Anda di halaman 1dari 3

Nama : Tasya Rizky N.

NPM : 6052001444

Fokus utama Film Selma adalah menangkap esensi perjuangan Dr. Marthin Luther
King, Jr. saat berusaha memperjuangkan hak memilih para kaum kulit hitam yang tinggal di
Selma, Alabama. Perjuangan Dr. Marthin Luther King, Jr. kala itu adalah tentang cinta,
persatuan, dan menghindari kekerasan, setidaknya hal itulah yang digambarkan dalam film
tersebut. Dr. Marthin Luther King, Jr. dalam berbagai kesempatan berorasi didepan ratusan
orang, mengajak masyarakat kulit hitam untuk sadar, kemudian bangkit guna melawan
penindasan secara bersama-sama.
Muaknya Dr. Martin Luther King, Jr. terhadap diskriminasi rasial di Film Selma
yang berlatar belakang pengekangan hak-hak kesetaraan sipil membuat seorang Doktor yang
juga pendeta ini memutuskan untuk meninggalkan keluarganya di Atlanta dan segera bertolak
menuju Selma untuk membantu memperjuangkan hak-hak masyarakat kulit hitam setelah
sebelumnya ia mendapatkan nobel perdamaian di Oslo, Norwegia.
Berawal dari pengeboman gereja yang didalamnya berisi beberapa orang dan yang
menjadi korban adalah anak-anak negro, Dr. Martin Luther King, Jr. akhirnya tergerak untuk
melakukan sebuah unjuk rasa damai di Selma. Ia memberikan khotbah di gereja setempat
untuk memberikan motivasi kepada para warga kulit hitam yang kemudian mengajak mereka
untuk melakukan long march dari Selma ke Montgomery yg notabene ibukota negara bagian
Alabama atau yang disebut Montgomery March.
Dr. Marthin Luther King, Jr. adalah seorang yang lebih mengutamakan kepentingan
rakyat dibanding terhadap dirinya sendiri. Begitu cintanya Dr. Marthin Luther King, Jr.
kepada rakyat, saat ada salah satu dari mereka yang terluka atau bahkan tewas, dapat dilihat
dengan jelas luka mendalam yang dirasakan Dr. Marthin Luther King, Jr. Berangkat dari rasa
cinta itulah mengapa beliau selalu menegaskan tidak boleh ada kekerasan dalam setiap
demonstrasi. Bahkan disaat pihak kepolisian menghajar dan memukul para demonstran
dengan membabi buta, Dr. Marthin Luther King, Jr. selalu menginstruksikan untuk jangan
pernah melawan balik para polisi tersebut.
Sejalan dengan dasar perjuangan Dr. Marthin Luther King, Jr., konsepsi Hak Asasi
Manusia (HAM) secara universal telah diproklamasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Umum
HAM (DUHAM). Hak-hak dan kebebasan dasar yang dinyatakan oleh DUHAM dijabarkan
lebih lanjut ke dalam instrument internasional yang bersifat mengikat secara hukum. Dalam
sidang PBB tahun 1951, Majelis Umum PBB meminta kepada Komisi Ham PBB untuk
merancang dua kovenan tentang hak asasi manusia, yaitu konvenan mengenai hak sipil dan
politik, serta kovenan mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya.1
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) merupakan perjanjian
yang berisi tentang Hak Asasi Manusia (HAM). ICCPR (dengan dua protokal opsionalnya),
The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia/DUHAM) dan The International Convenant on Economic, Social, and Cultural
Rights (IESCR), membentuk apa yang disebut sebagai “The International Bill of Human
Rights”.2 ICCPR fokus pada hak-hak yang berkaitan dengan civil liberties dan hak-hak
politik, sementara ICESCR berfokus pada hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
ICCPR dan ICESCR memiliki karakteristik yang berbeda. Hak-hak ekonomi, sosial,
dan budaya merupakan hak-hak positif (positive rights), sedangkan hak-hak sipil dan politik
dikatakan sebagai hak-hak negatif (negative rights). Ada tiga konsekuensi dari pembedaan
ini, yang masing-masing dilihat dari segi pemenuhan hak, pelanggaran hak, dan pengajuan
tuntutan hukum atas pelanggaran hak. Pertama, dari segi realisasi hak, untuk merealisasikan
hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang diakui dalam kovenan diperlukan keterlibatan
negara. Sebaliknya sebagai hak-hak negatif, maka negara harus abstain atau tidak bertindak
dalam rangka merealisasikan hak-hak sipil dan politik yang diakui dalam kovenan. Kedua,
dari segi pelanggaran, dalam hak-hak positif dikatakan terjadi pelanggaran manakala negara
tidak berperan aktif dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebaliknya
dalam hak-hak negatif, justru ketika negara bertindak aktif, dikatakan terjadi pelanggaran
hak-hak sipil dan politik. Ketiga, dari segi pengajuan tuntutan hukum, sebagai hak-hak
positif, maka hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak dapat dituntut di muka pengadilan.3
Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masing jarang diperhatikan dibandingkan
dengan hak-hak sipil dan politik. Masalah yang berkaitan dengan watak hukum hak ekonomi
dan sosial lebih terkait dengan penerapannya. Pemenuhan atas hak ekonomi, sosial, dan
budaya juga dikaitkan dengan kemampuan negara. Hak ekonomi dan sosial karena wataknya
juga tidak dapat diadili (non-justiciable) dalam arti bahwa hak-hak itu tidak dapat dituntut
dalam sidang pengadilan. Sebagai contoh, orang yang kehilangan pekerjaannya tidak dapat
1
ICCPR, http://www.pbhi.or.id/documents/regulasi/iccpr-1996isipol.pdf, diakses pada tanggal 13
Mei 2023, pukul 14.23 WIB.
2
Ibid.
3
Anak Agung Sri Utari, Penegakan Hukum Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, 2015, hlm. 2.
menuntut negara ke muka pengadilan, sedangkan orang yang disiksa oleh aparatur negara
dapat menuntut ke pengadilan.4
Nurul Qamar mengelompokkan socio economic rights di dalamnya meliputi: right
to work (hak untuk bekerja), equal pay for equal work (hak untuk mendapatkan upah yang
sama dari pekerjaan yang sama); no forced labour (larangan kerja paksa), trade union (serikat
pekerja atau buruh), organize and bargaining (mengatur dan tawar menawar), restand and
leisure (hak cuti dan libur), adequate standar of living (standar kehidupan yang layak), right
to food (hak untuk mendapatkan makanan), right to health (hak untuk mendapatkan
kesehatan), right to housing (hak untuk mendapatkan tempat tinggal), right to education (hak
untuk mendapatkan pendidikan).5 Sementara The International Convenant on Economic,
Social, and Cultural Rights mengakui hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial, dan
budaya, yakni: hak atas pekerjaan (Pasal 6), hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan
menyenangkan (Pasal 7), hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh (Pasal 8), hak atas
jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), hak atas perlindungan dan bantuan yang
seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda (Pasal 10), hak atas standar
kehidupan yang memadai (Pasal 11), hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental
yang tertinggi yang dapat dicapai (Pasal 12), hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14), dan hak
untuk ikut serta dalam kehidupan budaya (PasaI15). 6 Perwujudan HAM sepenuhnya adalah
kewajiban negara. Negara harus menjalankan kewajiban pemenuhan HAM dalam bentuk
antara lain penghormatan (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil).

4
Ibid., hlm. 7.
5
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia Dalam Negara: Hukum Demokrasi (Human Rights in
Democratiche Rechtstaat), cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 98.
6
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya)

Anda mungkin juga menyukai