The Debate
Setiap perdebatan etika pasti mengarah pada diskusi tentang hubungan antara etika dan
agama.
- Pendapat 1 → Tidak sedikit yang mengungkapkan ketakutannya jika orang tidak
beriman kepada Tuhan maka tidak bermoral. Agama adalah satu-satunya benteng
yang memadai untuk menjalani kehidupan moral. Tanpa agama tidak ada landasan
objektif bagi prinsip-prinsip moral.
- Pendapat 2 → Kejahatan yang dilakukan atas nama agama terlalu banyak untuk
diabaikan dan terlalu jelas untuk disebutkan. Oleh karena itu seseorang tidak hanya
dapat bermoral tanpa agama tetapi kadang harus melepaskan keyakinan agama untuk
benar-benar menjadi benar.
Kesimpulan praktis;
- Jika benar bahwa moralitas hanya dapat didasarkan pada agama, maka semua
pendidikan moral harus berbentuk pendidikan agama. Negara tidak dapat memenuhi
tugasnya kecuali ia mendukung 1 jenis agama.
- Jika ada pemisahan yang tegas antara agama dan moralitas, kita tidak perlu anti
dengan kemerosotan agama saat ini karena dapat diartikan itu adalah perubahan
kandungan moralitas belum tentu nilai-nilai moral hilang sepenuhnya.
- Jika benar agama tertentu memiliki pengaruh negatif terhadap moralitas masyarakat
maka akan menyambut matinya bentuk-bentuk agama yang lebih ekstrem.
An Empirical Observation
Maksud pengamatan empiris → jika kita melihat di sekitar kita, kita akan melihat banyak
individu yang tanpa keyakinan agama eksplisit dapat dikatakan memimpin secara moral.
- Moralitas apapun baik religius atau sekuler menghubungkan moralitas dalam
beberapa cara dengan kebahagiaan (dengan apa yang sebenarnya diinginkan manusia
dalam refleksi kepentingannya sendiri daripada sebagai sarana untuk sesuatu yang
lain).
- Menurut beberapa theis kesalahan besar moralis sekuler adalah gagal melihat bahwa
hanya di dalam Tuhan kita dapat menemukan kebahagiaan abadi.
- Ada pula klaim yang menentang kaum theis karena meski secara mencolok hidup non
religius namun tetap bahagia.
A philosophical Argument.
Pada argumen filosofis, memiliki suatu pandangan bahwa pada titik tertentu,
moralitas itu dapat berdiri sendiri dari agama. Plato telah mengantisipasi rumusan umum dari
tesis umum bahwa moralitas bergantung pada agama, yaitu bahwa moralitas adalah “apa
yang Tuhan perintahkan atau kehendaki”. Dalam pandangan ini, hak moral dan kebajikan
dimaknai sebagai ketaatan kepada otoritas ilahi dan apa yang dikehendaki Tuhan digunakan
sebagai kriteria tindakan seseorang. Tentu saja ada pengertian yang nyata dalam
mempertahankan bahwa orang percaya harus mengambil kehendak Tuhan sebagai pengadilan
banding terakhir dalam keputusan moral. Dengan demikian, “apa yang salah” menjadi “apa
yang dilarang oleh Allah”. Hal ini menyebabkan beberapa orang berpikir bahwa ada
hubungan intrinsik antara moralitas dan agama sampai-sampai jika seseorang menjauhi
agama, ia menghancurkan satu-satunya dukungan kuat yang dimiliki moralitas. Kita semua
memiliki konsep kebaikan tertentu yang lebih mendasar bagi kepercayaan apapun kepada
Tuhan dan oleh karena itu menunjukkan bahwa kita dapat menilai sesuatu sebagai baik secara
moral tanpa harus membawa pertimbangan teistik.
A Theological Observation
Masih bisakah kita menjunjung tinggi kemerdekaan moralitas dari agama jika kita
membawa pertimbangan teologis? Banyak dari kita menganggap pernyataan Magisterium
Gereja atau Kitab Suci sebagai sumber khusus kebijaksanaan etis dalam arti bahwa penilaian
mereka membuat segala sesuatunya benar atau dapat diatur. Kadang kita lupa bahwa
Magisterium tidak menciptakan nilai moral. Kita harus tetap hati-hati dalam membaca Kitab
karena apa yang terkadang luput dari perhatian kita adalah bahwa terdapat pertumbuhan
dalam pemahaman penulis Kitab terhadap kehidupan moral. Misal, perjanjian lama menerima
perbudakan, poligami, perceraian, ketidakmanusiawian dalam perang, dll, sedangkan
perjanjian baru telah menuliskan aturan-aturan yang tidak terdapat di perjanjian lama. Maka,
bahkan atas dasar pengamatan teologis, kita harus mempertahankan bahwa moralitas harus
dikaitkan dengan agama, penemuan yang telah ada membuktikan bahwa apa yang benar
secara moral sangat bergantung pada sumber non agama.
Pengertian etika
Etika merupakan dasar baik dan buruk yang menjadi referensi pengambilan keputusan
individu sebelum melakukan serangkaian kegiatan. Secara etimologis:
- Etika berasal dari bahasa latin „etos‟ yang berarti „kebiasaan‟.
- Sinonimnya adalah „moral‟, juga berasal dari bahasa yang sama „mores‟ yang berarti
„kebiasaan‟
- bahasa arabnya „akhlak‟ bentuk jamak dari mufrodnya „khuluq‟ artinya „budi
pekerti‟.
Etika bisnis dalam syariah Islam adalah akhlak dalam menjalankan bisnis sesuai dengan
nilai-nilai Islam, sehingga dalam melaksanakan bisnisnya tidak perlu ada kekhawatiran,
sebab sudah diyakini sebagai sesuatu yang baik dan benar.
Pengertian bisnis
Etika Bisnis Islam
➔ Menurut Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, etika bisnis islam adalah norma-norma
etika yang berbasis Al-Quran dan Hadist yang harus dijadikan acuan oleh siapapun
dalam aktivitas bisnisnya.
➔ Etika bisnis Islam adalah akhlak dalam menjalankan bisnis sesuai dengan nilai-nilai
Islam, sehingga dalam melaksanakan bisnisnya tidak perlu ada kekhawatiran, sebab
sudah diyakini sebagai sesuatu yang baik dan benar.
Etika ekonomi bisnis dalam Islam bersumber dari dua sumber, yaitu:
➢ Nilai Ilahiyat
Nilai yang dititahkan Allah kepada Rasul-Nya, yang berbentuk takwa, iman, ihsan,
adil dan sebagainya yang diabadikan dalam wahyu Ilahi. Nilai-nilai yang bersumber
dari agama bersifat statis dan kebenarannya bersifat mutlak. Sikap, tindakan, dan
perilaku manusia harus mencerminkan kehendak Tuhan untuk kepentingan dan
kebaikan manusia sendiri.
➢ Nilai insaniyat
Nilai etika yang bersumber dari kreativitas dan konsesus pemikiran manusia demi
kepentingan dan kebaikan manusia sendiri. Nilai ini bersifat dinamis yang dibatasi
ruang dan waktu.
Kasus “Korupsi Pengadaan Al-Quran Kementerian Agama”
Analisis Kasus
Proses penyusunan anggaran menjadi tahap awal dalam pengadaan. Ketika
penyusunan anggaran terjadi suap-menyuap serta mark up biaya maka dapat dikatakan bahwa
tindak pidana korupsi terjadi.
Penjabaran kasus diatas dapat disimpulkan bahwa menteri agama menyalahi etika.
Pegawai Kementerian Agama yang dipercaya masyarakat mengerti tentang agama dan punya
etika serta moral yang baik justru melakukan tindakan tercela, yaitu korupsi. Ketika
seseorang mengerti agama, maka ia akan tergerak melakukan kebaikan dan menjauhi hal
buruk, ironisnya masih ada yang melakukan kejahatan dan justru menjadikan ini sebagai
peluang. Yang dilakukan menteri agama tidak hanya merugikan negara, namun juga
merugikan rakyat dan memperburuk nilai agama. Kepercayaan rakyat pada pemimpin negara
menjadi kurang karena orang yang beragama pun masih tergiur melakukan hal yang tidak
seharusnya.
Agama menjadi benteng yang memadai untuk menjalani kehidupan moral. Tanpa
agama tidak ada landasan objektif bagi prinsip-prinsip moral. Sesuatu kehendak Tuhan
merupakan standar perilaku manusia yang baik. Menteri agama melakukan tindak korupsi
yang dimana seharusnya melakukan pengadaan Al-Quran dengan cara yang halal. Memang
benar tujuannya baik, namun hal ini juga dibarengi dengan cara yang baik pula. Tindakan
kotor ini membuat kitab suci bernoda karena dalam prosesnya terdapat keserakahan
pihak-pihak yang terkait.
Dalam pengamatan empiris, tanpa agama seseorang dapat menjalankan kehidupan
dengan baik dan moral. Kasus ini memperlihatkan bahwa orang yang beragama masih dapat
melakukan hal buruk. Maka dari itu, tindakan manusia tergantung dengan apa yang ia
inginkan secara sengaja.
Dalam argumen filosofis, hak moral, kebaikan, ketaatan, dan kehendak Tuhan
menjadi kriteria tindakan seseorang. Manusia akan merasa selalu diawasi dalam melakukan
suatu tindakan karena memegang teguh ajarannya. Tidak dengan menteri agama yang justru
bertindak seperti tidak beragama. Dalam hal ini agama tidak patut disalahkan karena semua
itu kembali pada diri masing-masing individu. Ketika agama melekat pada diri individu maka
manusia akan terarahkan pada hal yang baik. Jika memegang agama tapi perlakuan buruk,
maka tanyakan kembali keberadaan agama pada diri Anda. Pemimpin adalah panutan rakyat,
alangkah baiknya menteri agama memberikan contoh yang baik dengan tujuan dan cara yang
baik.