Anda di halaman 1dari 11

PENGEMBANGAN EMOTION FOCUS COPING (EFC) PADA SISWA

INTROVERT DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK MENULIS PADA


SISWA SMP

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh

ELLYSABETH OMEGA PUTRI

NIM. K3114015

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
BAB I

A. Latar Belakang

Bimbingan dan konseling merupakan bagian dari sistem pendidikan,


sedangkan sasaran atau subyek dari pendidikan adalah peserta didik. Sehingga
seluruh kegiatan bimbingan dan konseling dalam pendidikan bertujuan untuk
mengembangkan seluruh potensi yang ada untuk dapat membantu peserta didik
megoptimalkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki dan membimbing
peserta didik menguasai kemampuan yang belum dimiliki perserta didik. Oleh
sebab itu bimbingan dan konseling lebih berfokus kepada kebutuhan subyek
dalam melaksanakan kegiatan layanan, hal ini berhubungan dengan alam
penyusunan program, program yang baik hendaknya dilandasi dengan
menganalisis kebutuhan (need assessment) subyek yaitu peserta didik. Hal ini
dipertegas oleh penelitian dari Sunaryo Kartadinata, dkk (1996-1999) yang
menunjukkan bahwa program bimbingan dan konseling di sekolah akan berlangsung
efektif, apabila didasarkan kepada kebutuhan nyata dan kondisi objektif
perkembangan peserta didik. Tujuan utama layanan bimbingan dan konseling di
sekolah adalah memberikan dukungan pada pencapaian kematangan
kepribadian, keterampilan sosial, kemampuan akademik, dan bermuara pada
terbentuknya kematangan karir individual yang diharapkan dapat bermanfaat di
masa yang akan datang (Fatur Rahman, 2009:4).
Penjelasan lebih lanjut mengenai program bimbingan dan konseling
komprehensif adalah bimbingan dan konseling komprehensif merupakan
kerangka kerja organisational yang direncanakan secara spesifik, berurutan,
dan kegiatan serta layanan bimbingan dan konseling berdasarkan pada
kebutuhan siswa, sekolah, dan masyarakat, yang didesain untuk melayani
semua siswa dan orang tua atau wali pada lingkungan sekolah. Dalam
bimbingan dan konseling komprehensif menurut Gybers dan Henderson (2012)
terdapat empat elemen program meliputi (1) Isi Program; (2) Kerangka Kerja
Organisasi; (3) Sumber; dan (4) Pengembangan, Managemen, dan
Akuntabilitas.
Elemen isi atau isi program didefinisikan sebagai kompetensi siswa
(berperan sebagai standar bagi siswa), merupakan sesuatu yang penting bagi
lingkungan sekolah karena penguasaan siswa sebagai hasil dari partisipasinya
terhadap program bimbingan konseling komprehensif di lingkungan sekolah.
Elemen kerangka kerja organisasional terdiri dari tigas komponen stuktural
(meliputi definisi, rasional, dan asumsi) dan empat komponen lain (antara lain;
kurikulum bimbingan, perencanaan individual siswa atau individual learning
plan, layanan responsif, dukungan sistem), bersamaan dengan contoh kegiatan
program dan pendistribusian waktu konselor sekolah untuk keempat komponen
program. Empat elemen tersebut dalam bimbingan dan konseling komprehensif
digunakan sebagai dasar atau fondasi bagi guru BK untuk merencanakan
program bimbingan dan konseling bagi siswa di sekolah.

Sering kali yang menjadi tujuan dalam bimbingan dan konseling yaitu
fokus pada pengembangan Pribadi-Sosial prestasi Akademik, pengembangan
Karir, dan pengembangan Agama atau Religius. Namun dengan adanya
program dari bimbingan dan konseling komprehensif guru pembimbing dapat
berpedoman pada need assessment yang dapat menunjang penyusunan program
kegiatan layanan bimbingan dan konseling yang sesuai dengan kebutuhan
siswa. Uman Suherman (2011) menegaskan bimbingan komprehensif
merupakan pandangan mutakhir yang bertitik tolak dari asumsi yang positif
tentang potensi manusia. Berdasarkan asumsi inilah bimbingan dipandang
sebagai suatu proses memfasilitasi perkembangan yang menekankan kepada
upaya membantu semua peserta didik dalam semua fase perkembangan.

Kata remaja berasal dari bahasa Inggris Adolescence yang diadopsi dari
bahasa Latin adolescere yang artinya bertumbuh (to grow) dan menjadi matang
(to mature). Kata bendanya Adolesceantia yang berarti remaja, mengandung
arti “tumbuh menjadi dewasa”. Lerner, Boyd dan Du (2010:1) mengartikan
remaja sebagai periode kehidupan dengan karakteristik biologis, kognitif,
psikologis dan sosial yang sedang berubah dalam pola yang saling berkaitan
dari sebelumnya disebut bersifat anak-anak ke kondisi yang kini disebut
bersifat dewasa. Siswa sebagai subyek bimbingan dan konseling yang
memasuki tahap perkembangan remaja memiliki beberapa perubahan dalam
bentuk fisik (biologis), perubahan kognitif atau cara berfikir, perubahan emosi,
dan perubahan peran sosial. Menurut G. Stanley Hall (1904, dalam Santrock,
2010) menyatakan bahwa masa remaja merupakan waktu berlangsungnya
storm and stress. Lazarus dan Folkman (1984) mengungkapkan bahwa stres
sangat terkait antara manusia dengan ligkungannya. Stres yang dialami remaja
menimbulkan tekanan yang membutuhkan penyaluran agar tidak terjadi
kegagalan dalam proses perkembangan remaja. Remaja akan mengalami
kekecewaan, ketidakpuasan, bahkan frustasi dan pada akhirnya akan
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan remaja jika kebutuhannya tidak
terpenuhi (Ali, 2004). Watchers (dalam Asmarasari, 2010) mengungkapkan
bahwa tidak adanya dukungan sosial, keterasingan tanpa memiliki seseorang
sebagai tempat bercerita bisa menjadi salah satu faktor pendorong stres. Salah
satu penyaluran stres yang dilakukan remaja adalah dengan mengungkapkan
diri dan perasaannya kepada orang-orang terdekat. Self-disclosure adalah
kegiatan membagi perasaan yang akrab dengan orang lain (Taylor, 1997).

Halonen (1999) mendefinisikan stres sebagai respon individu terhadap


keadaan atau peristiwa, disebut stressor, yang mengancam dan melebihi
kemampuan individu untuk mengatasinya. Sedangkan introvert dari kata
introversion (lawan dari extroversion), keduanya merupakan prefensi
psikologis pertama pada Indikator Tipe Myers Briggs. Penting untuk diingat
bahwa introversi dan ekstroversi adalah dua ujung sebuah kontinum, dan
individu mungkin mendekati satu atau lebih di antara keduanya. Bergantung
pada studi mana yang Anda konsultasikan, antara sepertiga sampai setengah
dari orang Amerika adalah introvert; Namun, beberapa dari mereka mungkin
bertindak seolah-olah mereka ekstrovert karena masyarakat kita mendorong
terjadinya ekstroversi di atas introversi (Cain, 2012). Salah satu fitur pembeda
utama antara introvert dan ekstrovert adalah sumber energinya. Introvert diberi
energi oleh dunia internal gagasan, emosi dan kesan (Laney Olsen, 2002).
Mereka, para introvert, cenderung menghemat energi, dan interaksi sosial
mungkin membuat mereka merasa lelah. Ekstrovert, di sisi lain, menarik energi
dari dunia luar yang melibatkan interaksi sosial dan pengalaman. Mereka
menghabiskan energi dan sering kali dirangsang oleh banyak waktu sendirian
atau dalam perenungan. Orang ekstrovert cenderung banyak bicara dan asertif
dan menikmati pertemuan sosial yang besar. Perbedaan utama lainnya antara
introvert dan ekstrovert adalah respon mereka terhadap stimulasi. Ekstrovert
senang memiliki banyak pengalaman, sementara introvert menikmati
pemahaman akan apa yang mereka alami (Cain, 2012). Karena introvert perlu
secara mental memproses apa yang terjadi di sekitar mereka, mereka bisa
menjadi terlalu terstimulasi oleh tempat-tempat yang ramai dan rentetan
kegiatan yang konstan.

Permasalahan-permasalah yang dihadapi memerlukan pemecahan


sebagai upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap masalah dan
tekanan yang dihadapi. Konsep untuk memecahkan masalah disebut dengan
coping. Pengertian coping hampir sama dengan penyesuaian (adjustment).
Perbedaannya penyesuaian mengandung pengertian yang lebih luas
dibangdingkan dengan coping, yaitu semua reaksi terhadap tuntutan baik
berasal dari linkungan maupun dari dalam diri seseorang. Sedangkan coping
dikhususkan pada bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang menekan
(Rustiana, 2003).

Keberhasilan dalam coping berkaitan dengan sejumlah karakteristik,


termasuk penghayatan mengenai kendali pribadi, emosi positif dan sumber
daya personal (Folkman & Moskowitz, 2004). Meskipun demikian
keberhasilan dalam coping juga tergantung pada strategi-strategi yang
digunakan dan konteksnya (John W Santrock, 2007). Menurut Lazarus dan
Folkman (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa perilaku coping merupakan
suatu proses dimana individu mencoba mengelola jarak yang ada antara
tuntutan-tuntutan (baik tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan
yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka
gunakan dalam menghadapi situasi yang penuh stres.
Menurut sebuah studi oleh Schaubhut & Thompson, termasuk lebih dari
100.000 siswa yang terdaftar di 75 jurusan yang berbeda di institusi pendidikan
tinggi (di Eropa), mayoritas jurusan perguruan tinggi memiliki jumlah siswa
introvert dan ekstrover yang sama. Hasil ini kongruen dengan survei yang
dilakukan antara 2007 dan 2010, oleh para periset di Center for Applications of
Psychological Type (CAPT) yang menemukan bahwa 40,6% sampel
mahasiswa adalah introvert (L. Abbitt, Pustakawan di CAPT, 4 November ,
Komunikasi telepon 2012). Pannapacker mengemukakan bahwa perkiraan ini
mungkin rendah karena stigma budaya melekat pada introversi dan akibatnya,
beberapa siswa tidak mau mengakui, bahkan secara rahasia, preferensi seperti
tinggal di rumah dan membaca sebagai pengganti menghadiri acara sosial.

Sedangkan hasil studi di Indonesia (2014), pada siswa kelas X di SMAN


1 Banjarmasin mengenai “Hubungan Tipe Kepribadian Introvert Dengan
Kecanduan Internet Pada Siswa Kelas X Di Sman 1 Banjarmasin”. Sampel
dipilih secara proportional random sampling dengan jumlah sampel sebanyak
50 orang. Berdasarkan data yang telah diperoleh didapatkan responden yang
memiliki tipe kepribadian introvert sebanyak 33 (82,5%) orang mengalami
kecanduan internet dan sisanya sebanyak 7 (17,5%) orang tidak mengalami
kecanduan internet. Sedangkan responden yang memiliki tipe kepribadian
ekstrovert sebanyak 5 (50%) orang mengalami kecanduan internet dan sisanya
sebanyak 5 (50%) orang tidak mengalami kecanduan internet.

Hal ini dikarenakan siswa introvert cenderung untuk berpikir dengan


hati-hati tentang berbagai hal dapat berkontribusi pada kemampuan mereka
untuk unggul dalam apa yang dikenal sebagai insightful problem solving
(pemecahan masalah yang masuk akal). Ketika siswa introvert dan ekstrover
diberi labirin cetak untuk dinegosiasikan, para introvert menghabiskan lebih
banyak waktu untuk memeriksa labirin mereka dan mampu memecahkan lebih
banyak labirin dengan benar. Siswa ekstrovert cenderung menghabiskan lebih
sedikit waktu untuk memikirkan masalah dan situasi; mereka lebih cepat untuk
mengambil tindakan, dan dengan demikian cenderung mengorbankan akurasi
untuk kecepatan mereka dalam menyelesaikan persoalan.

Dengan demikian, pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan


(Developmental Guidance and counseling) atau bimbingan dan konseling
komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling) didasarkan pada
upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan
pengentasan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan
sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan
ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (Standard Based
Guidance and Counseling). Ketika pendekatan bimbingan dan konseling
perkembangan dipergunakan akan menggabungkan pendekatan yang
berorientasi klinis, remidial, dan preventif, (Myrick, 1993).

Sehingga berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan adanya


pengembangan produk bimbingan bagi siswa introvert dalam bentuk buku
berupa panduan EFC melalui menulis, dengan mengingat perbedaan cara
bersosial siswa introvert dengan ekstrovert. Oleh karena itu, dibuatlah sebuah
penelitian dengan judul, “Pengembangan Emotion Focus Coping Pada
Siswa Introvert Dengan Menggunakan Teknik Menulis Pada Siswa
Sekolah Menengah Pertama (SMP)”.

B. Tujuan Penelitian Dan Pengembangan


Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah yang telah dirumuskan
diatas tersebut, tujuan penelitian dan pengembangan ini dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Mendiskripsikan kebutuhan siswa introvert yang berbeda dengan
siswa ekstrovert dalam menghadapi lingkungan sosial di sekolah.
2. Menghasilkan prototipe satu Buku Paduan Layanan Bimbingan
Pengembangan Emotion Focus Coping (EFC) siswa dengan
Menggunakan Teknik Menulis pada siswa Sekolah Menengah
Pertama.
C. Spesifikasi Produk
Spesifikasi produk yang dikembangkan melalui penelitian dan
pengembangan ini berwujud sebuah Buku Panduan Layanan Pengembangan
Emotion Focus Coping (EFC) dengan Menggunakan Teknik Menulis. Produk
ini diancang berdasarkan kajian teoritik dan kajian empiris. Produk yang
dihasilkan berupa sebuah Buku Panduan yang dapat digunakan oleh guru
pembimbing dalam pelaksanaan pemberian layanan. Buku panduan yang
dikembangkan hanya akan membahas mengenai Pengembangan Enotion
Focus Coping dengan Menggunakan Teknik Menulis.
Buku panduan ini berisi 5 bagian, yaitu : (I) Pendahuluan; (II) Definisi
Introvert dan Ekstrovert, berisi tentang penjelasan singkat mengenai introversi
dan ekstraversi dan pembedanya; (III) Kurikulum mengenai Emotion Focus
Coping, berisi tentang rancangan mengelola hubungan sosial dengan orang
lain; (IV) Satuan Layanan bimbingan dan konseling dan jadwal pelaksanaan,
berisi tentang pedoman pelaksanaan layaan dan jadwal pelaksanaan; (V)
Penutup, berisi tentang kesimpulan dan daftar berbagai rujukan dalam
pembuatan buku panduan. Buku panduan akan digunakan oleh guru
pembimbing di sekolah dalam melaksanakan pemberian layanan kepada siswa
SMP, khususnya siswa introvert, dalam membantu mengelola hubungan sosial
dengan oran lain. Buku panduan ini memiliki sistematika produk sebagai
berikut :
1. Cover
2. Kata Pengantar
3. Daftar Isi
4. Bagian I Pendahuluan
5. Bagian II Definisi Introvert dan Ekstrovert
6. Bagian III Kurikulum
7. Bagian IV Satuan Layanan dan Materi
8. Bagian V Penutup
D. Pentingnya Penelitian Dan Pengembangan
Penelitian dan pengembangan (Research and Development) merupakan
salah satu strategi penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan produk
yang belum ada dan atau untuk menyempurnakan suatu produk yang sudah ada
yang dapat memperbaiki praktik di lapangan sebelumnya khususnya pada
bidang bimbingan dan konseling. Berdasarkan hal tersebut maka metode yang
digunakan pada penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan, karena
dengan melalui penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan dapat
menghasilkan sebuah produk berupa buku panduan yang dapat digunakan oleh
guru pembimbing dalam memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan siswa.
Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan oleh Schaubhut & Thompson
(2010) di Eropa yang menemukan bahwa terdapat 40.6% pelajar merupakan
introvert. Diperkuat dengan hasil penelitian di Banjarmasin, Indonesia pada
tahun 2014 menunjukan bahwa coping sangat pening dan dibutuhkan oleh
siswa. Dengan demikian maka peneltian Pengembangan Emotion Focus
Coping pada Siswa Introvert dengan Menggunakan Teknik Menulis perlu
dilakukan.

E. Asumsi Dan Keterbatasan Penelitian Dan Pengembangan


1. Asumsi Penelitian Dan Pengembangan
Dalam penelitian pengembangan EFC pada siswa Introvert dengan
menggunakan teknik menulis dikembangkan dengan asumsi :
a. Pada orang dengan tipe kepribadian introvert akan lebih berorientasi
pada stimulus internal, yaitu m emperhatikan pikiran, suasana hati dan
reaksi-reaksi yang terjadi dalam diri mereka. Hal ini membuat individu
yang tergolong introvert cenderung lebih pemalu, memiliki kontrol diri
yang kuat, tampak pendiam, dan memiliki keterpakuan terhadap hal-
hal yang terjadi dalam diri mereka. (Eysenck, 1980).
b. Teknik Emotion Focus Coping adalah strategi untuk memecahkan
masalah yang berfokus pada emosi, dengan mengarahkan dan
mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan.

2. Keterbatasan Penelitian Dan Pengembangan


Dalam penelitian dan pengembangan ini hanya dilaksanakan sampai
tahap pembuatan prototipe I yaitu berupa buku panduan Pengembangan
Emotion Focus Coping dengan Menggunakan Teknik Menulis pada siswa
SMP yang perlu diuji coba validitas, keefektitasan dan kepraktisannya.

F. Definisi Istilah dan Definisi Operasional


1. Definisi Istilah
a. Introvert
Introverts are energized by the internal world of ideas, emotions
and impressions (Laney Olsen, 2002). Introvert diberi energi oleh
dunia internal gagasan, emosi dan kesan. Pada orang introvert
kepribadian dan cara berpikir mereka berbeda dengan ekstrovert,
introvert lebih memilih untuk memiliki waktu sendiri yang
digunakan untuk merenung dibanddisbandinguti acara atau
aktivitas sosial dengan orang lain.
b. Emotion Focus Coping (EFC)
Merupakan bentuk strategi untuk memecahkan masalah yang
berfokus pada emosi, dengan mengatur respon emosional terhadap
situasi yang menekan. Salah satu contoh coping yang sering
digunakan adalah berkelompok dan atau melakukan hal yang
disukai, cara ini sering dipakai untuk mengurangi tingkat stres dan
tekanan emosi.
c. Siswa Sekolah Menengah Pertama
Individu yang memiliki rentang usia antara 12 sampai 15 tahun
yang telah menyelesaikan studi pada jenjang Sekolah Dasar. Pada
usia tersebut disebut juga sebagai Tingkat Remaja Awal.
d. Panduan Pemahaman EFC pada Siswa dengan Media Menulis
(Journal Writing)
Panduan atau pedoman yang berisi tentang coping yang dibutuhkan
oleh siswa introvert dalam mengelola hubungan sosial melalui
tulisan (puisi, cerita pendek, diary, dsb).

2. Definisi Operasional
Pengembangan Emotion Focus Coping Pada Siswa Introvert dengan
Menggunakan Teknik Menulis
Panduan Pengembangan Emotion Focus Coping adalah pentujuk yang
berisi informasi untuk guru pembimbing dalam memberikan layanan
bantuan kepada siswa, khususnya siswa introvert. Panduan ini terdiri dari
tahapan-tahapan untuk mengelola Emotion Focus Coping, tahapan tersebut
meliputi 1) Pengenalan introvert dan ekstrovert, 2) Perbedaan antara
introvert dan ekstrovert, 3) Mengelola Emotion Focus Coping sebagai
pengatur emosi terhadap situasi yang menekan. Maka dengan
dilaksanakannya tahap-tahap tersebut siswa introvert mampu mengelola
hubungan sosialnya dengan baik, bahkan dengan orang-orang yang tidak
dekat dengan dirinya. Sedangkan untuk siswa, partisi layanan, akan
dibagikan berupa lembar evaluasi yang akan digunakan untuk
mengevaluasi kegiatan layanan yang telah diberikan. Produk panduan
yang dihasilkan disusun berdasarkan kajian empirik dan kajian teoritik
yang siap duji validitas, keefektifitasan da kepeaktisannya.

Anda mungkin juga menyukai