Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Prinsip-Prinsip Pokok dalam Penegakan Hukum/ Pengambilan Hukum dan


Semua Orang Sama Dimata Hukum

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah


Mata Kuliah: Tafsir Ayat-Ayat Peradilan

Dosen Pengampu:
Dr. Kholidah, M.Ag

Disusun Oleh:
DESRI YULISMA RESKI
2213010101

JURUSAN HUKUM KELUARGA C


FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


IMAM BONJOL PADANG
1444H/2023M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Tafsir Ayat-ayat Peradilan, dengan judul:
“Prinsip-Prinsip Pokok dalam Penegakan Hukum/ Pengambilan Hukum dan Semua
Orang Sama Dimata Hukum”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan saran dan kritik, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna
dikarenakan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan kami. Maka dari itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran dan masukan serta kritik dari berbagai pihak. Akhirnya,
kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia
pendidikan.

Padang, 3 September 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
A.Latar Belakang .........................................................................................................
B.Rumusan Masalah ....................................................................................................
C.Tujuan Masalah ........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................
A. QS An-Nisa 58 ........................................................................................................
B. QS. Al-An’am 153 .................................................................................................
C. QS. Shad 22 ............................................................................................................
D. QS. Asyura 15
E. QS. Al-Maidah 42
BAB III PENUTUP ...........................................................................................................
A.Kesimpulan ............................................................................................................
B.Saran ........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Dalam Al-Quran, terdapat beberapa prinsip-prinsip pokok yang berkaitan dengan penegakan
hukum, keadilan, dan kesetaraan di mata hukum. Beberapa prinsip tersebut mencakup:

1. Kepatuhan pada Hukum Allah: Al-Quran menekankan pentingnya patuh terhadap


hukum Allah dan perintah-Nya. Orang-orang dihimbau untuk mengikuti hukum-hukum
yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan hadits.
2. Keadilan dan Kesetaraan: Al-Quran menggarisbawahi prinsip bahwa semua individu
adalah setara di mata hukum. Tidak ada perbedaan berdasarkan suku, ras, agama, atau
status sosial. Hukum harus diterapkan dengan adil kepada semua.
3. Perlindungan Hak Asasi Manusia: Al-Quran menekankan pentingnya melindungi hak-
hak asasi manusia, seperti hak untuk hidup, kebebasan, dan keadilan. Hukum dalam
Islam harus melindungi hak-hak ini.
4. Pemisahan Kekuasaan: Al-Quran tidak secara eksplisit membahas pemisahan
kekuasaan seperti dalam konsep modern, tetapi prinsip keadilan dalam penegakan
hukum menuntut agar kekuasaan tidak disalahgunakan.

B.Rumusan Masalah

Bagaimana tafsir QS. An-nisa ayat 58, QS. Al-An’am ayat 152, QS. Shad ayat 22, QS.
Asyura ayat 15, QS. Al-Maidah ayat 42?

C.Tujuan Masalah

Untuk mengetahui tafsir ayat QS An-Nisa 58, QS. Al-An’am 152, QS. Shad 22, QS. Asyura
15, QS. Al-Maidah 42.
BAB II

PEMBAHASAN

A. QS. An-Nisa 58
• Lafal ayat
‫ّللا نِعِما يه ِعظُكُمۡ بِه اِن‬ ِ ‫ت ا ِٰلٰٓى اه ۡه ِل هها ۙ هواِذها هحكهمۡ تُمۡ هب ۡينه الن‬
‫اس اه ۡن تهحۡ كُ ُم ۡوا بِ ۡالعه ۡد ِل اِن ٰ ه‬ ِ ‫ّللا يه ۡا ُم ُركُمۡ اه ۡن ت ُ هؤدُّوا ۡاۡلهمٰ ٰن‬
‫اِن ٰ ه‬
‫ص ۡيرا‬ ِ ‫ّللا كهانه هسمِ ۡي ًۢعا به‬‫ٰه‬
• Arti perkata
‫ هيأْ ُم ُركُ ْم‬: menyuruhmu
‫ أه ْن ت ُ هؤدُّوا‬: menyampaikan
‫ هوإِذها هحك ْهمت ُم‬: dan apabila kamu menetapkan hukum
‫ بِ ْالعه ْد ِل‬: dengan adil
• Arti Ayat

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan
adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha
Mendengar, Maha Melihat”

• Asbabun Nuzul

Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari al-Kalbi dari Abu Shaleh bahwa Ibnu Abbas berkata,
”Ketika Rasulullah saw. menaklukkan Mekah, beliau memanggil Utsman bin Thathah. Ketika
Utsman bin Thalhah datang, Rasulullah saw. bersabda, ‘ Tunjukkanlah kunci Ka’bah
kepadaku.’ Lalu dia datang kembali dengan membawa kunci Ka’bah dan menjulurkan
tangannya kepada Rasulullah saw. sembari membuka telapaknya. Ketika itu juga al-Abbas
bangkit lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, berikan kunci itu kepada saya agar tugas memberi
minum dan kunci Ka’bah saya pegang sekaligus.’ Maka Utsman menggenggam kembali kunci
itu. Rasulullah saw. pun bersabda, ‘Berikan kepadaku kunci itu, wahai Utsman.’ Maka Utsman
berkata, ‘Terimalah dengan amanah Allah.’ Lalu Rasulullah saw. bangkit dan membuka pintu
Ka’bah. Kemudian beliau melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah. Kemudian Jibril turun
menyampaikan wahyu kepada Rasulullah saw. agar beliau mengembalikan kunci itu kepada
Utsman bin Thathah. Beliau pun memanggil Utsman dan memberikan kunci itu kepadanya.
Kemudian beliau membaca firman Allah, ”Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya,...” (an-Nisaa’: 58), hingga akhir ayat.”

• Tafsir Ayat
Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris
tafsir Universitas Islam Madinah

ِ ‫( إِن للاه يهأْ ُم ُركُ ْم أهن ت ُ هؤدُّوا ْاْلهمٰ ٰن‬Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
‫ت إِله ٰ ٰٓى أه ْه ِل هها‬
kepada yang berhak menerimanya) Kalimat ini mencakup seluruh manusia dalam menunaikan
segala amanat, dan yang paling pertama adalah bagi para pemimpin dan penguasa yang wajib
bagi mereka menunaikan amanat dan mencegah kezaliman, dan senantiasa berusaha
menegakkan keadilan yang telah Allah limpahkan atas amanat yang telah mereka pikul dalam
kebijakan-kebijakan mereka. Dan masuk dalam perintah ini juga selain mereka, sehingga
mereka wajib menunaikan amanat yang mereka punya dan senantiasa berhati-hati dalam
menyampaikan kesaksian dan kabar berita.

‫اس أهن تهحْ كُ ُموا بِ ْالعه ْد ِل‬


ِ ‫( هو ِإذها هحك ْهمتُم بهيْنه الن‬dan menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil) Keadilan disini adalah dengan tidak
condongnya qadhi atau penguasa kepada salah satu pihak yang bersengketa, dan agar tidak
mengutamakan seseorang atas orang lain dikarenakan hubungan kekerabatan, jabatan,
kemaslahatan pribadi, atau hawa nafsu. Akan tetapi seorang qadhi memberi putusan bagi yang
berhak sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan seorang
penguasa harus memperlakukan rakyatnya dengan sama rata tanpa mengutamakan seseorang
kecuali dengan kadar keutamaan yang memang dimiliki orang tersebut, berupa keuletannya
dalam beramal, atau berdasarkan pengalaman, pengetahuan, atau kekuatannya dalam berjihad,
dan lain sebagainya.

(Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar) Yakni mendengar apa yang qadhi putuskan.

(Maha Melihat)Yakni melihatnya ketika ia mengeluarkan putusannya, sehingga Allah


mengetahui apakah ia berusaha untuk berlaku adil atau memberi putusan dengan hawa nafsu.

B. QS. Al-An’am 152


• Lafal Ayat
ُ ‫ِى اهحۡ هسنُ هحتٰى هي ۡبلُ هغ اهشُده ۚ هواه ۡوفُ ۡوا ۡالك ۡهي هل هو ۡالمِ ۡيزه انه ِب ۡال ِقسۡ طِ ۚ هۡل نُـكهل‬
‫ِف ن ۡهفسا اِۡل ُوسۡ هع هها‬ ۡ
‫ۚ هو هۡل ت ۡهق هرب ُۡوا هما هل ال هيت ِۡي ِم اِۡل ِبالت ِۡى ه ه‬
‫صٮكُمۡ بِه لهعهلكُمۡ تهذهك ُر ۡونه‬ ِ ٰ ‫هواِذها قُ ۡلتُمۡ فهاعۡ ِدلُ ۡوا هوله ۡو كهانه ذها قُ ۡربٰى ۚ هوبِعههۡ ِد‬
ٰ ‫ّللا اه ۡوفُ ۡوا ٰذ ِلكُمۡ هو‬

• Arti perkata

dan janganlah kamu‫هو هۡل ته ْق هربُوا‬

harta anak yatim‫هما هل ْال هيتِي ِْم‬

yang lebih bermanfaat ُ‫ِي اهحْ هسن‬


‫ه ه‬

sampai dia mencapai‫هحتٰى يه ْبلُ هغ‬

(usia) dewasa‫اهشُده‬

dan sempurnakanlah takaran‫هواه ْوفُوا ْال هكيْل‬

dan timbangan ‫هو ْالمِ يْزه انه‬

dengan adil ِ‫ِب ْال ِقس ْۚط‬

ُ ‫هۡل نُ هك ِل‬
kami tidak membebani‫ف‬

melainkan menurut kesanggupannya‫اِۡل ُو ْسعههه‬

apabila kamu berbicara‫هواِذها قُ ْلت ُ ْم‬

bicaralah sejujurnya‫فها ْع ِدلُ ْوا‬

sekalipun dia kerabat(mu)‫هوله ْو كهانه ذها قُرْ ب ٰۚى‬

• Arti ayat
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut
kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu)
dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.”

• Asbabun Nuzul

Secara khusus, ayat 152 mengomentari mengenai tabiat para sahabat yang mengasuh anak
yatim. Di masa itu, cukup banyak anak yatim karena harapan hidup orang-orang yang masih
rendah. Sebagai misal, perang kerap terjadi antarkabilah atau golongan. Dengan demikian, ada
kalanya seorang ayah meninggal dunia dan anaknya harus diasuh oleh kerabatnya yang lain.
Anak yatim yang masih kecil itu lazimnya memperoleh sejumlah warisan dari sang bapak.
Namun, karena ia masih kecil, ia belum bisa mengatur harta yang diperolehnya. Maka dari itu,
pengasuhnyalah yang bertanggung jawab mengatur harta warisan dari anak yatim tersebut.
Berkenaan dengan hal itu, Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa ayat 10: "Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)". Karena
peringatan tersebut, para sahabat yang mengasuh anak yatim menjadi waspada. Mereka
memisahkan antara harta mereka dan harta anak yatim, bahkan makanan pun dibedakan antara
makanan keluarga mereka dengan makanan untuk anak yatim tersebut. Akibatnya, ketika anak
yatim itu tidak memakan habis hidangannya, tidak ada yang berani menyentuh makanan
tersebut, dibiarkan hingga basi dan mubazir. Atha' bin Saib meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair
dari Abdullah bin Abbas bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya: "Dan janganlah kalian
dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat" (Al-An'am [6]: 152) dan
firman-Nya: "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya ...
hingga akhir ayat (An-Nisa [4]: 10).

Mendengar ayat tersebut, para sahabat yang mengasuh anak yatim lantas pulang, lalu
memisahkan makanannya dari makanan anak yatim, dan memisahkan minumannya dari
minuman anak yatim, sehingga akibatnya ada makanan yang lebih, tetapi tetap dipertahankan
untuk anak yatim, hingga si anak yatim memakannya atau dibiarkan begitu saja sampai basi.
Hal ini terasa amat berat oleh mereka, kemudian mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah
SAW. Lalu turunlah firman Allah SWT: "Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim,
katakanlah: 'Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kalian menggauli
mereka, maka mereka adalah saudara kalian,” (QS. Al-Baqarah [2]: 220). Akhirnya, para
sahabat kembali mencampurkan makanan dan minuman mereka dengan makanan dan
minuman anak-anak yatim yang mereka asuh tersebut (H.R. AbuDaud).

• Tafsir Ayat
Tafsir Al-Misbah (2001)

Quraisy Shihab menjelaskan bahwa ayat 152 surah Al-An'am menjelaskan tentang larangan
mencurangi harta kaum lemah, terkhusus anak yatim karena mereka tidak bisa melindungi diri
dari penganiyaan tersebut. Ayat di atas tidak hanya melarang untuk memakan atau
menggunakan harta mereka, tetapi imbauan untuk tidak mendekati. Jangan sampai coba-coba
untuk mencurangi mereka. Harta anak yatim seyogyanya diperlakukan dengan adil: "Dan
janganlah kamu dekati apalagi menggunakan secara tidak sah harta anakyatim, kecuali dengan
cara yang terbaik." Pengasuh anak yatim wajib berlaku amanah, menjamin pemeliharaan harta
tersebut, serta mengembalikannya ketika mereka sudah tumbuh dewasa.

Secara umum, surah An-An'am ayat 152 memiliki empat pesan sebagai berikut: Pertama,
jangan curangi anak yatim yang lemah dan tak bisa membela diri. Kedua, ketika mereka
dewasa, serahkan harta mereka dengan adil. Jika pengasuh menjaga atau mengurus harta itu,
hendaknya dibagi dengan adil dan seimbang. Ketiga, ketika membagi harta itu, jangan egois
dan jangan berbohong: "Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil,
kendatipun ia [anak yatim tersebut] adalah kerabat[mu]." Keempat, ini adalah perintah Allah
dan penuhi perintah tersebut karena kewajiban pengasuh adalah menyantuni anak yatim yang
diasuhnya itu, bukan menganiyanya. Menurut Quraisy Shihab, surah Al-An'am ayat 152
mengandung tuntunan tentang pergaulan antarsesama berkaitan dengan penyerahan hak-hak
kaum lemah terkhusus mengenai harta anak yatim.

C. QS. Shad 22
• Lafal Ayat
ۡ ‫ق هو هۡل ت ُ ۡشطِ ۡط هو‬
‫اه ِدنها ا ِٰلى‬ ِ ‫ع ٰلى بهعۡ ض فهاحۡ كُمۡ به ۡينهنها بِ ۡال هح‬ ۡ ‫ع ٰلى دهاوده فهف ِهزعه مِ ۡن ُهمۡ قهالُ ۡوا هۡل تهخ‬
ُ ۡ‫هفۚ خهصۡ مٰ ِن به ٰغى بهع‬
‫ضنها ه‬ ‫ا ِۡذ ده هخلُ ۡوا ه‬
ِ ِ‫هس هوآٰء‬
ِ‫الص هراط‬
• Arti perkata

‫ع ٰلى هب ْعض‬
‫ه‬ ‫ضنها‬
ُ ‫هب ْع‬ ‫هب ٰغى‬
kepada sebagian yang lain sebagian dari kami berbuat zalim
‫به ْينهنها‬ ‫فها ْح ُك ْم‬
di antara kami maka berilah keputusan
‫اط‬
ِ ‫الص هر‬ ‫ا ِٰلى ه‬
ِ ‫س هوا ِء‬ ٰٓ ‫هوا ْه ِدنها‬ ْ ‫هو هۡل ت ُ ْش ِط‬
‫ط‬
ke jalan yang lurus serta tunjukilah kami dan janganlah menyimpang dari
kebenaran

• Arti Ayat
“Ketika mereka masuk menemui Dawud lalu dia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka
berkata, "Janganlah takut! (Kami) berdua sedang berselisih, sebagian dari kami berbuat zalim
kepada yang lain; maka berilah keputusan di antara kami secara adil dan janganlah
menyimpang dari kebenaran serta tunjukilah kami ke jalan yang lurus.”

• Asbabun Nuzul
Ayat ini muncul dalam konteks di mana orang-orang musyrik pada zaman Nabi
Muhammad SAW mencoba untuk meragukan dan mengejek ajaran tauhid yang diteruskan oleh
Nabi. Mereka menolak konsep penyembahan satu Tuhan yang diajarkan oleh Islam, dan
mereka bertanya-tanya tentang konsep tersebut dengan cara yang mengejek.Allah SWT
kemudian menyampaikan dalam ayat-ayat selanjutnya tentang kekuasaan dan tanda-tanda-Nya
di alam semesta sebagai bukti keberadaan-Nya yang satu-satunya yang patut disembah. Ayat
ini digunakan untuk menegaskan tauhid dan menanggapi pertanyaan atau ejekan yang diajukan
oleh musuh-musuh Islam saat itu.

• Tafsir Ayat
Tafsir Al- Mishbah

Ayat-ayat di atas menyatakan: Dan adakah telah sampai kepadamu, hai Nabi Muhammad,
berita orang-orang yang beperkara ketika mereka memanjat pagar mihrab tempat beribadah
Nabi itu dan bukan dari pintu masuk yang biasa? Ketika mereka masuk menemui Daud, maka
ia terkejut dan kepada mereka karena kedatangan mereka tanpa berita dan tidak melalui Pintu
biasa. Melihat keadaan Nabi Daud seperti itu, mereka berkata: “Janganlah takut, wahai Nabi;
karna adalah dua pihak yang sedang beperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim
kepada yang lain dan ingin mengambil hak saudaranya; maka berilah putusan antara kami
dengan yakni atas dasar kebenaran dan kenyataan objektif yang engkau lihat, dan janganlah
engkau, wahai Nabi, pergi terlalu jauh sehingga menyimpang dari kebenaran serta tunjukilah
kami ke jalan tengah.

Kata (‫ )تسوروا‬tasawwaru terambil dari kata (‫ ) سور‬Sür yaitu pagar. Kata(‫ )تسوروا‬tasawwaru
berarti mereka memanjat pagar.Kata ( ‫ )المحرب‬al-mihråb, berarti tempat melempar, berasal dari
kata ( ‫ )حراب‬hiråb semacam (lembing). Dari sini, kata tersebut diartikan benteng. Kata ini
berkembang maknanya sehingga dipahami juga dalam arti tempat shalat. Seakan-akan tempat
itu adalah tempat memerangi setan. Dalam perkembangan lebih jauh, kata mihråb digunakan
dalam arti tempat berdirinya imam guna memimpin shalat, tetapi bukan makna ini Yang
dimaksud oleh ayat di atas.

Kata (‫ )خصمان‬khashmån adalah bentuk dual dari kata ( ‫ )خصم‬khashm, sedang kata (‫)تسوروا‬
tasawwarü berbentuk jamak. Boleh jadi yang dimaksud dengan ( ‫ )خصمان‬khashmån adalah dua
kelompok yang masing-masing terdiri dari dua orang atau lebih sehingga kedua kelompok itu
berjumlah lebih dari tiga orang dan karena itu kata( ‫ )تسوروا‬tasawwaru menggunakan bentuk
jamak. Itu sebabnya penulis tidak menerjemahkan kata ( ‫ )خصمان‬khashmån dengan dua orang,
tetapi dua pihak. Dapat juga dikatakan bahwa mereka memang hanya berdua, tetapi di sini
digunakan bentuk jamak, karena bahasa Arab sering kali menggunakan bentuk jamak, walau
menunjuk hanya dua sosok, jika bentuk dualnya berat diucapkan seperti pada firman-Nya:

)‫ )فقد صغت قلو بكما‬fa qad shaghat qulubukumå (QS. at-Tahrim [661: 4) di sini kata ( ‫ )قلب‬qulnb
berbentuk jamak, walau secara ditujukan kepada dua orang, yakni dengan kata (‫ ) كما‬kuma.
Takut yang dialami Nabi Dåüd as. itu sama sekali tidak mengurang nilai kenabian beliau. Ini
justru menunjukkan sifat kemanusiaan beliau

Dalam kondisi dan situasi yang dialami Nabi Dâûd as. itu, pastilah akantimbul rasa takut.
Betapa tidak, ada orang yang datang tanpa janji, memanjat pagar, padahal tentu saja ada
penjaga di sekeliling istana Di sisi lain, takut yang dialami oleh para nabi lebih banyak
disebabkan oleh kekhawatiran akan kesudahan dakwahnya, bukan kekhawatiran atas diri
pribadinya, dan atas dasar tersebut takut semacam ini sama sekali tidak tercela.

Thâhİr İbn 'Âsyûr menekankan bahwa kata (‫ )فزع‬fazi'a yang digunakan ayat di atas untuk
menunjuk rasa takut Nabi Dâûd as. , bukan dalam arti rasa takut yang tercela, karena kata ( ‫فزع‬
) fazi'a mengandung makna yang lebih luas dari kata ( ‫ )خوف‬khauf yang juga diterjemahkan
dengan takut. Kata yang digunakan ayat di atas berarti keguncangan yang diakibatkan oleh
dirasakannya sesuatu yang mesti disingkirkan.

Tahabathaba’ membedakan antara dua macam takut. Takut yang mengakibatkan keguncangan
jiwa biasa dilukiskan dengan kata khasyyah, akut semacam ini merupakan sifat buruk dan
tercela, kecuali khasyyah kepada Allah. Oleh karena itu, para nabi tidak pernah memiliki rasa
khasyyah kecuali terhadap-Nya. Itulah yang dimaksud oleh kata khasyyah. Rujukan ke QS. al-
Ahzâb [33]:39.29 Sedang, takut yang dilukiskan dengan kata khauf berarti rasa takut yang
mendorong suatu aktivitas untuk menyiapkan langkah-langkah guna menghindari hal-hal yang
bersifat negatif dan menampik keburukan yang dikhawatirkan itu. Ini adalah sesuatu yang
terpuji, dengan catatan bahwa yang dikhawatirkan adalah sesuatu yang memang harus
dihindari, contoh makna kata khauf yang positif di antaranya adalah pada QS. al-Anfâ1 58.

Pada ayat di atas, yang mengadu tidak mempersalahkan lawannya, tetapi menyatakan bahwa:
(kami) adalah dua pihak yang sedang beperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim
kepada yang lain. Ini adalah puncak Objektivitas bagi seorang yang mencari kebenaran
sekaligus menggambarkan kesediaan dan ketulusannya mengikuti keputusan yang adil dari
hakim.Ucapan si pengadu berilah putusan antara kami dengan haq dipahami oleh al-Bİqâ'i
sebagai upaya mengingatkan sang hakim agar berusaha sekuat kemampuannya menetapkan
hukum dengan benar sehingga ia terhindar dari celaan bila terjadi kesalahan.

Kata ( ‫ )تشطط‬tusythith terambil dari kara ( ‫ )شطط‬syathath yang mulanya berarti terlalu jauh, baik
berkaitan dengan tempat maupun dalam putusan. Dari sini, kata tersebut diartikan juga dengan
berlaku tidak adil Al_ Biqâ'i memahami kalimat ini sebagai permohonan agar Nabi Dâûd as.
tidak terlalu jauh dan melampaui batas dalam menyusun redaksi penetapan hukum agar tidak
membingungkan mereka dan tidak juga terlalu jauh dalam segah hal, atau dalam arti jangan
terlalu jauh mencari-carii perincian persoalan karena yang bersangkutan rela dengan
putusannya yang haq—walau dalam bentuknya yang paling sedikit/rendah. Betapa pun ucapan
si pengadu di atas merupakan salah satu bentuk nasihat dan saling mengingatkan. Ia tidak wajar
dinilai sebagai sikap melecehkan hakim, apalagi İni diucapkannya sebelum datangnya putusan
sang hakim. Memang, kesan pelecehan dan keberatan itu bisa jadi terasa seandainya ucapan
tersebut disampaikan setelah jatuhnya putusan.

D. QS. Asyura 15
• Lafal Ayat

ُ ٰ ‫مِن ِك ٰتب ۚۚ هواُمِ ۡرتُ ِۡلهعۡ ِد هل به ۡينهكُ ُم ه‬


ۡ‫ّللا هربُّنها هو هربُّكُم‬ ۡ ‫ّللا‬ُ ٰ ‫فهل ِٰذلِكه ف ۡهادعُ ۚ هواسۡ تهقِمۡ هك هما اُمِ ۡرته ۚ هو هۡل تهتبِعۡ اه ۡه هوآٰ هءهُمۡ ۚ هوقُ ۡل ٰا هم ۡنتُ بِ هما اه ۡنزه هل‬
‫ص ۡي ُر‬ِ ‫ّللا يهجۡ هم ُع به ۡينهن ۚها هواِله ۡي ِه ۡال هم‬
ُ ٰ ‫لهـنها اهعۡ همالُـنها هولهـكُمۡ اهعۡ همالُكُمۡ ۚ هۡل حُجةه به ۡينهنها هوبه ۡينهكُ ُم ه‬

• Arti Perkata

‫ ك ا‬: tidak sekali kali jangan takut


‫هّل‬

‫ فهٱذْ هه هبا‬: maka pergilah kamu berdua

ٰٓ ‫ بِـَٔا ٰيهتِنه اا‬: dengan ayat ayat kami

• Arti Ayat

“Karena itu, serulah (mereka beriman) dan tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana
diperintahkan kepadamu (Muhammad) dan janganlah mengikuti keinginan mereka dan
katakanlah, "Aku beriman kepada Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan agar
berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami perbuatan kami
dan bagi kamu perbuatan kamu. Tidak (perlu) ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah
mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali."
• Tafsir ayat
Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad
14 H

“Maka karena itu serulah,” maksudnya, maka untuk Agama yang benar dan jalan yang lurus
yang karenanya Allah menurunkan kitab-kitabNya dan mengutus para rasulNya, serulah
umatmu kepadanya dan himbaulah mereka kepadanya serta tegakkanlah jihad karenanya
terhadap siapa saja yang tidak menerimanya. “Dan tetaplah,” yakni istiqamahlah kamu sendiri
“sebagaimana diperintahkan kepadamu,” yaitu istiqamah yang sejalan yang perintah Allah,
tidak ada sikap berlebihan ataupun mengabaikan, melainkan kepatuhan kepada perintah-
perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya secara kontinu. Jadi, Allah memerintahkan
NabiNya untuk menyempurnakan dirinya dengan menetapi istiqamah dan menyempurnakan
orang-orang lain dengan mengajak mereka kepada hal itu.

Dan suatu yang dimaklumi, bahwa perintah kepada Rasulullah itu adalah juga merupakan
perintah kepada umatnya apabila tidak ada nash yang mengecualikannya. “Dan janganlah
mengikuti hawa nafsu mereka,” maksudnya, hawa nafsu orang-orang yang menyimpang dari
Agama, yaitu orang-orang kafir dan kaum munafik. Mengikuti mereka bisa dengan mengikuti
sebagian ajaran agama mereka, atau dengan meninggalkan dakwah kepada Allah, atau dengan
mengabaikan istiqamah. Sebab, jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang
kepadamu ilmu, maka sesungguhnya engkau benar-benar termasuk orang-orang yang zhalim.

Allah tidak mengatakan: “Jangan kamu ikuti agama mereka, karena hakikat agama mereka
yang disyariatkan oleh Allah untuk mereka adalah agama para rasul semuanya, namun mereka
tidak mengikutinya, malah mengikuti hawa nafsu, dan mereka menjadikan agama sebagai
perbuatan sia-sia dan mainan. “Dan katakanlah” kepada mereka ketika berdebat dengan
mereka, “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah,” maksudnya, agar debatmu
kepada mereka berdasarkan prinsip yang sangat agung ini, yang menunjukkan kepada
kemuliaan Islam, kebesaran dan hegemoninya terhadap seluruh agama, dan bahwa agama yang
dianut oleh Ahlul Kitab itu hanyalah bagian dari Islam.

Di sini terdapat petunjuk bahwa Ahlul Kitab, jika mereka berdebat dengan suatu perdebatan
yang dilandasi iman (keyakinan) kepada sebagian kitab-kitab suci atau sebagian rasul dengan
mengabaikan yang lainnya, maka hal itu tidak boleh diterima. Sebab, Kitab suci yang mereka
serukan dan rasul yang mereka klaim itu di antara syaratnya adalah ia harus membenarkan al-
Quran ini dan nabi yang membawanya. Karena Kitab suci kita dan rasul kita tidak
memerintahkan kita melainkan supaya kita beriman kepada Nabi Musa dan Nabi Isa, Taurat
dan Injil yang al-Quran memberitakan dan membenarkannya, dan ia juga menginformasikan
bahwa Taurat dan Injil membenarkan al-Quran dan mengakui kebenarannya. Adapun kalau
hanya sekedar Taurat dan Injil, Musa dan Isa yang mereka akui, dan tidak mengaku kita dan
tidak menyetujui Kitab kita, maka kita tidak disuruh mempercayai mereka. firman-Nya, “Dan
aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu,” maksudnya, dalam memberikan
putusan di antara apa yang kalian perselisihkan. Maka permusuhan kalian dan kebencian kalian
terhadapku, wahai Ahlul Kitab, tidak akan menghalangiku untuk berlau adil terhadap kalian.
Termasuk adil dalam memberikan putusan di antara mereka yang memiliki banyak pendapat
yang berbeda-beda dari kaum Ahli KItab dan lain-lainnya adalah menerima kebenaran yang
ada pada mereka dan menolak kebatilan yang ada pada mereka.

“Allah adalah Rabb kami dan Rabb kamu,” maksudnya, Rabb bagi semua. Kalian tidak lebih
berhak daripada kami, “Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu,” yang
baik dan yang buruk, “tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu” setelah semua kenyataan
menjadi jelas dan kebenaran menjadi nyata dari yang batil, dan petunjuk dari kesesatan. Tidak
ada tempat lagi bagi berdebat dan bertengkar. Sebab maksud dari debat itu adalah menjelaskan
yang benar dari yang batil, agar orang yang jujur mendapat petunjuk, dan hujjah (argument)
tegak atas orang yang tersesat. Bagaimana tidak, sedangkan Allah sudah berfirman , “Dan
janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik,” -Al-
ankabut: 46.

Maka sesungguhnya yang dimaksud adalah apa yang telah kami jelaskan itu. “Allah akan
mengumpulkan antara kita dan kepadaNya- lah (semua akan) kembali pada Hari Kiamat kelak.
Lalu Dia akan memberikan balasan kepada masing-masing menurut perbuatannya, dan pada
saat itu akan terungkap yang benar dari yang dusta.

E. QS. Al-Maidah 42
• Lafal Ayat
ِ ُ ‫ارع ُۡونه ف ِۡي ِهمۡ يهقُ ۡولُ ۡونه ن ۡهخ ٰ ٰٓشى اه ۡن ت‬
‫ص ۡيبهـنها دهآٰٮ هرة‬ ِ ‫هـرى الذ ِۡينه ف ِۡى قُلُ ۡو ِب ِهمۡ م هرض يُّ هس‬ ‫ح اه ۡو فهت ه‬ ۡ ‫ّللا اه ۡن ي ۡات‬
ِ ‫ِى ِبالفه ۡت‬
‫ه‬ ُ ٰ ‫فه هع هسى‬
‫ع ٰلى هما اه هس ُّر ۡوا ف ِۡى اه ۡنفُسِ ِهمۡ ٰندِمِ ۡينه‬ ‫اهمۡ ر م ِۡن ع ِۡندِه فهيُصۡ ِبح ُۡوا ه‬
• Arti Perkata
‫ هجا ٰٓ ُءوكه‬: mereka datang kepadamu
‫ فهٱحۡ ُكم‬: maka putuskanlah
ِ‫ ِب ۡٱل ِقسۡ ۚط‬: dengan adil
• Arti Ayat
“Maka, kamu akan melihat orang-orang yang hatinya berpenyakit segera mendekati
mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, "Kami takut akan mendapat bencana."
Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada rasul-Nya), atau
sesuatu keputusan dari sisi-Nya, sehingga mereka menjadi menyesal terhadap apa
yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”
• Asbabun Nuzul

Ayat 42 dari Surah Al-Maidah dalam Al-Quran menceritakan sebuah peristiwa yang terjadi
pada masa Nabi Muhammad SAW. Ini terkait dengan sikap orang-orang Yahudi yang
menghadapkan beberapa masalah kepada Nabi Muhammad SAW tentang hukum-hukum
dalam agama mereka. Mereka meminta keputusan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin
Muslim dalam hal-hal yang mereka pertanyakan. Ayat ini menegaskan bahwa hukum yang
diberikan oleh Allah adalah yang tertinggi, dan Nabi Muhammad SAW harus mengikuti wahyu
Allah dalam memutuskan perkara-perkara agama. Hal ini menunjukkan pentingnya mengikuti
pedoman Allah dalam menjalani agama.

• Tafsir Ayat

(Mereka orang-orang yang gemar mendengar berita-berita bohong dan banyak memakan yang
haram) dibaca suht atau suhut; artinya barang haram seperti uang suap (maka jika mereka
datang kepadamu) untuk meminta sesuatu keputusan (maka putuskanlah di antara mereka atau
berpalinglah dari mereka) pilihan di antara alternatif ini dihapus/dinasakh dengan firman-Nya,
"..... maka putuskanlah di antara mereka." Oleh sebab itu jika mereka mengadukan hal itu
kepada kita wajiblah kita memberikan keputusannya di antara mereka. Dan ini merupakan yang
terkuat di antara kedua pendapat Syafii. Dan sekiranya mereka mengadukan perkara itu
bersama orang Islam, maka hukum memutuskan itu wajib secara ijmak. (Jika mereka berpaling
dari padamu, maka sekali-kali tidak akan memberi mudarat kepadamu sedikit pun juga. Dan
jika kamu memutuskan) perkara di antara mereka (maka putuskanlah di antara mereka dengan
adil) tidak berat sebelah. (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil) dalam
memberikan keputusan dan akan memberi mereka pahala.

• Penafsiran saya
1. Qs. An-Nisa 58
Tafsir ayat ini menekankan pentingnya berlaku adil dalam semua aspek kehidupan, terutama
dalam penghakiman dan penyelesaian sengketa. Selain itu, ayat ini juga mengingatkan agar
orang-orang yang memiliki amanat (tanggung jawab atau kepercayaan) untuk menjalankannya
dengan jujur dan amanah. Terkait dengan yatim, ayat ini menggarisbawahi perlunya
memberikan perlakuan yang adil dan baik kepada anak-anak yatim, dan tidak
menyalahgunakan harta mereka.

2. Qs. Al- An’am 152

Ayat ini menggarisbawahi pentingnya berlaku adil dan baik terhadap harta anak yatim.
Beberapa poin penting dalam tafsir ayat ini meliputi:Perlakuan Baik: Ayat ini mengajarkan
bahwa tidak boleh ada eksploitasi atau penyalahgunaan harta anak yatim. Orang-orang harus
memperlakukan anak yatim dengan baik dan tidak boleh mendekati harta mereka kecuali
dengan cara yang lebih baik dan adil. Mencapai Umur Dewasa: Pada prinsipnya, harta anak
yatim harus dijaga dan dikelola dengan baik hingga anak yatim tersebut mencapai usia dewasa
dan mampu mengelola harta mereka sendiri. Penuhi Janji: Ayat ini juga mengingatkan bahwa
janji yang dibuat, terutama terkait dengan tanggung jawab terhadap harta anak yatim, harus
ditepati. Allah mengingatkan bahwa janji-janji ini akan dimintai pertanggungjawaban di
akhirat

3. Qs Sad 22

Ayat ini menggambarkan perintah Allah kepada Nabi Daud AS, yang juga dikenal sebagai
seorang raja atau pemimpin. Beberapa poin penting dalam tafsir ayat ini adalah: Penunjukan
sebagai Khalifah: Allah telah menunjuk Nabi Daud AS sebagai khalifah (pemimpin atau wakil)
di muka bumi. Hal ini menggarisbawahi tanggung jawab besar yang diberikan oleh Allah
kepada pemimpin untuk menjaga dan mengelola masyarakat dengan adil. Berlaku Adil: Allah
memerintahkan kepada Nabi Daud AS untuk berlaku adil terhadap manusia. Ini adalah prinsip
dasar dalam Islam bahwa pemimpin harus memastikan keadilan dalam tindakan dan keputusan
mereka. Peringatan Terhadap Nafsu: Ayat ini juga memberikan peringatan kepada Nabi Daud
AS untuk tidak mengikuti hawa nafsu, karena hal ini dapat menyebabkan seseorang tersesat
dari jalan Allah. Ini menunjukkan pentingnya kesucian hati dan kesetiaan terhadap ajaran-
ajaran Allah. Azab Bagi Mereka yang Sesat: Ayat ini mengingatkan bahwa mereka yang sesat
dari jalan Allah akan menghadapi azab yang keras di akhirat, terutama jika mereka melupakan
hari perhitungan (hari kiamat).
4. Qs . Al-Syura 15

Ayat ini mengacu pada berbagai peristiwa dalam sejarah awal Islam, terutama hijrah (migrasi)
dan perjuangan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Ayat ini menggarisbawahi beberapa poin
penting: Allah tidak menyia-nyiakan amal perbuatan siapa pun, baik laki-laki maupun
perempuan, dan setiap orang akan diberi balasan sesuai dengan perbuatannya. Ayat ini merujuk
pada para sahabat yang berhijrah (migrasi) dan berperang di jalan Allah. Mereka yang
mengalami pengusiran dari kampung halaman mereka karena keimanan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Allah menjanjikan pengampunan dan pahala yang besar bagi mereka yang
melakukan hijrah dan berperang di jalan Allah, bahkan jika mereka terluka dalam proses
tersebut. Pahala dari Allah adalah yang terbaik dan kekal di akhirat.

5. Qs. Al-Maidah 42

Ayat ini menggambarkan situasi di mana orang-orang dari kalangan Bani Israel datang kepada
Nabi Muhammad SAW meminta putusan hukum dalam perkara mereka. Beberapa poin
penting dalam tafsir ayat ini adalah: Kepatuhan Terhadap Hukum Allah: Ayat ini menekankan
bahwa ketika orang-orang datang kepada Nabi Muhammad SAW untuk meminta putusan
hukum, seharusnya mereka merasa senang dan bersedia menerima hukum Allah yang diberikan
melalui Rasul-Nya. Ini menunjukkan pentingnya kesediaan untuk mengikuti ajaran Allah
dalam mengatasi sengketa. Kesetiaan dan Keimanan: Orang-orang yang beriman pada ajaran
Islam akan bersedia untuk mentaati perintah Allah. Mereka akan taat kepada hukum Allah dan
tidak meragukannya. Keraguan yang Nyata: Ayat ini juga mencatat bahwa keraguan yang nyata
hanya dimiliki oleh orang-orang yang memang sudah terlalu keras kepala dan menolak untuk
menerima hukum Allah
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam Al-Quran, terdapat beberapa prinsip-prinsip pokok yang berkaitan dengan penegakan
hukum, keadilan, dan kesetaraan di mata hukum. Beberapa prinsip tersebut mencakup:

5. Kepatuhan pada Hukum Allah: Al-Quran menekankan pentingnya patuh terhadap


hukum Allah dan perintah-Nya. Orang-orang dihimbau untuk mengikuti hukum-hukum
yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan hadits.
6. Keadilan dan Kesetaraan: Al-Quran menggarisbawahi prinsip bahwa semua individu
adalah setara di mata hukum. Tidak ada perbedaan berdasarkan suku, ras, agama, atau
status sosial. Hukum harus diterapkan dengan adil kepada semua.
7. Perlindungan Hak Asasi Manusia: Al-Quran menekankan pentingnya melindungi hak-
hak asasi manusia, seperti hak untuk hidup, kebebasan, dan keadilan. Hukum dalam
Islam harus melindungi hak-hak ini.
8. Pemisahan Kekuasaan: Al-Quran tidak secara eksplisit membahas pemisahan
kekuasaan seperti dalam konsep modern, tetapi prinsip keadilan dalam penegakan
hukum menuntut agar kekuasaan tidak disalahgunakan.
9. Pemberantasan Korupsi: Al-Quran dengan tegas mengutuk korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan. Para pemimpin dan penegak hukum harus menjalankan
tugas mereka dengan integritas.
10. Kepatuhan Terhadap Prosedur Hukum: Islam mendorong penggunaan prosedur hukum
yang adil dan transparan dalam menyelesaikan sengketa. Penegakan hukum harus
melibatkan penyelidikan yang benar dan pengumpulan bukti yang sah.
11. Kesadaran Hukum: Al-Quran mengajarkan umatnya untuk memiliki pengetahuan
tentang hukum-hukum Allah dan hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat
mereka. Pengetahuan ini membantu individu mematuhi hukum dengan benar.
12. Penegakan Hukum sebagai Bentuk Keadilan: Penegakan hukum dalam Islam dianggap
sebagai bentuk pelaksanaan keadilan. Tujuannya adalah untuk menjaga ketertiban dan
melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan yang merugikan.
13. Pengampunan dan Rahmat: Al-Quran juga mengajarkan konsep pengampunan dan
rahmat. Dalam beberapa kasus, penegakan hukum dapat memberikan peluang untuk
memperbaiki kesalahan dan mendapatkan pengampunan.

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. (2017). Tafsir Al-Mishbah, Tangerang: PT. Lentera Hati.

https://tafsirweb.com/1590-surat-an-nisa-ayat-58.html ( diakses 04-09-2023)

Asbabun Nuzul dan Tafsir Surat Al Anam Ayat 152 https://tirto.id/gqpx ( diakses 04-09-2023)

Anda mungkin juga menyukai