Anda di halaman 1dari 28

Dicetak pada tanggal 2020-11-29

Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Naskah drama sebagai hasil ungkapan kehidupan mengandung nilai-nilai

religi, moral, sosial, budaya, dan sebagainya, baik yang bertolak dari pengungkapan

kembali maupun yang merupakan penciptaan terbaru semuanya dirumuskan secara

tersurat dan tersirat. Naskah drama tidak saja lahir karena kejadian tetapi juga dari

kesadaran penciptaannya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, dll, juga

harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggung jawabkan. Sastrawan pada waktu

menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan keindahan

tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan pikiran-pikirannya, pendapat-

pendapatnya, dan kesan-kesan perasaannya terhadap sesuatu. Demikian juga tentunya

naskah drama sebagai bentuk karya sastra, di dalamnya terdapat nilai-nilai yang

menjadi pendidikan bagi penikmatnya. Inilah yang disebut nilai pendidikan.

Pemahaman terhadap nilai pendidikan akan menuntun manusia menjadi manusia

yang berkarakter. Manusia yang berkarakter adalah manusia yang telah melalui

proses pendidikan, baik secara formal maupun nonformal. Supaya berurutan, berikut

ini akan dijelaskan beberapa hal.

2.1 Pengertian Naskah Drama

Naskah drama merupakan sebuah bentuk hasil karya cipta seorang dramawan

yang dituangkan dalam bentuk dialog antar tokoh dan dilengkapi dengan teks

samping atau petunjuk lakon atau petunjuk teknis. Sebagai karya sastra, drama yaitu

naskah dan sebagai seni yang kompleks yaitu pertunjukan drama. Drama sebagai

11
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

karya satra yaitu naskah disebut juga sastra lakon. Menurut Waluyo (2006:7) “Drama

naskah disebut juga sastra lakon. Sebagai salah satu genre satra, drama naskah

dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik, makna).

Wujud fisik sebuah naskah adalah dialog atau ragam tutur. Ragam tutur itu adalah

ragam sastra”.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa naskah drama

merupakan sebuah bentuk karya sastra yang menceritakan tentang konflik manusia

yang digali dari kehidupan. Dalam kegiatan sehari-hari ada pertengkaran, kesedihan,

perselingkuhan, kebahagiaan, kelahiran, kematian, dan lain-lain. Drama itu biasanya

seputar itu saja, seorang penulis akan menulis kisah percintaan, sengketa, dan lain-

lain. Semua itu karena di dalam kehidupan manusia masalah tersebut memang ada.

2.2 Pengertian Drama

Secara etimologis istilah “drama” berasal dari kata “dramoi” (bahasa Yunani)

yang berarti menirukan. Sedangkan istilah “Teater” berasal dari kata “teatron”

(bahasa Yunani) yang berarti: pusat upacara persembahan yang terletak di tengan-

tengah arena. Berdasarkan etimologis tersebut, “dramoi”; menirukan dalam

pengertian umum kemudian, istilah “drama” diartikan perbuatan atau gerak. Dalam

seni teater pengertian drama ialah suatu cerita atau kisah hidup manusia yang disusun

untuk dipertunjukan oleh para pelaku dengan perbuatan di atas pentas dan ditonton

oleh publik (penonton). Ditinjau dari seni sastra, pengertian drama ialah drama yang

dari suatu naskah yang bermutu sastra, yang diutamakan ialah sastranya (Atmojo,

1985).

Selain Atmojo, Sumarjo dan Saini (1997:31) menyatakan:

12
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

Salah satu ganre sastra imajinatif adalah drama. Drama adalah karya sastra yang
mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya. Drama sebagi karya sastra
sebenarnya hanya bersifat sementara, sebab naskah drama ditulis sebagai dasar untuk
dipentaskan. Dengan demikian, tujuan drama bukanlah untuk dibaca seperti orang membaca
novel atau puisi. Dram yang sebenarnya kalau naskah sastra tadi telah dipentaskan. Tetapi
bagai manapun, naskah tertulis drama selalu dimaukkan sebagai karya sastra.

Pada hakikatnya, drama adalah karya sastra yang menekankan kesempurnaan

wujudnya dalam pementasan. Hasanuddin (2009:58) menyatakan:

Sebagai gandre sastra, secara umum dapat dikatakan drama mendekati, atau bahkan
dapat diidentikan dengan fiksi biasanya rumusan tentang keidentikan ini diperoleh dari
penelusuran tentang unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang. Didalam
fiksi dapat ditemukan pemaparan tersebut tentang suatu peristiwa atau tentang
seseorang.

Dari berbagai pendapat yang dipaparkan para ahli tersebut, dapat disimpulkan

bahwa teks drama berbeda dengan genre lainnya meski hubungan antara drama

dengan sastra sangat erat hubungannya. Drama memiliki cerita tersendiri, untuk

dipentaskan dan dinikmati bersama-sama. Cerita prosa lainnya hanya dinikmati oleh

pembaca saja dengan karya tertulis tersebut.

2.3 Pengertian Nilai

Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan

berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai karena berarti sesuatu itu berharga atau

berguna bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas dari sesuatu hal berdiri

sendiri dan akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada objek yang

dikenai nilai. Artinya nilai adalah suatu ketetapan yang ada bagaimanapun keadaan di

sekitarnya berlangsung.

Sebagai kegiatan yang menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain

sehingga diperoleh keputusan yang menyatakan sesuatu itu berguna atau tidak

berguna, benar atau tidak benar, baik, atau buruk, manusiawi atau tidak manusiawi,

13
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

religius atau tidak religius, berdasarkan jenis tersebutlah nilai ada. Pada hakikatnya,

nilai yang tertinggi selalu berujung pada nilai yang terdalam dan terabstrak bagi

manusia, yaitu menyangkut tentang hal-hal yang bersifat hakiki.

Menurut Adisusilo (2014:56):

Nilai berasal dari bahasa Latin vale’re yang artinya berguna, mampu akan,
berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat dan
paling benar menurut keyakinan sesorang atau sekelompok orang. ari beberapa
pendapat ini, pengertian nilai dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang bernilai,
berharga, bermutu, akan menunjukkan suatu kualitas dan akan berguna bagi
kehidupan manusia. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu
disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang
menghayatinya menjadi bermartabat.

Menurut Moeliono (2008:615) kata nilai berarti “sifat-sifat yang penting atau

berguna bagi kemanusiaan”. Menurut Hasan (1995: 114) “nilai adalah sesuatu yang

menjadi kriteria apakah suatu tindakan, pendapat, atau hasil kerja itu bagus/positif

atau tidak bagus/negatif”. Dasar dari nilai adalah agama, tradisi yang berlaku dalam

masyarakat atau negara, dan perjanjian-perjanjian baru yang ditetapkan secara tertulis

maupun tidak.

Nilai adalah sesuatu atau hal yang dapat digunakan sebagai dasar penentu

tingkah laku seseorang, karena sesuatu hal itu menyenangkan, memuaskan, menarik,

dan berguna. Nilai mengandung harapan atau sesuatu yang diinginkan oleh manusia.

Oleh sebab itu, “Nilai bersifat normatif, merupakan keharusan (Dassollen) untuk

diwujudkan dalam tingkah laku dalam kehidupan manusia (Daroeso, 1986: 20).

Menurut Aminuddin (2002: 156), “Istilah nilai sebagai perangkat keyakinan

atau perasaan yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran, perasaan,

14
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

keterikatan maupun perilaku. Menurut Setiadi (2006: 110) “Nilai sebagai kegiatan

menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga diperoleh menjadi suatu

keputusan yang menyatakan sesuatu itu berguna atau tidak berguna, benar atau tidak

benar, baik atau buruk, manusiawi atau tidak manusiawi, religius atau tidak religius,

berdasarkan jenis tersebutlah nilai ada”.

Berdasarkan pendapat banyak ahli seperti dalam uraian sebelumnya, nilai

adalah sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang

menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Nilai dalam arti sifat yang

berharga adalah sifat dari suatu hal, benda, atau pribadi yang memenuhi kebutuhan

manusia yang memang serba butuh atau menyempurnakan manusia yang memang tak

kunjung selesai dalam pengembangan dirinya secara utuh, menyeluruh, dan lengkap.

Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara

objektif di dalam masyarakat. Nilai ini nantinya akan menjadi tujuan agar masyarakat

menjadi manusia yang lebih baik.

2.4 Hubungan Sastra dengan Nilai

Menurut Suyitno (1986), sastra dan tata nilai merupakan dua fonemena sosial

yang saling melengkapi dalam hakikat mereka sebagai sesuatu yang eksistensi. Sastra

sebagai produk kehidupan, mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan

sebagainnya, baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang

menpunyai penyodoran konsep baru. Sastra tidak hanya memasuki ruang serta nilai-

nilai kehidupan personal, tetapi juga nilai-nilai kehidupan manusia dalam arti total.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud nilai adalah suatu

15
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

konsepsi abstrak mengenai baik buruknya perilaku yang selalu menjadi ukuran dalam

proses interaksi sosial masyarakat.

2.5 Pengertian Pendidikan

Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedogogike”,

yang terdiri atas kata “Pais” yang berarti Anak” dan kata “Ago” yang berarti “Aku

membimbing”. Pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya

dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah

kedewasaan. Hakikat pendidikan bertujuan untuk mendewasakan anak didik, maka

seorang pendidik haruslah orang yang dewasa, karena tidak mungkin dapat

mendewasakan anak didik jika pendidiknya sendiri belum dewasa. Hakikat

pendidikan adalah memanusiakan manusia. Selanjutnya dikatakan pula bahwa,

memanusiakan manusia atau proses humanisasi melihat manusia sebagai suatu

keseluruhan di dalam eksistensinya. Eksistensi ini menurut peneliti adalah

menempatkan kedudukan manusia pada tempatnya yang terhormat dan bermartabat.

Kehormatan itu tentunya tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang selalu dipegang umat

manusia.

Pendidikan pada hakikatnya juga berarti mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dari pernyataan tersebut terdapat tiga unsur pokok dalam pendidikan, yaitu: a)

cerdas, berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan

nyata. Cerdas bermakna kreatif, inovatif, dan siap mengaplikasikan ilmunya; b)

hidup, memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang

terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari

16
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

kita akan mati, dan segala amalan kita akan dipertanggung jawabkan kepada-Nya.

Filosofi hidup ini sangat syarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat

kehidupan seseorang, memanusiakan manusia, memberikan makna kehidupan berupa

semangat, nilai moral, dan tujuan hidup; c) bangsa, berarti manusia selain sebagai

individu juga merupakan makhluk sosial yang membutuhkan keberadaan orang lain.

Setiap individu berkewajiban menyumbangkan pengetahuannya untuk meningkatkan

derajat kemuliaan masyarakat sekitar dengan ilmu, sesuai dengan yang diajarkan

agama dan pendidikan. Indikator terpenting kemajuan suatu bangsa adalah

pendidikan dan pengajaran (Ikhsan, 2011).

Pendidikan pada kahikatnya merupakan upaya membantu peserta didik untuk

menyadari nilai-nilai yang dimilikinya dan berupaya memfasilitasi mereka agar

terbuka wawasan dan perasaannya untuk memiliki dan meyakini nilai yang lebih

hakiki, lebih tahan lama, dan merupakan kebenaran yang dihormati dan diyakini

secara sahih sebagai manusia yang beradab. Pendidikan sebagai proses di mana

seluruh kemampuan manusia dipengaruhi oleh pembiasaan yang baik untuk

membantu orang lain dan dirinya sendiri mencapai kebiasaan yang baik. Hal yang

seperti ini berarti memiliki nilai. Nilai yang dimiliki inilah yang akhirnya menjadikan

nilai pendidikan itu sebagai segala sesuatu yang baik maupun buruk yang berguna

bagi kehidupan manusia yang diperoleh melalui proses pengubahan sikap dan tata

laku dalam upaya mendewasakan diri manusia melalui upaya pengajaran.

Apabila dihubungkan dengan eksistensi dan kehidupan manusia, nilai-nilai

pendidikan diarahkan pada pembentukan pribadi manusia sebagai makhluk individu,

sosial, religius, dan berbudaya. Nilai-nilai pendidikan yang tersirat dalam berbagai

17
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

hal dapat mengembangkan masyarakat dalam berbagai hal dengan berbagai

dimensinya. Nilai-nilai tersebut mutlak dihayati dan diresapi manusia sebab ia

mengarah pada kebaikan dalam berpikir dan bertindak sehingga dapat memajukan

budi pekerti serta pikiran atau intelegensinya. Nilai-nilai pendidikan dapat ditangkap

manusia melalui berbagai hal, di antaranya melalui pemahaman dan penikmatan

sebuah karya sastra drama. Sastra drama khususnya, sangat berperan penting sebagai

media dalam pentransformasian sebuah nilai termasuk halnya nilai pendidikan

karakter.

2.6 Pendidikan Karakter

Banyak tafsiran yang bermunculan tentang konsep pendidikan karakter. Ada

yang menyatakan bahwa pendidikan karakter itu sama dengan pendidikan moral. Ada

juga yang berpendapat bahwa pendidikan karakter sama dengan pendidikan

kepribadian. Sebagai landasan dalam pendidikan karakter, nilai-nilai yang

dikembangkan dalam karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut:

1) Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena

itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada

ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan

pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar

pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa

harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

2) Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-

prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila.

Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut

18
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang

terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan

politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan

budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik

menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki

kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam

kehidupannya sebagai warga negara.

3) Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup

bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui

masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian

makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota

masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan

masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan

budaya dan karakter bangsa.

4) Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki

setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan

pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional

memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara

Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang

paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter

bangsa (Kemendiknas, 2010:8-9).

5) Adat istiadat: suatu aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut

atau dilakukan sejak dahulu kala; kebiasaan atau cara atau kelakuan dan

19
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

sebagainya; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya,

norma, hukum dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan

menjadi suatu sistem (Wahyuni, 2007:8).

Terlepas dari berbagai pendapat tentang konsep pendidikan karakter, yang

pasti bahwa pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana dalam mengubah

sikap dan pola pikir melalui kegiatan pembelajaran. Pendidikan adalah bagian dari

bimbingan orang dewasa kepada peserta didik dengan menerapkan sistem yang bukan

hanya memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik melainkan juga dapat

membentuk karakter anak.

Pendidikan berlangsung sepanjang hidup. Pendidikan adalah sesuatu yang

universal atau umum dan berlangsung terus tak terputus dari satu generasi ke generasi

lainnya di manapun di dunia ini. Keuniversalan ini dan tak pernah putusnya

pendidikan sebenarnya sudah mampu menuntun perilaku seseorang menjadi manusia

yang berkarakter. Namun, karena karakter itu juga melekat dengan makna

kepribadian dan kepribadian mengacu kepada sesuatu yang sangat individual maka

dapat dimaklumi juga bahwa karakter seseorang akan sangat berbeda dengan karakter

orang lain. Persoalan mendasarnya adalah bahwa proses pendidikan merupakan suatu

sarana untuk membentuk karakter. Inilah yang disebut akhirnya menjadi konsep

pendidikan karakter.

Ikhsan (2011:1) menyatakan :


Pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai
yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma tersebut serta mewariskannya kepada
generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang terjadi
dalam suatu proses pendidikan.

20
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

Berdasarkan konsep pendidikan dari pendapat ahli ini, pada hakikatnya dalam

kata pendidikan itu sudah terdapat makna karakter. Ki Hajar Dewantara, tokoh

pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah upaya untuk memajukan

budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan jasmani anak didik.

Dengan demikian, apabila kata pendidikan karakter mau ditafsirkan maka pendidikan

karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan yang bertujuan untuk menciptakan

seseorang (peserta didik) yang berkarakter dan memiliki kualitas sehingga diharapkan

mampu beradaptasi dengan cepat dan tepat di dalam berbagai lingkungan berdasarkan

cita-cita yang impiannya, yang diikat atau diatur oleh norma-norma atau nilai-nilai

yang berlaku di tengah masyarakat. Santoso (1987:98) menyatakan “Pendidikan

adalah usaha “etis” dari manusia, untuk manusia, dan untuk masyarakat manusia,

demikian sehingga dapat mengembangkan semua bakat seorang sampai tingkat

optimal dalam batas hakikat individu, dengan tujuan agar setiap manusia bisa secara

terhormat ikut serta dalam pengembangan manusia dan masyarakatnya terus menerus

untuk mencapai martabat kehidupan yang lebih tinggi”.

Pendidikan karakter adalah segala usaha yang dilakukan untuk membentuk

karakter anak. Usaha yang disengaja tersebut merupakan cara untuk membantu

seseorang untuk memahami, memperhatikan dan melakukan nila-nilai etika yang inti.

Cara pikir yang dihasilkan melalui pendidikan karakter dapat menjadikan peserta

didik mampu beradaptasi di berbagai lingkungan dengan menerapkan nilai-nilai

pendidikan karakter dengan berlandaskan budaya bangsa.

21
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

Pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk penyempurnaan diri individu

secara terus menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju ke arah yang lebih

baik. Melalui pendidikan karakter peserta didik dapat membentuk perilaku dan pola

pikir yang sesuai dengan landasan budaya bangsa. Bagi individu (peserta didik),

pendidikan karakter bertujuan untuk mengetahui berbagai karakter baik manusia,

peserta didik dapat mengartikan dan menjelaskan berbagai karakter, peserta didik

dapat menunjukkan contoh perilaku berkarakter dalam kehidupan sehari-hari dan

pada akhirnya peserta didik dapat memahami sisi baik menjalankan perilaku

berkarakter tersebut.

Pengertian kata karakter, Samani dan Hariyanto (2014:41) mengatakan

“Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu

untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa,

dan negara). Mengenai pendidikan karakter Samani dan Hariyanto (2014:44)

mengatakan “Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang

mengembangkan karakter yang mulia (good character) dari peserta didik dengan

mempraktikkan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang

beradab dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun dalam hubungannya

dengan Tuhannya”.

Secara sederhana pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir

dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai

keluarga, masyarakat dan bernegara, dan membantu mereka untuk membuat

keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan. Sementara itu, Zuchdi, dkk (2013:11)

mengungkapkan “Tujuan pendidikan watak adalah mengajarkan niai-nilai tradisional

22
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

tertentu, nilai-nilai yang diterima secara luas sebagai landasan periaku yang baik dan

bertanggung jawab”.

Daryanto (2014 : 40) menyatakan “Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi

yaitu mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik dan

berperilaku baik. Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur.

Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dan pergaulan dunia”.

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada

pasal 3, tertulis “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa,...”. Dalam UU ini jelas ada kata “katakter”

meskipun tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang kata karakter. Artinya,

pembentukan karakter anak didik sudah disahkan dalam UU Sistem Pendidikan

Nasional. Dengan demikian, sudah sepantasnya pengkajian tentang pendidikan

karakter ini dilakukan.

Menurut Adisusilo (2014) ketika kata karakter pertama kali diucapkan oleh

Bung Karno dalam istilah Character Building, kata karakter bermakna watak bangsa

harus dibangun. Tetapi, menurut Ki Hajar Dewantara, ungkapan itu bermakna

pendidikan watak untuk para siswa, yang meliputi “cipta”, “rasa”, dan “karsa”. Watak

sebagai sifat seseorang dapat dibentuk. Artinya, sesorang dapat berubah meskipun

watak mengandung bawaan, yang setiap orang dapat berbeda. Oleh sebab itu, proses

pendidikan dapat mengubah watak seseorang.

Pendapat banyak ahli di atas menyiratkan bahwa istilah karakter lebih dekat

kepada sifat-sifat baik yang terdapat dalam diri seseorang. Karakter menjadi ciri,

23
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

identitas, atau sifat yang ada dalam diri seseorang. Jadi, karakter adalah seperangkat

nilai yang telah menjadi kebiasaan hidup sehingga menjadi sifat, misalnya kerja

keras, pantang menyerah, jujur, sederhana, solider, dan lain-lain.

2.7 Nilai Pendidikan Karakter

Nilai mengungkapkan perbuatan apa yang dipuji dan dicela, pandangan hidup

mana yang dianut dan dijauhi, dan hal apa saja yang dijunjung tinggi. Nilai

pendidikan karakter yang digunakan sebagai landasan teori dalam penelitian ini

mengacu kepada rumusan menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010), yakni

ada 18 Nilai Karakter yang akan ditamamkan dalam diri peserta didik sebagai upaya

membangun karakter bangsa. Dipilihnya pendapat Kemendiknas ini didukung oleh

pendapat Suyadi (2015:7) yang menyatakan:

18 nilai karakter versi Kemendiknas telah mencakup nilai-nilai karakter dalam


berbagai agama termasuk agama Islam. Di samping itu, 18 nilai tersebut telah
disesuaikan dengan kaidah-kaidah ilmu pendidikan secara umum, sehingga lebih
implementatif untuk diterapkan dalam praksis pendidikan, baik sekolah maupun
madrasah. Lebih dari itu, 18 nilai karakter tersebut telah dirumuskan standar
kompetensi dan indikator pencapaiannya di semua mata pelajaran, baik sekolah
maupun madrasah. Dengan demikian pendidikan karakter dapat dievaluasi, diukur,
dan diuji ulang.

Nilai pendidikan karakter versi Kemendiknas (2010) adalah :

1. Religius, yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran
agama (aliran kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran
terhadap pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan
berdampingan.
2. Jujur, yakni sikap dan perilaku yang menceminkan kesatuan antara pengetahuan,
perkataan, dan perbuatan (mengetahui apa yang benar, mengatakan yang benar, dan
melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai
pribadi yang dapat dipercaya.
3. Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap
perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan
hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup
tenang di tengah perbedaan tersebut.

24
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

4. Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk
peraturan atau tata tertib yang berlaku.
5. Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh
(berjuang hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas,
permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi
dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan
hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya.
7. Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berarti tidak
boleh bekerja sama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan
tanggung jawab kepada orang lain.
8. Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan
kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain.
9. Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan
penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan
dipelajari secara lebih mendalam.
10. Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau
individu dan golongan.
11. Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia,
peduli, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekomoni, politik, dan
sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat
merugikan bangsa sendiri.
12. Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui
kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi.
13. Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka
terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama
secara kolaboratif dengan baik.
14. Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman,
tenang, dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat
tertentu.
15. Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu
secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah, koran,
dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya.
16. Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan
melestarikan lingkungan sekitar.
17. Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap
orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya.
18. Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa,
negara, maupun agama.

Mencari nilai luhur dari karya sastra drama adalah menentukan kreativitas

terhadap hubungannya dengan kehidupan. Dalam karya sastra drama akan tersimpan

nilai atau pesan yang berisi amanat atau nasihat. Melalui karyanya, dramawan sebagai

25
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

pencipta naskah drama berusaha untuk mempengaruhi pola pikir pembaca dan ikut

mengkaji tentang baik dan buruk, benar mengambil pelajaran, teladan yang patut

ditiru, sebaliknya, untuk dicela bagi yang tidak baik. Karya sastra drama diciptakan

bukan sekadar untuk dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil manfaatnya.

Karya sastra drama tidak sekadar benda mati yang tidak berarti, tetapi di dalamnya

termuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur yang mampu

menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan. Dalam karya sastra

drama, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif yang

mampu mendidik manusia, sehingga manusia mencapai hidup yang lebih baik

sebagai makhluk yang dikaruniai oleh akal, pikiran, dan perasaan.

Secara etimologis istilah “drama” berasal dari kata “dramoi” (bahasa Yunani)

yang berarti menirukan. Sedangkan istilah “Teater” berasal dari kata “teatron”

(bahasa Yunani) yang berarti: pusat upacara persembahan yang terletak di tengan-

tengah arena. Berdasarkan etimologis tersebut, “dramoi”; menirukan dalam

pengertian umum kemudian, istilah “drama” diartikan perbuatan atau gerak. Dalam

seni teater pengertian drama ialah suatu cerita atau kisah hidup manusia yang disusun

untuk dipertunjukan oleh para pelaku dengan perbuatan di atas pentas dan ditonton

oleh publik (penonton). Ditinjau dari seni sastra, pengertian drama ialah drama yang

dari suatu naskah yang bermutu sastra, yang diutamakan ialah sastranya (Atmojo,

1985).

Sejalan dengan pendapat Atmojo, Sumarjo dan Saini (1997:31) menyatakan:

Salah satu ganre sastra imajinatif adalah drama. Drama adalah karya sastra yang
mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya. Drama sebagi karya sastra

26
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

sebenarnya hanya bersifat sementara, sebab naskah drama ditulis sebagai dasar untuk
dipentaskan. Dengan demikian, tujuan drama bukanlah untuk dibaca seperti orang membaca
novel atau puisi. Dram yang sebenarnya kalau naskah sastra tadi telah dipentaskan. Tetapi
bagai manapun, naskah tertulis drama selalu dimaukkan sebagai karya sastra.

Pada hakikatnya, drama adalah karya sastra yang menekankan kesempurnaan

wujudnya dalam pementasan. Hasanuddin (2009:58) menyatakan:

Sebagai gandre sastra, secara umum dapat dikatakan drama mendekati, atau bahkan
dapat diidentikan dengan fiksi biasanya rumusan tentang keidentikan ini diperoleh dari
penelusuran tentang unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang. Didalam
fiksi dapat ditemukan pemaparan tersebut tentang suatu peristiwa atau tentang
seseorang.

Dari berbagai pendapat yang dipaparkan para ahli tersebut, dapat disimpulkan

bahwa teks drama berbeda dengan genre lainnya meski hubungan antara drama

dengan sastra sangat erat hubungannya. Drama memiliki cerita tersendiri, untuk

dipentaskan dan dinikmati bersama-sama. Cerita prosa lainnya hanya dinikmati oleh

pembaca saja dengan karya tertulis tersebut.

2.8 Unsur-unsur yang Membangun Naskah Drama

Naskah drama disebut juga drama naskah atau sastra lakon. Unsur yang

membangunnya berkaitan dengan unsur yang membengun drama sebagai karya

sastra.

Waluyo (2006:8) menyatakan “Naskah drama atau drama naskah disebut juga

sastra lakon. Sebagai salah satu genre sastra, drama naskah dibangun oleh struktur

fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik, makna). Wujud fisik sebuah naskah

adalah dialog atau ragam tutur. Ragam tutur itu adalah ragam sastra. Oleh sebab itu,

bahasa dan maknanya tunduk pada konvensi sastra”.

27
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

Luxemburg (1986:153) menyatakan bahwa “unsur-unsur drama adalah dialog,

perwatakan, jangkauan ruang dan waktu, peristiwa dan alur”. Dalam pembagian

jangkauan ruang dan waktu dapat disamakan dengan latar, sedangkan peristiwa dapat

dimasukkan ke dalam unsur alur.

Waluyo (2006:3) menyatakan:

Sebagai karya sastra, bahasa drama adalah bahasa sastra karena itu sifat konotatif
juga dimiliki. Pemakaian lambang, kiasan, irama, pemilihan kata yang khas, dan
sebagainya berprinsip sama dengan karya sastra yang lain. Akan tetapi karena yang
ditampilkan dalam drama adalah dialog, maka bahasa drama tidak sebeku bahasa
puisi, dan lebih cair dari bahasa prosa. Sebagai potret atau tiruan kehidupan, dialog
drama banyak berorientasi pada dialog yang hidup dalam masyarakat.

Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa naskah drama adalah

karya sastra yang khusus menekankan kesempurnaan wujud atau pementasan dari

genre sastra fiksi lainnya seperti cerpen, puisi, dan novel. Drama sebagai karya sastra

ada yang menyebutnya sebagai drama naskah, yakni sebagai salah satu jenis karya

sastra yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan

mempunyai kemungkinan dipentaskan. Menurut Waluyo (2006), unsur yang

membangunnya adalah:

2.8.1 Plot atau Kerangka Cerita

Istilah lain yang digunakan untuk plot atau kerangka cerita adalah alur. Secara

sederhana, plot atau alur dapat dikatakan sebagai rangkaian atau urutan peristiwa

dalam cerita. Waluyo (2006) menyebut alur dengan istilah plot atau kerangka cerita.

Secara jelas Waluyo (2006:6) menjelaskan sebagai berikut.

Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan
jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan. Konflik itu berkembang karena
kontradiksi para pelaku. Sifat dua tokoh utama bertentangan, misalnya kebaikan kontra
kejahatan, tokoh sopan kontra tokoh brutal, tokoh pembela kebenaran kontra bandit, tokoh
kesatria kontra penjahat, tokoh bermoral kontra tokoh tidak bermoral, dan sebagainya.

28
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

Konflik semakin lama semakin meningkat untuk kemudian mencapai titik klimaks. Setelah
klimaks lakon menuju penyelesaian.

Jalinan konflik dalam plot ini Menurut Aristoteles (dalam Waluyo, 2006)

meliputi potasis atau jalinan awal, epilasio, catarsis, dan catastrophe. Uraian tentang

ini tidak akan dipaparkan di sini karena unsur ini bukanlah menjadi kajian peneliti

atau kurang terkait erat dengan penelitian ini.

Sebagai perbandingan tetang alur, Nurgiyantoro (1994) mengungkapkan

bahwa untuk mengetahui wujud struktur sebuah karya, diperlukan kerja analisis. Dari

sinilah kita dapat mendeskripsikan plot (alur) suatu karya, kesamaan dan perbedaan

karya yang lain. Alur atau plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis sudut

yang berbeda berdasarkan sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula berdasarkan

dari kreteria urutan waktu, jumlah, dan kepadatan.

Kita kenal istilah plot atau alur lurus, (progresif), yaitu jika peristiwa

peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa pertama diikuti

oleh (atau: menyebabkan terjadinya) peristiwa yang kemudian. Naskah yang

menggunakan alur ini secara runtun cerita dimuali dari tahap awal sampai

penyelesaian (penyesuasian, pengenalan, klimaks, dan akhir penyelesain).

Selanjutnya, dikenal istilah plot atau alur sorot balik (flash-back). Alur jenis

ini menggambarkan urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya yang berplot

regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai pada tahap awal (yang benar-

benar merupakan awal cerita secara logika) melainkan dari tahap tengah atau bahkan

tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Karya yang menggunakan

plot jenis ini langsung menyuguhkan adegan-adegan konfik, bahkan barangkali

29
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

konflik yang telah meruncing. Pembaca, belum lagi dibawa masuk mengetahui

situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konfik dan pertentangan itu.

Semuanya itu dikisahkan justru sesudah peristiwa-peristiwa yang secara kronologis

terjadi sesudahnya. Plot sebuah karya yang langsung menghadapkan pembaca

kepada adegan-adegan konflik yang sudah meninggi, langsung menerjunkan

pembaca ke tengah pusat pertentangan disebut sebagai plot in median res.

Selanjutnya, dikenal istilah plot atau alur campuran. Secara mutlak plot jenis

ini berplot lurus kronologis atau sebaliknya sorot-balik. Secara garis besar plot

mungkin progresif tetapi sering terdapat adegan-adegan sorot-balik. Demikian pula

sebaliknya. Bahkan sebenarnya, boleh dikatakan, tak mungkin ada sebuah cerita pun

yang mutlak menggunakan plot atau alur sorot balik. Hal itu disebabkan jika

demikian terjadi, pembaca akan sangat sulit untuk dikatakan tidak bisa, mengikuti

kisah yang diceritakan yang secara terus-menerus dilakukan secara mundur.

Pengkategorian plot sebuah karya progresif atau flash-bach, sebenarnya, lebih

didasarkan pada mana yang lebih menonjol. Hal itu disebabkan pada kenyataan pada

umumnya mengandung keduanya, atau berplot campuran; progresif-regresif. Untuk

mengetahui secara pasti kelompok peristiwa (yang mendukung satu kesatuan makna)

yang tergolong progresif-kronologis atau sorot-balik, kita dapat melihat secara

sintakmatik dan prakdigmatik semua peristiwa (motif dan sekuen unutk istilah

tersebut) yang ada dengan mensejajarkan keduanya. Di samping itu, kita dapat

mencari dan mengetahui bagaimana saling terkaitnya antara kejadian yang

dikisahkan.

30
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

Alur merupakan rentetan peristiwa dalam cerita atau kerangka dari awal

hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara tokoh yang berperan dalam

naskah. Konflik berkembang karena kontradiksi para pelaku. Sifat tokoh utama itu

bertentangan, misalnya: kebaikan kontra kejahatan, tokoh sopan kontra tokoh brutal,

tokoh pembela kebenaran kontra bandit, dan sebagainya. Konflik semakin lama

semakin meningkat untuk kemudian mencapai titik klimaks. Setelah klimaks lakon

akan menuju penyelesaian. Hasanuddin (2009:90) menyatakan:

Alur sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa atau sekelompok peristiwa dengan


peristiwa yang saling berhubungan secara kuasalitas akan menunjukan kaitan sebab
akibat jika hubungan klausalitas peristiwa terputus dengan peristiwa yang lain maka
dapat dikatakan bahwa alur tersebut kurang baik. Alur yang baik adalah alur yang
memiliki kausalitas sesama peristiwa ynag ada didalam sebuaah (teks) drama.

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa bagaimana pengarang

mengungkan gagasan atau idenya sehingga terjalin sebuah peristiwa yang indah

dan enak dibaca, itulah yang disebut plot atau alur. Perbedaan caranya memulai,

memadu, dan mengakhiri ceritalah yang menentukan jenis plot atau alur apa

yang digunakannya.

2.8.2 Tokoh, Penokohan, dan Perwatakan

Hakikat tokoh, penokohan, dan perwatakan dikemukakan oleh beberapa

penulis, di antaranya adalah Waluyo (2006), Sumadrjo dan Saini (1997), Semi

(1988), Aminuddin (2002), dan Hasanuddin (2009). Berikut ini adalah penjelasan

hakikat tokoh, penokohan, dan perwatakan.

a) Tokoh

Tokoh merupakan bagian penting dalam drama. Tanpa adanya tokoh, cerita

tidak berjalan dan tidak akan terbentuk konflik-konflik. Konflik ini hanya mungkin

31
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

diciptakan oleh tokoh-tokoh yang mempunyai karakter berlainan. Peran tokoh akan

berarti apabila penempatannya selaras dengan suasana yang dikehendaki. Sumardjo

dan Saini (1997:31) menyatakan:

Cerita yang disajikan dalam sastra drama, walau kadang-kadng dialami oleh binatang
atau mahluk lain, umumnya dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang berupa manusia.
Dengan demikin dapat dikatakan bahwa tokoh cerita adalah orang yang mengambil
bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa yang di gambarkan dalam plot.

Tokoh-tokoh dalam drama dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis.

Waluyo (2006:14) mengemukakan bahwa tokoh dapat dibagi berdasarkan peranannya

dalam jalan cerita. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tokoh Protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau

dua figur tokoh protagonis utama yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang

terlibat sebagai pendukung cerita.

b. Tokoh Antagonis, yaitu tokoh penentang dalam cerita yang juga dibantu oleh

beberapa tokoh lain yang ikut menentang cerita.

c. Tokoh Tritagonis, yaitu tokoh pembantu, yang menengahi pertentangan antara

tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Susunan tokoh menurut Waluyo (2006) adalah daftar tokoh-tokoh yang

berperan dalam drama. Dalam susunan tokoh itu, terlebih dahulu dijelaskan adalah

nama, umur, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan, dan keadaan kejiwaannya. Watak tokoh

menjadi nyata terbaca dalam dialog dan teks samping. Jenis dan warna dialog akan

menggambarkan watak tokoh itu.

Tokoh-tokoh memiliki watak. Watak tokoh memungkinkan terjadi

pertentangan atau pertikaian antartokoh hingga berkembang mencapai klimaks.

Tokoh harus memiliki watak yang kuat dan antara tokoh protagonis dan tokoh

32
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

antagonis harus kontradiktif antara keduanya, dapat juga memiliki kepentingan yang

sama, saling berebut sesuatu, saling bersaing, dan sebagainya.

Tokoh-tokoh dalam naskah drama hadir sebagai seseorang yang berjati diri

yang kualitasnya tidak semata-mata berkaitan dengan ciri fisik, melainkan terlebih

berwujud kualitas nonfisik. Tokoh dalam cerita bersifat fiktif. Meskipun demikian,

agar kehadirannya dapat diterima pembaca, tokoh hendaknya tidak terlalu asing bagi

pembaca tetapi harus disadari pula bahwa tokoh di dalam cerita rekaan tidak sama

persis dengan manusia pada dunia nyata. Tokoh cerita rekaan tidak sepenuhnya

bebas. Ia merupakan bagian dari suatu keutuhan artistik, yakni karya sastra.

b) Penokohan

Istilah penokohan sering dikacaukan dengan istilah perwatakan. Sebenarnya,

keduanya itu merupakan dua istilah yang berbeda namun sangat berhubungan.

Waluyo (2006:14) menyatakan “Penokohan erat hubungannya dengan perwatakan”.

“Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan

karakter tokoh-tokoh dalam cerita” (Kosasih, 2012:67). Sejalan dengan hal itu,

Aminuddin (2002:79) menyatakan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku

itu disebut dengan penokohan.

Semi (1988) menjelaskan bahwa ada dua jenis penokohan, yaitu secara

analitik dan secara dramatik. Penokohan secara analitik yaitu pengarang langsung

memaparkan tentang watak atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa

tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya. Penokohan secara

dramatik yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan langsung tetapi hal

itu disampaikan melalui pilihan nama tokoh, penggambaran fisik atau postur tubuh,

33
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

dan melalui dialog, baik dialog yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-

tokoh lain.

Sejalan dengan konsep Semi, Hudson (1963:146-147) menyatakan bahwa

tokoh dapat ditampilkan secara dramatik dan analitik. Secara dramatik watak tokoh

ditampilkan lewat gambaran ucapan, perbuatan, dan komentar atau penilaian pelaku

lain. Secara analitik, tokoh digambarkan langsung oleh pencerita. Pendramatisasian

tokoh dapat berbentuk: cakapan atau dialog, pikiran tokoh, atau apa yang melintas

dalam pikirannya, stream of conciousness yang menunjukkan arus bawah sadar.

Secara konkret dapat berupa monolog atau solilokui, perbuatan dan sikap tokoh,

lukisan fisik, dan lukisan kata.

Nurgiyantoro (1994:248) meyatakan “Penokohan sekaligus merujuk pada

teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita”.

c) Perwatakan

Sejalan dengan penokohan, dikenal istilah perwatakan. Perwatakan adalah

kualitas tokoh, kualitas nalar, dan jiwa tokoh yng membedakan dengan tokoh lain.

Perwatakan adalah pelukisan karakteristik tokoh melalui sifat-sifat, sikap, dan tingkah

laku yang lebih menunjukkan pada kualitas pribadi sesuai penafsiran pembaca.

Waluyo (2006:17) menyatakan:

Watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak


dimensional). Penggambaran itu berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial
(fisiologis, psikologis, sosiologis). Keadaan fisik biasanya dilukiskan paling
dulu, baru kemudain sosialnya. Pelukisan watak pemain dapat langsung pada
dialog yang mewujudkan watak dan perkembangan lakon, tetapi banyak juga
kita jumpai dalam catatan samping (catatan teknis).

34
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

2.8.3 Setting atau Latar

Latar merupakan identitas perrmasalahan drama sebagai fiksionilitas yang

secara samar memperlihatkan penokohan dan alur. Jika permasalahan drama sudah

diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas susunan

tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku. Menurut Waluyo (2006:23) “ Setting atau

tempat kejadian cerita sering pula disebut latar cerita. Penentuan ini harus secara

cermat sebab naskah drama harus juga memberikan komungkinan untuk dipentaskan.

Setting biasanya meliputi tiga dimensi yaitu tempat, ruang, dan waktu”. Selanjutnya

Hasanuddin (2009:94) menyatakan ” Latar dan ruang di dalam drama memperjelas

pembaca untuk mengidentifikasikan permasalahan drama”.

Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa latar atau setting merupakan

bagian dari unsur-unsur yang samar diperlihakant dan dijelaskan oleh penokohan.

2.8.4 Tema

Menurut Waluyo (2006:24) “Tema, secara umum, dapat disebut sebagai

gagasan sentral, dasar cerita juga mencakup permasalahan dalam cerita, yaitu sesuatu

yang akan diungkapkan untuk memberikan arah dan tujuan cerita dalam karya sastra,

termasuk di dalamnya adalah teks drama”.

Menurut Hasanuddin (2009:103):


Tema dan amanat dapat dirumuskan berbagai peristiwa, penokohan, dan latar. Tema
adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh
sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peris tiwa yang terkait dengan
penokohan dan latar. Dalam sebuah drama terdapat banyak peristiwa yang masing-
masing mengemban permasalahan, tetapi hanya ada sebuah tema sebagai intisari daari
permasalahan-permassalahan tersebut.

Sumardjo dan saini (1997:56) mengutarakan :

Tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam penulis cerritanya bukan sekadar mau
bercerita, tetapi maumengatakan sesuatu pada pembacanya. Sesuatu yang mau

35
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

dikatakannya itu bisa sesuatu masalah kehidupan, padangan hidupnya tentang


kehidupan ini atau komentar terhadap kehidupan ini.

Dari pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa tema merupakan

sesuatu permasalahan yang dimunculkan dalam suatu karya bukan sekadar bercerita

tetapi mengatakan sesuatu pada para penikmat (pembaca) oleh pengarang dan

menjadi arah tujuan cerita dalam karya sastra.

2.8.5 Amanat

Amanat merupakan opini, kecendrungan dan visi pengarang terhadap tema

yang dikemukakannya. Amanat dalam drama dapat terjadi lebih dari satu, asal

kesemunya itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau

sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan

karakteristik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar dan ruag cerita

(Hasanuddin, 2009).

Amanat yang disampaikan dalam sebuah karya sastra tidak jauh dari tema

yang diberikan oleh pengarang. Amanat yang terdapat dalam cerita atau karya sastra

lebih dari satu yang terkandung dalam teks karya sastra tersebut.

2.8.6 Dialog

Sebagai ciri utama dalam drama, dialog dapat menentukan ciri drama dalam

keseluruhan. Ada dialog sengaja ditulis panjang-panjang, ada pula dialog yang ditulis

pendek-pendek. Warna dialognya pun macam-macam, ada yang lugas, puitis, atau

menggunakan dialek tertentu untuk membangun nilai estetis tertentu.

Di samping itu, karena tidak mempunyai narasi, teks lakon hanya dapat

diteliti melalui dialog-dialog. Oleh karena itu, dialog dalam lakon merupakan sumber

utama untuk menggali segala informasi tekstual. Jalannya eksekusi (pelaksanaan

36
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

pentas) juga akan memposisikan dialog menjadi sarana penting dalam menjadikan

teks tertulis tersebut menjadi “terdengar” dan “teraba”. Pengertian dialog juga

dikemukakan oleh Wiyanto, (2002:13) sebagai berikut :

Dialog adalah percakapan para pemain. Dialog memainkan peran yang amat pentiing
karena menjadi pengarang lakom drama. Aartinya, jalan cerita drama itu diketahui
oleh penonton lewat dialog para pemainnya. Agar dialog itu tidak hambar,
pengucapannya harus disertai penjiwaan emosionl. Selain itu, pelafalannya harus jelas
dan cukup keras sehingga dapa didengar semua penonton. Seorang pemain yang
berbisik, misalnya, harus diupayakan agr bisikannya tetap dapat didengarkan
penonton.

2.8.7 Petunjuk Teknis atau Teks Samping

Menurut Waluyo (2006:30) “Dalam naskah drama diperlukan juga petunjuk

teknis, yang sering pula disebut teks samping”. Teks drama sebagai karya sastra

memiliki kaidah struktur yang khusus. Kekhususan tersebut di antaranya adalah teks

samping. Dalam sebuah naskah drama seorang pengarang sering memberikan

petunjuk bagaimana pendukung pementasan bekerja. Petunjuk ini sering disebut

dengan teks samping. Waluyo (2006:30) menyatakan:

Teks samping ini memberikan petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana pentas,
suara, musik, keluar masuknya aktor atau aktris, keras lemahnya dialog, warna suara,
perasaan yang mendasari dialog, dan sebagainya. Teks samping ini biasanya ditulis
dengan tulisan berbeda dari dialog (misalnya dengan huruf miring atau huruf besar
semua).

Lebih lanjut lagi Waluyo (2006:30) mengemukakan bahwa:

Teks samping juga berguna sekali untuk memberikan petunjuk kapan aktor harus
diam, pembicaraan pribadi, lama waktu sepi antar kedua pemain, jeda-jeda kecil atau
panjang, dan sebagainya. Petunjuk teknis yang lengkap akan mempermudah sutradara
dalam penafsiran naskah. Petunjuk watak usia, dan keadaan sosial aktor/aktris akan
membantu sutradara dalam mengahayati watak secara total, sehingga pemilihan
aktor/aktris dapat lebih tepat.

37
Dicetak pada tanggal 2020-11-29
Id Doc: 589c885781944dbf0f494286

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teks samping adalah hal yang
sangat penting dalam sastra drama. Teks samping atau petunjuk lakon merupakan
petunjuk yang ditulis berbeda dari dialog dengan hurup miring dan hurup besar.

38

Anda mungkin juga menyukai