Oleh:
Kelompok IV
1 Habibullah 230401110221
2 Muhammad Hanif 230401110229
3 Aulia Zahwa Mufida 230401110241
4 Esya Dewi Clarissa A. 230401110249
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2024
iii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT. yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Psikofarmakologi,
Penyalahgunaan Zat, dan Kecanduan”.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Psikologi Faal” dengan
dosen pengampu Hilda Halida, M.Psi. Makalah ini juga kami sususn dengan maksimal dan
mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini,
untuk itu kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, kami sadar sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan baik dari susunan kalimat maupun tata bahasanya, oleh karena itu kami dengan
tangan terbuka menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Selanjutnya kami berharap semoga makalah ini dengan judul “Psikofarmakologi,
Penyalahgunaan Zat, dan Kecanduan”, dapat memberikan manfaat dan inspirasi bagi
pembaca.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG.................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH............................................................................2
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3
2.1 Definisi Psikofarmakologi dan Farmakokinetika.......................................3
2.2 Macam-Macam Pemberian Obat................................................................4
2.3 Macam-Macam Obat Untuk Penyembuhan................................................6
2.4 Jenis Golongan Psikotropika dan Efeknya ................................................13
2.5 Persepktif Teoritis Terkait Penggunaan Zat................................................15
2.6 Proses Kecanduan Penguatan Positif dan Negatif......................................19
2.7 Klasifikasi Gangguan Terkait Zat dan Ketergantungan..............................23
2.8 Penanganan Terhadap Gangguan/Penyalahgunaan Zat..............................25
BAB III PENUTUP..................................................................................................29
3.1 KESIMPULAN.....................................................................................................29
3.2 SARAN.................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................30
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pengertian Psihofarmakologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji hubungan
antara zat kimia dan kesehatan mental. Zat kimia tersebut dapat berupa obat, narkotika,
atau psikotropika yang dapat mempengaruhi sistem nervosus dan kesehatan mental.
Penyalahgunaan zat, seperti narkotika, psikotropika, dan obat berbahaya, adalah istilah
yang populer untuk zat yang tidak diperbolehkan atau dipergunakan secara tidak sesuai
dengan hukum. Penyalahgunaan zat dapat berupa eksperimen, rekreasional, situasional,
intensif, penyakit, kebiasaan, atau ketergantungan. Kecanduan adalah keadaan yang
mengakibatkan penggunaan zat yang tidak diperbolehkan atau dipergunakan secara tidak
sesuai dengan hukum. Kecanduan dapat mengakibatkan banyak masalah, seperti
peningkatan penyalahgunaan narkoba, faktor penyalahgunaan narkoba, dan pengelolaan
kecanduan. Pengelolaan kecanduan meliputi rehabilitasi, dukungan sosial, dan konseling
kesehatan mental. Rehabilitasi adalah proses pemulihan yang dilakukan untuk membantu
orang yang terpengaruh oleh penyalahgunaan zat. Dukungan sosial adalah salah satu
persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan mental. Konseling kesehatan mental adalah
proses bertemu dan berbicara dengan seseorang yang dapat memberikan tindakan yang
dapat membantu memperbaiki kesehatan mental. Faktor penyalahgunaan narkoba dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu faktor individu dan faktor lingkungan. Faktor
individu meliputi pengetahuan, sikap, kepribadian, jenis kelamin, dan lain-lain. Faktor
lingkungan meliputi tekanan sosial, peredaran secara bebas, dan persepsi. Peningkatan
penyalahgunaan narkoba dapat dilihat dari data terjangkau, yang menunjukkan adanya
peningkatan dalam penyalahgunaan narkoba. Data terjangkau menunjukkan adanya
peningkatan dalam penyalahgunaan narkoba, yang dapat dilihat dari jumlah tersangka dan
pemakai. Perilaku penyalahgunaan narkoba meliputi kontak pertama, gaya hidup, dan
tahap penyalahgunaan. Kontak pertama merupakan tahap dimana seorang individu
menggunakan narkoba hingga mengalami siregar. Gaya hidup merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi penyalahgunaan narkoba, seperti hanya untuk bersenang-senang,
konsumsi yang terlalu banyak, dan memunculkan perasaan senang dan perasaan yang baru.
Tahap penyalahgunaan merupakan tahap yang semakin tinggi, yaitu dependensi, depresi,
menyendiri, kebiasaan, dan ketergantungan. Dukungan sosial merupakan makna dari
hadirnya orang lain yang dapat diandalkan untuk dimintai bantuan, dorongan, dan
penerimaan apabila individu membutuhkan bantuan. Dukungan sosial adalah salah satu
persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan mental. Konseling kesehatan mental adalah
proses bertemu dan berbicara dengan seseorang yang dapat memberikan tindakan yang
dapat membantu memperbaiki kesehatan mental. Konseling kesehatan mental adalah salah
satu metode yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan mental. Rehabilitasi
residen adalah proses pemulihan yang dilakukan untuk membantu orang yang terpengaruh
oleh penyalahgunaan zat. Rehabilitasi residen melalui asesmen, dukungan sosial, dan
konseling kesehatan mental. Faktor penyalahgunaan narkoba dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu faktor individu dan faktor lingkungan. Faktor individu meliputi
1
pengetahuan, sikap, kepribadian, jenis kelamin, dan lain-lain. Faktor lingkungan meliputi
tekanan sosial, peredaran.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Definisi Psikofarmakologi dan Farmakokinetika ?
2. Bagaimana Cara Pemberian Obat ?
3. Apa saja Macam-Macam Obat Untuk Penyembuhan ?
4. Apa saja Jenis Golongan Psikotropika dan Efeknya ?
5. Bagaimana Persepktif Teoritis Terkait Penggunaan Zat ?
6. Bagaimana Proses Kecanduan Penguatan Positif dan Negatif ?
7. Apa Klasifikasi Gangguan Terkait Zat dan Ketergantungan ?
8. Apa saja Penanganan Terhadap Gangguan/Penyalahgunaan Zat ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Psikofarmakologi dan Farmakokinetika
A Definisi Psikofarmakologi
Psikofarmakologi adalah bidang studi yang memeriksa penggunaan obat-obatan
untuk mengatasi masalah kesehatan mental. Obat-obatan tersebut bekerja pada sistem saraf
yang mempengaruhi aktivitas mental dan perilaku, yang disebut sebagai obat psikoaktif.
Bidang psikofarmakologi menggabungkan pengetahuan tentang psikologi dan farmakologi
untuk memahami bagaimana obat bekerja dan dampaknya terhadap proses psikologis.
Psikofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari obat-obatan yang bisa
mempengaruhi pikiran dan perilaku kita. Ini termasuk obat-obatan yang sering disebut
sebagai obat psikoaktif. Psikofarmakologi membahas bagaimana obat-obatan ini
memengaruhi cara kita berperilaku, dan juga bagaimana perubahan dalam aktivitas otak
menyebabkan efek ini. Salah satu fokusnya adalah pada obat-obatan yang disebut
psikotropika, yang langsung memengaruhi proses mental kita dengan membidik otak
(Riskasari, 2020).
Seseorang yang berkecimpung dalam psikofarmakologi perlu memahami sistem
saraf serta mekanisme kerja obat psikoaktif dalam mengubah fungsi sistem saraf. Mereka
bisa berasal dari berbagai latar belakang, seperti psikiater yang mengkhususkan diri dalam
meresepkan obat psikoaktif, atau ilmuwan yang mempelajari sifat-sifat obat-obatan
psikoaktif.
B Definisi Farmakokinetika
Farmakokinetika adalah studi tentang bagaimana tubuh manusia memproses obat
dan menanggapi obat tersebut. Dalam farmakokinetika, kita memeriksa bagaimana
konsentrasi obat dan hasil metabolitnya berubah seiring waktu di dalam darah dan jaringan
tubuh.
Farmakokinetika terdiri dari empat proses utama, yaitu absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi. Absorpsi adalah ketika obat masuk dari tempat pemberian ke
dalam aliran darah. Kecepatan dan jumlah penyerapan obat dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti ukuran permukaan usus, kecepatan pengosongan lambung, dan aktivitas
saluran pencernaan.
Distribusi obat mengacu pada cara obat didistribusikan dari darah ke berbagai
bagian tubuh. Faktor-faktor seperti aliran darah, permeabilitas kapiler, dan ikatan dengan
protein mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh. Konsentrasi obat dalam darah
dipengaruhi oleh total obat dalam tubuh dan seberapa merata penyebarannya.
Metabolisme obat adalah proses di mana tubuh mengubah struktur kimia obat
menjadi bentuk yang lebih mudah larut dalam air agar dapat dikeluarkan dari tubuh.
3
Tujuan utama metabolisme adalah mengubah obat yang tidak larut dalam air menjadi larut
dalam air sehingga dapat dikeluarkan melalui ginjal atau empedu. Proses ini melibatkan
fase I dan fase II, di mana fase I mengubah molekul obat menjadi lebih polar, sementara
fase II melibatkan konjugasi molekul yang sudah mengalami perubahan polaritas.
Ekskresi obat adalah proses dimana obat dibuang dari tubuh. Sebagian besar obat
dikeluarkan melalui ginjal dan diekskresikan melalui urin. Namun, obat juga dapat
dikeluarkan melalui paru-paru, kelenjar eksokrin seperti keringat, air liur, dan air susu,
kulit, dan saluran pencernaan.
Secara umum, rute pemberian obat dapat dibedakan berdasarkan tiga faktor utama,
di antaranya adalah bagian tubuh yang perlu diobati, kandungan obat, serta reaksi obat saat
masuk ke dalam tubuh. Lebih jelasnya, berikut adalah pembahasan mendetail mengenai
masing-masing jalur administrasi obat.
1. Secara Oral
Rute pemberian obat secara oral adalah dengan cara memasukkan obat ke dalam
mulut dan menelannya, sehingga obat bisa dicerna dan diserap oleh tubuh melalui saluran
pencernaan. Rute ini biasanya ditujukan untuk obat berbentuk cair, kapsul, tablet, tablet
kunyah, dan sebagainya yang dikonsumsi melalui mulut.
Obat yang dikonsumsi secara oral akan melalui proses penguraian oleh organ
pencernaan, khususnya organ hati sebelum obat diedarkan ke dalam darah. Karena itulah,
pemberian obat secara oral sering kali dipengaruhi oleh jenis makanan atau obat-obatan
lain yang sedang dikonsumsi pasien.
4. Secara Topikal
Salah satu jalur administrasi obat yang sering digunakan adalah pemberian obat
secara topikal (melalui kulit). Melalui cara ini, obat akan diserap secara langsung oleh
permukaan kulit dan efeknya dapat langsung dirasakan oleh bagian tubuh yang diobati.
Obat-obatan yang diberikan secara topikal biasanya berbentuk salep, losion, gel, krim,
bedak, atau plester yang ditempelkan pada kulit (transdermal patch).
5. Secara Rektal
Rute pemberian obat secara rektal dilakukan dengan memasukkan obat tertentu
melalui dubur. Obat ini biasanya ditujukan bagi pasien yang tidak bisa mengonsumsi obat
secara langsung, mengeluhkan mual dan muntah parah, dan harus menjalani puasa sebelum
serta sesudah operasi. Jenis obat yang diberikan secara rektal disebut sebagai supositoria.
Obat ini berbentuk padat dan mengandung zat sejenis lilin yang mudah terurai saat
masuk ke dalam dubur dan diserap dengan cepat oleh pembuluh darah di dinding rectum.
6. Secara Okular
Pemberian obat secara okular adalah jalur administrasi obat yang dilakukan melalui
mata. Obat yang diberikan secara okular biasanya berbentuk cairan, gel, atau salep. Rute
pemberian obat ini umumnya dilakukan untuk menangani gangguan mata, seperti
konjungtivitis atau glaukoma.
7. Secara Nasal
Pemberian obat secara nasal dilakukan dengan menghirup obat tertentu melalui
hidung. Obat tersebut kemudian akan diserap oleh selaput lendir tipis di saluran hidung,
lalu masuk ke aliran darah untuk diedarkan ke seluruh tubuh. Umumnya, obat yang
diberikan secara nasal perlu diubah menjadi berbentuk droplet atau tetesan kecil yang
diatomisasi.
Beberapa contoh obat yang dapat diberikan secara nasal adalah kalsitonin (untuk
menangani osteoporosis), sumatriptan (untuk migrain), dan kortikosteroid (untuk rinitis
alergi).
9. Secara Vaginal
Pemberian obat secara vaginal dapat dilakukan untuk menangani pasien wanita
yang baru menopause dan mengeluhkan kondisi tertentu, seperti vagina kering, nyeri, dan
kemerahan. Melalui cara ini, obat akan diserap secara perlahan melalui dinding vagina.
Obat yang diberikan secara vaginal biasanya berbentuk tablet, krim, gel, salep, dan
pessary (perangkat yang lembut yang dapat dilepaskan dan dimasukkan ke dalam vagina).
Beberapa contoh obat yang dapat diberikan melalui telinga adalah obat tetes telinga
yang mengandung hidrokortison (untuk meredakan gejala radang telinga), ciprofloxacin
(antibiotik untuk infeksi telinga), dan benzocaine (antinyeri).
Yang dimaksud obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. (UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan).
Untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan lalu lintas obat
dan hubungannya dengan aksi obat yang dapat ditimbulkan didalam tubuh, serta bahayanya
obat tersebut bagi pasien, maka obat dibagi menjadi beberapa golongan sebagai berikut:
1. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang bebas/dapat diperoleh tanpa resep dari dokter,
sehingga dapat dibeli langsung melalui Apotek, Toko Obat Berizin, Toko Modern
maupun warung kelontong. "Cara mengenali obat bebas adalah terdapat tanda logo
lingkaran berwarna HIJAU dengan garis tepi berwarna hitam pada kemasannya."
(“Penggolongan Obat dan Cara Mendapatkannya”)
6
Contoh Obat Bebas:
o Parasetamol (penurun demam dan pereda sakit kepala)
o Vitamin-Vitamin
o Ferrosulfat (penambah darah)
o Sediaan obat mengandung Calcium
o Antasid (untuk sakit maag) Ex: promag, mylanta
Obat bebas terbatas adalah obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter, sehingga
dapat dibeli langsung melalui Apotek maupun Toko Obat Berizin namun
memperolehnya dalam jumlah terbatas. Terdapat sediaan Obat Bebas Terbatas
adalah campuran obat bebas dan obat keras. Cara mengenali obat bebas terbatas
adalah terdapat tanda logo lingkaran berwarna BIRU dengan garis tepi berwarna
hitam pada kemasannya.
Biasanya pada kemasan golongan obat ini terdapat peringatan-peringatan berkaitan
dengan pemakaian/penggunaannya yang ditulis dalam kotak, supaya
pasien/masyarakat dapat menggunakan obat ini dengan benar. Ada 6 macam tanda
peringatan antara lain:
a. P.No.1 Awas! Obat Keras, Bacalah Aturan Pemakaiannya
P.No.1
Contoh:
o Sediaan Obat Pereda Flu / Pilek (Ex: Neozep, Ultraflu, Procold)
o Sediaan Obat Batuk (Ex: OBH, Woods, Komix, Actifed)
P.No.2
Contoh:
- Sediaan obat kumur mengandung Povidone Iodine (Ex: Betadine)
7
- Sediaan obat kumur yang mengandung Hexetidine (Ex: Hexadol)
c. P.No.3 Awas! Obat Keras, Hanya untuk bagian luar dari badan
Awas! Obat Keras
Hanya untuk bagian luar dari badan
Contoh: -
Betadine
o Kalpanax
o Albothyl
o Sediaan salep/krim untuk penyakit kulit yang tidak mengandung antibiotik
o Sediaan tetes mata yang tidak mengandung antibiotik (Insto, Braito)
Contoh:
o Sediaan untuk obat asma (berbentuk rokok) sudah tidak ada
e. P.No.5 Awas! Obat Keras, Tidak boleh ditelan dak boleh ditelan
Contoh:
o Sediaan obat Sulfanilamid puyer 5 g steril antibiotik untuk infeksi
topikal/kulit termasuk untuk infeksi vagina
o Sediaan ovula
P.No.6
Awas! Obat Keras
Contoh:
o Sediaan suppositoria untuk wasir/ambeien
8
Obat Keras adalah obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter, dan
resep hanya dapat ditebus di Apotek atau diserahkan melalui Rumah Sakit,
Puskesmas, maupun Klinik. Namun demikian ada beberapa macam obat keras yang
dapat diperoleh tanpa resep dokter yaitu obat-obat yang masuk dalam Obat Wajib
Apotek (OWA). Cara mengenali obat keras adalah terdapat tanda logo lingkaran
berwarna MERAH dengan garis tepi berwarna hitam dan terdapat huruf K (warna
hitam) berada ditengah lingkaran dan menyentuh pada garis tepi pada kemasannya.
Pada kemasan primer, sekuner, dan etiket biasanya mencantumkan kalimat “Harus
dengan resep dokter”Contoh:
o Sediaan Antibiotik
(Ex: Amoxicillin, Ampicillin, Ciprofloxacin, Kloramfenicol,
Tetracyclin, Sefadroksil, Metronidazol dll)
o Sediaan Obat Analgesik (Pereda Nyeri)
(Ex: Piroksikam, Meloksikam, Phenylbutazon dll)
o Sediaan Obat Antihipertensi
(Ex: Captopril, Nifedipin, Amlodipin, Candesartan, HCT dll)
o Sediaan Obat Antidiabet
(Ex: Glibenklamid, Metformin dll)
o Sediaan Obat Kortikosteroid
(Ex: Dexamethason, Metilprednison dll)
o Sediaan Obat Penyakit Gout/Asam Urat
(Ex: Allopurinol)
o Sediaan Obat Penurun Kolesterol
(Ex: Simvastatin, Atorvastatin, Gemfibrozil, dll)
Sedangkan contoh beberapa obat yang masuk Obat Wajib Apotek (OWA):
o Sediaan Obat Kontrasepsi
(Ex: Lyndiol tablet, Mycrogynon tablet, Endometril tablet, dll)
o Sediaan Obat saluran Cerna
(Ex: Decamag tab, Gastran tab, Dulcolax tab salut, Metoclopramide,
Papaverin HCl tab, dll)
o Sediaan Obat Mulut dan Tenggorokan
(Ex: Hexadol solution, Bactidol solutio, dll)
o Sediaan Obat Saluran Nafas
(Ex: Salbutamol tablet/sirup, Terbutaline tablet/inhaler, Bromheksin
tablet dll)
9
o Sediaan Obat Analgetik, depresan
(Ex: Asam mefenamat tablet, Aspirin+caffein tablet, Alvita kaplet
(Antalgin + Vitamin B1, B6, B12) dll)
o Sediaan Obat Kulit Topikal
(Ex: Tetracycline salep, Kloramfenikol salep, Decoderm-3 krim,
bufacort-N krim, New-Kenacomb krim dll)
o Sediaan Obat Antiparasit
(Ex: Albendazol tablet/suspensi (obat cacing) dll)
o Sediaan Obat Antiradang-antireumatik
(Ex: Ibuprofen kaplet/tablet/sirup, Natrium diklofenak gel/krim dll)
4. Obat Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika
yang berkhasita psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat tyang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. (UU RI No. 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika). Obat ini merupakan obat yang digunakan untuk
masalah gangguan kejiwaan/mental yang biasanya disebut dengan obat penenang
dan antidepresan. Penggunaan obat ini dapat menyebabkan haliusinasi, depresi,
stimulasi (tidak mengantuk, tidak lapar), dan gangguan fungsi motorik/otot (kepala
bergerak naik turun/geleng-geleng).
Psikotropika termasuk dalam Obat Keras Tertentu (OKT) yang logonya sama
dengan obat keras yaitu lingkaran berwarna MERAH dengan garis tepi berwarna
hitam dan terdapat huruf K (warna hitam) berada ditengah lingkaran dan
menyentuh pada garis tepi pada kemasannya sehingga untuk mendapatkannya harus
dengan resep dokter.
Dikarenakan obat golongan ini dapat menimbulkan ketergantungan / kecanduan,
pemerintah melakukan pengawasan dengan ketat (regulasi dan sanksi hukum)
supaya tidak terjadi penyalahgunaan obat.
Psikotropika digolongkan menjadi 4 (empat) golongan berdasarkan potensi efek
ketergantungan:
a. Psikotropika Golongan I
Hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk
terapi kesehatan/pengobatan karena dapat menyebabkan potensi sindrom
ketergantungan yang sangat kuat.
Contoh: DMA, MDMA, Meskalin dll
b. Psikotropika Golongan II
10
Digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan serta berkhasiat untuk
pengobatan/terapi dan dapat menyebabkan potensi ketergantungan yang kuat.
Contoh: Amfetamin, Metakualon, Sekobarbital dll
c. Psikotropika Golongan III
Digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan serta berkhasiat untuk
pengobatan/terapi dan mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom
ketergantungan.
Contoh: Amobarbital, Flunitrazepam, Pentobarbital dll
d. Psikotropika Golongan IV
Digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan serta berkhasiat untuk
pengobatan/terapi dan mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom
ketergantungan.
Psikotropika golongan IV inilah yang banyak digunakan untuk
terapi/pengobatan dikarenakan efek ketergantungan yang dihasilkan ringan.
Contoh: Diazepam, Lorazepam, Nitrazepam, Alprazolam, Klordiazepoksid,
Triazolam dll.
Penyerahan obat narkotika dapat dilakukan oleh Apotek, Rumah Sakit, Puskesmas,
Klinik berdasarkan resep dokter kepada pasien/pengguna langsung.
5. Obat
Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan. (UU
RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika). Cara mendapatkan Obat Narkotika harus
dengan resep dokter dan obat dapat diserahkan melalui Apotek, Rumah sakit,
Puskesmas ataupun Klinik. Logo obat narkotika adalah seperti tanda plus warna
merah dalam lingkaran warna putih dengan garis tepi warna merah. Obat narkotika
sangat bermanfaat dan diperlukan di bidang ilmu pengetahuan maupun bidang
kesehatan. Meskipun demikian, masih ada yang menggunakan tidak sesuai dengan
standar pengobatan maupun sengaja disalahgunakan bahkan disertai peredaran
narkotika secara gelap. Penyalahgunaan Narkotika serta Psikotropika merupakan
kejahatan krimial dikarenakan hal tersebut merupakan ancaman yang dapat
melemahkan ketahanan nasional dikarenakan dapat merusak moral/mental
masyarakat khususnya generasi muda penerus bangsa. Pemerintah melakukan
pengawasan dan pengendalian peredaran obat narkotika dengan membuat
11
Undangundang Nomor 22 Tahun 1997 yang diperbarui menjadi UU Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
Berdasarkan potensi yang dapat mengakibatkan ketergantungan, Narkotika
digolongkan menjadi 3 (tiga) yaitu:
a. Narkotika Golongan I
Hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk
terapi kesehatan/pengobatan karena dapat menyebabkan potensi sindrom
ketergantungan yang sangat tinggi.
Contoh: Tanaman Papaver Somniferum L, Opium mentah, Opium masak,
tanaman koka (Erythroxylum coca), daun koka, kokain mentah, kokain,
tanaman ganja, Heroin, THC dll.
b. Narkotika Golongan II
Berkhasiat untuk pengobatan tetapi digunakan sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh: Morfin, Opium, Petidin, Ekgonin, Hidromorfinol dll.
c. Narkotika Golongan III
Berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Kodein, Dihidrokodein, Etilmorfin,
Doveri dll. Kodein dan Doveri biasa digunakan untuk obat batuk yang parah.
Dari penggolongan obat diatas kita hanya dapat membeli obat dengan tujuan untuk
pengobatan sendiri (self-medication) dari golongan obat bebas, obat bebas terbatas serta
obat wajib apotek (OWA). Untuk memperoleh obat-obatan tersebut sebaiknya membeli di
Toko Obat Berizin atau Apotek, dikarenakan di sarana tersebut mutu obat lebih terjaga
(karena penyimpanan yang tepat, pemeriksaan masa kadaluarsa yang rutin) serta terhindar
dari obat-obat palsu yang beredar. Adanya Tenaga Teknis Kefarmasian di Toko Obat atau
Apoteker di Apotek dapat kita mintai saran dan informasi mengenai penggunaan dan
keamanan obat yang akan kita digunakan. Namun perlu diingat bahwa masa pengobatan
sendiri adalah 3 hari, jika selama 3 hari tidak sembuh maka harus berobat ke dokter. Jika
kita tidak paham dengan obat yang diterima, kita wajib mengetahui/bertanya kepada dokter
/ apoteker mengenai aturan pakai, dosis, serta efek samping yang mungkin
terjadi.Substansi atau kombinasi substansi, termasuk produk-produk biologis yang
dimanfaatkan untuk memodifikasi atau mengeksplorasi proses fisiologis atau kondisi
patologis dalam konteks diagnostik, profilaksis, terapi, rehabilitasi, peningkatan kesehatan,
serta kontrasepsi pada manusia, didefinisikan sebagai obat sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam upaya meningkatkan keamanan dan
akurasi penggunaan obat serta mengatur peredaran obat dan potensi reaksi farmakologis
serta risiko yang ditimbulkannya terhadap pasien, obat-obatan dikategorikan ke dalam
beberapa kelompok berikut:
12
1. Obat Non-Preskripsi (Over the Counter/OTC)
Obat non-preskripsi adalah obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan
tersedia untuk undefined, pembelian langsung di apotek, toko obat yang berizin,
toko serba ada, atau kios. Identifikasi obat non-preskripsi dapat dilakukan melalui
simbol lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi hitam pada kemasannya. Contoh
obat non-preskripsi termasuk parasetamol, vitamin, ferrosulfat, dan antasida.
3. Obat Keras
Obat keras hanya tersedia dengan resep dokter dan dapat diperoleh di apotek,
rumah sakit, puskesmas, atau klinik. Beberapa obat keras dapat diperoleh.
a. Psikotropika Golongan 1
Golongan psikotropika yang pertama ini memiliki risiko kecanduan paling tinggi
dari penggunaannya, menimbulkan halusinasi parah, perubahan perasaan secara drastis
hingga mengakibatkan kematian. Obat yang masuk daftar golongan ini merupakan jenis
yang paling terlarang. Terdapat 14 jenis psikotropika yang masuk dalam kategori ini
diantaranya ekstasi, LSD, dan DOM. Obat pada golongan ini tidak diperbolehkan untuk
dikonsumsi dalam dunia medis dan hanya hadir sebagai bahan belajar bukan konsumsi
dengan tujuan apa pun.
b. Psikotropika Golongan 2
Merupakan jenis psikotropika yang paling sering ditemukan penyalahgunaannya.
Beberapa jenis yang sering kita dengar adalah Sabu, Metamfetamine, Amfetamin, Fenitilin,
dan lain sebagainya. Terdapat total 14 jenis pada golongan ini. Akibat disetujui
penggunaannya dalam dunia medis meski diwajibkan dalam pengawasan dokter, peredaran
illegal psikotropika golongan 2 ini masih terjadi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan jangka panjang
tanpa pengawasan dokter salah satunya kematian.
c. Psikotropika Golongan 3
Merupakan golongan psikotropika yang memiliki tingkat candu sedang namun tetap
mewajibkan pengawasan dokter dalam penggunaannya. Apabila digunakan secara berlebih,
13
psikotropika golongan ini juga dapat menurunkan sistem tubuh secara drastis sehingga
tubuh tidak mampu bekerja semestinya mengakibatkan pengguna seperti tidur namun
pelan-pelan tubuh menjadi berhenti beroperasi dan mati. Obat-obatan yang tergolong
dalam psikotropika golongan 3 ada Mogadon, Buprenorfina, Amobarbital, dan lainnya dan
terdapat total 9 jenis didalamnya.
d. Psikotropika Golongan 4
Merupakan golongan psikotropika yang tingkat kecanduannya paling kecil.
Meskipun paling kecil, penggunaan psikotropika golongan ini tetap harus di bawah
pengawasan dokter. Jenis-jenis psikotropika golongan 4 adalah yang paling sering
disalahgunakan karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan bahaya besar dibalik
kecilnya rasa candu yang ditimbulkan. Terdapat 60 jenis obat-obatan yang termasuk dalam
psikotropika golongan 4 salah satunya adalah sedativa atau obat penenang.
B 3 Golongan Psikotropika
a. Simultan
Obat-obatan golongan ini menyebabkan peningkatan kinerja tubuh menjadi lebih
tinggi dan bergairah. Organorgan dipaksa bekerja lebih berat sehingga saat pengguna tidak
mengonsumsi psikotropika ini, badan akan menjadi sangat lemah. Hal ini kemudian
mengarah pada rasa candu untuk tetap mempertahankan kondisi tubuh yang prima. Contoh
obat yang sering disalahgunakan untuk simultan adalah sabu dan ekstasi.
b. Halusinogen
Penggunaan psikotropika golongan ini menyebabkan berubahnya persepsi secara
berlebih dan menimbulkan halusinasi berlebih. Banyak pengguna yang mengejar efek ini
untuk lari dari masalah-masalah berat di hidupnya. Salah satu obat yang memberikan efek
halusinogen adalah ganja dan kokain.
c. Depresan
Golongan ini menyebabkan penekanan pada sistem saraf pusat agar memberikan
efek rileks dan tenang meskipun sementara. Penggunaan berlebih akan menurunkan sistem
saraf secara drastis hingga pengguna masuk dalam tidur yang sangat lama dengan
penurunan kinerja saraf terus menerus hingga menyebabkan kematian. Salah satu obat
depresan adalah Putaw
14
Psikotropika sangat tidak baik untuk kita konsumsi karena dapat merusak organ dan
saraf tubuh kita. Kita dapat mengkonsumsi hanya dengan resep dokter itu pun tidak bisa
semua obat kita konsumsi, terdapat beberapa akibat penyalahgunaan psikotropika sebagai
berikut:
a. Dehidrasi
Dampak yang diakibatkan dari penyalahgunaan psikotropika yaitu berkurangnya
keseimbangan cairan elektrolit dalam tubuh sehingga menyebabkan tubuh pengguna
narkoba akan kekurangan cairan. Jika hal ini terjadi dalam jangka panjang maka akan
mulai berhalusinasi, tubuh mengalami kejang-kejang, dada terasa sesak hingga kerusakan
otak.
b. Halusinasi
Efek halusinasi adalah efek yang sering dialami oleh para pengguna psikotropika.
Selain halusinasi apabila dosis yang digunakan terlalu tinggi maka akan menyebabkan
mual, muntah, kecemasan yang terganggu serta rasa takut yang berlebihan.
c. Kesadaran Menurun
Akibat yang dapat ditimbulkan dari penggunaan obatobatan yang berlebih akan
membuat pengguna merasa rileks sehingga kesadarannya akan menurun. Apabila
kesadaran tersebut menurun atau bahkan hilang akan mempengaruhi koordinasi tubuh,
sering mengalami kebingungan dan perilaku yang berubah hingga mengalami hilang
ingatan.
d. Gangguan Mental
Penyalahgunaan psikotropika dalam jangka panjang akan berdampak pada sistem
saraf yang mengalami kerusakan, merangsang perilaku seperti berhalusinasi serta
gangguan dalam berpikir, menyebabkan depresi mental serta mendorong melakukan
tindakan kejahatan hingga keinginan bunuh diri.
e. HIV/AIDS
Penggunaan psikotropika dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya
adalah dengan suntikan. Akibat penggunaan suntikan ini orang yang terinfeksi HIV AIDS
mengalami peningkatan hal ini dikarenakan pengguna akan menggunakan jarum suntik
yang sama bahkan bergantian dengan kawannya ketika menggunakan psikotropika tersebut
f. Kematian
Dampak yang paling buruk bagi pengguna psikotropika maupun narkotika adalah
overdosis. Pemakaian yang melebihi dosis akan menyebabkan tubuh mengalami
kejangkejang dan apabila hal ini dibiarkan saja maka akan menyebabkan kematian
Opiat
Opiat merupakan golongan obat penghilang nyeri yang bekerja pada susunan syaraf pusat.
Termasuk didalamnya adalah heroin, opium, opiat sintetis seperti fentanil, petidin,
buprenorfin, methadone, tramadol, kodein, dan lainnya. Penyalahgunaan opiat dapat
menimbulkan efek sebagai berikut3.
Efek jangka pendek: Euphoria, mulut kering, mual, muntah, hilangnya nyeri.
Efek jangka panjang: penggunaan dengan jarum suntik menyebabkan kerusakan dan
infeksi pembuluh darah dan jantung, meningkatkan resiko HIV dan hepatitis, sulit BAB
dan kram perut, gangguan liver dan ginjal, infeksi paru-paru.
17
Pada Ibu hamil dapat menyebabkan keguguran, berat bayi lahir rendah, sindrom abstinens
neonatal (NAS). Kombinasi opiat dengan alcohol: koma hingga kematian.
Gejala putus zat: nyeri otot dan tulang, gangguan tidur, diare, muntah,
Penenang (Transquilizer)
Merupakan golongan obat penenang yang diresepkan oleh dokter untuk menangani
berbagai penyakit di antaranya gangguan tidur, gangguan cemas, panik serta mengatasi
kejang. Zat ini sering disalahgunakan karena dapat menyebabkan ketergantungan apabila
digunakan secara berlebihan di luar alasan kesehatan/medis. Beberapa Contoh golongan
penenang adalah fenobarbital, benzodiazepine (alprazolam xanax,
diazepam/valdimex/valium, nitrazepam/dumolid, nipam, clonazepam/riclona, dan lainnya).
Efek jangka pendek: rasa santai, mengantuk, lelah, lemas, euforia, pusing, bingung,
bicara tak jelas/cadel, pandangan kabur/dobel, hilang ingatan sementara
Efek jangka panjang: Lemas, iritabel/sensitif, mual dan sakit kepala, gelisah, sulit tidur
dan mimpi buruk
Bila dikombinasi dengan alcohol menyebabkan hilang kesadaran hingga kematian.
Gejala putus zat: nyeri kepala, nyeri otot, gelisah ekstrim, iritabel/sensitif, kelelahan,
kesemutan pada telapak tangan dan kaki, halusinasi, kejang, hingga syok3.
18
Halusinogen
Merupakan zat psikoaktif yang bekerja terutama mengubah persepsi pancaindera.
Termasuk dalam golongan halusinogen adalah LSD, kecubung, mushroom/jamur pada
kotoran sapi/kerbau, dan lainnya1.
Efek jangka pendek: Otot melilit, lemah, mati rasa, gemetar seluruh tubuh, pusing, mual,
muntah, peningkatan detak jantung, pernafasan serta tekanan darah, “BAD TRIPS”
Efek jangka panjang: Terjadi flash back, rasa yang tidak nyaman, kerusakan daya ingat
dan kesulitan konsentrasi, gangguan kesehatan mental
Inhalan
Merupakan zat kimiawi yang mudah menguap dan memiliki efek psikoaktif. Inhalan
terkandung dalam barang yang lazim digunakan dalam rumahtangga seperti lem, hairspray,
bensin, tinner, dan gas pemantik. Zat ini sering digunakan oleh anak-anak karena mudah
dan murah didapat serta cepat menimbulkan efek fly/high. Sayang sekali anak-anak sering
tidak mengetahui resikonya2.
Efek jangka pendek: Bingung, mual, bicara cadel/pelo, kurang keseimbangan, euphoria,
pusing, kepala terasa ringan, halusinasi, nyeri kepala. Dapat menimbulkan kematian
mendadak karena gagal jantung (menghirup gas butane, propane, dan zat aerosol lain)
kematian karena sumbatan jalan nafas, pingsan, kejang, koma, dan tersedak.
Efek jangka panjang: kerusakan ginjal, liver, dan sumsum tulang, kerusakan otak karena
kurang suplai oksigen yang dapat menyebabkan gangguan berfikir, pergerakan, penglihatan
dan pendengaran
Pada ibu hamil dapat menyebabkan berat bayi lahir rendah, kerusakan tulang, gangguan
perilaku.
Gejala putus zat: mual, tremor, iritabel/sensitive, gangguan tidur dan perubahan mood3.
C. Gejala Adiksi
Gejala adiksi dapat berbeda-beda pada setiap individu, tergantung pada jenis zat yang digunakan
atau aktivitas yang sering dilakukan. Namun secara umum, beberapa gejala yang kerap terjadi pada
seseorang yang mengalami adiksi adalah sebagai berikut:
Tidak mampu menghentikan penggunaan atau konsumsi zat atau perilaku tertentu,
meskipun sudah merugikan atau bahkan membahayakan diri sendiri.
Meningkatnya toleransi terhadap penggunaan zat-zat atau perilaku tertentu. Misalnya,
seseorang yang mengalami adiksi kokain akan memerlukan dosis yang lebih banyak untuk
merasakan efek euforia yang sama seperti sebelumnya.
Terlalu fokus dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang membuatnya
kecanduan.
Tidak dapat mengendalikan diri sendiri, kewalahan, hingga depresi terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan adiksinya.
Kecanduan berdampak pada semua aspek termasuk kesehatan fisik, kesehatan mental,
hubungan pribadi atau sosial, dan karier. Seseorang yang mengalami adiksi mungkin
mengalami kesulitan dalam memenuhi tanggung jawab di tempat kerja, sekolah, atau
rumah karena penggunaan narkoba atau aktivitas yang membuat kecanduan tersebut. Meski
sudah mengetahui dampak buruk dari kecanduan, penderita tetap tidak bisa berhenti.
Di samping itu, penderita adiksi juga dapat mengalami withdrawal, yaitu gejala tertentu
saat berhenti menggunakan zat atau melakukan aktivitas yang membuatnya kecanduan.
Gejala tersebut di antaranya adalah berkeringat, gemetar, muntah, mudah tersinggung, dan
cemas berlebihan.
Eksperimen: Tahap ini dimulai ketika seseorang pertama kali mencoba zat tersebut. Pada
tahap ini, pengguna mungkin merasa penasaran atau ingin mencoba sensasi baru yang
diberikan oleh zat tersebut.
Penggunaan teratur: Setelah tahap eksperimen, pengguna mungkin mulai menggunakan zat
secara teratur dan dalam jumlah yang lebih besar. Pada tahap ini, pengguna mungkin
merasakan efek positif dari zat tersebut, seperti rasa euforia atau perasaan tenang.
Toleransi: Seiring penggunaan yang terus-menerus, tubuh pengguna dapat menjadi lebih
toleran terhadap zat tersebut. Ini berarti pengguna membutuhkan dosis yang lebih tinggi
untuk merasakan efek yang sama seperti sebelumnya.
Ketergantungan: Pada tahap ini, pengguna mengalami ketergantungan fisik dan psikologis
terhadap zat tersebut. Mereka mungkin merasa sulit untuk berhenti menggunakan zat, dan
mengalami gejala penarikan saat berhenti atau mengurangi penggunaan.
Kecanduan: Tahap ini adalah tahap kecanduan yang paling parah. Seseorang yang
kecanduan zat cenderung kehilangan kontrol terhadap penggunaan zat tersebut. Mereka
mungkin mengorbankan hubungan, pekerjaan, dan kesehatan mereka hanya untuk
mendapatkan zat tersebut.
21
E. Insentif Penggunaan Narkoba: Penguatan Positif
Ada contoh penguatan positif yang dapat memotivasi setiap orang secara berbeda. Penguatan
positif dalam kaitannya dengan penyalahgunaan zat dapat mencakup:
Mari kita periksa peran penguatan positif, atau pengondisian operan, dalam konteks kecanduan.
Misalnya, seseorang yang mengalami kecelakaan mobil mengunjungi dokter dan diberi resep
opioid untuk mengatasi rasa sakit yang parah. Individu tersebut diberi resep dosis tertentu untuk
membantu mengelola dan meringankan gejala rasa sakitnya. Hilangnya rasa sakit di tubuh mereka
memungkinkan individu untuk mengurangi stres, mendapatkan mobilitas, dan menikmati kualitas
hidup yang lebih baik dengan berkurangnya rasa sakit. Selain itu, euforia yang mungkin dirasakan
individu saat mengonsumsi obat dapat menjadi penambah suasana hati. Interaksi ini mendorong
atau “memperkuat” penggunaan opioid.
Dalam hal ini penggunaan obat pereda nyeri untuk membantu keadaan pikiran dan pandangan
mereka secara keseluruhan, sehingga mereka menjadi “lebih bahagia” penguatan positif dari
suasana hati yang lebih baik dapat mendorong penyalahgunaan atau konsumsi obat-obatan yang
tidak diresepkan dalam jumlah yang lebih banyak. Jelas ini berbahaya. Farmakodinamik dan
mekanisme kerja opioid mudah membuat seseorang ketergantungan secara fisik dalam waktu yang
sangat singkat, sekitar dua minggu, bahkan pada dosis terapeutik, dan lebih banyak lagi dengan
jumlah yang berlebihan. Opioid berikatan dengan reseptor opioid di otak yang melepaskan endorfin
dan mengaktifkan sistem penghargaan otak, dengan aliran dopamin yang memberi penghargaan
pada seseorang dengan perasaan yang baik. Sifat fisik opioid membuat perubahan di otak dengan
cepat, sehingga ketika seseorang mencoba menghentikannya, ketidaknyamanan psikologis dan fisik
yang signifikan dapat terjadi.
24
e. Gangguan Kecemasan yang Diinduksi Zat
f. Gangguan Tidur yang Diinduksi Zat
g. Gangguan Kognitif yang Diinduksi Zat
h. Gangguan Perilaku yang Diinduksi Zat
Selain harapan dan keyakinan terhadap narkoba, rasa percaya diri juga berperan
penting dalam permasalahan penyalahgunaan narkoba. Orang yang meragukan
kemampuannya cenderung tertarik pada pengobatan untuk mengubah kondisinya.
Beberapa peneliti percaya bahwa daya tarik NAPZA terletak pada kemampuannya untuk
menurunkan ekspektasi efikasi diri, baik secara langsung dengan meningkatkan energi,
kekuatan, dan kesejahteraan, dan secara tidak langsung dengan mengurangi perasaan
cemas dan stres. Orang dengan harga diri rendah sering kali merasa dirinya lemah, tidak
mampu, dan tidak berhasil secara sosial. Mereka membutuhkan dukungan mendesak untuk
mencapai misi mereka. Jika mereka memiliki harapan dan keyakinan positif terhadap
narkoba: Misalnya, jika mereka memiliki keberanian untuk bersosialisasi dan merasa lebih
25
energik, mereka cenderung menyalahgunakan narkoba. Dari paparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa untuk mencegah penyalahgunaan NAPZA, terdapat dua pendekatan
yang dapat diambil:
1) Kondisi Fisik:
a. Sering mengalami pusing.
b. Mengalami batuk serta pilek dalam waktu lama.
d. Mata berwarna merah, lesu, dan memiliki tatapan yang kosong.
e. Cara berjalan yang tidak stabil.
f. Kurang minat untuk rutin olahraga.
2) Kondisi Psikis:
a. Memiliki sikap memberontak.
b. Mudah mengalami kemarahan yang tiba-tiba dan tersinggung.
c. Menginginkan rasa bebas yang lebih.
d. Sulit mengontrol keinginan.
e. Senang mengambil resiko tinggi, seperti terlibat dalam balap liar atau pertengkaran.
g. Memiliki emosi yang tidak stabil.
h. Sering menggunakan sikap manipulatif, seperti menjadi manis saat ingin sesuatu.
3) Hubungan Sosial:
a. Menarik diri dari aktivitas bersama keluarga atau di lingkungan sosial.
b. Melupakan tanggung jawab yang rutin dilakukan.
c. Meminta uang kepada keluarga dengan banyak alasan.
26
d. Menceritakan keluhan kepada lingkungan atau keluarga yang mendengarkan.
e. Menghindari berkumpul dan makan dengan keluarga.
f. Mencari berbagai alasan untuk sering menginap di rumah teman.
g. Mulai menarik diri dengan melarang orang tua atau keluarga masuk ke kamar.
h. Berbicara secara singkat.
i. Cenderung tidak jujur.
j. Melanggar janji.
k. Memiliki teman yang berganti ganti serta enggan memperkenalkan mereka.
l. Memboikot lingkungan sosial seperti sekolah maupun tempat kerja.
4) Perilaku:
a. Pulang ke rumah larut malam.
b. Sering ke diskotik, mall, pesta.
c. Sering kehabisan uang dan mengeluh
d. Mengambil uang atau barang di rumah secara diam-diam.
e. Pola tidur yang berubah.
f. Menjadi sering menggunakan rokok.
g. Bahasa yang digunakan berubah.
h. Menutupi bekas luka sayatan menggunakan pakaian panjang.
Jika hal-hal diatas ditemukan (kurang lebih 10%), maka dapat dicurigai dan
membutuhkan observasi lebih lanjut. Bila ini terjadi, pendekatan psikologis/persuasif lebih
disarankan daripada melakukan konfrontasi langsung.
27
Untuk memahami dan mengatasi masalah NAPZA secara efektif, pendekatan yang
holistik diperlukan, yang tidak hanya menyediakan informasi tetapi juga memperkuat
aspek kepribadian. Pengetahuan semata seringkali tidak mencukupi; pembentukan karakter
yang tangguh juga penting.
Sering kali, individu yang teredukasi tentang NAPZA namun tidak memiliki
fondasi kepribadian yang kuat cenderung tertarik untuk mencoba NAPZA. Oleh karena itu,
program edukasi NAPZA harus diimbangi dengan inisiatif pengembangan kepribadian
yang komprehensif.
Individu dengan kualitas pribadi yang kuat adalah mereka yang memiliki kesadaran
diri yang tinggi, memahami potensi serta kekuatan dan kelemahan mereka. Mereka
berupaya untuk memaksimalkan potensi dan kekuatan tersebut demi kebaikan diri sendiri,
keluarga, dan masyarakat. Mereka juga berkomitmen untuk mengatasi kelemahan mereka.
Hasilnya, mereka menjadi pribadi yang percaya diri, gigih, tabah, dan memiliki sikap sosial
yang positif, serta mampu menolak pengaruh negatif, termasuk godaan NAPZA.
Orang-orang dengan kualitas pribadi yang kuat menghadapi masalah dengan berani,
melihatnya sebagai kesempatan untuk berkembang, bukan sebagai penghalang. Mereka
belajar dari berbagai sumber dan pengalaman, termasuk kegagalan, yang mereka anggap
sebagai bagian dari proses pencapaian kesuksesan. Kekuatan personal ini tercermin dalam
kemampuan mereka untuk merasa kompeten, bermanfaat, dan berkembang.
Kualitas interpersonal mencakup kemampuan seseorang untuk berinteraksi dan
berkomunikasi dengan efektif dalam lingkungan sosial, serta membangun dan memelihara
hubungan yang positif dengan orang lain di sekitarnya.
28
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Psikofarmakologi adalah ilmu yang membantu dalam pengobatan gangguan
psikiatrik, seperti skizofrenia, dan membantu dalam pengobatan gangguan penyalahgunaan
zat. Pemberian obat psikotropika haruslah sesuai dengan dosis tertentu dan memperhatikan
efek samping, serta ada cara lain yang lebih efektif seperti terapi kelompok, detoksifikasi,
dan pengobatan ketergantungan zat. Kemudian psikofarmakologi, penyalahgunaan zat, dan
kecanduan. Psikofarmakologi merupakan ilmu yang mempelajari efek obat pada perilaku
manusia dan bagaimana efek ini terjadi melalui perubahan aktivitas neural (Saraf).
Psikofarmakologi yang mempelajari obat-obat khusus psikotropik, yaitu obat yang efeknya
pada otak, yang memiliki dampak terapeutik langsung pada proses mental (Maramis,
1994). Pemberian obat psikotropika haruslah sesuai dengan dosis tertentu dan
memperhatikan efek samping yang mungkin terjadi (Saraf). Beberapa pasien atau keluarga
pasien sangat percaya pada obat sehingga melalahkan psikoterapi (Saraf). Beberapa pasien
tidak mengkonsumsi obat psikotropika karena takut akan mengalami ketergantungan
(Saraf). Efek samping obat psikotropika bermacam-macam, antara lain terjadinya lelah,
mulut kering, tachycardia (detak jantung menjadi cepat), sukar kencing, konstipasi,
gangguan menstruasi, perasaan mabuk, penurunan potensi seks, dan gejala psikiatrik,
misalnya menjadi hipomanik (gembira berlebihan) atau terjadinya sindroma otak organik
akut (Saraf). Terapi psikofarmaka merupakan pilihan pertama dalam pengobatan yang
diperlukan untuk menyeimbangkan kembali neurotransmiter sehingga dapat menangani
gejala skizofrenia. Pemberian obat yang dikombinasikan ini bertujuan untuk mengurangi
risiko efek samping obat yang dapat merugikan pasien.
3.2 SARAN
Saran makalah tentang psikofarmakologi, zat, dan kecanduan adalah bagaimana
bisa meningkatkan pemberhatian terhadap pencegahan terhadap penanganan untuk
penyembuhan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan zat, mengidentifikasi dan
mencegah terjadinya efek samping obat, serta memperluas peran perawat dalam pemberian
psikofarmaka dan pengobatan serta edukasi. Melihat rangkaian-rangkaian penjelasan diatas
penulis berharap semua dapat terlibat untuk lebih memberi perhatian terhadap
penyalahgunaan zat. Dalam upaya mengurangi jumlah penyalahgunaan Zat, semua harus
ditingkatkan mulai dari kualitas sumber daya manusia. Semakin tinggi sumber daya
manusia maka akan mengurangi jumlah penyalahgunaan Zat. Dan dapat melakukan upaya
seperti peningkatan fasilitas pendidikan, edukasi, dan pemahaman.
29
DAFTAR PUSTAKA
Davis, D. I., Berenson, D., Steinglass, P., & Davis, S. (1974). The adaptive
consequences of drinking. Psychiatry, 37(3), 209-215.
Pusat Penelitian, Data dan Informasi BNN. 2017. Executive Summary Survei
Penyalahgunaan Narkoba Di Indonesia Tahun 2017. Jakarta
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
422/MENKES/SK/III/2010 tentang Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan
Penggunaan Napza
National Institute on Drug Abuse. 2019. Commonly Abuse Drugs Charts. Available
on https://www.drugabuse.gov/drugs-abuse/commonly-abused-drugs-charts#meth
Riskasari, W. (2020). Psikologi Kesehatan Kasus-kasus maritim.
American Society of Clinical Psychopharmacology. "What
isPsychopharmacology". ascpp.org. Diakses tanggal 15 Maret 2024.
Nasution, A., & Extravascular, P. O. (2015). Farmakokinetika Klinis. Medan: USU
Press. Halaman, 1-2.
Yamani, F., & Mulyanti, D. (2023). Rehabilitasi NAPZA Metode Terapi
Komunitas untuk Perbaikan Psikopatologi, Citra Diri dan Kualitas Hidup. DIAGNOSA:
Jurnal Ilmu Kesehatan dan Keperawatan, 1(2), 95-104.
Tirtawati, A. A. R., & Sudartha, M. Y. A. (2019). Strategi Komunikasi Psikolog
Dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Narkoba Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
Jurnal Kajian Ilmu Komunikasi, 18(1), 43-60.
Hakim, Lukman. 2014. Farmakokinetika. Yogyakarta: Bursa Ilmu.
Afiatin, Tina. 1998. Bagaimana Menghindarkan Diri Dari Penyalahgunaan
NAPZA. Buletin Psikologi. Vol. 2: 33-38.
https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/16652-drug-addiction-substance-use-
disorder-sud
https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/apa-itu-adiksi
Potensi, P., Wisata, D., Psikotropika, P., Wirokerten, D., Bantul, K., Putra, K.,
Pasha, R., Komang, A., Andrian, R., Kristiyani, A., Martini, H. A., Putri, L., Jennifer, F.,
Wahyuningtyas, B., Maruli, K., Vallencia, V., Muarif, M. R., & Kurnianingtyas, C. D.
(2023).
Pengembangan Potensi Desa Wisata dan Pengenalan Psikotropika di Desa
Wirokerten, Kabupaten Bantul. Jurnal Atma Inovasia (JAI), 3(5).
Siloam Hospital. (2024). Berbagai Rute Pemberian Obat pada Pasien dalam Dunia
Medis.
30