Anda di halaman 1dari 3

Aspek Pandangan Pengarang

Kehidupan
Sosial - Adanya rasa sabar, tabah dan patuh terhadap orang tua, yang disampaikan
baik secara tersurat maupun tersirat dalam novel. Pengarang mengajak
pembaca untuk senantiasa menahan emosi atau keinginan dengan tidak
mengeluh dalam menghadapi musibah dan selalu mematuhi orang tua.

“Sri meremas jemarinya. Matanya basah. Dia lapar sekali. Apalagi setelah
berjuang mengambil air di seberang. Tidakkah ibu tirinya sedikit saja mau
mengasihaninya? Tidakkah Ibunya sekali saja mau peduli padanya? Sri
menggigit bibir, segera mengusir pikiran jelek yang melintas di kepalanya.
Tidak apa, tidak apa Sri menunduk membujuk hatinya, setidaknya tilamuta
malam ini tidur dengan perut kenyang. Itu lebih dari cukup. Dulu bapaknya
berpesan, selain selalu patuh pada Ibunya, agar dia menjaga Tilamuta.” (Tere
Liye,2016: 123)

- Adanya sikap Pemaaf yang ditunjukkan oleh tokoh utama, senantiasa


membantu orang lain, dan tidak membalas dendam terhadap ibu dan
sahabatnya saat menyiksa dan mengkihanati dirinya.

“ayo, Ibu! Ikut aku! Selamatkan adikmu, Sri. Suara Nusi Maratta bergetar.
Sri menatap wajah ibu tirinya. Setelah sekian lama, sore itu, Nusi Maratta
untuk pertama kalinya bisa menatap secara utuh wajah Sri. Menyaksikan
dengan akurat ekspresi wajah Sri yang selama ini lebih banyak menunduk.
Lihatlah, tidak ada kebencian di mata Sri, tidak ada dendam
kesumat meski dia diperlakukan buruk lima tahun terakhir. Anak tirinya justru
mengulurkan tangan, amat tulus menolongnya.” (Liye, 2016:136).

- Sikap pekerja keras dan pantang menyerah dalam segala hal, rasa ingin rahu
yang tinggi dan berani menanggung resiko atas keputusan yang dibuat.

““Aku berfikir, jika aku bisa membuat alat yang mudah dibawa ke mana-
mana, maka aku bisa berdagang tanpa harus punya warung. Alat yang cukup
besar untuk membawa keperluan, karena kalau digendong atau dipikul
dengan bilah bambu, itu tidak mungkin. Berbulan-bulan aku memikirkannya.
Aku menemui tukang kayu dan montir bengkel motor, menunjukkan
rancangan itu. Satu minggu lebih tukang membuatnya dan jadilah: gerobak
dorong.” (Tere Liye, 2016:230)

“Zaman meremas jemarinya. Dia harus memikirkan cara lain. „Telepon


sekali lagi, bilang, aku hendak bertanya tentang Sri Ningsih. Apakah dia
mengenal nama itu”. (Liye, 2016: 267).

- Adanya sikap jujur atas kebenaran.


“pengadilan memutuskan menghadirkan Sri Ningsih sebagai saksi. Saat hakim
bertanya, apakah Sulastri terlibat dalam pembunuhan Ki’ai Ma’sum, Sri
terdiam lama. Sri menatap wajah Mbak Lastri.Sri menangis. Apakah dia akan
bicara kebenaran? Atau dia akan memilih persahabatan?Saudara saksi. Harap
jawab pertanyaannya. Sri menyeka pipinya. Baginya, hinggga kapan pun mbak
lastri adalah sahabat terbaiknya. Terlepas dari pilihan politik, rasa dengki,
apapun itu, Mbak Lastri adalah sahabatnya. Tapi Sri tidak pernah berbohong
dalam hidupnya, dan dia tidak akan tergoda untuk mulai berbohong. Maafkan
aku, Mbak Lastri, Sri terisak, maafkan aku jika ‘mengkhianatimu’dalam
pengadilan ini. Sri mengangguk.Hakim mengetuk palunya. (Liye, 2016:199).
Keagamaan - Patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut

“Hamparan karpet masjid penuh oleh ribuan santri. Mereka berbaris rapi
saat sholat isya siap didirikan garis-garis lurus nan rapat yang menakjubkan.
Iqomah lantang di kumandangkan, lantas imam maju memimpin shalat”.
(Liye, 2016:145)

- Ikhlas melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan, dan ikhlas atas


kejadian yang telah terjadi.

“Sri Ningsih menggeleng, dia tidak mau. Dia tidak pernah mau orang
membalas budinya”. (Liye, 2016: 326).

“Masalah kedua, tidak semua orang yang bekerja padaku dapat dipercaya.
Minggu-minggu ini saja sudah dua kali terjadi, uang penjualann dibawa
kabur oleh pedagang, masih untung gerobaknya masih bisa ditemukan.
Aku ikhlas soal uangnya, karena besok lusa uang bisa dicari.” (Tere Liye,
2016:239).
Budaya - Cinta tanah air yang melekat walau sudah berada di negara yang berbeda

“Dinding lorong lantai enam dilapisi wallpaper dengan motif batik


jawa. Zaman tersenyum, ini pastilah ide dari Sri Ningsih”. ( Liye, 2016: 32)

“Selain itu, acara pernikahan adat Betawi tak kalah menarik. Kemarin salah
satu anak tetangga yang bekerja denganku menikah. Seru sekali melihat
proses buka palang pintu, mereka beradu silat di halaman rumah”.
(Liye,2016:236)

- Tetap mewariskan kebudayaan indonesia melalui seni tari di luar negeri.

“Dua Tahun tinggal di panti, Sri Ningsih memutuskan bekerja. Dia


melamar menjadi guru. “Guru?” “ya guru menari. Ibu Sri Ningsih pandai
menari, dia menguasai banyak tarian tradisional. Ada sekolah yang yang
membuka ekstrakurikuler menari bagi muridnya, mencari guru tari tradisional
dari negara-negara asia. Ibu Sri mengisi aplikasi, mengikuti audisi.
(Liye, 2016: 3)
TENTANG KAMU - TERE LIYE

Anda mungkin juga menyukai