Anda di halaman 1dari 12

BAB V

“EGOISME”

Disusun oleh:
Kelompok 5
1. Kadek Bayu Brata Sena (2213006)
2. Trisna Maulana (2213024)
3. Cindy Hedi Wardana (2213029)

Dosen Pengampu : Dr. Mardiah Kenamon,S.E.,M.Si

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BATURAJA
TAHUN AJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena penulisan
Makalah “EGOISME” ini dapat diselesaikan. Dan tak lupa, penulis berterima kasih kepada
ibu Dr. Mardiah Kenamon,S.E.,M.Si. selaku Dosen mata kuliah Etika Profesi Akuntansi yang
telah memberikan penulis tugas membuat makalah yang sangat bermanfaat ini untuk
kelengkapan Nilai Etika Profesi Akuntansi.

Dalam makalah ini penulis membahas tentang Egoisme. Penulis berharap agar
makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta ilmu pengetahuan
pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu masukan berupa kritikan dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan
makalah ini.

Akhir kata, sekiranya makalah ini dapat berguna dan bisa menjadi pedoman bagi
mahasiswa untuk dapat mempelajari serta memahami tentang Egoisme.

Sekian dan terima kasih.


Baturaja,28 February 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4

1.1. LATAR BELAKANG.................................................................................................4

1.2. RUMUSAN MASALAH............................................................................................4

1.3. TUJUAN......................................................................................................................4

1.4. MANFAAT.................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5

2.1. PENGERTIAN...........................................................................................................5
2.2. DUA JENIS EGOISME.............................................................................................5
2.3. CATATAN KRITIS...................................................................................................8
BAB III PENUTUP..................................................................................................................11

3.1. KESIMPULAN........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Satu tren yang berkembang di masyarakat dewasa ini adalah bangkitnya sikap
egoisme. Orang lebih memedulikan diri sendiri, dan mengabaikan orang lain. Bahkan ada
kecenderungan melihat segala sesuatu hanya dari kepentingan diri sendiri. Sadar atau tidak,
manusia modern menghidupi ajaran etika egoisme. Tren seperti ini tumbuh dan berkembang
seiring dengan munculnya naluri menghabiskan yang menurut Jean Baudrillard tren demikian
menjadi ciri yang mencolok dalam kehidupan manusia modern, yang dinyatakan dengan
semangat konsumerisme. Kecenderungan demikian tentu perlu dicermati. Dalam upaya itu
kita perlu melihat secara jernih apa inti etika egoisme dan bagaimana dampaknya bagi
masyarakat. Inilah yang dibicarakan dalam bab ini.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. apa inti dari egoisme?
2. Apa saja jenis-jenisnya?
3. Manakah kekuatan dan kelemahan perspektif normatif ini?

1.3. TUJUAN
1. mengulas sekilas pandangan tentang persoalan apakah egoisme termasuk sikap etis
atau tidak.
2. membicarakan dua jenis egoisme, yakni egoisme psikologis dan egoisme etis.
3. uraian tentang kekuatan dan kelemahan egoisme, sebelum ditutup dengan kesimpulan
pada butir keempat dan pertanyaan pendalaman di akhir bab

1.4. MANFAAT
1. Manfaat bagi pembaca
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan dapat memberikan manfaat
kepada masyarakat umum khususnya kepada para pembaca. Dengan
tujuan untuk media pembelajaran yang dapat menambah wawasan.
2. Manfaat bagi penulis
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat memberikan manfaat untuk
penulis dalam memahami suatu informasi dan pengembangan ide.
4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN
Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan
yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu
tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang
dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah “egois”.
Egoisme adalah cara untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang
menguntungkan bagi dirinya sendiri, dan umumnya memiliki pendapat untuk meningkatkan
citra pribadi seseorang dan pentingnya – intelektual, fisik, sosial dan lainnya. Egoisme ini
tidak memandang kepedulian terhadap orang lain maupun orang banyak pada umunya dan
hanya memikirkan diri sendiri. Egois ini memiliki rasa yang luar biasa dari sentralitas dari
‘Aku adalah’:. Kualitas pribadi mereka Egotisme berarti menempatkan diri pada inti dunia
seseorang tanpa kepedulian terhadap orang lain, termasuk yang dicintai atau dianggap
sebagai “dekat,” dalam lain hal kecuali yang ditetapkan oleh egois itu. Teori eogisme atau
egotisme diungkapkan oleh Friedrich Wilhelm Nietche yang merupakan pengkritik keras
utilitarianisme dan juga kuat menentang teori Kemoralan Sosial. Teori egoisme berprinsip
bahwa setiap orang harus bersifat keakuan, yaitu melakukan sesuatu yang bertujuan
memberikan manfaat kepada diri sendiri. Selain itu, setiap perbuatan yang memberikan
keuntungan merupakan perbuatan yang baik dan satu perbuatan yang buruk jika merugikan
diri sendiri.
Kata “egoisme” merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin yakni ego, yang
berasal dari kata Yunani kuno – yang masih digunakan dalam bahasa Yunani modern – ego
(εγώ) yang berarti “diri” atau “Saya”, dan-isme, digunakan untuk menunjukkan sistem
kepercayaannya. Dengan demikian, istilah ini secara etimologis berhubungan sangat erat
dengan egoisme filosofis.

2.2. DUA JENIS EGOISME

1. Egoisme Psikologis
Pada umumnya, egoisme dibagi dua, yakni egoisme psikologis dan egoisme etis.
Egoisme psikologis berpendapat bahwa secara psikologis kodrat manusia cenderung memilih
tindakan yang menguntungkan bagi diri sendiri. Artinya. sifat dominan seseorang adalah

5
mencari keuntungan bagi dirinya. Menurut paham ini sikap altruisme, yakni sikap peduli
pada orang lain yang disertai dengan rela berkorban, merupakan mitos belaka. Kalaupun itu
terjadi, motivasi perbuatan itu tetaplah kepentingan diri sendiri. Karena itu berbuat baik
kepada orang lain menurut egoisme psikologis sesungguhnya bukan murni merupakan
ungkapan cinta kasih, melainkan diselubungi oleh cinta diri. Dengan penegasan ini, egoisme
psikologis menyangkal adanya sifat altruisme dalam diri seseorang.
Penyangkalan itu didasari oleh minimal dua argumen sebagaimana diperlihatkan J.
Sudarminta. Pertama, setiap tindakan yang dilakukan dengan bebas pada dasarnya merupakan
pilihan pelaku untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya. Misalnya, sebelum seseorang
menyumbangkan uangnya ke suatu panti sosial, ia lebih dulu memilih-milih panti mana yang
sesuai dengan keinginannya. Dan dalam melakukan ini, ia ingin mendapatkan kebahagiaan.
Situasi yang sama sebenarnya dirasakan ketika orang ini ingin menggunakan uangnya untuk
pergi jalan-jalan ke tempat yang paling ia sukai.
Kedua, fakta altruisme murni sulit ditemukan. Suatu tindakan hanya seolah-olah tidak
egois, namun sesung- guhnya kalau motivasinya digali lebih dalam, tindakan itu sebenarnya
didasari oleh cinta diri. Meneruskan contoh di atas, sang penyumbang merasa tidak te- nang,
kalau dia menyumbangkan uang- nya kepada panti sosial yang tidak sesuai dengan
keinginannya. Jadi, di sini, menurut egoisme psikologis, motivasi- nya adalah kepentingan
diri sendiri.

2. Egoisme Etis
Kalau egoisme psikologis lebih menekankan motif individual, egoisme etis menyoroti
ukuran penilaian perbuatan. Egoisme etis merupakan paham etika normatif yang menegaskan
bahwa setiap orang memiliki kewajiban untuk memilih tindakan yang paling menguntungkan
dirinya. Ini berarti, ukuran baik buruknya sebuah perbuatan diletakkan pada diri sendiri.
Paham ini mengafirmasikan pentingnya kewajiban setiap orang untuk mengusahakan dan
menjamin kepentingan diri.
Tiga Argumen Etis

1. Pentingnya pengenalan diri.

2. Menjunjung tinggi nilai pribadi.

3. Memuat nilai universal.

6
Dengan penegasan di atas, apakah itu berarti egoisme etis menolak sikap peduli
kepada kepentingan orang lain? Untuk menjawab per- tanyaan ini James Rachels menga-
takan dua hal. Pertama, egoisme etis tidak mengatakan bahwa orang yang harus membela
kepen- tingan sendiri, tidak juga membela kepentingan orang lain. Yang mau dikatakan, satu-
satunya tugas setiap orang adalah membela kepentingan dirinya. Artinya, hanya ada satu
prinsip perilaku, yakni prinsip kepentingan diri dan prinsip ini merangkum semua tugas dan
kewajiban alamiah seseor seseorang.
Kedua, egoisme juga tidak mengatakan bahwa kita harus menghindari tindakan untuk
menolong yang lain. Bisa jadi dalam banyak kesempatan, kepentingan seseorang bertautan
dengan kepentingan orang lain sehingga dalam menolong diri sendiri ia juga harus menolong
orang lain. Bisa juga terjadi bahwa menolong yang lain merupakan cara efektif untuk
mencapai kepentingan diri sendiri. Demi tujuan itu, seseorang harus mengindahkan
kepentingan orang lain.
Secara ringkas dapat ditunjukkan tiga argumen dasar dari egoisme etis. Pertama,
ajaran yang menegaskan bahwa sebelum berbuat baik kepada orang lain, orang berbuat baik
lebih dahulu bagi diri sendiri. Sadar atau tidak, argumen ini ingin mengungkapkan secara
konkret gagasan Sokrates tentang pentingnya pengenalan diri lebih dahulu sebagai dasar
untuk mengenal orang lain. Secara lain dapat dikatakan, mengenal diri lebih baik adalah
dasar mengenal orang lain lebih baik, sebab diri sendiri adalah bagian dari orang lain. Sama
halnya dengan perbuatan baik. Berbuat baik bagi diri sendiri merupakan dasar berbuat baik
bagi orang lain. Secara negatif dapat dikatakan, orang tidak bisa berbuat kebaikan maksimal
kepada orang lain, kalau pada dirinya sendiri hal ini tidak bisa ia lakukan. Atas alasan ini,
menurut Adam Smith, memperjuangkan kepentingan diri (self-interest) memiliki nilai etis.
Kedua, egoisme etis menjunjung tinggi nilai pribadi. Setiap orang adalah pribadi yang
membutuhkan pengetahuan. Harga diri mencakup kepentingan pribadi. Dalam kaitan dengan
ini, pandangan egoisme etis memuat penghormatan pada integritas pribadi. Melihat hal ini
Ayn Rand sebagaimana dikutip oleh J Sudarminta memberikan penilaian positif pada
gagasan egoisme etis, karena mendorong setiap manusia untuk semakin menghayati hidup.
Bagi egoisme etis, setiap individu sungguh-sungguh bernilai.
Ketiga, pandangan egoisme etis sebenarnya memuat nilai universal. Apa artinya?
Ketika "setiap orang berkewajiban memperjuangkan kepentingan diri sendiri menjadi sebuah
prinsip, maka prinsip ini berlaku bagi siapa saja. Implikasinya, setiap orang dituntut pula
untuk tidak merusak kepentingan orang lain demi kepentingan dirinya sendiri.

7
2.3. CATATAN KRITIS

1. Kekuatan Egoisme
Setiap teori mempunyai kekuatan dan kelemahan. Egoisme juga memiliki kedua hal
ini. Kekuatan egoisme secara umum dapat ditunjukkan dalam tiga hal berikut. Pertama,
egoisme mengungkap salah satu kecen- derungan dasar manusia, yakni memperjuangkan
kepentingan diri sendiri. Sebagaimana diakui oleh Adam Smith kecenderungan ini bersifat
alamiah, artinya, melekat dalam diri setiap orang. Mengenal kencenderungan alamiah ini
meru- pakan upaya yang penting untuk mengerti manusia secara lebih baik.

Kekuatan Egoisme

1. Mengungkap salah satu kecenderungan alamiah manusia.

2. Memperhatikan dimensi personal.

3. Menghargai kepentingan pribadi.

Kedua, egoisme memberikan perhatian pada dimensi personal manusia. Ini sejalan
dengan pandangan eksistensialisme yang menyatakan bahwa setiap orang adalah pribadi yang
berharga Kepentingannya perlu diakui. Dengan demikian, egoisme secara tidak langsung
memuat penghargaan pada individualitas. Dengan kata lain, egoisme memberikan dorongan
bagi setiap individu untuk semakin meningkatkan mutu tindakan agar kepentingannya
terpenuhi. Ini berarti, orang tidak hanya memperhatikan diri sendiri, melainkan juga
kepentingan orang lain secara tidak langsung. Secara negatif dapat dikatakan, agar
kepentingannya terpenuhi seseorang tidak boleh merusak kepentingan orang lain. Jadi, sadar
atau tidak egoisme memberikan batasan-batasan normatif intrinsik dalam bertindak.
Ketiga, terkait dengan butir di atas, egoisme menunjukkan titik berangkat sikap moral
kepada orang lain, yakni diri sendiri. Setiap orang adalah persona. la berharga bagi dirinya
sendiri. Untuk mewujudkan dimensi personalitasnya, ia mengupayakan kepentingan dirinya.
Pada titik ini egoisme meletakkan dasar bagaimana manusia harus menghargai dirinya
sebelum menghargai orang lain. Menurut Franz Magnis Suseno, manusia bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri. la adalah "aufgabe", artinya tugas bagi dirinya sendiri. Maka salah
satu kewajiban dasar manusia adalah mengembangkan diri". Dalam upaya ini orang lain tidak
boleh dirugikan. Artinya, peduli kepada diri sendiri adalah dasar untuk peduli pada orang

8
lain. Bagi etika pengembangan diri, egoisme memberikan sumbangan pemikiran bagaimana
orang didorong mengenali potensinya dan mengembangkannya terus menerus.

2. Kelemahan Egoisme
Selain kekuatan, egoisme juga mempunyai sejumlah kelemahan. Kelemehan itu
minimal terlihat dalam empat hal berikut. Pertama, egoisme, khususnya egoisme psikologis,
tidak bisa membedakan perilaku yang mengejar kepentingan diri dan perilaku yang disukai
karena memberi kenikmatan, padahal keduanya berbeda. Terkait dengan ini Adam Simth
membedakan dua perilaku manusia, yakni self-interest (perilaku yang mengejar kepentingan
diri) dan selfishness( perilaku yang disukai karena membawa nikmat). selfishness adalah
sikap memperjuangkan kepentingan pribadi tanpa merusak atau merugikan orang lain.
Sebaliknya, selfishness merupakan sikap yang memutlakkan kepentingan diri tanpa peduli
kepada orang lain.
Kelemahan Egoisme

1. Tidak mampu membedakan mana selfinterest dan mana selfishness.

2. Menyangkal nilal lain aktivitas.

3.Mengidentikkan peduli sama orang dengan kepentingan diri.

4. Ketidakselarasan kepentingan diri dengan kepentingan orang lain.

Self-interest selalu memperhatikan orang lain dalam mencapai kepentingan,


sedangkan selfishness justru mengorbankan orang lain. Smith menambahkan bahwa self-
interest adalah positif dan kodratiah. Setiap orang menginginkan kepentingannya terpenuhi,
dan dalam upaya itu ia turut menyejahterakan orang lain, karena mendorong orang lain untuk
melakukan hal yang sama, Cara pencapaiannya pun menggunakan cara yang benar. Tindakan
ini belum tentu egois. Sebaliknya, selfishness justru mengobjekkan orang lain demi mencapai
kepentingan seseorang. Dan perbuatan ini adalah egois. Egoisme tampaknya tidak bisa
membedakan keduanya. Ini menjadi dasar bagi sejumlah orang untuk menolak egoisme¹³,
Kedua, egoisme tidak melihat bahwa ada aktivitas-aktivitas lain seperti memberikan
bantuan dan membangun persahabatan dengan orang lain. Semua tin- dakan baik ini tidak
selalu ber- motif kepentingan diri.
Ketiga, egoisme menyatakan bahwa dalam perolehan kepentingan diri sudah termuat
kepentingan orang lain. Namun ini tentu sulit diterima, karena sangat mungkin terjadi bahwa

9
masing-masing orang memiliki kepentingan yang berbeda. Dan ini bisa menjadi masalah.
Berhadapan dengan situasi demikian, egoisme tidak bisa memberikan solusi. Misalnya,
dalam melakukan audit, seorang auditor berhadapan dengan berbagai kepentingan.
Kepentingan klien berbeda dengan kepentingan lembaga yang menugaskan auditor. Beda lagi
kepentingan para investor. Klien atau perusahaan mengharapkan agar hasil audit dibuat
sedemikian rupa sehingga menguntungkan dirinya, demikian halnya lembaga jasa akuntansi
memiliki kepentingan agar auditornya memberikan uang masuk yang besar bagi
keberlangsungannya, sementara para investor menginginkan laporan keuangan yang
sebenarnya demi kenyamanan investasinya. Berhadapan dengan aneka kepentingan berbeda
ini, teori egoisme tidak bisa digunakan. Karena itulah menurut Kurt Baier, etika egoisme
tidak menolong memecahkan konflik-konflik kepentingan, malah meningkatkan
intensitasnya.
Keempat, gagasan egoisme yang menegaskan bahwa suatu perhatian akan
kepentingan diri sendiri tidak dapat diselaraskan dengan kepentingan sejati orang lain, adalah
rancu. Sebagaimana sudah dikatakan oleh Adam Smith dalam mengejar kepentingan dirinya,
seseorang harus memikirkan orang lain. Ia tidak boleh merampas hak orang lain, karena hal
yang sama akan didapatkan dari orang lain. Karena itulah Adam Smith, sebagai mana dikutip
oleh A. Sonny Keraf, prinsip no harm 17 merupakan hal utama dalam mengusahakan self-
interest. Ini berarti, pandangan egoisme bahwa tidak mungkin menyelaraskan kepentingan
diri dengan kepentingan orang lain adalah keliru. Mementingkan diri tidak bertentangan
dengan mementingkan orang lain.

10
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Egoisme mengajarkan bahwa setiap orang memilih dan bertindak dengan motif
kepentingan dirinya. Prinsipnya dirumuskan oleh JL. Mackie dalam kalimat singkat berikut,
"One ought always to act in one's own interest"". Dalam prinsip ini, dasar pertimbangan
perbuatan apa pun adalah kepentingan diri sendiri. Artinya, kriteria sebuah tindakan adalah
ego.
Egoisme terbagi dalam dua jenis, yakni egoisme psikologis dan egoisme etis.
Egoisme psikologis menekankan aspek keinginan manusia untuk selalu menempatkan
kepentingan diri sendiri sebagai motivasi dalam bertindak. Sedangkan egoisme etis mengukur
perbuatan manusia dari kepentingan diri. Kedua etika egoisme ini mempunyai kekuatan dan
kelemahan. Etika egoisme mengangkat kecenderungan alamiah, yang tentunya perhatian ini
membantu untuk memahamai manusia secara lebih dalam. Karena memberi fokus pada
pribadi, etika ini mendorong setiap orang peduli pada nilai-nilai personal. Bagi
pengembangan diri, gagasan egoisme memberi sumbangan besar, karena egoisme etis
memberi pandangan tentang pentingnya kewajiban untuk merealisasikan diri.
Namun perlu disadari bahwa etika egoisme tidak memadai dijadikan sebagai kriteria
dalam memberi bobot kualitas pribadi. Etika ini potensial melahirkan sikap egois dan
individualis. Tekanan pada kepentingan diri sebagai sumber segala tindakan dan
mengabaikan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Sebagaimana ditegaskan oleh
Aristoteles, manusia adalah zoonpolitikon, makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial ia
membutuhkan persahabatan dan perhatian dari orang lain dan sebaliknya. Ini berarti, bagi
seseorang semua nilai bukan melulu bermotifkan kepentingan diri, melainkan karena
ungkapan eksistensinya sebagai makhluk sosial. Ini tidak diberi tempat oleh egoisme.
Karena itu pula gagasan egoisme yang meragukan keselarasan kepentingan diri
dengan kepentingan orang lain kurang beralasan. Kepentingan diri seseorang tidak mungkin
akan terpenuhi kalau ia merusak kepentingan orang lain. Secara positif dapat dikatakan,
kepentingan diri beririsan dengan kepentingan orang lain. karena orang lain adalah bagian
dari diri sendiri. Setiap orang adalah bagian dari orang lain. Singkatnya, manusia makhluk
personal sekaligus makhluk sosial.

11
DAFTAR PUSTAKA

Bdk. Jean Baudrillard, Masyarakat Konsumtif, terjemahan (Yogyakarta: Penerbit Kreasi,


2007), hlm. 120
Bdk. J. Sudarminta, Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Esika
Normatif (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hlm. 97.
Bdk. James Rachels, Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 146-147.
Pendapat Adam Smith ini dipaparkan dalam Karen McCreedie, 52 Gagasan Adam Smith:
Uang Menghasilkan Uang (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hlm. 121.
Bdk. J. Sudarminto, op.cit.. hlm. 92.
Bdk. Bambang Sugiharto (Ed.), Humanisme dan Humaniora: Relevansinya bagi Pendidikan
(Yogyakarta: Jalasutra. 2008), hlm. 165.
Bdk. Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme (Yogyakarta:
Kanisius, 2009), hlm. 98.
Bdk. Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral
(Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 119-120.
Bdk. Gordon Graham, Teori-teori Erika, Diterjemahkan oleh Irfan M Zackie (Bandung:
Nusamedia, 2014), hlm. 34.
Bdk. Carol Gilligan, Dalam Suara Yang Lain, Diterjemahkan oleh A. Sonny Keraf (Jakarta:
Hasta Utama, 2002), hlm. xi.
Pandangan Kurt Baier ini dikutip James Rachels, op.cit., hlm. 160.
Bdk. A Sonny Keraf, Pasar Bebas, Keadilan & Peran Pemerinth: Telaah atas Etika Politik
Adam Smith (Yogyakarta: Kanisius, 1996) hlm. 205.
Bdk. Pandangan Smith ini dikutip dalam Ronald F Duska dan Brenda Shay Duska,
Accounting Ethics (USA: Blackwell Publishing, 2006), hlm. 46-47.
Bdk. Mikhael Dua, Filsafat Ekonomi: Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama (Yogyakarta:
Kanisius, 2009), hlm. 41.
Bdk. J.L. Mackie, Ethics Inventing Right and Wrong (England: Pinguin Books, 1997), hlm.
172. Lihat juga Ronald F Duska dan Brenda Shay Duska, op.cit., hlm. 46.

12

Anda mungkin juga menyukai