Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis
dapat merumuskan masalah yang akan dikaji sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Pendidik dalam Pendidikan Islam?
2. Bagaimanakah Status Pendidik dalam Pendidikan Islam?
3. Bagaimanakah Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam?
4. Bagaimanakah Konsep Pendidik dalam Pendidikan Islam?
5. Bagaimanakah Kompetensi Pendidik dalam Pendidikan Islam?
6. Bagaimanakah Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam?
C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam makalah ini adalah:
1. Mendeskripsikan Pendidik dalam Pendidikan Islam.
2. Mendeskripsikan Status Pendidik dalam Pendidikan Islam.
3. Mendeskripsikan Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam.
4. Mendeskripsikan Konsep Pendidik dalam Pendidikan Islam.
5. Mendeskripsikan Kompetensi Pendidik dalam Pendidikan Islam.
6. Mendeskripsikan Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendidik Dalam Pendidikan Islam


Dalam teori barat disebutkan bahwa pendidik dalam islam adalah orang-
orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan
mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi efektif,
potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik.1
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi
pertolongan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar
mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat
kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai hamba dan
Khalifah Allah swt. Dan mampu sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk
individu yang mandiri.2
Pendidik pertama dan yang utama adalah orangtua sendiri yang,
bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya, karena
sukses anaknya merupakan sukses orangtua juga.
Firman Allah swt. Dalam surat at Tahrim ayat 6 yang berbunyi:
‫قواانفكم واهليكم نارا‬
Artinya: peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS. At
Tahrim:6)

Karena tuntutan orangtua itu semakin banyak, anaknya diserahkan kepada


lembaga sekolah sehingga definisi pendidik disini adalah mereka yang
memberikan pelajaran anak didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertentu di
sekolah. Pengerahan anak didik ke lembaga sekolah bukan berarti orangtua lepas
1
Munardji, ILMU PENDIDIKAN ISLAM, (Jakarta Pusat: PT Bina Ilmu, 2004), 61
2
Ibid., 61

2
tanggung jawabnya sebagai pendidik yang pertama dan utama, tetapi orang tua
masih mempunyai saham dalam membina daalam mendiik anak kandungnya.3
B. Status Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) bagi anak didik yang
memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan
meluruskannya. Oleh karena itu, pendidik mempunyai kedudukan yang tinggi
sebagaimana yang dilukiskan dalam hadits Nabi Muhammad saw. Bahwa: “tinta
seorang ilmuwan (ulama’) lebih berharga ketimbang darah para syuhada”.
Bahkan islam menempatkan pendidik setingkat dengan derajat seorang Rasul.
Dalam hal ini Syaukari bersyair:
‫ كادالمعلم ان يكون رسوال‬# ‫قم للمعلم وفه التبجيل‬
Artinya: berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang
guru itu hampir merupaka seorang Rasul.
Al Ghazali menukil beberapa hadits Nabi Muhammad saw. Keutamaan
seorang pendidik, dan berkesimpulan bahwa pendidik disebut sebagai orang besar
yang aktivitasnya lebih baik daripada ibadah setahun. Selanjutnya Al Ghazali
menukil dari perkataan para ulama’ yang menyatakan bahwa pendidik merupakan
pelita segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh
pancaran nur keilmiahannya (‘Atha). Dan andaikata dunia tidak ada pendidik
niscaya manusia seperti binatang, sebab “pendidik adalah upaya mengeluarkan
manusia dari sifat kebinatangan sepada sifat insaniyah” (Al Hasan).4
C. Tugas Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Menurut Al Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan,
membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati nurani untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Hal tersebut karena pendidik adalah upaya untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika pendidik belum mampu membiaskan
diri dalam peribadatan kepada peserta didik kepada peserta didik, berarti ia
mengalami kegagalan di dalam tugasnya, sekalipun peserta didik memiliki prestasi

3
Ibid., 62
4
Bukhari Umar, ILMU PENDIDIKAN ISLAM, (Jakarta: AMZAH, 2011), 86

3
akademis yang luar biasa. Hal tersebut mengandung arti akan keterkaitan antara
ilmu dan amal shaleh.5
Pendidik adalah seorang yang mempunyai gagasan yang harus diwujudkan
untuk kepentingan anak didik, menunjang hubungan sebaik-baiknya dengan anak
didik, serta mengembangkan sekaligus menerapkan keutamaan yang menyangkut
agama, kebudayaan dan keilmuan.6
Dalam paradigma “jawa”, pendidik diidentikan dengan guru yang artinya
digugu dan ditiru. Namun dalam paradigma baru, pendidik tidak hanya bertugas
sebagai pengajar, tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator proses belajar
mengajar yaitu relasi dan aktualisasi sifat-sifat ilahi manusia dengan cara
aktualisasi potensi-potensi manusia untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan
yang dimiliki.7
Seorang pendidik dituntut mampu memainkan peranan dan fungsinya
dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini menghindari adanya benturan
fungsi dan peranannya, sehingga pendidik dapat menempatkan kepentingan
sebagai individu, anggota masyarakat warga Negara dan pendidik sendiri. Antara
tugas keguruan dan tugas lainnya harus ditempatkan menurut proporsinya.
Kadangkala seseorang terjebak dalam sebutan pendidik, misalnya ada
sebagian orang yang mampu memberikan dan memindahkan ilmu pengetahuan
(transfer of knowledge) kepada seseorang. Sesungguhnya seorang pendidik
bukanlah bertugas itu saja, tetapi pendidik juga bertanggung jawab atas
pengelolaan (manager of learning), pengarah (director of learning), fasilitator dan
perencana (the planner of future society). Oleh karena itu, tugas dan fungsi
pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Sebagai pengajar (intruksional) yang bertugas merencanakan program
pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri
dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.

5
Ibid., 87
6
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: AMZAH, 2013), 111
7
Opcit., Bukhari Umar, ….., 63

4
2. Sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan anak didik pada tingkat
kedewasaan yang berkepribadian insan kamil seiring dengan tujuan Allah swt.
Menciptakannya.
3. Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan diri sendiri,
anak didik, dan masyarakat yang terkait, yang menyangkut upaya pengarahan,
pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program
yang dilakukan.8

Dalam pelaksanaan tugas ini, seorang pendidik dituntut untuk mempunyai


seperangkat prinsip kegunaan. Adapun prinsip kegunaan itu dapat berupa:

1. Kegairahan dan kesediaan, kemampuan, pertumbuhan, dan perbedaan anak


didik.
2. Membangkitkan gairah anak didik.
3. Menumbuhkan bakat dan sikap anak didik yang baik.
4. Mengatur proses belajar mengajar yang baik.
5. Memperhatikan perubahan-perubahan kecenderungan yang mempengaruhi
proses belajar.
6. Adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.9
D. Konsep Pendidik dalam Pendidikan Islam
Dalam konteks pendidikan agama Islam “pendidik” sering disebut dengan
“murabbi, mua’lim, mu’addib”. Ketiga istilah tersebut mempunyai penggunaan
tersendiri menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan dalam konteks
Islam. Di samping itu, istilah pendidik kadang kala disebut melalui gelarnya “al-
ustadz atau syaikh”. Dalam hal ini menurut Abudin Nata, yaitu kata ‘alim (bentuk
jamaknya adalah ‘ulama’) atau mu’allim, yaitu orang yang mengetahui. Selain itu
ada kata mudarris yang berarti pengajar (orang yang member pelajaran). Namun
secara umum mu’allim lebih banyak digunakan daripada kata mudarris. Sementara
itu kata mu’addib merujuk kepada guru yang secara khusus mengajar adab. Lain
halnya dengan kata ustadz yang mengacu kepada guru yang khusus mengajar
8
Ibid., 63-64
9
Ibid., 64

5
agama Islam. Terakhir, syaikh digunakan untuk merujuk kepada guru dalam
bidang tasawuf.
Pendidik adalah salah satu unsur terpenting dari proses pendidikan. Dalam
hak ini pendidik bertanggungjawab memenuhi kebuhan peserta didik, baik
spiritual, intelektual, moral, estetika maupun kebutuhan fisik peserta didik.
Secara umum, pendidik adalah orang yang mempunyai tanggung jawab
untuk mendidik. Sementara secara khusus pendidik dalam perspektif pendidikan
Islam adalah orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik
dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik afektif,
kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Islam mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama adalah orangtua.
Namun orangtua tidak mungkin bisa mendidik sendiri selam 24 jam karena harus
mencari nafkah untuk keluarga, maka orangtua menyerahkan anaknya kepada
pendidik di sekolah.10
E. Kompotensi Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Untuk menjadi pendidik yang professional tidaklah mudah. Karena itu
harus memiliki berbagai kompetensi-kompetensi keguruan. Kompetensi dasar
(based competency), bagi pendidik ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot
potensi dasar dan kecenderungan yang dimilikinya. Hal tersebut karena potensi itu
merupakan tempat dan bahan untuk memproses semua pandangan sebagai bahan
untuk menjawab semua rangsangan yang datang darinya. Potensi dasar ini adalah
milik individu sebagai hasil dari proses yang tumbuh karena adanya inayah Allah
SWT. Personifikasi ibu waktu mengandung, dan situasi yang mempengaruhinya
baik langsung maupun melalui ibu waktu mengandung dan faktor keturunannya.
Hal inilah yang digunakan sebagai pijakan bagi individu dalam menjalankan
fungsinya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT.
W. Robert Huston mendefinisikan kompetensi dengan “competence
ordinarily is defined as adequacy for a task or as possessi on of require
knowledge, skill, and abilities”. (suatu tugas yang memadai atau pemilikan

10
Opcit., Sri Minarti, ….., 108

6
pengetahuan keterampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan
seseorang).11
Dalam pelaksanaan pendidikan islam, kita dapat berasumsi bahwa setiap
umat Islam wajib mendakwahkan ajaran agamanya. Hal itu dapat kita pahami dari
firman Allah swt. Dalam Al-Qur’an surat An Nahl ayat 125, Asy Syura ayat 15,
Ali Imran ayat 104, Al Ash ayat 1-3, serta Hadits Nabi Muhammad saw. Juga
ditegaskan “sampaikan ajaran dariku walaupun hanya sekedar seayat”. (HR.
Bukhari).
Berdasarkan ayat-ayat dan hadits Nabi Muhammad saw. Tersebut dapat
dipahami bahwa siapapun dapat menjadi pendidik islam asalkan ia memiliki
pengetahuan dan kemampuan lebih. Di samping itu, ia mampu mengimplisitkan
nilai relevan (dalam pengetahuan itu), yakni sebagai penganut islam yan patut
dicontoh dalam ajaran islam dan diajarkan, serta nilainya pada pihak lain. Namun
demikian, untuk menjadi pendidik islam yang professional masih diperlukan
persyaaratan yang lebih dari itu. Sengaja menulis lebih menekankan aspek
profesionalitas, dalam kajian ini dan tidak banyak menyinggung aspek
personalitasnya. Hal ini karena masalah personalitas religious sudah seharusnya
menyatu pada diri pendidik, dan penulis yakin bahwa masalah ini sudah kita
pahami, tinggal cara merealisasikan dan mengaktualisasi dalam kehidupan sehari-
hari, inklusif dalam menjalankan tugas-tugas kependidikannya. Sebagai pendidik
islam sudah tentu harus mampu mengimplikasikan nilai relevan dan sekaligus
menampilkan nilai-nilai tersebut.12
Untuk mengenal posisi professional pendidik, ada baiknya kita lihat
statifikasi tenaga kerja. Secara sederhana, tenaga kerja dapat distratifikasikan
kedalam empat macam, yaitu pekerja terampil, teknisi terampil, teknisi ahli
professional, dan elit professional. Pekerja terampil disiapkan untuk terampil
melaksanakan tugas yang sifatnya operasional dan tidak banyak membutuhkan
pemikiran, karena sifatnya teknis mekanistis. Teknisi terampil memiliki

11
Ibid., 91
12
Opcit., Munardji, ….., 65-66

7
pengetahuan dasar teori, sehingga sedikit banyak mempunyai wawasan dasar dari
pelaksanaan tugasnya. Teknisi ahli atau professional mampu menjelaskan dan
mempertanggungjawabkan alternative atau utusan yang dipilih, sedangkan elit
professional memiliki kemampuan lebih dari teknisi ahli.13
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan islam yang
professional harus memiliki kopetensi-kopetensi sebagai berikut:
1. Penguasaan materi al islam yang komprehensif serta wawasan dan bahan
pertanyaan, terutama pada bidang-bidang yang menjadi tugasnya.
2. Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode dan teknik) pendidikan
islam, termasuk kemampuan evaluasi.
3. Penguasaan ilmu dan wawasan kependidikan.
4. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan pada
umumnya guna keperluan pengembangan pendidikan islam.
5. Memiliki kepekaan terhadaap informasi secara langsung atau tidak langsung
yang mendukung kepentingan tugasnya.14

Unuk mewujudkan pendidikan yang professional, kita dapat mengacu pada


tuntunan Nabi Muhammad saw. Karena beliau satu-satunya pendidik yang berhasil
dalam merentang waktu yang begitu singkat, sehingga diharapkan dapat
mendekatkan realitas (pendidik) dengan yang idea (Nabi Muhammad).

Keberhasilan Nabi Muhammad saw. Sebagai pendidik didahului oleh bekal


kepribadian (personality) yang berkualitas unggul, dan kepeduliannya terhadap
masalah-masalah sosial religious, serta semangat dan ketajamannya dalam iqra’
bismirabbik. Kemudian beliau mampu mempertahankan dan mengembangkan
kualitas iman, amal shaleh, berjuang dan bekerja sama menegakkan kebenaran,
mampu bekerjasama dalam kesabaran.

Dari hasil telaah tersebut, dapat diformulasikan asumsi yang melandasi


keberhasilan pendidik yakni “pendidik akan berhasil menjalankan tugasnya

13
Ibid., 66
14
Ibid., 66

8
apabila memiliki kompetensi professional religious”. Karena religious selalu
dikaitkan dengan tiap-tiap kompetensi, karena menunjukkan adanya komitmen
pendidik dengan ajaran islam sebagai kriteria utama, sehingga segala masalah
pendidikan dihadapi, dipertimbangkan, dan dipecahkan, serta ditempatkan dalam
respektif islam.15

Kompetensi personal religious

Kemampuan dasar (kompetensi) yang pertama bagi pendidik adalah


menyangkut kepribadian agamis, artinya, pada dirinya melekat nilai-nilai lebih
yang hendak ditransinternalisasikan kepada peserta didik. Misalnya nilai
kejujuran, keadilan, musyawarah, kebersihan, keindahan, kedisiplinan, ketertiban,
dan sebagainya. Nilai tersebut perlu dimiliki pendidik sehingga akan terjadi
transinternaliasi (pemindahan penghayatan nilai-nilai) antara pendidik dan anak
didik baik langsung maupun tidak langsung, atau setidak tidaknya terjadi transaksi
(alih tidakan) antara keduanya.

Kompetensi sosial religious

Kemampuan dasar kedua bagi pendidik adalah menyangkut kepeduliannya


terhadap masalah-masalah sosial selaras dengan ajaran islam. Sikap gotong
royong, tolong menolong, egalitarian (persamaan derajat antara sesame manusia),
sikap toleransi, dan sebagainya juga perlu dimiliki oleh pendidik untuk selanjutnya
diciptakan dengan suasana pendidikan islam dalam rangka transisternalisasi sosial
atau transaksi sosial antara pendidik dan anak didik.16

Kompetensi professional religious

Kemampuan dasar yang ketiga ini menyangkut kemampuan untuk


menjalankan tugasnya secara professional, dalam arti mampu membuat keputusan
keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggung jawabkan
berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif islam.

15
Ibid., 67
16
Ibid., 67

9
Kompetensi diatas dapat dijabarkan dalam kompetensi-kompetensi sebagai
berikut:

1. Mengetahui hal-hal yang perlu diajarkan, sehingga ia harus belajar dan


mencari informasi tentang materi dan diajarkan.
2. Menguasai keseluruhan bahan materi yang akan disampaikan pada anak
didiknya.
3. Mempunyai kemampuan menganalisis materi yang dijarkan dan
menghubungkannya dengan konteks komponen-komponen secara keseluruhan
melalui pola yang diberikan islam tentang bagaimana cara berfikir (way of
thinking) dan cara hidup (way of life) yang perlu dikembangkan melalui
proses edukasi.
4. Mengamalkan terlebih dahulu informasi yang telah didapat sebelum disajikan
pada anak didiknya.
5. Mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah
dilaksanakan.
6. Memberi hadiah (tabsyir/reward) dan hukuman (tandzir/ punishment) sesuai
usaha dan upaya yang dicapai anak didik dalam rangka memberikan persuasi
dan motivasi dalam proses belajar.
7. Memberikan uswatun hasanah dan meningkatkan kualias dan
keprofesionalannya yang mengacu pada futuristic tanpa melupakan
peningkatan kesejahteraan, misalnya gaji, pangkat, kesehatan, perumahan,
sehingga pendidik benar-benar berkemampuan tinggi dalam transfer of heart,
transder of head, transfer of hand, kepada anak didik dan lingkungannya,
serta mencegah adanya pepatah (guru kencing berdiri murid kencing berlari)
yang pada gilirannya akan lebih ironis lagi dengan (guru kencing berdiri da
murid mengencingi guru).17
F. Kode Etik Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan
kemanusiaan (hubungan relationships) antara pendidik dan anak didik, orangtua
17
Ibid., 67-69

10
anak didik, koleganya, serta dengan atasannya. Suatu jabatan yang melayani orang
lain setelah memerlukan kode etik, demikian pula jabatan pendidik mempunyai
kode etik tertentu yang harus dikenal dan dilaksanakan oleh setiap pendidik.
Bentuk kode etik suatu lembaga pendidikan tidak harus sama tetapi secara intrinsic
mempunyai kesamaan isi yang berlaku umum. Pelanggaran kode etik akan
mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik.18
Al Ghazali merumuskan kode etik dengan 17 bagian yaitu:
1. Menerima segala problem anak didik dengan hati dan sikap yang terbuka dan
tabuh.
2. Bersikap penyantun dan penyayang.
3. Menjaga kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak.
4. Menghindari dan menghilangkan sifat angkuh terhadap sesame.
5. Bersifat merendah ketika menyatu dengan sekelompok masyarakat.
6. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia.
7. Bersifat lemah lembut dalam menghadapi anak didik yang rendah tingka
IQnya, serta membinanya sampai pada taraf maksimal.
8. Meninggalkan sifat marah.
9. Memperbaiki sikap anak didiknya, dan bersikap lemah lembut terhadap anak
didik yang kurang lancar berbicaranya.
10. Meninggalkan sifat yang menakutkan pada anak didik yang belum mengerti
atau mengetahui.
11. Berusaha memperhaatikan pernyataan-pernyataan anak didik walaupun
pertanyaannya itu tidak bermutu.
12. Menerima kebenaran dari anak didik yang membantahnya.
13. Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikna walaupun kebenaran
itu datangnya dari anak didik.
14. Mencegah anak didik mempelajari ilmu yang membahayakan.

18
Ibid., 69

11
15. Menanamkan sifat ikhlas pada anak didik, serta terus menerus mencari
informasi guna disampaikan pada anak didiknya yang akhirnya mencapai
tingkat taqarrub kepada Allah swt.
16. Mencegah anak didik mempelajari ilmu fardlu kifayah sebelum mempelajari
ilmu fardlu ‘ain.
17. Mengaktualisasikan informasi yang akan diajarkan kepada anak didik.

Kemudian Muhammad Athiyah Al Abrasyi menambahkan kode etik sebagai


berikut:

1. Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik sehungga ia


menyayangi anak didiknya seperti menyayangi anaknya sendiri.
2. Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan anak didik. Pola
komunikasi dalam interaksi dapat diterapkan ketika terjadi proses belajar
mengajar.
“pola komunikasi dalam pendidikan dapat dilakukan dengan tiga macam,
yaitu komunikasi sebagai aksi (interaksi serahan), komunikasi sebagai
ineraksi (interaksi multi arah)”. Tentunya untuk mewujudkan tujuan
pendidikan islam yang maksimal harus digunakan komunikasi yang transaksi,
sehingga suasana belajar menjadi lebih aktif antara pendidik dan anak didik,
antara anak didik dan pendidik, dan antara anak didik dan anak didik
3. Memperhatikan kemampuan dan kondisi anak didiknya.pemberian materi
pelajaran harus diukur dengan kadar kemampuannya. Sabda Rasulullah saw:
)‫نحن معاشر االنبياءامرناان ننزل الناس منازلهم ونكامهم على قدرعقولهم (رواه ابوبكربن الشخير‬
Artinya: kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan seseorang pada
posisinya, berbicara dengan seseorang sesuai dengan kemampuan akalnya.
4. Mengetahui kepentingan bersama, tidak berfokus pada sebagian anak didik
misalnya hanya memprioritaskan anak yang memiliki IQ tinggi.
5. Mempunyai kompetensi keadilan, kesucian dan kesempurnaan.
6. Ikhlas dalam menjalankan aktivitasnya, tidak hanya menuntut hal yang diluar
kewajibannya.

12
7. Dalam mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan materi lainnya
(menggunakan pola integrated curriculum).
8. Memberi bekal anak didik dengan ilmu yang mengacu pada futuristic, karena
ia tercipta berbeda dengan zaman yang dialami oleh pendidikan.
Ali bin Thalib berkata:
‫علموااوالدكم فانهم مخلوقون لزمن غيرزمنكم‬
Artinya: didiklah anak kalian dengan pendidikan yang berbeda dengan yang
diajarkan padamu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda
dengan zaman kalian.
9. Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung
jawab, dan mampu mengatasi problema anak didik, serta mempunyai rencana
yang matang untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-
sungguh.19

BAB III
PENUTUP

19
Ibid., 69-72

13
A. Kesimpulan
1. Pendidik dalam islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh
potensi anak didik, baik potensi efektif, potensi kognitif, maupun potensi
psikomotorik sesuai dengan ajaran Islam.
2. Pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) bagi anak didik yang
memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan
meluruskannya.
3. Tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan,
menyucikan, serta membawakan hati nurani untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
4. Dalam konteks pendidikan agama Islam “pendidik” sering disebut dengan
“murabbi, mua’lim, mu’addib”. Ketiga istilah tersebut mempunyai
penggunaan tersendiri menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan
dalam konteks Islam. Di samping itu, istilah pendidik kadang kala disebut
melalui gelarnya “al-ustadz atau syaikh”.
5. Kompetensi dasar (based competency), bagi pendidik ditentukan oleh tingkat
kepekaannya dari bobot potensi dasar dan kecenderungan yang dimilikinya.
Hal tersebut karena potensi itu merupakan tempat dan bahan untuk
memproses semua pandangan sebagai bahan untuk menjawab semua
rangsangan yang datang darinya.
6. Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan
kemanusiaan (hubungan relationships) antara pendidik dan anak didik,
orangtua anak didik, koleganya, serta dengan atasannya.
B. Saran
Penulis menyarankan kepada para mahasiswa agar gemar membaca, memahami
dan menerapkan tentang tugas, fungsi dan kode etik dari seorang pendidik.
Bukan hanya mahasiswa dari Fakultas Pendidikan saja, namun juga dari fakultas
lain juga harus memahami betul tentang tugas, fungsi dan kode etik dari seorang

14
pendidik. Karena pada dasarnya seseorang kelak dewasa akan menjadi pendidik
bagi anak-anaknya.

15

Anda mungkin juga menyukai