Koperasi NTUC Fair Price didirikan pada tahun 1973 dan toko pertamanya dibuka oleh
Lee Kwan Yew, Perdana Menteri pertama Singapura. Koperasi ini didirikan atas inisiatif
aktivis organisasi buruh National Trade Union Conggress (NTUC) yang punya pengaruh
kuat dalam pemerintahan. Koperasi ini didirikan saat terjadi krisis minyak dan inflasi
tinggi serta adanya kartel kapitalistik yang mencekik kehidupan para pekerja pada
tahun 1970-an.
Misi awalnya adalah meringankan ongkos hidup pekerja dan sampai saat ini tetap tidak
berubah dan justru terlihat semakin kuat dengan keanggotaan terbuka bagi seluruh
warga Singapura. Hingga saat ini koperasi Fair Price telah memiliki 500 ribu jumlah
anggota yang juga adalah pemiliknya. Siapapun dapat menjadi pemilik koperasi dengan
hak suara yang sama setiap anggotanya. Tiap anggota ikut menentukan kebijakan
perusahaan melalui Rapat Anggota Tahunan (RAT).
Mereka menaruh nilai demokrasi koperasi sebagai alat ukurnya dan memberikan
pelayanan maksimal dengan slogan “serve with heart”. Mereka juga aktif
mengkampanyekan isu lingkungan dan praktik pencegahan pemanasan global.
Perusahaan koperasi dijadikan sebagai tempat terbaik untuk berbelanja dan bekerja.
NTUC Fair Price tidak hanya sebagai tempat belanja yang nyaman, namun juga telah
menciptakan demokrasi di tempat kerja.
Tidak hanya di bidang ritel, NTUC sebagai holding perusahaan sosial koperasi saat ini
terus mengembangkan sayap dan jadi merk terkenal di berbagai sektor bisnis dari
sekolahan, makanan, media dan asuransi. Sektor asuransi dari NTUC adalah yang
terbesar kedua di Singapura dengan nama NTUC Income. Jika di Singapura
perkembangan koperasi demikian menjanjikan, bagaimana dengan kondisi di
Indonesia?
Pada saat Singapura membangun NTUC Fair Price, Indonesia pada era yang sama
juga gencar membangun Koperasi Unit Desa (KUD). Keduanya sama-sama koperasi,
hanya berbeda dalam metode pendekatannya. NTUC Fair Price dibangun dengan
konsep pelibatan partisipasi masyarakat, terutama para pekerja untuk aktif mencari
solusi kehidupan mereka secara otonom. Sedangkan KUD dibangun dengan konsep
dari atas (top down) dan interventif. KUD diberi akses modal, gedung, manajemen,
terutama bidang bisnis.
Alhasil, NTUC Fair Price tumbuh dan berkembang pesat sebagai entitas bisnis mandiri
yang dimiliki masyarakat secara luas. Sementara sejak era reformasi, KUD rontok satu
persatu karena fasilitasnya dicabut hingga kehilangan kepercayaan masyarakat.
Melihat kebijakan perkoperasian kita saat ini, sepertinya Pemerintah masih tetap
menghendaki posisi yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Bukan menghargai
otonomi dan memberikan lingkungan yang baik bagi tumbuh kembangnya koperasi,
malah koperasi selalu disubordinasi dalam manajemen dan permodalannya.
Ide koperasi bahkan terang-terangan ‘dihabisi sejak dalam pikiran’ kita. Indikasinya
adalah koperasi tidak lagi dibahas dalam kuliah-kuliah di Fakultas Ekonomi. Kalau pun
ada, itu hanya sebatas mata kuliah pilihan.
Akhir kata, jika Singapura yang dikenal sebagai negara kapitalis saja mampu
membangun koperasi buruhnya dengan gemilang, apalagi kita yang sudah mulai
berkoperasi sejak tahun 1908 (Toko Aandel milik para aktivis Boedi Oetomo)?.
Indonesia tentu mampu juga. Tambah lagi, kita punya kementerian khusus yang
mengurus bidang koperasi. Semoga !!