Anda di halaman 1dari 39

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Hakikat Peran Guru

1. Pengertian Guru

Dalam masyarakat istilah guru sudah tidak asing lagi, bahkan sudah

mendapat pengertian yang sangat luas. Orang yang pernah mendidik atau

memberikan suatu pengetahuan kepada seseorang atau sekelompok orang dapat

dikatakan sebagai guru. Salah satu aktor penting dalam pendidikan adalah

guru. Karena guru adalah orang yang langsung berinteraksi dengan peserta didik,

memberikan keteladanan, motivasi, dan inspirasi untuk terus bersemangat dalam

belajar, berkarya, dan berprestasi.1

Guru adalah tenaga pendidik yang pekerjaan utamanya mengajar yang

tidak hanya berorientasi pada kecakapan-kecakapan pada ranah cipta saja, tetapi

juga pada ranah rasa dan karsa. Sebagai guru, seseorang harus memiliki ilmu

mengajar. Karena ia tidak mungkin memberikan sesuatu kepada orang lain kalau

ia sendiri tidak memilikinya. Dengan kata lain, apa yang akan diajarkan harus

dikuasai oleh pendidik terlebih dahulu, kemudian baru diajarkan kepada

orang lain.

Selanjutnya istilah pendidik dalam konteks pendidikan Islam sering

disebut dengan istilah murabbi, mu’allim, atau muaddib. Di samping itu guru

disebut al-ustadz atau al-syekh. kata murabbi berasal dari kata rabba, yurabbi

yang berarti membimbing mengurus, mengasuh dan mendidik. Kata mu’allim


1
Jamal Ma‟ruf Asmani, Manajemen Pengelolaan dan Kepemimpinan Pendidikan
Profesional, (Jogjakarta: Diva Press, 2009), h. 58.

13
14

merupakan bentuk isim fa’il dari’allama, yu’allimu, yang biasa diterjemahkan

”mengajar” atau “mengajarkan”. Sementara istilah muaddib berasal dari akar kata

addaba, yuaddibu, yang biasa diartikan mendidik.2

Penyebutan untuk tenaga pendidik merupakan manifestasi dari para

pemikir-pemikir, dimana pada hakikatnya guru ini adalah orang yang mentrasnfer

ilmu kepada anak didiknya.

Hakikat pendidik dalam Islam Menurut Ramayulis adalah orang-

orang yang bertanggung jawabterhadap perkembangan peserta didik dengan

mengupayakan seluruh potensi mereka, baik afektif, kognitif, maupun

psikomotorik. Selain mengupayakan potensi peserta didik, pendidik juga

bertanggung jawab untuk memberi pertolongan pada peserta didik dalam

perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan

sebagai pribadi yang memenuhi tugasnya sebagai ‘abdullah dan khalifatullah.3

Tanpa guru, pendidikan akan berjalan timpang, karena guru merupakan

juru kunci (key person) dalam proses pelaksanaan pendidikan. Keberhasilan

pendidikan sangat dipengaruhi oleh peranan guru dalam proses pelaksanaan

pendidikan. Oleh sebab itu, guru harus selalu berkembang dan dikembangkan,

agar peroleh subjek didik terhadap pengethuan, keterampilan, sikap dan nilai

dapat maksimal. Tujuan akhir pendidikan adalah terbentuknya kepribadian subjek

didik secara utuh lahir dan batin, fisik dan mental, jasmani dan rohani. Tujuan ini

hanya bisa tercapai jika subjek didik ditenpa kepribadiannya melalui pendidikan

yang terprogram, terencana, tersusun, sistematis dan dinamis oleh lembaga


2
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2014), h. 163.
3
Ibid, h. 164.
15

pendidikan. Tentu lembaga pendidikan membutuhkan guru yang berkompetensi

agar bisa menyusun perencanaan pendidikan yang demikian sehingga bisa

bermuara pada kualitas pribadi subjek didik yang sesuai dengan cita-cita

pendidikan.4

Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003, dikemukakan bahwa:

Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,

konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor, instruktur, pasilitator, dan sebutan

lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam

menyelenggarakan pendidikan.5

Ahmad Tafsir mengemukakan pendapat bahwa guru ialah, “Orang-orang

yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan

mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif,

kognitif maupun psikomotorik.”6

Sardiman AM. Memberikan pengertian guru adalah, “Tenaga profesional di

bidang kependidikan yang memiliki tugas “mengajar”, “mendidik” dan

“membimbing” anak didik agar menjadi manusia yang berpribado (pancasila)”.7

Sedangkan menurut Hadari Nawawi bahwa pengertian guru dapat dilihat

dari dua sisal. Pertama, “Secara sempit guru adalah ia yang berkewajiban

mewujudkan program kelas, yakni orang yang kerjanya mengajar dan

memberikan pelajaran di kelas. Sedangkan secara luas diartikan guru adalah orang

4
Kompri, Motivasi Pembelajaran Perspektif…, h. 31.
5
Dedi Hamid, Undang-undang No. 20 Tahuun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta,
Asokadikta Daruru Bahagia, 2003), h. 3
6
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002), h. 74-75
7
Sardiman, AM., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000), h. 148
16

yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung

jawab dalam membantu anak-anak dalam mencapai kedewasaan masing-

masing.”8

Dari pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli diatas, penulis dapat

mengambil pengertian bahwa guru dapat dikatakan pendidik. Karena disamping

menyampaikan ilmu pengetahuan, juga menanamkan nilai-nilai dan sikap mental

serta melatih keterampilan dalam upaya mengantarkan anak didik ke arah

kedewasaan. Seoraang guru ialah pelopor bangsa serta pengajar generasi-generasi

yang terikat dengan berbagai tanggung jawab sosial yang besar.9

Jabatan guru adalah suatu “profesi” Profesi yang dimaksud adalah

keahliannya dalam bidang pendidikan. Ia bekerja atau melakukan pekerjaan

mendidik orang-orang yang menjadi peserta didiknya. Yang tidak dapat dilakukan

oleh sembarang orang di luar bidangnya pekerjaan ini cukup berat. Karena

meliputi tiga komponen, yakni mendidik, mengajar dan melatih.

Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup.

Mengajar dapat diartikan sebagai upaya meneruskan dan mengembangkan ilmu

pengetahuan. Sedangkan melatih adalah mengembangkan keterampilan-

keterampilan pada peserta didik.

Di masyarakat, dari yang terbelakang sampai yang paling maju, guru

memegang peranan penting. Guru merupakan satu diantara pembentuk-

pembentuk utama calon warga masyarakat. Tinggi rendahnya kebudayaan

masyarakat, maju mundurnya tingkat kebudayaan suatu masyarakat dan negara,


8
Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, (Jakarta: Gunung Agung,
2002), h. 123
9
Baqir Syarif, Seni Mendidik Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 83
17

sebagian besar tergantung pada pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh

para guru.

2. Syarat-syarat Seorang Guru

Harus diakui bahwa saat ini profesi guru paling mudah tercemar

dibandingkan profesi-profesi lain dalam arti masih ada saja orang yang

memaksakan diri menjadi guru walaupun sebenarnya yang bersangkutan tidak

dipersiapkan untuk itu. Rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru

disebabkan beberapa faktor berikut :

a. Adanya pandangan sebagian masyarakat bahwa siapapun dapat menjadi


guru asalkan ia berpengetahuan.
b. Kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang, mengangkat
seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru.
c. Banyak guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha
mengembangkan profesinya itu. Perasaan rendah diri menjadi guru,
penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya,
sehingga wibawa guru semakin merosot.10

Oleh karena guru adalah orang yang berpengaruh besar di sekolah maupun

masyarakat, maka tidak semua orang dapat menjadi seorang guru. Karena pada

dasarnya diperlukan syarat-syarat untuk menjadi seorang guru.

Adapun syarat-syarat untuk menjadi seorang guru menurut Ngalim

Purwanto adalah :

a. Berijazah
b. Sehat jasmani dan rohani
c. Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkelakuan baik
d. Bertanggung jawab
e. Berjiwa nasional.11
Sedangkan Abu Ahmadi lebih merincikan syarat-syarat guru pada

pemilikan sifat-sifat positif, yaitu :


10
Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah..., h. 113.
11
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung, Remaja Rosdakarya,
2003), h. 139
18

a. Harus berjiwa Pancasila


b. Memiliki rasa tanggung jawab
c. Cinta terhadap anak didik dan terhadap pekerjaannya
d. Manusia sebenarnya
e. Kesabaran.12

Sejalan dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh para ahli di

atas, Suwarno mengatakan ada syarat-syarat pedagogis yang harus dimiliki

seorang guru, yaitu :

a. Kedewasaan
b. Identifikasi norma
c. Identifikasi dengan anak, artinya pendidik dapat menempatkan diri
dalam kehidupan anak, hingga usaha pendidikan tidak bertentangan
dengan kodrat anak
d. Knowledge, mempunyai pengetahuan yang cukup perihal pendidikan

e. Skill, mempunyai keterampilan mendidik


f. Attitude, mempunyai jiwa yang positif terhadap pendidikan.13

Demikian tadi syarat-syarat yang harus dimiliki oleh guru, yang

kesemuanya merupakan syarat yang menunjang kelancaran proses pembelajaran,

sehingga tujuan pendidikan akan tercapai dengan hasil yang optimal. Idealnya,

seorang guru harus memiliki sifat-sifat sebagaimana di atas. Namun pada

kenyataannya masih ada guru yang belum memenuhi kriteria sebagai guru.

3. Tugas dan Fungsi Guru

Dalam paradigma Jawa, pendidik yang diidentikkan dengan “guru”

mempunyai makna "digugu dan ditiru" artinya mereka yang selalu dicontoh dan

dipanuti. Oleh karena itu profil seorang guru sampai saat ini masih ditempatkan

pada kedudukan yang terhormat oleh murid maupun masyarakat, kecuali jika

seorang guru telah melanggar kode etik guru.

12
Abu Ahmadi, Pengantar Dedaktik Metodik, (Bandung, Armico, 2001), h. 49
13
Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 2005), h. 90.
19

Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang pendidik dan tenaga

kependidikan pasal 39 dipaparkan dua tugas seorang guru yakni :

(1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan tugas administrasi,


pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk
menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.
(2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan
dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada
perguruan tinggi.14

a. Tugas Profesi

Guru merupakan suatu profesi yang artinya, suatu jabatan atau pekerjaan

yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini mestinya

tidak dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Itu sebabnya

jenis profesi ini paling mudah terkena pencemaran. Adapun tugas guru sebagai

suatu profesi meliputi :

1) Guru sebagai Pengajar

Guru sebagai pengajar lebih menekankan pada tugas merencanakan dan

melaksanakan pengajaran serta mengevaluasi program pengajaran yang telah

dilakukan maupun mengevaluasi hasil belajar siswa, yaitu untuk mengembangkan

ilmu pengetahuan dan teknologi.

2) Sebagai Pendidik

Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup.

Dalam hal ini tugas seorang guru sebagai pendidik lebih banyak diarahkan

membimbing pembentukan kepribadian anak didik, sehingga anak didik memiliki

sopan santun yang tinggi, dapat menghargai orang lain, memiliki rasa sosial
14
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 197-
198.
20

terhadap sesama, yang pada intinya untuk mengembangkan dan meneruskan nilai

-nilai hidup.

3) Sebagai Pemimpin

Pemimpin di sini diartikan memimpin diri sendiri, memimpin murid

maupun orang lain. Seorang guru berkewajiban mengelola kehidupan

lembaganya, yang meliputi pengelolaan personal anak didik, pengelolaan material

atau sarana, dan pengelolaan operasional atau tindakan yang dilakukan

menyangkut metode mengajar dan pelaksanaan mengajar.

Sedangkan tugas guru sebagi suatu profesi dalam implementasi

pengelolaan proses belajar mengajar menurut Suryo Subroto adalah :

a) Menyusun program pengajaran :


- Program tahunan pelaksanaan kurikulum
- Program semester
- Program satuan pelajaran
- Perencanaan program mengajar
b) Menyajikan atau melaksanaan pengajaran :
- Menyampaikan materi
- Menggunakan metode mengajar
- Menggunakan media atau sumber
- Mengelola kelas atau interaksi belajar mengajar
c) Melaksanakan evaluasi belajar :
- Menganalisis hasil evaluasi belajar
- Melaporkan hasil evaluasi belajar
- Melaksanakan program perbaikan dan pengayaan15

b. Tugas Kemanusiaan

Dalam menjalankan tugasnya dalam mendidik, seorang guru seorang guru

memiliki dua fungsi yakni kedinasan dan moral. Tugas kemanusiaan inilah yang

merupakan salah satu wujud nyata dari fungsi moral. Tugas manusiawi adalah

tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan

15
Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 19.
21

manusia kelak dengan sebaik-baiknya.16 Guru berperan sebagai orang tua kedua,

yang bekerja secara suka rela dan tanpa pamrih. Bentuk pengabdian ini

dilaksanakan guru karena beberapa alasan yaitu :

a) Merasa terpanggil.

b) Mempunyai rasa tanggung jawab secara penuh dan sadar mengenai tugasnya.

c) Mencintai dan menyayangi anak didik.

Melalui tugas kemanusiaan guru seharusnya mampu membantu anak didik

untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga

sehingga dapat menjadi manusia dewasa yang memiliki kemampuan menguasai

ilmu pengetahuan dan mengembangkannya untuk kesejahteraan hidup umat

manusia.17

c. Tugas Kemasyarakatan

Saat ini sebagian besar masyarakat menempatkan guru pada kedudukan

yang lebih terhormat di lingkungannya karena pengetahuan yang dimiliki oleh

guru. Dengan pengetahuan yang dimiliki guru inilah diharapkan masyarakat

memperoleh pengetahuan darinya. Ini berarti bahwa seorang guru berkewajiban

mencerdaskan bangsa menuju pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang

berdasarkan Pancasila.18

Dari ketiga tugas guru tersebut, yang paling dominan dilakukan oleh guru

adalah tugas profesi. Disamping menguasai pengetahuan profesi sebagai guru

16
Ibid., h. 23.
17
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Rosda Karya, 2004), h.
78.
18
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 7
22

dituntut untuk memiliki kepribadian guru, norma keagamaan dan kemanusiaan.

Seperti yang dikatakan Sardiman:

Seorang dikatakan sebagai seorang guru tidak cukup tahu sesuatu materi
yang akan diajarkan, tetapi pertama kali ia harus merupakan seorang yang
memiliki “kepribadian guru” dengan segala ciri tingkat kedewasaan.
Dengan kata lain bahwa untuk menjadi pendidik atau guru, seseorang
harus berpribadi.19

Ketiga tugas di atas jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus

memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan

masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi.

4. Peran-peran Seorang Guru

Dalam kegiatan belajar mengajar pada dasarnya merupakan suatu interaksi

antara siswa dan guru. Yakni siswa sebagai pihak yang belajar sedangkan guru

sebagai pihak yang mengajar. Namun disadari atau tidak guru merupakan bagian

terpenting dalam proses belajar mengajar. Hal ini disebabkan peran guru yang

sangat kompleks dalam suatu kegiatan pembelajaran yaitu “mengajar, memberi

dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan dan

sebagainya.”20

Beberapa peran guru dan kompetensi guru dalam proses belajar mengajar

meliputi beberapa hal sebagaimana dikemukakan oleh Moon yaitu sebagai berikut

: Guru sebagai Perancang Pembelajaran (Designer Of Instruction), guru sebagai

pengelola pembelajaran (Manager of Instruction), guru sebagai pengarah

19
Sardiman A M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000), h. 135.
20
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Rosda Karya, 2004),
h. 78.
23

pembelajaran, guru sebagai evaluator (Evaluator of Student Learning), guru

sebagai konselor, guru sebagai pelaksana kurikulum.21

John P. Dececco William Crowfort, dalam bukunya The Psychology of

Learning and Instruction Educational Psychology menyatakan pendapat Bugelsky

bahwa, “Guru dalam proses belajar mengajar berfungsi sebagai motivator

(pendorong), reinforce (pemberdaya) dan instructor (pelatih).”22

Sedangkan menurut Adam dan Decley peran guru dalam pembelajaran

adalah sebagai berikut: “Guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing,

pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, supervisor, motivator,

penanya, evaluator dan konselor.”23

Menurut Akhyak dalam bukunya profil pendidik sukses peran guru

meliputi banyak hal yaitu, “Guru sebagai demonstrator, pengelola kelas, mediator,

evaluator, educator, instruktur, innovator, motivator, pekerja social, ilmuwan,

orang tua, teladan, pencari keamanan, psikolog dalam pendidikan, dan

pemimpin.24

Namun dalam pembahasan ini penulis hanya membahas 4 peran guru yang

dianggap paling dominan dalam proses belajar mengajar yaitu :

a. Guru sebagai Demonstrator

Di dalam interaksi selama proses belajar mengajar, biasanya tidak semua

materi pelajaran dapat langsung dipahami oleh siswa. Untuk itu agar memudahkan

21
Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di
Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 23.
22
Marasudin Siregar, Didaktik, Metodik, dan Kedudukan dalam Proses Belajar Mengajar,
(Yogyakarta: Sumbangsih, 2005), h. 8
23
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h.
9.
24
Akhyak, Profil Pendidik Sukses, (Surabaya: eLKAF, 2005), h.11.
24

siswa dalam memahami materi yang diajarkan guru harus membantunya dengan

cara memperagakan yang diajarkan. Sehingga dengan jalan ini dapat

memaksimalkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran dan tujuan

pengajaran dapat tercapai dengan efektif.

Melalui perannya sebagai demonstrator, lecturer, atau pengajar, guru

hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan.

Selain itu guru harus menyadari bahwa ia juga seorang pelajar. Ini berarti guru

harus belajar terus menerus. Dengan demikian ia akan memperkaya dirinya

dengan berbagai ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam melaksanakan tugasnya

sebagai pengajar dan demonstrator sehingga mampu memperagakan apa yang

diajarkan

Dalam perannya sebagai seorang demonstrator, guru pasti membutuhkan

suatu alat peraga. Sebagaimana dikatakan Nana Sudjana, “Alat peraga dalam

mengajar memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk menciptakan

proses belajar mengajar yang efektif.”25

Untuk lebih menjelaskan tentang pentingnya alat peraga dalam proses

belajar mengajar, penulis akan kemukakan fungsi alat peraga sebagai berikut :

a) Penggunaan alat peraga dalam proses belajar mengajar bukan


merupakan fungsi tambahan tetapi mempunyai fungsi tersendiri sebagai
alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif.
b) Pengguanaan alat peraga merupakan bagian yang integral dari
keseluruhan situasi mengajar.
c) Alat peraga dalam pengajaran penggunaannya dengan tujuan dan isi
pelajaran. Fungsi ini mengandung pengertian bahwa penggunaan alat
peraga harus melihat pada tujuan bahan pelajaran.

25
Nana Sudjana, CBSA Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2006), h. 99.
25

d) Penggunaan alat peraga dalam pengajaran bukan semata – mata alat


hiburan, dalam arti digunakan hanya sekedar melengkapi proses belajar
supaya lebih menarik perhatian siswa.
e) Penggunaan alat peraga dalam pengajaran lebih diutamakan untuk
mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam
menangkap pengertian yang disampaikan guru.
f) Penggunaan alat peraga dalam pengajaran diutamakan untuk
mempertinggi mutu belajar mengajar. 26

Sedangkan beberapa usaha guru dalam melaksanakan peragaan antara lain

dalam bentuk :

a) Menggunakan berbagai macam alat peraga secara wajar dan tidak


berlebih – lebihan.
b) Meragakan pelajaran dengan perbuatan atau percobaan – percobaan.
c) Membuat buletin board , poster dan sebagainya.
d) Menyelenggarakan karya wisata
e) Mengadakan sandiwara, sosiodarama, pantomim, drama.27

Dari kenyataan di atas dapat disimpulkan bahwa guru dapat menjalankan

perannya dengan baik sebagai demonstrator bila ia menguasai dan bisa

menggunakan alat peraga sesuai dengan materi yang diajarkannya untuk

membantu siswa dalam memahami pelajaran, sehingga tujuan pembelajaran akan

tercapai dengan baik.

a. Guru sebagai Pengelola Kelas

1) Pengertian pengelolaan kelas

Pengelolaan kelas terdiri dari dua kata yaitu pengelolaan dan kelas.

Pengelolaan kata dasarnya adalah “kelola”. Pengelolaan memiliki arti pengaturan,

penyelenggaraan atau proses yang melibatkan pengawasan pada semua hal yang

terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan.28

26
Ibid., h. 99- 100.
27
Ibid., h. 27.
28
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai
Pustaka), hal. 470
26

Pengertian pengelolaan kelas menurut Made Pidarta adalah: “Proses

seleksi dan penggunaan alat- alat yang tepat terhadap problem dan situasi kelas.”29

Sedangkan menurut Hadari Nawawi dalam bukunya, pengelolaan kelas

memiliki arti yaitu :

Kemampuan guru atau wali kelas dalam mendayagunakan potensi kelas


berupa pemberian kesempatan yang seluas- luasnya pada setiap personal
untuk melakukan kegiatan- kegiatan yang kreatif dan terarah sehingga
waktu dan dana yang tersedia dapat dimanfaatkan secara efisien untuk
melakukan kegiatan- kegiatan kelas yang berkaitan dengan kurikulum dan
perkembangan murid. 30

2) Faktor – faktor pengelolaan kelas

Pengelolaan di dalam kelas bergantung pada banyak faktor, yaitu:

a) Kurikulum
b) Bangunan dan sarana
c) Guru
d) Murid
e) Dinamika kelas.31

3) Guru sebagai pengelola kelas

Dalam menjalankan perannya sebagai pengelola kelas guru memiliki suatu

tanggung jawab untuk “Memelihara lingkungan fisik kelasnya agar senantiasa

menyenagkan untuk belajar.”32

Sebagai pengelola kelas (learning manager), guru hendaknya mampu

mengelola kelas sebagai lingkungan belajar serta merupakan aspek dari

lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi

agar kegiatan – kegiatan belajar terarah kepada tujuan pendidikan.


29
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta, Rineka Cipta, 1996), hal.
172
30
Hadri Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas,(Jakarta, PT. Tema Baru), hal.
116
31
Ibid, hal. 116
32
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h.
8.
27

Tanggung jawab yang lain dari seorang guru adalah memelihara

lingkungan fisik kelasnya agar senantiasa menyenangkan untuk belajar dan

mengarahkan atau membimbing proses- proses intelektual dan sosial di dalam

kelasnya.

Dalam menjalankan perannya guru perlu bekerja sama dengan para siswa,

yakni dengan tindakan :

a) Mendorong setiap siswa selalu bersedia mengatur kelasnya melalui


kegiatan rutin sehari- hari seperti : membersihkan kelas, mengatur
hiasan, membersihkan papan tulis.
b) Menyusun tata tertib dan disiplin kelas bersama- sama siswa.
c) Meminta saran siswa- siswa untuk melengkapi kelas dengan peralatan
yang diperlukan.
d) Membentuk bersama- sama siswa pengurus kelas, yakni : pengurus tim
olah raga, tim kesenian dan lain- lain.
e) Mendorong agar siswa secara terus menerus ikut memikirkan kegiatan
kelas dan berani mengusulkannya untuk dilaksanakan bersama- sama di
dalam kelas. 33

Peran guru sebagai pengelola kelas dalam hal ini adalah memberikan

pengarahan, koordinasi serta melakukan kontrol terhadap pelaksanaannya.

Dengan jalan ini maka akan menumbuhkan perasaan tanggung jawab dan

kepemimpinan bagi siswa, sehingga memungkinkan untuk menciptakan situasi

belajar mengajar yang menyenangkan bagi siswa dan sekaligus memudahkan

pencapaian tujuan pembelajaran yang diinginkan.

c. Guru sebagai Mediator

Sebelum membahas lebih jauh mengenai peran guru sebagai mediator

perlu penulis terangkan dulu mengenai pengertian dari media itu sendiri. “Media

33
Hadri Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas,(Jakarta: Tema Baru, 2000), h.
128.
28

berasal dari bahasa latin yaitu medium yang artinya perantara atau pengantar.” 34

Dengan demikian media memiliki dungsi untuk penyalur pesan atau indormasi

belajar.

Di dalam kegiatan belajar mengajar, media mempunyai arti yang cukup

penting. Karena proses belajar mengajar hakekatnya adalah proses komunikasi,

penyampaian pesan dari pengantar ke penerima. Pesan berupa isi/ajaran yang

dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi baik verbal (kata-kata& tulisan)

maupun non-verbal. Dalam penyampaian pesan yaitu materi pelajaran dari guru

ke siswa ada kalanya berhasil, ada kalanya tidak untuk itu agar pesan atau materi

yang disampaikan guru bisa dengan lebih mudah diterima oleh siswa guru dapat

menggunakan media sebagai perantara.

Namun tidak di semua mata pelajaran penggunaan media mutlak

diperlukan. Media biasanya hanya digunakan untuk pelajaran yang betul- betul

membutuhkan perantara. Dilihat dari kegunaannya media dapat dibagi menjadi

dua, yaitu :

a) Media sebagai alat bantu

Media sebagai alat bantu berfungsi untuk memudahkan jalan menuju

tercapainya tujuan pembelajaran. Hal ini dilandasi dengan keyakinan bahwa

proses belajar mengajar dengan bantuan media mempertinggi kegiatan belajar

mengajar anak. Itu berarti kegiatan proses dan hasil belajar lebih baik dari pada

tanpa bantuan. Alat bantu tersebut bisa berupa : globe, grafik, bar dan sebagainya.

b) Media sebagai sumber belajar

34
Soetomo. Dasar dasar Interaksi Belajar Mengajar, (Surabaya: Usaha Naional, 2003), h.
197.
29

Sumber sumber belajar dapat dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu

manusia, buku, perpustakaan, media masssa, alam, lingkungan dan media

pendidikan. Maka sumber belajar ialah segala sesuatu yang dapat dipergunakan

sebagai tempat dimana bahan pengajaran berada untuk belajar seseorang.35

Secara umum media mempunyai kegunaan:

1. Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis.

2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indra.

3. Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara siswa dengan

sumber belajar.

4. Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan

visual, auditori dan kinestetiknya.

5. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan

menimbulkan persepsi yang sama.

6. Menghemat waktu belajar

Berdasarkan uraian di atas, guru sebagai mediator hendaknya memiliki

pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media

pendidikan merupakan alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar

mengajar.36

Sebagai seorang mediator yang perlu diperhatikan guru dalam

mengguanakan media adalah :

a) Menentukan jenis media dengan tepat.


b) Menetapkan atau memperhitungkan subyek dengan tepat yaitu sesuai
dengan tingkat kematangan.
35
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 137.
36
Akhyak, Profil Pendidik Sukses, (Surabaya: eLKAF, 2005), h. 13.
30

c) Menyajikan media denga tepat, artinya teknik dan metode penggunaan


media dalam pengajaran harus sesuai dengan tujuan, bahan metode,
waktu dan saran yang ada.
d) Memperhatikan media dengan waktu.37

Dalam menggunakan media mengajar ini, guru hendaklah selalu

mengingat bahwa tujuan utama menggunakan media tersebut adalah mendekatkan

siswa kepada kenyataan.38

d. Guru sebagai evaluator

Pengertian evaluasi secara istilah, telah banyak dikemukakan para ahli,

terutama pakar pendidikan. H. Mappanganro merumuskan bahwa evaluasi adalah

“Proses menetapkan nilai atau jumlah dari sesuatu taksiran yang sama.”39

Evaluasi merupakan rangkaian akhir komponen dalam suatu sistem

pendidikan yang sangat penting. Berhasil atau gagalnya suatu pendidikan dalam

mencapai tujuan dapat dilihat setelah dilakukan penilaian terhadap produk yang

dihasilkan. Jika hasil suatu pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan yang

telah diprogramkan maka usaha suatu pendidikan tadi dinilai berhasil.40

Tujuan melakukan evaluasi dalam proses belajar mengajar pada dasarnya

untuk mengumpulkan berbagai informasi secara berkesinambungan dan

menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang dapat dijadikan dasar untuk

menentukan perlakuan selanjutnya. Dengan melihat hasil dari evaluasi ini guru

akan mendapatkan umpan balik dari proses interaksi edukatif yang telah

37
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 144
-145.
38
Dzakiah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
2005), h. 39.
39
Mappanganro, Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah (Ujung Pandang: Yayasan
Ahkam, 2006), h. 99.
40
Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), h. 60.
31

dilaksanakan. Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi mengatakan, “Penilaian proses

bertujuan menilai efektifitas dalam penyempurnaan progran dan

pelaksanaannya.”41

Sedangkan fungsi dari evaluasi menurut Wayan Nurkancana dan

Sunartana adalah :

c) Untuk mengetahui taraf kesiapan dari pada anak-anak untuk menempuh


suatu pendidikan tertentu.
d) Untuk mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses
belajar atau pendidikan yang telah dilaksanakan.
e) Untuk mengetahui apakah suatu mata pelajaran yang kita ajarkan dapat
kita lanjutkan dengan bahan yang baru ataukah harus mengulangi
kembali bahan- bahan pelajaran yang lampau.
f) Untuk mendapatkan bahan-bahan informasi dalam memberikan
bimbingan tentang jenis pendidikan.
g) Untuk mendapatkan bahan – bahan informasi untuk menentukan
apakah seorang anak dapat dinaikkan ke dalam kelas yang lebih tinggi
h) Untuk membandingkan apakah prestasi yang dicapai oleh anak-anak
sudah sesuai dengan kapasitasnya
i) Untuk menafsirkan apakah seorang anak telah cukup matang untuk kita
lepaskan ke dalam masyarakat.
j) Untuk mengadakan seleksi.untuk mengetahui taraf efisiensi metode
yang dipergunakan dalam lapangan pendidikan. 42

Evaluasi pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu :

a) Fungsi selektif

b) Fungsi diagnostik

c) Fungsi penempatan

d) Fungsi keberhasilan

Dalam perannya sebagai evaluator guru hendaknya secara terus menerus

mengikuti perkembangan hasil belajar yang telah dicapai oleh siswanya dari

41
Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi, Pengelolaan Pengajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005),
h. 159.
42
Wayan Nurkanvana dan P.P.N. Sunartana, Evaluasi Pendidikan, (Surabaya: Usaha
Nasional, 2006), h. 3-6.
32

waktu ke waktu. Seorang guru dituntut untuk menjadi evaluator yang baik dan

jujur dengan memberikan penilaian yang menyangkut intinsik maupun intrinsik.

Guru tidak hanya menilai produk, tetapi juga menilai proses. 43 Dengan

mengetahui hasil belajar, guru dapat mengambil tindakan konstruktif, baik bagi

anak didik yang berprestasi belajar tinggi maupun bagi anak didik yang

berprestasi sedang.

Beberapa usaha yang bisa dilakukan guru dalam menjalankan perannya

sebagai evaluator antara lain :

1. Mengumpulkan data hasil belajar anak didik :


- Setiap kali ada usaha mengevaluasi selam pelajaran berlangsung
- Melakukan evaluasi pada akhir pelajaran
2. Menganalisis data hasil belajar anak didik, dengan langkah ini guru
dapat mengetahui :
- Anak didik yang menemukan pola – pola belajar yang lain
- Keberhasilan atau tidaknya anak didik dalam belajar
3. Menggunakan hasil belajar anak didik, yang meliputi :
- Lahirnya feedback untuk masing – masing anak didik dan ini perlu
diketahui guru
- Dengan feedback itu guru dapat menganalisis dengan tepat follow up
atau kegiatan – kegiatan berikutnya.44

Demikianlah beberapa peranan guru di dalam proses belajar mengajar

yang penulis anggap penting dalam mempengaruhi hasil dari proses pembelajaran

tersebut. Dari keseluruhan peran guru pada hakikatnya bertujuan demi kelancaran

proses pembelajaran dan juga demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah

direncanakan.

B. Hakikat Hasil Belajar

1. Pengertian Hasil Belajar

43
Imam Musbikin, Guru yang Menakjubkan¸ (Yogyakarta: Bukubiru, 2010), h. 64.
44
Syaiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, (Surabaya: Usaha
Nasional, 2004), h. 107.
33

Pada umumnya hasil belajar meliputi pengetahuan, sikap dan

keterampilan. Hasil belajar yang akan diperoleh siswa setelah menempuh

pengalaman belajarnya atau proses belajar mengajar. Sudjana mengatakan hasil

belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima

pengalaman belajarnya.45

Proses belajar mengajar dan hasil belajar saling berhubungan karena dalam

kegiatan belajar mengajar terdapat tujuan yang akan dicapai. Siswa yang

sebelumnya tidak tahun menjadi tahu dan dari tidak mengerti menjadi mengerti

setelah belajar. Hamalik mengatakan hasil belajar adalah bila seseorang telah

belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari

tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.46

Hasil belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam

mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport

setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar. Hasil belajar siswa

dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil belajar adalah kemampuan-

kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah ia menerima pengalaman

belajaranya.47

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka disimpulkan bahwa hasil belajar

merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak

dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar.

Dalam panduan pelaksanaan Kurikulum 2013, Pemendikbud 81A,

menjelaskan bahwa yang menjadi sasaran penilain ialan proses dan hasil belajar
45
Nana Sudjana, Teori Belajar dan Pembelajaran. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h.28.
46
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran. (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h.22.
47
Nana Sudjana, Penilaian ...,h. 22
34

siswa. Penilain proses meliputi aktivitas mengamati, menanya; mengumpulkan

informasi, mengasosiasi,  dan mengkomunikasikan, termasuk aktivitas dalam

mengamati adalah menyimak, membaca, dan melihat.48

Terdapat tiga kegiatan yang saling terkait dalam kegiatan penilaian hasil

belajar peserta didik, yakni pengukuran (measurement), penilaian (assessment)

dan evaluasi (evaluation). Ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berbeda,

walaupun memang saling berkaitan. Pengukuran adalah kegiatan membandingkan

hasil pengamatan dengan suatu kriteria atau ukuran. Penilaian adalah proses

mengumpulkan informasi atau bukti melalui pengukuran, menafsirkan,

mendeskripsikan, dan menginterpretasi bukti-bukti hasil pengukuran. Evaluasi

adalah proses mengambil keputusan (judgment) berdasarkan hasil-hasil

penilaian.49

Dari sisi kemampuan yang dinilai, cakupan penilaian meliputi aspek

pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pada Kurikulum 2013, aspek yang dinilai

tergantung pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Kompetensi Inti (KI), dan

Kompetensi Dasar (KD).

1. SKL mencakup aspek sikap (attitude), pengetahuan (knowledge), dan


keterampilan (skills).
2. KI mencakup aspek kompetensi sebagai berikut:
a. KI-I: aspek sikap peserta didik terhadap Tuhan.
b. KI-II: aspek sikap peserta didik terhadap diri sendiri dan
terhadap,lingkungannya.
c. KI-III: aspek pengetahuan peserta didik.
d. KI-IV:aspek keterampilan peserta didik.
3. Untuk setiap KI terdapat rumusan KD yang berbeda dengan pemberian
materi pokok tertentu. Jadi, untuk suatu materi pokok tertentu, muncul
4 KD sebagai berikut:
48
Kurniasih, Imas dan Berlin Sani, Implementasi Kurikulum 2013: Konsep dan
Penerapan, (Surabaya: Kata Pena, 2014), h. 26.
49
Ibid., h. 29.
35

a. KD pada KI-I: aspek sikap terhadap Tuhan (untuk mata


Pelajaran tertentu bersifat generik, artinya berlaku untuk
seluruh materi pokok)
b. KD pada KI-II: aspek sikap terhadap diri sendiri dan
lingkungannya (untuk mata pelajaran tertentu bersifat relatif
generik, namun beberapa materi pokok tertentu ada KD pada
KI-II yang berbeda dengan KD lain pada KI-II).
c. KD pada KI-III: aspek pengetahuan
d. KD pada KI-IV: aspek keterampilan.50

Berbagai metode dan instrumen, baik formal maupun non formal dapat

digunakan dalam penilaian untuk mengumpulkan informasi. Informasi yang

dikumpulkan menyangkut semua perubahan yang terjadi baik secara kualitatif

maupun kuantitatif. Penilaian dapat dilakukan selama pembelajaran berlangsung

(penilaian proses) dan setelah pembelajaran usai dilaksanakan (penilaian

hasil/produk). Penilaian informal bisa berupa komentar-komentar guru yang

diberikan, diucapkan selama proses pembelajaran, saat seorang peserta didik

menjawab pertanyaan guru, saat seorang peserta didik atau beberapa peserta didik

mengajukan pertanyaan kepada guru atau temannya, atau saat seorang peserta

didik memberikan komentar terhadap jawaban guru atau peserta didik lain, guru

telah melakukan penilaian informal terhadap performansi peserta didik tersebut.

Penilaian proses formal, sebaliknya, merupakan suatu teknik pengumpulan

informasi yang dirancang untuk mengidentifikasi dan merekam pengetahuan dan

keterampilan peserta didik. Berbeda dengan penilaian proses informal, penilaian

proses formal merupakan kegiatan yang disusun dan dilakukan secara sistematis

dengan tujuan untuk membuat suatu simpulan tentang kemajuan peserta didik.51

50
Ibid., h. 33.
51
Ibid., h. 30.
36

Beberapa hal penting yang mendasari penilaian hasil belajar pada kuri-

kulum 2013, antara lain adalah sebagai berikut :

a. Penilaian Berdasarkan Standar

Sebuah standar diperlukan karena ia berperan sebagai patokan dan

sekaligus pemicu untuk memperbaiki aktivitas hidup. Dalam konteks pendidikan,

standar diperlukan sebagai acuan minimal (dalam hal kompetensi) yang harus

dipenuhi oleh seorang lulusan dari suatu lembaga pendidikan sehingga setiap

calon lulusan dinilai apakah yang bersangkutan telah memenuhi standar minimal

yang telah ditetapkan. Dengan diterapkannya standar dalam bentuk Standar

Kompetensi Lulusan (SKL), Kompetensi Inti (KI), dan Kompetensi Dasar (KD)

sebagai acuan dalam proses pendidikan, diharapkan semua komponen yang

terlibat dalam pengelolaan pendidikan di semua tingkatan, termasuk peserta didik

itu sendiri akan mengarahkan upayanya pada pencapaian standar dimaksud.52

Diharapkan dengan pendekatan ini guru memiliki orientasi yang jelas

tentang apa yang harus dikuasai peserta di setiap tingkatan dan jenjang, serta pada

saat yang sama memiliki kebebasan yang luas untuk mendesain dan melakukan

proses pembelajaran yang dipandang paling efektif dan efisien untuk mencapai

standar tersebut. Dengan demikian, guru didorong untuk menerapkan prinsip-

prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning) serta tidak berorientasi pada

pencapaian target kurikulum semata.

b. Penilaian Otentik (Authentic Assessment)

Salah satu implikasi dari diterapkannya standar kompetensi adalah proses

penilaian yang dilakukan oleh guru, baik yang bersifat formatif maupun sumatif
52
Ibid., h. 31.
37

harus menggunakan acuan kriteria. Untuk itu, dalam menerapkan standar

kompetensi guru harus:

1) mengembangkan matriks kompetensi belajar (learning competency


matrix) yang menjamin pengalaman belajar yang terarah dan,
2) mengembangkan penilaian otentik berkelanjutan (continuous authentic
assessment) yang menjamin pencapaian dan penguasaan kompetensi.53

Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang

perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan peserta didik melalui

berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan, atau menunjukkan

secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kemampuan (kompetensi) telah

benar-benar dikuasai dan dicapai.

Terdapat beberapa prinsip-prinsip penilaian otentik berikut yang perlu

dipahami dalam pelaksanaan penilaian pembelajaran berbasis kurikulum 2013 :

1) Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari


proses pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran
(a part of,  not apart from, instruction);
2) Penilaian harus mencerminkan masalah dunia nyata (real world
problems), bukan masalah dunia sekolah (school work-kind of
problems);
3) Penilaian harus menggunakan berbagai ukuran, metoda, dan kriteria 
yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar;
4) Penilaian harus bersifat holistik yang mencakup semua aspek dari
tujuan pembelajaran (sikap, keterampilan, dan pengetahuan).54

Data hasil penilaian meliputi data perkembangan belajar siswa dalam

proses pelaksanaan belajar sehari-hari hasil pengamatan guru, penilaian diri, dan

penilaian teman, hasil ulangan harian lisan maupun tulisan, nilai hasil karya, dan

nilai tugas yang terhimpun menjadi nilai portofolio.

2. Ranah Hasil Belajar

53
Ibid., h.42.
54
Ibid., h. 44.
38

Dalam sistem pendidikan nasional, rumusan tujuan pendidikan

menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis

besar membaginya menjadi tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan

ranah psikomotorik.

Masing-masing ranah terdiri dari sejumlah aspek yang saling berkaitan,

alat penilaian untuk setiap ranah tersebut mempunyai karakteristik sendiri, sebab

setiap ranah berbeda dalam cakupan dan hakikat yang terkandung didalamnya.

a. Ranah Kognitif

Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari

enam aspek yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis,

sintesis dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan

keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi.

Masing-masing aspek mempunyai pengertian sebagai berikut:

1) Pengetahuan

Pengetahuan atau yang dikatakan Bloom ddengan istilah knowledge ialah

tingkat kemampuan yang hanya meminta responden untuk mengenal atau

mengetahui adanya konsep, fakta, atau istilah-istilah tanpa harus mengerti atau

dapat menilai atau dapat menggunakannya.

2) Pemahaman

Pemahaman atau komprehensi adalah tingkat kemampuan yang

mengharapkan responden mampu memahami atau konsep, situasi serta fakta yang

diketahuinya.

3) Penerapan
39

Penerapan atau aplikasi adalah kemampuan untuk menerapkan atau

menggunakan apa yang telah diketahui dalam suatu situasi yang baru.

4) Analisis

Analisis yaitu tingkat kemampuan untuk menganalisis atau menguraikan

suatu integritas atau suatu situasi tertentu kedalam komponen-komponen atau

unsur-unsur pembentukannya.

5) Sintesis

Sintesis adalah penyatuan-penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian

kedalam suatu bentuk yang menyeluruh.

6) Evaluasi

Evaluasi adalah membuat suatu penilaian tentang suatu pernyataan, konsep,

situasi dan sebagainya. Berdasarkan suatu criteria tertentu, kegiatan penilaian

dapat dilihat dari segi tujuannya, gagasannya, cara bekerjanya, cara

pemecahannya, metodenya dan lain-lain.55

b. Ranah Afektif

Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli

mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila

seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Penilaian hasil

belajar afektif kurang mendapat perhatian dari pendidik. Pendidik lebih banyak

menilai ranah kognitif semata-mata. Tipe hasil belajar afektif tampak pada peserta

didik dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran,

55
Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2000), h. 47
40

disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar

dan hubungan sosial.

Ada beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil belajar :

1) Reciving/attending, (penerimaan, yaitu semacam kepekaan dalam


menerima rangsangan dari luar yang datang kepada peserta didik
dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain.
2) Responding atau jawaban, yaitu reaksi yang diberikan oleh seseorang
terhadap rangsangan yang datang dari luar. Hal ini.
3) Valuing (penilaian), berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap
gejala atau rangsangan tadi. Dalam evaluasi ini termasuk didalamnya
kesedihan menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman untuk
menerima nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut.
4) Organisasi, yaitu pengembangan dari nilai kedalam suatu sistem
organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain,
pemantapan, dan prioritas nilai yang dimilikinya.
5) Karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yaitu keterpaduan semua
sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola
kepribadian dengan tingkah lakunya, termasuk keseluruhan nilai dan
karakteristknya.56

c. Ranah Psikomotorik

Hasil belajar psikomorik tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan

kemampuan bertindak individu. Ada enam tingkat keterampilan yaitu :

1) Gerakan refleks (kemampuan pada gerakan yang tidak sadar).


2) Keterampilan pada gerakan-gerakan sadar.
3) Kemampuan perseptual, termasuk didalamnya membedakan visual,
membedakan auditif, motoris dan lain-lain.
4) Kemampuan dibidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan, dan
ketetapan.
5) Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada
keterampilan kompleks.
6) Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti
gerakan ekspresif dan interpretative. 57

56
Ibid,. h.49
57
Nana Sudjana, Penilaian Hasil…., h. 31
41

Hasil belajar yang dikemukakan diatas sebenarnya tidak berdiri sendiri

tetapi selalu berhubungan satu sama lain, bahkan ada dalam kebersamaan.

Seseorang yang berubah tingkat kognisinya sebenarnya dalam kadar tertentu telah

berubah pula sikap dan perilakunya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar sangat beragam.

Suryabrata mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi hasil belajar dibagi dua

yaitu faktor yang berasal dari luar diri pelajar yang meliputi faktor nonsosial dan

faktor sosial, serta faktor yang berasal dari dalam diri pelajar yaitu faktor

fisiologis dan psikologis.58

a. Faktor Nonsosial dalam Belajar

Lingkungan alami merupakan lingkungan fisik di sekitar anak berupa

berbagai fenomena alam maupun keadaan lingkungan tempat anak hidup.

Lingkungan alami akan membawa dampak besar terhadap hasil belajar anak.

Apabila kondisi lingkungan mendukung proses belajar anak maka dapat

dipastikan hasil belajar anak akan maksimal.

Suryabrata mengatakan bahwa kelompok faktor nonsosial meliputi

keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu, tempat, dan alat-alat yang digunakan

untuk belajar. Semua faktor tersebut harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat

membantu proses atau perbuatan belajar secara maksimal.59

b. Faktor-faktor Fisiologis dalam Belajar

58
Suryabrata, Psikologi Pendidikan. Jakarta: (Raja Grafindo Persada, 2010), h. 76.
59
Ibid
42

Faktor fisiologis adalah faktor berkaitan dengan kondisi fisik seseorang

atau kondisi jasmaniah seseorang. Faktor ini merupakan faktor bawaan dalam diri

seorang individu, melekat pada dirinya, serta sebagian menjadi karakteristik

dirinya. Slameto menyebutkan bahwa faktor jasmaniah meliputi faktor kesehatan

dan cacat tubuh. Faktor fisiologis ini ada bersifat permanen seperti cacat tubuh

permanen, ada pula bersifat sementara seperti kesehatan.60

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa keadaan

jasmani yang perlu diperhatikan dalam belajar adalah kondisi fisik normal atau

tidak memiliki cacat sejak dalam kandungan sampai sesudah lahir. Kondisi fisik

normal ini terutama harus meliputi keadaan otak, panca indera, anggota tubuh.

Selain itu kondisi kesehatan fisik sehat serta segar sangat mempengaruhi

keberhasilan belajar. Di dalam menjaga kesehatan fisik ada beberapa hal perlu

diperhatikan antara lain makan, minum teratur, olah raga serta cukup tidur.

c. Faktor Psikologis dalam Belajar

Faktor psikologis mempengaruhi hasil belajar meliputi segala hal

berkaitan dengan kondisi mental kejiwaan seseorang. Aspek psikis atau kejiwaan

tidak kalah pentingnya dalam belajar dengan aspek jasmaniah. Slameto

mengatakan sekurang-kurangnya ada tujuh faktor mempengaruhi belajar yaitu

inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan kelelahan. Untuk

kelancaran belajar bukan hanya dituntut kesehatan jasmaniah tetapi kesehatan

rohaniah atau psikis pula.61

60
Ibid.,
61
Slameto, Belajar dan Faktor Yang Mempengaruhinya. (Jakarta:Rineka Cipta, 2010),
h.73.
43

Orang sehat psikisnya adalah orang terbebas dari tekanan batin mendalam,

frustasi, konflik-konflik psikis, terhindar dari kebiasaan-kebiasaan buruk

mengganggu perasaan. Orang sehat psikisnya akan merasakan kebahagiaan serta

dapat menyerap pelajaran lebih optimal.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor

psikologis dalam belajar meliputi seluruh keadaan psikologi anak yang sedang

belajar. Apabila keadaan psikologis anak baik maka dimungkinkan akan

memperoleh hasil belajar dengan baik pula dan sebaliknya.

C. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Pendidikan dapat menjadi salah satu upaya strategis pendemokrasian

bangsa Indonesia, khususnya di kalangan generasi muda. Pendidikan yang

dimaksud adalah model pendidikan yang berorientasi pembangunan karakter

bangsa melalui pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai subjek melalui cara-

cara pembelajaran yang demokratis, partisipatif, kritis, kreatif, dan menantang

aktualisasi diri mereka. Pendidikan model ini sangat relevan bagi pengembangan

pendidikan demokrasi, yang biasa dikenal dengan istilah Pendidikan Kewargaan

atau Kewarganegaraan (Civil Education).

Azra mengemukakan bahwa pendidikan kewargaan (Civic Education)

adalah pendidikan yang cakupannya lebih luas dari pendidikan demokrasi dan

pendidikan HAM karena mencakup kajian dan pembahasan tentang banyak hal,

seperti: pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak

dan kewajiban warga negara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan
44

warga negara dalam masyarakat madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga

dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, politik, administrasi publik dan

sistem hukum, pengetahuan tentang HAM, kewarganegaraan aktif, dan

sebagainya.62

Pendidikan kewarganegaraan dengan pijakan pembangunan karakter

bangsa (character nation building) ini sangat relevan untuk dilakukan saat ini

dimana perilaku berdemokrasi di Indonesia masih banyak disalahpahami oleh

kebanyakan warga negara Indonesia. Sejalan dengan pendapat di atas Zahromi

berpendapat bahwa pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi

yang bertujuan mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak

demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru.63

Pendidikan kewarganegaraan dengan kata lain merupakan pendidikan

yang berusaha menggabungkan unsur-unsur substantif dari komponen civic

education melalui model pembelajaran yang demokratis, interaktif, serta humanis

dalam lingkungan yang demokratis. Soemantri menyatakan pendidikan

kewarganegaraan ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:

a. Kegiatan yang meliputi seluruh program sekolah.

b. Kegiatan mengajar yang dapat menumbuhkan hidup dan perilaku yang lebih

baik dalam masyarakat demokratis.

c. Hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi, dan

syarat-syarat objektif untuk hidup bernegara.64

62
Ubaedillah, A & Rozak, Abdul, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), h. 15.
63
Ibid., h. 15.
64
Ibid.
45

Berdasarkan pendapat ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa

pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi untuk mempersiapkan

warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis melalui aktivitas

menanamkan kesadaran kepada generasi baru.

2. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Dalam Lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 dikemukakan

bahwa “Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran

yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu

melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia

yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD

1945”, sedangkan tujuannya, digariskan dengan tegas, “ adalah agar peserta didik

memiliki kemampuan sebagai berikut:

1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu

kewarganegaraan.

2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara

cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta

antikorupsi.

3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan

karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan

bangsa-bangsa lainnya.

4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara

langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan

komunikasi.
46

Pendidikan kewarganegaraan (PKn) memiliki ruang lingkup di dalam

pembelajarannya, dimana aspek-aspeknya saling berkaitan satu sama lain.

Ubaedillah & Rozak menyebutkan materi pendidikan kewarganegaraan (civil

education) terdiri dari tiga materi pokok, yaitu demokrasi, hak asasi manusia, dan

masyarakat madani (civil society).65

Sedangkan Mulyasa mengemukakan ruang lingkup PKn secara umum

meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

a) Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi hidup rukun, bangga sebagai


bangsa Indonesia, dan partisipasi dalam bela negara.
b) Norma, hukum, dan peraturan, meliputi tertib dalam kehidupan
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
c) Hak asasi manusia (HAM), meliputi hak dan kewajiban anak dan
perlindungan HAM.
d) Kebutuhan warga negara, meliputi hidup gotong royong dan
persamaan kedudukan warga negara.
e) Konstitusi negara, meliputi proklamasi kemerdekaan dan hubungan
dasar negara dengan konstitusi.
f) Kekuasaaan dan politik, meliputi pemerintahan desa, kecamatan,
daerah, dan pusat.
g) Kedudukan pancasila, meliputi pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara, dan pengamalan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-
hari.
h) Globalisasi, meliputi politik luar negeri Indonesia di era globalisasi
dan dampak globalisasi.66

Berdasarkan pendapat ahli di atas, peneliti menyimpulkan ruang lingkup

pembelajaran PKn meliputi: persatuan dan kesatuan bangsa, norma, hukum, dan

peraturan, hak asasi manusia (HAM), kebutuhan warga negara, konstitusi negara,

kekuasaan dan politik, kedudukan pancasila, serta globalisasi.

Materi mengenai warga negara meliputi:

65
Ibid., h. 19.
66
Ruminiati, Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan SD. (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, 2013), h. 26-27.
47

1) Hidup gotong royong, manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan

pertolongan dan bantuan orang lain. Untuk mewujudkan diri sebagai makhluk

sosial tersebut salah satu wujudnya adalah sikap saling bergotong royong.

2) Harga diri sebagai warga masyarakat, adalah salah satu hak kita sebagai warga

negara. Kita harus mengetahui apa saja yang menjadi harga diri warga negara,

agar apabila penguasa akan bertindak sewenang-wenang, maka kita dapat

mencegahnya.

3) Kebebasan berorganisasi dan kemerdekaan mengeluarkan pendapat

merupakan hak kita sebagai warga negara, dengan mengetahuinya kita dapat

mengembangkan kemampuan kita dengan maksimal melalui organisasi dan

mengeluarkan pendapat di dalam maupun luar organisasi tersebut.

4) Menghargai keputusan bersama, sebagai makhluk sosial, kita harus dapat

menghargai keputusan yang telah disepakati bersama, agar tidak terjadi

konflik antar warga negara.

5) Prestas diri, sebagai warga negara kita juga berhak untuk mengembangkan

kemampuan kita dan meraih prestasi yang tinggi.

6) persamaan kedudukan warga negara, persamaan kedudukan antar warga

negara sudah dijamin oleh negara, maka dari itu, bila kita mengetahuinya

maka akan dapat mencegah atau menindak aksi pelanggaran.

Dari uraian diatas, terlihat jelas bahwa materi mengenai warga negara

sangat penting bagi siswa. Untuk dapat memahami materi tersebut, memerlukan

motivasi belajar yang tinggi dari siswa. Akibat dari motivasi yang tinggi akan

menghasilkan prestasi yang gemilang juga.


48

3. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SD/MI

Indonesia sebagai negara kesatuan yang terdiri dari beraneka ragam

bangsa serta kaya akan sumber daya alamnya, membutuhkan pemimpin yang

memiliki nilai moral dan norma yang baik. Tujuan mata pelajaran PKn adalah

untuk membentuk watak atau karakteristik warga negara yang baik. Ubaedillah &

Rozak mengemukakan pendidikan kewarganegaraan (PKn) bertujuan untuk

membangun karakter (character building) bangsa Indonesia antara lain:

a. Membentuk kecakapan partisipasi warga negara yang bermutu dan

bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

b. Menjadikan warga negara indonesia yang cerdas, aktif, kritis, dan demokratis,

namun tetap memiliki komitmen menjaga persatuan dan integritas bangsa.

c. Mengembangkan kultur demokrasi yang berkeadaban, yaitu kebebasan,

persamaan, toleransi, dan tanggung jawab.67

Membentuk pemimpin yang memiliki kecakapan tersebut tentulah dimulai

sejak dini. Pembentukan kecakapan ini hendaknya telah diterapkan oleh guru di

sekolah dasar sejak siswa berada di kelas 1. Sejalan dengan pendapat di atas,

Mulyasa menyatakan tujuan pembelajaran mata pelajaran pendidikan

kewarganegaraan (PKn) adalah untuk menjadikan siswa:

a. Mampu berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi persoalan

hidup.

b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab.

67
Ibid., h. 179.
49

c. Berkembang secara positif dan demokratis, sehingga mampu memanfaatkan

teknologi informasi dan komunikasi dengan baik. 68

Berdasarkan pendapat ahli di atas, peneliti menyimpulkan tujuan

pendidikan kewarganegaraan adalah agar siswa mampu berpikir kritis, rasional,

dan kreatif dalam menanggapi persoalan hidup serta mau berpartisipasi secara

aktif dan bertanggung jawab, sehingga bisa bertindak secara cerdas dalam semua

kegiatan.

4. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SD/MI

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan pendidikan yang

menyangkut status formal warganegara yang diatur dalam UU No 2 tahun 1949.

PKn bertujuan membentuk atau membina warganegara yang baik, warganegara

yang tahu, mau, sadar akan hak dan kewajibannya. Tujuan PKn untuk

mewujudkan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, sehingga lebih menekankan

pada hak dan kewajiban sebagai warga negara. Hal ini dapat diwujudkan dalam

bentuk sikap, perilaku dan perbuatan yang baik.

Menurut Azyumardi Azra sebagaimana dikutip Mustafa, Pendidikan

kewarganegaraan adalah pendidikan yang cakupannya lebih luas dari pendidikan

demokrasi dan pendidikan HAM, karena mencakup kajian dan pembahasan

tentang banyak hal, yakni:

(a) pengetahuan tentang pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga


demokrasi, hak dan kewajiban warga negara, proses demokrasi,
partisipasi aktif dan keterlibatan warga negara dalam masyarakat,
(b) pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat dalam
pemerintahan, warisan politik, administrasi publik dan sistem hokum

68
Ibid., h. 179.
50

(c) pengetahuan tentang proses seperti kewarganegaraan yang aktif,


refleksi kritis, pendidikan dan kerjasama, keadilan sosial, pengertian
antar budaya keselarasan lingkungan hidup dan HAM.69

Jadi hakikat Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu :

a. Program pendidikan berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai wahana


untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang
berakar pada budaya bangsa yang diharapkan menjadi jati diri yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari hari.
b. Sebuah matapelajaran yang memfokuskan pada pembentukkan diri
yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku
bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil,
dan berkarakter yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945.70

Dalam Standar Isi Kurikulum Nasional (Permen No. 22 Tahun 2006)

dinyatakan bahwa tujuan pembelajaram PKn di SD/MI agar siswa memiliki

kemampuan (1) berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu

kewarganegaraan, (2) berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab, bertindak

secara cerdas dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, serta anti-korupsi,

(3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan

karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lainnya,

dan (4) berinteraksi dengan bangsa lain dalam secara langsung atau tidak langsung

dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Berdasarkan tujuan pembelajaran PKn SD/MI sebagai pendidikan yang

berkaitan dengan konsep, nilai, moral dan norma. Bertujuan pula membentuk

warga negara yang baik sesuai Pancasila. Dengan demikian, para calon guru

SD/MI hendaknya mempunyai kemampuan materi berdasarkan muatan yang

terkandung di dalamnya, meliputi nilai, moral dan norma.

69
Ali Mustofa dan Irfan Tamwifi, Materi Pembelajaran IPS/PKN MI, (Surabaya:
UINSA, 2009), h. 175.
70
Ibid.
51

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan pernyataan peneliti tentang hubungan antara

variable-variabel dalam penelitian serta merupakan pernyataan yang paling

spesifik atau jawaban sementara yang disusun oleh peneliti, yang kemudian akan

diuji kebenarannya melalui penelitian yang dilakukan. Punaji juga mengatakan

hipotesis dalam penelitian merupakan suatu alat atau wahana yang sangat besar

artinya dalam suatu kajian ilmiah.71 Adapun yang menjadi hipotesis dalam

penelitian ini yaitu “adanya pengaruh peran guru dalam membuat media

pembelajaran terhadap hasil belajar Pkn siswa di MIN 25 Aceh Utara".

71
Punaji styosari, Metode Penelitian Pendidikan Dan Pengembangan, (Jakarta: Kencana,
2013), h. 122.

Anda mungkin juga menyukai