimanjakan dengan varian acaranya. Namun tak bisa dihindari, kehadiran televisi
swasta yang banyak menghadirkan kompetisi ketat antar stasiun TV. Sebagai akibatnya para
pemegang bisnis pertelevisian harus memutar otak dan menyusun strategi matang untuk merebut
penonton dimana iklan sangat tergantung pada hal ini. Komptetisi yang menjurus tidak sehat,
cendrung melahirkan tontonan minim kualitas.

Salah satu tanyangan yang minim kualitas seperti dalam tayangan sinetron magic 5 yang
diproduksi oleh stasiun televisi Indosiar setiap hari pukul 16.00 Wib. Sinetron yang bercerita
tentang Naura, Rahsya, Adara, Gibran, Irshad yang tidak sengaja ditemukan oleh Fathir seorang
pria kaya, yang mana pada saat itu ia sedang kehilangan istri dan anaknya mengalami
kecelakaaan mobil. Kelima anak yang ditemukan tersebut memiliki kekuatan yang berbeda yang
baru disadari saat usia remaja. Namun pada episode 18 pada menit 8:45 memperlihatkan adegan
dimana seorang penjahat yang ingin mengambil secara paksa hak panti, dan terjadilah
perkelahian antara Rahsya, Gibran, Irshad, dan Fathir.
Gambar 1. Adegan perkelahian antara pemain utama dan penjahat

Adegan tersebut termasuk dalam kekerasan dan pelanggaran etika dalam penyiaran. Terkait
dengan isi siaran, Undang-Undang Penyiaran mengatur secara khusus di dalam Bagian Pertama
dari Bab IV mengenai Pelaksanaan Siaran, yang meliputi Pasal 35 dan Pasal 36. Di dalam Pasal
35 pada pokoknya diatur bahwa “Isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi, dan arah
siaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5”.

Sementara di dalam Pasal 36 digariskan tentang detail isi siaran, yang lebih lanjut menyatakan
bahwa:

Pasal 36

1. Isi siaran wajib memuat informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan
intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan
kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
2. Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran
Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam
puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.
3. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus,
yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan
lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak
sesuai dengan isi siaran.
4. Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengu-tamakan kepentingan
golongan tertentu.
5. Isi siaran dilarang:
A. bersifat fitnah, menghasut, diharapkan dan/atau bohong;
B. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan Narkotika dan
obat terlarang; atau
C. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan.
6. Isi siaran dilarang memperolokkan, melecehkan, melecehkan dan/atau mengabaikan
nilai-nilai agama, menjunjung tinggi manusia Indonesia, atau merusak hubungan
internasional.

Mencermati ketentuan Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Penyiaran tersebut di atas, terlihat


dengan jelas bahwa Undang-Undang Penyiaran telah mengatur dengan jelas dan tegas tentang
bentuk-bentuk siaran yang dilarang untuk ditayangkan. Tayangan yang jelas-jelas dilarang
tersebut adalah tayangan yang bersifat fitnah, menghasut, tipu dan/atau bohong, menonjolkan
unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, atau
mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan, serta Tayangan yang memperolokkan,
melecehkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia,
atau merusak hubungan internasional.

Larangan terhadap tayangan yang anti sosial, tidak mendidik dan mendorong lahirnya
kriminalitas tersebut, kemudian diperkuat dan dipertegas lagi dengan adanya ketentuan mengenai
sanksi yang dapat dituntut terhadap orang dan/atau lembaga penyiaran yang melanggar ketentuan
tersebut. Sanksi dimaksud dapat berupa sanksi administratif dan sanksi pidana.

Selain melanggar Undang-undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, adegan tersebut juga
melangga Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (PPP SPS) BAB XIII
Program Siaran Bermuatan Kekerasan Pasal 17 yang berbunyi “Lembaga penyiaran wajib
tunduk pada ketentuan pelangaran dan/atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan”.

Dalam islam sendiri juga dijelaskan dalam al-qur’an surat Ali-Imron ayat 159 yang berbunyi
“Maka berkat Rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan memohonlah ampunan untuk mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Dari ayat tersebut kita disuruh dalam
menyelesaikan urusan dengan cara yang damai dan bermusyawarah bukan mengambil jalan
kekerasan. Seperti adegan penjahat yang ingin mengambil hak panti asuhan, seharusnya
dilakukan dengan cara yang damai namun karena penjahat mengunakan kekerasan maka
terjadilah perkelahian yang melibatkan anak-anak, karena anak-anak tersebut memliki kekuatan
sehingga menyepelekan hal tersebut. Adegan itu juga diperlihatkan di depan anak-anak panti
asuhan.

Jika dilihat dari sinetron magic 5 tersebut merupakan pelangaran dalam penyiaran dan tidak
sesuai dengan etika penyiaran. Kekerasan yang ditampilkan merupakan hal-hal biasa yang
dilakukan di sinetron tersebut. Apalagi diepisode 18 tersebut memperlihatkan seorang anak-anak
yang masih sekolah yang melawan penjahat. Jika adegan tersebut diperlihatkan masyarakat akan
mempengaruhi masyarakat yang melihat terutama pada kalangan anak-anak. Adegan-adegan
seperti itu akan dipraktekkan dikehidupan sehari-hari. Padahal jika dilihat dari fungsi televisi
seharusnya bisa mengedukasi, informasi, dan hiburan. Untuk mengantisipasi terjadinya hal
seperti ini perlu adanya tahap perbaikan. Oleh karena itu seharusnya setasiun televisi mampu
mengevaluasi program siaran yang akan ditampilkan.

Dengan demikian, untuk mecegah penayangan siaran televisi yang tidak mendidik, anti sosial, dan
merusak moral dan karakter bangsa terutama anak-anak, dan berpotensi memicu kriminalitas anak,
Undang-Undang Penyiaran sesungguhnya telah menerapkan sanksi yang bersifat komprehensif, dimana
pelanggar tidak hanya dapat dikenakan sanksi administratif, melainkan juga sanksi pidana, yang
semestinya menimbulkan efek penjeraan (deterrence aspect).
Daftar Pustaka

Alimuddin, A. (2015). Televisi & Masyarakat Pluralistik. Prenada Media.

Desti, S. (2005). Dampak Tayangan Film Di Televisi Terhadap Perilaku Anak. In Maret (Vol. 2, Issue
1).
KPI. (2019). Program Hasil Riset Kualitas Program Siaran TV Periode I Tahun 2019.
Rukiyati, Haryatmoko, & Purwastuti, A. (2018). Etika Pendidikan. Penerbit ANDI .
Saptya, R., Permana, M., Abdullah, A., Jimi, D., & Mahameruaji, N. (2019). Budaya Menonton
Televisi di Indonesia: Dari Terrestrial Hingga Digital. 53 ProTVF, 3(1), 53–67.
Situmorang, R. (2006). Media Televisi. Departemen Pendidikan Nasional Pusat Teknologi Informasi
Dan Komunikasi Pendidkan.

Anda mungkin juga menyukai