Anda di halaman 1dari 29

 Jurnal At-Tajdid 

KONSEP TAZKIYATUN NAFS TERPADU


SEBAGAI UPAYA MENGEMBALIKAN
SAKRALITAS PROFESI GURU DALAM
PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER
Ikhwan Fuad 
Abstract: This article elaborates on how to restore the scredness of
teaching profession through the concept of integrated tazkiyatun
nafs. Scredness in the teaching profession is considered essential to
bring education that has soul and can inspire students in accordance
with the purpose of education. Efforts to restore the teaching
profession scredness with the concept of integrated tazkiyatun nafs
using two approaches, normative-theological and juridical-
sociological. In the normative-theological approach Tazkiyah
understood as a concept of self-purification of the properties
reprehensible and adorn themselves with noble character according
to the guidelines of al-Quran and as- Sunnah. While the socio-
juridical approach tazkiyah interpreted as teacher capacity
development efforts both individually by the teacher concerned as
well as from outside the educational environment in- cludes
government as education providers, as the administrator of the policy
holder at the unit level of education, and the community as us- ers of
educational services.

Keywords: tazkiyatun nafs, scredness, the teaching profession.

PENDAHULUAN
Dalam ajaran Islam, profesi guru merupakan profesi yang luhur dan
amat mulia. Guru memegang peranan yang sangat penting dan tanggung
jawab yang besar dalam pembentukan sebuah generasi. Islam datang de-
ngan pendidikan sebagai salah satu tema sentral ajarannya. Rasululullah
SAW sebagai pembawa risalah Islam dikenal sebagai ‘pendidik kema-
nusiaan’ (educator of mindkind).1 Dalam sabdanya Rasulullah menyata-

* Dosen Tetap STIT Muhammadiyah Pacitan


91
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

kan ‘Al-Ulama’ Waratsatul Anbiya’ (Ulama adalah pewaris para Nabi). 2


Ahmad Syauki Bek, seorang penyair berkebangsaan Mesir menggam-
barkan ‘sosok guru’ dalam syairnya:3

‫قـــــم للمعلم وفــه التبجــــــــــيل كاد العــــــــــلم أن يكون رسول‬


“Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaaan, seorang guru
itu hampir-hampir saja menyerupai seorang rasul”.

Konsep guru dalam pandangan Islam tersebut di atas tampaknya


menjadi suatu hal yang sulit ditemukan dewasa ini. Profesi guru
dalam masyarakat kontemporer jauh berbeda dengan guru di masa
lampau se- bagai profesi yang memiliki kedudukan lebih dibanding
profesi yang lain. Guru sebagai sosok yang arif dan bijaksana, kini
tidak lebih dari sekedar fungsionaris pendidikan yang bertugas
mengajar dengan kua- lifikasi keilmuan tertentu. Guru melaksanakan
‘pekerjaan mengajar’ ke- mudian memperoleh imbalan materi dari
negara sebagai penyelenggara pendidikan atau pihak swasta pengelola
pendidikan lainnya. Selain itu, guru yang semestinya menjadi teladan
bagi siswanya, justru menjadi sa- lah satu “penyakit pendidikan” yang
harus diobati. Kasus-kasus seperti anjuran menyontek masal oleh
oknum guru, kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak didik,
demonstrasi kenaikan gaji dan lainnya se- makin memperburuk citra
profesi guru.
Nilai ‘sakral’ yang selama ini melekat pada profesi guru dirasakan
mulai luntur seiring dengan berkembangnya pandangan bahwa
profesi guru sama dengan profesi lainnya. Akibatnya, pendidikan
menjadi ke- hilangan ruh dan tidak mampu lagi menginspirasi
generasi bangsa ka- rena dijalankan tanpa adanya keteladanan yang
cukup (nirketeladan). Pengajaran di kelas-kelas tidak ubahnya sebuah
transaksi jual beli jasa/ ilmu pengetahuan yang kosong akan nilai
(values) meskipun beragam model pembelajaran dan kurikulum
diterapkan. Pada taraf berikutnya, pendidikan hanya mampu
menghasilkan manusia pintar-pintar budak industrialisasi yang jauh
dari tuhan dan kemuliaan adab.
Desakralisasi profesi guru dalam pandangan penulis akan

92 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli


Ikhwan
memba- wa dampak yang tidak baik bagi dunia pendidikan. Tujuan
pendidik-

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 93


Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

an kepada pembentukan pribadi yang unggul akan sulit tercapai,


sebab guru sebagai figur sentral pendidikan telah kehilangan
idealismenya. Lembaga pendidikan akan mudah menyerah dan
berkompromi dengan realitas jika tidak memiliki guru-guru yang
teguh memegang prinsip dan kebenaran. Pendidikan juga takut untuk
memasang target-target yang ideal dan cenderung menuruti kemauan
siswa (baca: pasar pendi- dikan) untuk sekedar lulus dan mencari
ijazah. Padahal, pendidikan di- konsep dalam rangka menambah
ilmu, membentuk sikap, karakter dan pribadi yang mulia.4
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji
tentang kesakralan profesi guru yang mulai luntur. Ada kegelisahan
pada benak penulis tentang apa yang menyebabkan fenomena
kesenjangan ini terja- di dan bagaimana solusi yang ditawarkan untuk
mengatasi permasalah- an tersebut. Intinya bagaimana mengembalikan
sakralitas profesi guru.

PROFESI GURU DALAM PERADABAN ISLAM DAN BANGSA-BANGSA DI


DUNIA
Guru dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai orang
yang pekerjaannya atau mata pencahariannya mengajar. 5 Berdasarkan
pe- ngertian ini guru dalam kehidupan masyarakat merupakan salah
satu dari profesi-profesi yang ada, misalnya profesi dokter, petani
dan lain- nya. Sebagai suatu profesi maka sebenarnya guru tidak
dapat dilaksa- nakan oleh sembarang orang yang tidak memiliki
keahlian di bidang keguruan, meskipun pada kenyataannya masih
banyak ditemukan. Hal ini senada dengan definisi yang diajukan
oleh Laurence dan Jonathan Mc sebagaimana dikutip Ummi
Mahmudah dan Abdul Wahab Rasyidi yang menegaskan bahwa
teacher is professional person who conduct clas- ses (guru adalah
pribadi yang profesional dalam mengatur kelas).6
Dalam Islam ada banyak istilah yang digunakan untuk
menunjuk- kan makna guru antara lain ustadz, mu’allim, murobbi,
mursyid, mudar- ris dan muaddib.7 Secara umum makna dari istilah-
istilah tersebut sama, namun secara spesifik masing-masing memiliki
makna yang membe- dakan satu sama lain. Istilah ustadz misalnya
94 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli
Ikhwan
memiliki makna Mu’allim yaitu orang yang mengajar, namun dalam
tradisi di Timur Tengah kata

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 95


Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

ustadz sering digunakan untuk penyebutan profesor atau guru besar.


Sementara istilah murobbi dari kata robba yang artinya mendidik
dan menumbuhkembangkan dekat dengan makna mu’addib yaitu
orang melatih dan mendidik akhlak. Adapun mudarris dari kata
darasa yang maknanya menghadap dan fokus pada sesuatu serta
menjaganya.8 Dari istilah-istilah tersebut, di Indonesia istilah ustadz
lebih familiar diguna- kan dari istilah lainnya yaitu untuk menyebut
guru agama laki-laki.9
Sebagai sebuah profesi yang khusus, jabatan guru memiliki
syarat dan kriteria tertentu dalam sebuah komunitas masyarakat.
Misalnya National Education Association (NEA) menyarankan kriteria
untuk pro- fesi keguruan antara lain:
1. Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
2. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
3. Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama
diban- dingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan yang
bersifat umum belaka.
4. Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang
berkesinam- bungan.
5. Jabatan yang menjanjikan karir hidup dan keanggotaannya
perma- nen.
6. Jabatan yang menentukan baku/standarnya sendiri.
7. Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan
pri- badi.
8. Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan
ter- jalin erat.10

Dengan memenuhi kriteria-kriteria di atas maka wajar jika


profesi guru dianggap sebagai profesi yang khusus, bahkan sering
disebut seba- gai ibu dari semua profesi. Tingginya kedudukan
seorang guru terkait erat dengan pemenuhan kriteria-kriterianya.
Hanya orang-orang khusus dan terpilih yang dapat menjadi guru
sehingga ia patut dihormati dan diberikan kedudukan istimewa.
Profesi guru dalam peradaban Islam memiliki kedudukan yang
tinggi. Banyak ayat al-Quran dan Hadits Nabi yang memuji guru

96 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli


Ikhwan
seba-

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 97


Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

gai orang yang dikarunia Ilmu oleh Allah dan menjadi pelita dalam
ke- hidupan manusia. Allah meninggikan derajat orang-orang yang
diber- ikan Ilmu beberapa derajat di atas orang beriman lainnya,
seperti yang difirmankan Allah SWT:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu,
“Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkan-
lah, niscaya Allah akan Memberi kelapangan untukmu. Dan apabi-
la dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan
Mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha
Teliti apa yang kamu kerjakan”.11

Penghargaan Islam yang begitu tinggi terhadap profesi guru


sebe- narnya merupakan realisasi ajaran Islam sendiri. Islam datang
dengan pendidikan sebagai salah satu tema sentralnya dan Rasulullah
adalah guru pertama dalam sejarah Islam. Rasulullah menegaskan
dalam sabda- nya: “innamaa bu’itstu liutammima makarima al-akhlaq”
(Bahwasanya aku diutus untuk tujuan menyempurnakan akhlak yang
mulia).12 Dalam hadits lain disebutkan: ... innama bu’itstu mu’alliman
(aku hanya diutus untuk menjadi seorang pendidik).13
Guru sebagai sumber ilmu dan moral memiliki kedudukan khusus
dalam masyarakat Islam sepanjang sejarah. Guru memiliki hak-hak is-
timewa yang wajib ditunaikan oleh masyarakat, khususnya orang-orang
yang mengambil ilmu darinya. Hal ini tergambar dari penjelasan sahabat
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu sebagai berikut:
“Diantara hak orang berilmu (guru) atas dirimu adalah: hendaknya
engkau mengucapkan salam kepada semua yang hadir (dalam maje-
lisnya), memberi salam hormat kepadanya secara khusus, duduklah
tenang dihadapannya, jangan menunjuk jari ke arahnya, jangan me-
mandang tajam ke arahnya, jangan terlalu banyak mengajukan per-
tanyaan kepadanya, tidak membantunya dalam memberi jawaban,
tidak memaksakannya ketika ia letih, jangan mendebatnya jika dia
tidak menginginkannya, jangan memegang bajunya ketika ia hendak
bangkit, janganlah engkau membocorkan rahasianya, janganlah
meng- gunjingnya di hadapan orang lain, jangan mencari-cari
kesalahannya, jika ia berbicara salah maka hendaklah engkau
memakluminya, eng-

98 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli


Ikhwan

kau tidak boleh berkata di hadapannya “kudengar Fulan berkata be-


gini yang berbeda dengan pendapatmu”, jangan katakan di hadapan-
nya bahwa dia adalah seorang ulama, jangan terus menerus menyer-
tainya, janganlah sungkan-sungkan berbakti kepadanya, jika dike-
tauhi dia memiliki suatu keperluan, maka hendaknya engkau segera
memenuhinya. Kedudukan guru seperti pohon kurma, sedang engkau
menunggu-nunggu apa yang akan jatuh darinya”.14

Penghargaan Islam terhadap guru dengan hak-hak yang


istimewa sebagaimana disebutkan di atas menjadi tradisi dalam
peradaban Islam yang dijaga sepanjang sejarah. Pada masa Khalifah
Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu seorang guru Al-Quran
diberikan gaji oleh negara sebesar 15 dinar setara dengan
33.870.000,- (1 dinar = 4,25 gram/ Rp. 2.258.000,-).15 Selain itu
ulama dalam tradisi pemerintahan Islam dari masa khulafaurrasyidun
hingga kekhalifahan Turki Utsmani, ulama di- jadikan penasehat para
khalifah dengan gelar kenegaraan Syaikul Islam yang berfungsi
memperkuat legitimasi pemerintahan Islam.16
Dalam kebudayaan Romawi dan Yunani, sejak era paganisme sam-
pai masa kristen menempatkan guru pada kedudukan terpandang.
Sejarah mencatat nama seperti Aristoteles, Plato, Isokrates dan
lainnya, merupakan guru-guru mulia di publik Yunani. Setelah
Kristen datang, guru masih memiliki peran yang sentral dalam
kehidupan masyara- kat mendidik manusia menjadi ‘santo’ (kudus)
seperti tuhan yang oleh orang-orang kristen disebut dengan virtus
cristiana dan charitas chris- tiana. Surat-surat yang ditulis oleh para
pendeta seperti Paulus dijadi- kan acuan dalam mengembangkan
masyarakat dengan pendidikan yang lebih baik.17
Dalam kebudayaan Cina Tionghoa dianggap sebagai pengajar
yang menurunkan patokan etika moral, pengetahuan dan konsep
nilai. Menghormati guru dan mementingkan ajarannya adalah tradisi
kebaji- kan bangsa tionghoa. Untuk melindungi martabat guru, tidak
hanya me- nuntut murid berprilaku hormat dan sopan, akan tetapi
lebih dari pada itu murid harus berbakti dengan tulus melakukan
segala hal sesuai pe- rintah guru. Sejarah mencatat beberapa nama guru
masyhur di kalangan

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 99


Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

bangsa Tionghoa seperti Kongfutse (Konghucu), Zengshen yang murid-


nya tersebar ke semua negara.18
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, guru pernah mempunyai
kewibawaan yang tinggi di tengah masyarakat karena dianggap
sebagai orang yang serba tahu. kata Guru tidak hanya mendidik anak di
kelas, te- tapi juga mendidik masyarakat, tempat bertanya baik untuk
menyelesai- kan masalah pribadi atau pun masalah sosial. Tidak heran
jika kata guru dalam masyarakat Indonesia sering diartikan yang
digugu dan ditiru. Ketulusannya dalam menyampaikan ilmu dan
mendidik bangsa diseja- jarkan dengan pahlawan yang mengorbankan
harta, jiwa dan raga untuk memerdekakan bangsa dengan satu predikat
pahlawan tanpa tanda jasa. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa
profesi guru adalah pro-
fesi yang prestise hampir di semua peradaban manusia. Penghargaan
ter- hadap guru sebagai sumber ilmu dan moral tersebut diwujudkan
dengan memberikan hak-hak istimewa, memenuhi segala kebutuhannya
hingga memberikan posisi dalam struktur politik pemerintahan
sebagai pena- sehat khalifah atau raja.

SAKRALITAS PROFESI GURU DAN PENYEBAB KELUNTURANNYA


Sakral secara etimologis memiliki pengertian: keramat, suci, dan
kerohanian.19 Kesakralan menurut Emile Durkheim memiliki penger-
tian superior, sangat kuasa, terlarang dari hubungan normal dan
pantas mendapatkan penghormatan tinggi. Sedangkan Micca Eliade
mengar- tikan kesakralan sebagai wilayah supernatural, hal-hal yang
luar biasa, mengesankan dan penting, penuh substansi dan realitas,
wilayah keter- aturan dan kesempurnaan, leluhur, pahlawan dan
dewa.20 Adapun se- cara terminologis sakralitas merupakan keadaan
yang mempromosikan perjumpaan dengan-Nya untuk membawa
seseorang keluar dari alam duniawi atau historisnya, memproyeksikan
ke suatu alam yang berbeda kualitasnya, suatu dunia yang benar-benar
berbeda, bersifat transenden dan suci.21
Kesakralan profesi guru sebagaimana definisi di atas dalam
prak- tiknya dapat disaksikan secara nyata dalam sejarah pendidikan
Islam

10 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli


Ikhwan

di Indonesia. Dalam tradisi di sebagian pesantren (utamanya pesan-


tren salaf) misalnya masih didapatkan kebiasaan santri membungkuk
dan mencium tangan Kyai. Bahkan. konon ada santri yang tidak
berani buang air kecil menghadap rumah Kyai meskipun dalam
ruangan ter- tutup karena takut kualat apalagi doa Kyai diyakini
mujarab. Jika tidak menghormati guru atau Kyai maka ilmu yang
dipelajari akan sia-sia ka- rena tidak barakah.
Nilai sakral profesi guru ini bila ditelisik melalui pendekatan
nor- matif dengan melihat nash-nash dari al-Quran dan as-Sunnah
disimpul- kan sumbernya tidak lepas dari Ilmu itu sendiri yang
berasal dari sisi Allah SWT. Allah dalam hal ini adalah murabbi
seluruh alam sehingga hubungan guru dengan murid dalam Islam
lebih pada suatu hubung- an yang memiliki nilai kelangitan.
Demikian pula dengan pendekatan budaya, unsur keyakinan yang
transenden nampak kuat dalam meman- dang sosok guru yang
dianggap memiliki kelebihan dibandingkan ma- nusia pada
umumnya. Bahkan pada sebagian peradaban seperti kristen Romawi
atau Cina Konghucu guru merupakan representasi sifat kesem- purnaan
Ilahi.
Kesakralan profesi guru dalam Islam berbeda dengan
kesakralan- nya dalam ajaran agama lain yaitu tidak bersifat mutlak
pada dzat atau sosok individu guru, tetapi bersifat muqoyyad dengan
ilmu yang di- kuasai dan diamalkannya. Artinya hanya dengan
menguasai ilmu dan mengamalkan ilmu yang dikaruniakan Allah
kepadanya, maka seorang guru dihormati dan dimuliakan. Adapun
dalam ajaran Hindu, Budha, Konghucu dan mitisisme lain yang
meyakini guru sebagaimana juga raja yang merupakan representasi
tuhan yang mutlak diikuti dan ucapannya selalu dianggap benar.
Kewibawaan dan kesakralan profesi guru bagaimana pun itu
lam- bat laun mulai memudar. Di era sekarang, profesi guru bukan lagi
profesi yang sakral, bahkan dianggap kalah gengsi dari jabatan lainnya
yang me- miliki pendapatan dan prestise yang lebih baik. Menurut
Adian Husaini, memudarnya kewibawaan dan tidak adanya lagi
penghormatan kepa- da guru (ulama) sebagai pendidik dan
pembimbing umat tidak lain di-
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 10
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

sebabkan oleh masuknya sistem keilmuan Barat yang sekuler ke


dalam sistem pendidikan Islam. Sistem Barat tersebut berakar dari
tradisi ke- ilmuan Yunani cenderung memisahkan antara orang-orang
pintar de- ngan orang-orang shalih.22
Di Barat, banyak ilmuwan yang pintar dan dihormati oleh
masya- rakat meskipun amal dan akhlaknya bejat. Paul Jahnson
dalam buku- nya Intelectuals sebagaimana dikutip Adian memaparkan
kehidupan dan moralitas sejumlah ilmuwan besar yang jadi rujukan
keilmuan seper- ti Jean Jaques Ruosseau, Henrik Ibsen, Karl Max,
Ernest Hemingway, Sigmund Freud dan lainnya yang kacau bahkan
tidak jelas agama apa yang dianut dan bagaimana amalan-amalan
dan ritual ibadahnya. Adapun dalam ajaran Islam, ada tradisi
penyatuan antara ilmu dengan amal. Hal ini tergambar dari konsep
fasiq dalam ilmu jarh wa tadil (ba- gian dari ilmu hadits) dimana
seorang yang meskipun berilmu tinggi te- tapi berbuat jahat dan
akhlaknya rusak terkenal kategori fasiq maka ilmu dan khabar yang ia
bawa perlu diklarifikasi. Dari tradisi inilah lahir il- muwan yang
berilmu tinggi seperti para imam madzhab, Imam Bukhari, Al Ghazali
dan lainnya. Mereka dikenal bukan hanya sebagai ilmuwan, tetapi
juga sebagai mujahid dan ahli ibadah.23
Pendapat lain dikemukakan oleh Sanusi sebagaimana diku-
tip Soetjipto dan Raflis Kokasi bahwa kewibawaan guru memudar
se- jalan dengan antara lain kemajuan zaman, perkembangan
teknologi, dan kepedulian guru masa kini meningkat tentang imbalan
atau balas jasa.24 Di era teknologi informasi seperti sekarang ini, guru
bukan lagi satu-satunya sumber ilmu dan tempat bertanya bagi
masyarakat. Televisi dan internet misalnya diakui telah banyak
memberikan pengaruh bagi manusia dan kebudayaan. Arus informasi
yang cepat dan instan ber- peran penting dalam merubah tatanan nilai
dalam masyarakat modern. Tradisi dan nilai-nilai budaya Barat
diterima tanpa filterisasi membawa masyarakat yang religius dan sarat
dengan nilai-nilai yang sakral kepada masyarakat yang rasional dan
materistis.
Motivasi dan faktor-faktor ekonomis telah benar menggeser konsep
dan citra guru. Nilai sakral pahlawan tanpa tanda jasa kehilangan
10 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli
Ikhwan
sub-

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 10


Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

stansi menjadi lirik-lirik formal dalam lagu-lagu pujian terhadap


guru. Pemogokan dan demonstrasi guru menuntut kenaikan gaji
menunjuk- kan turunnya kualifikasi moral guru yang tidak ada bedanya
dengan bu- ruh pabrik dan pembantu rumah tangga. Menonjolnya
motivasi eko- nomi dan hilangnya keikhlasan dalam profesi guru
juga dicerminkan melalui ngobjek ke sana sini guru honorer yang
digaji tidak manusiawi. Sofyan Sauri berpendapat bahwa peran guru
dalam mengajar saat ini hanya sekedar menggugurkan kewajiban
tanpa disadari bahwa mendi- dik adalah tugas dari Allah yang akan
dimintai pertanggung jawaban di akhirat.25 Hilangnya rasa tanggung
jawab dari seorang guru berimplikasi pada kualifikasi keilmuan dan
moral serta penurunan skill keguruan se- perti rendahnya keterlibatan
guru dalam kegiatan intelektual, minimnya latihan dan persiapan
dalam mengajar dan lain sebagainya.
Dari uraian pendapat para pakar pendidikan di atas penulis me-
narik kesimpulan bahwa faktor penyebab memudar atau lunturnya
sak- ralitas profesi guru dapat dikategorikan menjadi faktor-faktor
yang ber- asal dari dalam diri guru (faktor internal) dan faktor-faktor
yang berasal dari luar (faktor eksternal). Faktor-faktor internal
penyebab lunturnya sakralitas profesi guru antara lain hilangnya
keikhlasan pada diri guru, kurangnya kesadaran rasa jawab bahwa
mendidik adalah amanat tugas dari Allah, kurangnya rasa tanggung
jawab terhadap amanah dan me- lemahnya skill keguruan. Adapun
faktor-faktor yang berasal dari luar antara lain masuknya sistem
keilmuan Barat yang sekuler dalam pen- didikan Nasional dan
pendidikan Islam secara umum, pergeseran nilai akibat arus
perkembangan zaman dan teknologi informasi.

KONSEP TAZKIYATUN NAFS TERPADU DALAM PROFESI KEGURUAN


Dalam paparan sebelumnya telah dijelaskan bahwa menjadi
seorang guru merupakan panggilan jiwa (nafs) sebagai tugas mulia
dari Allah yang menciptakan kehidupan. Tanggung jawab yang
diemban dalam profesi guru dalam pendidikan Islam berkaitan erat
dengan nilai-nilai sakral yang transenden. Permasalahaan tentang
memudarnya wibawa guru dan lunturnya sakralitas di dalamnya

10 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli


Ikhwan
disebabkan oleh banyak fak- tor, baik internal maupun eksternal.
Apabila diperhatikan, faktor-faktor

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 10


Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

tersebut tidak lepas dari persoalan jiwa (nafs), maka penulis berpendapat
bahwa tazkiyatun nafs adalah metode yang tepat dalam mengatasi perso-
alan. Tazkiyah merupakan kunci kesuksesan pendidikan dan pengajaran
Nabi SAW sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran:
ِّ ُ
َْ ْ
ُ َُ ْ َُ
َ َ ْ ْ ََ َُْ ْْ
ُ َ َ ََ َ ُ
‫تي لوعليِهم يآ اِتِه و يزكيِهم و يعلمهم ا ل ِكتاب‬ ‫هوالذي ب عث ِف ا ألميني ر سول م نهم‬
ِّ ِّ ِّ َ ُ ْْ

‫َ والِكَ مَ ة َ وِإن كانوِامن قْبل لَِفي َضَلٍل ُّمِبنٍي‬


Dia-lah yang Mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta hur-
uf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada
mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka
benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS. Al Jumuah: 2).

Kata tazkiyah berasal dari bahasa Arab yaitu mashdar dari kata
zak- ka yang berarti pembersihan dan penyucian serta pembinaan dan
jiwa menuju kepada kehidupan spiritual yang tinggi. Menurut Said
Hawwa, tazkiyah secara etimologi memiliki dua makna pokok yaitu
penyucian dan pertumbuhan/perkembangan. Tazkiyah dalam arti
pertama ber- makna membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela,
sedangkan tazkiyah dalam arti kedua bermakna menumbuhkan dan
memperbaiki jiwa de- ngan sifat terpuji.26 Kata lain yang dekat
dengan makna tazkiyah adalah kata tathhir dari kata thahara yang
artinya juga membersihkan, hanya saja tathhir lebih kepada makna
membersihkan jiwa sesuatu yang bersi- fat material yang bisa diindra
seperti kotoran, najis dan sebagainya, se- dangkan makna tazkiyah
mengarah kepada pembersihan yang bersifat immaterial misalnya
membersihkan diri dari angan-angan kosong, naf- su jahat, dan
sebagainya.27
Hampir dalam semua kamus Arab dinyatakan bahwa kata tazkiyah
memiliki dua arti yaitu penyucian dan pengembangan sebagaimana
di- sebutkan di atas. Namun demikian para ahli bahasa berbeda
pendapat mana di antara kedua makna tersebut yang lebih mendasar.
Frase taz- kiyatun nafs seperti banyak diakui oleh para ahli tafsir

10 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli


Ikhwan
(mufassir) dapat diartikan penyucian jiwa atau pun
penumbuhan/pengembangan jiwa,

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 10


Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

akan tetapi dalam banyak ayat makna yang pertama lebih ditekankan
dengan alasan-alasan teologis. Hal itu tidak lain dikarenakan
kewajib- an primer seorang Muslim adalah tunduk kepada Allah, dan
ini tidak mungkin tercapai kecuali dengan membersihkan diri dari
hal-hal yang dibenci Allah.28 Maka terkait dengan topik pembahasan
mengenai upaya mengembalikan sakralitas profesi guru ini, penulis
mengakomodasi ke- duanya sebagai konsep tazkiyatun nafs terpadu.

TAZKIYATUN NAFS DALAM MAKNA PENYUCIAN JIWA (PENDEKATAN


NORMATIF-TEOLOGIS)
Tazkiyatun nafs dalam makna penyucian jiwa mencakup segala
usa- ha yang dilakukan guru sebagai pribadi yang mengharapkan
perjumpa- an dengan Tuhannya. Guru harus terlebih dahulu
membersihkan jiwa- nya dari noda-noda ruhani dan penyakit-
penyakit hati sebelum mendi- dik dan mengajari umat. Allah
mengecam guru (pemuka agama) Yahudi yang menyuruh pengikutnya
melakukan kebajikan sedang mereka lupa pada diri mereka sendiri
untuk berbuat kebajikan.29 Oleh karena itu da- lam pendidikan Islam,
konsep tazkiyah dan ta’dib lebih diutamakan dari konsep tarbiyah dan
ta’lim.
Adapun metode tazkiyatun nafs menurut al-Quran dan as-
Sunnah sebagaimana disarikan Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam kitab
Minhajul Muslim30 mencakup 4 langkah antara lain:
1. Memperbanyak taubat yaitu menyucikan diri dari dosa dan maksiat
dengan menyesali segala dosa yang dilakukan dan bertekad
untuk tidak kembali kepada dosa tersebut (dalil QS. An-Nur: 31).
2. Muraqabah yaitu merasakan bahwa setiap gerak-geriknya dalam
kehidupan selalu diawasi oleh Allah SWT, ia yakin bahwa Allah
mengetahui segala yang ia rahasiakan dan memerintahkan
malai- kat untuk mencatatnya.
3. Muhasabah yaitu mengadakan introspeksi terhadap apa yang
telah ia lakukan sepanjang hidupnya apakah amalannya pantas
diteri- ma oleh Allah dan mendapatkan balasan. Jika tidak ia
merasa tidak pantas ia akan memperbaikinya dengan istighfar dan
mujahadah.
10 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli
Ikhwan

4. Mujahadah yaitu sikap bersungguh-sungguh dalam memerangi


hawa nafsu yang cenderung menyeretnya kepada kejahatan dan
membuatnya malas dalam berbuat kebajikan.

Apabila seorang guru melakukan langkah-langkah di atas,


niscaya akan mampu melaksanakan tugas sesuai dengan kode etik yang
telah di- tetapkan antara lain:
1. Ikhlas menerima segala problem peserta didik dengan hati yang
tabah dan sikap yang terbuka.
2. Bersikap penyantun dan penyayang (QS. Ali Imran: 159)
3. Menjaga wibawa dan kehormatan dalam bertindak.
4. Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama
(QS. An Najm: 32).
5. Bersifat rendah hati ketika menyatu dengan sekelompok masyara-
kat (QS. Al Hijr: 88).
6. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia.
7. Meninggalkan sikap amarah dalam menghadapi masalah.
8. Menerima kebenaran yang berasal dari orang lain.
9. Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikan yang ia la-
kukan.
10. Mencegah dan mengontrol peserta didik agar tidak mempelajari
ilmu yang membahayakan.
11. Menghias diri dengan akhlak mulia seperti khusyu, iffah
(menjaga diri), zuhud terhadap dunia.31

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tazkiyatun nafs


dalam arti penyucian jiwa berkaitan dengan norma-norma pendidik-
an (kode etik), penanaman adab (ta’dib) dan penyempurnaan diri
serta menghias diri (tahalli) dengan akhlak-akhlak mulia.

TAZKIYATUN NAFS DALAM MAKNA PENGEMBANGAN DIRI (PEN-


DEKATAN YURIDIS-SOSIOLOGIS)
Tazkiyatun nafs dalam makna pengembangan diri diarahkan
pada upaya membentuk dan meningkatkan skill dan profesionalisme
guru da-

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 10


Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

lam memberikan layanan pendidikan. Pengembangan diri pada


profesi guru meliputi tiga bagian32 yaitu:
1. Pengembangan diri guru sebagai seorang pengajar
Yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kompetensi profesinal-religius
antara lain dengan melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan intelek-
tual khususnya bidang yang ia ajarkan, melatih dan mempersiapkan
diri dalam penyampaian ilmu (transfer of knowledge), menerapkan
metode-metode baru dalam pengajaran, menemukan keunikan
metode dalam mengajar yang membedakannya dengan pengajar lain
dan lain sebagainya.
2. Pengembangan diri guru sebagai seorang pendidik
Yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kompetensi personal-
religius misalnya pengembangan atitude yang dapat diteladani,
internalisasi nilai yang hendak diinternalisasikan kepada peserta didik
seperti nilai keju- juran, kebersihan, keadilan, kedisiplinan,
musyawarah, tanggung jawab dan sebagainya.
3. Pengembangan diri guru sebagai seorang pemimpin
Yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kompetensi sosial-religius se-
perti peningkatan kemampuan berkomunikasi, retorika dan memberi
pengaruh, kepedulian sosial, dan sebagainya.
Tazkiyah dalam arti pengembangan diri guru dalam praktiknya
juga membutuhkan keterlibatan banyak pihak lain yaitu pemerintah
se- bagai penyelenggara pendidikan, stakeholder dan administrator
pendi- dikan, dan masyarakat sebagai pengguna layanan pendidikan.
4. Peran Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan.
Pemerintah memiliki tanggung jawab dan peran yang be-
sar untuk melindungi profesi guru yaitu dengan menetapkan
Undang-Undang yang menjamin harkat dan martabat guru. Peraturan
dan perundang-undangan tentang guru yang tidak jelas arahnya
seper- ti sekarang ini secara tidak langsung berpengaruh kepada
kewibawaan dan sakralitas profesi guru. Misalnya mengenai
managemen tenaga guru

11 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli


Ikhwan

dalam UU. No 32 tahun 2004 tentang pendidikan tentang urusan


mana yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah pusat dan mana yang
sebaik- nya dilakukan oleh pemerintah daerah, kriteria yang
digunakan adalah efisiensi, akuntabilitas, dan eksternalitas tetapi
maknanya yang dikabur- kan dan arah yang bertentangan satu sama
lain.33
Pengelolaan tenaga guru yang meliputi perencanaan dan sistem in-
formasi, rekrutasi, pengembangan kapasitas, distribusi, penilaian ker-
ja, dan pengembangan profesi serta penggajian dihadapkan pada
pilih- an sentralisasi atau desentralisasi. Masuknya motif-motif
politis yang multi-interest untuk mengakses kekuasaan dan anggaran
sering kali mengacaukan pembangunan dan pengembangan profesi
guru sebagai profesi yang independen dan bermartabat. Kasus
migrasi guru kepada jabatan-jabatan non-guru di berbagai jabatan
struktural SKPD di luar dinas pendidikan tentu memiliki efek
negatif. Demikian pula dengan politisasi profesi guru oleh calon
kepala daerah pada musim kampenye mencedari sakralitas profesi
guru.
Sistem penggajian guru yang tidak berkeadilan antara guru ber-
status negeri dan swasta adalah permasalahan berikutnya yang harus
menjadi perhatian pemerintah. Kebijakan sertifikasi yang bertujuan
mengembangkan kapasitas justru menjadi ajang menumpuk harta
bagi guru PNS sementara guru honorer mendapat upah yang tidak
manusia- wi seperti buruh atau di bawah buruh.
5. Peran administrator pendidikan pemegang kebijakan di tingkat
sa- tuan pendidikan
Kepala sekolah di sekolah-sekolah negeri dan pemiliki yayasan
di sekolah-sekolah swasta memiliki andil yang besar untuk menjaga
dan mengembalikan kehormatan profesi guru. Guru hendaknya tidak
dipan- dang sebagai karyawan atau bawahan yang harus mengikuti
kehendak administrator tanpa diberi ruang untuk memberikan
pandangan ten- tang pendidkan yang dijalankan. Dalam hal ini
bagaimana seorang ad- ministrator pendidikan gaya kepemimpinan
yang luwes, terbuka dan de- mokratis.

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 11


Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

Di antara upaya yang dapat dilakukan oleh para administrator


demi mengembangkan profesi keguruan misalnya dalam bentuk
supervi- si pendidikan yang baik dan akuntabel, penjaminan mutu
guru (qua- lity assurance) dengan memberikan pelatihan-pelatihan
upgrading un- tuk meningkatkan skill mengajar guru secara berkala,
dan memberi- kan penghargaan yang sesuai kepada guru yang
berprestasi dan mampu menjadi teladan yang baik bagi siswa.
6. Masyarakat sebagai pengguna layanan jasa pendidikan
Masyarakat sebagai pengguna jasa layanan pendidikan merupakan
partner guru dalam mendidik anak. Peran orang tua sangat besar
dalam membentuk kepribadian dasar anak sebelum diserahkan kepada
lemba- ga pendidikan untuk dididik lebih lanjut oleh guru yang ada
di seko- lah, madrasah atau pesantren. Pengajaran adab sejak dini
sangat penting untuk menjaga kewibawaan guru di hadapan murid-
muridnya, sebagai orang tua kedua yang membimbing siswa meraih
kesuksesan.
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, masyarakat da-
pat memberikan masukan, saran, dan menjalin komunikasi yang baik
dengan guru. Keluhan-keluhan yang datang dari murid dapat
disampai- kan orang tua kepada guru sehingga guru dapat
memperbaiki dan men- cari jalan keluar dari setiap masalah yang
dihadapi oleh murid.

PENUTUP
Konsep tazkiyatun nafs terpadu pada hakikatnya adalah sebuah
pemaknaan yang lebih luas dan mendalam dari konsep tazkiyatun
nafs yang dikenal umum sebagai konsep tentang pembersihan jiwa.
Kata taz- kiyah memiliki dua makna pokok yaitu: pertama, pembersihan
jiwa dari noda-noda keburukan dan sifat-sifat tercela; kedua,
pengembangan diri yaitu dengan menghiasi diri dengan sifat-sifat
terpuji dan meningkat- kannya ke arah kesempurnaan.
Tazkiyatun nafs dalam makna penyucian jiwa sebagai sebuah
upa- ya mengembalikan sakralitas profesi guru sebagai profesi yang
dilaku- kan oleh guru secara individu dengan menempuh empat

11 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli


Ikhwan
tahapan yai- tu memperbanyak taubat (menyadari kesalahan),
muraqabah (merasa

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 11


Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

diawasi oleh Allah), muhasabah (introspeksi diri) dan mujahadah


yaitu bersungguh-sungguh menjahui prilaku tercela dan menghiasi
diri de- ngan akhlak mulia antara lain membangun keikhlasan dalam
hati, ber- sikap santun, menjaga wibawa, rendah hati, meninggalkan
perbuatan yang sia-sia, mau menerima kebenaran dari orang lain dan
sebagainya.
Tazkiyatun nafs dalam makna pengembangan diri dilaku-
kan oleh guru dengan meningkatkan profesionalismenya dan kom-
petensinya meliputi pengembangan diri sebagai seorang penga-
jar (kompetensi profesional-religius), guru sebagai pendidik (kom-
petensi personal-religius) dan guru sebagai pemimpin (kompetensi
sosial-religius). Selain dilakukan oleh guru secara individu, pengem-
bangan diri guru membutuhkan keterlibatan pihak luar antara lain pe-
merintah sebagai penyelenggara pendidikan, administrator sebagai
pemegang kebijakan di tingkat satuan pendidikan dan masyarakat
luas sebagai pengguna layanan pendidikan. [ ]

ENDNOTES
1
Azumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, (Ciputat: Lo-
gos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 167.
2
HR At-Tirmidzi dari Abu Dar’da Radliyallahu ‘Anhu.
3
Fuad Syalhub, Guruku Muhammad (terj.), diterjemahkan oleh Nashirul Haq
( Jakarta: Gema Insani Pres, 2006), hlm. Ix.
4
Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkatakter dan Bera-
dab (Bogor: Komunitas NUUN dan UIK, 2011), hlm. 61.
5
WJS Poerdarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Depdiknas,
2002), hlm. 377.
6
Ummi Machmudah dan Abdul Wahab Rosyidi, Pembelajaran Bahasa Arab
Aktif (Malang: tnp., 2008), hlm. 9.
7
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2002), hlm. 209.
8
Louis Ma’luf, Al Munjid fie al-Lughat wa al-‘Ilm (Beirut: Darul
Masyriq, 1986), hlm. 5, 10, 211, 247, 261, 526.
9
WJS Poerdarminto, Kamus., hlm. 1255.
10
Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan ( Jakarta: Reanika Cipta, 2009),
hlm. 18.

11 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli


Ikhwan
11
QS. Mujadillah: 11.
12
Ahmad al-Hasyimi Bek, Mukhtar Ahadits al-Nabawiyah (Kairo: Mathba’
Al Hijazi, 1948), hlm. 128.
13
Hadits ini didhaifkan oleh Albani dalam Muhammad Ibn Yazid Abu Abdillah
Al-Qozuni dan Fuad Abdul Baqi’, Takhrij Sunan Ibnu Majah (Beirut: Darul
Fikr, t.t.), hlm. 83.
14
Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qasidin, Jalan Orang-orang Yang Di-
beri Petunjuk (Terj.), diterjemahkan oleh Kathur Rahardi ( Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005), hlm. 18.
15
Rahmat Resmiyanto “Khalifah Umar Menggaji Guru 33 Juta per Bulan”
dikutip dari http://fkip.uad.ac.id/khalifah-umar-menggaji-guru-33-juta-
-per-bulan, akses 20 Juni 2014.
16
Muhammad Faisal “Ulama dan Politik” dikutip dari http://www.waspadame-
dan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=35245:ulama-
dan-politik&catid=59:opini&Itemid=215, akses 20 Juni 2014.
17
Sergio Lay“ Sejarah Pendidikan: Dari Yunani Kuno s.d 4 Abad Pertama Kek-
ristenan” dikutip dari http://giuslay.wordpress.com/2009/01/30/sejarah-
pendidikan-dari-yunani-kuno-sd-4-abad-pertama-kekristenan/, akses 20
Juni 2014.
18
Chen Mei Ing “Menghormati Guru Mementingkan Ajaran” dikutip dari
http://traditionghoanews.blogspot.com/2011/04/menghormati-guru-
-mementingkan-ajaran-2.html, akses 29 Mei 2014.
19
Pius A. Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya:
Arkola, 1994), hlm. 689.
20
Daniel L. Pals., Seven Theories of Religion: Dari Animisme E.B Taylor, Mate-
rialisme Karl Max Hingga Antropologi Budaya Geerts. (Terj.), diterjemahkan
oleh Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. 167.
21
Ibid, hlm. 278.
22
Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi
( Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. 139.
23
Ibid, hlm 140.
24
Soetjipto dan Raflis Kosasi, hlm. 29.
25
Sofyan Sauri “Menghormati Guru Mementingkan Ajaran” Jurnal ISLAMIA
Republika, Edisi Kamis 21 Oktober 2010.
26
Said Hawwa, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu (Terj.), di-
terjemahkan oleh Shaleh Tahmid ( Jakarta:Robbani Press, 1999), hlm. 2.
27
M. Sholihin, Kamus Tasawuf (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), hlm.
153.

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 11


Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

28
William C. Chithick, Tasawuf dimata Kaum Sufi (Terj.), diterjemahkan oleh
Zainul (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 84.
29
Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan
kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)?
Ti- dakkah kamu mengerti? (QS. Al Baqarah: 44).
30
Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Minhajul Muslim (Kairo: Darus Salam, 2004),
hlm. 67-73
31
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir., hlm. 98-99.
32
HM Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum ( Jakarta: Bumi Ak-
sara, 1991). Hal. 163.
33
Agus Dwiyanto,“Penataan Kembali Managemen Tenga Guru di Daerah: De-
sentralisasi Kepegawaian Guru” Makalah Seminar Ikatan Sarjana Pendidikan
bekerjasama dengan Universitas Negeri Yogyakarta 21-22 Januari 2012.

DAFTAR PUSTAKA
Al Barry, Pius A Partanto & M. Dahlan, Kamus Ilmiyah Populer,
Surabaya: Arkola, 1994.
Al Jazairi, Abu bakar Jabir, Minhajul Muslim, Kairo: Darus Salam,
2004. Arifin, M., Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta:
Bumi
Aksara, 1991.
Azra, Azumardi, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam,
Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1994.
Baqi’, Muhammad Ibn Yazid Abu Abdillah Al-Qozuni dan Fuad Abdul,
Takhrij Sunan Ibnu Majah, Beirut: Darul Fikr, t.t.
Bek, Ahmad al-Hasyimi, Mukhtar Ahadits al-Nabawiyah, Kairo:
Mathba’ Al Hijazi, 1948.
Chithick, William C., Tasawuf dimata Kaum Sufi (Terj.), diterjemahkan
oleh Zainul, Bandung: Mizan, 2002.
Dwiyanto, Agus, “Penataan Kembali Managemen Tenga Guru di
Daerah: Desentralisasi Kepegawaian Guru” Makalah Seminar
Ikatan Sarjana Pendidikan bekerjasama dengan Universitas
Negeri Yogyakarta 21-22 Januari 2012.
Faisal, Muhammad, “Ulama dan Politik” dikutip dari
http://www.waspa- damedan.com/index.php?
option=com_content&view=article&id

11 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli


Ikhwan

=35245:ulama-dan-politik&catid=59:opini&Itemid=215, akses 20
Juni 2014.
Hawwa, Said, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu
(Terj.), diterjemahkan oleh Shaleh Tahmid, Jakarta:Robbani
Press, 1999.
Husaini, Adian, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di
Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
---------------------, Pendidikan Islam Membentuk Manusia
Berkatakter dan Beradab, Bogor: Komunitas NUUN dan UIKA,
2011.
Ing, Chen Mei, “Menghormati Guru Mementingkan Ajaran” dikutip dari
http://traditionghoanews. blogspot.com /2011/04 /menghormati-
guru-mementingkan-ajaran-2.html, akses 29 Mei 2014.
Kosasi, Soetjipto dan Raflis, Profesi Kegurua,. Jakarta: Rhenika Cipta,
2009.
Lay, Sergio, “ Sejarah Pendidikan: Dari Yunani Kuno s.d 4 Abad
Pertama Kekristenan”dikutip dari http://giuslay.wordpress.
com/2009/01/30/sejarah-pendidikan-dari-yunani-kuno-sd- 4-
abad-pertama-kekristenan/, akses 20 Juni 2014.
Ma’luf, Louis, Al Munjid fie al-Lughat wa al-‘Ilm, Beirut: Darul
Masyriq, 1986.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2002.
Pals, Daniel L., Seven Theories of Religion: Dari Animisme E.B Taylor,
Materialisme Karl Max Hingga Antropologi Budaya Geerts
(Terj.), diterjemahkan oleh Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam,
2001.
Poerdarminto, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Depdiknas, 2002.
Qudamah, Ibnu, Mukhtashar Minhajul Qasidin, Jalan Orang-orang
Yang Diberi Petunjuk (Terj.), diterjemahkan oleh Kathur Rahardi,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Resmiyanto, Rahmat, “Khalifah Umar Menggaji Guru 33 Juta per
Bulan” dikutip dari http://fhip.uad.ac.id/khalifah-umar-
menggaji-guru- 33-juta-per-bulan, akses 20 Juni 2014.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 11
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu Sebagai Upaya Mengembalikan Sakralitas ...

Rosyidi, Ummi Machmudah dan Abdul Wahab, Pembelajaran Bahasa


Arab Aktif, Malang: UIN Malang Press, t.t.
Sauri, Sofyan, “Menghormati Guru Mementingkan Ajaran” Jurnal
ISLAMIA Republika, Edisi Kamis 21 Oktober 2010.
Sholihin, M., Kamus Tasawuf, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002.
Syalhub, Fuad, Guruku Muhammad (Terj.), diterjemahkan oleh Nashirul
Haq. Jakarta: Gema Insani Pres, 2006.

11 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli

Anda mungkin juga menyukai