Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes melitus adalah suatu penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh
tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin
(resistensi insulin), dan didiagnosa melalui pengamatan kadar glukosa
didalam darah. Insulin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar
pankreas yang berperan dalam memasukkan glukosa dari aliran darah ke sel-
sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi (IDF, 2017). Diabetes
melitus tipe 2 merupakan kondisi saat gula darah dalam tubuh tidak terkontrol
akibat gangguan sensitivitas sel beta pankreas untuk menghasilkan hormon
insulin yang berperan sebagai pengontrol kadar gula darah dalam tubuh
(Black & Hawks, 2014).
Menurut International Diabetes Federation (IDF), ada 4 klasifikasi
diabetes melitus yaitu diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes
gestasional, dan diabetes melitus tipe lain. Diabetes melitus tipe 2 adalah tipe
diabetes yang paling umum terjadi pada masyarakat yaitu sekitar 90% dari
kasus diabetes yang terjadi (IDF, 2017). World Health Organization (WHO)
menyebutkan bahwa terdapat 425 juta penderita diabetes di dunia dan
diperkirakan akan mengalami peningkatan sebanyak 629 juta penderita pada
tahun 2045 dengan rata-rata usia berkisar antara 20 sampai 79 tahun (WHO,
2016). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, Indonesia berada diperingkat
6 dengan prevalensi diabetes melitus tipe 2 di Provinsi Sumatra Barat berada
diurutan ke 14 dari 33 provinsi dengan jumlah total penderita sebanyak 1,3%.
Sedangkan di Kota Padang, diabetes melitus menempati urutan ke 6 dari 10
penyakit terbanyak dengan prevalensi sebesar 2,4% dan menjadi penyebab
kematian tertinggi dengan urutan ke 3 di Kota Padang (Riskesdas, 2018).
Tingginya angka kejadian penderita diabetes melitus disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah faktor keturunan atau genetik, obesitas,
perubahan gaya hidup, pola makan yang salah, obat-obatan yang

1
mempengaruhi kadar glukosa darah, kurangnya aktivitas fisik, proses menua,
kehamilan, perokok, dan stress (Muflihatin, 2015). Akibat dari faktor-faktor
tersebut menyebabkan pasien diabetes melitus cenderung mengalami
peningkatan glukosa darah yang dikenal dengan hiperglikemia yang akan
menyebabkan komplikasi, komplikasi yang dapat ditimbulkan meliputi
komplikasi mikrovaskuler (nefropati dan retinopati) dan makrovaskuler
(infark miokoardium, jantung, stroke, hipertensi, neuropati, dan penyakit
vaskuler perifer) (Smeltzer & Bare, 2014).
Manifestasi klinis pada pasien diabetes melitus tipe 2 biasanya berupa
gejala khas atau yang disebut “TRIAS DM” yaitu poliuri, polidipsi, dan
polifagi, sering merasa kelelahan, penglihatan akan mulai kabur,
meningkatnya kadar gula darah, kehilangan tenaga dan mudah sakit yang
berkepanjangan (Edward, 2015). Gejala yang sangat bervariasi, berlangsung
lama dan tanpa diperhatikan, hingga penderita datang ke pelayanan kesehatan
dan memeriksa kadar gula darah barulah mereka tahu bahwa kadar glukosa
darah didalam tubuhnya telah meningkat (Audria, 2018).
Meningkatnya kadar glukosa darah serta resiko komplikasinya membuat
setiap penderita diabetes melitus cenderung memiliki perasaan negatif seperti
stress, marah dan rasa tidak berdaya. Menurut Meivy (2017) penderita
diabetes melitus dengan stress memiliki tingkat kesehatan yang jauh lebih
buruk dibandingkan pada penderita yang hanya mengidap diabetes melitus
ataupun stress saja. Stress menyebabkan peningkatan sekresi hormon
epinefrin dan kortisol yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah
(Smeltzer & Bare, 2014).
Respon terhadap stress diatur oleh hipotalamus. Ketika stress terjadi
hipotalamus merangsang kelenjar adrenal untuk memproduksi hormon-
hormon stress yaitu kortisol dan epinefrin (adrenalin) yang berpengaruh
secara biokimia terhadap sistem endokrin, saraf dan imunitas (Adam, 2019).
Kortisol memiliki efek metabolik berupa menghambat penyerapan dan
penggunaan glukosa oleh banyak jaringan (kecuali otak), merangsang
penguraian protein untuk membantu glukogenesis, dan lipolisis sebagai

2
pengganti glukosa, sehingga glukosa dapat digunakan oleh otak. Epinefrin
bekerja di otot polos arteriol dan pankreas menghambat produksi insulin dan
meningkatkan glukagon. Efek dari kedua hormon ini adalah meningkatkan
kadar glukosa darah (Sherwood, 2014).
Apabila stress yang dialami penderita diabetes melitus dibiarkan saja,
dengan kadar gula darah tetap tinggi dan tidak dikelola dengan baik dapat
menimbulkan komplikasi akut (ketoasidosis diabetes/KAD, asidosis laktat,
koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik/HHNK) sampai komplikasi
kronik (retinopati, nefropati, jantung koroner) dapat terjadi (Smeltzer & Bare,
2014). Sehingga dengan demikian perlunya penanganan secara holistik pada
pasien diabetes melitus.
Lima pilar manajemen diabetes melitus yaitu manajemen nutrisi, latihan
jasmani, monitoring, terapi farmakologi, dan edukasi (PERKENI, 2015).
Peran perawat sebagai edukator sangat dibutuhkan oleh pasien diabetes
melitus tipe 2 karena penyakit diabetes melitus merupakan penyakit kronis
yang memerlukan perilaku penanganan mandiri yang khusus seumur hidup.
Diet, ativitas fisik, dan emosional dapat mempengaruhi pengendalian
diabetes, maka pasien harus belajar untuk mengontrol keseimbangan berbagai
faktor. Pasien tidak hanya belajar untuk merawat diri sendiri setiap hari guna
menghindari penurunan atau peningkatan kadar glukosa darah secara
mendadak, tetapi juga harus memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup
untuk menghindari komplikasi jangka panjang (Smeltzer & Bare, 2014).
Penanganan diabetes melitus di rumah sakit yang ada selama ini masih
sebagian besar berfokus pada pengobatan konvensional yang telah
diprogramkan oleh dokter, belum memperhatikan penanganan stress pasien,
sedangkan faktor psikologis sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan
pasien. Salah satu peran perawat sebagai edukator pada pasien diabetes
melitus tipe 2 dengan kadar gula darah yang tinggi yaitu perawat dapat
memberikan edukasi dalam bentuk cara meredakan ketegangan emosional
yang cukup mudah dilakukan misalnya terapi komplementer seperti relaksasi
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) untuk menurunkan kadar

3
gula darah dan keluhan lain yang dialami oleh pasien DM tipe 2.
Terapi komplementer atau Complementary and alternative medicine
(CAM) juga dapat digunakan bersamaan dengan pengobatan konvensional.
Ada lima domain dari terapi komplementer, namun yang paling umum
digunakan untuk pengobatan diabetes di Barat adalah Biologically based
practice dan Mind Body Medicine (Lorentz, 2014). Spiritual Emotional
Freedom Technique (SEFT) adalah suatu bentuk mind body therapy dari
terapi alternatif dan komplementer keperawatan. SEFT membantu pasien
diberbagai masalah kesulitan yang dialami seseorang dalam berbagai sisi
kehidupan. SEFT pengembangan dari EFT diperkenalkan pada tahun 1995
oleh Gary Craig. EFT adalah metode sederhana yang menekankan fokus pada
masalah dalam diri individu disertai dengan menekan secara lembut pada titik
akupuntur (tapping) di wajah, tubuh bagian atas dan tangan. EFT dapat
membantu berbagai masalah emosi dan fisik. Metode SEFT adalah
menyatukan diri dengan kekuatan Ilahi yang memungkinkan orang utnuk
menjadi lebih bahagia, lebih kepastian dalam hidup, hasilnya tidak mudah
stres sehingga dapat meningkatkan kesehatan jiwa (Zainuddin, 2014).
Keefektifan terapi ini terletak pada pengabungan antara Spiritual Power
dengan Energy Psychology. Spiritual Power memiliki lima prinsip utama
yaitu ikhlas, yakin, syukur, sabar dan khusyu’. Energy Psychology
merupakan seperangkat prinsip dan teknik memanfaatkan sistem energi tubuh
untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku. Prinsip kerja SEFT
hampir sama dengan akupuntur dan akupresur yaitu merangsang dan
mengaktifkan 12 jalur utama meridian tubuh sekaligus mengucapkan kalimat
doa dengan khusyu’, ikhlas, dan pasrah sehingga terjadi keseimbangan sistem
energi tubuh dan timbulnya efek relaksasi (Freinstein dalam Zainuddin,
2014).
Penelitian menemukan bahwasanya Emotional Freedom Technique
(EFT) mampu untuk menurunkan glukosa darah (Mahnaz, et al, 2014).
Metode terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)
dikembangkan berdasarkan pandangan bahwa beban emosional (pikiran

4
negatif) yang dialami individu menjadi penyebab utama dari penyakit fisik
maupun penyakit non fisik yang dideritanya. Tekanan emosional yang tidak
teratasi akan menghambat aliran energi di dalam tubuh sehingga tubuh
menjadi lemah dan mudah terjangkit penyakit. Untuk mengatasinya perlu
menetralisir pikiran-pikitan negatif dengan kalimat do’a dan menumbuhkan
sikap positif bahwa apapun masalah pikiran, jiwa, dan rasa sakitnya ia ikhlas
menerimanya serta mempasrahkan kesembuhannya pada Allah SWT
(Zainuddin, 2014).
Penelitian lain yang juga sudah membuktikan efektivitas SEFT adalah
Pebriani (2015) dengan judul Effect Of Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT) Therapy Set-Up Phase And Tune-In Phase On Levels Of
Random Glucose In The Blood In Patients With Diabetes Mellitus At
Kitamura Clinic Pontianak didapatkan ada pengaruh terapi SEFT terhadap
kadar gula darah sewaktu pada penderita diabetes mellitus dengan nilai
p=0,000 ≤ 0,05. Hasil penelitian dari Patriyani (2018) yang berjudul
Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Terhadap
Penurunan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Di RSUD
Kota Surakarta juga menunjukkan bahwa rata-rata SEFT dapat menurunkan
kadar gula darah pada pasien DM tipe 2 dengan point penurunan kadar gula
darah lebih tinggi dari pada point penurunan kadar gula darah pada pasien
DM tipe 2 yang tidak diberikan tindakan SEFT.
Berdasarkan data pasien rawat inap di RSUP Dr.M.Djamil Padang pada
bulan Juni 2019, penyakit diabetes melitus termasuk diantara 10 besar
penyakit rawat inap dengan jumlah 95 kasus. Hasil observasi selama dinas di
ruang non bedah penyakit dalam pria RSUP Dr.M.Djamil Padang pada
tanggal 8 sampai 20 Juli 2019, pasien dengan diabetes melitus tipe 2
berjumlah 14 pasien. Pasien yang dirawat dengan diabetes melitus tipe 2
umumnya mengalami kadar gula darah yang tidak stabil, kaki kebas dan
kesemutan, badan terasa lemah, dan penurunan nafsu makan. Intervensi yang
diberikan oleh perawat ruangan terhadap salah satu gejala yang dialami
pasien seperti gula darah sewaktu (GDS) > 200 mg/dl, terlihat perawat hanya

5
melakukan intervensi medis saja dengan pemberian terapi farmakologi oral
atau insulin sesuai dengan dosis yang dibutukan. 4 pasien mengatakan cemas
karena akan melakukan debridement dan 10 pasien mengatakan menderita
DM selama bertahun-tahun membuat mereka terbebani, selain ketakutan akan
komplikasi juga banyaknya pantangan dan harus membatasi makan.
Berdasarkan fenomena yang ditemukan dilapangan, penulis
menemukan belum adanya perawat ruangan yang memberikan intervensi
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) dalam menurunkan kadar
gula darah, perawat ruangan fokus dengan pemberian insulin yang telah
diprogramkan oleh dokter pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2. Oleh
karena itu, penulis ingin memberikan intervensi Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT) pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengalami
ketidakstabilan kadar glukosa darah dengan melihat gambaran asuhan
keperawatan dalam sebuah karya ilmiah ners yang berjudul “Analisis Praktek
Klinik Keperawatan Pada Tn.B Dengan Diabetes Melitus Tipe 2 Yang
Diberikan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Untuk
Menurunkan Kadar Gula Darah Dan Tingkat Stress Di Ruang Non Bedah
Penyakit Dalam Pria RSUP Dr.M.Djamil Padang”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang muncul seperti tidak stabilnya nilai kadar
gula darah yang dialami pada pasien diabetes melitus tipe 2 dan fenomena
yang ditemukan dilapangan yaitu belum adanya perawat ruangan yang
memberikan intervensi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)
dalam menurunkan kadar gula darah, maka rumusan masalah yang akan
dibahas dalam karya ilmiah ners ini adalah “Bagaimanakah Analisis Praktek
Klinik Keperawatan Pada Tn.B Dengan Diabetes Melitus Tipe 2 Yang
Diberikan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Untuk
Menurunkan Kadar Gula Darah Dan Tingkat Stress Di Ruang Non Bedah
Penyakit Dalam Pria RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2019?”.

C. Tujuan Penulisan

6
1. Umum
Untuk dapat memberikan gambaran “Analisis Praktek Klinik
Keperawatan Pada Tn.B Dengan Diabetes Melitus Tipe 2 Yang Diberikan
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Untuk Menurunkan
Kadar Gula Darah Dan Tingkat Stress Di Ruang Non Bedah Penyakit
Dalam Pria RSUP Dr.M.Djamil Padang Tahun 2019”.
2. Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada Tn.B dengan diabetes melitus
tipe 2 di ruang non bedah penyakit dalam pria RSUP RSUP
Dr.M.Djamil Padang tahun 2019.
b. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada Tn.B dengan
diabetes melitus tipe 2 di ruang non bedah penyakit dalam pria RSUP
Dr.M.Djamil Padang tahun 2019.
c. Mampu menyusun rencana tindakan keperawatan pada Tn.B dengan
diabetes melitus tipe 2 di ruang non bedah penyakit dalam pria RSUP
Dr.M.Djamil Padang tahun 2019.
d. Mampu mengimplementasikan rencana keperawatan yang telah
disusun pada Tn.B dengan diabetes melitus tipe 2 di ruang non bedah
penyakit dalam pria RSUP Dr.M.Djamil Padang tahun 2019.
e. Mampu melakukan evaluasi terhadap intervensi yang telah dilakukan
terkait masalah keperawatan pada Tn.B dengan diabetes melitus tipe 2
di ruang non bedah penyakit dalam pria RSUP Dr.M.Djamil Padang
tahun 2019.
f. Mampu melakukan pendokumentasian asuhan keperawatan pada Tn.B
dengan diabetes melitus tipe 2 di ruang non bedah penyakit dalam pria
RSUP Dr.M.Djamil Padang tahun 2019.
g. Mampu menganalisa penerapan pemberian Spiritual Emotional
Freedom Technique (SEFT) untuk menurunkan kadar gula darah pada
Tn.B dengan diabetes melitus tipe 2 di ruang non bedah penyakit
dalam pria RSUP Dr.M.Djamil Padang tahun 2019.
D. Manfaat Penulisan

7
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Perkembangan Keperawatan
Agar makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan dalam melaksanakan
asuhan keperawatan pada pasien dengan DM tipe 2, sehingga dapat
dilakukan dengan segera untuk mengatasi masalah kadar gula darah
dan tingkat stress pada pasien dengan DM tipe 2 dengan terapi
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT).
b. Bagi Pembaca
Memberikan pengertian, pengetahuan dan pengambilan keputusan
yang tepat kepada pembaca khususnya dalam menyikapi dan
mengatasi kadar gula darah pada pasien dengan DM tipe 2.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan yang telah
diberikan kepada pasien DM tipe 2 yang diberikan Spiritual
Emotional Freedom Technique (SEFT) untuk menurunkan kadar gula
darah dan tingkat stress di ruang non bedah penyakit dalam pria RSUP
Dr.M.Djamil Padang.
b. Bagi STIKes MERCUBAKTIJAYA Padang
Sebagai tambahan data kepustakaan dan menambah referensi bagi
institusi tentang asuhan keperawatan pada pasien DM tipe 2 yang
diberikan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) untuk
menurunkan kadar gula darah dan tingkat stress di ruang non bedah
penyakit dalam pria RSUP Dr.M.Djamil Padang.
c. Bagi RSUP Dr. M. Djamil Padang
Sebagai bahan masukan yang berkaitan dengan asuhan keperawatan
pada pasien DM tipe 2 yang diberikan Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT) untuk menurunkan kadar gula darah dan tingkat
stress di ruang non bedah penyakit dalam pria RSUP Dr. M. Djamil
Padang.

Anda mungkin juga menyukai