Anda di halaman 1dari 2

Lampung New City : Kota Satelit atau Kota Mandiri

Tommy Permadhi & Maulana Mukhlis


Alumnus Pascasarjana PWK-ITB & Mahasiswa Pascasarjana MIP Unila

Salah satu (ide) proyek besar di Provinsi Lampung yang menjadi obsesi Gubernur
Sjachroedin ZP selain pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS), perpanjangan landasan
Bandara Raden Intan II dan pembangunan rel kereta api antar kabupaten/kota di
Lampung adalah pembangunan kota baru Lampung (Lampung New City) di Natar. Ide itu
seakan melanjutkan ’dominasi’ gubernur sebagai pembuat setting kebijakan
monumental. Kita ingat, ide (monumental) membangun Tugu Siger (yang kini menjadi
satu icon Lampung) pada awalnya melahirkan pro-kontra, pun demikian dengan ide
Lampung New City ini, pro-kontra pun hingga kini bisa jadi masih mengikutinya.

Tahun 2007 lalu, BAPPEDA Provinsi Lampung telah menyusun Masterplan/Rencana Induk
Kota Baru Lampung di Natar. Dalam rencana itu, Lampung New City akan dibangun
dengan konsep eco-city (kota berwawasan lingkungan) yang ditawarkan sebagai model
struktur ruang dan arsitektural kota baru nantinya. Konsep Eco-city yang akan diusung
memang sangat baik dan telah mengakomodir trend pembangunan kota yang
berkelanjutan saat ini. Begitu pula dengan filosofi kebudayaan Lampung yang juga akan
diterjemahkan baik dalam pembangunan struktur ruang maupun pembagian blok–blok
peruntukannya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Lampung New City diharapkan
mampu menjadi kota baru yang lebih berkarakter dibandingkan dengan kota–kota
lainnya di Propinsi Lampung.

Tulisan ini tidak hendak mempersoalkan sisi image/pencitraan kota Lampung New City
itu karena rencana pengembangan kota baru secara umum telah memenuhi kaidah
tersebut, mulai dari pembagian pusat pertumbuhan kota (nodes), pembagian blok
peruntukan (district), pembangunan landmark kawasan (landmark), jaringan jalan dan
pola sirkulasi (path) serta batas–batas pemisah antara blok–blok peruntukkan (edge)
seluruhnya telah tertata rapi. Dalam konteks itu, kami sangat sepakat dengan apa yang
akan dibangun dalam pengembangan kota baru nantinya.

Namun, sisi itu ternyata lebih pada bagaimana membangun lokasi perkantoran (fisik),
bukan pada bagaimana membangun suatu kota yang harus memberikan kehidupan dan
penghidupan yang layak bagi warganya (sosial). Konsep Lampung New City juga belum
menggambarkan kegiatan yang bisa dikembangkan yang tidak hanya kegiatan
pemerintahan dan permukiman saja, bagaimana dengan pengembangan kegiatan
ekonomi lainnya, bagaimana penyediaan fasilitas umum dan sosial, bagaimana
pembangunan infrastrukturnya serta bagaimana membangunan sistem transportasinya,
nampaknya belum dikaji secara mendalam oleh BAPPEDA di dalam masterplan tersebut.
Dan yang juga substansial adalah bagaimana hubungan Lampung New City dengan kota-
kota di sekitarnya –terutama Bandar Lampung- hanya sekedar Kota Satelit atau Kota
Mandiri?

Kota Mandiri atau Kota Satelit


Atas pembiayaan ADB, Departemen PU pernah menyusun dokumen perencanaan BLASA
UDP (Bandar Lampung and Surrounding Areas–Urban Development Programme)
mengenai rencana pengembangan metropolitan Bandar Lampung ke depan. Dari hasil
studi itu diperoleh gambaran bahwa terdapat enam kota satelit yang akan menjadi
daerah penunjang pertumbuhan kota Bandar Lampung, yaitu Tanjung Bintang, Gedong
Tataan, Natar (Tanjung Getar), Padang Cermin, Ketibung, dan Margakaya. Masing–
masing kota tersebut memiliki fungsi dan peran tersendiri dalam pengembangan
metropolitan Bandar Lampung.

Yang perlu digarisbawahi disini adalah bahwa kota-kota tersebut adalah kota baru
sebagai kota satelit yang hanya mengambil sebagian dari fungsi kota Bandar Lampung;
terkait dengan pengembangan kawasan permukiman serta pengembangan kegiatan
ekonomi lain, seperti pengembangan kawasan industri ke luar Kota Bandar Lampung.
Kota – kota tersebut memang tidak akan bisa berdiri sendiri karena pusat pelayanannya
tetap akan berorientasi ke Kota Bandar Lampung sebagai pusat dari aktivitas wilayah
metropolitan. Juga tidak akan berdiri sendiri sebagai suatu wilayah administrasi kota
yang memiliki pemerintahan sendiri serta harus menyediakan seluruh komponen
perkotaan yang harus dimiliki layaknya suatu wilayah perkotaan. Jarak kota satelit
dengan kota induknya berada pada radius 20 km dengan pertimbangan bahwa skala
pelayanan sarana dan prasarana perkotaan khususnya transportasi perkotaan masih
memadai dalam skala ekonomi.

Sedangkan jika kota baru tersebut diarahkan menjadi kota yang mandiri maka dalam
terminologi perencanaan, kota tersebut harus mampu secara mandiri memberikan
penghidupan dan kehidupan yang layak bagi warganya; tidak hanya lingkungan
permukiman yang nyaman tetapi mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi
warganya. Kota tersebut memiliki pusat pemerintahan tersendiri serta wajib
menyediakan seluruh fungsi–fungsi dan komponen kegiatan perkotaan. Adapun jarak
minimal yang dipersyaratkan agar kota tersebut dapat tumbuh secara mandiri adalah 60
km dari kota–kota yang terdekat.

Hal ini dimaksudkan agar ketergantungan kota tersebut terhadap pertumbuhan kota
yang lainnya maupun imbas dari pertumbuhan kota lainnya terhadap kota baru tersebut
relatif rendah. Lampung New City nantinya akan diarahkan menjadi kota mandiri atau
kota satelit; menjadi ‘soal’ yang layak dijawab. Jika jawaban pilihan dari keduanya
terjawab, baru kemudian muncullah pertanyaan berikutnya: dari enam kota mengapa
Natar menjadi pilihannya.

Selanjutnya jika tujuan dari pembangunan Lampung New City ini adalah untuk
mengurangi beban kota Bandar Lampung yang juga berfungsi sebagai pusat perdagangan
dan jasa skala propinsi maupun nasional, maka sesunggunya alternatif pemindahan
pusat pemerintahan propinsi Lampung ke wilayah Natar ini, bisa jadi bukan menjadi
jawaban untuk mengurangi beban tersebut.

Mengacu pada tinjauan terminologi tentang kota baru di atas maka pembangunan
Lampung New City di Natar yang hanya berjarak + 20 km dari Kota Bandar Lampung
justru akan semakin membebani wilayah Kota Bandar Lampung, khususnya dalam
pemanfaatan dan peningkatan kebutuhan akan sarana dan prasarana perkotaan yang
akan berimbas pada semakin tingginya beban sosial ekonomi kota Bandar Lampung.

Jika saat ini saja dampak penjalaran pertumbuhan Kota Bandar Lampung telah
mencapai radius + 7 – 10 Km ke arah utara dari kawasan Hajimena menuju Natar dan
upaya untuk membendung dampak penjalaran pertumbuhan tersebut relatif sulit, maka
bukan tidak mungkin penyatuan wilayah (connurbation) antara Natar dan Bandar
Lampung akan sulit dihindari dan akan terjadi dalam kurun waktu 10–15 tahun ke depan
dengan sendirinya; tanpa menjadikannya kota baru sekalipun.

Pembangunan kota baru, saat ini memang telah menjadi kebutuhan nyata akibat telah
terlalu ’sumpek’ dan ’crowded’ nya Bandar Lampung sebagai ibukota. Oleh karenanya,
perencanaan yang matang atas pertimbangan sekian banyak masukan menjadi sesuatu
yang mutlak untuk dilakukan. Pengembangan Lampung New City akan lebih terencana
jika jawaban atas pertanyaan tersebut di atas (sebelumnya) bisa kita sepakati bersama.*

Anda mungkin juga menyukai