Skrip Si
Skrip Si
PENDAHULUAN
Bunuh diri menjadi fenomena yang tidak asing akhir-akhir ini. Definisi
bunuh diri menurut Centers for Disease Control and Prevention adalah kematian
yang terjadi akibat perilaku yang disengaja untuk menyakiti diri sendiri (Crosby,
Ortega, dan Melanson, 2011). American Psychological Association (APA)
mendefinisikan bunuh diri sebagai tindakan yang membunuh diri sendiri, bisa
disebabkan oleh depresi maupun gangguan yang terkait penyakit mental (Kazdin,
2000). Bunuh diri adalah kematian yang diakibatkan diri sendiri dengan bukti (baik
eksplisit maupun implisit) bahwa orang tersebut dimaksudkan untuk mati (O’Carroll,
Berman, Maris, Moscicki, Tanney, & Silverman, 1996).
Penyebab faktor bunuh diri ada tiga. Tiga faktor tersebut adalah perceived
burdensomeness (perasaan menjadi beban), low belonging/ social alienation (alienasi
sosial dan rendahnya rasa keterikatan) dan capability of suicide (kemampuan untuk
melakukan bunuh diri) (Joiner,2015).
Data bunuh diri dari Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME)
menemukan 3-4 dari 100.000 orang di Indonesia meninggal akibat bunuh diri atau
tindakan melukai diri sendiri (dalam Lee, Roser, dan Ortiz-Ospina, 2018). Hal
tersebut sesuai dengan temuan World Health Organization (2012) yang menyatakan
bunuh diri merupakan penyebab kematian kedua di seluruh dunia pada individu-
individu yang berusia 15 hingga 29 tahun. WHO bahkan memperkirakan pada tahun
2020 akan terjadi setidaknya 1,53 juta kematian akibat bunuh diri di dunia atau 1
kasus setiap 20 detik (Bertolote dan Fleischmann, 2002). Namun untuk tahun 2018,
angka bunuh diri di Indonesia jika dibandingkan dengan angka bunuh diri dunia
adalah (World Health Organization, 2018) .Dengan banyaknya angka bunuh diri
tersebut, sesungguhnya ada orang-orang yang terdampak dari peristiwa tersebut yaitu
suicide loss survivor.
Suicide loss survivor adalah individu yang mengalami kehilangan seseorang
akibat bunuh diri dan memiliki hubungan cukup dekat dengan orang tersebut
(America Association of Suicidology, 2014). Menurut penelitian, individu yang
mengenal seseorang meninggal karena bunuh diri pada tahun lalu akan 1,6 kali
kemungkinan memiliki pikiran untuk bunuh diri, 2,9 kali lebih mungkin punya
rencana untuk bunuh diri, dan 3,7 kali lebih mungkin untuk melakukan upaya bunuh
diri. (Crosby & Sack 1994)
Individu yang meninggal akibat bunuh diri dapat berdampak pada 6-18 orang
di lingkungan keluarga besar dan bisa mencapai 20 orang untuk lingkungan pergaulan
sehari-hari, data penelitian ini dilakukan di Amerika dengan responden sebanyak 142
(Berman, 2011). Cerel (dalam Cerel dan Sanford, 2018) menemukan bahwa 72%
anggota keluarga dekat dengan mendiang dan 51,9% merasa bahwa kematian ini
berdampak dalam hidup individu. Untuk teman, 47% merasa dekat dengan mendiang
dengan 17,4% merasa kematian tersebut berdampak dalam hidup individu. Khusus
suicide loss survivor di lingkungan militer, 35,1% merasa kenal dekat dengan
mendiang dan 21,6% merasakan dampak kematian mendiang dalam hidup individu.
Khusus untuk rekan kerja, hanya 20% kenal dekat dan hanya 11,3% merasakan
dampak atas kematian tersebut.
Selain meningkatkan risiko upaya bunuh diri, suicide loss survivor juga
terdampak resiko meningkatnya putus sekolah atau pekerjaan, fungsi sosial yang
buruk, dan tingkat stigma (Pitman dan Osborn 2016). Tidak hanya hal tersebut namun
suicide loss survivor juga membawa rasa malu, rasa bersalah, dan perasaan
bertanggung jawab yang tinggi (Pitman, Osborn, Rantell dan King 2016).
Kecemasan, depresi, complicated grief dan reaksi trauma, gangguan tidur, dan pikiran
untuk bunuh diri juga dapat berdampak terhadap suicide loss survivor (McMenamy
dkk, 2008) Hal tersebut terlihat dari berita mengenai kematian bunuh diri di Indonesia
baru-baru ini yaitu mengenai kematian seorang Bripka Kristian, yang dimana disaat
autopsi terdengar suara seorang pria yang diduga adalah keluarga korban berteriak
histeris hingga ke luar ruangan Instalasi Forensik RS Bhayangkara Polda Kepri. "Aku
yang salah, maafkan aku Tuhan, maafkan, aku yang salah" (Tribunnews.com).
Menurut Jordan (2001) and Cvinar (2005), permasalahanya ketika individu
kehilangan seseorang yang cukup dekat akibat bunuh diri, akan memungkinkan jika
ada perbedaan antara persepsi yang dirasakan suicide loss survivor dan bagaimana
persepsi anggotanya masyarakat melihat kejadian tersebut. Seringkali komunitas atau
kelompok dari individu ingin membantu individu yang sedang berduka, namun tidak
yakin bagaimana cara melakukannya. Karena ada prespsi yang salah tersebut juga
menyebabkan tetangga menghindari suicide loss survivor, dikarenakan takut untuk
mengatakan kata-kata yang kurang pantas bagi suicide loss survivor atau presepsi
akan keluarga masih ingin dibiarkan sendiri dalam berduka (Knieper, 1999).
Mengingat kejadian tersebut adalah peristiwa yang tidak nyaman dan traumatis. Hal
ini cenderung meningkatkan tingkat isolasi yang mungkin dialami individu atau
keluarga. Tidak hanya pandangan yang berbeda, bahkan adanya pandangan negatif
dari masyarakat dan pandangan negatif dari diri individu sendiri bahwa individu
gagal sebagai seorang teman atau pun anggota keluarga yang baik (Chapple,
Ziebland, & Hawton, 2015; Cvinar, 2005; Thornicroft, 2008; Van Orden, Witte,
Gordon, Bender, & Joiner Jr., 2008). Pandangan atau stigma negatif kepada diri
sendiri yang berasal dari publik adalah self-stigma, sedangkan stigma publik berasal
dari serangkaian pengetahuan sosial yang dimiliki secara berkelompok terhadap
individu dalam kelompok tertentu (Corrigan dan Watson 2002). Pandangan stigma
tersebut juga berkorelasi positif dengan pengalaman mengalami duka, depresi dan
pemikiran bunuh diri (Feigelman dkk, 2009).
Stigma tidak hanya mempengaruhi individu yang membawa karakteristik
stigma, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, yang kemudian disebut stigma yang
disebabkan oleh asosiasi (van derSanden, Bos, Stutterheim, Pryor, & Kok, 2015).
Demikian pula, stigma bunuh diri tidak hanya memengaruhi orang-orang yang
memiliki pengalaman bunuh diri, tetapi juga orang-orang yang kehilangan
signifikansi lain karena bunuh diri (yaitu suicide loss survivor) (Corrigan dkk, 2018).
Stigma atau pandangan negatif tersebut membuat suicide loss survivor terhambat
mencari bantuan psikologis yang dibutuhkan, karena situasi tersebut membuat
suicide loss survivor terisolasi (Cvinar, 2005), pada saat momen individu sangat
rentan untuk mengalami rasa sedih, terkejut, dan marah (Association of American
Suicidology, 2014). Oleh sebab itu, membahas gambaran stigma terhadap usaha
mencari bantuan psikologis pada suicide loss survivor sangatlah penting karena pada
saat ini individu sangat rentan terhadap gangguan psikologis atau bahkan bunuh diri
itu sendiri.
Stigma tidak hanya memperburuk kondisi suicide loss survivor, tetapi stigma
juga mempersulit suicide loss survivor untuk mencari bantuan. Upaya mencari
bantuan atau help seeking behavior didefinisikan sebagai mencari bantuan secara
sadar yang dilakukan oleh individu untuk mencari bantuan (Cornally dan McCarthy,
2011). Perilaku mencari bantuan ini dipengaruhi berbagai faktor, beberapa faktor
penghambat khusus suicide loss survivor adalah pikiran terus-menerus tentang
kematian seseorang yang melakukan bunuh diri, stigma, dijauhi teman sekitar, dan
rasa kesepian (Kurtzbein, 2016). Sedangakan faktor protektif pelindung yang
membantu suicide loss survivor mencari bantuan beberapa diantaranya adalah
kelompok dukungan khusus suicide loss survivor atau dorongan dari orang yang juga
merupakan suicide loss survivor (Kurtzbein, 2016). Stigma dapat mempersulit
suicide loss survivor untuk mencari bantuan karena stigma membuat suicide loss
survivor menyembunyikan rasa duka (Pitman dkk, 2018).
Stigma juga berpengaruh dari budaya seseorang, karena semakin individual
budaya seseorang maka memiliki pandangan yang kemungkinan berorientasi positif
terhadap pencarian bantuan psikologis dibandingkan budaya kolektif (Gallou, 2007),
karena dasar budaya individualis seperti di negara Amerika lebih mementingkan
tujuan individu daripada tujuan kelompok, sehingga individu cenderung menekankan
tujuan individualitas dan bersifat individualisme dibandingkan kolektif (Postmes dkk,
2001). Meskipun budaya individualis memiliki orientasi yang kemungkinan lebih
positif dalam mencari bantuan, namun budaya individualis memiliki stigma bahwa
hanya orang yang mencari bantuan yang dianggap mentalnya lemah atau tidak
mampu merawat diri sendiri (Corrigan, 2004).
Berbeda dengan Amerika, Indonesia adalah negara yang memiliki budaya
kolektif. Budaya kolektif memiliki pandangan atau stigma yang lebih melekat pada
lingkungan dan keluarga tersebut bila seseorang mencari bantuan, karena masyarakat
kolektivistik menanamkan kebutuhan untuk memberikan yang ketat, kelompok yang
saling berhubungan di mana berbagi tanggung jawab, saling ketergantungan
emosional, kelompok keharmonisan, dan penghargaan terhadap otoritas dihargai
(Bhugra, 20013; McCarthy, 2005; Lee dkk, 2010). Kelompok-kelompok ini termasuk
keluarga, gereja, sekolah, komunitas, dan bahkan negara (McCarthy, 2005). Hal ini
sangat tergambar di negara Indonesia, bahwa orang Indonesia suka bersama dan
jaringan keluarga diperlukan untuk kesejahteraan emosional individu (Hofstede &
Hofstede 2005), preferensi untuk kerangka kerja sosial yang sangat erat di mana
individu diharapkan untuk mengurus individu kerabat atau anggota kelompok tempat
individu berada (Hofstede, 2013). Hal tersebut juga di dukung dari data penelitian
“Parenting, and Children’s Theory of Mind Development in Indonesia’ yang
dilakukan di Jakarta dan Bogor, dari penelitian tersebut menghasilkan bahwa gaya
parenting orang tua di Indonesia adalah budaya kolektif (Kuntor, Peterson dan
Slaughter 2017).
Indonesia adalah budaya kolektif yang budayanya lebih erat terhadap
lingkungan sekitar seperti keluarga dan sosial, hal tersebut memberi alasan bahwa
budaya kolektif lebih memiliki rasa enggan untuk membuka diri dan mencari bantuan
profesional (Helmes & Gallou 2014). Hal tersebut dimungkinkan karena budaya
kolektif menganggap mencari layanan kesehatan mental dapat dilihat sebagai
membawa aib kepada keluarga (Kim, 2007) dan dapat menyebabkan "kehilangan
muka" untuk orang dan keluarga atau komunitas (Zane & Yeh, 2002). Choi dan
Miller (2014) mengemukakan bahwa stigma disebabkan oleh penyakit mental, dapat
merusak reputasi keluarga individu, hal tersebut dianggap lebih baik jika individu
tersebut menghindari mencari bantuan.
Tujuan penelitian ini adalah membahas gambaran stigma terhadap suicide loss
survivor di Indonesia. Karena penelitian menganai suicide loss survivor sudah ada di
Amerika, namun belum ada di negara Indonesia khususnya kota Jakarta. Kedua
negara tersebut memiliki perbedaan budaya sehingga bisa saja menghasilkan
kebutuhan yang mungkin berbeda. Budaya Indonesia memiliki budaya yang kolektif
karena skor individualisme relatif rendah yaitu 14 dari 43 rata-rata dunia (Wirawan
and Irawanto, 2007).
Partisipan dalam penelitian ini adalah rekan-rakan suicide loss survivor yang
pernah kehilangan seseorang akibat bunuh diri dengan domisili sekitar Jakarta. Jenis
penelitian yang akan digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi
kasus dengan metode pengambilan data wawancara tatap muka. Jumlah partisipan
yang diharapkan mengikuti penelitian ini, akan diambil dari jumlah partisipan yang
bersedia dipilih untuk wawancara. Hal ini dikarenakan peneliti melihat pertimbangan
bahwa, peneliti berharap semakin banyak partisipan maka datanya akan semakin
baik.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran stigma pada suicide loss
survivor yang ada di Jakarta dalam melakukan help seeking behavior atau perilaku
pencarian bantuan.
Secara etimologi, bunuh diri atau ‘suicide’ berasal dari abad ke 17 dari
bahasa latin yang artinya sui adalah dari diri sendiri, sedangkan caeder artinya
untuk membunuh, sehingga arti dari suicide adalah membunuh diri sendiri. Sir
Thomas Browne membedakan pembunuhan berdasarkan objek yang dibunuh,
yaitu pembunuhan diri sendiri dan membunuh orang lain (Minois, 1999).
Definisi bunuh diri menurut Centers for Disease Control and
Prevention adalah suicidal kematian akibat perilaku yang disengaja untuk
menyakiti diri sendiri (Crosby, Ortega, dan Melanson, 2011). American
Psychological Association (APA) mendefinisikan bunuh diri sebagai tindakan
yang membunuh diri sendiri, biasa bisa disebabkan oleh depresi maupun
gangguan yang terkait penyakit mental (Kazdin, 2000). Bunuh diri adalah
kematian yang diakibatkan diri sendiri dengan bukti (baik eksplisit maupun
implisit) bahwa orang tersebut dimaksudkan untuk mati (O’Carroll, Berman,
Maris, Moscicki, Tanney, & Silverman, 1996).
Definisi bunuh diri yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
definisi yang disampaikan oleh APA karena sesuai dengan Bertolote dan
Fleischmann (2002) bahwa 97% orang yang bunuh diri memiliki setidaknya
1 diagnosis gangguan mental di DSM-III. Secara umum bunuh diri dapat
didefinisikan sebagai tindakan yang sengaja dilakukan untuk membunuh diri
sendiri yang biasa disebabkan oleh gangguan mental.
Satu orang meninggal akibat bunuh diri dapat berdampak 6-18 orang
di lingkungan keluarga besar dan bisa mencapai 21 orang untuk lingkungan
pergaulan sehari-hari (Berman, 2011). Jumlah ini bahkan jauh lebih rendah
dibandingkan temuan Cerel (dalam Cerel dan Sanford, 2016) dimana setiap
satu kematian akibat bunuh memberi dampak ke setidaknya 135 orang sebagai
suicide loss survivor. Angka yang disampaikan Cerel jauh lebih banyak karena
setiap orang yang meninggal akibat bunuh diri memiliki berbagai peran dalam
komunitas, sehingga setiap orang yang mengenalnya akan terdampak dengan
dampak menengah hingga parah.
Emosi yang umum terjadi pada suicide loss survivor adalah rasa
bersalah dan malu. Selain individu merasakan rasa sakit dan menderita,
individu selalu memiliki pertanyaan yang tidak berujung “Mengapa?”
terhadap peristiwa yang individu alami. Anggota keluarga yang memiliki
anggota keluarganya meniggal akibat bunuh diri tidak hanya mengeluarkan
reaksi khas kepada peristiwa kematian namun juga pengalaman unik
(Farberow, Gallagher-Thompson, Gilewski, Thompson , 1992). Selain
mendapatkan emosi yang rumit suicide loss survivor cenderung menerima
sedikit dukungan sosial selama berduka dibandingkan dengan individu yang
ditinggal meninggal bukan karena bunuh diri (Mitchell dkk, 2003). Individu
juga merasa kurangnya dukungan sosial dan kurang bantuan profesional
(Gitterman & Germain, 2008). Persepsi kurangnya bantuan ini disebabkan
oleh stigma akibat bunuh diri serta ketidaktahuan lingkungan dukungan sosial
untuk memberikan dukungan yang diperlukan (Cerel dan Sanford, 2018).
II.D. Stigma
Stigma terhadap bunuh diri dapat dilihat dari stigma yang dialami individu
yang selamat dari upaya bunuh diri. Individu yang selamat dari percobaan bunuh diri
sering dianggap mencari perhatian, tidak bermoral, serta berbahaya bagi orang lain
(Sheehan, Dubke, dan Corrigan, 2017). Belum ada penelitian lebih lanjut terkait
stigma khusus seseorang yang melakukan bunuh diri di Indonesia, tetapi karena 97%
dari individu memiliki gangguan mental, kita dapat melihat stigma terhadap individu
dengan gangguan mental di Asia kurang lebih sama sebagai pengalaman individu.
Lauber dan Rossler (2007) menemukan bahwa orang dengan gangguan mental
di Asia mengalami stigma jauh lebih besar dibandingkan Eropa karena masyarakat di
Asia cenderung takut terhadap individu dengan gangguan mental dan menganggap
individu sebagai bahaya yang harus dikeluarkan dari komunitas. Stigma di Asia
bahkan tidak hanya dirasakan oleh orang dengan gangguan mental, tetapi seluruh
anggota keluarga. Seluruh anggota keluarga dapat mengalami diskriminasi dalam
bentuk alienasi sosial, kesulitan untuk menikah, serta kesulitan bisnis dan pendidikan.
Oleh sebab itu, anggota keluarga sebagai suicide loss survivor pun akan merasakan
stigma yang kurang lebih sama dengan seseorang yang melakukan bunuh diri.
Seperti yang dibhas sebelumnya suicide loss survivor bukanlah hal yang
mudah karena individu berisiko mengalami depresi, PTSD, complicated grief, dan
juga ide untuk melakukan bunuh diri itu sendiri (Sanford, Cerel, McGann, dan Maple,
2016). Tidak hanya hal tersebut bahkan stigma dapat mempengaruhi suicide loss
survivor dalam pengalaman dukanya. Dalam pengalaman duka yang disebut sebagai
grief memiliki tahap tahapan menururt Ku¨bler-Ross & Kessler (2005) yaitu :
a. Shock
dengan rasa tidak percaya yang mati rasa. Shock mungkin memberikan
sekaligus.
b. Denial
kewalahan, dan merasa apa yang terjadi dalam hidup tidak masuk akal.
Ada kemungkinan individu merasa segala hal mati rasa. Pada tahap
c. Anger
dapat diarahkan pada hal atau orang yang hilang, para dokter, teman,
keluarga, Tuhan, dll. Melalui anger adalah rasa sakit yang dirasakan
perasaan mati rasa pada tahap sebelumnya. Ini bisa menjadi tantangan
bagi sebagian orang untuk merasakan kemarahan, karena terkadang
proses itu penting, tidak hanya bagi orang yang mengalami kesedihan
tetapi juga untuk caregiver yang terlibat agar melihat ledakan amarah
secara personal.
d. Bargaining
akan sering menyertai pada tahap ini. Tahap ini dapat dialami pada
titik mana pun dalam proses grief dan menunjukkan proses bahwa
e. Depression
ini setelah kehilangan orang yang dicintai akan menjadi hal yang tidak
f. Testing
ini karena individu mencoba apa yang berhasil untuk menjalanin hidup
yang baru. Dimungkinkan juga untuk masuk dan keluar dari tahapan
sesuai selama fase ini dapat sangat membantu bagi individu untuk
tersebut.
g. Acceptance
yang terjadi namun bukan berarti individu baik-baik saja dengan apa
dan sadar bahwa hal tersebut tidak dapat berubah serta hidup harus
Setiap satu kematian akibat bunuh diri menghasilkan 6 sampai 135 suicide
loss survivor (Berman, 2011; Cerel dan Sanford, 2016). Menjadi suicide loss survivor
bukanlah hal yang mudah karena individu berisiko mengalami depresi, PTSD,
complicated grief, dan juga ide untuk melakukan bunuh diri itu sendiri (Sanford,
Cerel, McGann, dan Maple, 2016). Proses kehilangan individu jauh lebih kompleks
karena selain emosi yang kompleks, suicide loss survivor memiliki rasa ketidak
terimaan dan pertanyaan yang tanpa ujung kepada diri sendiri mengapa hal tersebut
bisa terjadi (Farberow, Gallagher-Thompson, Gilewski, Thompson , 1992).
Pada saat kehilangan, suicide loss survivor harus dihadapkan dengan kesulitan
untuk mencari bantuan atau help seeking behavior. Salah satu penghambat individu
untuk mencari bantuan adalah stigma. Stigma membuat suicide loss survivor merasa
malu dan bersalah karena tidak mampu mencegah bunuh diri (Cvinar, 2005). Stigma
terkait bunuh diri yang dianggap tidak bermoral dan berbahaya (Sheehan, Dubke, &
Corrigan, 2017) juga harus dihadapi oleh suicide loss survivor (Lauber & Rossler,
2007).
Stigma ini pada akhirnya mempersulit suicide loss survivor untuk menyadari
masalahnya sendiri, menyampaikan tentang kebutuhannya atas dukungan, sedikitnya
dukungan yang ada, serta keinginan untuk membuka diri terhadap sumber bantuan
bila ada. Hal ini didukung oleh Cerel dan Sanford (2018) dimana stigma membuat
lingkungan yang awalnya memberikan bantuan sebelum kasus bunuh diri menjadi
menghindar akibat takut diberikan stigma oleh orang lain atau jika individu tidak
takut, individu tidak tahu harus berbuat apa.
BAB III
METODE PENELITIAN
III.A. Jenis Penelitian
mencari bantuan secara sadar yang dilakukan oleh individu untuk mencari bantuan
(Cornally dan McCarthy, 2011). Bantuan yang dimaksud bisa berasal dari institusi
formal dan profesional (seperti psikolog), maupun informal seperti orang tua
behavior didefinisikan sebagai upaya mencari bantuan baik melalui support group,
teman, maupun profesional (psikolog, psikiater, dokter, perawat jiwa, dll.) yang nanti
dikaitkan dengan tiga aspek help seeking behavior yaitu kesadaran tentang adanya
masalah, keinginan untuk mencari bantuan, dan adanya dukungan sosial untuk
mencari bantuan (Wilson, Ciarrochi, Deane & Rickwood, 2003).
III.G.2 Pelaksanaan
Setelah panduan wawancara disetuji oleh pembimbing, peneliti akan
menghubungi partisipan yang telah bersedia untuk diwawancara untuk bertemu dan
melakukan wawancara. Nantinya peneliti akan menjelaskan tujuan penelitian,
memberikan informed consent, menjamin kerahasiaan data, serta meminta izin untuk
merekam dan mencatat selama proses wawancara berlangsung. Kemudian peneliti
akan mewawancarai sesuai dengan panduan yang telah disetujui . Saat akhir
wawancara, peneliti mencoba menyimpulkan hasil wawancara dan juga memberitahu
Partisipan akan kemungkinan wawancara tambahan jika diperlukan.
III.G.3 Analisis
Setelah melakukan wawancara, langkah selanjutnya adalah melakuan
pengorganisasian data dengan cara mengumpulkan catatan wawancara, rekaman,
serta berkas partisipan dan memisahkannya per partisipan. Peneliti kemudian
mendengarkan rekaman wawancara setiap subjek dan membuat transkrip
verbatimnya kemudian akan dilakukan.