Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

Bunuh diri menjadi fenomena yang tidak asing akhir-akhir ini. Definisi
bunuh diri menurut Centers for Disease Control and Prevention adalah kematian
yang terjadi akibat perilaku yang disengaja untuk menyakiti diri sendiri (Crosby,
Ortega, dan Melanson, 2011). American Psychological Association (APA)
mendefinisikan bunuh diri sebagai tindakan yang membunuh diri sendiri, bisa
disebabkan oleh depresi maupun gangguan yang terkait penyakit mental (Kazdin,
2000). Bunuh diri adalah kematian yang diakibatkan diri sendiri dengan bukti (baik
eksplisit maupun implisit) bahwa orang tersebut dimaksudkan untuk mati (O’Carroll,
Berman, Maris, Moscicki, Tanney, & Silverman, 1996).
Penyebab faktor bunuh diri ada tiga. Tiga faktor tersebut adalah perceived
burdensomeness (perasaan menjadi beban), low belonging/ social alienation (alienasi
sosial dan rendahnya rasa keterikatan) dan capability of suicide (kemampuan untuk
melakukan bunuh diri) (Joiner,2015).
Data bunuh diri dari Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME)
menemukan 3-4 dari 100.000 orang di Indonesia meninggal akibat bunuh diri atau
tindakan melukai diri sendiri (dalam Lee, Roser, dan Ortiz-Ospina, 2018). Hal
tersebut sesuai dengan temuan World Health Organization (2012) yang menyatakan
bunuh diri merupakan penyebab kematian kedua di seluruh dunia pada individu-
individu yang berusia 15 hingga 29 tahun. WHO bahkan memperkirakan pada tahun
2020 akan terjadi setidaknya 1,53 juta kematian akibat bunuh diri di dunia atau 1
kasus setiap 20 detik (Bertolote dan Fleischmann, 2002). Namun untuk tahun 2018,
angka bunuh diri di Indonesia jika dibandingkan dengan angka bunuh diri dunia
adalah (World Health Organization, 2018) .Dengan banyaknya angka bunuh diri
tersebut, sesungguhnya ada orang-orang yang terdampak dari peristiwa tersebut yaitu
suicide loss survivor.
Suicide loss survivor adalah individu yang mengalami kehilangan seseorang
akibat bunuh diri dan memiliki hubungan cukup dekat dengan orang tersebut
(America Association of Suicidology, 2014). Menurut penelitian, individu yang
mengenal seseorang meninggal karena bunuh diri pada tahun lalu akan 1,6 kali
kemungkinan memiliki pikiran untuk bunuh diri, 2,9 kali lebih mungkin punya
rencana untuk bunuh diri, dan 3,7 kali lebih mungkin untuk melakukan upaya bunuh
diri. (Crosby & Sack 1994)
Individu yang meninggal akibat bunuh diri dapat berdampak pada 6-18 orang
di lingkungan keluarga besar dan bisa mencapai 20 orang untuk lingkungan pergaulan
sehari-hari, data penelitian ini dilakukan di Amerika dengan responden sebanyak 142
(Berman, 2011). Cerel (dalam Cerel dan Sanford, 2018) menemukan bahwa 72%
anggota keluarga dekat dengan mendiang dan 51,9% merasa bahwa kematian ini
berdampak dalam hidup individu. Untuk teman, 47% merasa dekat dengan mendiang
dengan 17,4% merasa kematian tersebut berdampak dalam hidup individu. Khusus
suicide loss survivor di lingkungan militer, 35,1% merasa kenal dekat dengan
mendiang dan 21,6% merasakan dampak kematian mendiang dalam hidup individu.
Khusus untuk rekan kerja, hanya 20% kenal dekat dan hanya 11,3% merasakan
dampak atas kematian tersebut.
Selain meningkatkan risiko upaya bunuh diri, suicide loss survivor juga
terdampak resiko meningkatnya putus sekolah atau pekerjaan, fungsi sosial yang
buruk, dan tingkat stigma (Pitman dan Osborn 2016). Tidak hanya hal tersebut namun
suicide loss survivor juga membawa rasa malu, rasa bersalah, dan perasaan
bertanggung jawab yang tinggi (Pitman, Osborn, Rantell dan King 2016).
Kecemasan, depresi, complicated grief dan reaksi trauma, gangguan tidur, dan pikiran
untuk bunuh diri juga dapat berdampak terhadap suicide loss survivor (McMenamy
dkk, 2008) Hal tersebut terlihat dari berita mengenai kematian bunuh diri di Indonesia
baru-baru ini yaitu mengenai kematian seorang Bripka Kristian, yang dimana disaat
autopsi terdengar suara seorang pria yang diduga adalah keluarga korban berteriak
histeris hingga ke luar ruangan Instalasi Forensik RS Bhayangkara Polda Kepri. "Aku
yang salah, maafkan aku Tuhan, maafkan, aku yang salah" (Tribunnews.com).
Menurut Jordan (2001) and Cvinar (2005), permasalahanya ketika individu
kehilangan seseorang yang cukup dekat akibat bunuh diri, akan memungkinkan jika
ada perbedaan antara persepsi yang dirasakan suicide loss survivor dan bagaimana
persepsi anggotanya masyarakat melihat kejadian tersebut. Seringkali komunitas atau
kelompok dari individu ingin membantu individu yang sedang berduka, namun tidak
yakin bagaimana cara melakukannya. Karena ada prespsi yang salah tersebut juga
menyebabkan tetangga menghindari suicide loss survivor, dikarenakan takut untuk
mengatakan kata-kata yang kurang pantas bagi suicide loss survivor atau presepsi
akan keluarga masih ingin dibiarkan sendiri dalam berduka (Knieper, 1999).
Mengingat kejadian tersebut adalah peristiwa yang tidak nyaman dan traumatis. Hal
ini cenderung meningkatkan tingkat isolasi yang mungkin dialami individu atau
keluarga. Tidak hanya pandangan yang berbeda, bahkan adanya pandangan negatif
dari masyarakat dan pandangan negatif dari diri individu sendiri bahwa individu
gagal sebagai seorang teman atau pun anggota keluarga yang baik (Chapple,
Ziebland, & Hawton, 2015; Cvinar, 2005; Thornicroft, 2008; Van Orden, Witte,
Gordon, Bender, & Joiner Jr., 2008). Pandangan atau stigma negatif kepada diri
sendiri yang berasal dari publik adalah self-stigma, sedangkan stigma publik berasal
dari serangkaian pengetahuan sosial yang dimiliki secara berkelompok terhadap
individu dalam kelompok tertentu (Corrigan dan Watson 2002). Pandangan stigma
tersebut juga berkorelasi positif dengan pengalaman mengalami duka, depresi dan
pemikiran bunuh diri (Feigelman dkk, 2009).
Stigma tidak hanya mempengaruhi individu yang membawa karakteristik
stigma, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, yang kemudian disebut stigma yang
disebabkan oleh asosiasi (van derSanden, Bos, Stutterheim, Pryor, & Kok, 2015).
Demikian pula, stigma bunuh diri tidak hanya memengaruhi orang-orang yang
memiliki pengalaman bunuh diri, tetapi juga orang-orang yang kehilangan
signifikansi lain karena bunuh diri (yaitu suicide loss survivor) (Corrigan dkk, 2018).
Stigma atau pandangan negatif tersebut membuat suicide loss survivor terhambat
mencari bantuan psikologis yang dibutuhkan, karena situasi tersebut membuat
suicide loss survivor terisolasi (Cvinar, 2005), pada saat momen individu sangat
rentan untuk mengalami rasa sedih, terkejut, dan marah (Association of American
Suicidology, 2014). Oleh sebab itu, membahas gambaran stigma terhadap usaha
mencari bantuan psikologis pada suicide loss survivor sangatlah penting karena pada
saat ini individu sangat rentan terhadap gangguan psikologis atau bahkan bunuh diri
itu sendiri.
Stigma tidak hanya memperburuk kondisi suicide loss survivor, tetapi stigma
juga mempersulit suicide loss survivor untuk mencari bantuan. Upaya mencari
bantuan atau help seeking behavior didefinisikan sebagai mencari bantuan secara
sadar yang dilakukan oleh individu untuk mencari bantuan (Cornally dan McCarthy,
2011). Perilaku mencari bantuan ini dipengaruhi berbagai faktor, beberapa faktor
penghambat khusus suicide loss survivor adalah pikiran terus-menerus tentang
kematian seseorang yang melakukan bunuh diri, stigma, dijauhi teman sekitar, dan
rasa kesepian (Kurtzbein, 2016). Sedangakan faktor protektif pelindung yang
membantu suicide loss survivor mencari bantuan beberapa diantaranya adalah
kelompok dukungan khusus suicide loss survivor atau dorongan dari orang yang juga
merupakan suicide loss survivor (Kurtzbein, 2016). Stigma dapat mempersulit
suicide loss survivor untuk mencari bantuan karena stigma membuat suicide loss
survivor menyembunyikan rasa duka (Pitman dkk, 2018).
Stigma juga berpengaruh dari budaya seseorang, karena semakin individual
budaya seseorang maka memiliki pandangan yang kemungkinan berorientasi positif
terhadap pencarian bantuan psikologis dibandingkan budaya kolektif (Gallou, 2007),
karena dasar budaya individualis seperti di negara Amerika lebih mementingkan
tujuan individu daripada tujuan kelompok, sehingga individu cenderung menekankan
tujuan individualitas dan bersifat individualisme dibandingkan kolektif (Postmes dkk,
2001). Meskipun budaya individualis memiliki orientasi yang kemungkinan lebih
positif dalam mencari bantuan, namun budaya individualis memiliki stigma bahwa
hanya orang yang mencari bantuan yang dianggap mentalnya lemah atau tidak
mampu merawat diri sendiri (Corrigan, 2004).
Berbeda dengan Amerika, Indonesia adalah negara yang memiliki budaya
kolektif. Budaya kolektif memiliki pandangan atau stigma yang lebih melekat pada
lingkungan dan keluarga tersebut bila seseorang mencari bantuan, karena masyarakat
kolektivistik menanamkan kebutuhan untuk memberikan yang ketat, kelompok yang
saling berhubungan di mana berbagi tanggung jawab, saling ketergantungan
emosional, kelompok keharmonisan, dan penghargaan terhadap otoritas dihargai
(Bhugra, 20013; McCarthy, 2005; Lee dkk, 2010). Kelompok-kelompok ini termasuk
keluarga, gereja, sekolah, komunitas, dan bahkan negara (McCarthy, 2005). Hal ini
sangat tergambar di negara Indonesia, bahwa orang Indonesia suka bersama dan
jaringan keluarga diperlukan untuk kesejahteraan emosional individu (Hofstede &
Hofstede 2005), preferensi untuk kerangka kerja sosial yang sangat erat di mana
individu diharapkan untuk mengurus individu kerabat atau anggota kelompok tempat
individu berada (Hofstede, 2013). Hal tersebut juga di dukung dari data penelitian
“Parenting, and Children’s Theory of Mind Development in Indonesia’ yang
dilakukan di Jakarta dan Bogor, dari penelitian tersebut menghasilkan bahwa gaya
parenting orang tua di Indonesia adalah budaya kolektif (Kuntor, Peterson dan
Slaughter 2017).
Indonesia adalah budaya kolektif yang budayanya lebih erat terhadap
lingkungan sekitar seperti keluarga dan sosial, hal tersebut memberi alasan bahwa
budaya kolektif lebih memiliki rasa enggan untuk membuka diri dan mencari bantuan
profesional (Helmes & Gallou 2014). Hal tersebut dimungkinkan karena budaya
kolektif menganggap mencari layanan kesehatan mental dapat dilihat sebagai
membawa aib kepada keluarga (Kim, 2007) dan dapat menyebabkan "kehilangan
muka" untuk orang dan keluarga atau komunitas (Zane & Yeh, 2002). Choi dan
Miller (2014) mengemukakan bahwa stigma disebabkan oleh penyakit mental, dapat
merusak reputasi keluarga individu, hal tersebut dianggap lebih baik jika individu
tersebut menghindari mencari bantuan.
Tujuan penelitian ini adalah membahas gambaran stigma terhadap suicide loss
survivor di Indonesia. Karena penelitian menganai suicide loss survivor sudah ada di
Amerika, namun belum ada di negara Indonesia khususnya kota Jakarta. Kedua
negara tersebut memiliki perbedaan budaya sehingga bisa saja menghasilkan
kebutuhan yang mungkin berbeda. Budaya Indonesia memiliki budaya yang kolektif
karena skor individualisme relatif rendah yaitu 14 dari 43 rata-rata dunia (Wirawan
and Irawanto, 2007).
Partisipan dalam penelitian ini adalah rekan-rakan suicide loss survivor yang
pernah kehilangan seseorang akibat bunuh diri dengan domisili sekitar Jakarta. Jenis
penelitian yang akan digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi
kasus dengan metode pengambilan data wawancara tatap muka. Jumlah partisipan
yang diharapkan mengikuti penelitian ini, akan diambil dari jumlah partisipan yang
bersedia dipilih untuk wawancara. Hal ini dikarenakan peneliti melihat pertimbangan
bahwa, peneliti berharap semakin banyak partisipan maka datanya akan semakin
baik.

I.B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan diatas, rumusan masalah dalam


penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran stigma pada suicide loss survivor yang
ada di Jakarta dalam melakukan help seeking behavior atau perilaku pencarian
bantuan?”

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran stigma pada suicide loss
survivor yang ada di Jakarta dalam melakukan help seeking behavior atau perilaku
pencarian bantuan.

I.D. Manfaat Penelitian


I.D.1. Manfaat Teoritis

1. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran dan informasi


mengenai dampak stigma terhadap help seeking behavior pada
suicide loss survivor.
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya
terkait help seeking behavior pada suicide loss survivor.
I.D.2. Manfaat Praktis

1. Mengembangkan program dari lembaga yang bergerak dalam bidang


kesehatan mental, maupun lembaga yang ingin membuat program
upaya pengurangan stigma untuk meningkatkan help seeking behavior
pada suicide loss survivor.

I.E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut,


1. Bab I pendahuluan akan membahas mengenai latar belakang penelitian,
masalah penelitian, tujuan penelitian secara umum dan secara khusus, manfaat
penelitian secara teoritis dan praktis, dan sistematika penulisan.
2. Bab II landasan teori akan membahas mengenai teori-teori yang berkaitan
dengan variabel penelitian, yaitu mengenai teori-teori yang akan digunakan.
3. Bab III metode penelitian akan membahas mengenai jenis penelitian, variabel
penelitian, sampel penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian,
prosedur penelitian serta metode pengolahan data.
BAB II
LANDASAN TEORI

II.A Bunuh Diri

II.A.1 Definisi Bunuh Diri

Secara etimologi, bunuh diri atau ‘suicide’ berasal dari abad ke 17 dari
bahasa latin yang artinya sui adalah dari diri sendiri, sedangkan caeder artinya
untuk membunuh, sehingga arti dari suicide adalah membunuh diri sendiri. Sir
Thomas Browne membedakan pembunuhan berdasarkan objek yang dibunuh,
yaitu pembunuhan diri sendiri dan membunuh orang lain (Minois, 1999).
Definisi bunuh diri menurut Centers for Disease Control and
Prevention adalah suicidal kematian akibat perilaku yang disengaja untuk
menyakiti diri sendiri (Crosby, Ortega, dan Melanson, 2011). American
Psychological Association (APA) mendefinisikan bunuh diri sebagai tindakan
yang membunuh diri sendiri, biasa bisa disebabkan oleh depresi maupun
gangguan yang terkait penyakit mental (Kazdin, 2000). Bunuh diri adalah
kematian yang diakibatkan diri sendiri dengan bukti (baik eksplisit maupun
implisit) bahwa orang tersebut dimaksudkan untuk mati (O’Carroll, Berman,
Maris, Moscicki, Tanney, & Silverman, 1996).
Definisi bunuh diri yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
definisi yang disampaikan oleh APA karena sesuai dengan Bertolote dan
Fleischmann (2002) bahwa 97% orang yang bunuh diri memiliki setidaknya
1 diagnosis gangguan mental di DSM-III. Secara umum bunuh diri dapat
didefinisikan sebagai tindakan yang sengaja dilakukan untuk membunuh diri
sendiri yang biasa disebabkan oleh gangguan mental.

II.A.2 Tahap-Tahap Bunuh Diri

Berdasarkan three step theory of suicide milik Klonksy dan May,


terdapat tiga tahap yang harus dilalui individu sebelum melakukan percobaan
bunuh diri (dalam Klonksy, May, & Saffer, 2016). Tahap-tahap tersebut adalah
suicidal ideation, strong ideation, dan suicide attempt. Penjelasannya adalah
sebagai berikut:
1) Suicidal Ideation
Bunuh diri selalu diawali dengan rasa sakit. Rasa sakit
ini dapat berupa sakit psikologis atau pun emosional yang
biasanya disebabkan oleh keinginan yang tidak tercapai,
sehingga mengurangi keinginan untuk hidup. Rasa sakit saja
tidak dapat membuat seseorang ingin untuk melakukan bunuh
diri, tetapi rasa sakit dengan kehilangan harapan
(hopelessness) dapat membuat individu memiliki suicidal
ideation. Pada tahap ini individu mengalami rasa sakit dan
menganggap tidak ada yang dapat membuat kondisinya
menjadi lebih baik.
2) Strong Ideation
Tahap kedua muncul ketika rasa sakit dan hopelessness
melebihi connectedness. Connectedness adalah hal-hal yang
dianggap penting dalam hidup dan menjadi pendorong untuk
tetap hidup, seperti pekerjaan, tujuan hidup, dan teman.
Connectedness merupakan faktor pelindung dari bunuh diri,
tetapi ketika bagian dari connectedness ini semakin berkurang
atau hilang sepenuhnya, maka individu akan semakin yakin
untuk melakukan bunuh diri.
3) Suicide Attempt
Hanya sedikit orang dengan strong ideation benar-
benar berakhir pada upaya bunuh diri (suicide attempt).
Suicide attempt terjadi ketika individu tidak takut lagi untuk
mengakhiri hidupnya, memiliki cara untuk bunuh diri, dan
punya kemampuan untuk menjalankan rencananya.

II.A.3 Faktor Bunuh Diri

Bunuh diri adalah peristiwa kompleks yang dipengaruhi berbagai


macam faktor. WHO menjelaskan bahwa gangguan mental khususnya depresi
dan penyalahgunaan NAPZA, adanya krisis, rasa sakit berkelanjutan, konflik,
kekerasan, pengalaman menjadi pengungsi, imigran, dan tahanan, pengalaman
upaya bunuh diri, dan memiliki orientasi seksual non-hetero sebagai faktor
risiko utama dari perilaku bunuh diri (dalam Franklin, Ribeiro, Bentley,
Huang, Musacchio, Chang, Fox, Kleiman, Jaroszewski, & Knock, 2017).
Bertolote dan Fleischmann (2002) bahkan menyebutkan 97% individu yang
meninggal akibat bunuh diri setidaknya memenuhi satu diagnosis gangguan
mental di DSM-III.

II.A.4 Penyebab Bunuh Diri

Joiner (2005) dalam interpersonal-psychological theory of suicidal


behavior menjelaskan bunuh diri disebabkan oleh tiga faktor, yaitu perceived
burdensomeness (perasaan menjadi beban), low belonging/ social alienation
(alienasi sosial dan rendahnya rasa keterikatan) dan capability of suicide
(kemampuan untuk melakukan bunuh diri). Penjelasannya adalah sebagai
berikut:
1) Perceived burdensomeness adalah keadaan ketika seseorang merasa
menjadi beban bagi keluarga, bagi teman, dan orang-orang sekitarnya.
2) Low belonging/ social alienation adalah pengalaman dikucilkan dari
orang lain, tidak dianggap sebagai bagian keluarga, teman, atau
kelompok lain yang dianggap berharga. Ketika individu memiliki
perceived burdensomeness dan low belonging, maka keinginan untuk
bunuh diri atau desire of suicide akan muncul.
3) Capability of suicide terdiri dari persepsi individu terhadap
kemampuannya untuk menyakiti diri sendiri dan peningkatan toleransi
rasa sakit akibat habituasi rasa sakit. Jika ketiga hal seperti perceived
burdensomeness, low belonging/ social alienation dan capability of
suicide ada semua dalam diri individu. Maka individu akan mengalami
lethal (suicide attempts), yaitu tahap dimana individu berani melukai
dirinya sendiri dengan tujuan untuk mengakhiri hidupnya.
Pandangan lain terkait penyebab bunuh diri disampaikan oleh
Rosenthal melalui model game theory (1993). Rosenthal melihat bahwa
individu melakukan upaya bunuh diri sebagai usaha meminta bantuan (cry for
help) kepada orang lain, terutama teman dan keluarga. Sinyal usaha meminta
bantuan ini dapat direspon dengan simpati atau tidak. Respon ini lah yang
menentukan apakan individu akan benar-benar melakukan upaya bunuh diri,
apabila respon tidak simpati maka suicide attempt akan dilakukan.

II.B. Definisi dan Pengalaman Suicide Survivor Loss

II.B.1 Definisi Suicide Survivor Loss

Suicide loss survivor adalah individu yang mengalami kehilangan seseorang


akibat bunuh diri dan memiliki hubungan cukup dekat dengan orang tersebut
(America Association of Suicidology, 2014). Selain definisi tersebut, Berman (2011),
mendefinisikan suicide loss survivor sebagai “...those believed to be intimately and
directly affected by a suicide; that is, those who would self define as survivors after
the suicide of another person.”. Berdasarkan definisi tersebut, kita dapat
menyimpulkan bahwa suicide loss survivor adalah individu yang mengalami secara
dekat dan langsung kehilangan orang yang individu tersebut kenal akibat bunuh diri.

II.B.2 Prevalensi dan Pengalaman Suicide Loss Survivor

Satu orang meninggal akibat bunuh diri dapat berdampak 6-18 orang
di lingkungan keluarga besar dan bisa mencapai 21 orang untuk lingkungan
pergaulan sehari-hari (Berman, 2011). Jumlah ini bahkan jauh lebih rendah
dibandingkan temuan Cerel (dalam Cerel dan Sanford, 2016) dimana setiap
satu kematian akibat bunuh memberi dampak ke setidaknya 135 orang sebagai
suicide loss survivor. Angka yang disampaikan Cerel jauh lebih banyak karena
setiap orang yang meninggal akibat bunuh diri memiliki berbagai peran dalam
komunitas, sehingga setiap orang yang mengenalnya akan terdampak dengan
dampak menengah hingga parah.

Suicide loss survivor berisiko tinggi mengalami depresi, post-


traumatic disorder, complicated grief, dan juga kemungkinan menghadapi ide
atau usaha bunuh diri individu sendiri (Sanford, Cerel, McGann, dan Maple,
2016). Individu cenderung mengalami complicated grief atau
ketidakmampuan untuk mengatur kesedihannya ketika sedang dalam proses
penyembuhan (Prigerson dkk, 1999). Penelitian tambahan dari Qin, Agerbo,
dan Mortensen (2005), juga bahkan menyatakan bahwa kehilangan anggota
keluarga akibat bunuh diri meningkatkan 2-10% bunuh diri suicide loss
survivor yang berada di keluarga yang sama.

Emosi yang umum terjadi pada suicide loss survivor adalah rasa
bersalah dan malu. Selain individu merasakan rasa sakit dan menderita,
individu selalu memiliki pertanyaan yang tidak berujung “Mengapa?”
terhadap peristiwa yang individu alami. Anggota keluarga yang memiliki
anggota keluarganya meniggal akibat bunuh diri tidak hanya mengeluarkan
reaksi khas kepada peristiwa kematian namun juga pengalaman unik
(Farberow, Gallagher-Thompson, Gilewski, Thompson , 1992). Selain
mendapatkan emosi yang rumit suicide loss survivor cenderung menerima
sedikit dukungan sosial selama berduka dibandingkan dengan individu yang
ditinggal meninggal bukan karena bunuh diri (Mitchell dkk, 2003). Individu
juga merasa kurangnya dukungan sosial dan kurang bantuan profesional
(Gitterman & Germain, 2008). Persepsi kurangnya bantuan ini disebabkan
oleh stigma akibat bunuh diri serta ketidaktahuan lingkungan dukungan sosial
untuk memberikan dukungan yang diperlukan (Cerel dan Sanford, 2018).

Dampak yang dialami oleh suicide loss survivor sangat ditentukan


oleh kedekatannya dengan orang yang meninggal akibat bunuh diri. Cerel
(dalam Cerel dan Sanford, 2018) menemukan bahwa 72% anggota keluarga
dekat dengan mendiang dan 51,9% merasa bahwa kematian ini berdampak
dalam hidup individu. Untuk teman, 47% merasa dekat dengan mendiang
dengan 17,4% merasa kematian tersebut berdampak dalam hidup individu.
Khusus suicide loss survivor di lingkungan militer, 35,1% merasa kenal dekat
dengan mendiang dan 21,6% merasakan dampak kematian mendiang dalam
hidup individu. Khusus untuk rekan kerja, hanya 20% kenal dekat dan hanya
11,3% merasakan dampak atas kematian tersebut.

II.C Help Seeking Behavior

II.C.1 Definisi Help Seeking Behavior

Help seeking behavior didefinisikan sebagai mencari bantuan secara


sadar yang dilakukan oleh individu untuk mencari bantuan (Cornally dan
McCarthy, 2011). Bantuan yang dimaksud bisa berasal dari institusi formal
(seperti Psikolog), maupun informal seperti orang tua (Klimes-Dougan,
Klingbeil, dan Meller, 2013). WHO (dalam Rickwood dan Thomas, 2012)
mendefinisikan help seeking behavior sebagai aktivitas yang dilakukan
individu untuk memenuhi kebutuhan personal, psikologis, afektif, kesehatan,
ataupun sosial. Definisi lain disampaikan oleh Zartaloudi dan Madianos
adalah help seeking behavior sebagai usaha pencarian sumber daya secara
aktif yang relevan untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi
(dalam Rickwood dan Thomas, 2012). Help seeking behavior adalah tahap
pertama proses dukungan sosial dari seseorang yang mengambil inisiatif.
untuk berkomunikasi kepada individu lain dalam rangka meminta dukungan
apapun ( afektif, valuatif, atau instrumental) (Shirom & Shperling, 1996).
Berdasarkan definisi di atas maka kita dapat simpulkan bahwa help
seeking behavior adalah segala upaya yang dilakukan individu untuk mencari
bantuan secara sadar untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.

II.C.2. Domain dan Proses Help Seeking Behavior

Help seeking behavior menurut Rickwood, Deane, Wilson, dan


Ciarrochi (2005) dalam masalah kesehatan mental memiliki domain, yaitu
domain personal dan domain interpersonal. Domain personal terdiri dari
perasaan, sedangkan domain interpersonal terdiri dari hubungan individu
dengan lingkungannya. Help seeking behavior terjadi ketika individu secara
aktif mencari dan memanfaatkan hubungan sosialnya (formal maupun
informal) untuk membantu menyelesaikan masalah individu.
Terdapat tiga aspek penting dari help seeking behavior, yaitu aspek
penting kesadaran tentang adanya masalah, keinginan untuk mencari bantuan,
dan adanya dukungan sosial untuk mencari bantuan (Wilson, Ciarrochi, Deane
& Rickwood, 2003). Proses help seeking behavior menurut Rickwood, Deane,
Wilson dan Ciarrochi (2005) adalah harus dimulai dari kesadaran (awarness)
individu, sehingga individu bisa menilai masalah yang ada dan meminta
bantuan. Karena pada tahap ini individulah yang menaksirkan dan menilai
suatu masalah. Kemudian individu harus bisa mengekpresikannya
(expression) atau mengartikulasikannya, sehingga individu lain bisa mengerti
keadaan individu tersebut dan melihat gejala serta kebutuhan dukungan.
Dalam keadaan tersebut harus memiliki sumber bantuan yang tersedia
(availability) sehingga individu memiliki tempat untuk mencari bantuan,
barulah tahap terakhir individu akan memiliki keinginan membuka diri kepada
sumber bantuan (willingness).

II.C.3 Faktor Pendorong dan Penghambat Help Seeking Behavior

Secara umum, terdapat beberapa faktor yang berperan penting dalam


help seeking behavior. Faktor tersebut adalah stigma, norma sosial,
pengalaman negatif dalam hidup, kondisi ekonomi, jenis kelamin, dan faktor
risiko sebelumnya seperti depresi (Klimes-Dougan, Klingbeil, dan Meller,
2013). Bagi suicide loss survivor, faktor penghambat dalam upaya help
seeking behavior adalah pikiran terus-menerus tentang alasan bunuh diri,
stigma, dijauhi teman sekitar, dan rasa kesepian (Kurtzbein, 2016). Faktor
protektif pelindung yang membantu suicide loss survivor untuk mencari
bantuan beberapa diantaranya adalah adanya kelompok dukungan yang dibuat
khusus bagi suicide loss survivor atau dorongan dari orang yang juga
merupakan suicide loss survivor (Kurtzbein, 2016).
Seperti yang disebutkan pada bagian sebelumnya, stigma memberikan
dampak negatif dalam help seeking behavior. Stigma menyebabkan orang
yang ditinggalkan bunuh diri merasa bersalah (guilt), depresi dan memiliki
pemikiran bunuh diri (Feigelman, Gorman & Jordan, 2009). Stigma juga
menghalangi seseorang mencari bantuan profesional dari efek negatif saat
berduka (Cerel & Campbell, 2008). Ditinggalkan anggota keluarga yang
bunuh diri juga dapat menimbulkan rasa malu, dan rasa bersalah, sehingga
memperkuat stigma yang dialami suicide loss survivor (Cvinar, 2005).
Selain stigma, faktor penghambat lainnya adalah kurangnya
kompetensi emosional, penolakan bantuan, sikap dan keyakinan negatif
terhadap bantuan profesional. Kurangnya kompetensi atau kecerdasan emosi
dapat menjadi salah satu penghalang seseorang melakukan help seeking
karena tanpa kemampuan tersebut individu kesulitan untuk mengidentifikasi
dan menggambarkan emosi dengan cara yang efektif dan non-defensive (tidak
menyangkal) (Mayer, Caruso & Salovey, 1999). Rendahnya help seeking juga
dapat disebabkan karena pengalaman masa lalu help seeking yang kurang
berhasil (Ciarrochi & Deane, 2001), sehingga membuat individu kurang
berkenan untuk mencari bantuan kembali. Hambatan yang paling umum
terjadi adalah seseorang tidak percaya terhadap bantuan profesional karena
adanya stigma dan self-concealment (penyembunyian diri) (So, 2005). Selain
itu terdapat evaluasi negatif dari pengalaman negatif individu bahwa help
seeking ke profesional tidak berguna (Rickwood, Deane, Wilson & Ciarrochi,
2005).
Faktor yang dapat mendukung suicide loss survivor adalah komunikasi
yang empati, belas kasih, dan tidak menghakimi setelah kejadian ditinggalkan
bunuh diri. Hal ini menciptakan suasana bagi individu yang berduka untuk
merasa didukung. Dalam perjalanan mendukung tersebut, individu akan
menormalkan pengalamannya dan menawarkan strategi penyembuhan yang
dapat memfasilitasi perjalanan kesedihan (McKinnon dan Chonody 2014)

II.D. Stigma

II.D.1 Definisi Stigma

Stigma adalah upaya merendahkan individu secara sosial akibat karakter


yang dianggap buruk dan merupakan perilaku yang disebabkan oleh ketidaktahuan,
prasangka, serta diskriminasi (Semrau, Evans-Lacko, Koschorke, Ashenafi, dan
Thornicroft, 2015). Stigma dapat berujung menjadi diskriminasi yang dapat
merugikan berbagai macam aspek dalam hidup, seperti hubungan interpersonal,
pendidikan, dan pekerjaan. Stigma dapat diinternalisasi dan membuat individu
menerima perlakuan yang tidak adil, berusaha menutupi riwayatnya, dan
menghentikan diri individu sendiri dari kesempatan pemulihan kembali.
Corrigan dan Watson (2002) membagi stigma menjadi dua bagian, yaitu
stigma publik dan self-stigma. Stigma publik adalah serangkaian pengetahuan sosial
yang dimiliki secara berkelompok terhadap individu dalam kelompok tertentu. Self-
stigma adalah stigma publik yang diarahkan kepada diri sendiri. Menurut Corrigan
dan Watson (2002), bukan stigma yang berbahaya, melainkan prejudice dan
diskriminasi. Prejudice merupakan stigma dengan nilai negatif terhadap individu
yang mendapatkan stigma dimana diskriminasi adalah upaya melukai kelompok yang
distigma.
Definisi lain terhadap stigma adalah sebagai proses sosial upaya kontrol sosial
yang melibatkan pemberian label, stereotype, dan menolak perbedaan antar-manusia,
sehingga membuat individu yang di-stigma merasa malu, bersalah, mengalami
gangguan (Hanschmidt, Lehnig, Riedel-Heller, dan Kersting, 2016). Berdasarkan
definisi diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa stigma merupakan upaya
merendahkan individu secara sosial akibat atribut yang dianggap buruk oleh sosial,
sehingga berdampak atas perlakuan yang tidak adil dan menghambat perkembangan
individu.

II. D.1.1 Dua Bagian Stigma


Self Stigma
a. Perceived stigma
Bagaimana individu berpikir kebanyakan orang atau
masyarakat memandangnya secara pribadi sebagai anggota
kelompok yang distigma didefinisikan sebagai perceived
stigma (Brohan, Slade, Clement, & Thornicroft, 2010). Self
stigma yang menggambarkan suatu proses di mana individu
yang mengalami stigma menerima devaluasi sosial (stigma
yang dirasakan) (Livingston & Boyd 2010).
b. Enacted stigma
Mengalami pemberlakuan stigma yang sesungguhnya dalam
bentuk diskriminasi (Livingston & Boyd 2010), dan mengacu
pada tindakan diskriminasi dan penghinaan terbuka yang
diarahkan pada seseorang karena status stigmatisasi, yang
menangkap aspek interpersonal dari stigma (Major, Quinton, &
McCoy, 2002).
c. Internalized stigma

Menggambarkan proses bahwa seseorang menerima evaluasi


negatif masyarakat dan memasukkannya ke dalam nilai pribadi
(Steward dkk, 2008), sehingga menghasilkan citra diri yang
buruk yang ditandai oleh rasa malu, rasa bersalah, perilaku
maladaptif, dan / atau dukungan stereotip (Livingston & Boyd
2010).
Public Stigma
Stigma publik mengacu pada serangkaian sikap dan keyakinan
negatif yang memotivasi individu untuk takut, menolak, menghindari,
dan mendiskriminasi orang dengan penyakit mental (Corrigan dan
Penn 1999). Misalnya, individu dengan penyakit mental lebih
mungkin mengalami diskriminasi tempat tingal dan pekerjaan,
dibandingkan dengan orang tanpa penyakit mental (Corbiere dkk.
2011; Corrigan dkk. 2006; Corrigan dan Shapiro 2010). Stigma publik
juga menghasilkan diskriminasi, berkurangnya otonomi dan self-
efficacy, dan segregasi.

II.D.2 Stigma terhadap Bunuh Diri dan Suicide Loss Survivor

Stigma terhadap bunuh diri dapat dilihat dari stigma yang dialami individu
yang selamat dari upaya bunuh diri. Individu yang selamat dari percobaan bunuh diri
sering dianggap mencari perhatian, tidak bermoral, serta berbahaya bagi orang lain
(Sheehan, Dubke, dan Corrigan, 2017). Belum ada penelitian lebih lanjut terkait
stigma khusus seseorang yang melakukan bunuh diri di Indonesia, tetapi karena 97%
dari individu memiliki gangguan mental, kita dapat melihat stigma terhadap individu
dengan gangguan mental di Asia kurang lebih sama sebagai pengalaman individu.
Lauber dan Rossler (2007) menemukan bahwa orang dengan gangguan mental
di Asia mengalami stigma jauh lebih besar dibandingkan Eropa karena masyarakat di
Asia cenderung takut terhadap individu dengan gangguan mental dan menganggap
individu sebagai bahaya yang harus dikeluarkan dari komunitas. Stigma di Asia
bahkan tidak hanya dirasakan oleh orang dengan gangguan mental, tetapi seluruh
anggota keluarga. Seluruh anggota keluarga dapat mengalami diskriminasi dalam
bentuk alienasi sosial, kesulitan untuk menikah, serta kesulitan bisnis dan pendidikan.
Oleh sebab itu, anggota keluarga sebagai suicide loss survivor pun akan merasakan
stigma yang kurang lebih sama dengan seseorang yang melakukan bunuh diri.

II.D.3 Faktor yang Memengaruhi Stigma

Stigma tidak dirasakan sama oleh masing-masing individu. Terdapat beberapa


faktor yang memengaruhi stigma, seperti usia, jenis kelamin, etnis minoritas, dan juga
profesi (Clement, Schauman, Graham, Maggioni, Evans-Lacko, Bezborodovs,
Morgan, Rusch, Brown, & Thornicroft, 2014; Khan, Kausar, Khalid, & Farooq,
2015). Menurut Khan dkk (2015), perempuan cenderung lebih merasakan stigma
dibandingkan pria, khususnya di negara yang patriarkal seperti Pakistan. Selain itu,
remaja, individu dengan etnis minoritas, dan orang-orang dengan profesi di bidang
militer dan kesehatan juga merasakan kesulitan dalam menghadapi stigma (Clement,
Schauman, Graham, Maggioni, Evans-Lacko, Bezborodovs, Morgan, Rusch, Brown,
& Thornicroft, 2014). Remaja menganggap bahwa dirinya tidak normal apabila
mengalami stigma. Individu dengan etnis minoritas cenderung merasa bahwa stigma
membuat dirinya tidak diterima oleh keluarga, dianggap lemah, serta merasa bersalah
akibat membuat keluarga individu juga mengalami stigma. Khusus individu dengan
profesi militer, individu merasa stigma ini membuat individu kesulitan mencari
pekerjaan. Individu yang bekerja di bidang kesehatan sulit menerima bahwa individu
menjadi orang yang distigma, individu merasa malu, dan mendapatkan perlakuan
tidak setara dari orang-orang yang individu anggap “normal”.
Secara umur semakin suicide loss survivor muda maka akan lebih mengalami
stigma. Seperti anak-anak, saudara kandung dan pasangan dari orang yang meninggal
karena bunuh diri, akan lebih berisiko mengalami stigma dibandingkan orangtua.
(McIntosh & Wrobleski, 1988).

II.D.3.1 Pengaruh Stigma Terhadap Budaya Kolektif dan Budaya Individualis

II.D.3.1.1 Budaya Kolektif


Kolektivisme yang berpusat pada kelompok bermanifestasi dalam
keanggotaan bersama kelompok kolektif atau simbolik (Brewer dan Chen 2007).
Budaya kolektivistik memandang dunia pada dasarnya terhubung kepada orang lain
(Zhang dkk, 2007). Masyarakat kolektivistik menanamkan kebutuhan untuk
memberikan yang ketat, kelompok yang saling berhubungan di mana berbagi
tanggung jawab, saling ketergantungan emosional, kelompok keharmonisan, dan
penghargaan terhadap otoritas dihargai (Bhugra, 20013; McCarthy, 2005; Lee dkk,
2010). Kelompok-kelompok ini termasuk keluarga, gereja, sekolah, komunitas, dan
bahkan negara (McCarthy, 2005). Ada rasa kewajiban untuk kebaikan yang lebih
besar yang menggantikan kewajiban untuk diri sendiri (Suh dkk, 1998).
Dalam budaya kolektif, keluarga peduli terhadap anggotanya dan bekerja
sama bersama, sering bertindak sebagai satu kesatuan dengan yang sama tujuan.
Setiap anggota keluarga memiliki peran dan status yang jelas ditentukan oleh posisi
dalam keluarga kelompok. Anggota keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat
satu sama lain dan biasanya saling terhubung seumur hidup (LeFebvre danFranke,
2013).
Budaya kolektif menganggap individual saling terhubung satu sama lain,
sehingga hal tersebut membuat individu yang memiliki permasalahan mental
dianggap berbeda dan tidak sesuai dengan norma kelompok (berbeda dari orang lain
dan tidak cocok). Karena itu anggota kelompok lain kemungkinan tidak ingin
membentuk hubungan dengan individu atau memasukkan individu sebagai bagian
dari grup (Green dkk, 2005). Karena budaya kolektif tidak terbiasa akan keragaman
dan menginginkan tujuan atau norma kelompok yang sama, hal tersebut membuat
orang yang dianggap berbeda akan lebih mudah terlihat atau disadari keberadaanya,
karena koneksi dan pengawasan antar individu cukup kuat. Sehingga hal tersebut
menyebabkan keluarga lebih cenderung mencoba menyembunyikan keberadaan
anggota yang memiliki masalah kesehatan mental, dan karena itu lebih kecil
kemungkinannya untuk mencoba mengakses layanan yang sesuai (Pettigrew & Tropp
2006). Hal tersebut dipengaruhi oleh budaya kolektif yang masih berpikir bahwa
masalah hanya disimpan dalam kelompok (Chen,1995; Tong, 1998). Hal tersebut
membuat sikap budaya kolektif lebih memiliki rasa enggan untuk membuka diri dan
mencari bantuan profesional (Helmes & Gallou 2014), tidak hanya untuk mencari
bantuan profesional, namun budaya kolektif relatif lebih berhati-hati membawa
masalah pribadi ketika meminta bantuan kepada orang lain. Karena individu di
budaya kolektif memiliki asumsi budaya bahwa individu tidak boleh membebani
kelompok sosial dan punya pemikiran bahwa orang lain memegang kewajiban sosial
yang sama (Kim, Sherman & Taylor 2008).

II.D.3.1.2 Budaya Individualis

Budaya individualis mendorong kemandirian, kepedulian dan perbedaan diri,


hukum pribadi atau otonomi, dan keluarga inti (Bhugra, 2013; Oyserman & Lee,
2008; Vandello & Cohen, 1999; Zhang, Norvilitis, & Ingersoll, 2007), banyak di
antaranya ditemukan di negara-negara bagian barat (Zhang, Norvilitis, & Ingersoll,
2007). Budaya individualisme lebih berpusat pada masing-masing identitasnya
individu yang berbeda. Lebih bersaingan dan kesuksesan individu ditentukan apa
yang telah dicapai oleh individu bukan dalam suatu kelompok. Gaya pengasuhan
orangtua dalam budaya individualis lebih autotitatif, yang dimana minat pribadi,
otonomi, dan kemandirian lebih dihargai dalam proses sosialisasi (Tamis-LeMonda
dkk 2007).
Individu dalam budaya yang individualis memprioritaskan tujuan pribadi dan
rasa percaya diri atas tujuan dan entitas kolektif kelompok (Lee dkk., 2010;
Agishtein & Brumbaugh, 2013). Karena kelompok-kelompok dalam budaya
individualis fleksibel, terpisah, dan lepas dari satu sama lain (Bhugra, 2013;
Oyserman & Lee, 2008), individu dapat dipilih oleh individu dan umumnya bersifat
sementara (McCarthy, 2005). Namun individu-individu ini dapat belajar untuk
menjadi bagian dari 'in-group' untuk periode waktu yang berkelanjutan, untuk
mengatur dan memelihara hubungan, dan untuk mengelola kesejahteraan individu
(Oyserman, 2011). Individualisme telah terbukti memudahkan pertemanan,
membentuk kelompok baru, dan berinteraksi dengan orang asing (Oyserman, 2011;
Triandis dkk, 1988). Selanjutnya, konflik ditangani secara terbuka karena lebih
longgar hubungan dalam kelompok (Triandis dkk, 1988).
Budaya individualis memiliki stigma yang lebih rendah mengenai kesehatan
mental dibandingkan budaya kolektif (Papadopoulos, Foster, & Caldwell, 2012).Hal
tersebut juga berpengaruh terhadap pencarian bantuan psikologis yang dimana
semakin individualis suatu budaya maka akan semakin memiliki pandangan positif
terhadap pencarian bantuan psikologis dibandingkan budaya kolektif (Gallou, 2007),
dikarenakan tujuan individualitas dan bersifat individualisme dibandingkan kolektif
(Postmes dkk, 2001).

II.E. Tahap Grief

Seperti yang dibhas sebelumnya suicide loss survivor bukanlah hal yang

mudah karena individu berisiko mengalami depresi, PTSD, complicated grief, dan

juga ide untuk melakukan bunuh diri itu sendiri (Sanford, Cerel, McGann, dan Maple,

2016). Tidak hanya hal tersebut bahkan stigma dapat mempengaruhi suicide loss

survivor dalam pengalaman dukanya. Dalam pengalaman duka yang disebut sebagai

grief memiliki tahap tahapan menururt Ku¨bler-Ross & Kessler (2005) yaitu :

a. Shock

Tahap awal dimana seseorang berekasi terhadap kehilangan

dengan rasa tidak percaya yang mati rasa. Shock mungkin memberikan

emosional sanggahan sehingga melindungi seseorang dari kewalahan

sekaligus.
b. Denial

Pada tahap ini individu merasa sekitarnya tidak berarti atau

kewalahan, dan merasa apa yang terjadi dalam hidup tidak masuk akal.

Ada kemungkinan individu merasa segala hal mati rasa. Pada tahap

shock dan denial individu terbantu untuk coping dengan rasa

kehilangan sehingga membuat individu bisa menghadapi kehidupan

keseharian. Denial tidak hanya berarti menyangkal bahwa kerugian

telah terjadi; meskipun ini dapat terjadi, denial berkaitan dengan

menyangkal pengalaman terhadap semua perasaan. Karena seorang

individu dapat menerima bahwa kehilangan ini adalah realitas

individu, individu akan dapat pindah ke proses penyembuhan dan

prosese denial akan mulai berkurang.

c. Anger

Anger adalah tahap penting dari proses penyembuhan. Sebelum

tahap anger, seorang individu yang mengalami kesedihan mungkin

merasa seperti individu telah ditinggalkan atau mungkin merasa tidak

ada hubungannya dengan apa pun. Mengalami anger memungkinkan

adanya koneksi; memungkinkan sesuatu untuk dipegang. Kemarahan

dapat diarahkan pada hal atau orang yang hilang, para dokter, teman,

keluarga, Tuhan, dll. Melalui anger adalah rasa sakit yang dirasakan

individu. Kemarahan memberikan struktur, dan itu lebih baik daripada

perasaan mati rasa pada tahap sebelumnya. Ini bisa menjadi tantangan
bagi sebagian orang untuk merasakan kemarahan, karena terkadang

lebih mudah untuk mencoba dan menekan kemarahan dalam tahap

anger ini. Merasakan amarah dan mengatasi amarah adalah bagian

dari proses berduka. Menyadari bahwa ini adalah langkah dalam

proses itu penting, tidak hanya bagi orang yang mengalami kesedihan

tetapi juga untuk caregiver yang terlibat agar melihat ledakan amarah

sebagai bagian dari kesedihan sehingga tidak perlu untuk ditanggapi

secara personal.

d. Bargaining

Pada tahap ini individu sedang sering berpikir “Jika saja...”,

“Bagaimana jika…”. Tahap dimana seseorang mengandaikan dan

menawar dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan. Hal ini adalah fakta

dimana individu ingin kembali ke keadaan sebelumnya. Rasa bersalah

akan sering menyertai pada tahap ini. Tahap ini dapat dialami pada

titik mana pun dalam proses grief dan menunjukkan proses bahwa

seseorang dapat bergerak melalui berbagai tahap selama proses

penyembuhannya sendiri dengan sejumlah cara. Tidak ada jalur linear

yang ditetapkan dalam tahapan kesedihan. Sehingga bisa saja

seseorang kembali ketahap sebelumnya.

e. Depression

Setelah berandai-andai dan menegosiasikan pemikiran masa

lalu saat tahap bargaining, pemikiran masa kini akan membanjiri


individ bahwa situasinya nyata. Perasaan kosong muncul, dan

kesedihan seseorang bergerak pada tingkat yang lebih dalam dari

sebelumnya. Dalam tahap depression, depresi ini bukan pertanda

penyakit mental. Meskipun pada tahap ini mencari bantuan mungkin

merupakan langkah yang tepat, namun bisa jadi memberikan respon

yang merugikan untuk individu. Seseorang dapat menarik diri dari

aktivitas kehidupan sehari-hari individu, dan individu mungkin

merasakan kesedihan yang intens. Jika individu tidak mengalami tahap

ini setelah kehilangan orang yang dicintai akan menjadi hal yang tidak

biasa. Tahap ini adalah langkah penting dalam proses penyembuhan

yang sedang berduka.

f. Testing

Seseorang dapat mencoba mencari solusi realistis untuk

menghadapi dan hidup dengan kehilangan ini. Ini adalah proses

membangun kembali kehidupan individu dalam realitas baru individu.

Individu mungkin memerlukan sumber daya lebih lanjut selama tahap

ini karena individu mencoba apa yang berhasil untuk menjalanin hidup

yang baru. Dimungkinkan juga untuk masuk dan keluar dari tahapan

lain selama fase testing. Menyediakan sumber daya yang mungkin

sesuai selama fase ini dapat sangat membantu bagi individu untuk

mencoba karena individu mungkin merasa siap untuk pengalaman

tersebut.
g. Acceptance

Dalam tahap acceptance, individu mulai menerima kehilangan

yang terjadi namun bukan berarti individu baik-baik saja dengan apa

yang terjadi. Individu kemungkinan berubah setelah kejadian

kehilangan yang dialami namun individu menerima kenyataan tersebut

dan sadar bahwa hal tersebut tidak dapat berubah serta hidup harus

berlanjut. Individu mungkin berubah peran dan membuat hubungan

dan koneksi baru, karena individu mengalami penerimaan dan

memahami kebutuhan diri serta kebutuhan berkembang.

II.F. Dinamika Help Seeking Behavior pada Suicide Loss Survivor

Setiap satu kematian akibat bunuh diri menghasilkan 6 sampai 135 suicide
loss survivor (Berman, 2011; Cerel dan Sanford, 2016). Menjadi suicide loss survivor
bukanlah hal yang mudah karena individu berisiko mengalami depresi, PTSD,
complicated grief, dan juga ide untuk melakukan bunuh diri itu sendiri (Sanford,
Cerel, McGann, dan Maple, 2016). Proses kehilangan individu jauh lebih kompleks
karena selain emosi yang kompleks, suicide loss survivor memiliki rasa ketidak
terimaan dan pertanyaan yang tanpa ujung kepada diri sendiri mengapa hal tersebut
bisa terjadi (Farberow, Gallagher-Thompson, Gilewski, Thompson , 1992).
Pada saat kehilangan, suicide loss survivor harus dihadapkan dengan kesulitan
untuk mencari bantuan atau help seeking behavior. Salah satu penghambat individu
untuk mencari bantuan adalah stigma. Stigma membuat suicide loss survivor merasa
malu dan bersalah karena tidak mampu mencegah bunuh diri (Cvinar, 2005). Stigma
terkait bunuh diri yang dianggap tidak bermoral dan berbahaya (Sheehan, Dubke, &
Corrigan, 2017) juga harus dihadapi oleh suicide loss survivor (Lauber & Rossler,
2007).
Stigma ini pada akhirnya mempersulit suicide loss survivor untuk menyadari
masalahnya sendiri, menyampaikan tentang kebutuhannya atas dukungan, sedikitnya
dukungan yang ada, serta keinginan untuk membuka diri terhadap sumber bantuan
bila ada. Hal ini didukung oleh Cerel dan Sanford (2018) dimana stigma membuat
lingkungan yang awalnya memberikan bantuan sebelum kasus bunuh diri menjadi
menghindar akibat takut diberikan stigma oleh orang lain atau jika individu tidak
takut, individu tidak tahu harus berbuat apa.

BAB III

METODE PENELITIAN
III.A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan untuk mencari gambaran hambatan help


seeking behavior pada suicide loss survivor pada saat melakukan help seeking
behavior adalah penelitian kualitatif. Jenis penelitian kualitatif cocok untuk penelitian
ini karena bertujuan untuk menjawab permasalahan dengan mengeksplorasi
pengalaman pribadi partisipan (Creswell, 2012). Berdasarkan tujuannya, peneliti
ingin mengetahui gambaran help seeking behavior pada suicide loss survivor. Peneliti
ingin mendapatkan gambaran help seeking behavior pada suicide loss survivor
dengan cara eksplorasi terhadap penyebab yang menghambat suicide loss survivor
melakukan help seeking behavior, yang kemudian dikaitkan dengan tiga aspek help
seeking behavior. Sehingga mengetahui hambatan yang terjadi disetiap aspeknya.
Data yang mendalam dari kompleksitas pengalaman personal suicide loss survivor
hanya mungkin didapatkan dengan penelitian jenis kualitatif.

III.B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini adalah help seeking behavior didefinisikan sebagai

mencari bantuan secara sadar yang dilakukan oleh individu untuk mencari bantuan

(Cornally dan McCarthy, 2011). Bantuan yang dimaksud bisa berasal dari institusi

formal dan profesional (seperti psikolog), maupun informal seperti orang tua

(Klimes-Dougan, Klingbeil, & Meller, 2013).vPada penelitian ini, help seeking

behavior didefinisikan sebagai upaya mencari bantuan baik melalui support group,

teman, maupun profesional (psikolog, psikiater, dokter, perawat jiwa, dll.) yang nanti

dikaitkan dengan tiga aspek help seeking behavior yaitu kesadaran tentang adanya

masalah, keinginan untuk mencari bantuan, dan adanya dukungan sosial untuk
mencari bantuan (Wilson, Ciarrochi, Deane & Rickwood, 2003).

III.C. Partisipan Penelitian

III.C.1. Jumlah Partisipan Penelitian

Tidak ada aturan baku tentang jumlah partisipan pada penelitian


kualitatif. Jumlah partisipan bergantung pada apa yang ingin diketahui, tujuan,
risiko, manfaat, kredibilitas, serta ketersediaan waktu dan sumber yang ada
(Patton, 2002). Penelitian kualitatif tidak membutuhkan banyak partisipan
karena tidak bertujuan untuk menggeneralisasi populasi (Creswell, 2012).
Jumlah partisipan yang digunakan pada penelitian ini berjumlah empat orang.
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai serta pertimbangan ketersediaan waktu
dan tenaga, peneliti merasa bahwa empat partisipan sudah dapat memberikan
data yang jenuh. Pada pelaksanaannya, peneliti menemukan pola yang
berulang pada keempat partisipan sehingga tidak ada penambahan partsipan
yang diperlukan.

III.C.2. Kriteria Partisispan

Kriteria Partisipan adalah suicide loss survivor yang memiliki pengalaman


ditinggalkan bunuh diri oleh teman atau keluarga. suicide loss survivor pernah
mendapatkan stigma setelah kehilangan ditinggalkan bunuh diri, namun berhasil
untuk mencari bantuan seperti mengikuti support group yang diadakan oleh
komunitas Into The Light, sehingga bisa dilihat faktor apa saja yang menyebabkan
suicide loss survivor terdorong dan terhambat dalam melakukan help seeking
behavior hingga akhirnya menemukan bantuan . Populasi penelitian masih terbatas
dan sulit untuk ditemukan akibat stigma dan isu yang cukup sesnsitif, membuat
peneliti mengambil sampel dari komunitas dengan support group untuk suicide loss
survivor.
III.D. Teknik Pengambilan Data
III.D.1. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti menggunakan metode wawancara mendalam untuk menggali data
dari partisipan. Wawancara mendalam adalah metode di mana peneliti menanyakan
pertanyaan terbuka dan merekam hasil wawancara (Creswell, 2012). Peneliti
menggunakan pendekatan wawancara dengan panduan umum. Proses wawancara
dengan panduan umum memiliki bentuk panduan yang tidak memiliki urutan yang
kaku tetapi tetap memiliki pertanyaan yang mengarah pada aspek-aspek yang terkait
(Patton dalam Poerwandari, 2013).
Instrumen utama penelitian yang digunakan adalah diri peneliti sendiri.
Instrumen penelitian lainnya berupa panduan wawancara, informed consent, dan alat
perekam. Peneliti menggunakan panduan wawancara sebagai alat bantu mendapatkan
data. Panduan wawancara berisikan berbagai pertanyaan terbuka tanpa standar yang
kaku beserta dengan kemungkinan probing untuk mendapatkan data yang diinginkan.
Informed consent merupakan pernyataan kesediaan partisipan secara suka rela
sebagai partisipan penelitian yang berisikan identitas partisipan, tujuan penelitian,
serta hak-hak yang dimiliki partisipan dalam penelitian. Hal ini penting dan etis
dilakukan sebagai bentuk jaminan kerahasiaan data partisipan.
Alat perekam digunakan selama wawancara berlangsung untuk
mempermudah peneliti dalam pengetikan verbatim. Hal ini digunakan untuk
menghindari adanya informasi yang terlewat saat melakukan wawancara. Alat
perekam digunakan atas persetujuan partisipan.

III.E. Metode Analisa Data


Metode analisis yang akan digunakan adalah analisis tematik. Metode ini
berusaha untuk menemukan pola dari tema-tema utama yang muncul dalam
wawancara dan mencari makna dari pola tersebut (Poerwandari, 2007). Proses
analisis ini dimulai dengan pengumpulan data, mencari kata kunci, tema, kategori,
hubungan antar-kategori (pola), sampai dengan ditemukannya pola umum dari
masing-masing kasus.
Sesudah proses pelaksanaan pengumpulan data seperti wawancara selesai
maka, analisis data mengenai partisipan akan dilakukan. Dalam Poerwandari (2005)
menyatakan analisis data adalah data-data yang terkait dengan wawancara, observasi
dan dokumentasi diperoleh, peneliti mulai mengorganisasikan data tersebut. Sebelum
dilakukan analisis data, langkah yang penting adalah membubuhkan kode-kode
(coding) pada data yang diperoleh. Langkah penting pertama sebelum analisis
dilakukan adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Nantinya
dalam penelitian ini, hasil wawancara tersebut akan akan dikodingkan memakai
koding selektif (selective coding). Koding selektif adalah data yang didapat akan
dianalisis dengan menyeleksi kategori yang paling mendasar, secara sistematis
dihubungkan dengan beberapa kategori lainnya yang memvalidasi hubungan tersebut.
Langkah selanjutnya setelah koding telah disusun adalah analisis tematik.
Analisis tematik adalah dasar penelitian kualitatif untuk mengolah informasi kualitatif
yang dijadikan kode, sehingga menemukan pola dari tema-tema utama yang muncul
dalam wawancara dan mencari makna dari pola tersebut. Nantinya hasil tersebut
dapat mendeskripsikan atau bahkan menginterpretasikan suatu fenomena
(Poerwandari, 2007)
Dari hasil yang dapat mendeskripsikan fenomena, nantinya hasil tersebut akan
dicocokan dan dianalisa dengan teori-teori yang sudah ada.

III.H. Kredibilitas Penelitian

Prosedur pelaksanaan awalnya adalah membuat daftar pertanyaan wawancara


yang telah dikonsultasikan dan disetujui oleh dosen pembimbing. Kemudian mencari
partisipan yang bersedia untuk diwawancarai dan sesuai dengan kriteria. Partisipan
akan didapatkan dari komunitas Into The Light yang sudah pernah ditemui
sebelumnya oleh peneliti, karena peneliti adalah salah satu anggota komunitas
tersebut dan komunitas tersebut memberikan support group terhadap suicide loss
survivor. Setelah mendapatkan partisipan yang bersedia untuk mengikuti wawancara,
maka peneliti harus menjelaskan tujuan penelitian dan memberikan inform consent,
sebagai bukti persetujuan partisipan bersedia untuk diwawancarai dan diobservasi
serta merekam pembicaraan selama wawanacara. Pengambilan data observasi
dilakukan saat wawancara ditempat yang dianggap pastisipan nyaman dan tenang,
saat pengambilan data telah selesai akan dilakukan triangulasi orang yang dekat
dengan pertisipan. Pada penelitian ini, triangulasi yang digunakan adalah triangulasi
sumber, yakni dengan mengambil data tambahan kepada orang-orang yang memiliki
relevansi pada proses pengerjaan skripsi partisipan untuk mencari tahu pandangan
mereka mengenai partisipan (Denzin dalam Mathison, 1988).
Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai
maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan keadaan, proses, kelompok
sosial, atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2013). Oleh karena itu,
peneliti perlu menggunakan cara-cara tertentu untuk meningkatkan kredibilitas
penelitian ini. Peneliti menggunakan teknik member checking untuk menambah
kredibilitas penelitian. Member checking adalah proses bertanya kepada partisipan
mengenai temuan-temuan penelitian untuk memeriksa keakuratan temuan tersebut
(Creswell, 2012). Hal-hal yang ditanyakan meliputi kelengkapan dan kenyataan
deskripsi, kesesuaian tema, serta kebenaran interpretasi temuan penelitian. Member
checking sesuai dilakukan pada penelitian ini karena temuan-temuan penelitian
merupakan pengalaman dan interpretasi pribadi partisipan sehingga peneliti dapat
mengonfirmasikan kepada partisipan apakah analisis dan interpretasi peneliti sesuai
dengan kenyataan yang ada. Kredibiltas meningkat karena peneliti mencoba melihat
fenomena dari kacamata partisipan dengan membandingkan interpretasi peneliti
dengan interpretasi partisipan.

III.G. Prosedur Penelitian


III.G.1 Persiapan
Peneliti akan mencoba mencari partisipan didalam komunitas, kemudian
ditanyakan kesediaanya. Namun sebelumnya peneliti akan melakukan pendekatan
terlebih dahulu seperti mengajak bermain para calon partisipan, sehingga partisipan
nantinya lebih nyaman untuk diwawancara

III.G.2 Pelaksanaan
Setelah panduan wawancara disetuji oleh pembimbing, peneliti akan
menghubungi partisipan yang telah bersedia untuk diwawancara untuk bertemu dan
melakukan wawancara. Nantinya peneliti akan menjelaskan tujuan penelitian,
memberikan informed consent, menjamin kerahasiaan data, serta meminta izin untuk
merekam dan mencatat selama proses wawancara berlangsung. Kemudian peneliti
akan mewawancarai sesuai dengan panduan yang telah disetujui . Saat akhir
wawancara, peneliti mencoba menyimpulkan hasil wawancara dan juga memberitahu
Partisipan akan kemungkinan wawancara tambahan jika diperlukan.

III.G.3 Analisis
Setelah melakukan wawancara, langkah selanjutnya adalah melakuan
pengorganisasian data dengan cara mengumpulkan catatan wawancara, rekaman,
serta berkas partisipan dan memisahkannya per partisipan. Peneliti kemudian
mendengarkan rekaman wawancara setiap subjek dan membuat transkrip
verbatimnya kemudian akan dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai