Secara historis : Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) mengatur berbagai
aspek terkait tanah dan agraria di Indonesia. pasal dan peraturan yang mungkin dihasilkan
oleh UU ini meliputi:
Pasal 1: Pasal ini menyatakan bahwa tujuan UU No. 5 Tahun 1960 adalah untuk
mewujudkan kemakmuran rakyat yang adil dan merata serta menegakkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 2: Pasal ini memberikan definisi tentang beberapa istilah penting yang
digunakan dalam UU No. 5 Tahun 1960, seperti tanah, agraria, hak atas tanah, dan
sebagainya.
Pasal 3: Pasal ini mengatur tentang hak atas tanah, yang terdiri dari hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak
memungut hasil hutan.
Secara sosiologis : Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU
Kesehatan) merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kesehatan di
Indonesia. UU ini mulai berlaku pada tanggal 13 Oktober 2009 dan mencabut Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Pasal 3: Pasal ini mengatur tentang hak dan kewajiban setiap orang dalam bidang
kesehatan. Setiap orang berhak atas kesehatan, berhak memperoleh upaya kesehatan
yang bermutu, dan berkewajiban untuk berperan aktif dalam upaya kesehatan.
Pasal 4: Pasal ini mengatur tentang upaya kesehatan, yang meliputi upaya kesehatan
perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan upaya kesehatan penunjang.
Pasal 5: Pasal ini mengatur tentang penyelenggaraan upaya kesehatan, yang dilakukan
oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Secara filosofis : Pasal 27 UUD 1945*: Pasal ini mengatur tentang hak asasi manusia, yang
merupakan prinsip filosofis yang mendasari hukum, mencakup hak hidup, hak berkeluarga,
hak pendidikan, dan lain sebagainya.
Pasal ini terdiri dari 3 ayat, yaitu:
Ayat (1) "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Ayat ini menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama
di hadapan hukum dan pemerintahan. Setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama
di hadapan hukum, tanpa memandang ras, agama, suku, gender, atau status sosial.
Ayat (2) ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan."
Ayat ini menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan
yang layak. Setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya
dan memberikan penghidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya.
Ayat (3) "Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara."
Ayat ini mewajibkan setiap warga negara untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Setiap orang berhak untuk membela negaranya dari ancaman dan gangguan dari pihak luar.
Pasal 27 UUD 1945 merupakan salah satu pasal yang paling penting dalam UUD 1945. Pasal
ini mengatur tentang hak dan kewajiban warga negara, yang merupakan prinsip dasar dari
negara demokrasi.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Hak Asasi Perempuan mengatur tentang
hak dan kewajiban perempuan di Indonesia. Undang-undang ini didasarkan pada nilai-nilai
filosofis, seperti nilai-nilai kesetaraan, nilai-nilai keadilan gender, dan nilai-nilai non-
diskriminasi.
Pasal 3: Pasal ini mengatur tentang hak asasi perempuan, yang meliputi:
Sumber hukum formil undang-undang merupakan sumber hukum yang tertinggi dalam
sistem hukum Indonesia.
UU Cipta Kerja ini terdiri dari 18 bab dan 162 pasal. Berikut adalah beberapa pasal penting
dalam UU Cipta Kerja:
Pasal 1
Pasal 1 UU Cipta Kerja menetapkan bahwa tujuan dari undang-undang ini adalah untuk:
Pasal 2
Pasal 2 UU Cipta Kerja menetapkan bahwa ruang lingkup dari undang-undang ini meliputi:
Pasal 3
Pasal 3 UU Cipta Kerja menetapkan bahwa UU Cipta Kerja ini berlaku untuk seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM),
tepatnya pada Pasal 18, mengatur tentang kewajiban negara dalam memberikan perlindungan,
pemajuan, dan penegakan hak asasi manusia. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18 ayat (1) UU HAM menegaskan bahwa negara berkewajiban menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia dan HAM bagi setiap orang
tanpa diskriminasi. Hak asasi manusia dan HAM merupakan hak yang melekat pada setiap
orang sejak lahir dan tidak dapat dicabut oleh siapapun. Negara berkewajiban untuk
menjamin dan melindungi hak asasi manusia dan HAM dari segala bentuk pelanggaran.
Pasal 18 ayat (2) UU HAM menegaskan bahwa negara berkewajiban untuk menjamin rasa
aman dan tenteram bagi setiap orang untuk menegakkan hak asasi manusia. Negara
berkewajiban untuk menciptakan kondisi yang aman dan tenteram bagi setiap orang untuk
dapat menjalankan hak asasi manusia dan HAM-nya.
Pasal 18 ayat (3) UU HAM menegaskan bahwa negara berkewajiban untuk mengembangkan
dan melestarikan budaya bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.
Negara berkewajiban untuk mengembangkan dan melestarikan budaya bangsa yang
menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dan HAM, seperti nilai-nilai toleransi,
kesetaraan, dan keadilan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) mengatur adat istiadat
pada Pasal 18 dan Pasal 103.
Pasal 18 mengatur tentang hak asal usul dan adat istiadat Desa. Pasal tersebut berbunyi
sebagai berikut:
(1) Desa memiliki hak asal usul dan adat istiadat yang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Desa berhak mengembangkan, memelihara, dan melestarikan hak asal usul dan adat
istiadat Desa.
Pasal tersebut menegaskan bahwa Desa memiliki hak asal usul dan adat istiadat yang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Hak asal usul dan adat istiadat Desa tersebut meliputi sistem
pemerintahan, tatanan masyarakat, nilai-nilai, norma, dan kebiasaan yang hidup di Desa.
Pasal 103 mengatur tentang kewenangan Desa Adat dalam penyelenggaraan pemerintahan
Desa. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
(1) Desa Adat memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa sesuai
dengan hak asal usul dan adat istiadat Desa yang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kewenangan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
penyelenggaraan pemerintahan Desa sesuai dengan hak asal usul dan adat istiadat Desa.
Pasal tersebut menegaskan bahwa Desa Adat memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan
pemerintahan Desa sesuai dengan hak asal usul dan adat istiadat Desa. Kewenangan tersebut
meliputi penyelenggaraan pemerintahan Desa sesuai dengan hak asal usul dan adat istiadat
Desa.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
memberikan pengakuan khusus terhadap hukum adat dan hukum kebiasaan masyarakat
Papua dalam mengatur sejumlah hal di provinsi Papua. Pengakuan tersebut dilakukan dalam
rangka menghormati dan melindungi hak-hak dasar masyarakat Papua, termasuk hak untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan adat istiadat dan
budaya setempat.
beberapa contoh pengakuan khusus terhadap hukum adat dan hukum kebiasaan masyarakat
Papua dalam UU Otsus Papua:
Pasal 1
Pasal 2
(1) Traktat ini telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden
Nomor 31 Tahun 1971. (2) Traktat ini mulai berlaku untuk Republik Indonesia sejak tanggal
ratifikasi.
Pasal 3
Undang-Undang ini disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto pada tanggal 31
Desember 1985. Undang-undang ini mengesahkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang ditandatangani oleh Indonesia pada tanggal 10
Desember 1982.
Pasal 1
Pasal 2
(1) Traktat ini telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden
Nomor 31 Tahun 1985. (2) Traktat ini mulai berlaku untuk Republik Indonesia sejak tanggal
ratifikasi.
Pasal 3
Pasal 4
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1971. Traktat ini mengatur tentang garis batas laut
teritorial antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka.
Pasal 1
1. Traktat adalah Traktat antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang Penetapan
Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Malaka yang ditandatangani di
Kuala Lumpur pada tanggal 17 Maret 1970.
2. Laut teritorial adalah wilayah laut yang berbatasan dengan pantai suatu negara pantai
dan berada di bawah kedaulatan negara pantai tersebut.
3. Garis batas laut teritorial adalah garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari laut
teritorial suatu negara pantai.
Pasal 2
(1) Traktat ini telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden
Nomor 31 Tahun 1971. (2) Traktat ini mulai berlaku untuk Republik Indonesia sejak tanggal
ratifikasi.
Pasal 3
Pasal 3
Pasal ini mengatur bahwa perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan
modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-
undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 4
Pasal ini mengatur bahwa tujuan perseroan adalah untuk memajukan kesejahteraan umum,
yang dicapai melalui kegiatan usaha yang bersifat teratur dan berkesinambungan.
Pasal 5
Pasal ini mengatur bahwa perseroan dapat melakukan kegiatan usaha di bidang apa saja,
kecuali bidang yang dilarang oleh undang-undang.
Pasal 6
Pasal ini mengatur bahwa perseroan harus mempunyai nama dan alamat yang jelas.
Pasal 7
Pasal ini mengatur bahwa perseroan harus mempunyai modal dasar yang telah disetor penuh.
Pasal 106 KUHP mengatur bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas
perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang bertindak mewakilinya. Pasal ini
menyatakan bahwa:
"Korporasi dapat dipidana jika perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dilakukan oleh
orang-orang yang bertindak mewakilinya, dalam hal tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang-orang tersebut dalam menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaannya."
Unsur perbuatan, yaitu tindakan atau tidak bertindak yang dilakukan oleh seseorang.
Unsur ancaman pidana, yaitu ancaman hukuman yang diberikan kepada orang yang
melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) berbunyi sebagai berikut:
Perbuatan yang diancam dengan pidana hanya dapat dipidana jika dilakukan dengan
kesengajaan atau kealpaan.
Pasal ini mengatur bahwa tindak pidana hanya dapat dipidana jika dilakukan dengan
kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan adalah keadaan batin yang menghendaki
perbuatan dan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Kealpaan adalah keadaan batin
yang lalai atau kurang memperhatikan apa yang seharusnya dilakukan
Pasal 1966 KUHPerdata mengatur tentang ganti rugi yang dapat dituntut oleh pemilik tanah
yang dirusak atau diganggu oleh orang lain. Pasal ini berbunyi sebagai berikut:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merusakkan atau mengganggu hak milik
orang lain, diwajibkan mengganti kerugian yang diderita oleh pemiliknya.
Pasal ini didasarkan pada doktrin "trespass to land", yang menyatakan bahwa setiap orang
yang dengan sengaja dan tanpa hak memasuki atau merusak tanah orang lain dapat dituntut
ganti rugi
TUGAS 2
CONTOH IMPLEMENTASI ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK
Pasal yang mengatur kasus tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme. Pasal tersebut menyatakan bahwa penyelenggara negara dilarang melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Penjelasan
Dalam kasus pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Malang, terdapat indikasi
penyimpangan dalam hal kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan kebutuhan,
tidak melalui proses lelang, dan dilakukan oleh pihak yang tidak berkompeten.
Atas dasar indikasi penyimpangan tersebut, Bupati Malang menonaktifkan pejabat yang
diduga terlibat dalam penyimpangan tersebut. Hal ini merupakan langkah yang tepat untuk
menjaga ketertiban dan kelancaran penyelenggaraan negara.
BPK juga melakukan pemeriksaan lanjutan untuk memastikan adanya kerugian negara. Hal
ini penting untuk dilakukan agar kasus tersebut dapat diselesaikan secara tuntas dan
memberikan efek jera bagi para pelaku.
Kejaksaan Negeri Malang juga melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Hal ini
merupakan langkah yang tepat untuk memastikan adanya pelanggaran hukum. Jika terbukti
ada pelanggaran hukum, maka para pelaku dapat diproses secara hukum.
Kesimpulan
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara merupakan salah satu asas yang penting dalam
penyelenggaraan negara. Asas ini menjamin agar penyelenggaraan negara berjalan secara
tertib, teratur, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kasus pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Malang merupakan salah satu
contoh nyata implementasi asas Tertib Penyelenggaraan Negara. Dalam kasus tersebut,
tindakan yang diambil oleh Bupati Malang, BPK, dan Kejaksaan Negeri Malang merupakan
langkah yang tepat untuk menjaga ketertiban dan kelancaran penyelenggaraan negara.
3. ASAS KEPENTINGAN UMUM
Kasus: Pemerintah Kabupaten Bogor mencabut izin pembangunan proyek pertambangan batu
bara di Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, pada tanggal 20 Juli 2023. Izin tersebut
dicabut karena pembangunan proyek tersebut menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan,
seperti pencemaran air dan udara, dan kerusakan hutan.
Tindakan penyelesaian: Pemerintah Kabupaten Bogor mencabut izin pembangunan proyek
pertambangan batu bara tersebut berdasarkan Asas kepentingan umum. Asas ini menghendaki
agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya mengutamakan kepentingan umum, termasuk
kepentingan lingkungan.
Pasal yang mengatur kasus tersebut: Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Pasal ini menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban
untuk melindungi lingkungan hidup.
Penjelasan:
Kasus ini merupakan contoh nyata implementasi Asas kepentingan umum oleh pemerintah.
Pemerintah Kabupaten Bogor mencabut izin pembangunan proyek pertambangan batu bara
tersebut karena proyek tersebut menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah mengutamakan kepentingan umum, termasuk kepentingan
lingkungan.
Selain itu, kasus ini juga menunjukkan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk
melindungi lingkungan hidup. Pemerintah harus memastikan bahwa pembangunan yang
dilakukan tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.
Kesimpulan:
Asas kepentingan umum merupakan asas penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Asas
ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya mengutamakan kepentingan
umum, termasuk kepentingan lingkungan. Implementasi Asas kepentingan umum oleh
pemerintah dapat melindungi kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup.
4. ASAS KETERBUKAAN
Kasus UU IKN
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) merupakan salah
satu contoh kasus implementasi Asas Keterbukaan. UU ini telah disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada tanggal 18 Januari 2022. Namun, proses pembentukan UU
ini menuai banyak kritik dari masyarakat, salah satunya karena dianggap tidak transparan.
Kritik tersebut muncul karena DPR RI tidak memberikan akses informasi yang memadai
kepada masyarakat, baik dalam proses penyusunan maupun pembahasan RUU IKN. Hal ini
menyebabkan masyarakat tidak dapat memberikan masukan secara maksimal terhadap RUU
tersebut.
Untuk mengatasi kritik tersebut, DPR RI akhirnya membuka akses informasi kepada
masyarakat terkait UU IKN. Hal ini dilakukan melalui berbagai cara, seperti membuka situs
web khusus untuk UU IKN, mengadakan diskusi publik, dan menggelar rapat dengar
pendapat umum.
Tindakan Penyelesaian
Tindakan penyelesaian kasus ini dilakukan oleh DPR RI dengan membuka akses informasi
kepada masyarakat terkait UU IKN. Tindakan ini merupakan upaya untuk memenuhi asas
keterbukaan dalam penyelenggaraan negara.
Pasal yang Mengatur
Pasal yang mengatur kasus ini adalah Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pasal tersebut menyebutkan
bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi publik, kecuali informasi yang
dikecualikan berdasarkan Undang-Undang.
Kesimpulan
Kasus UU IKN merupakan salah satu contoh implementasi Asas Keterbukaan dalam
penyelenggaraan negara. Tindakan penyelesaian kasus ini dilakukan oleh DPR RI dengan
membuka akses informasi kepada masyarakat terkait UU IKN. Tindakan ini merupakan
upaya untuk memenuhi asas keterbukaan dalam penyelenggaraan negara.
5. ASAS PROPORSIONALITAS
Kasus: Pada tanggal 20 Juli 2023, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan
Gubernur Nomor 45 Tahun 2023 tentang Pengenaan Pajak Daerah Restoran dan Pajak
Daerah Hiburan. Peraturan ini mengatur pengenaan pajak sebesar 10% dari omzet untuk
restoran dan 20% dari omzet untuk hiburan.
Tindakan Penyelesaian: Peraturan Gubernur Nomor 45 Tahun 2023 tersebut kemudian
digugat oleh Asosiasi Pengusaha Restoran dan Hiburan DKI Jakarta ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan tersebut dikabulkan oleh PTUN Jakarta pada tanggal
2 Agustus 2023.
Pasal yang Mengatur:
Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
mengatur bahwa setiap orang berhak atas jaminan kepastian hukum, perlindungan, dan
kepastian hukum.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang mengatur bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang berlawanan dengan tugas,
fungsi, atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Penjelasan:
PTUN Jakarta mengabulkan gugatan tersebut dengan pertimbangan bahwa Peraturan
Gubernur Nomor 45 Tahun 2023 tersebut tidak memenuhi asas proporsionalitas. Asas
proporsionalitas mengharuskan suatu tindakan yang diambil oleh pemerintah harus seimbang
antara tujuannya dengan dampak yang ditimbulkannya. Dalam hal ini, PTUN Jakarta menilai
bahwa pengenaan pajak sebesar 10% untuk restoran dan 20% untuk hiburan adalah terlalu
tinggi dan akan berdampak negatif bagi perekonomian Jakarta.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Namun, PTTUN Jakarta menolak permohonan banding
tersebut dan menguatkan putusan PTUN Jakarta.
Dengan demikian, Peraturan Gubernur Nomor 45 Tahun 2023 tersebut dinyatakan tidak sah
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
6. ASAS PROFESIONALITAS
Salah satu contoh nyata yang pernah terjadi kasus implementasi asas profesionalitas adalah
kasus penyalahgunaan wewenang oleh oknum pegawai negeri sipil (PNS). Kasus ini terjadi
pada tahun 2018, di mana seorang PNS di Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis, Jawa Barat,
diduga melakukan pungli terhadap orang tua siswa untuk mendapatkan nomor urut
pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Dalam kasus ini, oknum PNS tersebut telah melanggar asas profesionalitas, karena tidak
menjalankan tugasnya secara profesional dan berintegritas. Ia menggunakan wewenangnya
untuk mendapatkan keuntungan pribadi, yaitu uang dari orang tua siswa.
Tindakan penyelesaian dari kasus ini adalah oknum PNS tersebut diberhentikan dari
jabatannya sebagai PNS. Selain itu, ia juga dituntut secara pidana dan dijatuhi hukuman
penjara selama 2 tahun.
Pasal yang mengatur kasus ini adalah Pasal 328 KUHP, yaitu:
Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memaksa orang lain untuk
memberikan barang sesuatu, dengan ancaman kekerasan atau dengan memakai kekerasan,
diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Kasus ini menunjukkan bahwa asas profesionalitas merupakan hal yang penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Aparatur pemerintah harus menjalankan tugasnya secara
profesional dan berintegritas, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan korupsi.
7. ASAS AKUNTABILITAS
Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Barat (NTB) menetapkan mantan Direktur
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan (Poltekkes Kemenkes) Mataram Awan
Dramawan dan mantan Kepala Jurusan (Kajur) Keperawatan Poltekkes Kemenkes Mataram
Zainal Fikri sebagai tersangka. Mereka diduga melakukan korupsi pengadaan alat
laboratorium pada 2016.
Kapolda NTB Irjen Djoko Poerwanto mengatakan kedua tersangka diduga menyalahgunakan
wewenang dan jabatan saat pengadaan alat laboratorium penunjang belajar mengajar
(APBM) di Poltekkes Kemenkes Mataram. "Keduanya terbukti melakukan tindak pidana
korupsi pada pengadaan APBM yang bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) APBN Poltekkes Kemenkes Mataram tahun anggaran 2016 senilai Rp 22,2
miliar.kerugian negara akibat korupsi ini di taksir senilai 3,2 Milliar lebih.
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang mencurigai adanya tindak korupsi dalam
pengadaan alat kesehatan dan jasa konsultan di Poltekkes Mataram. Laporan tersebut
kemudian ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Negeri Mataram.
Setelah melakukan penyelidikan, Kejaksaan Negeri Mataram menetapkan Awan Dramawan
dan Zainal Fikri , sebagai tersangka kemudian ditahan oleh Kejaksaan Negeri Mataram.
Kasus ini kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Mataram. Dalam persidangan Awan
Dramawan dan Zainal Fikri , , dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsikedua
tersangka tersebut., kemudian dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun dan denda sebesar
Rp500 juta.
Tindakan penyelesaian dari kasus ini menunjukkan bahwa asas akuntabilitas telah diterapkan.
Asas akuntabilitas menuntut setiap pejabat publik untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Dalam kasus ini Awan Dramawan dan Zainal Fikri , telah dijatuhi hukuman sesuai dengan
perbuatannya.
Pasal yang mengatur kasus ini adalah Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 mengatur tentang tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Pasal 3 mengatur tentang tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh orang lain.
Berikut adalah penjelasan terkait implementasi asas akuntabilitas dalam kasus korupsi
Poltekkes Mataram Tahun 2016:
Asas akuntabilitas menuntut setiap pejabat publik untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Dalam kasus ini, Awan Dramawan dan Zainal Fikri, telah dijatuhi hukuman sesuai dengan
perbuatannya. Hal ini menunjukkan bahwa Awan Dramawan dan Zainal Fikri telah
bertanggung jawab atas tindakannya.
Asas akuntabilitas juga menuntut adanya transparansi dan keterbukaan dalam pengelolaan
keuangan negara. Dalam kasus ini, Kejaksaan Negeri Mataram telah melakukan penyelidikan
dan penyidikan secara transparan dan terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa Kejaksaan Negeri
Mataram telah menerapkan asas akuntabilitas.
Kasus korupsi Poltekkes Mataram Tahun 2016 merupakan salah satu contoh kasus korupsi
yang berhasil diungkap dan diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Kasus ini juga
menunjukkan bahwa asas akuntabilitas telah diterapkan dalam penyelesaian kasus korupsi.
TUGAS 3
CONTOH SENGKETA YANG MASUK KE PTUN
1. SENGKETA PERTANAHAN
Salah satu kasus sengketa pertanahan di PTUN adalah Putusan PTUN Jakarta Nomor
469/G/2022/PTUN.JKT. Kasus ini bermula dari gugatan yang dilayangkan oleh Indrawati
Surjadi, Tjandrawati Surjadi, Dianawati Surjadi, Dr. Herman Mulijadi, Purnawati Suryadi,
Samuel Yesyurun, Susanto Suryadi, dan Suginto selaku Penggugat terhadap Kepala Kantor
Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat selaku Tergugat.
Dalam gugatannya, Penggugat menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan tindakan
sewenang-wenang dalam menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 14433/Kelurahan
Menteng, Kecamatan Menteng, Kota Administrasi Jakarta Pusat atas nama Deepak Rupo
Chugani. Penggugat mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan milik mereka, berdasarkan
Surat Keterangan Hak Milik (SKHMT) Nomor 6/Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng,
Kota Administrasi Jakarta Pusat yang diterbitkan oleh Pemerintah Kota Jakarta Pusat pada
tahun 1975.
Tergugat dalam jawabannya menyatakan bahwa SHM Nomor 14433/Kelurahan Menteng,
Kecamatan Menteng, Kota Administrasi Jakarta Pusat diterbitkan secara sah dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tergugat juga menyatakan bahwa
SKHMT Nomor 6/Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng, Kota Administrasi Jakarta
Pusat telah dicabut oleh Pemerintah Kota Jakarta Pusat pada tahun 1981.
Pada tanggal 20 Juli 2022, Majelis Hakim PTUN Jakarta memutuskan untuk mengabulkan
sebagian gugatan Penggugat. Majelis Hakim menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan
tindakan sewenang-wenang dalam menerbitkan SHM Nomor 14433/Kelurahan Menteng,
Kecamatan Menteng, Kota Administrasi Jakarta Pusat. Majelis Hakim memerintahkan
Tergugat untuk mencabut SHM Nomor 14433/Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng,
Kota Administrasi Jakarta Pusat.
Tergugat kemudian mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Pada tanggal 12 Oktober 2022, PTTUN Jakarta
memutuskan untuk menguatkan putusan PTUN Jakarta. PTTUN Jakarta menyatakan bahwa
Tergugat telah terbukti melakukan tindakan sewenang-wenang dalam menerbitkan SHM
Nomor 14433/Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng, Kota Administrasi Jakarta Pusat.
PTTUN Jakarta memerintahkan Tergugat untuk melaksanakan putusan PTUN Jakarta.
Tergugat kemudian mengajukan kasasi atas putusan PTTUN Jakarta ke Mahkamah Agung
(MA). Pada tanggal 19 Januari 2023, MA menolak permohonan kasasi Tergugat. MA
menyatakan bahwa putusan PTTUN Jakarta telah tepat dan sejalan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan putusan PTUN Jakarta, PTTUN Jakarta, dan MA, maka SHM Nomor
14433/Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng, Kota Administrasi Jakarta Pusat dinyatakan
batal demi hukum. Tanah tersebut kembali menjadi milik Penggugat.
Berikut adalah ringkasan proses dan hasil dari kasus sengketa pertanahan di PTUN Jakarta
tersebut:
Proses:
Penggugat menggugat Tergugat ke PTUN Jakarta pada tanggal 20 Mei 2022.
Majelis Hakim PTUN Jakarta memutuskan untuk mengabulkan sebagian gugatan
Penggugat pada tanggal 20 Juli 2022.
Tergugat mengajukan banding atas putusan tersebut ke PTTUN Jakarta pada tanggal 2
Agustus 2022.
PTTUN Jakarta menguatkan putusan PTUN Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2022.
Tergugat mengajukan kasasi atas putusan PTTUN Jakarta ke MA pada tanggal 20
Oktober 2022.
MA menolak permohonan kasasi Tergugat pada tanggal 19 Januari 2023.
Hasil:
SHM Nomor 14433/Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng, Kota Administrasi
Jakarta Pusat dinyatakan batal demi hukum.
Tanah tersebut kembali menjadi milik Penggugat.
Menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi secara tanggung renteng untuk
membayar biaya perkara sejumlah Rp. 2.655.000,00 (dua juta enam ratus lima puluh
lima ribu rupiah);
Kasus ini merupakan salah satu contoh kasus sengketa pertanahan yang melibatkan SHM.
Dalam kasus ini, Penggugat berhasil memenangkan gugatan mereka karena Tergugat terbukti
telah melakukan tindakan sewenang-wenang dalam menerbitkan SHM.
2. SENGKETA PERIZINAN
Salah satu kasus sengketa perizinan di PTUN yang paling terkenal adalah kasus sengketa
reklamasi Pulau G di Jakarta. Kasus ini bermula dari gugatan yang diajukan oleh sejumlah
aktivis lingkungan dan masyarakat sekitar Pulau G terhadap Gubernur DKI Jakarta atas Surat
Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan
Reklamasi Pulau G kepada PT. Muara Wisesa Samudra.
Dalam gugatannya, para penggugat mendalilkan bahwa Surat Keputusan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
dan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010-2030.
Pada tanggal 5 November 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan gugatan
para penggugat. Dalam putusannya, PTUN menyatakan bahwa Surat Keputusan Gubernur
Nomor 2238 Tahun 2014 batal dan tidak sah. Putusan ini kemudian diperkuat oleh
Mahkamah Agung pada tanggal 14 Februari 2017.
Kasus sengketa reklamasi Pulau G ini menjadi salah satu kasus sengketa perizinan yang
paling kontroversial di Indonesia. Kasus ini juga menjadi preseden penting dalam penegakan
hukum lingkungan di Indonesia.
Berikut adalah proses dan hasil dari kasus sengketa reklamasi Pulau G di PTUN:
Proses
19 Agustus 2015: Gugatan diajukan oleh sejumlah aktivis lingkungan dan masyarakat
sekitar Pulau G terhadap Gubernur DKI Jakarta atas Surat Keputusan Gubernur
Nomor 2238 Tahun 2014.
24 Oktober 2015: PTUN Jakarta menggelar sidang perdana.
5 November 2015: PTUN Jakarta mengabulkan gugatan para penggugat.
20 November 2015: Gubernur DKI Jakarta mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta.
22 Desember 2015: PTTUN Jakarta menolak permohonan banding Gubernur DKI
Jakarta.
14 Februari 2017: Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh Gubernur
DKI Jakarta.
Hasil
Surat Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 dinyatakan batal dan tidak sah.
PT. Muara Wisesa Samudra tidak memiliki izin untuk melakukan reklamasi Pulau G.
Kasus sengketa reklamasi Pulau G ini menjadi salah satu kasus sengketa perizinan yang
paling kontroversial di Indonesia. Kasus ini juga menjadi preseden penting dalam penegakan
hukum lingkungan di Indonesia.
3. SENGKETA KEPEGAWAIAN
Dalam perkara PTUN Surabaya Nomor 139/G/2022/PTUN.SBY, penggugat, Mawardi, SH,
adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten
Probolinggo. Penggugat menggugat Bupati Probolinggo selaku tergugat, atas diterbitkannya
Surat Keputusan Bupati Probolinggo Nomor 821.4/28/452/2022 tanggal 10 Mei 2022 tentang
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
Dalam surat keputusan tersebut, tergugat memberhentikan penggugat dari jabatannya sebagai
Kepala Seksi Pengadaan Barang dan Jasa pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
Kabupaten Probolinggo. Penggugat menilai bahwa pemberhentian tersebut tidak sah dan
melanggar hukum.
Proses persidangan perkara ini dimulai pada tanggal 22 September 2022. Pada persidangan
pertama, penggugat menyampaikan dalil-dalilnya, antara lain bahwa pemberhentiannya tidak
sesuai dengan prosedur yang berlaku. Penggugat juga menyampaikan bahwa ia tidak pernah
melakukan pelanggaran disiplin yang dapat menjadi dasar pemberhentiannya.
Tergugat, dalam persidangan, menyampaikan bahwa pemberhentian penggugat didasarkan
pada hasil pemeriksaan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(BKPSDM) Kabupaten Probolinggo. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, penggugat
telah melakukan pelanggaran disiplin berupa penyalahgunaan wewenang.
Pada tanggal 7 Maret 2023, Majelis Hakim PTUN Surabaya memutuskan untuk menolak
gugatan penggugat. Majelis hakim menilai bahwa pemberhentian penggugat telah sesuai
dengan prosedur yang berlaku. Majelis hakim juga menilai bahwa penggugat telah terbukti
melakukan pelanggaran disiplin berupa penyalahgunaan wewenang.
Berikut adalah pertimbangan majelis hakim dalam menolak gugatan penggugat:
Pemberhentian penggugat didasarkan pada hasil pemeriksaan BKPSDM Kabupaten
Probolinggo. Hasil pemeriksaan tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 15 ayat (1)
huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil.
Penggugat telah terbukti melakukan pelanggaran disiplin berupa penyalahgunaan
wewenang. Hal ini terbukti dari adanya bukti surat perintah tugas yang dikeluarkan
oleh penggugat kepada bawahannya untuk melakukan pekerjaan yang bukan
merupakan tugasnya.
Dengan demikian, gugatan penggugat ditolak oleh Majelis Hakim PTUN Surabaya.
Penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara sebesar Rp550.000,-.