Anda di halaman 1dari 17

KONSEP PERKEMBANGAN ANAK SELAMA MASA SMP DAN SMA

(FORMAL/OPRASIONAL UMUR 11 KEATAS)

Dosen Pengampu :

Dr.A.A. Istri Agung Rai Sudiatmika, M.pd

Putu Widiarini,S.pd,M.Sc

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK VIII

Luisa Natalia Pinem (2013021005)

Jessy Pelesya (2013021016)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
serta karunia Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya yang berjudul “Konsep Perkembangan Anak Selama Masa SMP
dan SMA (formal/oprasional umur 11 keatas)“ sebagai tugas kelompok dari Dr.A.A.
Istri Agung Rai Sudiatmika, M.pd dan Putu Widiarini,s.pd,M.Sc. selaku Dosen
pengampu mata kuliah Perkembangan Peserta Didik.

Makalah ini berisikan tentang Asumsi Programatik Ilmu Pendidikan. Diharapkan


makalah ini dapat memberikan pemahaman kepada pembaca sehingga dapat
menerapkannya.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata saya sampaikan terimakasih dan saya berharap makalah ini dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Batam, 31 Oktober 2020

Penyusun

Kelompok VIII
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa remaja adalah suatu masa perkembangan yang ditandai adanya proses
perubahan dan kondisi “entropy” ke kondisi “negentropy”. Entropy adalah suatu
keadaan dimana kesadaran (pengetahuan, perasaan) manusia belum tersusun rapih
sehingga belum berfungsi maksimal. Sedangkan negentropy adalah suatu keadaan
dimana kesadaran tersusun urut.

Masa remaja adalah suatu tahap peralihan antara masa anak-anak dengan
masa dewasa. Lazimnya masa remaja dimulai saat anak secara seksual menjadi
matang dan berakhir saat mencapai usia matang tersebut. Masa remaja ini terjadi
beberapa perubahan atau perkembangan yang terjadi antara lain perkembangan fisik,
perkembangan emosional dan perkembangan seksual.

Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya menuju ke jenjang


kedewasaan kebutuhan hidup seseorang mengalami perubahan-perubahan sejalan
dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Kebutuhan sosial psikologis
semakin banyak dibandingkan dengan kebutuhan fisik karena pengalaman kehidupan
sosialnya semakin luas.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimnakah pertumbuhan dan perkembangan remaja dari masa SMP-SMA?

2. Bagaimanakah pertumbuhan dan perkembangan fisik yang terjadi pada


remaja?

3. Bagaimanakah pengaruh lingkungan terhadap perkembangan remaja?


1.3 Tujuan

1. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan remaja masa SMP-SMA.

2. Mengetahui perkembangan fisik yang terjadi pada remaja.

3. Mengetahui pengaruh lungkungan terhadap perkembangan remaja.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Implikasi Perkembangan Anak Selama Masa SMP dan SMA Dalam Praktik
Pendidikan
2.1.1 Implikasi Perkembangan Fisik Anak Selama Masa SMP dan SMA Dalam
Praktik Pendidikan
Pertumbuhan fisik remaja membawa berbagai implikasi dalam dunia
pendidikan. Implikasi tersebut antara lain:

 Menyediakan sarana dan prasarana yang mendorong pertumbuhan


fisik remaja secara normal.

 Memberikan waktu istirahat yang cukup bagi anak didik.

 Mengadakan jam-jam olahraga bagi anak-anak (Suma, 2006: 33).

Guna lebih memahami implikasi ini secara lebih mendalam, maka diberikan
penjelasan sebagai berikut: Sarana dan Prasarana Faktor sarana dan prasarana tidak
boleh dikesampingkan dalam pendidikan.Dengan kata lain, jangan sampai
menimbulkan gangguan kesehatan pada peserta didik.

Sebagai contoh: tempat duduk yang kurang sesuai serta ruangan yang relatif
gelap, terlalu sempit akan menimbulkan gangguan kesehatan. Penyelenggaraan
pendidikan yang baik mengkehendaki agar tempat duduk anak dan meja dapat diatur
sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Artinya antara anak SMP dan SMA pastilah
diatur dengan komposisi berbeda. Dalam realitanya, secara fisik anak SMA
memerlukan ruang (untuk duduk) lebih besar jika dibandingkan dengan anak SMP.
Apalagi jika dibandingkan dengan peserta duduk di jenjang SD. Dalam hal
ini, ruangan kelas yang bersih, terang, dan cukup luas, serta kedisiplinan yang tidak
kaku juga merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan. Kedisiplinan yang tidak kaku
artinya dapat memberikan keleluasaan bagi para peserta didik. Waktu istirahat Dalam
kegiatan belajar, para peserta didik pastilah mengalami rasa lelah. Guna
menghilangkan rasa lelah tersebut (mengumpulkan tenaga baru), istirahat sangat
diperlukan. Belajar terus-menerus tanpa memperhatikan waktu untuk istirahat akan
berdampak buruk bagi kesehatan tubuh. Pada hakikatnya, dalam kegiatan
pembelajaran perlu memperhatikan pengaturan waktu yang tepat bagi peserta didik.
Hal ini berlandaskan pada suatu istilah dalam belajar, yaitu: “biorama” (Ali dan
Asrori, 2009: 23).

2.1.2 Implikasi Perkembangan Kognitif Anak Selama Masa SMP dan SMA
Dalam Praktik Pendidikan
Menurut teori Piaget, periode operasi fomal merupakan tingkat puncak
perkembangan struktur kognitif. Karakteristiknya adalah anak remaja mampu
berpikir logis untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat
menggunakan penalaran ilmiah serta dapat menerima pandangan orang
lain.Perkembangan kognitif remaja membawa implikasi pada penyelenggaraan
pendidikan terutama pada proses belajar mengajar, yang Sekolah dapat harus
mengembangkan model-model pembelajaran dan memupuk berkembangnya potensi
yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik, sesuai dengan perbedaan masing-
masing (Suma, 2006: 41). Penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif bagi
pengembangan kemampuan kognitif anak yang didalamnya menyangkut keamanan
psikologis dan kebebasan psikologis merupakan faktor yang sangat penting. Ali dan
Asrori (2004) menguraikan bahwa sejumlah kondisi psikologis merupakan kondisi
yang perlu dikembangkan agar peserta didik aman secara psikologis dan mampu
mengembangkan kemampuan kognitifnya.
Kondisi psikologis tersebut antara lain:
 Pendidik dapat menerima peserta didik secara positif, sebagaimana
adanya tanpa syarat dengan segala kekuatan dan kelemahannnya. Serta
memberi kepercayaan pada peserta didik bahwa ia baik dan mampu.
 Pendidik wajib menciptakan suasana dengan kondisi peserta didik
tidak merasa terlalu dinilai oleh orang lain.
 Pendidik memberi pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran,
perasaan, dan perilaku peserta didik. Serta dapat menempatkan diri
dalam situasi peserta didik (melihat dari sudut pandang peserta didik).
 Memberikan suasana pedagogis yang aman bagi peserta didik untuk
mengemukakan pikiran-pikirannya sehingga ia terbiasa berani untuk
mengembangkan pemikirannya.
Pendidik berusaha mengemukakan keterbukaan, kehangatan, dan
kekonkretan. Piaget mengemukakan bahwa aktivitas merupakan unsur pokok dalam
pengembangan kognitif. Artinya pengalaman belajar yang aktif akan berkontribusi
maksimal (besar) pada perkembangan kognitif anak. Sementara itu, pengalaman
belajar yang pasif akan berkontribusi minimal (kecil) pada perkembangan kognitif
anak. Model Pendidikan yang aktif merupakan sebuah model yang tidak menunggu
sampai peserta didik siap sendiri. Akan tetapi, pihak sekolahlahyang mengatur
lingkungan belajar peserta didik. Sedemikan rupa sehingga dapat memberi
kesempatan maksimal kepada peserta didik untuk berinteraksi dan mengeksplorasi
segala kemampuan yang ia miliki (Arifin, 2008: 1).
Dengan adanya lingkungan yang penuh rangsangan untuk belajar, maka
proses pembelajaran yang aktif akan terjadi. Hal ini akan menstimulus peserta didik
untuk maju ke taraf/tahap berikutnya. Dalam hal ini pendidik hendaknya menyadari
bahwa perkembangan intelektual anak berada ditangannya. Adapun beberapa cara
yang dapat dilakukan oleh pendidik antara lain:
 Menciptakan interaksi yang baik (hubungan akrab) dengan peserta
didik.
 Memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk berdialog
(sharing) dengan beberapa orang yang ahli dan berpengalaman dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Hal ini akan sangat menunjang
perkembangan intelektual/kognitif anak.
 Menjaga dan meningkatkan pertumbuhan fisik peserta didik baik
melalui kegiatan olahraga maupun menyediakan gizi yang cukup. Hal
ini berperan penting dalam perkembangan berpikir peserta didik.
 Meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik baik melalui
media massa (mass media), maupun media cetak. Dapat diterapkan
dengan cara menyediakan situasi yang memungkinkan peserta didik
berpendapat atau mengemukakan ide-idenya.
Beberapa contohnya adalah melibatkan peserta didik dalam kegiatan karya
tulis, jurnalistik, dan kegiatan sejenis lainnya. Hal ini juga besar pengaruhnya bagi
perkembangan intelektual/kognitif peserta didik. Setiap pendidik hendaknya
mengetahui dan memahami isi dari setiap tingkat perkembangan kognitif peserta
didiknya, sehingga dapat mengambil tindakan dan keputusan pedagogis yang tepat
(Suma, 2006: 42). Artinya pendidik wajib menyesuaikan program-program
pendidikannya dengan kebutuhan peserta didik, sesuai dengan tingkat perkembangan
peserta didiktersebut. Semua ini bertujuan agar peserta didik memahami pengalaman
belajar yang diterimanya. Jika ditinjau dari konsep Piaget, maka akan didapat
penjelasan sebagai berikut: sesungguhnya, teori Piaget berfokus membahas kognitif
atau intelektual.
Dimana perkembangan intelektual erat kaitannya dengan belajar, sehingga
perkembangan intelektual ini dapat dijadkan landasan untuk memahami belajar.
Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi akibat adanya
pengalaman dan sifatnya relatif tetap. Teori Piaget mengenai terjadinya belajar
didasari atas 4 konsep dasar, yaitu skema, asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan.
Skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh manusia untuk mengadaptasi diri
terhadap lingkungan dan menata lingkungan ini secara intelektual. Adaptasi tersebut
terdiri atas proses yang saling mengisi antara asimilasi dan akomodasi. Selanjutnya,
asimilasi itu merupakan suatu proses kognitif, dengan asimilasi seseorang
mengintegrasikan bahan-bahan persepsi atau stimulus ke dalam skema yang ada atau
tingkah laku yang ada. Sementara itu, akomodasi dapat diartikan sebagai penciptaan
skemata baru atau pengubahan skemata lama. Asimilasi dan akomodasi terjadi sama-
sama saling mengisi pada setiap individu yang menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Piaget memandang belajar itu sebagai tindakan kognitif, yaitu
tindakan yang menyangkut pikiran. Dengan kata lain, tindakan kognitif menyangkut
tindakan penataan dan pengadaptasian terhadap lingkungan.

2.2 Perkembangan Sosioemosional Anak Selama Masa SMP dan SMA


2.2.1 Perkembangan Sosial

Sebagai makhluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi segala


permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial dan
mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku.

Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai ketrampilan-


ketrampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya.
Ketrampilan-ketrampilan tersebut biasanya disebut sebagai aspek psikososial.
Ketrampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya
dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda
dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggungjawab sesuai
perkembangan anak, dsb. Dengan mengembangkan ketrampilan tersebut sejak dini
maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan
berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat.

Keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin


penting manakala anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan karena
pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana
pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Kegagalan
remaja dalam menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial akan menyebabkan dia sulit
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat menyebabkan rasa
rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif
(misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan dalam perkembangan yang lebih
ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan
kriminal, tindakan kekerasan, dsb.

Berdasarkan kondisi tersebut diatas maka amatlah penting bagi remaja untuk
dapat mengembangkan ketrampilan-ketrampilan sosial dan kemampuan untuk
menyesuaikan diri. Permasalahannya adalah bagaimana cara melakukan hal tersebut
dan aspek-aspek apa saja yang harus diperhatikan.

Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada
dalam fase perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki
ketrampilan sosial (sosial skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan
sehari-hari. Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan
berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri &
orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau
menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan
aturan yang berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja
pada fase tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosialnya. Hal ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan
aspek psikososial dengan maksimal. Jadi tidak mengherankan jika pada masa ini
remaja mulai mencari perhatian dari ingkungannya dan berusaha mendapatkan status
atau peranan, misalnya mengikuti kegiatan remaja dikampung dan dia diberi peranan
dimana dia bisa menjalankan peranan itu dengan baik. Sebaliknya jika remaja tidak
diberi peranan, dia akan melakukan perbuatan untuk menarik perhatian lingkungan
sekitar dan biasanya cenderung ke arah perilaku negatif.

Salah satu pola hubungan sosial remaja diwujudkan dengan membentuk satu
kelompok. Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik pada kelompok sebayanya
sehingga tidak jarang orang tua dinomorduakan, sedangkan kelompoknya
dinomorsatukan. Contohnya, apabila seorang remaja dihadapkan pada suatu pilihan
untuk mengikuti acara keluarga dan berkumpul dengan teman-teman, maka dia akan
lebih memilih untuk pergi dengan teman-teman.

Pola hubungan sosial remaja lain adalah dimulainya rasa tertarik pada lawan
jenisnya dan mulai mengenal istilah pacaran. Jika dalam hal ini orang tua kurang
mengerti dan melarangnya maka akan menimbulkan masalah sehingga remaja
cenderung akan bersikap tertutup pada orang tua mereka. Anak perempuan secara
biologis dan karakter lebih cepat matang daripada anak laki-laki.

2.2.2 Perkembangan Emosi

Emosi pada remaja masih labil, karena erat hubungannya dengan keadaan
hormon. Mereka belum bisa mengontrol emosi dengan baik. Dalam satu waktu
mereka akan kelihatan sangat senang sekali tetapi mereka tiba-tiba langsung bisa
menjadi sedih atau marah. Contohnya pada remaja yang baru putus cinta atau remaja
yang tersinggung perasaannya. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri
mereka daripada pikiran yang realistis. Saat melakukan sesuatu mereka hanya
menuruti ego dalam diri tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi.

2.3 Perkembangan Identitas Anak Selama Masa SMP dan SMA

Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya


mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar
bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para
remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah
populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan,
perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku,
sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan.
Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan
mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih
banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang
selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai
melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan
dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan
beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali
membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu
saja selama masa kanak-kanak.

Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja


berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan
ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada
di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola
pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari
sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini
diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah
nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan
mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur
bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini
tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri
remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak
menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai
nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak
akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan
yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai
tersebut.

Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif


jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang
bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa
berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu
memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja
tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua
dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi
jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh
orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.

2.4 Empat Status Identitas Anak Selama Masa SMP dan SMA Menurut Erikson

2.4.1 Identitas Achievement

Identitas achievement adalah seorang individu dikatakan telah memiliki


identitas, jika dirinya telah mengalami krisis dan ia dengan penuh tekad mampu
menghadapinya dengan baik. Justru dengan adanya krisis akan mendorong dirinya
untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menyelesaikannya dengan baik.
Walaupun kenyataannya ia harus mengalami kegagalan, tetapi bukanlah akhir dari
upaya untuk mewujudkan potensi dirinya.

Ciri orang yang memiliki identitas ini mampu membuat pilihan dan komitmen
yang kuat, pilihan dibuat sebagai hasil proses periode krisis dan pencurahan banyak
pikiran serta perjuangan emosi, orang tua mendorongnya untuk membuat
keputusannya sendiri, orang tua mendengarkan ide-idenya dan memberi opini tanpa
tekanan, flexible strength, banyak berpikir, tetapi tidak terlalu mawas diri,
mempunyai rasa humor, dapat bertahan dengan baik dibawah tekanan, mampu
menjalin hubungan yang intim, dapat bertahan meskipun membuka diri pada ide
baru, lebih matang dan lebih kompeten dalam berhubungan daripada mereka dari tiga
kategori status identitas lainnya.

2.4.2 Identitas Foreclosure

Identitas foreclosure adalah identitas yang ditandai dengan tidak adanya suatu
krisis, tetapi ia memiliki komitmen atau tekad. Sehingga individu seringkali
berangan-angan tentang apa yang ingin dicapai dalam hidupnya, tetapi seringkali
tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapinya. Akibatnya, ketika individu
dihadapkan pada masalah realitas, tidak mampu menghadapi dengan baik. Bahkan
kadang-kadang melakukan mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi, regresi
pembentukan reaksi dan sebagainya.

Ciri seseorang yang memiliki identitas ini komitmennya dibuat setelah


menerima saran dari orang lain, keputusan dibuat tidak sebagai hasil dari krisis, yang
akan melibatkan pertanyaan dan eksplorasi pilihan-pilihan yang mungkin, berpikiran
kaku, bahagia, yakin pada diri sendiri, bahkan mungkin puas dengan diri sendiri,
menjadi dogmatis ketika opininya dipertanyakan, hubungan keluarga dekat, patuh,
cenderung mengikuti pemimpin yang kuat, tidak mudah menerima perselisihan
pendapat.

2.4.3 Identitas Moratorium

Identitas Moratorium adalah identitas yang ditandai dengan adanya krisis,


tetapi ia tidak memiliki kemauan kuat (tekad) untuk menyelesaikan masalah krisis
tersebut.Ada dua kemungkinan tipe individu ini, yaitu Individu yang menyadari
adanya suatu krisis yang harus diselesaikan, tetapi ia tidak mau menyelesaikannya,
menunjukkan bahwa individu ini cenderung dikuasai oleh prinsip kesenangan dan
egoisme pribadi atau motivasi individu untuk mempertahankan dan meningkatkan
pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Apa yang dilakukan seringkali
menyimpang dan tidak pernah sesuai dengan masalahnya.Akibatnya, ia mengalami
stagnasi perkembangan, artinya seharusnya ia telah mencapai tahap perkembangan
yang lebih maju, namun karena ia terus-menerus tidak mau menghadapi atau
menyelesaikan masalahnya, maka ia hanya dalam tahap itu.

Dan Orang yang memang tidak menyadari tugasnya, namun juga tidak
memiliki komitmen. Ada kemungkinan, faktor sosial, terutama dari orang tua kurang
memberikan rangsangan yang mengarahkan individu untuk menyadari akan tugas dan
tanggung jawabnya

Ciri seseorang yang memiliki identitas moratorium adalah dalam keadaan


krisis, ragu-ragu dalam membuat keputusan, banyak bicara, percaya diri, tetapi juga
mudah cemas dan takut, pada akhirnya mungkin akan keluar dari krisis dengan
kemampuannya membuat komitmen.

2.4.4 Identitas Diffusion

Pada Identitas Diffusion, yaitu orang yang mengalami kebingungan dalam


mencapai identitas.Ia tidak memiliki krisis dan juga tidak memiliki tekad untuk
menyelesaikannya.

Ciri seseorang yang memiliki identitas ini adalah tidak mempunyai pilihan-
pilihan yang dipertimbangkan secara serius, tidak mempunyai komitmen, tidak yakin
pada dirinya sendiri, cenderung menyendiri, orang tua tidak mendiskusikan mengenai
masa depan dengannya, mereka sering bicara semua terserah mereka, beberapa dari
mereka tidak mempunyai tujuan hidup, cenderung tidak bahagia, sering menyendiri
karena kurangnya pergaulan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Masa remaja adalah suatu tahap peralihan antara masa anak-anak dengan
masa dewasa. Lazimnya masa remaja dimulai saat anak secara seksual menjadi
matang dan berakhir saat mencapai usia matang tersebut. Masa remaja ini terjadi
beberapa perubahan atau perkembangan yang terjadi antara lain perkembangan fisik,
perkembangan emosional dan perkembangan seksual.

Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya menuju ke jenjang


kedewasaan kebutuhan hidup seseorang mengalami perubahan-perubahan sejalan
dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Kebutuhan sosial psikologis
semakin banyak dibandingkan dengan kebutuhan fisik karena pengalaman kehidupan
sosialnya semakin luas.

1.2 Saran

Peran serta dari orang-orang dewasa atau orang tua sangat dibutuhkan dalam
perkembangan remaja. Sifat remaja yang masih labil dan cenderung berperilaku
menyimpang perlu adanya bimbingan dan arahan dari orang-orang dewasa,
khususnya orang sekitarnya. Untuk itu bagi para orang tua hendaknya selalu
memperhatikan prilaku anak-anaknya agar pada nantinya anak tersebut tidak
terjerumus kedalam pergaulan bebas. Karena keberhasilan orang tua dalam mendidik
anak-anaknya akan menjadi anak-anak tersebut berguna baik it bagi orang tuanya
sendiri maupu untuk Negara sekalipun.
DAFTAR PUSTAKA

Griadhi, Chakra. 2007. Perkembangan Peserta Didik. Singaraja: UD Bali Warna.

Husdarta dan Yudha M. Saputra. 2000. Perkembangna Peserta Didik.Jakarta:


Direktorat Jendral Pendidkan dasar dan Menengah.

Maulana, Arman. 2011. Karakteristik Anak Usia SMP-SMA. http://smpialkhoirat.


blogspot. com/2011/02/karakteristik-anak-usia remaja.html. (diakses tanggal
29 Maret 2012)

Muharom, Jamaludin. 2011. Perkembangan Remaja. http://honggoseven.blogspot.


com/2011/05/kebutuhan-remaja-tugas-perkembangan.html. (diakses tanggal
29 Maret 2012)

Reni. 2011. Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Remaja. http://reni77.


wordpress.com/2012/02/23/pengaruh-lingkungan-terhadap-perkembangan-
jiwa- remaja/ (diakses tanggal 29 Maret 2012)

Zakia, Estrella. 2011. Perubahan Fisik Remaja. http://de-kill.blogspot.com/2008


/03/perubahan-fisik-pada-remaja.html. (diakses tanggal 29 Maret 2012)

Anda mungkin juga menyukai