Bab Ii
Bab Ii
LANDASAN TEORI
karena kecemasan memberi sinyal kepada individu bahwa ada bahaya dan kalau
tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego
Salah satu bentuk kecemasan akan masa depan menurut Tillich (dalam
Wijaya & Safitri, 2012:1) adalah the anxiety of fate and death atau ontoc anxiety
kematian sebagai kondisi berhentinya fungsi jantung, paru secara menetap atau
15
16
atau kematian sebagai keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang
berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung seseorang telah
berhenti.
mengalami perasaan gelisah karena ketidak nyamanan yang tidak jelas atau samar
terhadap kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu sendiri, cara
kematian.
death anxiety atau kecemasan terhadap kematian adalah sebuah hal yang
yang terpisah dan berdiri sendiri tidak saling tergantung dan secara bersama-sama
terkait dengan konsekuensi kematian bagi pikiran dan tubuh, kekhawatiran akan
efek kematian yang menyakitkan pada interaksi antar pribadi seseorang dan orang
yang berhubungan dekat, dan kekhawatiran pribadi yang berkaitan dengan akhirat.
17
berorientasi pada masa yang akan datang, yang ditandai oleh adanya kekhawatiran
karena tidak dapat memprediksi atau mengontrol kejadian yang akan datang.
bahaya yang dhadapi saat ini. Durand dan Barlow (2006:159) menyebutkan
ketakutan ditandai oleh adanya kecenderungan yang kuat untuk lari, sering kali
juga ditandai oleh adanya desakan dalam cabang simpatik dan sistem saraf
otonom.
menghadapi kematian adalah rasa takut atau khawatir yang tidak menyenangkan
jasmaniah seperti ketegangan fisik dan kekhawatiran tentang akhir dari hidup
manusia yang memberi efek gejala psikologis pada interaksi sosial, fikiran dan
tubuh.
sebagai konsep yang multi dimensional (Conte, dalam Wijayanti & Lailatussifah,
2012:56). Collett dan Lester (dalam Florian & Mikulincer, 2008:4) membuat
akan kematian. Dimensi pertama membedakan antara jenis rasa takut akan
kematian, seperti takut akan kematian itu sendiri dan takut proses sekarat.
18
Dimensi kedua membedakan antara objek dari rasa takut, seperti takut mati
pendapat Kastenbaum dan Aisenber, Minton dan Spilka (dalam Florian &
Florian dan Kravets (dalam Florian & Mikulincer, 2008:5) membuat alat
terhadap kematian diri dapat dibagi menjadi tiga komponen yang menunjuk
pemenuhan diri atau fear of the loss of fulfillment dan ketakutan akan
atau fear of the loss of the sosial identity. Disamping itu, kematian juga
keluarga dan sahabat atau fear of the consequences to family and friend.
apa yang akan terjadi dalam pikiran seseorang setelah kematian (Florian &
trasendental consequency atau sesuatu yang tidak diketahui dan fear of the
kemudian dijabarkan menjadi enam dimensi yaitu: (1) fear of the loss of
fulfillment, (2) fear of the self annihilation, (3) fear of the loss of the sosial
identity, (4) fear of the consequences to family and friend, (5) fear of tracendental
Hambly (dalam Wijaya & Safitri, 2012:3) menyatakan faktor yang mempengaruhi
kecemasan menghadapi kematian antara lain; sikap pribadi, jenis kelamin, status
Sementara itu menurut Schaie dan Willis (dalam Wicaksono & Meiyanto,
2003:58) mengatakan bahwa kecemasan tentang kematian adalah suatu hal yang
berkaitan dengan berbagai faktor seperti usia, keyakinan religius, dan tingkat
tujuan dan makna hidup, religiusitas, tingkat kepuasan individu dalam hidup,
integritas ego, kontrol diri, dukungan sosial, personal sense of fulfillment, sikap
B. Religiusitas
1. Pengertian Religiusitas
merupakan kata sifat dari religion atau religi. Sarwono (2012:109) menyebutkan
religi adalah kepercayaan terhadap kekuasaan suatu zat yang mengatur alam
21
semesta ini adalah sebagian dari moral, sebab dalam moral sebenarnya diatur
segala perbuatan yang dinilai tidak baik sehingga perlu dihindari. Mangunwijaya
(dalam Wahyuni, 2009:89) membedakan antara istilah religi atau agama dengan
yang berkaitan dengan aturan dan kewajiban, maka religiusitas menunjuk pada
aspek religi yang telah dihayati oleh seseorang dalam hati. Pendapat tersebut
Wahyuni, 2009:89).
Salah satu konsep yang akhir-akhir ini dianut banyak ahli psikologi dan
sosiologi adalah konsep religiusitas rumusan Glock dan Stark. Menurut Glock dan
Stark religiusitas adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem
persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi atau ultimate meaning
dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan
dalam diri seseorang. Hal ini menunjukkan religiusitas menyangkut dengan gejala
kejiwaan.
merupakan suatu sistem yang menyeluruh, bukan hanya diwujudkan dalam bentuk
22
diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan, tidak hanya berupa ibadah (ritual)
saja, tetapi segala kegiatan yang didorong oleh rasa keagamaan, tidak hanya
berupa aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tapi juga aktivitas yang
adalah sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terinternalisasi
2. Dimensi Religiusitas
Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 2011:80) menjelaskan ada lima
agama. Menurut Ancok dan Suroso, Glock dan Stark membagi religiusitas
Islam:
Keyakinan atau keimanan itu bersifat tasdiq yaitu pembenaran dalam hati,
secara jelas dari agama seperti sifat Esanya Allah, kenabian Muhammad
Saw, pembangkitan dari kubur, pembalasan amal baik dan buruk, dan
bisa secara ijmal (umum) seperti mengimani para Malaikat, para Nabi,
Rasul, Kitab-kitab samawi dan sebagainya. Selain itu, iman secara tafsil
com, 2014).
puasa, dan sebagainya. Dalam penelitian ini yang akan diteliti dari dimensi
hidup sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya. Karena begitu luas
cakupan dimensi ini, maka dalam penelitian ini, beberapa indikator yang
Hampir serupa dengan pendapat Glock dan Stark, religiusitas dalam Islam
merujuk kepada hadis Rasulullah yang bersumber dari Umar, ra sebagai berikut:
Dari Ibnu Umar ra, Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Agama Islam
dibangun diatas lima unsur, yaitu: bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mengerjakan shalat,
membayar zakat, mengerjakan haji dan berpuasa pada bulan Ramadhan.
(H.R. Bukhari dan Muslim, dalam Asrori, 2000:23-24).
Dari dua hadis diatas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas dalam agama
Islam dibagi menjadi lima dimensi, yaitu: (a) dimensi aqidah, menyangkut
keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, para nabi, dan
ibadah yang telah ditetapkan misalnya shalat, zakat, haji, dan puasa; (c) dimensi
menolong orang lain, membela orang lemah, bekerja dan sebagainya; (d) dimensi
melanggar larangan dan lain-lain dan; (e) dimensi ilmu menyangkut pengetahuan
kepedulian atau membantu orang lain yang didapat dari orang lain atau kelompok-
kelompok lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa dukungan sosial adalah bantuan
27
yang didapat individu dari orang lain atau kelompok, baik yang berupa bantuan
materi maupun non materi, yang dapat menimbulkan perasaan nyaman secara
informasi yang menuntut seseorang meyakini bahwa dirinya diurus dan disayang.
salah satu fungsi dari ikatan sosial, dan ikatan-ikatan sosial tersebut
Smet (1994:132), dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa
diperoleh dari orangtua, pasangan (suami atau istri), anak dan kerabat keluarga
keluarga.
yaitu orangtua, pasangan (suami atau istri), anak dan kerabat keluarga lainnya.
28
a. Dukungan emosional
dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. Nugroho
b. Dukungan penghargaan
c. Dukungan instrumental
Putri, Zulfitri dan Karim (2017:7) menyebutkan pasangan lansia yang saling
d. Dukungan informasi
Dukungan yang bersifat informasi ini dapat berupa saran, pengarahan dan
1. Kerangka pemikiran
Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori religiusitas
oleh Glock dan Stark yang disesuaikan dengan konsep ajaran Islam oleh Ancok
dan Suroso, teori dukungan sosial keluarga yang dikemukakan oleh Sarafino, dan
Kravetz.
Setiap individu pasti akan memasuki usia lanjut dan menjadi tua. Ketika
menjadi tua banyak permasalahan yang akan dihadapi baik secara fisik maupun
psikis. Para lansia yang tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan perubahan-
perubahan atau permasalahan yang akan dihadapi seperti kedatangan ajal yang
semakin dekat sehingga lansia menjadi cemas. Secara psikologis, kematian turut
tersebut akan memisahkannya dengan orang yang disayangi dan keluarga, merasa
oleh perasaan tidak berdaya dalam menghadapi kematian, dan rasa takut akan
kematian ini semakin meningkat pada usia tua. Kecemasan terhadap kematian
baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Atwater (dalam Wuriandari, 2007:9), yang
terhadap agama yang berkaitan dengan kematian adalah keyakinan akan adanya
mencapai religiusitas. Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso,
2011:76) religiusitas adalah sistem simbol, keyakinan, nilai, dan perilaku yang
terlembagakan, yang terpusat pada nilai-nilai ketuhanan yang terdapat pada ajaran
dalam diri seseorang dan tercermin dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.
putus asa dan takut akan kematian dapat dikurangi dengan religiusitas yang
kaum religius kematian tidak dipandang sebagai akhir dari keberadaan walaupun
secara fisik telah mati tetapi mereka percaya bahwa jiwanya akan tetap hidup
terus. Hal tersebut karena seseorang mempunyai pegangan atau keyakinan yang
kuat terhadap apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia semata-mata adalah
31
takdir Tuhan (Sari, 2013:621). Disini pula sebenarnya fungsi dan peran penting
nilai-nilai ajaran agama. Nilai-nilai ajaran yang secara religius diyakini mampu
dimasa tua (Koenig & Larson, dalam Santrock, 2002:264). Dengan mengingat
kematian secara tidak langsung lansia akan menghargai hari-harinya dengan amal
kematian dengan suasana batin yang lebih tenang. Tetapi, bagi penganut agama,
imani. Mereka yang merasa dirinya telah berbuat kebajikan, sesuai dengan
tuntunan ajaran agama, akan lebih tenang dalam menghadapi kematian. Tidak
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Nashori (dalam
mampu mengurangi efek-efek negatif seperti stres, cemas, gelisah dan putus asa.
memiliki kecerdasan ruhaniah yang tinggi tidak merasa cemas dan siap dalam
yang rendah.
bahwa ada fakta-fakta tentang meningkatnya minat lansia terhadap agama sejalan
dengan bertambahnya usia. Namun umumnya pada kondisi ini lansia ingin
para lansia tinggal bersama keluarga, sehingga mereka sangat tergantung pada
anggota keluarga yaitu suami, anak, menantu, cucu dan keluarga lainnya. Di
dalamnya mereka akan saling memberikan saran, nasehat, dan berbagi baik
Menurut Santrock (dalam Nathania & Godwin, 2011:4) salah satu yang
dibutuhkan lansia selain agama adalah adanya dukungan sosial untuk mengurangi
kematian.
33
kenyamanan, perhatian, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain,
dimana orang lain disini bisa berarti individu secara perorangan ataupun
kelompok. Jika dikaitkan dengan konsep bahwa keluarga sebagai salah satu
ataupun bantuan yang diterima individu dari orang keluarga yang memberikan
rasa nyaman.
Nathania & Godwin, 2011:10). Dukungan sosial yang diberikan memiliki banyak
hidup (Smet, 1994:134). Selain itu, Sarason (dalam Nathania & Godwin, 2011:10)
berpendapat bahwa orang yang memperoleh dukungan sosial akan mengalami hal-
hal positif dalam hidupnya, memiliki harga diri, dan mempunyai pandangan yang
psikologis selama masa stres, hal ini sebagai konsekuensi kesadaran lansia tentang
kematian.
Apabila dukungan sosial keluarga yang diterima cukup, maka kesehatan fisik dan
34
mental akan baik (Sarafino, 2011:100). Hubungan pribadi antara anggota keluarga
meningkatkan rasa kepemilikan, harga diri dan penerimaan diri lansia, serta
anggota keluarga dan pengaruh keluarga yang baik dapat meminimalisir faktor-
faktor penyebab kecemasan (Santrock, 2007:167), dalam hal ini lansia yang
menghadapi proses penghakiman di akhirat serta kecemasan yang tinggi saat sakit
keras.
lansia akan membawa efek positif yaitu sebagai pelepasan emosi dan mengurangi
kecemasan. Dalam dukungan ini lansia merasa diperhatikan, diterima dan dihargai
untuk tetap maju dan mengembangkan diri agar selalu istiqomah dalam
nasehat, petunjuk atau umpan balik agar dapat membatasi masalahnya dan
yang diterima lansia dari keluarganya pada saat yang tepat dapat memberikan
motivasi bagi lansia bahwa semua manusia akan mengalami kematian, akibatnya
lansia dapat lebih bersemangat dalam menjalani hidup karena dirinya merasa
yang termasuk faktor dari lingkungan antara lain keadaan sosial, ekonomi, politik,
adat kebiasaan dan sebagainya. Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat
yang dibutuhkan untuk mengurus persiapan tutup usia lansia, tapi juga peran yang
kubur yang menjadi misteri di akhir jaman. Dengan demikian tinggi rendahnya
mampu menerima kematian sebagai sesuatu yang wajar sehingga tidak akan takut
bahwa individu yang mempunyai sikap positif terhadap kematian akan mampu
menghadapi kenyataan akan kematian dirinya sendiri dan kematian orang lain
dukungan sosial keluarga memiliki kedudukan yang setrategis dan penting dalam
dan konseptual yang telah diuraikan dalam kerangka pemikiran diatas, maka
menghadapi kematian pada lanjut usia dapat digambarkan pada gambar 2.1:
37
RELIGIUSITAS (X1)
3. Dimensi Transpersonal
DUKUNGAN SOSIAL
KELUARGA (X2)
1. Dukungan Emosional
2. Dukungan Penghargaan
3. Dukungan Instrumental
4. Dukungan Informasi
VARIABEL YANG DITELITI
Keterangan :
2. Hipotesis