Anda di halaman 1dari 201

Prof Respati.

pdf
Prof Respati.pdf
Respati Wikantiyoso 21

antara fasilitas hunian (perumahan) fasilitas aktivitas sosial-


budaya serta fasilitas tempat kerja sangat diperlukan untuk
mencapai kondisi mandiri.
Pengaturan guna lahan untuk mencapai kema,dirian
dalam keseimbangan diperlukan konsep mix used. antara
fungsi hunian, perdagangan, tata hijau perkantoran dan
lainnya. Xeseimbanga, guna iat a, memungkinkan
fungsi banga
keseim n aktivitas masyarakat tenga,
meminimalkan pergerakan "o*ia1- ekono
dari mi ke kota utama.
dan
Implementasi konsep kota baru seperti diurai di depan
memang tidak mudah. Kemandirian dalam keseimbangan
drtqo perencanaan kota baru memperjelas be*rwa
pembangunan kota baru bukanlah ,.rtrt mewadahi
komunitas masyarakat dalam satu klas sosial atau satu
fungsi, tetapi dituntut heteroge'itas sosial dan fungsi
sebagaimana komunitas kota utama. struktur pekerjaan di,
komposisi perum ahann ya haruslah diperuntukan bagl
kelompok sosial-ekonomi dan aktivitas ekonomi yan;
bercampur. sehingga secara umum kota baru haruslah dilihat
sebagai pembangunan berbagai unit fungsi yarlg bukan sqia
untuk perumahan dern fasilitas perdagangan tetapi jrg.
fasilitas kerja, pendidika,, rekreasi, k.s.rratari dan lain-lain.

O5. Luas dan Kepadatan penduduk

Menurut Howard, kota baru harus berukura, relatif kecil


untuk memudahkan penduduknya berinteraksi, menuju ke
tempat kerja, serta untuk kemudahan mencapai fasilitas-
fasilitas umum kota. pada masa itu Howard mengusurkan
jumlah penduduk kota baru sebesar 3o.0oo orang. Akan
tetapi dalam perkembangan jaman jumlah pendudukLenjadi
sangat bervariasi seperti beberapa pengalaman pembansu.ran
kota baru di berbagai negara. implementasi konsep kota baru
seperti di Inggris antara lain cum Bernauld, Milton Keynes; di
Perancis (Cergr Pontoise, Erry, Marne La Valle dan
sebagainya) dan di singapura menunjukkan bahwa ukuran
Paradigma Perencanaan dan perancangan Kota
22 Respati Wikantiyoso

dan jumlah penduduk kota baru tergantung kepada


keperluan, tujuan serta potensi perkembangan kota. Di sisi
lain ukuran kota baru sering juga ditentukan pula oleh tujuan
pengembangan, luasan tanah serta tersedianya finansial.
Dari uraian di depan dapat dirangkum bahwa secara
umum idea kota baru merupakan upaya pengembangan fisik
dan struktur sosial masyarakat yang menyeluruh dengan
penyediaan kesempatan kerja yang mencukupi untuk
menjadikannya mandiri, mempunyai ruang yang luas,
kehidupan yang baik dengan lingkungan hijau yang
memberikan peluang penduduknya untuk hidup nyarnan.

O6. Implementasi Konsep Kota Baru

Konsep kota baru telah diimplementasikan pada lebih


dari 5O negara termasuk Indonesia, dengan latar belakang
yang berbeda, yang menyebabkan terjadinya "penyesuaian".
Kebutuhan pembangunan kota barl saat ini bukan hanya
untuk mengatasi masalah kota-kota besar saja, tetapi juga
untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
wilayah pinggiran. Kota baru diperlukan untuk restrukturisasi
wilayah kota utama dan wilayah hinterland-fly&, utnuk
menjamin keseimbangan wilayah. Konsep kota traru telah
disesuaikan sebagai katalis pengembangan wilayah, akan
tetapi jiwa "kemandirian" tetap diperlukan untuk menunjang
keseimbangan perkembangan wilayah. Sesuai dengan
perkembangan jaman serta melihat implementasi konsep kota
baru di berbagai negara, dapat dirumuskan beberapa tujuan
yang melatar belakangi pembangunan kota baru sebagai
berikut:
1.' Untuk menampung perkembangan kota besar/
metropolitan.
2. Sebagai instrumen pengembangan wilaya1. desa-kota
3. Sebagai pusat fasilitas perkotaan di wilayah hinterland.
4. Untuk menampung pertumbuhan industri dan
eksploitasi sumber alam.
Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota
Respati Wikantiyoso 23

5. Sebagai ibu kota wilayah administratif


6. Untuk menunjang kebijakanaan pemerintah.
7. Untuk kepentingan miiiter.

07. Perkembangan di Indonesia


Pertumbuhan ekonomi yang pesat telah dan akan terus
memacu proses urbanisasi kota-kota besar di Indonesia.
Perkembangan kota yang makin ',kekuranga-t1" lahan
menyebabkan dilakukannya pengembangan di wilayah
pinggiran kota, melalui pembangunan lingkungar pemukiman
baru. Akhir-akhir ini muncul istilah-istilah kota baru, Kota
i1rry*, Kota legenda, kota mandiri dan sebagainya. seperti
disebut di depan. Tentunya banyak lujuan yang
melatarbelakangi penggunaan istilah tersebut untuk
lingkungan pemukiman yang ditawarkan. Apapun Latar
belakangnya yang jelas merupakan upaya untuk menciptakan
lingkungan yang "nyaman" walaupun kadang hanya slogan
semata. upaya pembangunan kota baru tersebut merupakan
upaya untuk menghadirkan lingkungan kota yang "ideal,' ?
Pembangunan kota baru sebagai suatu bentuk upaya
pengembangan kota sebenarnya tidak bisa hanya dipandalg
dari sisi penyediaan kebutuhan ruang untuk aktifitas
perkotaan akan, tetapi harus dipandang sebagai suatu proses
yang sistematis dan menyeluruh. Sebagai suatu proses
tentunya pembangunan kota baru harus memperhatikan
beberapa aspek pada setiap tahap pembangunannya. Tahap
pembangunan kota baru meliputi tahap kelayakern proyek dan
studi pendahuluan, tahap perencanaan dan pei..r"angan,
tahap pelaksanaan, serta tahap operasional kota baru.
Permasalahan kota baru akan muncul apabila proses setiap
tahapan tersebut tidak atau kurang memperhatikan
keseluruhan aspek dan aspek keseluruhan dari suatu sistem
perkotaan.
Tahap kelayakan proyek dan studi pendahuluan
diperlukan untuk menentukan potensi dan kendata
Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota
24 Respati Wikantiyoso

pengembangan wilayah. sebagai suatu contoh misalnya idea


yang dilontarkan oleh sahat Maruiita tentang pemindahan ibu
kota propinsi Jawa Timur ke wilayah selatan, disini perlu
dikaji infrastruktur apa saja yang diperlukan untuk sebuah
ibu kota propinsi, kendala- kendala yang dihadapi bag,
pemindahan pegawai, pemindahan dinas terkait, serta studi
potensi-potensi dan kendala calon lokasi kota baru. Tentunya
perpindahan ibu kota propinsi mempunyai masalal. yang
cukup besar karena permasalahan tidak hanya terletak pada
perujudan kota baru tersebut, tetapi lebih banyak akan
muncul pada teknik operasional sebuah ibu kota, yang
menyandang beban sistem operasional administratif. Akan
tetapi hal ini bukanlah tidak mungkin dilaksanakan hanya
perlu dukungan finansial dan alokasi waktu yang tidak
sedikit. Di Indonesia yang pernah dilakukan perpindahan
ibukota Kabupaten seperti Kabupaten Bandung yang pindah
ke Soreang, sebagai tuntutan perkembangan Kota eanaurtg.
Perpindahan ibukota tersebut juga dihadapkan pada masalah-
masalah di atas. Demikian halnya dengan rencana
pemindahan ibukota Kabupaten Malang yang beberapa waktu
lalu pernah terlontar, masih memerlukan kqiian yang lebih
mendalam tentang berbagai faktor tersebut. perpindahan
ibukota tidak mustahil bisa dilakukan, bahkan prda tahap
perkembangan tertentu ibukota kabupaten yang terletak di
wilayah administratif pemerintahan kota harus dipindah ke
wilayah kabupaten. Tetapi harus dilakukan studi yang cermat
terhadap kemungkin€u:. munculnya masalah dari perpindahan
ibukota tersebut, baik masalah teknis maupun masalah
operasional. Sehingga rencana pemindahan ibukota
kabupaten Malang ke manapun lokasinya sudah perlu
dipikirkan atau dilakukan studi pendahuluan.
Keberhasilan tahap studi kelayakan dan studi
penciahuluan akan menunjang keberhasilan tahapan
perencanaan dan perancangan. Fasiiitas, infrastruktur,
elemen kota apa saja yang diperlukan bagi pembangunan kota
bary, serta aspek disain merupakan tahap yang tidak terlepas
dari tahaptahap iainnya. Kegagalan tahap ini akan
Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota
Respati l4/ikantiyoso 25

menentukan tahap selanjutnya, seperti kesulitan dalam


pelaksanaan misalnya biaya Vurrg tinggi, membengkaknya
waktu pelaksanaan dan sebagainya gahkan dapat berakibat
ingkatny
lnennalita a beaya operasional kota, meningkatnya
krimi s, atau masalah sosial lainnya.
an pembangunan kota baru merupakan
-lang,Taha p peiaksana
kah yang tidak t aurr fenting dalam merealisasi
ra,cangan kota baru. permasarahan tota baru sering kita
lihat dari tidak terintegrasinya peraksanaan pembangunan.
Masalah kelengkapan fasilitai rirr*, kurangnya pelayanan
infrastruktur serta utilitas lingkungan - i"o" tur..p
pelaksanaan, bukan saja m.nimbuii.an Lasalah di
lingkungan kota baru tersebut tetapi juga berdampak
meningkatnya "beban" kota induknya.- epauha kita amati
perkembangan kota baru di Indonesia r*rrrr.ryr-, p.luk"uo.ro
pemb an gunan diprioritaskan p ada pemb an gurrr.r^ p.rr*ahan
sedangkan fasilitas penunjang ailakukrr, lingkungan
"".t.l "h
hunian terbentuk. eemtangunan lingkungan_lingkungan
hunian baru di sekitar kota besLr iinduk)* t"ip"
memperhatikan kelengkapan fasilitas umtlm, dan
infrastruktur lingkungan akan menambah beban bagi kota
induk, walaupun masalah pemenuhan akan kebutuhan
perumahan terpenuhi. Fenomena pembangunan lingkungan
p.T"ryTrn seperti ini sebenarnya seca ra konseptual
bukanlah suatu bentuk implementasi ,,Kota Baru,, yang
mandiri, seperti banyak ditawarkan. Kemandirian sebuarr kota
b*y. menuntut pelaksa,aan pembangunan ringkungan secara
totalitas, sehingga hubunga, kota baru denfrn k'ota induk
semata hanya keterkaitan fungsional, yang *!"*. ekonomis
saling menunjang.
Implementasi sebuah kota baru tidak hanya sampai pada
l*.p _pembangunan saranajustrclan prasarana fisik tltapi
kemandirian konsep kota baru u akan teruji pada tahap
operasional. Tahap operasional ini menyangkri Lp.rr"ional
teknis dan administratif kota. Ada- u[uerapa sistem
manajemen kota yang bisa dilakukan dat; sistem
operasional kota baru. sistem manqiemen bisa dilakukan oreh
Paradigma Perencanaan dan perancangan Kota
26 Respati LVikantiyoso

pemerintah seperti yang dilakukkan saat ini, setelah pihak


pengembang membangun lingkungan "kota baru" kemudian
diserahkan kepada pemerintah daerah untuk mengelola
segala kepentingan warga. Alternatif kedua pengelolaan kota
diiakukan oleh pihak swasta, yang secara totalitas mengelola
sistem operasional. HaI ini tentunya diperlukan terobosan,
dengan catatan pihak swasta tersebut harus terkontrol untuk
tetap mengutamakan kepentingan warga kota. Sedangkan
alternatif lainnya adalah pengelolaan oleh sebuah bandan
konsorsium antara pihak swasta, pemerintah dan masyarakat
yang mempunyai hak otonomi untuk mengurus segala
kepentingan masyarakat kota. Alternatif ketiga ini secara
teknis mungkin akan lebih berhasil untuk menjamin
kontinuitas perkembangan dan pengembangan kota baru
lebih lanjut. Tentunya badan ini harus sudah mulai terbentuk
sejak tahap awal proses, yakni tahap kelayakan dan studi
pendahuluan sampai operasional, sehingga keterpaduan
langkah akan lebih tercapai. Dengan pelibatan aktor-aktor
pembangun (swasta, pemerintah dan masyarakat), melalui
dukungan sumber daya, teknologi, dan sumber dana yang
dimiliki oleh masing-masing pihak, maka keterpaduan,
kemandirian yang harmonis dapat tercapai. Pihak swasta
memberikan dana dan teknologi, pemerintah memberikan
peluang dan kemudahan sistem birokrasi dan masyarakat
memeberikan dukungan dana dan sumber daya lainnya, yang
secara selaras dan saling menguntungkan berbagai pihak.
Uraian tersebut kelihatannya memang hanya mudah
untuk dituliskan dan sulit untuk dilaksanana. Era reformasi
ini kelihatannya ada sedikit peluang untuk mengelola kota
yang desentralisasi melalui kebijaksanaan otonomi daerah,
semoga. Sehingga konsep ini bisa dikembangkan secara
optimal dengan transparansi pengelolaan pembangunan
perkotaan oleh swasta, pemerintah dan masyarakat. Semua
pihak yang terlibat dalam proses pembangunan kota baru
tersebut menyadari dampak tidak terpadunya perencanaan,
peranca-ngan, pelaksanaan bahkan operasionalisasi sebuah
kota. Idealisme kota baru yang diciptakan tersebut
Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota
Respati Wikantiyoso 27

sebenarnya ditujukan kepada siapa ? Kepada masyarakat,


dengan memberikan kemanjaan lingkrrrg", n*it e Kepada
Swasta, dengan memberika' keuntungan sebesar_besarnya ?
atau Kepada Pemerintah, dengan meminimalkan dampak
so-sial serta optimarisasi operasionat kota ? Tentunya ebuta,
'terssemu
pil* menging in|.r. keuntung an keuntung an
"pifrrf. aapai
sehingga minimalisasi kerugian berbagai
dilakukan melalui negosiasi kepentingan k#ga prh; Semoga
pertanyaan pertanyaan tersebut dapat menjadi bahan
renungan kita untuk menuju idea-risme sibuah koia baru.

Paradigm.a Perencana(rn dan perancangan Kota


Respari wikantiyoso 29

PERENCANAAN DAN PERANCANGAN KOTA

SEBAGAI PROSES FORMAL

01.Pengantar

Kota akan selalu tumbuh dan berkembang (urban life

continuum), sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan

kehidupan sosial-budaya, ekonomi dan politik yang melatar

belakanginya. Proses pertumbuhan dan perkembangan

morfologi kota dapat berlangsung secara organis (incrementaij

atau tanpa perencanaan dan dapat pula berlangsung melalui

proses perencanaan dan perancangan (proses formal).

Pertumbuhan organis muncul melalui proses yang panjang

(C.Alexander, 1987: 15) Christopher Alexander (1987) dalam

bukunya A New Theory of Urban Design, mengatakan ada

beberapa hal yang dapat diamati dalam perkembangan kota

secara organis, antara lain:

a) Pertumbuhan organis berlangsung menerus,

b) Pertumbuhan tidak dapat diduga kapan

perkembangan mulai dan akan berakhir. Hal ini di

tentukan oleh kekuatan-kekuatan yang melatar

belakangi atau hukum-hukum yang berlaku pada saat

itu.

c) Pertumbuhan yang terjadi merupakan peristiwa yang

saling berkaitan dan belangsung secara

berkeseimbangan. Proses yang terjadi bukan

merupakan proses segmental yang berlangsung tahap

demi tahap.

d) Pertumbuhan mempunyai kaitan emosional yang erat

dengan populasi pendukungnya.

Perkembangan organis umumnya terjadi pada konteks

pertumbuhan organik biologis, berbeda dengan

perkembangan-perkembangan yang telah direncanakan

(proses formal) terlebih dahulu yang sifatnya deter-ministik

Paradigma Perencanaon dan Perancangan Kota


30 Respati JVikantiyoso

fisk. Perencanaan (dua dimensional) sebagai proses formal

seringkali tidak mengacu pada konteks kondisi-potensi yang

ada pada suatu wilayah baik kondisi-potensi fisik maupun

non fisik sehingga rencana yang dihasilkan sebagai acuan

hanya mengacu konteks fisik semata. Hal ini dapat kita amati

pada perkembangan proses formal yang mempunyai ciri-ciri

perkembangan dan permasalahan sebagai berikut (C.

Alexander, 1987:15):

a) Meskipun pengembangan tersebut sedikit demi

sedikit, akan tetapi masing-rnasing perkembangan

tidak mendukung keutuhan secara keseluruhan,

sehingga perkembangan akan menghasilkan ketidak

seimbangan antara satu bagian dengan bagian

lainnya.

b) Perkembangan dikendalikan oleh konsepsi, rencana­

rencana, peta dan skema. Rencana-rencana ini tidak

menciptakan pertumbuhan yang utuh dan bersifat

artifisial, perencanaan lebih bersifat dua dimensi, tidak

melihat lingkungan dalam konteks tiga dimensi.

c) Perkembangan yang terjadi hanya menyentuh

permukaan saja, pengembangan tidak menyertakan

nilai-nilai yang ada di dalamnya dan sifatnya lebih

direncanakan dan diatur.

ct) Sehingga pengembangan melalui perencanaan formal

biasanya tidak mempunyai kekuatan yang menyentuh

emosi yang mendalam. Pengembangan hanya

menimbulkan kekaguman sesaat pada hasil

rancangan tetapi tidak mencapai kedalaman perasaan.

Hal ini dapat dimengerti karena perkembangan formal

yang direncanaan biasanya tidak memperhatikan atau

mengkaitkan kandungan atau nilai-nilai yang ada

sebagai suatu potensi.

Dengan mengamati proses perkembangan kota baik

secara formal maupun secara organis, ternyata masing­

masing proses mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Perencanaan dan perancangan kota sebagai proses formal

tentunya lebih mempunyai arah yang jelas bagi

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati fVikantiyoso 31

perkembangan kota, dengan melihat uraian di atas hal yang

harus diperhatikan dalam pengembangan proses formal

adalah dimensi pengembangan harus diperluas menjadi 3

dimensi (spatiaQ, dalam konteks perkembangan yang lebih

luas. Hal int berarti aspek perencanaan tidak hanya

deterministik fisik akan tetapi lebih memperhatikan konteks

kehidupan sosial-budaya, ekonomi dan politik sebagai satu

kesatuan.

Pengertian perencanaan clan perancangan kota menjadi

penting untuk dikaji, sebagai upaya yang lebih realistis

terhadap proses penyusunan produk atau substansi rencana

yang nantinya akan dipakai sebagai acuan dalam memberikan

arah perkembangan kota melalui proses formal.

02.Pengertian Perencanaan dan Perancangan Kota

Perencanaan Kata

Kata perencanaan mempunyai pengertian yang sangat

beragam, hampir semua bidang ilmu menggunakan istilah

perencanaan. Dalam disiplin ilmu ekonomi perencanaan

mempunyai arti mengatur sumber-surnber daya yang langka

secara bijaksana. Menurut ahli perencana kota (Planner)

perencanaan meliputi pengaturan dan penyesuaian (mungkin

dengan mengubah) hubungan manusia dengan lingkungan,

yang dilakukan untuk waktu yang akan datang (Jayadinata,

J.T; 1986:3).

Untuk memberikan pengertian yang lebih lengkap

diuraikan beberapa pengertian mengenai perencanaan

(planning). Koontz, Harold dan Cyril O'Donnel (1964) dalam

buku The Nature and Purpose of Planning, yang dikutip

· olehEwing, David W (1964:21-22), dalam buku Long-range

Planning for Manajemen, memberikan pengertian perencanaan

(planning) sebagai berikut :

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


32 Respati IVik.antiyoso

"Planning is one of the functions of the manager, and, as

such, involves the selections, from among alternatives, of

enterprise objective, policies, procedures and program. It

is thus decision-making affecting the future course of an

enterprise. Planning is thus an intellectuals process, the

conscious determination of courses of action, the basin of

decisions on purpose, fact and considered estimates"

Friedman (1987:38) dalam buku Planning in the Public

Domain; From Knowlage to Action, memberikan gambaran

mengenai perencanaan sebagai b e riku t :

"Planning attempts to link scientific and technical

knowledge to actions in the public domain. Planning

attempts to link scientific and technical knowledge to

processes of societal guidance. Planning attempts to link

scientific and technical knowledge of processes social

transformations"

Rose, Edgar A (1974) dalam buku Philisophy ang Purpose

of Planning menyebutkan bahwa perencanaan merupakan

studi lapangan guna memecahkan masalahan-rnasalah nyata

dilapangan, perencanaan merupakan aktivitas yang multi

dimensi dan terintegrasi dalam memecahkan permasalahan,

dengan memperhatikan faktor-faktor sosial, ekonomi, politik,

psikologi dan faktor teknis. Mengingat perencanaan

mempunyai pengertian yang sangat beragam sehingga

memunculkan beberapa teori perencanaan. Andreas Falucli

(1973:1), dalam A Reader in Planning Theory, membedakan

teori perencanaan manjadi dua yaitu Theory in Planning dan

Theory of Planning Theory in Planning merupakan substansi

perencanaan, yakni mengenai obyek perencanaan. Sedangkan

Theory of Planning berkaitan denganprosedur perencanaan

atau metode perencanaan. Substansi perencanaan sangat

beragam, Burton (1974) dalam bukunya Spirit and Purpose of

Planning, mengungkapkan bahwa substansi perencanaan

antara lain menyangkut perencanaan fisik, perencanaan

Paradigma Perencanaan don Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 33

ekonomi, perencanaan sosial, perencanaan transportasi, dan

"corporate planning".

Perencanaan Kota merupakan perencanaan fisik yang

terpadu, karena perencanaan kota mempunyai aspek yang

sangat kompleks menyangkut aspek sosial-budaya, ekonomi,

dan politik dalam satu kesatuan wilayah fisik (ruang kota).

Dengan demikian rencana kota merupakan rencana yang

disusun dalam rangka pengaturan pemanfaatan ruang kota,

yang menyangkut masalah kebutuhan atau kepentingan yang

saling terkait dalam pemanfaatan sumber daya (ruang kota)

yang sudah sangat terbatas; serta keterkaitan antara satu

peruntukan dengan peruntukan lain sesuai dengan kapasitas

infrastruktur yang menunjang peruntukaan-peruntukan

terse but.

Pendekatan perencanaan kota menurut Foly, yang

dikutip oleh Jayadinata (1986: 125) dalam buku Tata Guna

Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah,

terdapat dua pendekatan yakni;

a) Pendekatan unit (the unitary approach), yaitu membuat

suatu gambaran pola lingkungan fisik yang ada, dan

memajukan pembangunan serta mengadakan

pengaturan untuk memberikan kepastian pola

perkembangan lingkungan fisik untuk masa yang akan

datang.

b) Pendekatan adaptif (adaptive approach) dalam

perencanaan kota, sebagai jalinan yang kompleks dari

bermacam-rnacarn bagian yang saling bergantungan

secara fungsional.

Pengertian-pengertian mengenai perencanaan tersebut di

atas dapat di sarikan bahwa ada beberapa hal yang tersirat

dan tersurat dalam pengertian perencanaan, yakni;

perencanaan mernpunyai obyek yang direncanaan yang

menyangkut public domain; perencanaan merupakan aktifitas

yang multi-disiplin, terintegrasi dan merupakan proses yang

sistematis (mengunakan metode tertentu); Perencanaan

mengandung tujuan, Kebijaksanaan, Rencana, Prosedur serta

Paradig,na Perencanaan dan Perancangan Kota


34 Respati IVikantiyoso

Program-program. Kebijaksanaan perenca-naan yang

menyangkut peruntukan ruang kota (tanah), akan membawa

konsekensi terhadap perencanaan kota. Keputu-san

perencanaan akan mempunyai dampak yang sangat kuat

terhadap keseluruhan konteks fisik, sehingga dalam

memutuskan suatu bentuk rencana harus melalui

pertimbangan yang komprehensif.

Perancangan Kata

Pengertian perancangan sebenarnya merupakan

ungkapan dan uraian akan aktifitas merancang, Perancangan

mengandung pengertian; aktifitas pemecahan masalah

(problem solving) secara langsung (Archer, 1965), Lompatan

fakta-fakta atau kondisi saat ini pada kemungkinan­

kemungkinan yang akan datang (Page, 1966), Suatu hasil

pemecahan optimal dari kebutuhan-kebutuhan yang

sebenarnya dari keadaan tertentu (Machett, 1968),

merupakan aktifitas yang kreatif dan membawa ke dalam

suatu keadaan yang baru dan berguna serta tidak ada

sebelumnya (Reswick, 1965), serta menemukan komponen

fisik yang benar dari sebuah struktur fisik (Alexander, 1963).

Dari beberapa pengertian perancangan tersebut dapat

dimengerti bahwa perancangan merupakan suatu upaya

memecahkan masalah yang optimal, yang berkaitan langsung

dengan komponen fisik ruang dengan memperhatikan kondisi

(fakta-fakta) yang ada untuk menciptakan kondisi baru dan

berguna erta tidak ada sebelunya.

Perancangan kota (urban) pada hakekatnya merupakan

pengelolaan kawasan kota yang terpadu, yang bertujuan

untuk mengupayakan terbentuknya perangkat pengendali

(urban regulation) yang mampu mengantisipasi semua aspek

perkembangan kota. Menurut Hamid Shirvani, dalam

bukunya The Urban Design Process menyebutkan

perancangan kota adalah merupakan bagian dari proses

perencanaan yang berkaitan dengan perancangan fisik dan

ruang suatu lingkungan kota yang ditujukan untuk

Poradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


Respati Wikantiyoso 35

kepentingan umum. Seperti diungkapkan oleh Barnett ( 1 9 7 9 ) ,

bahwa perancangan kota merupakan keputusan-keputusan

kebijaksanaan publik, dan Gosling (1980) perancangan kota

sebagai pernyataan politik. Berkaitan dengan lingkup urban

design (perancangan kota), Barnett ( 1974) mengatakan ;

"Let us say that the spaces between the buildings are

the domain of urban design. But how do we design

these places ? ",

Disini ditekankan bagaimana mendisain ruang kota

merupakan pokok permasalahan perancangan kota. Robert

M. Beckley ( 1979 :62) dalam Introduction to Urban Planning,

mengatakan bahwa urban design adalah "jembatan" antara

profesi perencana kota (uban Planning) dengan profesi

arsitektur. Danisworo ( 1989) dalam makalahnya yang berjudul

Penerapan Kebijaksanaan Perancangan Kata, yang

dibawakan dalam seminar Nasional "Arsitektur dan

Perancangan Perkotaan" di Semarang, mengungkapkan

perancangan kota merupakan perangkat pergendali yang lahir

oleh karena kebutuhan akan perlunya mekanisme yang dapat

mempermudah penerapan kebijaksanaan perencanaan kota

(urban planning), terutama yang menyangkut dimensi ke tiga

dari produk perencanaan tersebut. Dengan kata lain,

pengalaman empiris menunjukkan bahwa salah satu

masalah pokok rencana kota adalah masalah penerapannya.

Untuk itu diperlukan suatu perangkat pengendali yang

mampu menjembatani antara produk perencanaan kota

dengan produk fisik perwujudannya, terutama produk

arsitektur yang mendominasi wujud fisik suatu kota.

Kedudukan perancangan kota (urban design) dipertegas oleh

AndiSiswanto ( 1993) dalam makalahnya yang berjudul

. Menciptakan Citra Kata Budaya Yang Khas Melalui Peremajaan

Kawasan dan Pengembangan Arsitektur Perkotaari sebagai

berikut:

Paradlgma Perencanaan dan Perancangan Kata


36 Respati tVikantiyoso

" Urban design bukan hanya mencari kebutuhan dart

keinginan masyarakat kota. Bangaimana menggakomo­

dasikan kebutuhan dan keinginan masyarakat dalam

dimensi spatial dan waktu adalah urban planning.

Bagaimana mente,jemahkan kedua bidang tersebut ke

dalam struktur fisik perkotaan secara arsitektur

sedemikian rupa sehingga ruang dapat dimanfaatkan

secara optimal adalah. urban design"

Dalam makalah Urban Design: Pengertian, permasalahan,

dan Konsep Penerapan, Danisworo (1993), mengungkapkan

rancangan kota berkepentingan dengan kualitas ruang kota

terutama yang berkaitan dengan kepentingan umum pada

suatu bagian/ atau sektor kota. Sebagai jembatan antara

perencanaan kota dan perancangan arsitektur (baik bangunan

maupun ruang-ruang luar di antaranya), maka jelas bahwa

perancangan kota atau urban design bukan merupakan suatu

produk akhir, namun demikian urban design akan sangat

menentukan kualitas produk akhirnya yakni lingkungan

binaan kita ini (Danisworo, 1993).

Sebagai suatu proses, perancangan kota merupakan

suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut proses dan

produk, yang menghasilkan suatu bentuk keseluruhan kota

sebagai cerminan dari keputusan-keputusan umum maupun

individu (Cook, 1980). Menurut Appleyard (1982:122),

perancangan kota dapat dikelompokkan ke dalam tiga

orientasi yang berbeda yakni;

a) Development orientations, sebagai bagian terbesar dari

praktek perancangan kota, yang menyangkut proyek

pembangunan gedung beserta fasilitas

infrastrukturnya. Peran swasta pada kegiatan ini

sangat besar.

· b) The conservation orientations, yang memfokuskan

pada upaya memelihara kualitas lingkungan alam.

c) Community orientations, yakni upaya memperbaiki

lingkungan bagi masyarakat berpenghasilan rendah

Paradigma Perencanaun dan 1-'erancangan Kota


Respati iVikantiyoso 37

melalui partisi-pasi aktif masyarakat, yang diatur

dalam kelembagaan tertentu.

Orientasi perancangan kota tersebut merupakan dasar

kebijaksanaan yang harus diperhatikan dalam perancangan

kota. Pendekatan yang realistis untuk perancangan kota

harus memasukkan ketiga orientasi tersebut, dan mencari

keseimbangan antara ketiga orientasi tersebut di atas (Hamid

Shirvani, 1985).

03. Ruang Lingkup Perencanaan dan Perancangan Kota

Lingkup Perencanaan Kata

Perencanaan kota merupakan proses penyusunan dan

atau peninjauan kembali rencana-rencana kota yang disusun

dalam rangka pengaturan pemanfaatan ruang kota, yang

merupakan satu kesatuan fungsional maupun esttetika (A.J

Catanese dan C Snyder, 1987). Perencanaan kota berkaitan

dengan pemenuhan masalah kebutuhan atau kepentingan

yang berkaitan dengan proses alokasi sumber daya (terutama

tanah) yang sudang sangat terbatas di kota, serta menyangkut

keterkaitan antara satu peruntukan dengan peruntukan lain,

penentuan kapasitas infrastruktur yang menunjang

Keputusan perencanaan akan mempunyai dampak yang

sangat kuat pada wujud kota yang akan terbentuk dengan

telah ditentukannya peruntukan lahan atau zonning

(mintakat) suatu kawasan, intensitas pengembangan,

pemenuhan sarana dan prasarana umum, jaringan utilitas

dan sanitasi kota, jaringan jalanm dan sebagainya.

Melihat konteks pengertian dan lingkunp sepeti telah

diuraikan di atas, terlihat perencanaan kota pada prinsipnya

lebih menekankan pada konteks pengaturan 2 dimensional

yang berkaitan dengan peruntukan, intensitas aktivitas kota

yang berlangsung pada suatu satuan wilayah kota, serta

pemenuhan akan sarana dan prasarana yang optimal dari

Parodigma Perencanaan don Perancaugan Kota


38 Respati iVikantiyoso

konsekwensi aktifitas pada wilayah tersebut. Operasionalisasi

perencanaan dalam kontek keruangan (spatiaij yang tiga

dimensional, masih perlu mandapatkan porsi yang lebih

besar untuk implementasi produk rencana yang akan

dihasilkan.

Perencanaan kota secara substansional lebih berkaitan

dengan penataan ruang, seperti tertuang dalam Undang­

undang no 24 tahun 1992 tentang penataan ruang dalam

pasal 1 butir 3, yang disebutkan, Penataan Ruang adalah

proses perencanaan tata ruang, pemanfatan ruang dan

pengendalian pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang

mempunyai pengertian rangkaian program kegiatan

pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang

menurutjangka waktu tertentu (penjelasan pasal 1 5 ) .

Perencanaan seperti tercantum dalam undang-undang

tersebut, mengandung aspek pengendalian, seperti tertuang

dalam pasal 17 bahwa pengendalian pemanfaatan ruang

diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban

terhadap pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang sebagai

produk perencanaan seperti diuraikan di atas, merupakan

proses yang mempertimbangkan berbagai aspek, hal ini

ditegaskan pula pada UU No. 24/1992 Pasal 14, yang

menyebutkan:

a) Perencanaan tata ruang dilakukan dengan

mempertimbangkan; Keserasian , keselarasan dan

keseimbangan, fungsi budidaya, fungsi lindung,

dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi

pertahanan keamanan; Aspek pengelolaan secara

terpadu berbagai sumber daya alam fungsi dan estetika

lingkungan, serta kualitas ruang.

b) Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan

struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi

tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan

tata guna sumberdaya alam lainnya.

Pasal 14 tersebut semakin memperjelas kedudukan

perencanaan kota (butir l.b) dalam menunjang peningkatan

Paradigma Perencanaun dan Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 39

kualitas ruang kota melalui pemanfaatan sumberdaya, fungsi

dan estetika lingkungan. Berdasarkan lingkup wilayahnya,

perencanaan atau penataan ruang dalam UU No. 24 / 1992

pasal 19, dibedakan atas; Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi

Daerah Tingkat, dan Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten/ Kotamadya daerah tingkat II.

Diagram di atas dapat memberikan gambaran yang lebih

lengkap dari perencanaan wilayah/kota, khususnya yang ada

di Indonesia, yang telah mempunyai kekuatan hukum,

ketentuan-ketentuan perencanaan wilayah/kota yang

berkaitan dengan pemanfaatan ruang telah diatur dalam

Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Sebelum Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang

Penataan Ruang seperti telah disinggung di atas, sebenarnya

pada tahun 1985 sebagai tindak lanjut dari adanya

kesepakatan bersama antara Depdagri dan Departemen PU,

telah menghasilkan prosedur perencanaan kota, yang meliputi

em pat jenjang pokok perencanaan kota, yakni :

a) Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan (RUTRP) yang

meliputi kebijaksanaan umum strategi pembangunan

dalam kawasan perkotaan, seperti pusat kota dan

kawasan yang secara fungsional dipengaruhi. Wilayah

perencanaan dapat lebih dari satu batas administratif

kota, tergantung hubungan fungsional dan delineasi

kawasan kota.

b) Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), yang

meliputi pembentukan usulan pembangunan

menyeluruh untuk dilaksanakan dalam program

jangka panjang, Kawasan perencanaan harus meliputi

kawasan terbangun dan lahan kosong dalam batas

administrasi formal.

c) Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), yang

berkaitan dengan pernbentukan rencana "Zonning"

sebagian atau seluruh bagian kota khususnya

berkenaan dengan kawasan fungsional.

Paradignta Perencanaan dan Perancangan Kota


40 Respati IVikantiyoso

d) Rencana Teknik Tata Ruang Kota (RTTRK), yang

mengatur kegiatan tata letak bangunan, prasarana

dan kawasan spesifik. Kawasan Perencanaan adalah

bagian kawasan yang didefinisikan dalam RDTRK,

Rencana Tapak dari aktifitas dengan fungsi khusus

atau kawasan kegiatan tertentu.

Dari uraian di atas dapat memberikan gambaran yang

lebih jelas mengenai ruang lingkup perencanaan kota, dengan

aspek-aspek yang mempengaruhinya.

Lingkup Perancangan Kota

Ruang lingkup perancangan kota adalah mulai dari

eksterior bangunan pribadi (individual building) sampai ke

ruang terbuka kota (Shirvani, 1985). Seperti telah disinggung

di atas bahwa perancangan kota merupakan bagian rangkaian

dari proses perencanaan yang berfungsi sebagai perangkat

pengendali untuk mempermudah implementasi kebijaksanaan

perencanaan kota, maka bentuk rancangan kota dapat

dibedakan dalam tiga kelompok, yakni;

a) Urban design criteria atau kriteria-kriteria yang

mendasari keputusan ruang kota, unsur dasar

(kriteria) yang harus diperhatikan dalam penataan

fisik kota.

b) Urban design guideline, merupakan panduan yang

harus dipergunakan dalam perancangan atau

penataan suatu kawasan kota. Bentuk guideline ini

harus sudah operasional dan terperinci secara teknis.

c) Urban design standart, merupakan patokan-patokan

dasar atau ukuran minimum dan atau maksimum

bagi kriteria perancangan kota dalam pelaksanaan

pembangunan suatu kawasan.

Secara substansial, perancangan kota akan mencakup

beberapa aspek-aspek yang mencakup aspek-aspek fisik

penataan ruang maupun aspek nonfisik yang melatar

Parodigma Perencanaan dan Perancangan Kola


Respati Wikantiyoso 41

belakanginya. Hamid Shirvani ( 1985) dalam bukunya The

Urban Design Process mengungkapkan adanya delapan

elemen dalam perancangan kota yakni;

a) Tata guna tanah (land use)

b) Massa dan bentuk bangunan (Bulding form and

massing)

c) Sirkulasi dan parkir ( Circulation and parking)

d) Ruang terbuka ( Urban Space)

e) Jalur pejalan kaki (Pedestrian ways)

f) Aktifitas penunjang (Activity support)

g) Tanda-tanda (Signage)

h) Preservasi (Preservations).

Elemen-elemen urban design tersebut di atas merupakan

lingkup fisik sebagai substansi perancangan kota, dimana

antara elemen satu dengan lainnya merupakan suatu

kesatuan yang saling pengaruh mempengaruhi sehingga

dalam perancangan kota pendekatan yang komprehensip

diperlukan untuk mengeliminir munculnya permasalahan

baru sebagai akibat dari proses perancangan yang dilakukan.

Apabila ditinjau dari unsur pembentuk kota pada hakekatnya

substansi urban design sebenarnya akan menyangkut 3

unsur pokok yaitu;

a) Faktor lingkungan alam, karakteristik alam

merupakan unsur dasar yang akan memberikan

karakteristik yang spesifik suatu kawasan/kota.

Faktor alam iru mencakup; iklim, topografi,

geomorfologi, aliran, kelembaban, suhu udara, flora­

fauna dan sebagainya.

b) Faktor lingkungan buatan, kondisi-potensi

lingkungan buatan sebagai produk budaya

masyarakat yang telah membentuk lingkungan yang

spesifik perlu menjadi suatu pertimbangan sebagai

satu kesatuan produk aktifitas masyarakat.

c) Faktor lingkungan nonfisik, kehidupan sosial-budaya,

ekonomi, politik dan teknologi, sebagai faktor yang

Paradigma Perencanaan don Perancangan Kora


42 Respati fVikantiyoso

melatar belakangi terbentuknya lingkungan binaan

manusia,

Ketiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang

saling pengaruh mempengaruhi. Lingkungan alam akan

menentukan struktur dan pola kota yang spesifik, sebagai

cerminan pola perilaku dan tata nilai sosial-budaya, ekonomi

dan politik yang melatar belakanginya. Produk perancangan

kota menurut Hamid Shirvani ( 1985), meliputi

Kebijaksanaan, Rencana, Pedoman, dan Program.

Kebijaksanaan perancangan kota merupakan kerangka

strategi pelaksanaan yang bersifat spesifik. Sebagai produk

kebijaksanaan yang spesifik menuntut setiap kota harus

memiliki peraturan yang khas, seperti dikemukakan para

pakar bahwa "No two cities are alike".

Rencana merupakan produk penting dalam perancangan

kota yang berorientasi pada proses dan produk, rencana

tersebut harus dikembangkan mengikuti kerangka yang

tertuang dalam kebijaksanaan perancangan kota diatas.

Rencangan kota sebagai peraturan yang diperlakukan harus

menjadi landasan bagi arsitektur baru, rencana baru, dan

kualitas baru (Slamet Wirasondjaya, 1992).

Kebijaksanaan dan rancangan kota dalam

operasionalisasinya perlu diterjemahkan ke dalam bentuk

pedoman yang lebih spesifik dan operasional dengan

memperhatikan ruang kota dalam skala mikro. Pedoman

tersebut dapat berupa pengendalian ketinggian bangunan,

bahan setback, proporsi gaya arsitektur dan sebagainya.

Pedoman ini pada prinsipnya dibuat untuk menjamin kualitas

lingkungan terbangun kota yang lebih baik. Menurut Hamid

Shirvani (1985), ada dua bentuk pedoman yakni; Pedoman

perspektif berupa petunjuk persyaratan seperti FAR (Floor

Area Ratio) atau KLB (Koefisien Lantai Bangunan), BC

(Building Coverage) atau KDB (Koefisien Dasar Bangunan)

pada suatu lokasi; Pedoman kinerja, lebih menitik beratkan

pada berbagai pengembangan kriteria serta metoda

perhitungan, untuk kemudian keputusan design di serahkan

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kata


Respati Wikantiyoso 43

pada perancang. Pedoman kinerja dinyatakan dalam pedoman

persyaratan teknis.

04. Perkembangan Perencanaan dan Perancangan Kota di

Indonesia

Perkembangan perencanaan dan perancangan kota di

Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangan kota,

serta perkembangan sosial-budaya, ekonomi dan politik yang

terjadi di Indonesia, seperti telah dibahas pada bab

sebelumnya. Perencanaan dan perancangan kota sebagai

proses formal (sebagai perangkat pengendali) perkembangan

kota di indonesia tidak terlepas dari perkembangan sistem

pemerintahan kota di Indonesia sepanjang sejarah

pembentukkannya.

Periode Pemerintahan Kolonia/ Belanda

Penelusuran tentang perencanaan dan perancangan kota

di Indonesia lebih banyak akan diuraikan pada periode setelah

masuknya Belanda di Indonesia. Walaupun pada

kenyataannya kota-kota pusat kerajaan telah mempunyai

bentuk rancangan kota yang masih terlihat sampai sekarang

seperti Yogyakarta dan Surakarta misalnya. Bentuk

rancangan kota pada masa pra-kolonial Belanda masih di

dasarkan atas kaidah-kaidah atau tata nilai tradisional yang

sarat akan makna dan sangat berakar kuat pada

tradisi/budaya yang hidup dan berkembang pada masa itu.

Kegiatan perencanaan dan perancangan kota secara

formal pada masa kolonial Belanda telah dimulai sejak awal

abad ke 17. Pada tahun 1596 Belanda mulai datang di

Jayakarta dan menguasainya pada tahun 1619, yang

kemudian membangun benteng dan gudang, sebagai benteng

pertahanan Belanda dengan nama Kastel Batavia. Jan

Pieterzoen Coen membangun Batavia dengan model kota

Amsterdam, dengan menggali kanal sebagai pengendali banjir,

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


44 Respati 1Vikantiyoso

pertahanan serta untuk prasarana transportasi (lalu lintas).

Sebelum menguasai Batavia, Belanda telah mempersiapkan

sistem pemerintahan kota Batavia sebagai kota kabupaten

(Regentschap Stad Batavia, 1602), sejak saat itu pula telah

d.irintis ketentuan hukum yang mengatur tentang penataan

kota.

Peraturan pertama yang mengatur tentang ketentuan

hukum perkotaan adalah "De statutten van 1642", merupakan

peraturan produk V . O . C . yang isinya mengatur pembangunan

jalan, jembatan, bangunan serta menentukan wewenang dan

tanggung jawab dewan kota. Peratuan ini relatif lengkap

karena telah mencakup tata ruang kota, garis sempadan,

pemeliharaan saluran air dan sebagainya. Dalam peraturan

telah digariskan pedoman utama dalam penataan kota, baik

dari aspek keamanan, kesehatan lingkungan, serta lalu lintas

beserta pedoman bagi penguasa dalam melaksanakan

peraturan tersebut dalam praktek (Marbun,B.N., 1979).

Penyesuaian sistem pemerintahan Belanda yang

d.ilakukan pada tahun 1903, dengan diterbitkannya

Decentralisatie Wet (Ind. Slbl. No. 329) pemerintah Belanda

memberi otonomi kepada daerah dengan hak-hak antara lain;

menetapkan anggaran belanja sendiri, dan menetapkan

peraturan lokal dengan persetujuan Gubemur Jendral.

Undang-undang desentralisasi yang mendasari terbentuknya

sistem pemerintahan kotapraja (stads gemeente),

"Deceniralisatie Besluitt Indische Staatblad 1905/ 137, semakin

mendorong berlangsungnya otonomi pemerintah daerah atau

pemerintahan kotapraja.

Pada tahun yang sama (1905), pemerintah Belanda

mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur perkotaan

yakni; Localen raden ordonantie, Staatsblaad 1905 No.181,

yang memberi wewenang kepada dewan rakyat daerah dan

kota untuk menentapkan ketentuan peraturan bangunan

lokal. Tahun 1 9 1 9 di Batavia ditetapkan Bataviasche Bouwver­

ordening yang direvisi pada tahun 1 9 4 1 . Untuk kota Bandung

pada tahun 1929 diterbitkan Bouwverordening van Bandoeng,

sedangkan untuk kota Palembang mulai diatur penataan

Paradigma Perencanaan don Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 45

kotanya pada tahun 1943, dengan dikeluarkannya

Bouwverordening Stadsgemeente Palembang. Pedoman yang

mengatur persyaratan kota baik dari segi tempat tinggal,

transportasi, lapangan kerja, maupun tempat rekreasi telah

diatur pada Stadsverordenings ordonantie Stadgemeenten Java

1938. Bahkan pada tahun 1941 melalui Kringen en Typen

Verordening, telah diatur tindak lanjut pembangunan dalam

areal kota yang telah ditentukan peruntukannya (Marbun,

B.N, 1979).

Gagasan-gagasan yang tertuang dalam peraturan

bangunan dan rencana-rencana kota yang ada pada periode

ini banyak diwarnai oleh pemikiran Thomas Kartsen, seorang

arsitek yang datang ke Hindia Belanda atas undangan H.

Maclaine Pont pada tahun 1 9 1 4 . Thomas Kartsen pada tahun

1916 ikut terlibat dalam perencanaan kota Semarang untuk

perluasan kota ke daerah perbukitan di selatan. Dalam

rencana kota yang dihasilkan, pengelompokan perumahan

dengan tipe-tipe tertentu tidak lagi didasarkan atas

pengelompokan etnis (Eropa, Pribumi, dan Cina) seperti

kebijaksanaan segregasi sosial yang dicanangkan pemerintah

Belanda, melainkan berdasarkan klas ekonomi (atas,

menengah dan rendah). Pada tahun-tahun berikutnya

pemikiran dan karya-karya Thomas Kartsen, bahkan Kartsen

berhasil membuat paket rencana kota, rencana-rencana detail

dan peraturan-peraturan bangunan untuk pemerintah

daerah, lihat bahasan periode perkembangan kota di

Indonesia pada bab dua.

Program perbaikan kampung (Kampoeng Verbetering) juga

merupakan program yang ditujukan untuk mengantisipasi

perkembangan kota, melalui perbaikan jalan, dan sistem

sanitasi lingkungan. Di Malang beberapa proyek Kampoeng

Verbeterings yang dilakukan Belanda di kampung Djodipan,

· Kebalen dan Temenggoengan, Malang, antara lain sebagai

b e ri ku t :

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


46 Respau Wikantlyoso

Periode Pasca Kemerdekaari

Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, tidak ada

produk peraturan baru yang berkaitan dengan perencanan

kota. Setelah proklamasi 1945, Belanda masih berhasil

menduduki beberapa kota penting di Indonesia, bahkan

sempat mengeluarkan peraturan pokok tentang perkotaan.

Peraturan bangunan yang lengkap dan sampai sekarang

masih dipakai adalah "Stadsvorming-ordonantie"(SVO)

Staatsblad 1948/ 168, dengan peraturan pelaksanaannya yang

diterbitkan pada tahun 1949, "Stads vormings verordonantie

(SW) Staatsblad 1949/40. Undang-undang pembentukan kota

ini bertujuan menata kembali keadaan kota di Indonesia yang

telah berantakan akibat perang serta sekaligus memasukkan

ketentuan tentang kehidupan kota sesuai dengan

perkembangan pada saat itu.

Sampai dengan pelita I tahun 1970-an, obyek perhatian

perencanaan berkisar pada masalah fisik, infrasruktur dan

perumahan. Pada dekade 1970-an, fokus perhatian meluas

dengan memperhatikan skala perwilayahan nasional,

pembangunan spatial kota mulai dikaitkan dengan

permasalahan sosial. Departemen PUTL pada tahun 1970

membuat rancangan U.U. tentang Pokok-Pokok Bina Kata

dengan tujuan untuk membina pertumbuhan dan

perkembangan kota nasional, sebagai pengganti SVO dan

SW, dan diserahkan ke Sekretaris Kabinet pada tahun 1971.

Rancangan UU tersebut dikembalikan ke PUTL untuk

disempurnakan dan diserahkan kembali ke sekretaris Kabinet

pada tahun 1974.

Pada dekade 80-an di sekretariat Kabinet sebenarnya ada

tiga usulan rancangan undang-undang yang sudah melalui

pembahasan di tingkat departemen ketiga rancangan tersebut

adalah; Departemen PU dengan usulan Rancangan Undang­

Undang Tata Ruang Kota/Wilayah; Departemen Dalam Negeri

dengan usulan Rancangan Undang-Undang Tata Guna Tanah

serta pada tahun 1988 dengan kordinator Departeman KLH

diusulkan Rancangan Undang-Undang Tata Ruang. Selama

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kola


Respati Wikantiyoso 47

menunggu selesinya Rancangan Undang-Undang Bina Kota,

pada tahun 1973 Mendagri mengeluarkan Surat Edaran

Mendagri No: Pemda 18/3/6 tanggal 15 Mei 1973 tentang

Penyusunan Rencana Pembangunan Kota Bagi Tiap Ibukota

Kabupaten, pada surat edaran ini isi SVO dan SW masih

dipakai sebagai acuan.

Kebijaksanaan pengembangan wilayah dengan membagi

wilayah Indonesia ke dalam 4 Wilayah Pembangunan Utama

dengan 4 kota besar sebagai pusat dicanangkan pada tahun

1974. Pada tahun yang sama, melalui Kepres No. 15 tahun

1974 dibentuk Sadan Perencanaan Pembangunan Daerah di

tiap propinsi. Sadan Perencanaan Pembangunan Nasional

(Bappenas) pada tahun 1979 mengeluarkan landasan

pendekatan pewilayahan pembangunan. Konsep pendekatan

pewilayahan, yang kemudian dikenal dengan konsepsi

Poernomosidi. Konsep ini mengutarakan bahwa penempatan

Satuan Pemukiman (SP) baru akan hidup jika unsur-unsur

manusia, sumber daya dan sarana-sarana pengusahaan

dengan kegiatan manusia dapat diorganisir dengan baik.

Satuan Pemukiman (SP) berada dalam Satuan Kawasan

Pengembangan (SKP) yang berada dalam Sub Satuan Wilayah

Pengembangan Parsial (Sub SWP) yang berada dalam Satuan

Wilayah Pengembangan (SWP) dari Tata Ruang Nasional

(SPWTRN).

Peran Departemen Dalam Negeri dalam perencanaan kota

dilakukan melalui Ditjen PUOD, pada tahun 1980 melalui

Keputusan Mendagri No. 4 tahun 1980, setiap kota

diharuskan mempunyai Rencana Induk dan Rencana Detail,

sementara itu Departemen PU masih membuat Rencana

Umum Kota. Untuk memperjelas wewenang antara Depdagri

dan Departemen PU makapada tahun 1985 keluar Surat

Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri

Pekerjaan Umum No. 650-1595, NO. 5 0 3 / KPT S / 1 9 8 5 tentang

Togas Togas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota.

Keputusan bersama dari dua kementrian ini merupakan

kebijaksanaan yang paling penting dalam koordinasi integrasi

pembangunan dan perencanaan kota. Depdagri

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


48 Respati Wikantiyoso

berkonsentrasi pada persoalan administratif, sedangkan

Departemen PU lebih menekankan pada permasalahan

teknis.

Mulai dekade 80-an inilah hampir semua kota telah

menyusun Rencana Induk Kata (RIK) dan Rencana Bagian

Wilayah Kata (RBWK), yang kemudian dievaluasi menjadi

Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan (RUTRP), Rencana

Umum Tata Ruang Kata (RUTRK), Rencana Detail Tata Ruang

Kata (RDTRK) dan Rencana Teknik Tata Ruang Kata (RTTRK).

Setelah melalui masa yang relatif panjang akhirnya pada

tahun 1992 dengan disahkannya Undang-Undang No.24

tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Setidak-tidaknya telah

tersusun salah satu landasan hukum yang dapat dipakai

dalam penyusunan rencana dan perancangan kota di

Indonesia, disampaing SVO dan SVV yang masih berlaku

sampai saat ini dengan berbagai penyempurnaannya.

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


Respau Wikantiyoso 49

PERANCANGAN KAWASAN; SUATU WACANA

KONTEKSTUAL DALAM REVITALISASI KAWASAN KOTA

0 1 . Pengantar

Pembahasan mengenai perencanaan dan perancangan

kawasan kota tidak terlepas dari pembahasam mengenai kota

sebagai suatu entitas lingkungan yang mewadahi aktifitas

manusia yang sangat kompleks. Kota sebagai lingkungan

binaan manusia, merupakan bentuk tatanan kehidupan yang

di dalamnya mengandung unsur fisik spasial (sebagai wadah

aktifitas) dan unsur non fisik dalam bentuk tata nilai (values)

serta akumulasi aktifitas masyarakat. Pertumbuhan dan

perkembangan masyarakat beserta tata nilai yang

menyertainya akan mempengaruhi perkembangan kota,

karena kota pada hakekatnya adalah suatu manifestasi fisik

dari kehidupan non fisik masyarakatnya yang terakumulasi

dari waktu ke waktu.

Dinamika perkembangan masyarakat kota di sini akan

tercermin pada bentukan fisik dan perilaku sosial budaya

masyarakatnya. Dengan demikian membahas kota tidak akan

terlepas dari perspektif sejarah pembentukan suatu kota

dalam arti luas. Pembahasan dalam konteks historis (sejarah)

tidak hanya bermakna pada nilai-nilai arkeologis tetapi juga

dalam kontek perikehidupan masyarakan dalam arti lias

(sosial-budaya maupun ekonomi). Ini berarti pemahaman

mengenai bentukan fisik kawasan sebagai suatu produk

historis jangan hanya dihargai sebagai wujud fisik untuk

kepentingan "emosional" (nostalgia), tetapi juga harus

memperhatikan nilai-nilai keilmuan, ekonomi dan/atau nilai­

nilai estetika arsitekturalnya. Pemahaman ini memberikan

· berbagai kemungkinan dalam upaya-upaya pelestarian

(preservasi dan/atau konservasi) pada suatu kawasan kota.

Revitalisasi memberikan makna sebagai suatu upaya

mem-"vitalkan" kembali atau meningkatkan kualitas dan

kuantitas (aktivitas, nilai estetika/ visual arsitektur) suatu

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


50 Respati fVikantiyoso

kawasan sesuai dengan konteks perencanaan dan

perancangan kawasan tertentu, sehingga kawasan tersebut

mempunyai "daya hidup".

Seperti telah diuraikan di depan bahwa pada

hakekatnya kota merupakan manifestasi fisik dari kehidupan

non-fisik (sosial, budaya, ekonomi dan politis) masyarakat

kota yang terakumulasi dari waktu ke waktu. Dimensi waktu

sangat memegang peranan dalam proses terbentuknya suatu

kota, sehingga aspek historis kota menjadi sangat penting

dalam pembahasan perkembangan kota. Wujud fisik kota

sebagai manifestasi kehidupan 11011-fisik pada hakekatnya

merupakan "produk budaya" dari komunitas kota, sehingga

masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda

mewujudkan bentuk lingkungan fisik kota yang berbeda.

Perkembangan kota sebagai konsekwensi adanya

perubahan sosial-budaya masyarakat sangat menentukan

perubahan wujud fisik kota. Faktor kemantapan budaya

masyarakat dalam mempertahankan penetrasi budaya luar

dan intensitas pengaruh perubahan merupakan dua faktor

yang sangat menentukan proses perkembangan kota. Di

samping itu faktor-faktor alamiah seperti keadaan goegrafis,

struktur tanah dan sebagainya mempunyai peran yang sangat

penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kota.

Menurut Nelissen yang dikutip oleh PJM Nas (1977:57) ada 3

faktor yang berperan penting dalam proses timbulnya kota,

yakni ekologi, teknologi, dan organisasi sosial.

02. Pelestarian Vs Pembangunan

Pelestarian versus pembangunan? Perpaduan atau

pertentangan? Tulisan mi sengaja kami buat untuk

melengkapi beberapa catatan mengenai pelestarian bangunan

dan lingkungan yang memfokuskan masalahnya pada

perpaduan dan pertentangan pada topik pelestarian. Karena

perkembangan kota menjadi suatu hal yang tak dapat

dihindarkan maka perlu adanya design guidelines. Kita tidak

Paradig,na Perencanaan don Perancangan Kora


Respati Wikantiyoso 51

menghendaki kota kita menjadi kota arkeolog alias tidak

berkembang/ mati. Kecenderungan pemekaran pada

peruntukan kota yang ada perlu kita sadari penuh, maka

design guidelines diperlukan untuk:

1. RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota)

2. Design Guideline lingkungan dan bangunan

bersejarah, bila perlu diadakan pemekaran, renovasi

dimana kegiatan restorasi pun masih diperlukan.

Sangat ideal bahwa suatu perkembangan pembangunan

tidak perlu menggusur; tapi menarnbahkan secara

berkesinarnbungan, tapi hal ini tidak selalu dapat dipenuhi.

Penarnbahan pun kadang-kadang dapat merusak lingkungan

(di Mesir baru-baru ini kegiatan pembangunan jalan tol dekat

kompleks pirarnid Gizeh dihentikan, karena menimbulkan

pelbagai pertentangan, betapa penting jalan tol tersebut demi

tata kota Kairo). Dapat dipaharni bila guidelines tidak ada

atau belum ada, timbullah kejutan-kejutan yang seringkali

sangat mengecewakan masyarakat luas.

03. Tinjauan Historik.

Bagaimana dengan masa larnpau, apakah benar

perkembangan selalu berkesinarnbungan? Walaupun kita

ketahui bahwa peledakan penduduk baru merupakan ciri

khas setelah adanya revolusi industri pada pertengahan abad

yang lalu. Sebelumnya memang ada pembongkaran­

pembongkaran akibat kekuasaan seseorang. Kita mengenal

pembakaran kota Roma oleh Nero untuk membangun kota

Roma baru versi Nero. Kita juga ketahui bahwa akibat

peperangan dan penjajahan banyak kota yang hancur, dan

dibangun lagi kota baru sesuai dengan versi penguasa baru.

Lihat saja Kerajaan Banten yang mengalarni perebutan dan

penjajahan, sehingga kota tersebut mempunyai beberapa lapis

kota (layers). Juga kita ketahui bahwa Napoleon telah

membongkar kota Paris dengan tangan arsitek Haussian,

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


0
0

..
·- ····-- ----·-- --·, -- (!J
"' ..
·--
-, - r,
,- "
:.:- �
7 ( f: :!: /.
-
"-
-;;. / ' .,,
p;'

.. -
7,
r, ./.
...
; >
/ �
-r
/
'
..
'
,,
r,Oo i 7
�·
"'
p;'
r>. ;

..
:(
('' ·.,
<':?. )0
·
· ),
. . .
()'- 0
'
\_)
'
'
r-

;:!
.() () I

�'

= :s
"'
u
o
• 0

ogo "' IJQ


.,, ao,!}.ig o
T
"'
o·� 0 �
c


0000
G 00
O

o �'o
og�o0 �
"'
:s
0 e-
a ..
Cd)�o(p �
o O )
t o \o
2 0 :s
.... ....
0

" ,:

'
\
'
' -, =
p;'
'° .,.
00



· \\ '\_",:, ;:
!:!
..
" ;,
:s
5 ....
§

§-
s
=
p;'
-; �
!


.,, · : I

'i·
p;'

� - 0
.... i3
� ,_
·--·----··- -- -··-- §.

"'
··-·
n

" ;;c
'\§
§

�-
"'

"
0

- f ! •

! "

'

!
Respati l-Vikantiyoso 103

PARADIGMA BARU DALAM PEMBANGUNAN

PERKOTAAN YANG BERKELANJUTAN

0 1 . Pengantar

Strategi pembangunan yang hanya mengacu pada

paradigma pertumbuhan dan "pemerataan" telah terbukti

rentan terhadap masalah-masalah sosial. Menurut

Tjokrowinoto (1987) pendekatan pembangunan harus disertai

dengan nilai kelestarian pembangunan atau sustainable

development untuk menumbuhkan self sustaining capacity

masyarakat. Ini bermakna bahwa pembangunan harus

berpusat pada manusia (poeple-centered development). Strategi

ini akan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam

pembangunan. Pendekatan partisipatif menjadi alternatif

pilihan yang mengemuka untuk lebih memberikan peran serta

aktif masyarakat sebagai subyek pembangunan di berbagai

tahap (perencanaan, perancangan, pelaksanaan sampai pada

pemeliharaan) proses pembangunan. Model pendekatan

partisipatif untuk proses perencanaan pengembangan wilayah

dan atau kota meliputi; (1) institusionalisasi dan prosedur

proses pelibatan masyarakat dalam perencanaan,

perancangan, pelaksanaan dan pemeliharaan pembangunan,

(2) model pendekatan dalam proses atau tahapan

pembangunan. Institusionalisasi model pendekatan dengan

melibatkan aktor pembangun (Swasta, masyarakat, dan

pemerintah daerah dengan Perguruan tinggi sebagai

mediator). Di tingkat masyarakat, keberhasilan pendekatan ini

akan dirasakan oleh masyarakat dalam upaya mengorganisir

diri, meningkatkan proses demokratisasi, meningkatkan peran

serta (partisipatif), serta mendudukkan masyarakat sebagai

subyek pembangunan. Keberhasilan model pendekatan ini

akan mampu "memberdayakan" asset potensi daerah guna

mempercepat kemampuan peningkatan pendapatan asli

daerah (PAD) berkaitan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah.

Paradigma Perencanaan den Perancangan Kora


104 Respati Wikantiyoso

Pelaksanaan UU No. 22 tahun 2000 tentang Pemerintah

Daerah, dan UU No. 25 tahun 2000 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagai

realisasi Otonorni Daerah (OTODA), berimplikasi pada

perubahan paradigma pembangunan di daerah. Pembangunan

di daerah, seperti tercantum dalam pasal 92 UU No. 22

disebutkan bahwa; dalam penyelenggaraan pembangunan

kawasan perkotaan, Pemerintah daerah perlu mengikut

sertakan masyarakat dan swasta (ayat l); dan

Pengikutsertaan masyarakat, sebagaimana dimaksud ayat ( 1 ) ,

merupakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan

perkotaan. Bila dikaitkan dengan tiga strategi pembangunan

yang dilakukan oleh David C. Korten (1984), yaitu strategi

pertumbuhan, basic needs, dan strategi people-centered

development, maka paradigma pembangunan daerah saat ini

diarahkan pada strategi pembangunan yang ketiga. Strategi

ini merupakan strategi yang mendekati konsep pembangunan

yang berkelanjutan (sustainable development).

Menurut Tjokrowinoto ( 1987), wujud pembangunan

dengan karakteristik pendekatan people-centered development

itu akan mengurangi ketergantungan masyarakat pada

birokrasi dan menjamin tumbuhnya self-sustaining capacity

masyarakat menuju sustained development. Dengan demikian

pengembangan model-model pendekatan partisipatif yang

pada akhirnya akan meningkatkan self-sustaining capacity

masyarakat menjadi sangat relevan bukan saja untuk

kepentingan keberhasilan pembangunan itu sendiri, tetapi

lebih kepada peningkatan kemampuan pengetahuan

pembangunan individu. Hal ini akan mempunyai multiple

effects dalam proses pembangunan, sehingga proses

"pembangunan manusia seutuhnya" dapat berlangsung.

Pelaksanaan Otonorni Daerah semakin memacu pemerintah

daerah dalam menggali, dan memberdayaan potensi-potensi

daerahnya, baik bidang sumberdaya alam, industri, jasa

perdagangan, maupun bidang pariwisata. Kekayaan dan

keindaan alam daerah merupakan potensi yang sangat

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati lVikantiyoso 105

dominan dan mempunyai peluang yang sangat besar bagi

peningkatan perekonomian daerah.

Pengembangan pendekatan partisipatif yang "sejiwa"

dengan semangat "gotong royong" adalah sangat mungkin

untuk dilakukan. Hal ini didasarkan pada sifat dasar manusia

pada umumnya adalah kooperatif, rasional dan mampu

mengendalikan diri. Strategi gotong royong mendorong untuk

mampu berdiri pada kekuatan sendiri secara kolektif dan

partisipasi sukarela di dalam menghadapi perubahan­

perubahan dalam masyarakat. Dalam pendekatan partisipatif

ini diperlukan peranan seorang "agen-perubahan". Peranan

seorang agen perubahan dalam pembangunan tidaklah lebih

dari seorang "enabler", seorang "katalis", seorang koordinator,

atau seorang guru di dalam keahlian-keahlian untuk

memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh

masyarakat (Leibo, 1995). Agen-perubahan merupakan

outsider yang bisa berperan sebagai "jembatan" kepentingan­

kepentingan beberapa pihak yang terlibat dalam proses

pembangun.

02. Pembangunan Berbasis Kepada Masyarakat

Perubahan politik, sosial, budaya dan ekonomi yang

terjadi di Indonesia telah berimplikasi sangat luas pada peri

kehidupan masyarakat dalam berbangsa, bernegara,

bermasyarakat, maupun dalam kehidupan sosial-budaya dan

ekonomi. Pelaksanaan Otonomi daerah (OTODA) merupakan

salah satu bentuk perubahan yang semestinya disikapi positif

oleh semua kalangan di daerah sebagai upaya untuk

mempersiapkan potensi daerah pada persaingan lokal,

regional, nasional, bahkan dalam persaingan global. Setiap

'daer ah harus mampu "membuka" diri dalam hal "menjual"

potensi daerahnya dalam pasar lokal bahkan pada pasar

global. Perubahan-perubahan yeng terjadi berimplikasi juga

pada perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


1
106 Respati H ikantiyoso

dengan orientasi "pertumbuhan dan pemerataan" yang telah

dilaksanakan ternyata telah menumbuhkan ketergantungan

yang tinggi pada pemerintah pusat dan tidak mengakar pada

kepentingan masyarakat.

Pembangunan yang berpusat pada manusia (people­

centered development) diperlukan untuk lebih menyelaraskan

"pernbangunan" dengan potensi dan peran sumberdaya

masyarakat yang ada. Pendekatan ini memandang manusia

sebagai warga masyarakat dengan berbagai kepentingan

dalam proses pembangunan. Strategi ini akan menumbuhkan

peran aktif masyarakat dalam pembangunan. Menurut Korten

(1988), karakteristik pembangunan yang berpusat pada

sumber daya manusia adalah sebagai berikut:

1. Memusatkan pemikiran dan tindakan kebijaksanaan

pemerintah pada penciptaan keadaan yang

mendorong dan mendukung usaha-usaha rakyat

untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, dan

untuk memecahkan masalah sendiri pada tingkat

individu, keluarga dan komunitas.

2. Mengembangnkan struktur dan proses organisasi

yang berfungsi sesuai dengan kaidah sistem swa­

organisasi.

3. Mengembangkan sistem produksi-konsurnsi yang

diorganisasi secara teritorial yang berlandaskan pada

kaidah pemilikan dan pengendalian lokal.

Dengan demikan pembangunan sebagai proses

peningkatan kemampuan manusia untuk menentukan masa

depannya mengandung arti bahwa masyarakat perlu

dilibatkan dalam proses itu, atau berpartisipasi.

Pembangunan tidak hanya bertujuan meningkatkan taraf

hidup masyarakat, melainkan juga untuk meningkatkan

kernauan dan kemampuan melestarikan pembangunan secara

mandiri. Sebagai suatu proses perubahan sosial, tentunya

proses pembangunan akan menyentuh sendi-sendi kehidupan

sosial-budaya masyarakat dengan berbagai potensi, peluang

Poradigma Perencanaan dan Perancangan Kola


Respari Wikantiyoso 107

dan permasalahannya. Pembangunan di daerah diharapkan

akan lebih menyentuh masyarakat atau berbasis pada

masyarakat (community based development). Ini berarti bahwa

penggalian dan pemanfaatan potensi-potensi sumber daya

daerah beserta hasil-hasilnya dilakukan oleh daerah yang

bersangkutan secara mandiri dan profesional. Menurut

Sudarsono, N. (2000), prinsip community based development

mengacu pada 5 aspek dasar pengertian sebagai berikut:

1. Pembangunan masyarakat pada hakikatnya

merupakan proses perubahan sosial yang disengaja.

2. Pembanguna masyarakat bertujuan untuk

meningkatkan taraf hidup masyarakat yang

diselaraskan dengan kontribusi dan potensi yang

mereka miliki dan sumbangkan bagi kepentingan

proses pembangunan.

3. Pembangunan masyarakat mengutamakan

pendayagunaan potensi dan sumber daya setempat,

yang meliputi faktor fisik (kekayaan alam), manusia

dan sosial.

4. Masyarakat dalam pembangunan bukan sebagai

objek tetapi sebagai subyek yang mengutamakan

kreatifitas dan inisiatif. Komunikasi dan informasi

pembangunan menjadi sangat penting.

5. Pembangunan masyarakat harus mengedepankan

partisipasi.

03. Pendekatan Partisipatif Sebagai Suatu Model

Pendekatan

Pendekatan partisipatif memandang pembangunan

sebagai suatu proses perubahan sosial dan sebagai proses

belajar masyarakat untuk mengorgarusir diri dalam

pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang mereka

miliki. Jadi titik tolak pendekatan ini dari premis bahwa

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kata


108 Respati iVikantiyoso

masyarakat dapat mengorgamsir diri (difasilitasi) dan atau

diarahkan untuk belajar mengorgarusir diri. Dalam

pendekatan ini masyarakat didudukkan sebagi subyek yang

dapat mengeliminir keterbatasan-keterbatasan eksternal dan

internal dalam proses pembangunan. Dalam proses

pembangunan, aktor yang berperan dalam didalam proses

adalah; masyarakat (individu, keluarga, kelompok masyarakat

serta mediator); pemerintah; swasta; serta mediator yang oleh

Leibo (1995) disebut sebagai "agen pernbaharu". Agen

pembaharu atau katalisator/mediator diperankan oleh

institusi perguruan tinggi melalui mekanisme pendampingan

(Wikantiyoso, 1999). Pada hakekatnya ketiga aktor tersebut

masing-masing mempunyai potensi sumberdaya (dana,

teknologi, SDM). Proses partisipasi masyarakat akan optimal

apabila pemanfaatan dan pemberdayaan potensi-potensi

sumberdaya masyarakat dapat tersalurkan secara optimal

(Hasan Purbo, 1991).

Peran dan keterlibatan katalis/mediator dalam proses

pembangunan dengan model partisipatif ini semakin lama

semakin berkurang disesuaikan dengan kemampuan

masyarakat dalam mengorganisir diri. Proses belajar

mengorgamsir diri irn menjadi satu kesatuan proses

pembangunan. Pembelajaran ini sebagai suatu bentuk self­

sustaining capacity masyarakat. Keberhasilan peningkatan

kemampuan iru mengorgamsir diri dalam proses

pembangunan (level peren canaan sampai pemeliharaan hasil)

merupakan salah satu tolok ukur dalam keberhasilan

pembangunan itu sendiri.

Menurut Bep Fritschi, at all dalam Robert van der Hoff

( 1992), pendekatan partisipasi masyarakat dalam

pembangunan akan tercapai efektifitas dan efisiensi dalam

proses pembangunan, karena beberapa sebab:

1. Community participation contributes to achieving the

best use of limited financial resources,

2. Community participation creates a possibility for

decision to based on people's need, priorities and

Paradigma Perencanaan clan Perancangan Kota


Respau Wikantiyoso 109

affordability; this may result in betrer and more

realistic designs, plans, programs and policies,

3. Community participation ensures that people's

knowledge, creativity, and skill (all valuable

resources) are recognized and used; again this may

result in better and more realistic designs, plans,

programs and policies,

4. Community participation ensures a greater

acceptance and appreciation of whatever is created

(infrastructure, houses, community building); this

may result in better care, better maintenance and

even pride, and

5. Community participation builds up the self enabling

and cooperative spirit of people.

Semakin jelas bahwa pendekatan partisipatif dalam

pembangunan memberikan kemanfaatan bukan saja pada

keberhasilan obyek pembangunan tetapi juga kemanfaatan

bagi masyarakat sebagai subyek. Dengan menempatkan

masyarakat sebagai subyek pada proses pembangunan

(tahapan perencanaan, peraksanaan, operasionalisasi dan

perawatan hasil) maka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya

masyarakat akan tercapai. Mengacu pada Leibo (1995),

diperlukan peran "agen pembaharuan". Menurut Leibo

( 1995), peranan agen pembaharuan sangat esensial di dalam

strategi "gotong royong" (baca: partisipatif), kerena

pembangunan memerlukan informasi-informasi, pengetahuan

serta keahlian baru. Agen pembangunan, pada umumnya

merupakan outsider dan merupakan orang yang sangat

potensial memiliki kemampuan untuk menyadari dan

mengembangkan rasionalitasnya, sehingga mampu

memberikan "bantuan" kepada masyarakat untuk melepaskan

'diri dari kemandegan struktural.

Dari uraian singkat di depan muncul pertanyaan

bagaimana wujud peran serta masyarkat dalam pembangunan

kawasan ? Merujuk pada Hasan Purbo (1991) serta melihat

Parodignta Perencanaan dan Perancangan Kota


1 1 0 Respari i¥ik.anriyoso

diagram di depan, sebenarnya pihak-pihak aktor

pembangunan mempunyai potensi-potensi (SOM, Dana dan

kemampuan teknologi) sesuai dengan tingkat kemampuannya.

Peran serta aktif lebih diarahkan kepada pengertian

"interaktif'. Masyarakat dilibatkan secara langsung pada

proses pembangunan. Kepentingan-kepentingan

pembangunan harus disesuaikan atau diperhatikan

kepentingan masyarakat sebagai "pemilik" dan "pernakai"

hasil-hasil atau obyek pembangunan. Melaui pendekatan

partisipatif ini, konflik antar kepentingan dapat dieliminir,

melalui "kesepakatan" dalam proses "negosiasi" ditingkat

sosialisasi dan perencanaan program pembangunan. Media

pertemuan sosial sebagai proses "negosiasi" kepentingan

pembangunan menjadi sangat penting dalam proses.

Tingkat peran serta dan tingkat keberhasilan dalam

proses "negosiasi" sangat tergantung dari proses pembelajaran

masyarakat dan tingkat penyerapan informasi yang dilakukan

oleh masyarakat. Peran katalisator dan mediator dalam proses

negosiasi ini menjadi sangat penting. Peran aktor ini lebih

kepada pemberian informasi dan rekomendasi atas

pengetahuan (termasuk kemungkinan akses dana dan

pengelolaannya) dan teknologi yang diperlukan dalam proses

pembangunan tersebut. Dengan demikian walaupun obyek

pembangunan adalah aspek pembangunan fisik, maka akan

sangat bersentuhan dengan aspek-aspek sosial-budaya

masyarakat, karena justru melalui pendekatan-pendekatan

sosial mi pembahasan pembangunan fisik dilakukan.

Penelitian yang berkaitan dengan model peran serta

masyarakat (partisipatoric planning) dengan institusi dan

bentuk-bentuk media partisipasi menjasi sangat penting

untuk dikembangkan dalam rangka pemberdayaan potensi

daerah. Pada akhirnya keberhasilan pemanfaatan dan

pengelolaan sumber potensi daerah akan dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakatnya.

Paradtgma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso l I l

04. Kepustakaan

Adams, David, ( 1 9 9 4 ) . Urban Planning and the Development

Process. London: UCL Press Limited.

Andranovich, Gregory D. and Gerry Riposa ( 1 9 9 3 ) . Doing

Urban Research. London: Sage Publication.

Blackman, Tim ( 1 9 9 5 ) , Urban Policy in Practice, London:

Routledge.

Blowers, Andrew ( 1 9 9 3 ) . Planning for a Sustainable

Environment. London: Earthscan Publication Ltd.

Dantzig, Gorge B. and Thomas L. Saaty ( 1 9 7 3 ) . Compact City:

A Plan For Liveable Urban Environment. San Fransico:

W. H. Freeman and Company.

Gilbert, Richard, eta! ( 1 9 9 6 ) , Making Cities Work; The Role of

Local Outorities in the urban Environment, London:

Earthscan.

Golany, Gideon S. ( 1 9 9 5 ) , Ethics and Urban Design; Culture,

Form, and Environment, Canada: John Wiley and Sons

Inc.

Gosling, David and Barry Maitland (1984). Concepts of Urban

Design. London: Academic Edition.

Nadin, Vincent and Joe Daok ( 1 9 9 1 ) . Town Planning

Responses to City Change. Avebury.

Shirvani, Hamid ( 1 9 8 1 ) . Urban Design Review: A Guide for

Planner. Washington D . C . : Planner Press.

Shirvani, Hamid ( 1 9 8 5 ) . The Urban Design Process. New York:

Van Nostrand Reinhold Co.

Paradigma Perencanaon dan Perancangan Kota


Respali Jfikantiyoso 1 1 3

PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR

SECARA BERKELANJUTAN

(Suatu Telaah Terhadap Pendekatan Ekologis Dan

Partisipasi Masyarakat)

01. Pendahuluan

Kawasan pesisir (coastaij mempunyai manfaat yang

sangat strategis, karena memiliki potensi sumberdaya alam

dan potensi pengembangan yang sangat bermanfaat.

Kekayaan sumberdaya di wilayah pesisir antara lain berupa;

bentangan garis pantai hampir sepanjang 18.000 km yang

mengelilingi sekitar 17.500 pulau, ekosistem pesisir (hutan

mangrove, terumbu karang, padang lamun / sea grass beds),

kekayaan sumberdaya hayati, non hayati, serta plasma nutfah

yang terkandung di dalamnya (Dahuri, 1998; Patliss, etall,

2001). Pemanfaatan potensi kekayaan kawasan pesisir harus

dilakukan secara bijaksana untuk menjamin keberlanjutan

(sustainability) ekosistem maupun sistem komunitas sosial

yang ada di dalamnya.

Mengacu kepada UUD 45 pasal 33 ayat 3 maka

pengelolaan kawasan pesisir (kekayaan sumberdaya pesisir)

dikuasai oleh negara untuk dikelola sedemikian rupa guna

mewujudkan kesejahteraan masyarakat, serta memberikan

manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan

kepentingan generasi mendatang sesuai pasal 4 UU No. 23

tahun 1997. Walaupun demikan kenyataan menunjukkan

bahwa masyarakat yang bermukim di sepanjang kawasan

pesisir masih belum beruntung dalam memanfaatkan potensi

kawasan pesisir.

Upaya-upaya pembangunan dan atau pengelolaan

sumberdaya alam secara berkelanjutan akan selalu

bersinggungan dengan dua aspek kepentingan yaitu aspek

ekologis (memperhatikan kaidah-kaidah konservasi) dan

aspek kepentingan masyarakat. Dengan kata lain optimalisasi

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kata


l 14 Respati Wikantlyoso

pengelolaan kawasan pesisir secara berkelanjutan harus

memperhatikan aspek keberlanjutaanya dari sisi ekologis dan

dari sisi komunitas masyarakat. Kedua aspek tersebut

menjadi titik tolak pemikiran atau pendekatan yang akan

digunakan dalam diskusi paper ini. Pendekatan ekologis

(ecological approach) dan pendekatan partisipatorik

(community paticipation approach) saat iru merupakan

pendekatan-pendekatan yang ditengarai dapat menjamin

keberlanjutan (sustainability) pembagunan. Yang menjadi

pertanyaan adalah bangaimana kedua pendekatan tersebut

harus dilakukan, serta kendala-kendala sosial, budaya

maupun kelembangaan apa yang mungkin muncul dan perlu

dikaji dalam pengelolaan kawasan pesisir.

Selama ini upaya pengelolaan kawasan pesisir yang

berkelajutan dengan memperhatikan kaidah-kaidah

konservasi (pendekatan ekologis) serta bermuara kepada

kesejahteraan masyarakat belum dilakukan secara efektif. Hal

mi sering menyebabkan berbagai konflik di tingkat

masyarakat; kesenjangan sosial, ketertinggalan teknologi,

serta kerusakan-kerusakan lingkungan (deforestasi hutan

bakau, rusaknya terumbu karang, penurunan kualitas obyek

wisata alam laut, overfishing, peningkatan polusi, meluasnya

sedimentasi, serta intrusi air laut dsb.). Kenyataan ini

disebabkan oleh beberapa ha! antara lain; ketidak mampuan

kapasistas kelembagaan dalam mengatasi isu dasar

pengelolaan sumberdaya pesisir; menonjolnya kepentingan

sektoral (dunia usaha dan masyarakat).

Pelaksanaan UU No. 22 tahun 2000 tentang Pemerintah

Daerah, dan UU No. 25 tahun 2000 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagai

realisasi Otonomi Daerah (OTODA), berimplikasi pada

perubahan paradigma pembangunan di daerah. Pembangunan

di daerah, seperti tercantum dalam pasal 92 UU No. 22

disebutkan bahwa; dalam penyelenggaraan pembangunan

kawasan perkotaan, Pemerintah daerah perlu mengikut

sertakan masyarakat dan swasta (ayat l); dan

Paradigma Perencanaan don Perancangan Kola


Respati IVikanti}'oso 115

Pengikutsertaan masyarakat, sebagaimana dirnaksud ayat ( 1 ) ,

merupakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan

perkotaan. Bila dikaitkan dengan tiga strategi pembangunan

yang d.ilakukan oleh David C. Korten (1984), yaitu strategi

pertumbuhan, basic needs, dan strategi people-centered

development, maka paradigma pembangunan daerah saat ini

diarahkan pada strategi pembangunan yang ketiga. Strategi

ini merupakan strategi yang mendekati konsep pembangunan

yang berkelanjutan (sustainable development).

Menurut Tjokrowinoto ( 1 9 8 7 ) , wujud pembangunan dengan

karakteristik pendekatan people-centered development itu

akan mengurangi ketergantungan masyarakat pada birokrasi

dan menjamin tumbuhnya self-sustaining capacity masyarakat

menuju sustained development. Dengan demikian

pengembangan model pendekatan partisipatif yang pada

akhirnya akan meningkatkan self-sustaining capacity

masyarakat menjad.i sangat relevan bukan saja untuk

kepentingan keberhasilan pembangunan itu sendiri, tetapi

lebih kepada peningkatan kemampuan pengetahuan

pembangunan ind.ividu.

02. Peluang dan Tantangan Dalam Pengelolaan Kawasan

Pesisir Berkelanjutan

Diskusi tentang peluang pengembangan kawasan pesisir

tidak dapat d.ipisahkan dengan potensi-potensi (ekologis,

sosial-budaya) yang ada di kawasan pesisir. Pengelolaan

kawasan tidak dapat dilepaskan dari ke dua aspek tersebut,

yakni aspek ekologis dan aspek komunitas di kawasan

tersebut. Potensi sumber daya pesisir merupakan aset yang

sangat besar kontribusinya bagi pembangunan ekonomi hal

· ini terlihat dari sumbangannya pada PDB pada tahun 1990

mencapai 22 % (Putra, 1998). Secara demografis, diperkirakan

sekitar 60 % populasi bermukim di pesisir, serta 80 %

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kata


1 1 6 Respati IViknntiyoso

pembangunan industri kita mengambil lokasi di pesisir

(Hinrichson, 1997 dalam Putra, 1998).

Dalam naskah akademik RUU Pengelolaan Wilayah

Pesisir disebutkan bahwa potensi dan pemanfaatan

sumberdaya pesisi dibagi atas tiga bagian yaitu; 1) potensi

dan pemanfaatan sumberdaya hayati; 2) potensi dan

pemanfaatan non hayati; 3) potensi dan pemanfaatan jasa

kelautan. Disamping potensi yang ada pada sumberdaya

pesisir, temyata dalam pemanfaatannya mengandung potensi­

potensi konflik kepentingan pernanfaatan. Hal ini anatara lain

yang rnenyebabkan ketidak effektifan pengelolaan

sumberdaya pesisir di samping masalah ambiguitas

kepemilikan dan penguasaan sumberdaya, ketidakpastian

hukum serta konfik pengelolaan. Ambiguitas pemilikan dan

penguasaan sumberdaya pesisir masih sering terjadi. Ada

beberapa keadaan dan atau kemungkinan kepemilikan dan

penguasaan sumberdaya pesisir yang berpotensi terjadinya

konflik kepentingan yaitu;

1) surnberdaya pesisir dianggap tidak ada pemiliknya

(open access property)

2) menurut UUD 1945 pasal 33, UU Pokok Perairan No.

6 / 1 9 9 6 , sumberdaya pesisir sebagai rnilik pemerintah

( state property)

3) ada indikasi pulau-pulau kecil telah menjadi milik

pribadi ( quasi private property)

4) di beberapa daerah wilayah pesisir atau pulau

dianggap milik kaum atau masyarakat adat ( common

property).

Perbedaan konsepsi tersebut di atas telah memacu

ketidakpastian atau ambiguitas siapa yang berhak mengelola

dan mernanfaatkan potensi-potensi wilayah pesisir. Keadaan

im · mendorong beberapa pihak yang berkepentingan

(stakeholders) rnernanfaatkan potensi tersebut secara

berlebihan tanpa mengindahkan kepentingan-kepentingan

yeng lebih besar seperti kepentingan kelestarian sumberdaya

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 1 1 7

itu sendiri. Penyadaran terhadap kepentingan dalam arti yang

sagat luas (baca: sustainability pengelolaan) dalam mengelola

dan memanfaatkan sumberdaya menjadi sangat penting.

Prinsip-prinsip pelestarian secara ekologis serta social impact

(dampak sosial) dalam pengelolaan harus diperhatikan,

dengan kata lain perlu upaya pengelolaan pesisir secara

terpadu ( integreted coastal management).

Prinsip pengelolaan pesisrr terpadu mengandung

pengertian;(l) terintegrasi antar beberapa sektor, swasta,

pemerintah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota,

sampai pusat); (2) prinsip kelestarian, kepentingan

pemanfaatan diperhatikan untuk kepentingan yang akan

datang (sustainable) merupakan visi pengelolaan pesisir

terpadu; (3) prinsip desentralisasi dan demokratisasi, prinsip

pengelolaan terpadu akan lebih mudah dilaksanakan bila

pengelolaannya bersifat demokratis, transparan dan

terdesentralisasi ke level pemerintaan yang paling rendah dan

mampu melaksanakan pelayanan publik.

Dengan melihat peluang dan tantangan seperti diuraikan

di depan serta beberapa pemikiran terhadap prinsip-prinsip

pengelolaan pesisir secara terpadu, maka dapat di tarik garis

merah bahwa keterlibatan pihak-pihak yang terkait,

masyarakat, pemerintah dan investor (swasta), melalui proses

"negosiasi kepentingan" dapat terlaksana dengan baik.

Pendekatan partisipatif dan pendekatan ekologis merupakan

upaya yang dapat menjadi jawaban akan tantangan dan

mampu menjamin keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir.

03. Paradigma pembangunan; Sustaianable

development

Mendiskusikan tentang pengelolaan kawasan pesisir

tidak terlepas dari pembahasan mengenai proses

pembangunan dalam arti luas. Pelaksanaan pembangunan di

era sekarang (OTODA) telah mengalami beberapa perubahan

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


1 1 8 Respoti IVikantiyoso

orientasi dan paradigma. Pelaksanaan Otonomi daerah

(OTODA) merupakan salah satu bentuk perubahan yang

semestinya disikapi positif oleh semua kalangan di daerah

sebagai upaya untuk mempersiapkan potensi daerah pada

persaingan lokal, regional, nasional, bahkan dalam persaingan

global. Setiap daerah harus mampu "membuka" diri dalam ha!

"menjual" potensi daerahnya dalam pasar lokal bahkan pada

pasar global. Perubahan-perubahan yeng terjadi berimplikasi

juga pada perubahan paradigma pembangunan.

Pembangunan dengan orientasi "pertumbuhan dan

pemerataan" yang telah dilaksanakan ternyata telah

menumbuhkan ketergantungan yang tinggi pada pemerintah

pusat dan tidak mengakar pada kepentingan masyarakat.

Pembangunan yang berpusat pada manusia (people­

centered development) diperlukan untuk lebih menyelaraskan

"pembangunan" dengan potensi dan peran sumberdaya

masyarakat yang ada. Pendekatan ini memandang manusia

sebagai warga masyarakat dengan berbagai kepentingan

dalam proses pembangunan. Strategi ini akan menumbuhkan

peran aktif masyarakat dalam pembangunan. Menurut Korten

( 1988), karakteristik pembangunan yang berpusat pada

sumber daya manusia adalah sebagai berikut:

1. Memusatkan pemikiran dan tindakan kebijaksanaan

pemerintah pada penciptaan keadaan yang

mendorong dan mendukung usaha-usaha rakyat

untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, dan

untuk memecahkan masalah sendiri pada tingkat

individu, keluarga dan komunitas.

2. Mengembangnkan struktur dan proses organisasi

yang berfungsi sesuai dengan kaidah sistem swa­

organisasi.

3. Mengembangkan sistem produksi-konsumsi yang

diorganisasi secara teritorial yang berlandaskan pada

kaidah pemilikan dan pengendalian lokal.

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 1 1 9

Dengan demikan pembangunan sebagai proses

peningkatan kemampuan manusia untuk menentukan masa

depannya mengandung arti bahwa masyarakat perlu

dilibatkan dalam proses itu, atau berpartisipasi.

Pembangunan tidak hanya bertujuan meningkatkan taraf

hidup masyarakat, melainkan juga untuk meningkatkan

kemauan dan kemampuan melestarikan pembangunan secara

mandiri. Sebagai suatu proses perubahan sosial, tentunya

proses pembangunan akan menyentuh sendi-sendi kehidupan

sosial-budaya masyarakat dengan berbagai potensi, peluang

dan permasalahannya. Pembangunan di daerah diharapkan

akan lebih menyentuh masyarakat atau berbasis pada

masyarakat (community based development). Ini berarti bahwa

penggalian dan pemanfaatan potensi-potensi sumberdaya

daerah beserta hasil-hasilnya dilakukan oleh daerah yang

bersangkutan secara mandiri dan proffesional. Menurut

Sudarsono, N. (2000), prinsip community based development

mengacu pada 5 aspek dasar pengertian sebagai berikut:

1. Pembangunan masyarakat pada hakikatnya

merupakan proses perubahan sosial yang disengaja.

2. Pembanguna masyarakat bertujuan untuk

meningkatkan taraf hidup masyarakat yang

diselaraskan dengan kontribusi dan potensi yang

mereka miliki dan sumbangkan bagi kepentingan

proses pembangunan.

3. Pembangunan masyarakat mengutamakan

pendayagunaan potensi dan sumber daya setempat,

yang meliputi faktor fisik (kekayaan alam), manusia

dan sosial.

4. Masyarakat dalam pembangunan bukan sebagai objek

tetapi sebagai subyek yang mengutamakan kreatifitas,

inovasi dan inisiatif. Komunikasi dan informasi

pembangunan menjadi sangat penting.

5. Pembangunan masyarakat harus mengedepankan

partisipasi.

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kofa


120 Respati JYikantiyoso

Menurut Blowers (1993:6), Sustainable development

(pembangunan berkelanjutan) mempunyai beberapa tujuan

yakni:

To promote development that enhances the natural

and built environment in ways that are compatible

with; (1) The requirement to conserve the stock of

natural assets, wherever possible offsetting any

unavoidable reduction by a compensating increase so

that the total is left undiminished; (2) The need to

avoid damaging the regenerative capacity o


f the

world's natural ecosystem; (3) The need to achieve

greater social equality; (4) The avoidance of the

imposition of added cost or risk on succeeding

generation.

Uraian tersebut dapat di rangkum bahwa pembangunan

berkelanjutan paling tidak memiliki 5 tujuan utama yang

dapat dipakai sebagai panduan pembangunan di masa depan

yaitu; konservasi sumberdaya (resource conservation),

membuat lingkungan buatan (built environment) yang

harmonis dengan lingkungan alamnya, peningkatan kualitan

lingkungan (environmental quality), terjaganya keseimbangan

sosial (social equality), meningkatkan partisipasi masyarakat

dalam menentapkan kebijakan pembangunan (political

participation).

Mengacu kepada pemahaman di atas maka paling tidak

ada dua pendekatan yang harus dilakukan dalam upaya

pengelolaan kawasan pesisir, yaitu pendekatan ekologis

( ecological approach) dan pendekatan partisipatif (participatoric

approach). Pendekatan ekologis diperlukan unuk menjamin

keberlanjutan dari sisi konservasi sumberdaya, kualitas

sumberdaya alam serta keharmonisan antara built

environment dengan natural environment. Pendekatan

partisipatif dalam pengelolaan kawasan pesisir ditujukan

untuk menjaga keseimbangan sosial (social equality),

menghindarkan konflik-konflik kepentingan serta menjamm

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 121

keberlanjutan pengelolaannya. Seperti d.iuraikan oleh Sapta

Putra (1998), bahwa konflik pengelolaan sumber daya

kelautan dapat mengancam kelestarian pemanfaatannya. Hal

ini menjadi jelas bahwa dalam upaya optimalisasi pengelolaan

kawasan pesisir perlu d.ilakukan pendekatan partisipatif di

samping pendekatan ekologis.

04. Aspek ekologis dalam pengelolaan wilayah pesisir

Pembahasan mengenai aspek ekologis dalam pengelolaan

wilayah pesisir secara berkelanjutan secara Jangsung akan

berkaitan dengan batas wilayah pesisir. Pertanyaan yang

muncul adalah bagaimana menentukan batas-batas wilayah

pesisir (coastal zone). Walaupun belum ada batasan yang

baku tentang wilayah pesisir tetapi telah ada kesepakatan

umum bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralian

antara daratan dan lautan. Ditinjau dari garis pantai

(coastalline), wilayah pesisir memiliki dua macam batas yaitu;

batas sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak

lurus pantai (cross-shore). Penetapan batas tegak lurus pantai

sampai saat ini belum ada kesepakatan baku, artinya antara

satu negara dengan negara lain berbeda.

Perbedaan tentang definisi wilayah pesisir seperti d.iuraikan di

atas membawa implikasi akan terjadinya potensi konflik antar

wilayah, negera bagian dan atau negara apabila tidak

dilakuka suatu kesepakatan yang berkaitan dengan isu

pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang ada. Menurut

Sugiarto ( 1976) seperti dikutip oleh Rokhmin Danuri et.all

(2001), di Indonesia definisi wilayah pesisir d.inyatakan

sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah

darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering

maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut

seperti pasang-surut, angin laut, perembesan air laut;

sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut

yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjad.i

Poradigma Perencanaan dan Perancangan Kata


122 Respati Wikantiyoso

di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun

kegiatan yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat.

Tabel 1: Batas Ke Arah Darat Dan Laut Wilayah Pesisir Yang

Ditetapkan Beberapa Negara/Negara Bagian

Negara/Negara
No. Batas ke arah Darat Batas ke arah Laut
Bao:ian

I. Braziha 2 Km dari garis Pasu t 12 Kn1 dari garis PTR

Tinaai Rata-rata (PTR)

2. California

1972-1976 1000 m dari garis 3 mil laut dari garis


• • •
PTR Garis Dasar (GD)

1977- 3 mil laut dari GD


• •
sekarang Batas arbitrer

tergantung isu

pengelolaan

3. Costa Rica 200 m dari garis PTR Garis pantai saat Pasut

Rendah Rata-rata fPRRl

4. Cina 10 Km dan PTR Sampai kedalaman laut/

isobath 15 m

5. Ekuador Batas arbitrer Belum ditetapkan (BL)

tergantung isu

oene:elolaan

6. Israel 1-2 Km tergantung 500 m dari garis pantai

sumberdaya dan saat PRR

lingkungan

7. Afrika selatan 1 Km dari aaris PTR BL

8. Australia Sela.tan 100 Km dari garis fYI'R 3 mil laut dari GD

9. Ouesland 400 m dari earis PTR 3 mil laut dari GD

10. Spanyol 500 m dari garis PTR 12 mil laut / batas

perairan teritorial

11. Washington State

Batas Batas darat dari 3 mil laut dari GD


• • •
perencanaan negara pantai

61 m dari garis 3 mil laut dari GD


• •
Batas PTR

neraturan

Sumber: Soreansen dan Mc. Creary ( 1990)

Definisi tersebut memberikan pengertian bahwa

ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan

memiliki kekayaan habitat yang beragam, diantar daratan dan

lautan. Selain mempunyai potensi alamiah wilayah pesisir

merupakan ekosistem yang paling rentan tehadap dampak

Paradig,na Perencanaan don Perancangan Kola


Respari Wskantiyoso 123

kegiatan manusia. Sehingga aspek ekologis dalam

pengelolaannya menjadi sangat penting diperhatikan dalam

upaya pengelolaan dan pemanfaatannya. Gambar 1

menunjukkan beberapa altematif dalam menentukan batas ke

arah laut dan darat wilayah pesisir.

Konsekwensi perbedaan "persepsi' wilayah yang

menyangkut kepentingan dalam pengelolaannya, secara

ekologis berpotensi menimbulkan konflik kepentingan yang

berdampak kepada penentuan kebijakan dalam upaya

pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Keberagaman

tipologi wilayah pesisrr menghadirkan keberagaman

ekosistem yang ada di wilayah pesisir. Dalam wilayah pesisir

terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir

dan sumber daya pesisir.

.,._ ·--· ..... � ,,w.,. ,, ...... p, ', <•' ____..,.:

'····�· ,,,. ,. .,�� ,.-.,:;)(

....-- c ..,s.: · · , ·'l''"-�!·'.r. ·--·-1-•!

....... ··�l,., ... ,,,.,�::,.a.J.'

'.· '.i'' ,
, • .,..,.
,.

" ,l!<'"• l'I',,....,�,


� .", .,,�.,

lla:as rll!a:.."·

vi;ni;•li1'W'9<1,-..h
'3··�.,.
,.,,ti ,t vn ii,{


tl:1
..u·.,I
'·�··· ,uri..: • i
l+ re- "'' l(l,� s\dtM·.....,a:ar<I
C'
..Y �..,....,, •


b,... 1 • 1 1 , ',,/,(,-...,;.,.
,;,). =;·. ' ,r,• � 1-,..��
.. : ,.. � .

• 'l.�.I.

. -·?·' .�,
·
,,rf\l, llh ��• f1;,.t'l3 l1arP1a-l l>"\lll\!J

't•� ' <t•


"' ' t · ' l,
) .
.. , ·�,;., '
< J,1r �...._ �ar,;i '1:•"f,u •a"
,n., "�·!!," ,l',., ';t)W,\ k,,.;;'�f'
' •'11 t• � I 8"-3
. " r'\¥,°'l[)c"t:'Jl'l,1-""ltl

s' M -· • •s '· •·,;�·� 1'!:1•� 1,,r, ,n...,.ar, ���"

Gambarl: Batas Program Pengelolaan Wilayah Peslsir Dan Program

Pengelolaan Lautan Yang Berlaku Sekarang Dan Yang Akan Datang

(Sorensen dan Mc.Creary, 1990}, dikutip dari Rokhmin Danuri, et.all,

(2001:8)

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kola


124 Respati Wikannyoso

Ekosistem pesisir ada yang secara terus menerus

digenangi air ada pula yang sesaat. Ekosistem pesisir dapat

bersifat alamiah (naturaij maupun buatan (manmade).

Ekosistem alami antara lain berupa; terumbu karang (coral

reefs). hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai

berpasir, pantai berbatu, formasi pescaprae, formasi

barringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem

buatan meliputi; tambak, sawah pasang surut, kawasan

wisata, kawasan industri, perumahan dll. Kedua ekosistem

tersebut mempunyai karakteristik tipologis, dan keragaman

hayati yang berbeda. Dalam upaya pemanfaatan dan

pengelolaanya tentunya untuk menjaga keberlanjutan harus

diperhatikan "keseimbangan" ekologis dari kedua ekosistem

terse but.

Seperti diuraikan oleh Rokhim Danuri et.all (2001),

bahwa keberagaman ekosistem wilayah pesisir memiliki

karakteristik yang berbeda, untuk menjaga keseimbangan

ekologis maka disetiap jenis ekosistem memiliki parameter­

parameter yang harus diperhatikan dalam pemanfaatannya.

Keseimbangan ekologis keseluruhan ekosistem pesisir menjadi

sangat penting untuk diperhatikan dalam upaya pemanfaatan

dan pengelolaan wilayah pesisir. Burbridge dan Marangos

( 1985) memberikan gambaran/ ilustrasi ten tang hubungan

fungsional antara sepuluh ekosistem pesisir di Indonesia

(Gambar 2). Keterkaitan hubungan tersebut dapat

memberikan gambaran kepada kita bahwa terjadi suatu

kesatuan ekologis yang harus diperhatikan dalam upaya

"intervensi" ekosistem.

Mengacu kepada paradigma keberlanjutan pengelolaan

sumberdaya wilayah pesisir, maka total dampak pengelolaan

dan pemanfaatannya tidak boleh melebihi kapasitas fungsi

ekologisnya. Setiap ekosistem alamiah termasuk wilayah

pesisir memiliki 4 fungsi pokok kehidupan; ( 1) jasa-jasa

pendukung kehidupan, (2) jasa-jasa kenyamanan, (3) penyedia

sumber daya alam, dan (4) penerima limbah. Manajemen

pengelolaan dan pemanfaatan dapat berlangsung secara

Paradigma Perencanaan don Perancangan Kora


Respati Wikanuyoso 125

berlanjut apabila ekosistem alamiahnya masih dapat

berlangsung secara seimbang berkelanjutan. Untuk menjamin

keberlanjutan keempat fungsi tersebut, secara ekologis

terdapat tiga persyaratan yaitu; (1) keharmonisan spasial, (2)

kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatan berkelanjutan.

�I
, I I I

' '
. I

I •

i --·-��-�

l - ·- -...� ...�...,. :.'=""""'""


+- · "-' "< • "

--
Gambar 2: Hubungan Fungsional Antara Sepuluh Ekosistem

Pesisir Di Indonesia

(Burbridge dan Marangos, 1985), Rokhim D. Hal 78.

Keharmonisan spasial (spatial suitability) mensyaratkan

wilayah pembangunan tidak seluruhnya terdiri dari zona

pemanfaatan, tetapi harus disediakan zona preservasi dan

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


126 Respati Wikantiyoso

konservasi. Keseimbangan spasial antara zona pemanfaatan

dan preservasi dan atau konservasi akan menjamin

keberlanjutan fungsi ekologisnya, Pada zona preservasi dan

konservasi tidak diperkenankan adanya intervensi

pembangunan. Zona ini semata untuk fungsi penyangga

ekologis seperti daerah pemijahan (spawning ground), dan

jalur hijau pantai. Kegiatan yang diperkenankan selain usaha

konservasi dan preservasi adalah kegiatan penelitian yang

mendorong upaya pelestarian. Keberadaan zona preservasi

dan konservasi sangat penting untuk memelihara berbagai

proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan

unsur hara; pembersihan limbah secara alami (purification);

dan pengkayaan sumber keanekaragaman hayati

(biodiversity). Intervensi pembangunan yang dilakukan pada

zona pemanfaatan ditentukan pada lokasi yang secara biofisik

sesuai persyaratan pemenfataannya, sehingga membentuk

suatu mosaik yang harmonis.

05. Model Pendekatan Partisipatif

Pengelolaan kawasan pesisir sebagai suatu upaya

pemanfaatan sumber daya alam dapat diartikan sebagai suatu

proses "pembangunan" dalam arti luas. Dalam pengertian ini

terminologi pembangunan dalam uraian ini dimaksudkan

adalah upaya pengelolaan dalam pemanfaatan kawasan

pesisir. Pendekatan partisipatif memandang pembangunan

sebagai suatu proses perubahan sosial dan sebagai proses

belajar masyarakat untuk mengorganisir diri dalam

pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang mereka

miliki. Jadi titik tolak pendekatan ini dari premis bahwa

masyarakat dapat mengorganisir diri (difasilitasi) dan atau

diarahkan untuk belajar mengorganrsir diri. Dalam

pendekatan ini masyarakat didudukkan sebagi subyek yang

dapat mengeliminir keterbatasan-keterbatasan eksternal dan

internal dalam proses pembangunan. Dalam proses

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 127

pembangunan, aktor yang berperan di dalam proses adalah;

masyarakat (individu, keluarga, kelompok masyarakat serta

mediator); pemerintah; swasta; serta mediator yang oleh Leibo

(1995) disebut sebagai "agen pembaharu", Agen pembaharu

atau katalisator / mediator diperankan oleh institusi perguruan

tinggi melalui mekanisme pendampingan (Wikantiyoso,R.,

2001).

Peran dan keterlibatan katalis / mediator dalam proses

pembangunan dengan model partisipatif ini semakin lama

semakin berkurang disesuaikan dengan kemampuan

masyarakat dalam mengorganisir diri. Proses belajar

mengorganisir diri 1Il1 menjadi satu kesatuan proses

pembangunan. Pembelajaran ini sebagai suatu bentuk self­

sustaining capacity masyarakat. Keberhasilan peningkatan

kemampuan 1Il1 mengorgamstr diri dalam proses

pembangunan (level perencanaan sampai pemeliharaan hasil)

merupakan salah satu tolok ukur dalam keberhasilan

pembangunan itu sendiri. Menurut Bep Fritschi, at all dalam

Robert van der Hoff ( 1 9 9 2 ) , pendekatan partisipasi masyarakat

dalam pembangunan akan tercapai efektifitas dan efisiensi

dalam proses pembangunan, seperti diuraikan di depan.

Semakin jelas bahwa pendekatan partisipatif dalam

pembangunan memberikan kemanfaatan bukan saja pada

keberhasilan obyek pembangunan tetapi juga kemanfaatan

bagi masyarakat sebagai subyek. Dengan menempatkan

masyarakat sebagai subyek pada proses pembangunan

(tahapan perencanaan, pelaksanaan, operasionalisasi dan

perawatan hasil) maka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya

masyarakat akan tercapai. Mengacu pada Leibo (1995),

diperlukan peran "agenpembaharuan". Menurut Leibo ( 1 9 9 5 ) ,

peranan agen pembaharuan sangat esensial di dalam strategi

"gotong royong" (baca: partisipatif), kerena pembangunan

memerlukan informasi-informasi, pengetahuan serta keahlian

baru. Agen pembangunan, pada umumnya merupakan

outsider dan merupakan orang yang sangat potensial memiliki

kemampuan untuk menyadari dan mengembangkan

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


128 Respati Wikantiyoso

rasionalitasnya, sehingga mampu memberikan "baniuan"

kepada masyarakat untuk melepaskan diri dari kemandegan

struktural.

Dari uraian singkat di depan muncul pertanyaan

bagaimana wujud peran serta masyarkat dalam pengelolaan

kawasan pesisir ? Menurut Putra, S. (1998) perlu dihindari

tumpang-tindih perencanaan dan kompetisi pemenfaatan

sumber daya untuk menghindari konflik pemanfaatan di

wilayah pesisir. Untuk keperluan ini jelas bahwa perlu adanya

mekanisme yang mampu "mempertemukan" berbagai

kepentingan dan upaya "penyehatan" kopetisi di antara

pelaku pembangunan. Peran serta semua pihak secara aktif

sangat diperlukan. Peran serta aktif lebih diarahkan kepada

pengertian "interaktif'. Masyarakat dilibatkan secara langsung

pada proses pengelolaan kawasan. Kepentingan-kepentingan

pengelolaan kawasan harus disesuaikan atau diperhatikan

kepentingan masyarakat sebagai "pemilik" dan "pemakai"

hasil-hasil pengelolaan kawasan pesisir. Melaui pendekatan

partisipatif ini, konflik antar kepentingan dapat dieliminir,

melalui "kesepakatan" dalam proses "negosiasi" ditingkat

sosialisasi dan perencanaan program. Media pertemuan sosial

sebagai proses "negosiasi" kepentingan menjadi sangat

penting dalam proses perencanaan program.

Tingkat peran serta dan tingkat keberhasilan dalam

proses "negosiasi" sangat tergantung dari proses pembelajaran

masyarakat dan tingkat penyerapan informasi yang dilakukan

oleh masyarakat. Peran katalisator dan mediator dalam proses

negosiasi ini menjadi sangat penting. Peran aktor ini lebih

kepada pemberian informasi dan rekomendasi atas

pengetahuan (termasuk kemungkinan akses dana dan

pengelolaannya) dan teknologi yang diperlukan dalam proses

pembangunan tersebut. Dengan demikian walaupun obyek

pembangunan adalah aspek pembangunan fisik, maka akan

sangat bersentuhan dengan aspek-aspek sosial-budaya

masyarakat, karena justru melalui pendekatan-pendekatan

sosial iru pembahasan pembangunan fisik dilakukan.

Paradigma Perencanuan don Perancangan Kola


Respati IVikantiyoso 129

Keberhasilan pemanfaatan dan pengelolaan sumber potensi

daerah akan dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakatnya.

06. Kearifan pengelolaan pesisir dan lautan

Pengelolaan wilayah pesisir laut terpadu (PWPLT) menuntut

dilakukannya identifikasi potensi/ kelebihan (strength),

keterbatasan (limitations), peluang (opportunities) dan

ancaman (treathening). PWPLT harus dapat berfungsi sebagai

arahan/pedoman tentang d.istribusi kegiatan (tata ruang

pesisir), skala pengembangan wilayah, dan waktu

implementasi (time schedulle). Distribusi kegiatan yang

d.irencanakan harus mengacu kepada kesesuaian ekologis.

Kond.isi seperti ini sangat diperlukan kajian tentang kelayakan

biofisik (biophysical suitability) untuk mengidentifikasi

karakteristik biofisisk sebagai dasar perencanaan dan

perancangan kawasan dan menjamm kesesuaian

pembangunan wilayah.

Perlu dilakukannya "proses" penyadaran akan

pentingnya potensi biofisik , bahwa keuntungan ekonomi

bukan satu-satunya alasan untuk mengeksploitasi secara

berlebihan. Penempatan wilayah pembangunan dan atau

pengelolaannya pada lokasi yang tepat bukan hanya untuk

menghindarkan kerusakan lingkungan, tetapi juga menjamin

keberhasilan pembangunan, yang akhirnya akan menambah

kesejahteraan masyarakat. Di sini diperlukan "kearifan"

dalam pengelolaan sumber daya pesisir lautan yang

terintegrasi dan terjamin keberlanjutannya. Pemanfaatan

wilayah pesisir harus sesuai dengan karakteristik spesifik

lingkungannya. Sacara garis besar pengelolaan wilayah

'pesisir dapat dipilah menjadi 3 zone, yakni; (1) zone

preservasi, (2) zone konservasi, dan (3)zone pemanfaatan.

Dalam UU No. 24 / 1992 tentang tata ruang menempatkan

zone preservasi dan konservasi disebut sebagai kawasan

Paradignta Perencanaan dan Perancangan Kota


130 Respati tVikantiyoso

lindung, sedangkan zone pemanfaatan sebagai kawasan

budidaya.

Ekosistem pesisir lautan mempunyai karakteristik yang

dinamis memerlukan upaya pengelolaan wilayah pesisir laut

terpadu (PWPLT). Mengacu pada Clark (1992) serta Danuri

(2001) dalam pengelolan wilayah pesisir secara terpadu harus

mengacu pada lima belas ( 1 5 ) prinsip, yakni:

1. Wilayah pesisir adalah suatu sistem sumber daya

(resource system) yang unik, yang memerlukan

pendekatan khusus dalam merencanakan dan

mengelola pembangunannya.

2. Air merupakan faktor kekuatan penyatu utama (the

major integrating force) dalam ekosistem wilayah

pesisir.

3. Tata ruang daratan dan lautan harus direncanakan

serta dikelola secara terpadu. Perencanaan

pengembangan harus memperhatikan kesatuan

lingkungan daratan-laut sebagai suatu sistem

ekologis.

4. Daerah perbatasan antara laut dan darat hendaknya

dijadikan fokus utama (focal point) dalam setiap

program pengelolaan wilayah pesisir.

5. Batas suatu wilayah pesisrr harus ditetapkan

berdasarkan pada isu dan permasalahan yang hendak

dikelola serta bersifat adaptif

6. Fokus utama dari pengelolaan wilayah pesisir adalah

untuk mengkonservasi sumberdaya milik bersama

( common property resources).

7. Pencegahan kerusakan akibat bencana alam dan

konservasi sumber daya alam harus dikombinasikan

dalam satu program PWPLT.

8. Semua tingkat pemerintahan dalam suatu negara

harus diikutsertakan dalam perencanaan dan

pengelolaan wilayah pesisir.

Paradig,ua Perencanaan dan Perancangan Kora


Respatt Wikantiyoso 1 3 1

9. Pendekatan pengelolaan yang disesuaikan dengan

sifat dan dinamika alam adalah tepat dalam

pembangunan wilayah pesisir.

10.Evaluasi manfaat ekonomi dan sosial dari ekosistem

pesisir serta partisipasi masyarakat dalam program

pengelolaan wilayah pesisir.

11.Konservasi untuk pemanfaatan yang berkelanjutan

adalah tujuan utama dari pengelolaan sumber daya

wilayah pesisir.

12.Pengelolaan multiguna (multiple-uses) sangat tepat

digunakan untuk semua sistem sumber daya wilayah

pesisir.

1 3 . Pengelolaan multiguna ( multiple-uses) meru pakan

kunci keberhasilan dalam pembangunan wilayah

pesisir secara berkelanjutan.

14.Pengelolaan sumber daya pesisir secara tradisional

harus dihargai.

15.Analisis dampak lingkungan sangat penting bagi

pengelolaan wilayah pesisir secara efektif.

Uraian tentang kearifan dalam pengelolaan wilayah

pesisir menjadi jelas bahwa keuntungan finansial bukan satu­

satunya alasan dalam upaya pengelolaan. Prinsip-prinsip (15

prinsip) tersebut di atas menjadi lebih jelas tentang orientasi

PWPLT bahwa pendekatan ekologis dan partisipasi

masyarakat menjadi penting diterapkan. Secara khusus

paper ini tidak memunculkan kesimpulan tetapi lebih kepada

upaya penyadaran diri dalam mengelola wilayah pesisir

menjadi terkontrol arah dan strategi kebijakanya. Kesadaran

berfikir system dalam mengelola dan memanfaatkan wilayah

pesisir-Iaut beserta komunitas sosial yang ada didalamnya

menjadi signifikan untuk dilakukan. Wilayah pesisir-laut

'sebagai obyek pemanfaatan dan pengembangan harus

dipandang dan dimaknai sebagai suatu wilayah yang

konprehensif, yang di dalamnya mengandung sub system

ekologis (sumberdaya alam), sub-system sosial dan budaya

Paradigrua Perencanaan don Perancangon Kota


132 Respati IVikantiyoso

komunitas yang ada. Semakin jelah bahwa upaya

pemanfaatan dan pengelolaan pesisir-laut memerlukan suatu

"kearifan", bukan hanya kepentingan keuntunngan ekonomis

janka pendek tetapi keuntungan keberlanjutan sistem

ekologis jagka panjang merupakan orientasi utama.

05. Kepustakaan

Blowers, Andrew (Ed), ( 1 9 9 3 ) , Planning for a Sustainable

Environment, London: EARTHSCAN.

Dahuri, Rokhmin ( 1998), The Aplication of Carrying Capacity

Concept for Sustainable Coastal Resources Development

in Indonesia, Jurnal Publikasi;

www.pesisir.or.id/journal.htm. Volume 1 No. 1 tahun

1998.

Dahuri, Rokhmin., Jacob Rais., eta!! ( 2 0 0 1 ) , Pengelolaan

Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara

Terpadu, Jakarta: Pradnya Paramita.

Patlis, Jason M . , Rokhmin Dahuri, eta!! ( 2 0 0 1 ) , Integreted

Coastal Management in A Decentralized Indonesia: How

it Can Work, Jurnal Publikasi;

www.pesisir.or.id/journal.htm. Volume 4 No. 1 tahun

2001.

Pollnac, Richard 8 . , (2000), Villager's Perceptions of Aspects of

Natural and Human Environment o


f Balikpapan Bay,

Indonesia, Jurnal Publikasi;

www.pesisir.or.id/journal.htm. Volume 3 No. 2 tahun

2000.

Putra, Sapta ( 1 9 9 8 ) , Konflik: Pengelolaan Sumber Daya

Kelautan di Sulawesi Utara Dapat Mengancap

Kelestarian Pemanfaatannya, Jurnal Publikasi;

www.pesisir.or.id/journal.htm. Volume 1 , No. 2 tahun

1998.

Sjafi'J, 8 . 1 . Emmy, Dietriech G. Bengen, dan !wan Gunawan,

(2000), Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir

Paradigma Perencanaan clan Perancangan Kola


Respati Wikantiyoso 133

Teluk Menado, Sulawesi Utara ( The Space Use

Analysis of Menado Bay Coastal Zone, North Sulawesi),

Jurnal Publikasi; www.pesisir.or.id/iournal.htm ,

Volume 4 No. 1 tahun 2 0 0 1 .

Sudarsono, Nani (2000), Pembangunan Berbasis Rakyat

(Community Based Development), Jakarta: Melati Bakti

Pertiwi.

Wibawa, Samodra (Ed), ( 1 9 9 1 ) , Pembangunan Berkelanjutan;

konsep dan Kasus, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Yogya.

Wikantiyoso, Respati ( 2 0 0 1 ) , Pendekatan Pertisipatif Dalam

Pembangunan Perkotaan Yang Berkelanjutan, Dalam

Journal Diagonal, Jumal Ilmu-ilmu Teknik Fakultas

Teknik Universitas Merdeka Malang, Volume 2 nomor

3/Agustus 2 0 0 1 .

Direktorat Bina Pesisir, ( 2 0 0 1 ) , Naskah Akademik Penqelolaari

Wilayah Pesisir, Jakarta: Departemen Kelautan dan

Perikanan kerjasama dengan Proyek Pesisir (Coastal

Resources Management Project/ CPRM), download dari

www.pesisir.or.id.

_____ , (2000), Undang Undang Otonomi Daerah 2000,

Jakarta: Restu Agung.

Paradtgnta Perencanaan dan Perancangan Kofa


Respari Wikantiyoso 135

PEMANFAATAN DAN PERANCANGAN KAWASAN TEPI AIR

SUNGAI TERPADU DAN BERKELANJUTAN

0 1 . Pengantar

Kota akan selalu mengalami perkembangan baik secara

fisik maupun non fisik. Perkembangan kota merupakan

konsekwensi logis dari proses "urbaniasi" dalam arti yang

sangat luas. Pertambahan penduduk kota di satu sisi, serta

peningkatan jumlah fasilitas fisik kota merupakan suatu

faktor yang mendorong perkembangan kota semakin pesat.

Tuntutan akan pemenuhan fasilitas kota serta adanya

"keterbatasan" lahan di perkotaan, menyebabkan

pemanfaatan ruang kota mengalarni dilema dalam

pengendaliaannya. Alih fungsi ruang kota dan semakin tidak

terkendalinya pemanfaatan kawasan-kawasan yang "tidak"

terawasi seperti Kawasan Tepi Air Sungai (KTAS) atau yang

lebih umum dengan istilah bantaran / stren sungai (baca;

wilayah sempadan tepi air sungai), merupakan salah satu

masalah yang dihadapi oleh kota dan/ atau kabupaten yang

memiliki daerah aliran sungai.

Pemanfaatan KTAS pada saat 1111 mengalarni

kecenderungan tidak terkontrolnya penggunaan ruang,

kepadatan, serta fungsi ekologis yang mengakibatkan

menurunnya kualitas lingkungan fisik dan kualitas air sungai.

Pemukiman kumuh di sepanjang KTAS merupakan suatu

pemandangan yang "biasa" dan pada akhirnya menimbulkan

masalah yang sangat serius dalam upaya pemanfaatannya.

Kawasan TAS, khususnya daerah bantaran sungai dalam

pengendaliannya menghadapi masalah yang serius seperti;

Kepadatan bangunan yang tinggi dengan prasarana

· lingkungan yang minim; Kualitas visual yang terkesan

"kumuh"; Kerawanan terhadap bahaya banjir dan tanah

longsor; serta Pembuangan sampah rumah tangga yang

mencemari sumber daya air sungai dan lain-lain. Keadaan ini

Paradign,a Perencanaan dan Perancangan Kota


136 Respati IVikantiyoso

terjadi antara lain karena upaya perencanaan, perancangan,

serta pengendalian pemanfaatan KTAS yang masih sektoral.

Upaya-upaya penataan kawasan yang sudah terlanjur

"kumuh" mi permasalahannya bukan hanya sekedar

perancangan fisik ruang saja tetapi justru permasalahan

lingkungan dan sosial merupakan masalah krusial yang sulit

untuk diatasi dalam waktu yang relatif singkat.

Dalam upaya meminimalkan dampak negatif yang

ditimbulkan dalam pemanfaatan KTAS, diperlukan

pemahaman dan penanganan semua aspek yang menyertai

secara komprehensif. Upaya penataan KTAS sebagai suatu

bentuk upaya intervensi fisik harus memperhatikan

keberlanjutan kehidupan sosial, budaya serta ekologis

kawasan. Keberlanjutan pembangunan (sustainable

development) sebagai suatu konsep penataan (intervensi fisik

berupa rancang bangun kawasan) kelihatannya merupakan

salah satu solusi yang mampu menjembatani berbagai

kepentingan pembangunan di KTAS. Pembahasan dalam

makalah ini akan ditekankan pada menghasilkan prinsip­

prmsip disain KTAS sesuai dengan peruntukan fungsi

kawasan yang diperkenankan, dengan memperhatikan

konsepsi keberlanjutan pembangunan sebagai mainset.

Kerangka acuan perancangan unsur fisik KTAS mengacu

kepada unsur-unsur perancangan kota seperti diungkapkan

oleh Shirvani, H., (1985) dalam bukunya Urban Design

Process.

Pemanfaatan KTAS sebagai upaya menjaga kelestarian

sumber daya air dan hayati harus mengacu kepada peraturan

perundangan yang berlaku yang ditujukan dalam rangka

pengendalian pemanfaatan KTAS. Beberapa peraturan

perundangan yang digunakan dalam pembahasan ini antara

lain:

1.· Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990 tentang

Pengelolaan Kawasan Lindung.

2. Peraturan Pemerintah RI no 47 tahun 1997 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Paradigma Perencanaan d,111 Perancangan Kora


Respati Wikantiyoso 137

3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no.63/PRT / 1993

tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat

Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai.

4. Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan

di Kawasan Tepi Air, yang dikeluarkan oleh Dirjen Cipta

Karya Departemen Pekerjaan Umum RI tahun 2000,

5. Serta peraturan daerah yang mengatur peruntukan

ruang, sempadan, KDB (BC) dan atau KLB (FAR) dalam

bentuk rencana-rencana tata ruang kota dan atau

kabupaten.

Permasalahan yang sering muncul dalam upaya

pemanfaan KTAS adalah bangaimana arahan atau prinsip­

prinsip disain untuk fungsi tertentu di KTAS yang mampu

menjaga kelestarian lingkungan KTAS. Dengan tetap mengacu

kepada ketentuan perundangan yang berlaku serta

pendekatan-pendekatan perancangan kawasan diharapkan

prinsip-prinsip disain kawasan dapat memberikan arahan

yang Jebih jelas dalam pemanfaatan KTAS. Upaya penyusunan

prinsi-prinsip perancangan ini harus dibarengi dengan upaya­

upaya pelibatan masyarakat di sekitar KTAS untuk perperan

aktif dalam implementasi dan pengendaliannya.

02. Pemanfaatan KTAS Terpadu dan Keberlanjutan

Strategi pembangunan yang hanya mengacu pada

paradigma pertumbuhan dan "pernerataan" telah terbukti

rentan terhadap masalah-masalah sosial. Menurut

Tjokrowinoto (1987) pendekatan pembangunan harus disertai

dengan nilai kelestarian pembangunan atau sustainable

development untuk menumbuhkan self sustaining capacity

'masyarakat. Hal ini bermakna bahwa pembangunan harus

berpusat pada manusia (poeple-centered development). Strategi

im akan menumbuh kembangkan upaya partisipasi

masyarakat dalam pembangunan.

Paradigma perencanaan dan Perancangan Kota


138 Respali IV1ka11riyoso

Pelaksanaan UU No. 22 tahun 2000 tentang

Pemerintah Daerah, dan UU No. 25 tahun 2000 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,

sebagai realisasi Otonomi Daerah (OTODA), berimplikasi pada

perubahan paradigma pembangunan di daerah. Pembangunan

di daerah, seperti tercantum dalam pasal 92 UU No. 22

disebutkan bahwa; dalam penyelenggaraan pembangunan

kawasan perkotaan, Pemerintah daerah perlu mengikut

sertakan masyarakat dan swasta (ayat l); dan

Pengikutsertaan masyarakat, sebagaimana dimaksud ayat ( 1 ) ,

merupakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan

perkotaan. Bila dikaitkan dengan tiga strategi pembangunan

yang dilakukan oleh Korten, David C. (1984), yaitu strategi

pertumbuhan, basic needs, dan strategi people-centered

development, maka paradigma pembangunan kota saat ini

diarahkan pada strategi pembangunan yang ketiga. Strategi

ini merupakan strategi yang mendekati konsep pembangunan

yang berkelanjutan (sustainable development).

Pemahaman sustainable development sebenarnya bukan

semata-mata keberlanjutan dalam pemahaman perubahan

social-cultural masyarakat, tetapi keberlanjutan dalam

pengertian luas termasuk aspek ekologi (sustainable

environment). Terjaga dan terpeliharanya kualitas lingkungan

secara ekologis, sosial-budaya dan ekonomi merupakan

sasaran yang harus dicapai setiap upaya pembangunan

kawasan. Hal ini bermakna bahwa perubahan atau "intervensi

fisik" (baca: pembangunan) yang dilakukan harus mampu

menjamin dan meminimalkan cultural-lag dalam arti luas.

Perancangan Kawasan Tepi Air Sungai (KTAS) sebagai bentuk

"intervensi" fisik dalam upaya pemanfaatan ruang kota harus

memperhatikan kepentingan tuntutan pengembangan (fungsi

ruang), kelestarian lingkungan serta kepentingan hajat hidup

masyarakat di sekitar kawasan.

Konsep sustainability yang digagas oleh kaum

environmentalist berawal dari sikap keprihatinan terhadap

konsekwensi jangka panjang terhadap tekanan daya dukung

Paradigma Perencanaan dan Pe, ancangan Kola


Respan iVikantiyoso 139

ala.mi (natural support system). Dalam Brundtland

Commission Report yang berjudul Our Common Future,

dijelaskan batasan tentang sustainable development sebagai

berikut (Blower, Andrew 1993):

"Sustainable development is defined as

development that meet the needs of the present

without comprotrusinq the ability of future

generations to meet their own needs."

Dari pengertian di atas ada tiga (3) kata kunci yang

perlu diperhatikan yaitu development; needs; dan future

generations. Blower (1993) lebih lanjut menguraikan bahwa

pembangunan yang berkelanjutan mempunyai tujuan untuk;

melindungi sumber daya alam (resource conservation);

pembangunan lingkungan binaan (built development), menjaga

kualitas lingkungan (environmental quality), menghindarkan

kesenjangan sosial (social equality), dan meningkatkan

partisipasi (political participation). Secara terinci Blower ( 1993)

menguraikan tujuan pembangunan yang berkelanjutan

sebagai berikut:

1. to ensure the supply of natural resources for

present and future generations through the efficient

use of land, less wasteful use of non-renewable

resources, their substitution by renewable

resources whenever possible, and the maintenance

of biological diversity.

2. to ensure that the development and use of the buit

environment respect and is in harmony with the

natural environment, and that the relationship

between the two is designed to be one balance and

mutual enhancement.

3. to prevent or reduce proceses that degrade or

pollute environment, to protect the regenerative

capacity of ecosystems, and to prevent

Poradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


140 l?espati Wikantiyoso

developments that are detrimental to human healt

or that diminish the quality of life.

4. to prevent any development that increases the gap

between rich and poor and to encourage

development that reduces social inequality.

5. to change values, attitudes and behaviour by

encouraging increased participation in political

decision making and in initiating environmental

improvement at all levels from the local community

upwards.

Uraian di atas semakin jelas bagaimana konsepsi

pembangunan yang berkelanjutan menjadi tuntutan yang

semakin mengemuka. Dalam tataran operasional konsepsi

keberlanjutan pembangunan sebenarnya masih menuntut

adanya prasyarat keterpaduan baik dalam perencanaan,

perancangan, pelaksanaan maupun kontrol operasionalnya.

Pengertian terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan

dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih

sektor dalam perencanaan dan perancangan KTAS.

Perencanaan terpadu dimaksudkan sebagai suatu upaya

secara terprogram untuk mencapai tujuan yang dapat

mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara beberapa

kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan

masyarakat, dan pembangunan ekonomi.

Dalam konteks perencanaan pembangunan sumber

daya alam yang lebih luas, Hanson (1988) mendefinisikan

perencanaan sumberdaya secara terpadu sebagai upaya

secara bertahap dan terprogram untuk mencapai tingkat

pemanfaatan sistem sumber daya alam secara optimal dengan

memperhatikan semua dampak lintas sektoral yang mungkin

timbul. Menurut Lang ( 1 9 8 6 ) keterpaduan dalam perencanaan

dan pengelolaan sumber daya alam hendaknya dilakukan

pada tiga tataran (leven, yakni tataran teknis, tataran

konsultatif dan koordinasi.

Paradrgma Perencanaan don Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 1 4 1

Keterpaduan dalam tataran teknis dilakukan dengan

mempertimbangkan aspek-aspek teknis, ekonomis, dan

lingkungan secara proporsional dalam setiap keputusan

perencanaan dan pembangunan kawasan. Pada tataran

konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan stakeholders

atau yang terkena dampak pembangunan hendaknya

dilibatkan (participation approaches) mulai tahap awal

perencanaan sampai pelaksanaan. Tataran koordinasi

mensyaratkan adanya kerjasama harmonis di antara

stakeholders baik pemerintah, swasta maupun masyarakat.

Pemanfaatan KTAS secara terpadu adalah suatu

pendekatan pemanfaatan KTAS yang melibatkan dua atau

lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan

secara terintegrasi (integrated) guna tercapainya

pembangunan KTAS secara berkelanjutan. Menurut Dahuri,

R. (2001), keterpaduan (integrated) pemanfaatan SDA

mengandung tiga dimensi; sektoral (horizontal and vertical

integration), bidang ilmu (interdisciplinary approaches) dan

keterkaitan ekologis (ecological linkages).

Mengingat upaya pemanfaatan mengandung makna

pengelolaan yang di dalamnya mengandung tiga tahapan

utama; tahap perencanaan, tahap implementasi, tahap

monotoring dan evaluasi, maka jiwa keterpaduan perlu

diterapkan sejak tahap perencanaan sampai tahap evaluasi.

Pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi pada tahap

perencanaan dengan menghasilkan prinsip-prinsip

perancangan KTAS. Sehingga pembahasan dimensi

keterpaduan bidang ilmu (interdisciplinary approaches) dan

keterkaitan ekologis (ecological linkages) lebih dominan.

_ 03. Kawasan Tepi Air Sungai

Kawasan Tepi Air Sungai (KTAS) merupakan suatu

kesatuan area/lahan yang letaknya berbatasan langsung

dengan tepian air sungai, yang masih memiliki pengaruh

Paradig,na Perencanaan don Perancangan Kota


142 Respati Wikantiyoso

dorninan karakteristik lingkungan tepi air baik secara

morfologis, maupun ekologis. Secara fungsional KTAS sebagai

satuan wilayah dan atau bagian wilayah kota mempunyai

fungsi utama sebagai fungsi ekologis. Kawasan TAS

merupakan area konservasi yang diharapkan akan mampu

"memfilter" serta melindungi sumber daya air sungai. Pada

kenyataannya fungsi ekologis KTAS saat ini sudah mulai

hilang karena pemanfaatan KTAS semata-mata hanya

diperuntukan bagi fungsi-fungsi hunian, perdagangan, tanpa

memperhatikan kepentingan-kepentingan kelestarian

lingkungan. Hal im berimplikasi pada kecenderungan

penurunan kualitas visual dan kualitas ekologi lingkungan

kawasan tepi air sungai.

Upaya-upaya pengendalian serta perlindungan

terhadap kualitas lingkungan Tepi Air Sungai (TAS)

sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah dengan

diterbitkannya beberapa peraturan perundangan yang

berkaitan dengan hal tersebut. Peraturan perundangan

tersebut seperti diuraikan pada halaman 3 di depan.

Peraturan teknis mengatur yang pemanfaatan KTAS tertuang

dalam Petunju.k Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan di

Kawasan Tepi Air, yang dikeluarkan oleh Dirjen Cipta Karya

Departemen Pekerjaan Umum RI tahun 2000. Walaupun

boleh dikatakan terlambat, karena pada saat diterbitkan

permasalahan pemanfaatan KTAS di beberapa kota sudah

demikian kronis. Tetapi paling tidak kita dapat gunakan pada

upaya-upaya perancangan KTAS ke depan.

Selain perangkat peraturan tersebut, sebenarnya

pemerintah lokal (kota dan kabupaten) yang wilayahnya

memiliki aliran sungai, telah mengeluarkan perangkat (perda)

yang mengatur tentang pemanfaatan daerah "bantaran"

sungai. Walaupun demikian kitajuga harus menyadari bahwa

permasalahan pengendalian dan penataan KTAS saat ini

bukan hanya masalah teknis penataan fungsi ekologis saja,

tetapi justru masalah sosial masyarakat di KTAS merupakan

masalah yang sangat pelik. Sehingga keterpaduan horisontal

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


Respati Wikantiyoso 143

dan vertikal seperti diharapkan oleh Dahuri, R., (2001) harus

dilakukan. Dalam tataran operasional kenyataannya

perangkat peraturan sebagai "pengendali" belum mampu

berperan optimal. Untuk itu diperlukan upaya-upaya kongkrit

yang mampu menjembatani berbagai kepentingan dalam

pemanfaatan KTAS.

04. Perancangan Kawasan Tepi Air Sungai

Kawasan Tepi Air Sungai dalam pembahasan ini adalah

KTAS yang berada di lingkungan kota, sehingga pembahasan

perancangan KTAS merupakan bagian dari proses

perancangan kota secara umum. Perancangan kota (urban)

pada hakekatnya merupakan pengelolaan kawasan kota

yang terpadu, yang bertujuan untuk mengupayakan

terbentuknya perangkat pengendali (urban regulation) yang

mampu mengantisipasi semua aspek perkembangan kota,

termasuk KTAS. Menurut Shirvani, H. (1985), dalam bukunya

The Urban Design Process, perancangan kota merupakan

bagian dari proses perencanaan yang berkaitan dengan

perancangan fisik dan ruang suatu lingkungan kota yang

ditujukan untuk kepentingan umum. Seperti diungkapkan

oleh Barnett ( 1979), bahwa perancangan kota merupakan

keputusan-keputusan kebijaksanaan publik, dan menurut

Gosling ( 1980) perancangan kota sebagai pernyataan politik,

maka produk perancangan kota harus memperhatikan

kepentingan masyarakat.

Menurut Beckley ( 1979 :62) dalam Introduction to

Urban Planning, Perancangan kota (urban design) adalah

"jembatan" antara profesi perencana kota (urban planning)

dengan profesi arsitek. Dalam makalah Urban Design:

Penqertian, permasulahan, dan Konsep Penerapan, Danisworo

(1993). menyatakan bahwa rancangan kota berkepentingan

dengan kualitas ruang kota terutama yang berkaitan dengan

kepentingan umum pada suatu bagian dan/atau sektor kota.

Paradigma Perencanoon dan Perancangan Kora


144 Respati Wikantiyoso

Perancangan kota sebagai suatu upaya pembangunan,

menurut Appleyard (1982: 122), mempunyai tiga orientasi

yang berbeda yang digunakan sebagai dasar kebijakan, yakni;

1. Development orientations, sebagai bagian terbesar dari

praktek perancangan kota, yang menyangkut proyek

pembangunan gedung beserta fasilitas

infrastrukturnya. Peran swasta pada kegiatan iru

sangat besar.

2. The conservation orientations, yang memfokuskan pada

upaya memelihara kualitas lingkungan alam.

3. Community orientations, yakni upaya memperbaiki

lingkungan bagi masyarakat berpenghasilan rendah

melalui partisipasi aktif masyarakat, yang diatur

dalam kelembagaan tertentu.

Orientasi perancangan kota tersebut merupakan

dasar kebijaksanaan yang harus diperhatikan dalam

perancangan kawasan. Pendekatan yang realistis untuk

perancangan kota harus memasukkan ketiga orientasi

tersebut, dan mencari keseimbangan antara ketiga

orientasi tersebut di atas (Shirvani,H., 1985). Lebih lanjut

Shirvani menyatakan bahwa ruang lingkup perancangan kota

adalah mulai dari eksterior bangunan pribadi (individual

building) sampai ke ruang terbuka umum. Perancangan kota

merupakan bagian rangkaian dari proses perencanaan

yang berfungsi sebagai perangkat pengendali. Untuk

mempermudah implementasi kebijakan perencanaan kota,

maka bentuk rancangan kota dapat dibedakan dalam tiga

kelompok, yakni;

1. Urban design criteria atau kriteria-kriteria yang

mendasari keputusan ruang kota, unsur dasar

(kriteria) yang harus diperhatikan dalam penataan

fisik kawasan kota.

Paradig,na Perencanaan dan Perancangan Kora


Respari Wikantiyoso 145

2. Urban design guideline atau panduan rancang kota,

merupakan panduan yang harus dipergunakan dalam

perancangan atau penataan suatu kawasan kota.

Bentuk guideline ini harus sudah operasional dan

terperinci secara teknis.

3. Urban design standart, merupakan patokan-patokan

dasar atau ukuran minimum dan atau maksimum

bagi kriteria perancangan kota dalam pelaksanaan

pembangunan suatu kawasan.

Substansi perancangan kota menurut Shirvani, H.,

( 1 9 8 5 ) mencakup delapan elemen perancangan kota yakni; ( 1 )

Tata guna tanah (land use); (2) Massa dan bentuk bangunan

(Bu/ding form and massing); (3) Sirkulasi dan parkir

(Circulation and parking); (4) Ruang terbuka (Urban Space); (5)

Jalur pejalan kaki (Pedestrian ways); (6) Aktifitas penunjang

(Activity support); (7) Tanda-tanda (Signage); dan (8) Preservasi

(Preservations). Kedelapan elemen perancangan kota (baca;

kawasan) inilah yang akan digunakan sebagai acuan dalam

menyusun prinsip-prinsip perancangan KTAS (lihat tabel 1 ) .

Elemen-elemen urban design tersebut di atas

merupakan lingkup fisik sebagai substansi perancangan kota,

dimana antara elemen satu dengan lainnya merupakan suatu

kesatuan yang saling pengaruh mempengaruhi sehingga

dalam perancangan kota pendekatan yang komprehensip

diperlukan untuk mengeliminir munculnya permasalahan

baru sebagai akibat dari proses perancangan yang dilakukan.

Apabila ditinjau dari unsur pembentuk kota pada

hakekatnya substansi urban design sebenarnya akan

menyangkut 3 unsur pokok yaitu;

1. Faktor lingkungan alam, karakteristik alam

merupakan unsur dasar yang akan memberikan

karakteristik yang spesifik suatu kawasan/kota.

Faktor alam ini mencakup; iklim, topografi, geo-

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


146 Respati Wikantiyoso

morfologi, aliran, kelembaban, suhu udara, flora­

fauna dan sebagainya.

2. Faktor lingkungan buatan, kondisi-potensi

lingkungan buatan sebagai produk budaya

masyarakat yang telah membentuk lingkungan

yang spesifik perlu menjadi suatu pertimbangan

sebagai satu kesatuan produk aktivitas

masyarakat.

3. Faktor lingkungan non-fisik, kehidupan sosial­

budaya, ekonomi, politik dan teknologi, sebagai

faktor yang melatar belakangi terbentuknya

lingkungan binaan manusia.

Ketiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang

sa!ing pengaruh mempengaruhi. Lingkungan alam akan

menentukan struktur dan pola kota yang spesifik, sebagai

cerminan pola perilaku dan tata nilai sosial-budaya, ekonomi

dan politik yang melatar belakanginya. Produk perancangan

kota menurut Hamid Shirvani (1985), meliputi

Kebijaksanaan, Rencana, Pedoman, dan Program.

Kebijaksanaan perancangan kota merupakan kerangka

strategi pelaksanaan yang bersifat spesifik. Sebagai

produk kebijaksanaan yang spesifik menuntut setiap kota

harus memiliki peraturan yang khas, seperti dikemukakan

para pakar bahwa "No two cities are alike".

Rencana merupakan produk pen ting dalam

perancangan kota yang berorientasi pada proses dan produk,

rencana tersebut harus dikembangkan mengikuti kerangka

yang tertuang dalam kebijaksanaan perancangan kota di

atas. Rancangan kota sebagai peraturan yang diperlakukan

harus menjadi landasan bagi arsitektur baru, rencana

baru, dan kualitas baru (Slamet Wirasondjaya, 1992).

Kebijaksanaan dan rancangan kota dalam

operasionalisasinya perlu diterjemahkan ke dalam bentuk

pedoman yang lebih spesifik dan operasional dengan

Parodignza Perencanaan dan Pera,u:angan Kora


52 Respati Wikantiyoso

untuk mewujudkan visinya yang terpusat di Arch de Triomphe.

Jadi memang ada perkembangan yang dialami dengan

pembongkaran, walaupun motifasinya Jain: mengunjuk

kekuasaan sesuai dengan versi penguasa tersebut.

Dibantu dengan peledakan penduduk, perkembangan

revolusi industri dan perkembangan ekonomi, maka mau

tidak mau kebutuhan-kebutuhan orang banyak sangatlah

menentukan. Pada tahun-tahun setelah perang dunia I,

gerakan ekstrim ke arah modernisasi mulai timbul dengan

daksyat. Gerakan anti tradisionalisme seperti Gerakan

DADAISM yang berkecamuk di Paris kemudian di seluruh

Eropa merupakan demokrasi ekstrim menentang apa-apa

yang telah ada. Malahan ada rencana perpustakaan­

perpustakaan di sentral kota besar Eropa akan dibakar, dan

bahasapun ditinggalkan mencari dasar komunikasi yang

disebut "dada", ucapan pertama bila bayi mulai ingin bicara

Gerakan-gerakan Im mendorong secara positif

interospeksi terhadap dekadensi kebudayaan sebelum Perang

Dunia I, kembali ke dasar, juga yang memberi inspirasi

gerakan modern dalam seni, seni bangunan dan lain-lain

untuk mencari bentuk-bentuk dasar, terlepas dari bentuk­

bentuk tradisi. Gerakan modern Im disebut "modem

movement' yang berkembang luas (Bauhaus dll.), dan

memberikan cap kepada bentuk dunia kita sekarang ini.

Bagian yang negatif ialah meninggalkan yang lama, tradisi

dan ikatan-ikatan yang menjerat. Dalam suasana ini tentunya

banyak bangunan telah dibongkar walau dengan motivasi

lain, sedikitnya rem atau kesadaran untuk mempertahankan

tidak ada atau sedikitrya tidak dipromosikan.

Di negara kita sekarang menjadi aktual, umumnya di

negara Asia, yang mengalami perkembangan ekonomis yang

demikian cepat, ditambah dengan kekuatan modal yang

demikian besar sekarang, tidak jarang pembangunan terse but

menjurus ke satu arah saja, dengan kata singkat dapat sangat

"VULGAR", dengan segala cara yang ditempuh untuk

memperoleh keuntungan yang maksimal. Yang sangat

menyedihkan Jagi: memperalat perasaan minder masyarakat

Paradign,a Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati }Vikantiyoso 53

yang dilebih-lebihkan dengan iklan-iklan berbahasa bau

asing, untuk daya marketing dan sales. Bila perlu juga

menggunakan cap tenaga ahli/ arsitek asing pula.

Dalam konteks perpaduan, perlu suatu pengaturan

makro maupun mikro, dimana lingkungan alam ataupun

terbangun tidak selalu secara keseluruhan dapat

dipertahankan/ dilestarikan. Mengacu kepada undang­

undang pelestarian yang ada; memang semua bangunan yang

telah berumur 50 tahun lebih perlu dilestarikan. Bukankah

ini memerlukan tindakan pengamanan, bila kita jalankan

secara konsekwen absurd, dapat menjebak kita sendiri.

Sedangkan bangunan-bangunan dengan karya kreasi tinggi

dari para arsitek kita yang mungkin baru berumur 30-35

tahunan dengan peraturan tersebut, secara absurd pun dapat

dihapus begitu saja? Kedutaaan Perancis karya Soejoedi,

Pusgafin, dalam waktu dekat juga akan menjadi korban

"perkembangan pembangunan", yang mungkin lebih tepat

"terjangan pembangunan".

Sehingga perlu dilakukan kajian-kajian kawasan untuk

membantu menyusun/ mengusulkan design guidelines, yang

telah didahului dengan studi-studi yang mendalam dan

menyeluruh. Dapat menjurus ke Town Design yang cukup

realistik, yang dapat menampung pengembangan dan

pembangunan tadi secara berkesinambungan. Kajian kajian

tersebut dapat dilakukan secara terpisah maupun terintegrasi

secara menyeluruh di berbagai aspek perkembanan kota.

Kajian tersebut dapat berupa studi tentang :

1. Lingkungan dan bangunan kota dalam strukur kota

serta perkembangannya

2. Studi historik mengenai hal terebut di atas

3. Studi lingkungan dan Arndal mengenai keseluruhan

kota

4. Inventarisasi bangunan+bangunan yang perlu

dilestarrikan, denngan metodologi ICOMOS

5. Studi mengenai design guidelines

6. Konsep perangkat peraturan daerah, mengacu pada

undang-undang yang ada

Porodigma Perencanaan dan Perancangan Kota


54 Respati Wikantiycso

7. Studi strategi perencanaan dan perancangan kota

dalam jangka waktu terlentu dan sebagainya.

04. Perancangan Kawasan Kota

Ruang lingkup perancangan kota adalah mulai dari

eksterior bangunan pribadi (individual building) sampai ke

ruang terbuka kota (Shirvani, 1985). Perancangan kota

merupakan bagian rangkaian dari proses perencanaan yang

berfungsi sebagai perangkat pengendali untuk mempermudah

implementasi kebijaksanaan perencanaan kota, maka bentuk

rancangan kota dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yakni;

Urban design criteria atau kriteria-kriteria yang mendasari

keputusan ruang kota, unsur dasar (kriteria) yang harus

diperhatikan dalam penataan fisik kota.

a) Urban design guideline, merupakan panduan yang

harus dipergunakan dalam perancangan atau

penataan suatu kawasan kota. Bentuk guideline ini

harus sudah operasional dan terperinci secara teknis.

b) Urban design standart, merupakan patokan-patokan

dasar atau ukuran minimum dan atau maksimum

bagi kriteria perancangan kota dalam pelaksanaan

pembangunan suatu kawasan.

Secara substansial, perancangan kota akan mencakup

beberapa aspek-aspek yang mencakup aspek-aspek fisik

penataan ruang maupun aspek non-fisik yang melatar

belakanginya. Hamid Shirvani (1985) dalam bukunya The

Urban Design Process mengungkapkan adanya delapan elemen

dalam perancangan kota yakni;

Tata guna tanah (land use)

·a) Massa dan bentuk bangunan (Bu/ding form and

massing)

b) Sirkulasi dan parkir (Circulation and parking)

c) Ruang terbuka ( Urban Space)

d) Jalur pejalan kaki (Pedestrian ways)

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kata


Respati Wikantiyoso 55

e) Aktifitas penunjang (Activity support)

f) Tanda-tanda (Signage)

g) Preservasi (Preservations).

Elemen-elernen urban design tersebut di atas merupakan

lingkup fisik sebagai substansi perancangan kota, dimana

antara elemen satu dengan lainnya merupakan suatu

kesatuan yang sating pengaruh mempengaruhi sehingga

dalam perancangan kota pendekatan yang komprehensip

diperlukan untuk mengeliminir munculnya permasalahan

baru sebagai akibat dari proses perancangan yang dilakukan.

Apabila ditinjau dari unsur pembentuk kota pada hakekatnya

substansi urban design sebenarnya akan menyangkut 3

unsur pokok yaitu;

a) Faktor lingkungan alam, karakteristik alam

merupakan unsur dasar yang akan memberikan

karakteristik yang spesifik suatu kawasan/kota.

Faktor alam ini mencakup; iklim, topografi, geo­

morfologi, aliran, kelembaban, suhu udara, flora­

fauna dan sebagainya.

b) Faktor lingkungan buatan, kondisi-potensi

lingkungan buatan sebagai produk budaya

masyarakat yang telah membentuk lingkungan yang

spesifik perlu menjadi suatu pertimbangan sebagai

satu kesatuan produk aktifitas masyarakat.

c) Faktor lingkungan non-fisik, kehidupan sosial­

budaya, ekonomi, politik dan teknologi, sebagai faktor

yang melatar belakangi terbentuknya lingkungan

binaan manusia.

Ketiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang

sating pengaruh mempengaruhi. Lingkungan alam akan

menentukan struktur dan pola kota yang spesifik, sebagai

cerminan pola perilaku dan tata nilai sosial-budaya, ekonomi

dan politik yang melatar belakanginya. Produk perancangan

kota menurut Hamid Shirvani ( 1 9 8 5 ) , meliputi Kebijaksanaan,

Rencana, Pedoman, dan Program. Kebijaksanaan perancangan

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kata


56 Respati JVikantiyoso

kota merupakan kerangka strategi pelaksanaan yang bersifat

spesifik. Sebagai produk kebijaksanaan yang spesifik

menuntut setiap kota harus memiliki peraturan yang khas,

seperti dikemukakan para pakar bahwa "No two cities are

alike".

Rencana merupakan produk penting dalam perancangan

kota yang berorientasi pada proses dan produk, rencana

tersebut harus dikembangkan mengikuti kerangka yang

tertuang dalam kebijaksanaan perancangan kota diatas.

Rencangan kota sebagai peraturan yang diperlakukan harus

menjadi landasan bagi arsitektur baru, rencana baru, dan

kualitas baru (Slamet Wirasondjaya, 1992). Kebijaksanaan

dan rancangan kota dalam operasionalisasinya perlu

diterjemahkan ke dalam bentuk pedoman yang lebih spesifik

dan operasional dengan memperhatikan ruang kota dalam

skala mikro. Pedoman tersebut dapat berupa pengendalian

ketinggian bangunan, bahan setback, proporsi gaya

arsitektur dan sebagainya. Pedoman ini pada prinsipnya

dibuat untuk menjamin kualitas lingkungan terbangun kota

yang lebih baik.

05. Daftar Pustaka

Attoe, Wayne and Donn logan ( 1 9 8 9 ) , American Urban

Architecture; Catalysts in the Design of Cities, Berkeley:

University of California Press.

Awal, Han ( 1 9 9 8 ) , Pelestarian Vs Pembangunan, Malang:

Jurusan Arsitektur Unmer dalam Buletin Mintakat

Online (http: //WWW.go.to/mintakat)

Imamuddin, A b u . H an d Karen L. Longeteig ( 1 9 9 0 ) , Arhitectural

and Urban Conservation in the Islamic World,

Singapore: The Aga Khan For Culture.

Nas, PJM. ( 1 9 7 9 ) , Kota di Dunia Ketiga, Jakarta: Bhratara.

Shirvani, Hamid ( 1985), Urban Design Process.

Strike, James ( 1 9 9 4 ) , Architecture in Conservation; Managing

Development at Historic Sites, London: Routledge.

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kola


Respati Wikantiyoso 57

Tiesdell, Steven, et al ( 1 9 9 6 ) , Revitalizing Historic Urban

Quaters, Oxford: Arhitectural Press.

Wikantiyoso, R ( 1 9 9 9 ) , Prinsip-Prinsip Perencanaan dan

Perancangan Arsiiektur, Malang: Grup Konservasi

Arsitektur dan Kota, Jurusan Arsitektur Unmer.

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


Respati Wikantiyoso 59

TATA GUNA LAHAN DALAM PERANCA,.>qGAN KOTA

0 1 . Pengantar

Kota dapat dipandang sebagai man made object as a total

architecture, berupa konsentrasi elernen-elernen fisik spatial

yang selalu turnbuh dan berkernbang (Rossi, 1982). Elernen­

elernen fisik tersebut terbentuk karena adanya fungsi-fungsi

kegiatan yang berlangsung dalarn suatu kota, yang rneliputi

aktifitas ekonorni, sosial dalarn satu kesatuan tingkah laku

kultural dan ritual rnasyarakat.

Perkernbangan kota yang sedernikian pesat sernakin

dirasakan bahwa beban daya dukung perkotaan akan fungsi­

fungsi dan aktifitas rnanusia di perkotaan sernakin berat.

Karena akurnulasi aktifitas yang sernakin tinggi di pusat kota,

rnengakibattkan sernakin tingginya aksesibilitas, serta terasa

daya dukung lahan di kota sernakin berkurang. Kepadatan

bangunan sernakin tinggi sehingga apabila fenornena seperti

ini tidak diantisipasi akan rnernberikan darnpak negatif pada

kualitas fisik lingkungan binaan secara urnurn, baik yang

rnenyangkut lingkungan alarn, fisik arsitektural, rnaupun

aspek kehidupan sosial-budaya rnasyarakat kota. Oleh sebab

itu, dalarn pengelolaan lingkungan fisik kota perlu dilakukan

pendekatan yang terpadu, yakni pendekatan perancangan

kota yang rnernperhatikan seluruh aspek fisik dan non fisik

kehidupan kota.

Pengernbangan kota rnelalui proses formal (rnelalui proses

perencanaan dan perancangan) rnerupakan suatu usaha

untuk rnenciptakan lingkungan fisik kota yang sesuai dengan

tuntutan perkernbangan baik fisik spatial rnaupun

perkernbangan non-fisik (sosial-budaya, ekonorni, dan politik).

· Produk perancangan kota harus dapat berfungsi sebagai

arahan kebijaksanaan perkembangan, pedornan rancang

bangun elernen kota, serta sebagai pranata pengendali yang

sesuai dengan konteks perkernbangan kawasan kota.

Rancangan kota sebagai pranata pengendali kawasan kota,

Parodtgma Perencanaan clan Perancangan Kata


60 Respati Wikantiyoso

dituntut bentuk pengendali yang dapat oprasional dan spesifik

sesuai dengan karakteristik tiap kawasan atau bagian wilayah

kota.

Mengacu pada elemen urban design yang d.ilontarkan

oleh Hamid Sirvani ( 1985) maka penyusunan rancangan kota

sebagai pranata pengendali harus memperhatikan delapan

elemen urban yakni; Tata guna tanah, Bentuk dan massa

bangunan, Sirkulasi dan parkir, Ruang terbuka kota, Jalur

pedestrian, Aktivitas penunjang, Sistem tanda, dan Preservasi.

Dalam pembahasan bab ini akan lebih ditekankan pada

prinsip-prinsip perancangan kota khususnya tentang Tata

guna tanah dengan pertimbangan bahwa perancangan kota

akan lebih banyak berperan dalam mengendalikan

perkembangan fisik spasial arsitektur, dengan tidak

melepaskan aspek perencanaan kota yang lainnya.

02. Tata Guna Lahan (Land Used)

Perencanaan guna lahan sebenarnya merupakan pokok

masalah perencanaan kota (urban planning), sesuai dengan

kedudukannya sebagai perencanaan fungsional yang

berfungsi sebagai pengarah pembangunan kota. Aspek-aspek

yang menentukan perencanaan guna lahan adalah unsur­

unsur aktifitas, manusia atau masyarakat, dan lokasi.

Rencana guna lahan menyangkut kebijaksanaan­

kebijaksanaan pengembangan, pedoman atau aturan

pemanfaatan yang tertuang dalam peta-peta rencana

penggunaan ruang kota baik secara umum maupun

terperinci, dengan penetapan penggunaan ruang pada suatu

wilayah tertentu.

Tata guna lahan dalam perancangan kota tidak hanya

merigatur pemanfatan ruang kota (lahan) seca.ra horisontal,

tetapi juga mengatur pemanfaatan ruang secara vertikal, agar

pemanfaatan ruang kota dapat optimal dan terkendali. Karena

pada prinsipnya perancangan kota adalah merupakan

perancangan fisik ruang atau lingkungan kawasan kota, yang

Paradig,na Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati IVikantiyoso 61

di dalamnya memuat pranata pengendaliannya. Sehingga

aspek pengendalian dalam perancangan kota (urban design)

merupakan suatu keharusan yang menjamin terwujudnya

rancangan suatu kawasan.

Rencana tata guna lahan yang merupakan arahan

penggunaan ruang kota, di dalamnya d.itentukan penggunaan

(fungsi) ruang kota , kepadatan dan intensitas katagori

penggunaan, dengan kata lain rencana tata guna lahan

berkaitan dengan pendaerahan (Zonning atau mintakat) suatu

kawasan kota. Perkembangan konsepsi tata guna lahan

memperlihatkan adanya kecenderungan penggunaan mixed­

use (penggunaan campuran) dari pola penggunaan fixed-use.

Ketentuan tentang tata guna lahan akan menentukan

hubungan antara sirkulasi/parkir dengan kepadatan

aktifitas/ pemanfaatan suatu kawasan, melaui penataan guna

lahan kapasitas serta intensitas menampung aktifitas

kawasan akan berbeda dengan pemenuhan sarana penunjang

lainnya dalam peningkatan pemanfaatan lahan kota (Shirvani

1985).

03. Pengertian Zonning

Pengertian Zonning (pendaerahan/mintakat) berasal dari

kata zone yang berarti bagian dari suatu daerah/wilayah ang

terpisah dari wilayah lain yang didasarkan atas macam

penggunaan atau peruntukan tanah. Penggunaan Zonning

dalam perencanaan kota adalah d.imaksudkan sebagai

peraturan yang sah dalam penggunaan tanah sebagai

penerapan dari usaha memelihara ketertiban guna melindungi

masyarakat serta menjaga kebutuhan kehidupan di

perkotaan. Peraturan Zonning juga memuat ketentuan-

. ketentuan untuk penggunaan, kepemilikan, dan penentuan

batas-batas cakupan bangunan di dalam ruang kota (lahan

kota).

Perencanaan Zonning dibuat melalui suatu studi yang

mendalam dan komprehensive dari aspek-aspek yang terkait

Paradlgma Perencanaan dan Perancangan Kota


62 Respari Wikantiyoso

dengan ketentuan perencanaan, kemudian secara hukum

disyahkan oleh pemerintah dalam bentuk praturan-peraturan

Zonning, yang berfungsi sebagai perangkat pengendali

perkembangan pemanfaatan ruang kota. Sebagai perangkat

pengendali seringkani dalam praktek di lapangan ada

perbenturan antara peraturan Zonning yang ada dengan

implementasi fisik di lapangan, sehingga dalam

pelaksanaanya pelaksanaan peraturan Zonning harus selalu

dilakukan pengawasan. Meskipun peraturan zonning sudah

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, dengan

pertimbangan tertentu masih dimungkinkan adanya

perubahan dalam zonning.

Pertimbangan perubahan tata guna lahan tersebut dapat

disebabkan karena situasi lingkungan alam, kondisi

lingkungan binaan yang ada, atau karena kebutuhan­

kebutuhan yang belum jelas pada saat peraturan zonning

ditetapkan. Perubahan tersebut dapat juga dikarenakan

pertimbangan batas-batas zonning tidak dapat menyelesaikan

permasalahan kebutuhan dan kebebasan ruang gerak bagi

pemikiran baru atas kemajuan teknologi. Untuk

menyesuaikan dengan perkembangan, ketentuan mengenai

tata guna lahan dievaluasi tiap 5 (lima) tahun untuk lebih

menyesuaikan dengan perkembangan kota (Seattle, 1982:25).

Perlu diperhatikan bahwa perubahan ketentuan Zonning

harus melalui prosedur formal, dengan pertimbangan­

pertimbangan antara lain;

a) Tidak merugikan masyarakat banyak,

b) Merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat yang

sangat mendesak,

c) Guna melindungi lingkungan yang harus dilestarikan,

d) Pada dasarnya tidak bertentangan dengan rencana

induk yang telah disahkan.

Truman Asa Hartshorn ( 1 9 8 0 : 2 2 6 ) , dalam Interpreting The

City: An Urban Geography, memberikan penjelasan beberapa

type konsepsi zonning sebagai b e ri ku t :

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kola


Respati Wikantiyoso 63

a) Density zonning ; Mempertahankan kontrol terhadap

ketinggian , koefisien lantai bangunan (FAR), lotsize,

Footage dan sebagainya.

b) Conditional-use zonning; menentukan penggunaan

yang diperbolehkan jika petuntuk tertentu diikuti.

c) Floating zonning; menerapkan kontrol terbatas pada

seluruh tipe pembangunan .

d) Impact zonning; merupakan suatu bentuk managemen

tanah yang mengharuskan untuk mengevaluasi

konsekwensi dari pembangunan, berkaitan dengan

permintaan terhadap tata guna lahan dengan

kapasitas serta konsekwensi perubahannya.

e) Transfer zonning; Mengijinkan pemilik bangunan

(gedung bersejarah) untuk menjual hak membangun

keepada orang lain yang mampu membangun di mana

saja pada tinggi.

f) Precentage zonning; Laban campuran (mixed-use) yang

diinginkan ditentukan lebih dahulu dalam minimum

g) Contract zonning; menentukan petunjuk-petunjuk

akan dinegosiasikan dengan developer.

h) Special-used Zonning; Ketentuang penggunaan

tertentu yang berbeda pada suatu kawasan, misalnya

distrik untuk theater.

i) Agriculture and Forestry Zones; penentuan daerah­

daerah yang harus tetap dipergunakan sebagai

daerah hijau/pertanian, untuk mencegah tindakan

spekulatip.

j) Bonus atau Incentive zonning; Mengijinkan kepadatan

atau ketinggian yang lebih besar jika diikuti petunjuk

design tertentu.

k) Exclusionary Zonning; Penentuan standart

performance, sering dipergunakan pada daerah

pinggiran kota untuk mempertahankan ekslusivitas

dan keseragaman.

Paradigma Perencanaan don Perancangan Kora


64 Respari wtkanttyoso

04. Zonning Sebagai Pengendali

Zonning sebagi produk perencanaan kota harus mampu

berperan sebagai pengendali (guidelines) perkembangan kota.

Hamid Shirvani (1985: 147-153), mengemukakan guidelines

dibuat untuk mengatasi perkembangan rencana yang ada,

yang ditujukan untuk mengarahkan bentuk fisik kota

Gudelines bersifat spesifik, dan lebih menjamin perhatian

pada kualitas ruang kota berskala mikro. Sampai saat ini

belum ada ketentuan baku yang mengatur bagaimana

guidelines harus dibuat, tetapi dengan melihat lingkup skala

mikro, maka guidelines merupakan kerangka design pada

tingkat distrik, jalan dan pada skala proyek tertentu.

Menurut jenisnya, Shirvani (1985) membedakan Zonning

sebagai produk pengendali dalam dua bagian yaitu:

a) Prescripive Guidelines, merupakan petunjuk batasan

kerja disign seperti batas Koefisien Dasar Bangunan

(KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Buiding

Coverage (BC) yang diijinkan pada suatu wilayah.

b) Performance Guidelines; suatu arahan yang

menekankan pada kriteria design fisik yang bertujuan

untuk mendapatkan organisasi dan visual harmoni

antara satu bangunan dengan bangunan lainnya dan

atau dengan lingkungan sekitarnya.

Dari segi substansi pengaturan, ketentuan Zonning

menurut Flynn Raymond L ( 1 9 8 6 : 9 7 ) dalam Citizen is Guide to

Zonning for Boston mencakup tiga hal pokok yakni

a) Peruntukan lahan, mengatur jenis kegiatan yang

diperkenankan di atas lahan tertentu.

b) Intensitas Pembangunan, mengatur besarnya

volume kegiatan yang diprkenankan di atas lahan

yang dinyatakan dalam Floor area Ratio (FAR) atau

Koefisien Lantai Bangunan (KLB).

c) Preservasi, mengatur dan menentukan bagian

kawasan kota, bangunan maupun ruang terbuka

untuk dilindungi atau ditingkatkan penggunaannya.

Poradigma Perencanaan don Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 65

Dalam buku Urban Planning, Gary Hock ( 1 9 8 8 : 211-213)

memberi gambaran bentuk ketentuan Zonning kedalam empat

macam, yakni:

a) Zonning Ordinance; berisi petujuk batasan design

yang menyangkut intensitaas guna lahan/FAR, garis

setback, kerapatan bangunan, maksimum ketinggian

bangunan, parkir, garis muka bangunan,

pengendalian dampak bangunan, serta pemanfaatan

prasarana kota.

b) Incentive Zonning; Bonus yang diberikan untuk

memberikan gairah bagi developer yang bersedia

menyediakan ruang-ruang urnurn, untuk memacu

terjaganya sifat spesifik suatu kawasan kota

c) Special Development Control Districts; suatu upaya

pengendalian untuk melestarikan keunikan khusus

(citra lingkungan), seperti preservasi bangunan yang

bemilai historis tinggi, bangunan yang mempunyai

bentuk arsitektur yang unik dan sebagainya.

d) Consistensy Requirement; merupakan perangkat

aturan yang memungkinkan mekanisme pengendalian

dapat berlangsung, termasuk ketentuan tentang

peninjauan ulang peraturan Zonning.

05. Peraturan Zonning Sebagai Produk Perancangan

Kota

Peraturan Zonning sebagai produk perancangan kota

mempunyai fungsi utama sebagai perangkat pengendali

terhadap perkembangan fungsi dan fisik kota. Seperti telah

diuraikan di atas tentang subsatansi dan jenis pengendalian,

dapat disimpulkan bahwa peraturan Zonning setidaknya

· mengandung empat ketentuan untuk menjamin

berlangsungnya mekanisme pengendalian perkembangan

kota, yakni; ketentuan Land-Used, Intensitas kegiatan,

ketentuan incentive Zonning, serta adanya consistency

requirement.

Paradigma Perencanaan dc111 Perancangan Kota


66 Respali Wikantiyoso

06. Guna Tanah (Land-used)

Penentuan peruntukan penggunaan tanah perkotaan ke

dalam zone-zone tertentu, yang memisahkan suatu daerah

peruntukan tertentu dengan peruntukan lainnya sesuai

dengan macam kegiatannya mempunyai kelebihan dan

kekurangan. Konsepsi peruntukan seperti ini sering disebut

sebagai fixed land use. Kelemahan fixed land use plan antara

lain:

a) Jarak jangkauan antara zone pemukiman dengan

zone fungsional lainnya menjadi relatif jauh.

b) Pemisahan zone-zone fungsional maka kebutuhan

penggunaan lahan untuk prasarana transportasi

tinggi.

c) Jarak jangkauan antara zone pemukiman dengan

zone fungsional lainnya menjadi relatif jauh.

d) Pemisahan zone-zone fungsional maka kebutuhan

penggunaan lahan untuk prasarana transportasi

tinggi.

e) Memungkinkan terjadinya kepadatan lalu lintas pada

jam-jam tertentu.

f) Timbul kesenjangan keramaian dan sepi aktifitas

yang disebabkan pemisahan pada saat dan daerah

tertentu, sehingga muncul daerah "mati" pada malam

hari.

g) Kepadatan tiap zone tidak seimbang sehingga

pemanfaatan lahan kurang optimal.

Sedangkan keuntungan penggunaan Fixed use plan adalah:

a) Dampak negatif akibat pengaruh antar aktifitas dapat

terhindarkan. Misalnya pengaruh aktifitas industri

terhadap lingkungan pemukiman.

b) Pemisahan fungsi dan karakter aktifitas pada tiap

zone akan memudahkan perencanaan, penataan, dan

pengaturan penggunaan lahan mikro.

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


1
Respati H ikantiyoso 67

c) Melalui pemisahan zone akan memudahkan

mekanisme pengendalian (monitoring dan kontrol)

dalam implementasi rencana.

Dengan semakin pesatnya perkembangan kota semakin

meningkatkan kebutuhan akan lahan di kota, sehingga

efesiensi, dan rasionalisasi sumber daya lahan menjadi

tuntutan pemanfaatan lahan lahan di perkotaan. Dengan

melihat kelebihan dan kekurangan penggunaan fixed use plan

dalam tata guna lahan, kemudian muncul konsepsi baru

yakni konsepsi mixed land use plan. Pengembangan

penggunaan lahan campuran (mixed use) lebih

memungkinkan dilakukan pencampuran aktifitas kota dalam

satu lokasi (zone), sehingga akan mengurangi kebutuhan akan

prasarana transportasi kota.

Melalui penggunaan campuran ini, beberapa fungsi kota

yang saling endukung dapat terintegrasi, sehingga efesiensi

dan efektifitas daya guna lahan menjadi optimal. Sehingga

konsepsi ini terlihat lebih realistis sejauh dalam pencampuran

aktifitas tersebut tetap diperhatikan kemungkinan saling

mengganggu antar aktifitas bila dicampur dalam satu zone

peruntukan. Acuan pertimbangan utama tetap memegang

kepada kepentingan umum sebagai titik tolak penentu

penggunaan konsepsi mana yang akan digunakan dalam guna

lahan tersebut.

07. lntensitas Kegiatan

Penentuan peruntukan tanah perkotaan harus diikuti

dengan pengarutan intensitas kegiatan yang memungkinkan

ditampung dalam zone atau kawasan tertentu. Penetapan

insentitas kegiatan ini dinyatakan dengan penentuan Floor

Area Ratio (FAR) atau Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dan

ketinggian bangunan.

Penetapan FAR/KLB dan ketinggian bangunan disamping

untuk mengendalikan intensitas kegiatan suatu kawasan juga

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kata


68 Respall 1¥ikantiyoso

berfungsi sebagai kontrol terhadap pengendalian kepadatan

pembangunan suatu kawasan. Perkembangan kota

mempunyai kecenderungan penggunaan maximal pada

daerah pusat yang telah mernpunyai kemudahan fasilitas

pelayanan umum yang lengkap, sehingga intensitas

kegiatannya cenderung tinggi, ha! ini perlu pengendali untuk

dapat mengontrol intensitas ambang yang memungkinkan

pada perkembangan yang akan datang.

Pengaturan intensitas kegiatan pada kawasan kota akan

membawa implikasi fisik berupa perbedaan ketinggian

bangunan pada zone-zone tertentu dimana pada daerah pusat

mempunyai kecenderungan semakin tinggi intensitasnya lihat

contoh pengaturan intensitas kegiatan kawasan kota melalui

pengaturan tata guna lahan dan FAR.

08. Ketentuan Incentive

Tata Guna lahan sebagai perangkat pengendali tentunya

harus mampu berfungsi sebagai pranata pengendali dalam

arti semakin banyak warga yang mengikuti pranata tersebut,

maka semakin berhasil fungsi pengendali berlangsung. Di sini

dituntut suatu mekanisme yang mampu menggerakan

masyarakat untuk dengan kesadaran dapat mentaati

peraturan yang telah ditetapkan. Penggunaan sistem bonus

(incentive), bagi developer atau masyarakat yang memberikan

porsi lebih besar dari ketentuan dalam pemenuhan fasilitas­

fasilitas publik merupakan suatu bentuk upaya untuk

merangsang atau menggairahkan dipatuhinya pranata

pengendali yang telah ditetapkan dalam rancangan kota.

Incentive/bonus yang diberikan merupakan negosiasi

antara pemilik tanah/bangunan atau developer dengan

pemerintah kota, dengan memberikan peluang developer

diperkenankan membangun luas lantai yang diperkenankan

dari ketentuan Zonning yang ada sebagai kompensasi untuk

membangun sarana umum (Danisworo, 1991).

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kola


Respari Wikantiyoso 69

Penetapan incentive sebagai contoh dapat dibandingkan

antara perancangan kota San Fransisco dan kota Seattle.

Bonus atau insentive yang diberikan sebagai kompensasi

penyediaan fasi!itas umum bagi developer atau investor dapat

berupa; Shopping Atrium, Shopping Corridor, Retail Shopping,

Parcel Park, Residential parcel park, Street park, Street

Accessible, Hillclimb, Hill site terrace, Harbourfront, Openspace,

Voluntary building setback, Scluptured building tops, Shortterm

parking, Public display space, Publis atrium Housing dan

sebagainya.

09. Penutup

Pada akhirnya yang terpenting dari upaya suatu

pengendalian adalah implementasi dari usaha tersebut,

sehingga upaya pendukung sperti Bonus/insentive bagi

pengembang yang menerapkan aturan secara positif adalah

salah satu usaha. Jadi pendekatannya bukan hanya dengan

penghukuman bagi yang melanggar tetapi juga harus diikuti

pemberian bonus bagi yang menerapkan peraturan dengan

baik. Ini yang harus dikembangkan kedepan sehingga

masyarakat akan dengan sukarela selalu menggunakan

perangkat pengaturan tata ruang kota sebagai upaya

menciptakan kota yang baik.

Paradigma Perencanaan don Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 71

PERUBAHAN PARADIGMA PEMBANGUNAN DALAM

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI

0 1 . Pengantar

Perubahan diberbagai bidang yang sangat pesat dewasa

iru telah dan akan terus berimplikasi terjadinya perubahan

paradigma dalam berbagai bidang termasuk perubahan

paradigma pembangunan. Indonesia (masyarakat indonesia)

saat ini dituntut untuk mempersiapkan diri dalam ajang

perdagangan bebas dunia yang dimulai dengan kesepakatan

AFTA 2003 dan WTO 2020. Era globalisasi telah dan akan

terus mendorong dan menuntut kita untuk semakin

"terbuka" dan membuka diri terhadap dunia luar. Komunikasi

dan informasi menjadi sangat penting untuk menunjang dan

menghadapi persaingan global. Di sisi lain perkembangan

teknologi informasi yang sedemikian pesat seakan semakin

tidak memberi kesempatan kepada kita untuk

mempersiapkan segala sumber daya yang kita miliki untuk

bersaing di tingkat global.

Perubahan politik, sosial, budaya dan ekonomi yang

terjadi di Indonesia telah berimplikasi sangat luas pada peri

kehidupan masyarakat dalam berbangsa, bernegara,

bermasyarakat, maupun dalam kehidupan sosial-budaya dan

ekonomi. Pelaksanaan Otonomi daerah (OTODA) merupakan

salah satu bentuk perubahan yang semestinya disikapi positif

oleh semua kalangan di daerah sebagai upaya untuk

mempersiapkan potensi daerah pada persaingan lokal,

regional, nasional, bahkan dalam persaingan global. Setiap

daerah harus mampu "rnembuka" diri dalam ha! "menjual"

potensi daerahnya dalam pasar lokal bahkan pada pasar

· global. Pemanfaatan teknologi informasi menjadikan ha! yang

sangat penting dalam rangka mempersiapkan daerah

menjelang pasar bebas.

Pada era global, peningkatan daya saing menjadi ha! yang

utama. Para ahli dan pengamat bahkan Bank Dunia melihat

Paradigma Perencanaon don Perancangan Kota


72 Respati fVikantiyoso

bahwa salah satu faktor penting dalam peningkatan daya

saing adalah pemanfaatan Teknologi lnformasi dalam seluruh

proses usaha (baca; menjual potensi daerah), baik produksi,

distribusi maupun pada konsumsi barang dan jasa. Usaha

yang dialkukan adalah dengan upaya inovasi pemanfaatan

teknologi informasi, mengurangi biaya, meningkatkan

kualitas, dan memperluas jaringan melalui teknologi

informasi. Fenomena yang berkembang saat ini adalah

maraknya e-commerce.

Dari uraian singkat di atas, akan memunculkan

pertanyaan bagaimana memanfaatkan perkembangan

Teknologi lnformasi dalam menyikapi perubahan paradigma

pembangunan menuju pasar bebas ?

02. Pembangunan Sebagai Proses Perubahan Sosial

Pada dasarnya pembangunan adalah proses

meningkatkan kondisi masyarakat kearah yang lebih baik

secara merata. Kalau kita kutip tujuan pembangunan

nasional kita bahwa pembangunan akan menghasilkan

"masyarakat yang sejahtera; adil dan makmur; materiil dan

spirituil" adalah kurang tepat (mungkin sebagi misi

pembangunan). Yang mendekati kebenaran adalah

menghasilkan sebanyak mungkin "anggota" masyarakat yang

sejahtera, adil dan makmur, materiil dan spirituil. Untuk

semakin memeratakan ( ? ) hasil pembangunan saat ini

sedang digulirkan OTODA, yang diharapkan akan mengurangi

kesenjangan pembangunan antar daerah.

Sebagai suatu proses perubahan sosial, tentunya proses

pembangunan akan menyentuh sendi-sendi kehidupan sosial­

budaya masyarakat dengan berbagai potensi, peluang dan

perrnasalahannya. Melalui OTO DA iru diharapkan

pembangunan di daerah akan lebih menyentuh masyarakat

atau berbasis pada masyarakat (community based

development). Ini berarti bahwa penggalian dan pemanfaatan

potensi-potensi sumber daya daerah beserta hasil-hasil nya

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 73

dilakukan oleh daerah yang bersangku tan secara rnandiri dan

profesional.

Menurut Nani S (2000), prinsip community based

development rnengacu pada 5 aspek dasar pengertian sebagai

berikut:

1. Pernbangunan rnasyarakat pada hakikatnya

rnerupakan proses perubahan yang disengaja.

2. Pernbangunan rnasyarakat bertujuan untuk

rneningkatkan taraf hidup rnasyarakat yang

diselaraskan dengan kontribusi dan potensi yang

rnereka rniliki.

3. Pernbangunan rnasyarakat rnengutarnakan

pendayagunaan potensi dan surnber daya seternpat,

yang rneliputi faktor fisik (kekayaan alarn), rnanusia

dan sosial.

4. Masyarakat dalarn pernbangunan bukan sebagai

objek tetapi sebagai subyek yang rnengutarnakan

kreatifitas dan inisiatif. Kornunikasi dan inforrnasi

pernbangunan rnenjadi sangat penting.

5. Pernbagunan rnasyarakat harus rnengedepankan

partisipasi.

Globalisasi dengan salah satu cmnya keterbukaan di

berbagai bidang rnernbawa irnplikasi kepada perubahan arah

keberpihakan pernbangunan sebesar-besarnya untuk

kepentingan rnasyarakat (bukan untuk kepentingan

penguasa). Berkaitan dengan pernbangunan sebagai proses

yang perlu diperhatikan adalah; pernbangunan rnasyarakat

rnerupakan proses perubahan yang partisipatif dengan

rnelibatkan rnasyarakat sebagai subyek yang rnengutarnakan

pendayagunaan potensi dan surnber daya seternpat, serta

bertujuan sebesar-besarnya bagi peningkatan taraf hidup

· rnasyarakat yang perlu dikornunikasikan dan inforrnasikan

(interaktij) secara terus rnenerus.

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


74 Respati Wikantiyoso

03. Era Globalisasi Sebagai Era Digital

Pada era globalisasi Informasi dan komunikasi menjadi

sangat dominan dalam memenuhi segala kebutuhan, bahkan

pada masyarakat moderen telah menjadi suatu kebutuhan

utama. Fenomena ini telah mendorong berbagai perubahan

yang menuntut perlunya paradigma baru dalam

mengantisipasi era globalisasi. Keterbatasan ruang dan waktu

yang membelenggu kemampuan fisk manusia menjadi hilang,

bahkan dunia menjadi tanpa batas ruang dan waktu.

Kemampuan mi didukung dengan pesatnya laju

perkembangan teknologi informasi digital.

Perubahan teknologi informasi berimplikasi pada

perubahan karekteristik masyarakat, sebagai masyarakat

informasi yang berbasis pada pengetahuan. Perubahan

masyarakat industri kepada masyarakat informasi membawa

pengaruh pada perubahan politik, ekonomi, budaya termasuk

di dalamnya perubahan pendidikan. Perkembangan teknologi

informasi ini telah merubah secara drastis (pada masyarakat

moderen) penggunaan internet, E-commerce, E-business, E­

education dan sebagainya. Secara garis besar karakteristik

masyarakat di era digital adalah sebagai berikut:

1. Cepat, kecepatan informasi yang tinggi melalui

jaringan internet seakan menembus batas-batas

kemampuan fisik manusia. Kecepatan informasi ini

menjadi magnet yang sangat kuat dalam

perkembangan penggunaan komersial.

2. Perubahan paradigma baru di berbagi bidang yang

memunculkan kreativitas baru, seperti penciptaan

teknologi informasi yang terus menerus; perubahan

struktur-struktur tradisional, system politik, ekonomi,

sosial dan budaya

cl. Era digital merupakan era Informasi dan komunikasi,

komunikasi melalui jaringan internet memungkinkan

masyarakat memanfaatkan informasi industri,

teknologi, pendidikan, sosial-budaya, entertainment

secara cepat dan mendunia.

Paradigmo Perencanaon dan Perancangan Kota


Respati fVikantiyoso 75

4. Keterbukaan informasi dan komunikasi menjadi salah

satu syarat untuk meningkatkan daya saing di pasar

be bas.

5. Karena sifatnya yang cepat, efisien dan tidak terbatas

ruang (kemampuan fisik lainnya) maka era digital

bersifat ekonomis.

04. Teknologi lnformasi

Teknologi dalam arti yang luas adalah suatu cara untuk

memanfaatkan sumber-sumber daya (resources) menjadi

sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat dalam kehidupan

kesehariannya. Teknologi informasi ialah suatu cara untuk

menggunakan informasi sehingga sumber daya (resource)

menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi masyarakat,

dengan mengolah informasi mengenai sumber daya tersebut

sehingga lebih "laku terjual".

Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat

berimplikasi pada perubahan arah penggunaan media

informasi digital pada aktivitas ekonomi. Era digital teknologi

informasi telah melahirkan bentuk aktivitas ekonomi digital (e­

commerce, electronic money dan sebagainya). Singapore's

Board of Commissioners of Currency (BCC) menyatakan bahwa

electronic money akan dijadikan bukti pembayaran yang sah

untuk semua jenis transaksi di Singapura pada tahun 2008

(http://www.nua.ie/survey). Ekonomi digital sebagai

pengaruh teknologi informasi telah merubah paradigma

perekonomian dunia. Alan Greenspan (1999) mengatakan

bahwa:

"The newest innovations, which we label Information

Technologies, have begun to alter the manner in which

we do business and create values, often in ways not

readily foreseeable even five years ago"

Paradigma Perencanaan don Perancangan Kola


76 Respati Wikantiyoso

Ekonomi digital yang berbasis pada internet dalam

sistem jaringan global memungkinkan dilakukan seluruh

kegiatan ekonomi (internet shopping, financing, security

dealing, advertisements and publication) secara cepat

menembus batas dan waktu. Hubungan bisnis melalui

internet, mampu menghubungkan jaring ke seluruh bagian

dunia tanpa kendala ruang dan waktu. Perubahan

penggunaan media informasi dalam kegiatan ekonomi ini

menyebabkan pergeseran dan perubahan sistem perdagangan

tradisional kepada sistem perdagangan elektronik. Sebagai

perbandingan dibawah ini perbedaan karakteristik perdangan

elektronik (Internet elektronic commerce) dan perdagangan

tradisional.

Tabel 1 . Perbandingan antara transaksi tradisional dan

transaksi melalui internet

Internet Electronic Traditional


Divisions
Commerce Commerce

Business Form/ Internet Cyber Space Physical Space

Time Time no Limit Limited Time

Newspaper,
Internet Marketing
Advertising Magazine, Common
and Telemarketing
Advertisement

Directly
Commercial Form of E-mail, On Line
Transaction, Phone,
Transaction Customer Service
Fax, Mail

Commercial
Computer (Internet) Physical Equipment
Imolement

Implement of Cyber cash, Cash, Check, Credit

settlement Electronic Check Card

Fixed cost Small Size Large size

Marketing staff Onlv a Few Staff Many Staff

Inventory
Real time Time gab
Adiustment

Melihat tabel tersebut terlihat bahwa pemanfaatan internet

electronic commerce mempunyai keunggulan yang kompetitif

dalam liberalisasi perdagangan di era pasar bebas.

Mengutip kembali pertanyaan pada pengantar makalah

mi yaitu; bagaimanakah memanfaatkan perkembangan

Paradignza Perencanaan dan Perancangan Kota


170 Respati iVikanriyoso

sikap arif terse but dapat dilakukan merupakan suatu jawaban

pertemuan di antara potensi dan dilema perancangan kota

kecil.

03. Morfologi sebagai suatu pendekatan

Kajian tentang morfologi "Kota kecil" (baca: pedesaan)

masih sangatjarang kalaupun tidak bisa dikatakan tidak ada.

Kajian yang banyak dilakukan adalah tentang morfologi kota.

Dengan melakukan analogi pendekatan morfologi kota maka

yang membedakan kajian tersebut terletak pada obyek kajian.

Untuk memberikan gambaran tentang pendekatan morfologi

akan diuraikan beberapa pengertian, dan aspek tentang

morfologi. Menurut Bobic, M (1990) dalam bukunya The role of

Time Function in City Spatial Structure Past and Present,

disebutkan bahwa pola morfologi ruang (kota) merupakan

bentukan sepanjang sejarah yang spesifik yang berkembang

secara terus menerus. Menurut J. Burchard (1963) hal yang

perlu diperhatikan secara khusus dalam morfologi adalah:

"Including the values system and technologies of

society . . . . . the ground plan, and the uses of the city, and

the build...... block pattern, the hierarchy of street

relationship and so on"

Morfologi sebagai suatu pendekatan menurut Herbert

( 1 9 7 3 ) , merupakan tinjauan terhadap suatu obyek ruang yang

ditekankan pada bentuk-bentuk fisik lingkungan yang dapat

diamati dari "ketampakan" secara fisik yang antara lain

tercermin pada sistem jalan-jalan, blok-blok bangunan

maupun bukan. "Membaca" fisik lingkungan pedesaan secara

morfologis pada hakekatnya adalah sebagai suatu upaya

untuk memahami potensi yang diakandung oleh sebuah

"desa" bukan hanya sekedar yang dibatasi oleh territory

administratifnya. Seperti yang dikemukaan oleh Conzen

( 1960) analisis morfologi kota didasarkan pada area yang

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati JVikantiyoso 171

secara fisik menunjukkan kenampakan kekotaan (townscape).

Area yang berbatasan dengan area bukan kota disebut sebagai

"built up area". Karena percepatan pertumbuhan setiap bagian

kota tidaklah sama, bahkan sangat bervariasi sehingga

bentuk morfologisnya juga berbeda. Sehingga kelihatannya

cukup relevan jika kita mencoba untuk memahami morfologi

"kota-kota kecil" sebagai upaya untuk melihat potensi-potensi

fisikal lingkungan kota yang dapat diangkat sebagai suatu

asset untuk memberikan "citra" kawasan yang akan kita

rancang.

Beberapa aspek fisik yang harus diperhatikan dalam

kajian morfologi menurut Rudwiarti (2004) adalah (lihat tabel

dibawah); aspek-aspek iklim, site dan lokasi geografis, jalan

umum, kepernilikan privat, ruang terbuka, ruang-ruang

umum, kelompok bangunan, tata guna tanah, tipologi

bangunan, gaya arsitektur bangunan, maupun dekorasi

lingkungan/identitas. Dalam studi morfologi secara

operasional kajian aspek-aspek terse but ditelusuri

keterkaitannya dengan system nilai yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat terse but. Sehingga

kelihatannya cukup relevan jika kita mencoba untuk

memahami morfologi ruang pedesaan sebagai upaya untuk

melihat potensi-potensi , fisik lingkungan desa yang dapat

diangkat sebagai suatu asset untuk memberikan "citra"

kawasan yang akan kita rancang.

04. Morfologi "Kota Kecil" (Pedesaan ? )

Secara fisik, bentuk ruang pedesaan dapat dibedakan

dari lingkungan kota. Perkembangan yang terjadi saat ini

memperlihatkan adanya kecenderungan mengaburnya batas

fisik kota-desa, sehingga kadang-kadang terlihat kota bagian

pinggiran yang mirip desa, dan di desa justru muncul

bangunan meniru gaya di kota. Walaupun dernikian kualitas

fisik/morfologi juga masih dapat dipergunakan sebagai tolok

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


172 Respati Wikantiyoso

ukur untuk menentukan suatu daerah disebut desa atau

kota.

Melihat proses "pembentukan" sebuah desa,

sebenarnya dapat dilakukan melalui dua proses; proses

formal (direncanakan), dan proses non formal (organis,

incremental, spontan dan tidak direncanakan). Dominasi

proses non-formal lebih kental terjadi di pedesaan disamping

proses formal. Secara fisik tentunya wilayah desa berkembang

melalui proses dari sesuatu komunitas "kecil" yang secara

bersama-sama karena memiliki kepentingan, tata nilai yang

sama kemudian "sepakat" untuk membangun lingkungan

fisiknya menjadi sebuah desa. Kekhasan fisik morfologis

suatu desa dalam proses perkembangannya merupakan

potensi yang harus diperhatikan sebagai suatu kesatuan

aspek kehidupan komunitasnya. Pemahaman akan morfologi

(fisikal; topografis, geografis, struktur fisik lingkungan, tata

landskap) tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman aspek­

aspek non-fisik (aktifitas komunitas; nilai-nilai filosofis, sosial­

budaya, ekonomi dan politik).

Walaupun pendekatan morfologi ditekankan pada

pendekatan pemahaman pada aspek fisik bentuk struktur

tata ruang, tetapi aspek non-fisik yang melatarbelakangi

sering menjadi lebih penting diperhatikan karena justru nilai­

nilai filosofis, nilai sosio-kultural, historis dan lainnya dapat

diangkat sebagai suatu "ciri spesifik" lingkungan pedesaan

tersebut. Dalam kajian morfologi, dimensi waktu sangat

memegang peranan dalam proses perkembangan suatu desa,

sehingga aspek historis menjadi sangat penting dalam

pembahasan perkembangan ruang pedesaan. Wujud fisik

lingkungan pedesaan sebagai manifestasi kehidupan non-fisik

pada hakekatnya merupakan "produk budaya" dari

komunitasnya. Dengan demikian sebenarnya pada

masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda

akan mewujudkan bentuk lingkungan fisik ruang pedesaan

yang berbeda pula.

Perkembangan atau "perubahan" sosio-kultural

masyarakat sangat menentukan perubahan wujud fisik ruang

Paradigma Perencanaan don Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 173

pedesaan dalam arti luas. Faktor kemantapan budaya

masyarakat dalam mempertahankan penetrasi budaya luar

dan intensitas pengaruh perubahan merupakan dua faktor

yang sangat menentukan proses perkembangan ruang

pedesaan. Di samping itu faktor-faktor alamiah seperti

keadaan goegrafis, struktur tanah dan sebagainya mempunyai

peran yang sangat penting dalam pertumbuhan dan

perkembangan menjadi sebuah kota kecil.

05. "Urbanisasi" Wilayah Pedesaan

Urbanisasi dalam pengertian suatu "proses" perubahan

menjadi urban (kota), mempunyai makna yang sangat luas.

Urbanisasi dari aspek fisik dapat diartikan proses perubahan

fisik menjadi berkarakteristik urban. Sedangkan dari aspek

non fisik mempunyai makna yang luas antara lain

berubahnya sistem sosial-budaya, sikap hidup, cara hidup,

pandangan maupun kelakuan komunitas pedesaan menjadi

ciri komunitas urban. Proses perubahan ini harus dapat

"dikawal" sehingga tidak terjadi "cultural lag' komunitasnya.

Proses "mengkawal" perubahan ini bisa dilakukan melalui

proses perencanaan dan perancangan. Di sini diperlukan

kehati-hatian dalam perencanaan maupun perancangannya.

Wilayah pedesaan sebagai lingkungan binaan manusia,

sebenarnya merupakan bentuk tatanan kehidupan yang di

dalamnya mengandung unsur fisik spasial (sebagai wadah

aktifitas) dan unsur non-fisik dalam bentuk tata nilai (values)

serta akumulasi aktifitas masyarakat (penduduk). Hal ini

sesuai dengan Bintarto ( 1 9 7 7 ) , yang menyatakan bahwa ada 3

unsur yang pembentuk desa (pedesaan), yakni; daerah

(wilayah/ teritory), penduduk, dan tata kehidupan.

·Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat beserta tata

nilai yang menyertainya akan mempengaruhi perkembangan

pedesaan. Dinamika perkembangan masyarakat pedesaan

akan tercermin pada bentukan fisik dan perilaku sosial

budaya masyarakatnya. Dengan demikian membahas

Paradig,na Perencanaan dan Perancangan Kola


174 Respati Wikantiyoso

perkembangan ruang pedesaan tidak akan teriepas dari

perspektif sejarah terbentuknya desa, maupun aspek-aspek

(fisik dan non fisik) yang melatarbelakanginya.

Perkembangan desa-desa di Indonesia awalnya

merupakan tempat tinggal sementara sekelompok orang yang

memiliki mata pencaharian bersama. Kebiasaan hidup

berpindah-pindah tidak mungkin dilakukan oleh satu

keluarga, sehingga dilakukan secara berkelompok untuk

dapat mengolah/membuka lahan baru di daerah yang baru,

dan menetap sehingga membentuk sebuah desa baru

(Soetardjo, 1964). Desa-desa di Jawa asal mulanya dihuni

oleh orang-orang seketurunan. Mereka memiliki nenek

moyang sama yaitu para "leluhur" pendiri pemukiman yang

bersangkutan. Jika suatu desa kemudian "penuh" (atau

sekelompok penduduk ingin "keluar" dari komunitasnya),

masalah-masalah ekonomi muncul, beberapa keluarga keluar

untuk mendirikan pemukiman baru dengan cara membuka

hutan yang disebut sebagai tetruka. Di Tapanuli pembukaan

desa baru menurut Marbun, sebagian disebabkan oleh

keinginan kelompok baru dalam proses mencapai hak dan

kewajiban sebagai raja adat atau karena tanah desa tidak

memadai lagi menghidupi penghuninya. Desa dimasa lalu

sebagai satu kesatuan yang memiliki kesamaan dalam tiga

hal, yang dalam bahasa Jawa disebut rangkah (wilayah), trah

(keturunan), dan warah (ajaran atau adat).

Sekelompok komunitas (masyarakat) dapat berkembang

menjadi sebuah desa membutuhkan waktu yang sangat lama

dan melalui berbagai tahap perkembangan. Menurut Kusnaedi

(1993) ada 4 tahapan pembentukan sebuah desa yakni tahap

pembentukan kelompok yang mempunyai kepentingan sama

baik lahir maupun batin (unity of community), tahap

pembentukan kesatuan hukum (unity of nonnative), tahap

kesatuan organisasi atau kepemimpinan (unity o


f leadership),

dan tahap pembentukan kesatuan wilayah (unity of

geography). Melihat tahapan-tahapan tersebut jelas bahwa

pembentukan sebuah desa merupakan "proses" masyarakat

yang sangat panjang.

Paradignta Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 1 7 5

Menurut Bintarto ( 1977) dalam bukunya Geografi Desa

(Suatu Pengantar) disebutkan bahwa desa memiliki 3 unsur

yakni; daerah, penduduk dan tata kehidupan. Ketiga unsur

ini merupakan satu kesatuan hidup atau "living unit". Daerah

menyediakan sumberdaya yang menyediakan kemungkinan

hidup, penduduk memanfaatkan sumberdaya daerah untuk

mempertahankan hidup. Disisi lain tata kehidupan

memberikan jaminan akan ketenteraman dan keserasian

hidup bersama di desa. Lebih Janjut Bintarto menerangkan

bahwa maju mundurnya suatu desa tergantung pada tiga

unsur ini yang ditentukan oleh faktor usaha manusia atau

"human efforts" dan tata geografi atau "geographycal setting".

Suatu daerah (desa) dapat berarti bagi penduduknya apabila

ada usaha manusia (human efforts) untuk memanfaatkan

daerahnya.

Perkembangan desa satu dengan desa lainnya tidaklah

sama, karena tiap desa memiliki geographycal setting dan

human effort yang berbeda-beda, sehingga tingkat

kemakmuran dan tingkat kemajuan penduduk juga tidak

sama. Kondisi inilah yang harus dikaji dari sebuah desa

dalam rangka upaya pengembangannya. Apa potensi-potensi

yang dikandung dalam geographycal setting dan human efforts

serta permasalahan-permasalahan dalam pemanfaatan dan

pengembangannya. Unsur Jain yang juga sangat menentukan

dalam perkembangan pedesaan adalah faktor Jokasi atau letak

desa. Desa-desa yang terletak di perbatasan perkotaan,

mempunyai kemungkinan berkembang yang lebih banyak

daripada desa-desa di pedalaman. Hal ini terjadi karena

adanya pengaruh interaksi Desa-Kota.

Aspek sosial pedesaan mempunyai peran yang

dominan, dari aspek kehidupan sosial dapat dibedakan ciri

kehidupan sosial pedesaan dan ciri kehidupan kota, sehingga

'dengan melihat aspek sosial masyarakatnya dapat di tentukan

suatu wilayah yang dapat disebut sebagai desa atau bukan.

Dasar perbedaan kehidupan sosial masyarakat kota dan

pedesaan ini ter!etak pada perbedaan gaya-hidup agraris di

pedesaan dan kegiatan perdagangan, niaga dan industri di

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


176 Respati Wikantiyoso

kota. Akan tetapi pada perkembangannya, pedesaan di negara

maju bersifat semakin urban hal ini sebagai akibat dari makin

meningkatnya sarana dan prasarana lalu-lintas dan

komunikasi sehingga perbedaan ciri kehidupan des-kota

semakin berkurang. Adanya pengaruh kehidupan perkotaan

yang semakin besar, di pedesaan yang berbatasan dengan

kota muncul hubungan khas urban dan mentalitas urban

orang pedesaan mulai muncul, sehingga timbul di pedesaan

keluarga modern yang merupakan cm bagi golongan

menengah yang ada di kota.

06. Catatan Penutup

Beberapa catatan kecil yang dapat disarikan dari diskusi

di atas adalah antara lain; ( 1 ) bahwa di era OTODA membuka

peluang daerah untuk melakukan perencaaan dan

perancangan sampai kepada satuan wilayah terkecil; (2)

kebijakan otonomi yang memberikan peluang kepada

"pengelolan" wilayah pe-Desa-an seperti tersurat dalam UU no

32 tahun 2004; (3) perancangan kota kecil harus mempunyai

orientasi pada pembangunan (development orientatiions),

konservasi (conservation orientations) dan komunitas

(community orientations), untuk menjamin keberlanjutan

(sustainability) pembangunan dalam arti luas; (4) Pendekatan

morfologi merupakan salah satu pendekatan yang dapat

membantu kita untuk Jebih memberikan nuansa

kontekstualitas dan menjaga lokalitas yang mampu menganali

entitas Jokalitas; (5) Keberagaman karakteristik pedesaan

menjadi semakin menarik untuk Jebih mengenal lebih jauh

potensi-potensi fisik ruang dan non-fisik (social system, value

system, local technology, indigenious knowledge) yang dapat

diangkat sebagai nilai identitas dan memperkuat ciri lokalitas

sebuah kota kecil.

Paradignta Perencanaan dan Perancangan Kora


Respati Wikanriyoso 177

07. Daftar bacaan

Butina, G., 1986, Research Issues in the Evolution of Urban

Fann, Research Notes, JCUD, Oxford Polytechnic,

September.

Conzen, M.R.G., 1969, Alnwick, Northumberland: a Study in

Town-plan Analysis, London: Institute of British

Geographers.

Cullen, G., 1971, The Concise Townscape, (New E d . ) , London:

Architectural Press.

Gill, Ronald ( 1 9 9 5 ) , De Indische Stad op Java En Madura: Een

Morfologische Studie van Haar Ontwikkeling, Den Hag.

Lynch, K., 1960, The Image of the City, London: M.I.T. Press.

M A Eben Saleh (1995), Al-Alkhalaf The Urban History of a

Traditional Settlement in Southwestern Saudi Arabia, in

Habitat International vol. 19, No 1, pp. 29-52, great

Britain; Pergamon.

Madanipour, A., 1996, Design of Urban Space: an Inquiry into

Socio-spatial Process, Chichester: Wiley.

Moudon, A.V., 1997, "Urban Morphology as Emerging

Interdisciplinary Field", Urban Morphology, Journal of

the International Seminar on Urban form, Vol. I, pp. 3

- 10.

Nas, PJM. (1979), Kota di Dunia Ketiga, Jakarta: Bhratara.

Rudwiarti, Lucia Asdra (2004)., Theoretical Framwork for

Analysing The Urban Fann In Yogyakarta, Dalam

Jurnal Ilmu Teknik DIAGONAL V, No. I , hal 71-90,

Bulan Februari tahun 2004, , Malang Fakultas Teknik

Universitas Merdeka Malang.

Samuels, I., 1985, Urban Morphology in Design, Urban

Morphology in Developed Countries, Research Note 19,

Joint Centre for Urban Design, Oxford Polytechnic,

August 1985.

Shirvani, H., 1985, The Urban Design Process, New York: Van

Nostrand Reinhold.

Strike, James (1994), Architecture in Conservation; Managing

Development at Historic Sites, London; Routledge.

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


178 Respati Wikantiyoso

Tibbalds, F., 1992, Making People-Friendly Towns: Improving

The Public Environment In Towns and Cities, Harlow:

Longman Group UK.

Wikantiyoso, R ( 1 9 9 9 ) , The Urban Morphology; Approach to The

Development Concept in Traditional setting (Case study:

Spatial Formation Pattern Study of the Javanese

traditional Settlement in Kotagede, Yogyakarta­

Indonesia), Paper Presentation at the 4th APSA (Asian

Planning Scholl Association) International Congress,

Bandung: !TB.

Wikantiyoso, R ( 1999), Prinsip-Prinsip Perencanaan dan

Perancangan Kata, Malang: Grup Konservasi

Arsitektur dan Kota, Jurusan Arsitektur Unmer.

Yunus, Hadi Sabari (2001), Strukur Tata Ruang Kata,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 179

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PADA

PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PERKOTAAN

0 1 . Pengantar

Perkembangan kota merupakan suatu konsekwensi Jogis

dari proses urbanisasi yang berdampak pada perubahan fisik

tata ruang kota. Perencanaan dan perancangan kawasan

khusus ispesific setting) di perkotaan menghadapi

permasalahan pengembangan yang sangat kompleks. Proses

penyusunan rancangan rencana kawasan saat ini dilakukan

dengan proses analisis manual data fisik spasial yang

merniliki keterbatasan operasional dalam mengelolaan data

kawasan. Keterbatasan mi mengakibatkan analisis

perencanaan kawasan dan pengambilan keputusan

perancangan tidak optimal.

Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan

dalam perencanaan dan perancangan kawasan sebagai

perangkat sistem pangkalan data ( data base). Sistem

pangkalan data dituntut dapat menyediakan data fisik

kawasan yang akurat, lengkap dan konprehensif sesuai

dengan kebutuhan analisis pengembangan fisik kawasan

(Yaakup, 1998). Menurut Yaakup (1997), SIG mampu

membuat analisis dan memberikan output dari berbagai jenis

data dan dapat diintegrasikan dengan pangkalan data dan

perangkat Junak lain (external packages). Data penginderaan

jauh (remote sensing image) dapat digunakan untuk

mengidentifikasi perkembangan fisik yang cepat pada

kawasan berkepadatan tinggi di kota dengan akurasi tinggi

(Gastellu-Etchegorry, 1987).

Paper ini mendiskusikan tentang aplikasi SIG yang akan

memberikan gambaran aplikasi SIG dalam perencanaan dan

perancangan perkotaan yang meliputi aspek: (1) Penyiapan

data dalam sistem pangkalan data yang diperlukan dalam

proses perencanaan dan perancangan perkotaan. (2)

Pendekatan analisis potensi kawasan dan simulasi

Porodigma Perencanaan dan Perancangan Kola


180 Re::.pati JYikantiyoso

pemanfaatan data base sebagai sistem penunjang

perencanaan dan perancangan (Planning and Design Support

System). (3) Penyiapan teknologi (perangkat keras dan

perangkat lunak) dalam proses perencanaan dan

perancangan, untuk menyiapkan alat bantu komputerisasi

sistem pengambilan keputusan (Decision Support System)

dalam proses perencanaan dan perancangan perkotaan.

Model pendekatan perencanaan dan perancangan kota

dengan aplikasi SIG dapat menjamin keberlanjutan

perkembangan (sustainable development) kawasan karena

akurasi dan validitas pengumpulan data kawasan yang tinggi.

Model penyediaan pangkalan data dengan aplikasi SIG, dapat

menjadi suatu pendekatan baru dalam proses perencanaan

dan perancangan pengembangan perkotaan yang effisien dan

rasional. Melalui perbandingan hasil perencanaan kawasan

kajian melalui model pendekatan menggunakan aplikasi SIG

dengan produk perencanaan dan perancangan seperti

tertuang dalam RTRK atau RDTRK, akan membuktikan

keunggulan model ini.Karena sifatnya yang dinamis, aplikasi

SIG memungkinkan sistem ini berfungsi dalam proses

perencanaan, pengawasan pengembangan, panduan rancang

kota, serta kontrol implementasi rencana oleh praktisi

maupun Pemda.

02. Lingkup Bahasan

Pembahasan dititik beratkan kepada aplikasi Sistem

Informasi Geografis (SIG) dalam perencanaan dan

perancangan perkotaan sebagai suatu model penyedia

pangkalan data pada obyek kajian. Permasalahan proses

perencanaan dan perancangan kota saat ini berada pada

manajernen pengelolaan dan pengolahan data sebagai

masalah krusial pengembangan kawasan. Hasil yang

diharapkan dari pembahasan ini adalah suatu bentuk model

pendekatan perencanaan dan perancangan perkotaan dengan

menggunakan aplikasi SIG. Aplikasi SIG merupakan medium

Parodigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati 1Vikantiyoso 181

untuk menyediakan data fisik kawasan kota yang rinci,

akurat, valid serta konprehensif sesuai dengan kebutuhan

analisis pengembangan kawasan perkotaan. Tujuan khusus

pembahasan ini adalah memberikan gambaran penggunaan

aplikasi SIG dalam perencanaan dan perancangan perkotaan

yang meliputi aspek:

(a) Persiapan data dalam sistem pangkalan data yang

diperlukan dalam proses perencanaan, yang meliputi data

fisik morfologi, historis, pemanfaatan ruang kawasan,

lingkungan alam dan atau buatan, sosial-budaya dan

ekonomi, dan sebagainya.

(b) Pendekatan analisis potensi kawasan dan simulasi

pemanfaatan pangkalan data sebagai sistem penunjang

perencanaan dan perancangan (Planning and Design

Support System) kawasan.

(c) Persiapan teknologi (perangkat keras dan perangkat lunak)

dalam proses perencanaan kawasan, untuk menyiapkan

alat bantu komputerisasi sistem pengambilan keputusan

(decision support system) dalam perencanaan kawasan.

Penggunaan data penginderaan jauh (remote sensing)

dalam bentuk data analog maupun data digital, serta

dimungkinkannya updating data secara berkelanjutan

memungkinkan sistem ini berfungsi sebagai perangkat kontrol

dan pengendali perkembangan perkotaan (planning and

monitoring urban development). Model 1111 merupakan

pendekatan baru dengan memanfaatkan teknologi di bidang

penginderaan jauh dan perangkat lunak sistem informasi

geografi. Penggunaan model pendekatan perencanaan kota ini

bertujuan untuk mengendalikan perubahan kawasan yang

bersistem, Sebagai sebuah sistem proses pengembangan

kawasan harus meliputi aspek manajemen (managing),

perencanaan (planning), pengendalian atau kontrol

(controlling), dan implementatif dalam pelaksanaan rencana

(actuating). Sistem informasi geografis (SIG) dapat mencakup

keempat aspek tersebut dalam sebuah sistem proses

Paradig,na Perencanaan dan Perancangan Kola


182
Respati IViknntiyoso

perencanaan pengembangan kota, sehingga hasil perencanaan

dan perancangan lebih rasional dan implementatif.

03. Pengembangan Kawasan Perkotaan Sebagai Suatu

Proses

Perencanaan dan perancangan pengembangan kawasan

kota menjadi hal yang sangat penting sebagai perangkat

pengendali perkembangan kota (Shirvani, 1981). Sebagai

perangkat pengendali perkembangan kawasan produk

rancangan rencana pengembangan menjadi penting untuk

memberikan suatu bentuk peraturan (guidelines) yang sesuai

dengan kondisi kawasan. Kenyataan lapangan menunjukkan

bahwa penyusunan rancangan rencana pengembangan kota

sering ditemukan tidak akuratnya data lapangan, karena

tidak didasarkan pada fakta konkrit lapangan (data primer

dan sekundair). Hal ini berakibat pada ineffisiensi rancangan

rencana karena menjadi tidak aplikatif (Wikantiyoso, 1997).

Kendala mi menuntut digunakannya suatu sistem

informasi yang dapat mengintegrasikan berbagai data

lapangan kedalam suatu sistem proses penyusunan

rancangan rencana. Sistem lnformasi Geografis merupakan

suatu sistem yang dapat menjembatani keterbatanan analisis

ruang dan berbagai informasi yang berkaitan dengan potensi

kawasan. Sebagai suatu sistem, tentunya perlu dilakukan

penyesuaian terhadap proses serta aspek yang ada di dalam

suatu mekanisme dan operasionalisasi proses penyusunan

rancangan rencana, beserta kriteria dan strategi

pengembangan kawasan.

04. Sistem Informasi Dalam Perencanaan dan Perancangan

Perkotaan

Perencanaan dan perancangan kota mempunyai sifat

yang sangat dinamik. Ini berarti sebagai suatu proses formal,

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 183

perencanaan dan perancangan kota merupakan suatu proses

yang bersinambung (continuity in change). Aktivitas

perencanaan dan perancangan sebagai suatu proses perlu

dilakukan secara berkelanjutan dan komprehensif

(McLaughlin, 1969; Chadwick, 1971). Proses ini hanya bisa

berlangsung apabila didukung oleh tersedianya data yang

lengkap, rinci, serta selalu terpelihara validitas serta

akurasinya.

Kualitas rancangan rencana yang dihasilkan sangat

ditentukan oleh kualitas data atau informasi yang baik dan

lengkap. Calkins ( 1 9 7 2 ) menyatakan bahwa:

" perancangan yang baik hanya akan dapat dicapai

melalui informasi yang baik, dan informasi yang

baik seharusnya datang dari sebuah sistem

informasi yang mantap"

Menurut Yaakup (1997), fungsi utama sistem informasi

sebagai sistem penyokong data (data supporting system) dalam

proses perancangan, dapat dibedakan kedalam 3 fungsi, yaitu:

a) Fungsi deskriptif, informasi harus dapat memberikan

gambaran yang obyektif dan lengkap dan mampu

menggambarkan situasi dan skenario terkini.

b) Fungsi kognitif, sistem informasi harus dapat

menyumbang dan memberikan gambaran peningkatan

pemahaman terhadap permasalahan perkotaan.

Sistem yang mampu memberikan gambaran faktor­

faktor dan variabel yang dapat dianalisis dengan

kaedah permodelan kota, serta dengan teknik

statistikal, dll.

c) Fungsi normatif, sistem informasi harus dapat

memperbaiki action planning dan strategi perencanaan

(strategic planning), sehingga akan meminimalkan

dampak negatif dari suatu rancangan rencana

kawasan perkotaan.

Aktivitas penyusunan rancangan rencana sebagai suatu

bentuk rencana "intervensi fisik" suatu kawasan akan

berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya fisik kawasan.

Paradign,a Perencanaan don Perancangan Kota


184 Respati 11'ikantiyoso

Manajemen dan sistem pengelolaan data harus mampu

menyediakan data yang siap dan mudah dilakukan

"manipulasi" data sesuai dengan kebutuhan penyusunan

rancangan rencana pengembangan perkotaan. Melalui

sokongan data yang konprehensif dan akurat maka rancangan

rencana sebagai suatu bentuk keputusan pengembangan

dapat lebih rasional dan obyektif.

Sistem Informasi Geografis (SIG) memungkinkan data­

data fisik perkotaan yang tertuang dalam bentuk data sapatial

ruang dapat disimpan dan diproses dalam bentuk primer,

sehingga analisis akan lebih kuantitatif dan rasional (Yaakup,

1997). Sehingga SIG sesuai untuk menangai penyediaan data

perencanaan kawasan yang sebagian besar berupa data

spasial yang berbasis pada data pemanfaatan sumberdaya

ruang kota.

06. Sistem lnformasi Geografis (SIG)

Pengertian SIG yang sering digunakan dan banyak

diterima berbagai pihak adalah pengertian yang digunan oleh

the National Science Foundation (NSF), yaitu:

"A computerized database management system for

capture, storage, retrieval, analyzing and display of

spatial data or information defined by its location"

SIG dapat dipahami sebagai; "any manual or computer

based set of procedure" (Aronoff, 1984) yang digunakan untuk

menyimpan dan mengolah data yang berbasis pada data

geografi. SIG memberikan kemudahan dan mampu mengolah

data kartografi digital dan pangkalan data informasi atribut

yangberkaitan sebagai suatu peta atau rencana. SIG mampu

menyimpan data di dalam koordinat peta dalam lokasi titik,

garis dan area. Informasi peta digital dan pangkalan data

atributnya oleh SIG dapat diolah secara serentak.

Kemampuan ini sangat membantu bagi penyusunan data-data

Parodigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati Wikanti)'oso 185

kawasan pengembangan yang sangat vital bagi penyusunan

sebuah rancangan rencana pengembangan kawasan kota.

Sub sitem utama SIG meliputi: (1) input dan

pengumpulan data, (2) penyimpanan dan penyediaan data, (3)

analisis, dan (4) output dan penyedia informasi. Di samping

itu SIG juga dapat memanfaatkan paket luar sistem (external

packages) untuk membantu sub-sistemnya melakukan

operasi-operasi tertentu (lihat diagram 1). Tumpuan utama

dalam pengolahan dan analisis SIG adalah fungsi-fungsi

tumpang susun peta (map overlay), analisa jaringan (network

analysis), neighbourhood, dan koneksitas (conectivity).

Kemampuan SIG dalam pemrosesan data antara lain;

pendigitan ( digitizing) update data digital, penghasil peta dan

pemaparan informasi dalam peta, kajian lapangan, foto udara

dan citra satelit. Penggunaan SIG memungkinkan variasi data

dari berbagai sumber ini dipadukan di dalam informasi

geografis (mapping) yang sama dan memberikan informasi

terbaru untuk tujuan perencanaan dan perancangan kota.

Diagram 1 menunjukkan bahwa SIG mempunyai

keunggulan sebagai pangkalan data yang berbasis spasial

ruang kawasan. Keunggulan tersebut antara lain:

a) mempunyai fungsi "toolbox" dalam setiap tingkatan

pemrosesan data ruang.

b) dapat menangani dan memadukan dua jenis data

(digital dan pangkalan data) yang terkait dalam setiap

gambar peta.

c) memungkinkan mengolah data dari berbagai sumber

data, dan dipadukan sesuai dengan kebutuhan

analisis ruang (peta) di dalam satu sistem yang

terintegrasi.

d) menunjang proses analisis ruang tergabung dalam

peta digital.

Penggunaan SIG dapat meningkatkan rasionalitas dalam

penyusunan rancangan rencana pengembangan kawasan

kota, karena sistem ini dapat menjamin ketepatan data dan

kecepatan pengambilan keputusan.

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


186 Respatt IVikanriyoso

07. Sistem Informasi Geografis dalam Proses Perencanaan

dan Perancangan

Data ruang sangat penting dan menentukan dalam

menyusun strategi pembangunan dalam rancangan

pembangunan. Proses penyusunan rancangan rencana

memerlukan suatu bank data ruang yang dapat

menggambarkan fakta-fakta fisik, sosial-budaya dan ekonomi,

serta trend atau kecenderungan perubahan fisik kota.

Kemampuan analisis SIG dapat membantu bagi menentukan

keputusan rancangan rencana yang optimal. Ini berarti pada

pengembangan kawasan khusus ispesific setting) seperti

historic site dan setting kawasan tradisional memerlukan data

yang lebih kompleks dibandingkan dengan kawasan kota

lainnya. Penyusunan rancangan kawasan khusus

memerlukan pendalaman aspek kajian dan data lapangan

yang lebih kompleks. Aspek-aspek tersebut sifatnya adalah

spesifik (locality), dimana data banyak berbentuk data spasial

ruang (geografis). Validitas dan akurasi data sangat

diperlukan dalam penyusunan rancangan rencana. Data

detail fisik morfologi kawasan terbaru merupakan syarat

utama data pengembangan.

Data SPOT image digital maupun data photografi SPOT

kawasan terbaru dengan ditunjang oleh field data, dapat

dipakai untuk membuat peta-peta analisis yang digunakan

sebagai dasar analisis ruang kawasan (Gastellu-Etchegorry,

1987). ldentifikasi keadaan fisik kawasan (mapping) dapat

dilakukan dengan analisis digital dan atau analisis photografi

(aerial photograph) secara manual (Gastellu-Etchegorry, 1987).

Pada skala yang lebih detail data otho photo digital sangat

membantu untuk mengidentifikasi keadaan fisik lingkungan

banguna kawasan kajian. lnformasi yang rinci pada setiap

persil kawasan sangat diperlukan dalam penyusunan

rancangan rencana kawasan. Data ini sangat penting karena

kawasan Kotagede sebagai kawasan kajian merupakan

kawasan yang mempunyai persil-persil yang secara historis

Parndig,na Perencanaan dan Perancangan Kota


1
Respati H ikantiyoso 187

dan sosial budaya dilindungi oleh ketentuan undang-undang

cagar budaya.

Aplikasi SIG memungkinkan menghasilkan informasi

guna tanah tertentu dan menghitung luasan kawasan

berdasarkan suatu kaedah tertentu (de Bruijn, 1990).

Sehingga dapat ditentukan dengan tepat daerah mana untuk

zon apa, serta keterkaitannya dengan aktifitas komunitas

secara makro. Aplikasi SIG perlu menggunakan pendekatan

yang menyeluruh (keseluruahan aspek dan aspek

keseluruhan pengembangan fisik) yang mempertimbangkan

masalah tersedianya data, kemampuan penggunaan komputer

dan manajemen.

Keperluan perangkat keras dan perangkat lunak SIG

tergantung kepada keperluan dan tujuan pembangunan SIG

untuk pengembangan kawasan perkotaan dengan

memperhitungkan faktor-faktor kelebihan sistem,

kemampuan pemrosesan data, kemampuan melakukan fungsi

data entry, manajemen data, sampai pada analisis dan

pemaparan hasil. Menurut Brail ( 1990). penggunaan SIG

sebagai peralatan penunjang perancangan dan manajemen

data mengandung kelemahan seperti dalam penilaian dan

perhubungan pengguna (user interface). Untuk mengatasi

keterbatasan ini perlu dipadukan dengan sistem pengambil

keputusan (Decision Support System) yang lain yang

berdasarkan pada model matematik dan sistem pakar (Expert

System) yang berdasar pada logika dan model perancangan

operasi. Sehingga aplikasi SIG dapat berfungsi sebagai suatu

sistem penyangga perencanaan (Harris, 1993; Huang, 1997;

dan Yaakup, 1997).

08. Analisis Kemapuan SIG dalam Proses Rancang

Perkotaan

Pendekatan deskriptif analitis dilakukan untuk

menentukan dan menguraikan aspek-aspek serta

karakteristik sistem informasi geografis yang sesuai dengan

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


188 Respati Wikantiyoso

tuntutan kebutuhan. Sehingga dihasilkan suatu bentuk model

aplikasi SIG untuk diuji coba (simulasi) pada proses

perencanaan dan perancangan. Untuk analisis kemampuan

SIG dalam perencanaan dan perancangan perkotaan perlu

dilakukan simulasi pada pengembangan kawasan khusus.

Faktor tersedianya data (hasil penelitian serta pengalaman

penelitian) di kawasan, kompleksitas masalah, serta

tersedianya akses data digital dan data fotografi menjadi

faktor yang menentukan pemilihan lokasi penelitian.

Analisis deskriptif didasarkan pada kajian teori terhadap

kemampuan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam proses

perencanaan dan perancangan kota. Kajian mengenai aspek

perencanaan dan pengembangan kota untuk menentukan

kriteria serta aspek yang diperlukan dalam input data, analisis

serta sistem output analisis dalam aplikasi SIG. Analisis

kemampuan SIG serta kelemahannya diperlukan untuk

mengoptimalkan aplikasi SIG sebagai sistem penunjang

keputusan dan sistem pakar dalam proses perancangan kota

(Harris, 1993). Ini dilakukan dengan simulasi penggunaan

model serta perbandingan hasil kajian dengan produk

perencanaan yang telah dilakukan di Jokasi perencanaan

seperti RTRK dan RDTRK. Pendekatan dan proses

pelaksanaan penelitian aplikasi SIG pada perencanaan dan

perancangan perkotaan.

09. Disain Pangkalan Data Kawasan Kajian

Dalam penyusunan pangkalan data perlu diperhatikan

beberapa ha! yang berkaitan dengan fakta kawasan yang

berkaitan dengan:

a) Sumber, struktur dan akurasi data

b) Kategori, karakter dan aplikasi tematik data dalam

pangkalan data

c) Kesesuaian program pengolah data.

Ketiga aspek tersebut disesuaikan dengan kebutuhan

dalam proses perencanaan dan perancangan kawasan. Secara

Paradigma Perencanaan don Perancangan Kora


Respati fVikantiyoso
189

garis besar kerangka analisis operasional pangkalan data

dalam proses perencanaan kawasan kajian dapat dilihat pada

Diagram 3. Berdasarkan karakter data yang akan dipakai

sebagai data input dalam pangkalan data, dapat dibedakan

atas:

a) Data penginderaan jauh (remote sensing), digital data

image TM data dan SPOT data. Untuk meningkatkan

akurasi hasil analisis maka diperlukan data SPOT

dan TM terbaru, yaitu TM dan SPOT tahun 2000.

Untuk analisis Pola Tata Ruang Permukiman

diperlukan data yang lebih detail, penggunaan data

digital Ortho Photo sangat membantu proses

penyusunan panduan rancang kota. Pemetaan

dilakukan dengan interpretasi foto (photo­

interpretation) SPOT XS akan lebih mudah dilakukan

dibanding dengan analisa spektral SPOT data

walaupun akan lebih lama (Gastellu-Etchegorry,

1987). Data SPOT image terbaru dipesan khusus ke

SPOT image distributor dan atau melalui PUSPICS.

b) Photography image data dan foto udara (aerial

photograph), dengan skala yang lebih detail,

memungkinkan menganalisa struktur pola tata ruang

lingkungan bagunan. Dengan menggunakan

stereoskop dapat dianalisis struktur jaringan jalan

dan akses lingkungan. Hasil interpretasi foto udara

kemudian dipetakan dan didigitasi sebagai data input

yang siap di masukkan dalam pangkalan data dalam

SIG.

c) Data berupa peta-peta hasil kajian seperti peta guna

tanah , kepemilikan kapling, rencana pengambangan

melalui proses digitalisasi data data mi

memungkinkan untuk dianalisis dan digabungkan

dengan data-data lainnya dengan mudah.

Penggunaan multi layer data penggunaan peta digital

sangat membantu proses analisis kawasan. Selain

mempercepat proses perencanaan metode ini sangat

membantu untuk updating data dalam sistem

Paradigma Perencanaon dt111 Perancangan Kota


190 Respati JVikantiyoso

pangkalan data. Proses pembaharuan data entry

dapat disesuaikan dan atau dilakukan setiap terjadi

perubahan selama proses perkembangan kawasan.

Perubahan tersebut bisa karena pelaksanaan

rencana kota (formal) maupun yang menyimpang

(ilegal). Dengan demikian aplikasi SIG sebenarnya

bisa berlaku sebagai pengendali sistern

perkembangan (kontrol, pemandu) kawasan

perkotaan.

d) Data-data statistik yang berkaitan dengan kondisi

dan perkembangan sosial-budaya dan ekonomi

komunitas kawasan.

e) Data image (foto-foto) kawasan, serta hasil kajian dan

penelitian yang bersifat deskriptif.

Evaluasi terhadap kinerja model aplikasi SIG dalam

perencanaan dan perancangan perkotaan dilakukan dengan

simulasi proses rancang dan membandingkan hasil proses

rancang dengan hasil perencanaan yang telah ada.

Perbandingan hasil ini lebih ditekankan kepada rasionalitas

hasil perencanaan dan kesesuaian hasil rencana dengan fakta

data fisik kawasan. Kriteria evaluasi kinerja model aplikasi

SIG antara lain dilakukan melalui evaluasi hal-hal sebagai

berikut:

a) Ketidak sesuaian rencana dengan konstrain ketentuan

(area konservasi misalnya) merupakan salah satu

kriteria penilaian kesesuaian (rasionalitas) hasil

perencanaan.

b) Konsistensi antara aspek perencanaan yang satu

dengan aspek lainnya. Inkonsistensi bisa terjadi jika

dalam satu persil (lot) kawasan belaku ketentuan yang

berbeda atau bertolak belakang dalam keputusan

perencanaan dan perancangan kawasan.

c] Keselarasan tingkatan perencanaan kawasan, antara

produk perencanaan makro (RTRK) dengan

perencanaan yang bersifat detail pengembangan

kawasan (RDTRK). Ketidak selarasan perencanaan

Poradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 191

untuk mengevaluasi kontrol serta sistem manajemen

pengembangan kawasan kota, sebagai salah satu

kelebihan aplikasi SIG dalam proses perencanaan dan

perancangan kota.

d) Validitas dan akurasi data serta peta rencana yang

dihasilkan dalam proses perencanaan dan

perancangan kota serta kemungkinan updating

sebagai kontrol terhadap pelaksanaan rancangan

rencana secara periodik.

Melalui data-data yang telah disusun dalam pengkalan

data ini, maka proses perencanaan akan lebih mudah untuk

dilakukan. Semua informasi telah disusun dalam data digital

sehingga keputusan perencanaan dan perancangan kawasan

akan dengan mudah terkawal.

10. Daftar Pustaka

Aronoff, S. And Ross, G.A (1984), Use of Remotly Sensed Data

in Enviromental Planning, Journal of Environmental

Manajement, 19:1-14.

Brail, R.K. ( 1 9 9 0 ) , Integrating GIS into Urban and Regional

Planning; Alternative Approach for Developing Countries,

Regional Development Dialogue, Vol. II, No.3, p. 63-77.

Calkins, H. W. ( 1972), An Information System and monitoring

Framework for Plan Implementation, Tesis Ph.D. tidak

dipublikasikan, University of Washington.

Chadwick, G. ( 1 9 7 2 ) , A System View of Planning, Oxford:

Pergamon

De Bruijn, C.A. ( 1 9 9 0 ) , New System, Other Methods; The

Introduction of LIS and SIG in Urban Planning, Regional

Development Dialogue, Vol. II, No. 3 p. 9 5 - 1 1 9 .

Ehles, Manfred ( 1 9 9 5 ) , Advanced Technologies for Sustainable

Development in Developing Countries; The role of GIS and

Remote Sensing. Dalam Prosiding International

Symposuim on Remote Sensing GIS and global

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


192 Respati JYikantiyoso

Positioning System in Sustainable Development and

Environmental Monitoring, Volume 2, Hongkong:

Geoinformatic'95.

Gastellu, Etchegorry, JP ( 1 9 8 7 ) , Remote Sensing with SPOT; An

assessment of SPOT capability in Indonesia, Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Huang, B ( 1 9 9 7 ) , Integration of Expert System (ES) and

Geographic Information System (SIG) for Zonning

Manajement in Wenzhou, China, Proceedings of GIS

AM/FM Asia'97 & Geoinformatics'97: Mapping the

Future Asia Pasific, Vol. l . p p . 2 2 1 - 2 2 0 .

Shirvani, Hamid ( 1 9 8 1 ) . Urban Design Review: A Guide for

Planner. Washington D . C . : Planner Press.

Sutanto ( 1 9 9 9 ) , Remote Sensing for Urban Study and Land

Use Planning, Development of its aplokaion with the aid

of Geographic Information System, Final Report

Graduate Research Team Project, Faculty og Geography,

Gadjah Mada University.

Way, Douglas, S. ( 1 9 9 5 ) , Geographic Information System for

national Physical Planning; A design prototype for the

United State, Dalam Prosiding International Symposuim

on Remote Sensing GIS and global Positioning System

in Sustainable Development and Environmental

Monitoring, Volume 2, Hongkong: Geoinformatic'95.

Wikantiyoso, R ( 1 9 9 9 ) . The Concept of Harmonious Urban

Settlement: Lessons from Traditional Javanese

Settlement Pattern of Kotagede, Yogyakarta. Indonesia.

Paper presentation for the 5th International Congress of

Asian Planning School Association, on Retrospect and

prospect of planning in Asia at the turn the Century,

Seoul, Korea: Hoam Faculty House, Seoul National

University, 8 - 1 0 September 1999.

Wikantiyoso, R ( 1997), Prinsip-Prinsip Perencanaan dan

Perancangan Kata, Malang: Grup Konservasi Arsitektur

dan Kata.

Yaakup, Ahris ( 1 9 9 5 ) , Incorporating GIS into Sustainable

Urban and Regional planning; The Malaysian case.

Paradigmo Perencanaan dun Perancangan Kata


Respati JVikantiyoso 193

Dalam Prosiding International Symposuim on Remote

Sensing SIG and global Positioning System in

Sustainable Development and Environmental Monitoring,

Volume 2, Hongkong: Geoinformatic'95.

Yaakup, Ahris ( 1 9 9 7 ) , Guna Pakai Sistem Maklumat Geogra.fi

(GIS) di Dalam Penyediaan Rancangan Tempatan dan

Kawalan Pembangunan di Kawasan Kata di

Malaysia,Prosiding International Symposium On Saving

Our City Environment Toward Anticipating Urbanization

Inpact in 2 1 • < Century, Kerjasama Unmer Malang

dengan University Teknologi Malaysia, Malang; 8-9

Septrmber 1 9 9 7 .

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Ir. Respati Wikantiyoso, MSA., Ph.D.

Lahir di Yogyakarta tanggal 17 Mei 1963, menjadi staf pengajar

Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Merdeka Malang sejak

tahun 1988. Bidang peminatan kajian yang selama ini digeluti

adalah perkembangan perencanaan kora clan Urban Design.

Gelar sarjana Arsitektur diperoleh dari J urusan Arsitektur

Universitas Gajah Mada (UGM) pada tahun 1986. Tahun

1990-1992 menempuh pendidikan S-2 Arsitektur di Jurusan

Arsitektur lnstitut Teknologi Bandung. Tahun 1995-1999

melanjutkan studi S-3 bidang Urban and Regional Planning

di Universiti Teknologi Malaysia.

Buku ini bertujuan memberikan pernahaman tentang

perubahan paradigma perencanaan clan perancangan kota.

Beberapa pendekatan clan pembahasan dalam buku kecil ini

sangat bermanfaat untuk menambah wawasan dari sisi planning

clan disain perkotaan. Aspek sosial-ekcnorni, pendekatan

perancangan serta pemanfaatan teknologi informasi menjadikan

semakin kompleksnya aspek yang harus diperhatikan dalam

perencanaan clan perancangan kora,

I S B N : 979-9488-07-9
UPT CETAK FT UNMER MAIANG
Respati Wikantiyoso
77

Teknologi lnformasi dalam menyikapi perubahan paradigma

pembangunan menuju pasar bebas ? Pembangunan daerah

dalam koteks OTODA seperti telah diuraikan di depan bahwa

paradigma pembangunan sebagai proses perubahan sosial

lebih ditekankan pada pembangunan yang bertumpu pada

masyarakat (community based development). Beberapa ha!

yang perlu diperhatikan dalam konteks pembangunan daerah

adalah bahwa; pembangunan proses perubahan yang

partisipatif dengan melibatkan masyarakat sebagai subyek

yang mengutamakan pendayagunaan potensi dan sumber

daya setempat, serta bertujuan sebesar-besarnya bagi

peningkatan taraf hidup masyarakat yang perlu

dikomunikasikan dan informasikan (interaktij) secara terus

menerus (continue).

Apabila kita resapi sesungguhnya inti dari upaya

pembangunan daerah adalah memberikan manfaat (secara

ekonomi) sebesar-besarnya kepada sebanyak mungkin

anggota masyarakat, dengan dampak (sosial-budaya)

seminimal mungkin. Dalam konteks pemanfaatan teknologi

informasi, bagairnana sebenarnya memanfaatkan media digital

(IT) sebagai alat bantu untuk mengoptimalkan aktivitas

ekonorni daerah dalam pendayagunaan sumber-sumber daya

(resources) daerah bagi kesejahteraan masyarakat. Walaupun

telah di sebutkan bahwa Ekonomi digital yang berbasis pada

internet dalam sistem jaringan global memungkinkan

dilakukan seluruh kegiatan ekonomi (internet shopping,

financing, security dealing, advertisements and publication),

namun prinsip utama dalam pemberdayaan sumber daya

daerah lebih diutamakan pada pengungkapan informasi

potensi dan kemampuan daerah dalam men-support

kebutuhan komud.iti di pasar global.

Penyiapan infrastruktur jaringan online sebenarnya telah

· ditawarkan melalui penawaran-penawaran domain baik yang

free domain maupun yang menggunakan sistem sewa. Paling

tidak ada 4 (empat) inisiatif e-commerce untuk jenis business­

to-customer, seperti JATIS (www.jatis.com), Telkom

CommerceNet (www.commerce.net.id), indosat

Paradign,a Perencanaan dan Perancangan Kola


78 Respati Wikantiyoso

12 (www.i-2.co.id) dan e-commerce business-to-business

IndosatCom (www.dagang2000.com). Akses jaringan bisa

dilakukan melalui PC di rumah, kantor, maupun di warnet

(tanpa harus investasi hardwaree). Pilihan-pilihan di atas

tentunya mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri,

tetapi kalau akan lebih profesional tentunya diperlukan biaya

dan penyiapan infra struktur yang lebih baik.

Permasalahan utama dalam penyiapan perangkat lunak

dan perangkat keras jaringan online ini bagi pemerintah

daerah, sebenarnya dapat dipecahkan dengan dilakukan

kerjasama dengan institusi-institusi perguruan tinggi dan

atau swasta yang mempunyai kemampuan semberdaya dan

prasarana yang memadai. Kesiapan masyarakat baik dari segi

hardware maupun brainware (pengetahuan), serta kesiapan

pemerintah dalam mepersiapakan perangkat pengaturan

(pengendalian) dampak negatif media mi menjadi

permasalahan utama dalam penyiapan infrastruktur, maupun

sistem jaringan online. Kesiapan dari aspek sosial-budaya

masyarakat memang memerlukan waktu yang panjang. Tetapi

ha! iru tidak berarti kita akan mengabaikan potensi

perkembangan teknologi informasi untuk pemanfaatan proses

pembangunan. Beberapa pemerintah Kabupaten dan

Kotamadya di Indonesia telah memanfaatkan media internet

iru sebagai alat untuk memperkenalkan potensi dan

kemampuan sumber-sumber daya mereka secara online.

05. Penutup

Artikel ini sebagai suatu wacana yang memberikan

gambaran bagaimana menyikapi persaingan di pasar bebas

dan meningkatkan daya saing produk-produk unggulan

daerah. Beberapa ha! yang berkaitan dengan dampak-dampak

negatif pemanfaatan teknologi informasi ini, sebagai perlu

disikapi sebagai suatu proses menuju "keterbukaan

masyarakat" dan proses "pembelajaran" masyarakat dalam

menyerap informasi, sebagai bentuk proses pendewasaan

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kola


Respati Wikanuyoso 79

menuju Pasar Bebas. Teknologi informasi sebagai alat bantu

untuk kepentingan dan kemaslahatan umum, faktor manusia

akan sangat menentukan kemanfaatannya. Semoga makalah

ini bisa bermanfaat.

06. Kepustakaan

Parapak, Jonathan (2000), Maraknya "E-Commerce", Dalam

buku Indonesia Abad XXI di Tengah Kepungan

Perubahan Global, Jakarta: Kompas.

Purbo, W Ono (2000), Perkembangan Teknologi Informasi dan

Internet di Indonesia, Dalam buku Indonesia Abad XX!

di Tengah Kepungan Perubahan Global, Jakarta:

Korn pas.

Setiawan, Suryatin (2000), Telekomunikasi di Indonesia,

sebuah Ironi yang Indah, Dalam buku Indonesia Abad

XX! di Tengah Kepungan Perubahan Global, Jakarta:

Korn pas.

Sudarsono, Nani (2000), Pembangunan yang berbasis

Kerakyatan (Community Based Development), Jakarta:

Melati Bakti Pertiwi.

Sung-Joon Lee (2000), The Role of Universities in the Digital

Revolution Era, dalam Jurnal; Teknologi Industri dan

lnformasi, Vol 1. No. 2 Desember 2000 (pp80-90),

Surabaya: Fakultas Teknik Ubaya.

Paradigma Perencanaan don Perancangan Kola


Respati J11ikantiyoso 81

IMPLIKASI SPASIAL CBD SEBAGAI KONSEKWENSI

PENINGKATAN PENGGUNAAN E-COMMERCE

(Suatu kajian teoritik atas fenomena peningkatan

pemanfaatan e-commerce pada aktifitas ekonomi perkotaan)

0 1 . Pendahuluan

Perubahan di berbagai bidang yang sangat pesat dewasa

im telah dan akan terus berimplikasi terjadinya perubahan

paradigma dalam berbagai bidang termasuk perubahan

paradigma pembangunan. Indonesia (masyarakat indonesia)

saat ini dituntut untuk mempersiapkan diri dalam ajang

perdagangan bebas dunia yang dimulai dengan kesepakatan

AFTA (Asean Free Trade Area) 2003 dan WTO (World Trade

Organization) 2020. Era global telah dan akan terus

mendorong dan menuntut kita untuk semakin "terbuka" dan

membuka diri terhadap dunia luar. Komunikasi dan informasi

menjadi sangat penting untuk menunjang dan menghadapi

persaingan global. Di sisi lain perkembangan teknologi

informasi dan komunikasi yang sedemikian pesat seakan

semakin tidak memberi kesempatan kepada kita untuk

mempersiapkan segala sumber daya yang kita miliki untuk

bersaing di tingkat global.

Pada era global, peningkatan daya saing menjadi ha! yang

utama. Para ahli dan pengamat bahkan Bank Dunia melihat

bahwa salah satu faktor penting dalam peningkatan daya

saing adalah pemanfaatan Teknologi Informasi dalam seluruh

proses usaha, baik produksi, distribusi maupun pada

konsumsi barang dan jasa. Saat ini telah terjadi perubahan

paradigma dari perekonomian yang berbasis produksi

pertanian dan indusri menjadi perekonomian tatanan baru

· (new economy) yang berbasis pengetahuan (knowlwdge based

economy) . Menurut Marie Pangestu (2000), dalam knowlwdge

based economy, keunggulan komparatif negara lebih

ditentukan oleh pengetahuan yang dimiliki, dari pada oleh

kepemilikan sumberdaya alam dan tenaga kerja yang murah.

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


82 Respali Wikantiyoso

Perusahaan domestik belum tentu bisa mempunyai

keunggulan untuk meraih pasar domestik, walaupun dengan

upaya memproteksi pasar domestik dengan hambatan

tradisional seperti tarif. Selama ada komputer, koneksi

internet, fasilitas pembayaran dan fasilitas pengiriman (FedEx

atau DHL), apapun bisa dibeli melalui internet.

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa pengaruh

perkembangan teknologi informasi, telah merubah paradigma

baru dalam tatanan ekonomi di era global. Usaha yang

dilakukan adalah dengan upaya inovasi pemanfaatan

teknologi informasi, mengurangi biaya, meningkatkan

kualitas, dan memperluas jaringan melalui teknologi

informasi. Perkembangan teknologi informasi harus disikapi

positif bagi upaya meningkatkan daya saing dalam tatanan

ekonomi baru yang berbasis pengetahuan.

Pada era global informasi dan komunikasi menjadi sangat

dominan dalam memenuhi segala kebutuhan, bahkan pada

masyarakat modern telah menjadi suatu kebutuhan utama.

Keterbatasan ruang dan waktu yang membelenggu

kemampuan fisik manusia menjadi hilang, bahkan dunia

menjadi tanpa batas ruang dan waktu. Perkembangan

kemajuan teknologi (Infonnation and Comunication

Technology), saat ini telah membawa perubahan pola hidup

manusia dalam bergaul, bersosialisasi, bahkan dalam

melakukan aktifitas ekonomi dalamd skala lokal, regional

maupun global. Beberapa pakar sosiologi berpendapat bahwa

teknologi digital telah mengantarkan kita pada keadaan

manusia "tanpa jiwa", artinya semakin kehilangan

kesempatan untuk berinteraksi karena sernakin banyak

waktu habis di depan TV, Internet dan media lainnya.

Fenomena ini yang melatar belakangi "diskusi" dalam tulisan

ini, yang apabila dikaitkan dengan aspek spartial ruang kota,

dalam skala yang besar akan "mengurangi" kebutuhan ruang

interaksi sosial ekonomi khususnya pada kawasan CBD

( Central Business District).

Tujuan pembahasan ini adalah untuk mendiskusikan

tentang implikasi spasial (ruang) pusat kota (Central Business

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kofa


Respati Wikantiyoso 83

District) sebagai akibat pemanfaatan teknologi informasi dan

komunikasi (internet) untuk aktivitas ekonomi (e-commerce)

dalam skala kota. Konteks kota dalam pembahasan ini adalah

pada daerah kota metropolitan dengan asumsi bahwa ativitas

komunikasi dan penggunaan media internet berintensitas

tinggi. Pembahasan ini diharapkan akan membuka wacana

baru dalam ha! penyediaan infrastruktur ruang pusat kota

(Central Business District) di masa mendatang.

02. Kegiatan Ekonomi Perkotaan di Era Digital

Perubahan teknologi informasi berimplikasi pada

perubahan karekteristik masyarakat, sebagai masyarakat

informasi yang berbasis pada pengetahuan. Perubahan

masyarakat industri kepada masyarakat informasi membawa

pengaruh pada perubahan politik, ekonomi. Perkembangan

teknologi informasi ini telah merubah secara drastis (pada

masyarakat moderen) penggunaan internet, E-commerce, E­

business, E-education dan sebagainya.

Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat

berimplikasi pada perubahan arah penggunaan media

informasi dan komunikasi digital antara lain untuk

menunjang aktivitas ekonorni. Era digital teknologi informasi

telah melahirkan bentuk aktivitas ekonomi digital (e­

commerce, electronic money dan sebagainya). Singapore's

Board of Commissioners of Currency (BCC) menyatakan bahwa

electronic money akan dijadikan bukti pembayaran yang sah

untuk semua jenis transaksi di Singapura pada tahun 2008

(http://www.nua.ie/survey). Kenyataan ini akan membawa

implikasi bukan saja kepada jenis aktivitas ekonomi tetapi

juga kepada aspek-aspek keruangan termasuk kebutuhan

. fasilitas perdagangan. Dalam konteks yang lebih luas ruang

Central Bussiness District (CBD) di perkotaan akan

mengalami perubahan. Menurut Earl (1999) dalam papernya

yang berjudul The Impact of E-Commerce" on Workplace Culture

and The Demise of the CBD, menyatakan bahwa:

Paradtgma Perencanaan dan Perancangan Kora


84 Respati Wikanriyoso

"The impact of changes in workplace culture associated

with information technology (JI') or "E-Commerce" are

significant and will lead to major changes in how the

Commercial Business Districts (CBD) or urban

economic activities occur and what urban

infrastructure is required"

Ekonomi digital yang berbasis pada internet dalam

sistem jaringan global memungkinkan dilakukan seluruh

kegiatan ekonorni (internet shopping, financing, security

dealing, advertisements and publication) secara cepat

menembus batas dan waktu. Hubungan bisnis melalui

internet, mampu menghubungkan jaringan ke seluruh bagian

dunia tanpa kendala ruang dan waktu. Peningkatan jumlah

pengguna internet penduduk dunia juga semakin didorong

dengan peningkatan jumlah domain internet. Grafik 1

(lampiran), menunjukkan peningkatan jumlah internet domain

yang sangat pesat dari 376,000 pada tahun 1990 menjadi

1 7 1 , 6 3 8 , 2 9 7 padajanuari 2003 (www.isc.org).

Perubahan penggunaan media informasi dalam kegiatan

ekonorni ini menyebabkan pergeseran dan perubahan sistem

perdagangan tradisional kepada sistem perdagangan

elektronik. Sebagai perbandingan perbedaan karakteristik

perdangan elektronik (Internet e/ektronic commerce) dan

perdagangan tradisional dapat dilihat dalam tabel 1

(lampiran).

Sebagai suatu illustrasi, pada tanggal 25 Juni 2003

(Jawapos tanggal 27 juni 2003) Extreme Digital Challenge,

event organizer di Singapura menyelenggarakan kegiatan

tantangan terlama bertahan hidup dengan berbekal sebuah

Laptop dan uang $ SGD 30 (Rp. 150.000,-). Kompetisi yang

diikuti oleh 37 pelajar yang memiliki hobi menggunakan IT.

Tantangan dalam kompetisi tersebut adalah bisakah orang

bertahan hidup di tempat "terisolasi" dalam ruang sempit

hanya berbekal laptop dan uang $ SGD 30. Semua keperluan

makan dan rninum selama dalam ruang isolasi hanya boleh

dibeli dengan menggunakan media internet. Gambaran

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


Respaci Wikantiyoso 85

tersebut menunjukkan bahwa kegiatan e-commerce dengan

menggunakan media internet mulai dari mencari waralaba

yang menjual makanan/minuman melalui internet,

melakukan transaksi, sampai pengiriman pesanan. Apabila

proses niaga seperti ini dilakukan secara menyeluruh dalam

skala kota, maka akan sangat memungkinkan menurunnya

"kebutuhan ruang" sirkulasi, interaksi, bahkan ruang

perdagangan. Hal ini akan berimplikasi kepada kebutuahan

ruang kota, berkurangnya aktivitas (fisik) perdagangan di satu

sisi, serta peningkatan aktivitas perdagangan kota/regional

bahkan international di sisi lainnya.

Peningkatan transaksi sebagai akibat cepatnya sistem

informasi teknologi menjadi tuntutan utama dalam kehidupan

global. Globalisisi yang sangat pesat telah mendorong

terjadinya perubahan paradigma perencanaan kota yang lebih

condong pada pendekatan economic based development

menjadi kearah community based development.

03. Pengaruh Teknologi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Teori pertumbuhan klasik David Ricardo mengungkapkan

tentang peran teknologi dalam pertumbuhan ekonomi. Peran

tersebut dikuatkan oleh teori pertumbuhan ekonomi neoklasik

yang dikembangkan oleh Robert Solow (MIT) pada tahun 1987.

Selain Solow, Trevor Swan (ANU) juga mengembangkan teori

ini. Sehingga pada buku teks ekonorni pembangunan dikenal

sebagai teori Solow-Swan. Menurut Solow-Swan,

pertumbuhan ekonomi tergantung kepada pertambahan

penyediaan faktor-faktor produksi (tenaga kerja, dan

akumilasi modal) serta tingkat kemajuan teknologi.

Poradigma Perencanaan clan Perancangan Kota


86 Respati Wikantiyoso

Gambar 1: Grafik Pertambahan jumlah

penyedia domain internet

Internet Domain Survey Host Count

200 coo 000

180,COO 000

160.000 000 ·

i 40 GOO ODO

12(1.000.000 �/ Old

1 00.000.000 Adjusted

00 (100 000

60 ouo 000 // E New

::::: ::: -o O O 0-� -·->-+-......-

� � q � = � ro � 0 - N �

1 r � r t 1 ! ! � � � i l,
� � � � � � � � � � � � .
.

Soun.:e lntemet Suflwd1e Cc,ns1Hlium {www itc.uryl

Sejauh mana teknologi memberikan kontribusi dalam

mendorong pertumbuhan ekonomi ?. Secara makro jawaban

pertanyaan ini dapat diilustrasikan dari hasil penelitian Jong-

11 Kim dan Lawrence Lau (1994) dari Stanford University AS.

Penelitian terse but menunjukkan bahwa sumber

pertumbuhan ekonomi utama di negara-negara industri

seperti AS, Ingris, Jepang, Perancis dan Jerman kontribusinya

lebih banyak dari Technical Progress (kemajuan teknikal). !tu

berarti kemajuan secara teknis dalam produksi (mewakli

kontribusi teknologi) yang relatif cepat di negara-negara

tersebut signifikan terhadap petumbuhan ekonomi.

Dalam era ekonomi berbasis teknologi informasi, peranan

teknologi komputer sangat menentukan. Hal ini didukung

dengan perkembangan pesat pada teknologi informasi dan

komunikasi (Information and Communication Technology).

Salah satu fenomena yang menarik saat ini adalah E­

Commerce, di mana transaksi di dunia maya (Cyber

transaction) memiliki karakteristik super cepat dan mampu

menembus sekat-sekat yuridiksi suatu negara. Melalui

teknologi Internet bayak perusahaan maupun perorangan

melakukan aktivitas bisnis (online marketing, distance selling

Paradigma Perencanaan clan Perancangan Kota


Respati Wikanttyoso 87

dan E-Commerce) dan transaksi tanpa memerlukan physical

appereance/contact antara penjual dan pembeli.

Kegiatan E-commerce menurut WTO mencakup bidang

produksi, distribusi, pemasaran, penjualan dan pengiriman

barang dan jasa melalui cara elektronik. Menurut Organization

for Economic Cooperation and Development (OECD) e-commerce

adalah transaksi berdasarkan proses dan transmisi data

secara elektronik. Alliance for Global Business, suatu asosiasi

di bidang perdagangan terkemuka mengartikan e-commerce

sebagai seluruh transaksi nilai yang melibatkan transfer

informasi, produk, jasa atau pembayaran melalui jaringan

elektronik sebagai media. Dari beberapa pengertian di atas, e­

commerce merupakan transaksi bisnis yang menggunakan

media elektronik dari mulai kegiatan periklanan,

penginventarisasian, perancangan, pembuatan katalog,

transaksi dan pengiriman barang (Suherman, 2002). Di sini

terlihat bahwa e-commerce merupakan alternatif instrumen

yang handal di era global, khususnya globalisasi ekonomi.

Fenomena pertumbuhan ekonomi yang distimulus oleh

peran kemajuan teknologi ini, secara teoritik digunakan

sebagai dasar dalam membuat analisa terhadap pengaruh

aktivitas E-commerce sebagai akibat kemajuan pesat teknologi

Informasi. Dalam konteks perkotaan, dengan menggunakan

logika analogi tentunya akan memberikan pengaruh terhadap

aktifitas ekonomi fisik yang pada awalnya menuntut perlunya

kebutuhan fisik ruang maksimal menjadi sangat minim.

Dalam skala yang lebih luas tentunya akan berimplikasi pada

perubahan kebutuhan ruang skala kawasan maupun kota

(CBD).

04. E-commerce sebagai sebuah peluang dan tantangan

E-commerce lebih menonjolkan aspek perdagangan,

dengan fokus pasar Business to Business (B2B) dan Business

to Customer (B2C) dapat kita pahami sebagai sebuah aktivitas

perniagaan, yang terkait dengan masalah produksi, distribusi

Poradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


88 Respati Wikantlyoso

dan konsumsi barang dan jasa. E-commerce sebagai suatu

aktivitas pemiagaan mengandalkan pada kemampuan E

(baca: teknologi informasi). Maraknya aktivitas e-commerce

tidak terlepas dari makin canggihnya teknologi informasi,

dengan semakin memasyarakatnya penggunaan internet

(network of networks). Kualitas jaringan yang semakin

meningkat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi kapasitas

kecepatan simpan dan saji serta kapasitas kecepatan

(bandwidth and data transmission speed) dari jaringan

komunikasinya. Teknologi baru yang secara langsung akan

mempengaruhi dunia komunikasi, Internet dan e-commerce,

antra lain; Asymetricc Digital Subscriber Line (ASDL) untuk

digitasi jaringan kawat pelanggan sampai berkemampuan

mencapai 6 Mbits/sec, Wireless Access Protocol (WAP), Global

Packet Radio System (GPRS) untuk sistem selular, dan

sebagainya.

Kemajuan IT dalam peningkatan kemampuan (kualitas)

akses menjadi suatu peluang yang besar dalam pemanfaatan

media elektronik untuk kemampuan pemiagaan (E-commerce).

Menurut perkiraan Newsweek terbitan November 1999

dijangkakan bahwa kegiatan 828 melalui e-commerce

meningkat dari 200 milyar $USO pada tahun 2000, akan

meningkat menjadi 1.200 milyar $USO pada tahun 2003, atau

meningkat enam kali dalam jangka waktu 3 tahun. 8ahkan

dalam tahun 2004 akan melonjak tajam menjadi 2 . 7 0 0 milyar

$USO (Parapak, 2000). Fakta ini menunjukkan bahwa

aktivitas 828 melalui e-commerce telah memberikan pengaruh

yang signifikan terhadap peningkatan nilai transaksi bisnis.

Kondisi ini akan semakin dipacu dengan kebijaksanaan

liberalisasi perdagangan di tingkat global seperti AFTA, APEC,

dan WTO. Upaya liberasasi perdagangan memerlukan sistem

jaringan yang didukung teknologi informasi. Maraknya

penggunaan internet membuka peluang untuk semakin

mewujudkan perdaganagn tanpa hambatan . D i satu pi hak

liberalisasi perdagangan ikut memacu perkembangan E­

commerce, sebaliknya perkembangan E-commerce

memung kin kan percepatan beralisasi perdagangan


li .

Parodigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati J-Vikantiyoso 89

Perkembangan e-commerce yang sangat pesat, dengan

melihat potensi dan peluang pemanfaatannya dalam kegiatan

ekonomi tidak "bebas" terhadap masalah yang serius. Justru

dari aspek yuridis (hukum) banyak hal yang belum terjangkau

sehingga saat ini muncul beragai kejahatan di dunia maya

(Cyber Crime) yang menuntut ditegakkannya hukum (Cyber

Law). Berkaitan dengan hal ini United Nation Commission on

international Trade Law (UNCITRAL) sebagai salah satu badan

di PBB, memandang isue e-commerce mendesak untuk

dibuatkan "rules of the game"-nya. Sampai saat ini transaksi

e-commerce belum diatur secara khusus, baik dalam bentuk

undang-undang maupun konvensi intemasionalnya.

Walaupun UNCITRAL telah membuat rumusan model hukum

dalam e-commerce, yang telah disepakati pada tahun 1996

dan tambahan pasal pada tahun 1998.

E-commerce sebagai fenomena baru semakin populer

dalam aktivitas bisnis yang berbasis informasi, hal ini tidak

berarti e-commerce tidak mempunyai kelemahan. Tidak jarang

terjadi kegitan kriminal seperti; pemalsuan identitas,

pembobolan pasword kartu kredit dan sebagainya. Beberapa

hal yang harus dilakukan untuk menjamin keamanan dan

kelancara aktivitas e-commerce perlu dibangun suatu

trustable mechanism (Suherman, 2002) yang mampu

menjarmn:

1. Autenticity, menyangkut kebenaran jatidiri pelaku

bisnis,

2. Integrity, kebenaran transaksi (isi pesan dalam

transaksi), baik dari jenis transaksi, jumlai nominal

transaksi,

3. Nonrepudation, pembuktian kebenaran terhadap

kesepakatan bisnis yang dilakukan antara pelaku,

serta

4. Confidentialy, atau kerahasiaan aktifitas transaksi,

pesan maupun kesepakatan-kesepakatan bisnis antar

pelaku.

l'aradigmu Perenconaan don Perancangan Kola


90 Respari IVikantiyoso

Sebagai suatu fenomena, e-commerce mempunyai peluang

yang sangat besar dan akan mampu memberikan "warna" dan

pengaruh aktivitas yang "menglobal". Tantangan yang

dihadapi oleh pelaku bisnis jelas bahwa e-commerce masih

mengandung beberapa kelemahan. Walaupun demikian

kemajuan di bidang !CT akan mampu memberikan suatu

solusi transaksi yang trustable. Kondisi ini tentunya akan

memberikan implikasi kepada segala aktifitas kota, termasuk

terjadinya perubahan paradigma dalam perencanaan dan

perancangan kota.

05. Pendekatan Studi Tata Ruang Kota

Pembahasan mengenai perencanaan kota memerlukan

pemahaman yang sangat kompleks, sesuai dengan konteks

pembahasan di sini maka pembatasan pembahasan sangat

diperlukan. Uraian dalam pembahasan ini akan difokuskan

dalam konteks spasial (tata ruang kota). Model ataupun teori

tentang struktur tata ruang kota telah banyak dikemukakan

dengan berbagai pendekatan yang menurut H . S . Yunus dapat

digolongkan menjadi 5 kelompok model pendekatan

penggunaan lahan kota, yakni; pendekatan ekologis,

pendekatan ekonomi, pendekatan morfologi, pendekatan

sistem kegiatan, serta pendekatan ekologi faktorial (H.S.

Yunus, 2 0 0 1 ) .

Pendekatan ekologis ( ecological approach) diilhami oleh

ide pengembangan "human ecology" oleh Mc. Kenzie ( 1925),

diartikan sebagai studi hubungan spatial dan temporal

manusia yang dipengarui oleh kekuatan selektif, distributif

dan akomodatif terhadap lingkungan. Kata yang di dalamnya

terdapat komunitas manusia yang sangat kompleks, telah

mengalami proses interelasi antarmanusia dan antara

manusia dengan lingkungannya. Produk hubungan tersebut

mengakibatkan terciptanya pola keteraturan penggunaan

lahan kotanya. Pendekatan ekologis mengilhami beberapa

teori antara lain; teori konsentris (E.W. Burgess, 1925); teori

Paradtgmo Perencanaan don Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 91

sektor (Hoyt, 1 9 3 9 ) ; teori konsektoral (Peter Mann, 1 9 6 5 ) ; teori

konsektoral Ernest Griffin dan Larry Ford ( 1980); teori poros

(Babcock, 1932); teori multiple nuclei (C.D. Harris dan F.L

Ullmann, 1 9 4 5 ) ; teori ukuran kota (Taylor, 1949); teori historis

dan teori struktur (Alonso, 1964).

Pendekatan ekonomi (economic approach) dalam tata

ruang kota baru mendapat perhatian besar pada tahun 60-an.

Walaupun ide-ide pendekatan tersebut telah dimulai sejak

dahulu. Beberapa teori yang mengembangkan pendekatan ini

antara lain; Cooley ( 1 8 9 4 ) ; Weber ( 1 8 9 5 ) yang mengemukakan

bahwa jalur transportasi dan titik simpil suatu sistem

transportasi mempunyai peran yang cukup besar terhadap

perkembangan kota (Herbert dan Thomas, 1982). Richard M.

Hurd (1903) pada awal abad 20 mulai mengembangkan land

value (nilai lahan), rent (sewa), dan cost (biaya). Dalam hal ini

Hund menyatakan bahwa "the pattern of land uses and land

values will be mutually determining". Teori nilai lahan

mendasarkan pada derajat aksesibilitas suatu lokasi di pusat

kota. Semakin tinggi aksesibilitas suatu lakasi akan semakin

tinggi pula nilai lahan. Derajat keterjangkauan ini ditentukan

oleh (a) potential shopper yang banyak, (b) kemudahan untuk

datang/pergi ke/dar lokasi tersebut atau pasar (Yunus,

2001).

06. Implikasi Spasial, Sebuah Analisa Pergesaran Teori

Struktur Ruang Ruang Kota

Uraian pada bagian ini tidak akan menguraikan semua

pergeseran terhadap model struktur ruang kota, tetapi hanya

membahas model teori konsentris (E.W. Burgess, 1925) dan

beberapa derevatifnya. Teori Burgess (lihat gambar 1) ini

· menarik dikaji karena memang banyak ahli dan peneliti yang

memberikan tanggapan atas teori ini. Ada 3 kelompok

tanggapan atas teori ini; kelompok yang menolak teori

konsentris; kelompok yang menganggap teori ini masih lemah

dan perlu dikembangkan dengan menambah Iaktor-faktor

Paradigma Perencanaan don Perancangan Kata


92 Respati H1ikantiyoso

lain; serta kelompok yang menyanjung karena sebagai teori

yang tercetus pertama dan memberikan dasar bagi teori-teori

selanjutnya.

Penolakan terhadap teori konsentris Burgess lebih

ditekankan kepada realitas fisik struktur tata ruang kota yang

tidak sama dengan "model" yang dilontarkan Burgess. Ciri

yang tidak tampak nyata dalam struktur kota adalah:

1. adanya pertentangan antara "qradeints" dengan

"zonal boundaries", bahwa struktur bagian kota

sebenarnya tidak dibatasi secara tegas oleh batas

fisik.

2. Homogenitas internal kota yang tidak sesuai dengan

kenyataan.

3. Teori kurang bersifat universal.

Penolakan terhadap teori ini dimulai oleh kritik dari Davie

(1937, 19961, 1966) yang menyatakan bahwa gambaran

konsentris sempurna seperti teori Burgess tidak sesuai

dengan kenyataan. Kritik Hatt (1946); keseragaman yang

dikemukakan Burgess terhadap populasi masing-masing zone

tidak terlihat dan di dalam zona justru terlihat variasi internal

yang sangat besar. Walaupun demikian sedikitnya ada 7 teori

yang mengembangkan ide Burgess dengan menambahkan

beberapa variabel yang dirasa sangat berbobot, yaitu; (1)

variabel building height; (2) variabel sector; (3) variabel

transpotation; (4) Variabel nucleus; (5) variabel size; (6) variabel

history; dan (7) variabel structure. Setiap pemunculan variabel

terse but memunculkan teori-teori baru sebagai

penyempurnaan teori konsentris (Yunus, H . S . , 2 0 0 1 ) .

Yang menarik untuk dikaji dan mempunyai relevansi

dengan pembahasan ini adalah pendapat William Alonso

(1964) tentang teori Burgess ini. Dalam artikelnya yang

berjudul "The Historis and Structural Theories of Urban Form"

dalam majalah Land Economic 40 (1964), Alonso

mengembangkan teori dengan melihat bahwa kenyataan

historis yang berkaitan dengan perubahan tempat tinggal di

dalam kota. Menurutnya, karena adanya perubahan teknologi

Paradign,a Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 93

yang pesat di bidang transportasi dan komunikasi telah

mendorong terjadinya perpindahan penduduk ke luar kota

(Clark, 1982). Peningkatan ekonomi masyarakat kota yang

semula tinggal di dekat Central Business District (CBD), serta

kurang kondusifnya lingkungan pusat kota menyebabkan

terjadinya proses perpindahan tersebut.

Pada kenyataanya, teori-teori keruangan seperti tersebut di

atas terjadi beberapa "penyimpangan" atau ketidaksesuaian

konsep. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi antara

lain; penyimpangan jumlah pusat, topografis, jaringan

transportasi, fleksibelitas lahan, eksternalitas, kebebasan

penawaran, kebebasan membangun lahan, dan jual-beli lahan

(Yunus, 2001). Penyimpangan yang sifatnya lokalitas ini

menyebabkan struktur kota menjadi spesifik. Secara esensial

penyimpangan-penyimpangan tersebut erat kaitannya dengan

aktivitas ekonomi lokal. Dimana kendala-kendala

diperhitungkan terhadap konsekwensi "biaya" dari suatu

kondisi aspek-aspek fisik lahan serta aktivitas "fisik" ekonomi

perkotaan.

Penggunaan media e-commerce dalarn intensitas yang

tinggi akan banyak mengurangi kegiatan "fisik" ekonomi kota

seperti; transaksi, jual beli, transportasi fisik personal

masyatakat kota. Perubahan atau "penyimpangan" aktivitas

fisik transaksi ekonomi menjadi transaksi maya (cyber

transaction), akan memberikan implikasi keruangan pusat

kota. Meningkatnya kemarnpuan teknologi informasi dan

komunikasi mendorong kontak (interaksi sosial) personal

tidak harus dilakukan dengan cara "face to face contact" tetapi

dapat dilakukan dengan car a "faraway contact".

Perkembangan saat ini bukan hanya kontak sosial, interaksi

business (transaksi) pun dapat dilakukan dengan jarak jauh

melalui E-commerce. Gelombang globalisasi yang melanda

dunia ini tentunya menjadi suatu pemicu baru akan

munculnya pemikiran-pemikiran tentang konsepsi tata ruang

kota atau mungkin akan terjadi pergeseran teori. Kendala­

kendala transportasi, komunikasi yang dahulu menjadi

"pembatas" atau variabel yang sangat menentukan, dengan

Paradignu, Perencanaan dan Perancangan Kola


94 Respati Wikantiyoso

kemajuan teknologi yang sangat pesat dimasa mendatang

mungkin akan "mematahkan" teori-teori yang telah ada.

07. Infrastruktur Baru Sebuah Kota Di Era Global

Salah satu ciri sebuah kota adalah terkonsentrasinya

kegiatan manusia dengan intensitas kegiatan ekonomi

(perdagangan dan jasa) yang tinggi pada suatu area tertentu

(kota). Arus populasi kota dari dan ke pusat kota (CBD)

merupakan pemandangan sehari-hari dinamika kota.

Permasalahan kemacetan (transportasi) kekurangan moda

angkutan umum, keterbatasan infrastruktur jalan, fasilitas

umum dan sebagainya saat ini merupakan masalah yang

dilematis bagi pengelola kota. Kondisi yang demikian bagi

kaum utopis semakin memacu untuk "berkarya" (baca;

berkhayal ?) tentang penciptaan lingkungan kota idealnya.

Apakah relevan untuk sekedar berkhayal tentang sebuah

infrastruktur kota yang ideal untuk "menggapai" khayalan

kota yang "nyaman" di era global.

Tanpa melihat dampak-dampak negatif akan kemajuan

teknologi komunikasi dan informasi, dengan memandang

effesiensi dan effektifitas interaksi dan transaksi bisnis,

fenomena e-commerce akan berimplikasi pada tuntutan baru

infrastruktur kota. Pemanfaatan "ruang" kota tidak hanya

pada aspek land used semata tetapi akan "memanfaatkan"

ruang udara sebagai tempat lalulintas informasi dan

komunikasi berteknologi satelit. Sebagai illustrasi saat ini IM3

mengeluarkan layanan baru bagi pelanggannya berupa

fasilitas membeli minuman kaleng hanya dengan mengirim

SMS dari dekat equipment box minuman kaleng. Secara

otomatis minuman akan keluar dan pembayaran langsung

dengan beban pulsa handphone (Jawapos 25 Juli 2003).

Pengembangan fasilitas ini jika dapat mencakup semua

aktifitas pusat kota (CBD) tentunya akan berimp!ikasi pada

tuntutan persyaratan infrastruktur ruang kota.

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kola


Respati wtkanuyoso 95

Kemajuan teknologi di masa mendatang tidak menutup

kemungkinan akan terjadi "loncatan" teknologi seperti

peningkatan kemampuan physical transportation

menggunakan teknologi transfer fisik seperti perpindahan fisik

ala film fiksi "the matrix". Penggunaan media ruang maya

menjadi maksimal dan penggunaan ruang menjadi minimal.

Kendala-kendala fisik dalam aktivitas ekonomi saat ini

menjadi berkurang di masa mendatang, sehingga persyaratan

fisik ruang pusat kotapun akan berubah.

08. Kesimpulan

E-commerce adalah transaksi berdasarkan proses dan

transmisi data secara elektronik (OEDC), yang mencakup

bidang produksi, distribusi, pemasaran, penjualan dan

pengiriman barang dan jasa melalui cara elektronik (WTO). E­

commerce merupakan transaksi bisnis yang menggunakan

media elektronik dari mulai kegiatan periklanan,

penginventarisasian, perancangan, pembuatan katalog,

transaksi dan pengiriman barang.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi

(Information and Communication Technology) yang sangat pesat

memacu peningkatan aktivitas E-Commerce, di mana

transaksi di dunia maya (Cyber transaction) yang memiliki

karakteristik super cepat dan mampu menembus sekat-sekat

yuridiksi suatu negara. Teknologi Internet menyebabkan

bayak perusahaan maupun perorangan melakukan aktivitas

bisnis ( online marketing, distance selling dan E-Commerce) dan

transaksi tan pa memerlukan physical appereance/ contact

antara penjual dan pembeli.

Aktivitas ekonomi kota mengalami "pergeseran" makna

· maupun aktifitas fisik, hal ini berimplikasi pada perubahan

paradigma pemahaman physical requeirement kebutuhan

fasilitas aktivitas ekonomi di pusat kota (CBD). Pusat-pusat

kegiatan ekonomi tidak lagi ditetapkan berdasarkan aktifitas

fisik semata tertapi "ornset" atau nilai transaksi kegiatan

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


96 Respati lf'ikantiyoso

ekonomi. Hal mi akan berimplikasi kepada pergeseran

pemahaman "pusat kota" atau bahkan pengertian pusat kota

secara ekonomi (mengacu teori land value) akan mengalami

perubahan (mungkinkah menghilang ?). Pengertian pusat

lebih mengacu kepada kegiatan-kegiatan pemerintahan

(pusat pemerintahan).

09. Kepustakaan

Earl, William George. 1 999. The Impact of E-Commerce" on

Workplace Culture and The Demise of the CED,

Proceedings of the 51h International Congress of Asian

Planning Schools Association on Restrospect and

Prospect of Planning in Asia at the Tum of The Century.

Held in Hoam Faculty House Seoul National University,

Seoul, September 8 - 1 0 1 999.

Clark, D . 1 9 8 2 . Urban Geography. London: Croom Helm Ltd.

Pangestu, Marie. 2000. Dalam buku Indonesia Abad XX.I di

Tengah Kepungan Perubahan Global, Jakarta: Kompas.

Parapak, Jonathan. 2000. Maraknya "E-Commerce", Dalam

buku Indonesia Abad XXl di Tengah Kepungan

Perubahan Global, Jakarta: Kompas.

Purbo, W Ono. 2000. Perkembangan Teknologi Informasi dan

Internet di Indonesia, Dalam buku Indonesia Abad XXl

di Tengah Kepungan Perubahan Global, Jakarta:

Korn pas.

Setiawan, Suryatin. 2000. Telekomunikasi di Indonesia,

sebuah Irani yang Indah, Dalam buku Indonesia Abad

XX.I di Tengah Kepungan Perubahan Global, Jakarta:

Korn pas.

Suherman, Ade Maman. 2002. Aspek hukum dalam Ekonomi

· Global, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sung-Joon Lee. 2000. The Role of Universities in the Digital

Revolution Era, dalam Jurnal; Teknologi Industri dan

Informasi, Vol 1 . No. 2 Desember 2000 (pp80-90),

Surabaya: Fakultas Teknik Ubaya.

Parodigma Perencanaan dan Perancangan Kofa


Resputi 1¥ikantiyoso 97

Susilo, Y. Sri. 1996. Teknologi dan pertumbuhan Ekonomi,

Dalam buku Kumpulan Tulisan dori Masalah Usaha

Kecil sampai Masalah Ekonomi Makro, Yogyakarta: UAJ.

Yunus, Hadi Sabari. 2 0 0 1 . Struktur Tata Ruang Kota.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Paradigma Perenc:anaan dan Perancangan Kora


•. '" '"
.
. .. � .:· "
,,

"
'<·
.. , '
!

N
Respati Wikanriyoso 147

memperhatikan ruang kota dalam skala mikro termasuk

perancangan KTAS.

Perancangan KTAS harus memperhatikan beberapa

aspek yang berkaitan dengan bentuk morfologi sungai serta

ketentuan peraturan yang berlaku. Beberapa peraturan yang

berkaitan dengan upaya pemanfaatan kawasan tepi air antara

lain; ( 1) Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990 ten tang

pengelolaan kawasan lindung; (2) Peraturan Pemeintah RI no

47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional; (3) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

no.63/PRT / 1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah

Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas

Sungai; (4) Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan

Lingkungan di Kawasan Tepi Air Oleh Dirjen Cipta Karya

Departemen Pekerjaan Umum RI tahun 2000. Hal ini perlu

dilakukan untuk menjaga konsistensi serta penegakan

peraturan yang berlaku.

Mengacu kepada Petunjuk Teknis Penataan Bangunan

dan Lingkungan di Kawasan Tepi Air (Cipta Karya, 2000) serta

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no.63 / PRT / 1993 ten tang

Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah

Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai, maka ketentuan

perancangan KTAS dapat diilustrasikan dalam gambar 1 di

bawah ini:

Paradigma Perencanaan clan Perancangan Kora


148 Respati JVikantiyoso

"F""J"• • ' h " " •

!, .... ,•• , , : ...


,.�,·t, '·� .
...
1
• 'I-"'·,,.,. .... q "-f
.. ,..,.,. _., . . . ,. " . ..,,r ...� i ..... ,
"

'1 't" ,•1 ,o),

.... ,,,J.

�;.:
o·� ...,..


... • >,,. < - v,...-,.._,.,.
" • :-.�A • -!: > ••• ( ,� ... •
� , .•.
. · " '. . �
. -�- ., ...... -� ........
" � ' , • < ;.-: r
•. , ,
, ...-.. • '···�
"� . . " '""
r.•• ,
, •.• '.. •1 •t,1 0,

• < , >. ,

Gambar 1: lllustrasi ketentuan perancangan KTAS

(diolah dari sastrawatl, 2001)

Jika kita perhatikan illustrasi dalam gambar 1 di atas,

terlihat bahwa perancangan KTAS harus memberikan "jarak"

(sempadan tepi air) yang berfungsi sebagai daerah "transisi"

untuk menjamin terjaganya fungsi ekologis Tepi Air Sungai.

Pada zona ini dapat fungsikan sebagai ruang terbuka hijau

(soft space), atau untuk fungsi ruang rekreasi alami (lihat

gambar 2 ) .

,�. ,
. .. "

,,._... � .... " '· .. , ., ,,,., ,.,

Poru,,9�·1 L,,,9kuny,1r, T"P' A11 .Suny,u I o,-.,.au


t1.,,uJ;rn mu11a t"1f,1 ""' r.•IMil cm;:,111

-
Potougnn L;,19"-"">F•n Tf!p• Alt Sun�11,·o:111:.u
D«mJdrl n,uk;, lf<P> ,1,r l..u,.t,,i

Cambar 2: Skt1sa diagrnmatik perancangan KTAS

Paradigma Perenconaan don Perancangan Kota


Respari IVikan1iyoso 149

Dengan mengacu pada upaya pembangunan terpadu

yang berkelanjutan jelas bahwa prioritas pemanfaatan KTAS

adalah upaya melindungi dan melestarikan lingkungan alam.

Berkaitan dengan hal tersebut ada beberapa dasar

pertimbangan yang digunakan dalam menyusun prinsip­

prinsip perancangan KTAS, antara lain:

1. Bentuk tipologi-morfologi KTAS baik secara topografis,

karakteristik tanah, jenis vegetasi, serta bentuktepi air

sungai (landai atau curam) akan mempengaruhi

teknik, disain, dan konstruksi pembangunan kawasan

terse but.

2. Perancangan KTAS harus memperhatikan

karakteristik lingkungan, sehingga karakter spesifik

kawasan tetap terjaga. Perlu ditetapkan fungsi

peruntukan yang sesuai dengan karakteristik

setempat. Hal ini akan mempengaruhi sejauhmana

pemanfaatan KTAS atau bahkan badan au

sungai/ danau akan digunakan.

3. Kawasan tepi air mempunyai batasan-batasan atau

aturan dalam perancangannya baik dari sisi skala

(ukuran) maupun kompleksitasnya (Wrenn, 1983).

Pembangunan di KTAS haruslah ditujukan untuk

perlindungan terhadap lingkunan serta

memanfaatkan lahan-lahan yang kurang produktif.

Sehingga perlu dilakukan AMDAL secara cermat

sebelum pembangunan KTAS dilakukan.

4. Dampak kepada aktivitas penduduk serta kelestarian

lingkungan perlu dicermati. Pemanfaatan lingkungan

tepi air sungai dilakukan dengan menjaga kualitas air,

penyediaan ruang terbuka, menjamin kemudahan

akses/pencapaian, serta antisipasi terhadap bencana

(longsor, banjir) serta dampak sosial bagi penduduk di

kawasan tersebut.

5. Harus diinventarisasi kegiatan-kegiatan sosial­

budaya, peristiwa tertentu (event) dan/atau adat

kebiasaan penduduk berupa ritual/upacara yang

Paradignu, Perencanaan dan Perancangan Kata


150 Respali Wikantiyoso

dilakukan di tepi air dan/atau badan air. Hal ini

pen ting untuk dapat mengakomodasikan

kepentingan-kepentingan penduduk dalam upaya

pengembangan kawasan.

6. Orientasi bangunan sebaiknya ke arah tepi air. Tepi

air harus dijadikan "latar depan" sehingga

"penghargaan" terhadap lingkungan tepi air menjadi

lebih baik. Secara sosial, kontrol pemanfaatan ruang

tepi air menjadi lebih mudah dibandingkan jika tepi

air dijadikan "daerah. belakanq".

Selain ke enam dasar pertimbangan di atas ada ada 4

aspek yang harus diperhatikan yakni; aspek keamanan,

kenyamanan, kemudahan aksesibilitas, kesehatan

lingkungan, dan aspek estetika lingkungan alam dan buatan.

Karena KTAS sangat strategis dalam rangka upaya kelestarian

lingkungan, maka dalam rangka pemanfaatan KTAS yang

terpadu dan berkelanjutan harus memperhatikan beberapa

hal sebagai berikut: (1) Pemanfaatan SDA harus

memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang, (2)

pembangunan harus memperhatikan keselarasan dan

keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan

buatan, (3) Pembangunan harus memberikan peluang untuk

berlangsungnya regenerasi ekosistem dan menjamin kualitas

kehidupan yang lebih baik, (4) perlu dihindarkan dampak

pada kesenjangan sosial, (5) perlu upaya-upaya partisipasi

dalam pengambilan keputusan, perencanaan dalam semua

level upaya peningkatan kualitas lingkungan.

05. Catatan Penutup

Pada akhir makalah ini secara khusus tidak dibuat

kesimpulan. Beberapa catatan penting berkaitan dengan

pemanfaatan ruang dalam upaya perancangan KTAS yang

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati Wikantiyoso 1 5 1

harus diperhatikan dan menjadi bahan renungan kita adalah

sebagai berikut:

1. Pemanfaatan KTAS secara terpadu adalah suatu

pendekatan pemanfaatan KTAS yang melibatkan dua

atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan

pemanfaatan secara terintegrasi (integrated) guna

tercapainya pembangunan KTAS secara

berkelanjutan. Keterpaduan (integrated) pemanfaatan

SDA mengandung tiga dimensi; sektoral (horizontal

and vertical integration), bid ang ilmu ( interdisciplinary

approaches), dan dimensi keterkaitan ekologis

( ecological linkages).

2. Upaya intervensi fisik melalui perancangan KTAS

sebagai upaya pembangunan fisik kawasan harus

memperhatikan 3 orientasi pembangunan yakni; (1)

Development orientations; (2) conservation

orientations; dan (3) community orientations. Ke-tiga

Orientasi tersebut merupakan dasar kebijakan yang

harus diperhatikan dalam perancangan KTAS.

3. Perancangan KTAS mengacu pada pendekatan yang

dilakukan oleh Shirvani, H., (1985), yang mencakup

delapan elemen perancangan yakni; (1) Tata guna

tanah (land use); (2) Massa dan bentuk bangunan

(Bulding form and massing); (3) Sirkulasi dan parkir

(Circulation and parking); (4) Ruang terbuka (Urban

Space); (5) Jalur pejalan kaki (Pedestrian ways); (6)

Aktifitas penunjang (Activity support); (7) Tanda-tanda

(Signage); dan (8) Preservasi (Preservations). Kedelapan

elemen perancangan kota (baca; kawasan) inilah yang

digunakan sebagai acuan dalam menyusun prinsip­

prinsip perancangan KTAS (lihat tabel 1 ) .

4. Dalarn rangka pemanfaatan dan perancangan KTAS

terpadu dan berkelanjutan, maka harus

memperhatikan: (1) Pemanfaatan SDA harus

berorientasi kepentingan kepada kepentingan generasi

yang akan datang, (2) pembangunan harus

Paradtgma Perencanaan dan Perancangan Kora


152 Respati IVikantiyoso

memperhatikan keselarasan dan keseimbangan

antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, (3)

Pembangunan harus menjamin kualitas kehidupan

yang lebih baik, untuk generasi sekarang dan masa

yang akan datang, (4) harus dihindarkan dampak

pada sosial dengan melakukan kajian AMDAL. (5)

Upaya-upaya partisipasi dalam pengambilan

keputusan, perencanaan harus dilakukan di semua

level proses upaya peningkatan kualitas lingkungan

KTAS.

Semoga makalah ini dapat menjadi bahan renungan

dan diskusi dalam rangka memberikan masukan upaya

pemanfaatan dan perancangan Kawasan Tepi Air Sungai.

Pamdigmo Perencanaan don Perancangan Kola


• • • •

• • •

-...
=
..
0
" .. "
= ...
... .. =
Joi .,,..

.. s =
r.. :e g,
..
...
....
• •
-Cl)


• • • •

• • • • •

• • • •
• • •

• • •
• •

• • • •
• • • •

• •

• •
v,

00

• • • • • •

• • • • • • •


• •

"""
0
0
N

ui'

0
:i
c:
<l)

0...
§
"
;.:
<l)

.0
f
"


c:
·

:::,

;l- C/)

'1!
160 Respati tl'ikantiyoso

06. Daftar Pustaka

Adams, David, ( 1 9 9 4 ) . Urban Planning and the Development

Process. London: UCL Press Limited.

Budihardjo, Eko ( 1993), Kata Benvawasan Lingkungan,

Bandung: Alumni.

Dahuri, Rokhim, etall. (2001), Pengelolaan Sumber Daya

Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu, Jakarta:

PT. Pradnya Paramita.

Inoguchi, Takashi, etall (2003), Kata dan Lingkungan;

Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi,

Jakarta: LP3ES.

Lang, R. (ed) ( 1986), Introduction in Integrated Approaches

to Resources Planning and Management, Canada: The

University of Calgary Pres.

Sastrawati, Isfa (2003), Prinsip Perancangan Kawasan Tepi

Air (Kasus: Kawasan Tanju.ng Bunga), dalam Jurnal

Perencanaan Wilayah dan Kota Volume 14 No. 3

Desember 2003, hal 9 5 - 1 1 7 ) , Bandung: Planologi !TB.

Shirvani, Hamid (1985). The Urban Design Process. New

York: Van Nostrand Reinhold Co.

Sumarwoto, Otto (1989), Ekologi Lingkungan Hidup dan

Pembangunan (cetakan keernpat], Jakarta:

Djambatan.

Wibawa, Samodra (1991), Pembangunan Berkelanju.tan:

Konsep dan kasus, Yogyakarta: PT Tiara Wacana

Yogya.

Wikantiyoso, Respati (2004), Paradigma Perencanaan dan

Perancangan Kata, Malang: GKAK.

Wikantiyoso, Respati (2004), Pengelolaan Kawasan Pesisir

Secara Berkelanjutan (suatu telaah terhadap

pendekatan ekologis dan partisipasi masyarakat},

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respari Wikannyoso 161

dalam Jurnal Diagonal Terakreditasi Volume: 5

Norn or 1 /Februari 2004, Malang: Fakultas Teknik

Unmer Malang.

Wrenn, Douglas M., et.al (1983), Urban Waterfront

Development, Washington DC: UL!.

Zahn, Markus (1999), Perancangan kota secara terpadu;

Teori perancangan kota dan penerapannya,

Yogyakarta: Kanisius.

Peraturan Perundangan:

Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990 tentang

Pengelolaan Kawasan Lindung.

Peraturan Pemeintah RI no 47 tahun 1997 ten tang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no.63/PRT/1993

tentang Garis Sempadan Sunqai, Daerah Manfaai

Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas

Sungai.

Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum RI tahun

2000, Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan

Lingkungan di Kawasan Tepi Air.

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


Respati wtkantivoso 163

PERANCANGAN KOTA-KOTA KECIL;

Potensi dan dilema kebijakan pengembangannya

0 1 . Pendahuluan

Kata sebagai lingkungan binaan manusia, merupakan

bentuk tatanan kehidupan yang di dalamnya mengandung

unsur fisik spasial (sebagai wadah aktifitas) dan unsur non

fisik dalam bentuk tata nilai ( values) serta akumulasi aktifitas

masyarakat. Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat

beserta tata nilai yang menyertainya akan mempengaruhi

perkembangan kota, karena kota pada hakekatnya adalah

suatu manifestasi fisik dari kehidupan non fisik

masyarakatnya yang terakumulasi dari waktu ke waktu.

Dinamika perkembangan masyarakat kota di sini akan

tercermin pada bentukan fisik dan perilaku sosial budaya

masyarakatnya. Dengan demikian membahas kota tidak akan

terlepas dari perspektif sejarah pembentukan suatu kota.

Melihat proses "pernbentukan" suatu kota, sebenarnya

didalamnya mengandung dua proses; proses formal

(direncanakan), dan proses non formal (organis, incremental,

spontan dan tidak direncanakan). Secara fisik tentunya "kota"

berkembang melalui proses dari sesuatu komunitas "kecil"

sebuah pedesaan dengan ciri sosial-budaya ekonomi pedesaan

yang serba homogen menjadi sebuah "kota kecil" dan mulai

mempunyai sifat kekotaan yang komuniasnya heterogen.

Kekhasan fisik morfologis suatu "kota" dalam proses

perkembangannya merupakan potensi yang harus

diperhatikan sebagai suatu kesatuan aspek kehidupan

komunitasnya. Pemahaman akan morfologi (fisikal; topografis,

geografis, struktur fisik kota, tata Jandskap kawasan) tidak

dapat dipisahkan dengan pemahaman aspek aspek non fisik

(aktifitas komunitas kota; nilai-nilai fi.losofis, sosial-budaya,

ekonomi dan politik).

Kenyataan mi menunjukkan bahwa walalupun

pendekatan morfologi ditekankan pad a pendekatan

Paradigma Pe,·encanaan dan Perancangan Kola


164 Respati lflikantiyoso

pemahaman pada aspek fisik bentuk struktur tata ruang kota,

tetapi aspek nonfisik yang melatarbelakangi sering menjadi

lebih penting diperhatikan karena justru nilai-nilai filosofis,

historis dan lainnya dapat diangkat sebagai suatu "ciri

spesifik" suatu kawasan kota, atau bahkan kota itu sendiri.

Seperti telah diuraikan di depan bahwa pada hakekatnya

kota merupakan manifestasi fisik dari kehidupan non-fisik

(sosial, budaya, ekonorni dan politis) masyarakat kota yang

terakumulasi dari waktu ke waktu. Dimensi waktu sangat

memegang peranan dalam proses terbentuknya suatu kota,

sehingga aspek historis kota menjadi sangat penting dalam

pembahasan perkembangan kota. Wujud fisik kota sebagai

manifestasi kehidupan non-fisik pada hakekatnya merupakan

"produk budaya" dari komunitas kota, sehingga masyarakat

dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda akan

mewujudkan bentuk lingkungan fisik kota yang berbeda pula.

Jones dalam bukunya Town and Cities menyebutkan

bahwa kota merupakan "the heihgt of man's achievement",

kota sangat bertalian erat dengan peradaban (civilization).

Faktor-faktor pendorong tumbuhnya kota menurut Weatley

adalah khas, jadi bukan hasil tiruan dari negara lain sehingga

bentuk fisiknya berbeda walaupun terdapat berbagai

kerniripan. Perkembangan kota sebagai konsekwensi adanya

perubahan sosial-budaya masyarakat sangat menentukan

perubahan wujud fisik kota. Faktor kemantapan budaya

masyarakat dalam mempertahankan penetrasi budaya luar

dan intensitas pengaruh perubahan merupakan dua faktor

yang sangat menentukan proses perkembangan kota. Di

samping itu faktor-faktor alamiah seperti keadaan goegrafis,

struktur tanah dan sebagainya mempunyai peran yang sangat

penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kota.

Menurut Nelissen yang dikutip oleh PJM Nas (1977:57) ada 3

faktcir yang berperan penting dalam proses timbulnya kota,

yakni ekologi, teknologi, dan organisasi sosial.

Dari beberapa telaah sejarah kota yang ada, ternyata

variasi bentuk sik


fi kota yang ada sangatlah banyak sesuai

dengan kompleksitas dan v ariasi peradaban yang sangat

Paradigma Perencanaon don Perancangan Kota


Respati JVikantiyoso 165

beragam dari waktu ke waktu. Para ahli sejarah telah

berusaha mernilah, menandai keberagaman pola fisik kota

dan mengklasifikasikan kedalam beberapa golongan sesuai

dengan sifat-sifat fisiknya. Pemilahan, penandaan, dan

klasifikasi tersebut seringkali justru mengaburkan dari pada

memperjelas perbedaan karena hanya didasarkan pada sifat­

sifat seperti organik dan anorganik, tidak teratur dan

geometris, magis dan mistik, formal dan informal serta

didasarkan atas kurun waktu seperti abad pertengahan,

klasik, modern dan sebagainya tanpa menggambarkan isi

yang lebih lengkap.

02. Pemahaman tentang kota

Kata kunci pertama dalam pembahasan kali ini adalah

"pengertian tentang kota". Kalau saya boleh

menginterprestasikan pengertian ini mengandung makna

suatu wilayah yang telah memiliki ciri-ciri kehidupan sosial­

budaya, ekonomi, serta fisik morfologis "kekotaan". Beberapa

pengertian kota itu sendiri sebenarnya memiliki pemahaman

yang bereda. Di bawah mi saya sampaikan tinjauan

pengertian kota dari beberapa aspek tinjauan. Kota dalam

konteks perkembangannya mempunyai terminologi yang

selalu berkembang sesuai dengan konteks tempat dan waktu

ha! ini tidak terlepas dari perjalanan sejarah pembentukanya.

Dari beberapa literatur, pengertian kota mempunyai definisi

yang sangat beragam, sehingga sangat sulit untuk membuat

definisi yang lengkap dan tepat. Definisi kota dapat ditinjau

dari beberapa aspek, yakni; aspek demografis, aspek geografis,

aspek administratif, aspek fisik/morfologis, aspek sosiologis,

.dan aspek ekonomis.

Gino Germani dalam Modernization, Urbanization and

the Urban Crisis ( 1973) merumuskan kota dari sudut

demografis merupakan pengelompokan orang-orang atau

penduduk ke dalam suatu ukuran jumlah tertentu dan dalam

suatu wilayah tertentu. Louis Wirth dalam buku Urbanization

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


166 Respati iVikantiyoso

as Way of Life mendifinisikan kota sebagai: " a relatively

large, dense, and permanent settlement of socially

heteregenous individuals ".

Batasan mengenai jumlah, dan kepadatan penduduk

suatu kota sangat beragam. Biro Sensus Amerika Serikat

memberikan patokan jumlah penduduk suatu kota minimal

sebesar 2500 jiwa, PBB mengajukan angka 200.000 jiwa,

sedangkan ahli demografi Kingsley Davis memberikan batas

1 0 0 . 0 0 0 jiwa. Angka-angka batas minimal populasi penduduk

kota di atas bukanlah suatu harga yang tetap akan tetapi

akan berubah dalam konteks tempat dan waktu. Sebagai

contoh, Biro Sensus Amerika Serikat pada tahun 1870

memakai batas jumlah penduduk 8.000 jiwa; sepuluh tahun

kemudian batas tersebut diturunkan menjadi 4.000, dan pada

tahun 1890 angka 8.000 dipergunakan lagi. Pada tahun 1906

angka batas masyarakat kota diturunkan menjadi 2.500

(Bintarto, 1977: 1 6 - 1 7 ) . Sebagai gambaran kondisi saat ini

kota Malang pada tahun 2003 telah memiliki penduduk

sejumlah 1 . 2 0 0 . 0 0 0 - an penduduk.

Karena tidak adanya kesepakatan dalam penentuan

jumlah populasi minimal penduduk kota, maka jumlah

populasi penduduk kota bukan merupakan satu-satunya

kriteria untuk menentukan suatu wilayah dapat disebut

sebagai kota atau bukan. Perbedaan penggolongan atau

penentuan jumlah populasi penduduk kota disebabkan antara

lain; perbedaan kepadatan, perbedaan tingkat kemajuan

teknologi, dan perbedaan kehidupan sosial-budaya.

Menurut Bintarto, dari segi geografis, kota dapat

diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia

yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi,

diwarnai dengan strata sosial-ekonomi yang heterogen dengan

coraknya yang materialistis; Kota dapat pula diartikan sebagai

bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami

dan non-alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk

yang relatif besar dengan corak kehidupan yang bersifat

heterogen dan materialistis dibandingkan daerah belakangnya

(pedesaan).

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


Respati Wikantiyoso 167

Secara administratif, pengertian kota dari aspek mi

dikaitkan dengan adanya hak-hak hukum tersendiri bagi

masyarakat penghuni kota. Pada Undang-undang No. 5 tahun

1974 tersirat adanya klasifikasi kota; kota provinsi, kota

madya, kota kabupaten, kota administratif, bahkan dalam

kehidupan sehari hari muncul istilah kota kecamatan.

Klasifikasi tersebut semata mata didasarkan atas aspek

administif, klasifikasi ini menunjukkan status/kedudukan

otonomi daerah. Dengan berlakunya UU no 22 tahun 1999

tentang otonomi daerah yang kemudian direvisi menjadi UU

No. 32/2004, maka terminologi administratif kota-pun

mengalami perubahan. Pengertian kota di sini lebih dikaitkan

dengan adanya hak-hak hukum tersendiri bagi masyarakat

kota. Hak hukum ini merupakan konsekwensi adanya

perbedaan otonomi daerah sesuai dengan kedudukan

hirarkhis kota yang barsangkutan.

Aspek sosial kota mempunyai peran yang dominan, dari

aspek kehidupan sosial dapat dibedakan ciri kehidupan sosial

pedesaan dan ciri kehidupan kota, sehingga dengan melihat

aspek sosial masyarakatnya dapat di tentukan suatu wilayah

yang dapat disebut sebagai kota atau bukan. Sifat sosial

perkotaan yang penting adalah sifat-sifat hubungan sosial

komunitas kota yang kosmopolitan.

Salah satu ciri kota adalah adanya aktifitas ekonomi/

perdagangan yang dominan. Pasar sebagai unsur utama kota

meunjukkan aktifitas ekonomi. Intensitas kegiatan ekonomi di

kota yang relatif tinggi biasanya terakumulasi pada derah

pusat kota, di mana pasar sebagai pusat perkembangan,

sehingga kawasan pusat kota sering disebut sebagai "Central

Buisness Distric" (CBD). Dengan melihat aktifitas ekonomi

suatu wilayah dengan berbagai fasilitas penunjangnya dapat

_ditentukan daerah tersebut mempunyai ciri-ciri suatu kota.

Dari sisi aspek morfologis, bentukan fisik kota pada

hakekatnya merupakan manifestasi fisik dari kegiatan non

fisik masyarakat kota yang terakumulasi dari waktu ke waktu.

Secara fisik, bentuk kota dapat dibedakan dari lingkungan

pedesaan, dengan adanya bentuk bangunan bertingkat dan

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota


168 Respati wtkantiyoso

semakin kompleksnya fasilitas pelayanan kota. Perkembangan

yang terjadi saat ini memperlihatkan adanya kecenderungan

mengaburnya batas fisik kota-desa, sehingga kadang-kadang

terlihat kota bagian pinggiran yang mirip desa, dan di desa

justru muncul bangunan meniru gaya di kota. Walaupun

demikian kualitas fisik/morfologi juga masih dapat

dipergunakan sebagai tolok ukur untuk menentukan suatu

daerah disebut desa atau kota.

Menyimak judul artikel di depan dan uraian di atas

muncul pertanyaan apakah kota kecil itu? Terminologi kota

kecil (town) memang tidak secara jelas dapat digambarkan

bahkan dalam UU no 22 tahun 1999 maupun

penyempurnaannya dalam UU no 32 tahun 2004 tidak

dikenal istilah kota kecil. Hak pengelolaan pemerintahan

secara otonomi diberikan kepada kota (dahulu: kota madya),

kabupaten bahkan kepada desa. Perubahan UU No. 22 tahun

1999 menjadi UU No 32 tahun 2004, sedikit banyak telah

memberikan ruang untuk diakomodasinya lokalitas "desa"

adat. Dalam Pasal 93 s/ d pasal 111 UU No. 22 Tahun 1999

yang mengatur mengenai desa, telah direvisi menjadi Bab XII

pasal 200 s/d 2 1 6 UU 3 2 / 2 0 0 4 , memberikan otonomi kepada

masyarakat desa untuk membentuk, menghapus,

menggabungkan, serta menentukan hak dan kewenangannya

berdasar pada asal usu! dan kondisi sosial budaya

masyarakatnya. Dalam UU ini istilah desa dan berbagai

kelembagaan di desa dapat disesuaikan dengan menggunakan

istilah lokal. UU ini secara konseptual juga memberikan

kewenangan pada masyarakat desa untuk memilih kepala

desa, parlemen desa, dan pemimpin kelembagaan lokal di

desa. Dalam konteks otonomi daerah menjadi jelas bahwa

pengembangan "desa" adat dibuka peluang untuk

dilakukannya pengembangan secara otonomi.

· Realita dilapangan, jika kita lihat dari sisi administratif

hirarkhi pelaksanaan sistem pemerintahan daerah adalah

berjenjang dari pemerintah kota/kabupaten, pemerintah

kecamatan dan pemerintahan desa. Jika mengacu kepada

hirarkhi administratif apakah pemahaman "kota kecil"

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kora


Respati Wikantiyoso 169

sebenarnya identik dengan "kota" kecamatan ? Jika demikian

apakan salah jika kemudian ada kota Toren, kota Dampit,

kota Singosari ?. Lalu sebenarnya seberapa "kecil" (atau

"besar") sebuah kota kecil itu ? Dalam konteks perancangan

kota pembatasan lingkup wilayah perancangan sebenarnya

merupakan suatu hal yang lazim. Dengan demikian

sebenarnya pemahaman tentang "kota kecil" tidak perlu

dipertentangkan apakah pemahaman tersebut didasarkan

pada aspek administratif', atau fisik. Yang menjadi jelas

adalah bahwa ordo "kota kecil" adalah dibawah sebuah kota

dan atau kabupaten.

Hal yang harus diperhatikan dan sangat strategis

untuk kaji lebih jauh apa potensi fisik yang terdapat pada

"kota kecil" sebagai obyek perancangan. Dengan mengacu

pada revisi UU No 22 tahun 1999 menjadi UU No 32 tahun

2004, yang memberikan kewenangan otonomi kepada desa

untuk mengembangkan diri. Walaupun rasanya tidak

berlebihan jika masih ada pertanyaan apakah pranata

operasionalnya (baca: PP-nya) mampu menterjemahkan "jiwa"

Bab XII UU no 32 tahun 2004 tersebut. Dengan berpikir

positif, maka penggalian potensi-potensi (fisik maupun non

fisik) desa atau pedesaan menjadi langkah strategis dalam

perancangan kota-kota kecil. Pemahaman tentang wilayah

kota kecil dengan potensi desa-desa yang sangat spesifik baik

dari sisi sosio-kultural, fisik, teknologi dan pengetahuan

lokalnya (indigenious knowlwdge) maka karakter hasil

rancangan kotanya sangat unik dan spesifik. Apa yang

dikhawatirkan oleh Eko Budiardjo akan munculnya

"ketunggalrupaan" arsitektur kota kecil tidak terjadi.

Walaupun demikian bukan berarti perancangan kota

kecil dengan potensi-potensi desa yang sangat spesifik

tersebut tidak menyimpan permasalahan. Dilema antara

mengembangkan (baca: membangun) desa-desa di "kota kecil"

terjadi antara kepentingan "mempertahankan" nilai-nilai asli

dengan kemungkinan terkikisnya karakter (fisik dan non fisik)

desa asli. Di sini diperlukan suatu "kearifan" dalam upaya

intervensi fisik (perencanaan dan perancangan). Bagaimana

Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota

Anda mungkin juga menyukai