Anda di halaman 1dari 56

SEJARAH GEOMETRI PADA ABAD PERTENGAHAN HINGGA MODERN SERTA

IMPLEMENTASI SEJARAHNYA DI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Dosen Pengampu :
Dr. Hj. Rini Setianingsih, M.Kes.
Mukhtamilatus Sa’diyah, M.Pd.

Disusun oleh :
Kelompok 3 Kelas PM23F

1. Afina Rizky Prameswari (23030174064)


2. Putri Purnamasari Aura Efendi (23030174166)
3. Muhammad Afifuddin (23030174190)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
TAHUN 2024

i
KATA PENGANTAR

Puji ayukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat,
hidayah dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Sejarah Geometri Pada Abad Pertengahan Hingga Modern Serta Implementasi
Sejarahnya Di Dalam Pembelajaran Matematika” ini. Shalawat dan salam tak lupa kami
haturkan pada junjungan nabi besar yakni baginda Nabi Muhammad SAW yang telah
menuntun kami kejalan kebaikan untuk kehidupan dunia dan akhirat.

Terimakasih kami berikan kepada Ibu Dr. Rini Setianingsih, M.Kes. dan Ibu
Mukhtamilatus Sa’diyah, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Matematika
Universitas Negeri Surabaya. Tanpa bimbingan dan arahan dari para ibu dosen, makalah ini
tidak akan bisa terselesaikan dengan baik. Makalah ini kami susun dalam rangka memenuhi
tugas pada mata perkuliahan Sejarah Matematika, khususnya membahas materi Sejarah
Geometri. Semoga apa yang kami tuliskan bias bermanfaat.

Kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Surabaya, 29 Februari 2024

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................1
1. Latar belakang...........................................................................................................................1
2. Rumusan masalah......................................................................................................................1
3. Tujuan penulisan makalah.........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................3
1. Sejarah Geometri Pada Abad Pertengahan................................................................................3
2. Sejarah Geometri Pada Zaman Modern Awal..........................................................................16
3. Sejarah Geometri Pada Zaman Modern...................................................................................18
4. Implementasi Sejarah Geometri Di Dalam Pembelajaran Matematika....................................53
BAB III PENUTUP..................................................................................................................................54
A. Kesimpulan..............................................................................................................................54
B. Saran........................................................................................................................................54
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................55

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Geometri adalah cabang matematika yang mempelajari properti dan hubungan
antara objek-objek dalam ruang. Sejak zaman kuno, geometri telah menjadi salah satu
bidang yang paling fundamental dan penting dalam pengembangan pengetahuan
manusia. Perkembangan geometri dari abad pertengahan hingga zaman modern tidak
hanya mencerminkan kemajuan dalam matematika itu sendiri, tetapi juga
mencerminkan perubahan budaya, filosofis, dan teknologi yang mempengaruhi
perkembangan masyarakat pada masa itu.

Abad pertengahan adalah periode yang ditandai dengan peralihan dari zaman
klasik ke zaman modern di Eropa. Selama periode ini, geometri terus berkembang
meskipun terjadi keruntuhan peradaban klasik. Di antara banyak peristiwa sejarah
yang memengaruhi perkembangan geometri pada masa ini adalah transmisi
pengetahuan matematika dari dunia Islam ke Eropa Barat melalui perantaraan bangsa
Arab. Selain itu, figur-figur terkenal seperti Euclid dan Descartes juga memberikan
kontribusi besar terhadap pengembangan geometri pada masa ini.

Pada zaman modern, perkembangan geometri semakin pesat dengan


munculnya konsep-konsep baru seperti geometri non-Euclidean, geometri diferensial,
dan geometri fraktal. Penemuan-penemuan ini tidak hanya mengubah cara kita
memahami ruang dan bentuk, tetapi juga memiliki aplikasi praktis yang luas dalam
berbagai bidang, termasuk fisika, teknik, dan ilmu komputer.

2. Rumusan masalah
1. Bagaimana perkembangan geometri pada abad pertengahan?
2. Bagaimana perkembangan geometri pada zaman modern awal?
3. Bagaimana perkembangan geometri pada zaman modern?
4. Bagaimana implementasi Sejarah geometri di dalam pembelajaran matematika?

1
3. Tujuan penulisan makalah
1. Untuk menjelaskan perkembangan geometri pada abad pertengahan.
2. Untuk menguraikan perkembangan geometri pada zaman modern awal.
3. Untuk mengetahui perkembangan geometri pada zaman modern.
4. Untuk mengetahui implementasi Sejarah geometri di dalam pembelajaran
matematika.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Geometri Pada Abad Pertengahan


A. Matematika Islam
a) Tidak dapat dibandingkan
Topik geometri lain yang menarik bagi matematikawan Islam adalah
topik yang tidak dapat dibandingkan. Faktanya, banyak komentar berbahasa
Arab yang ditulis mengenai topik Elemen Euclid, Buku X. Ingatlah bahwa
para ahli aljabar Islam sejak awal mulai menggunakan besaran irasional dalam
pekerjaan mereka dengan persamaan, mengabaikan perbedaan Euclidean
antara bilangan dan besaran. Namun ada beberapa komentator yang
melakukan upaya untuk merekonsiliasi penggunaan ini dan memasukkannya
ke dalam kerangka teoritis yang konsisten dengan karya Euclidean.
Dalam Ris¯ala fi'l-maq¯adir al-mushtaraka wa'l-mutab¯ayana (Risalah
tentang Kesetaraandan Magnitudo yang Tak Terbandingkan), ditulis sekitar
tahun 1000, Abu 'Abdall ¯ ah al-H ¯ asan ibn al-Baghdad¯ ¯i berusaha untuk
merekonsiliasi aturan operasional yang telah digunakan untuk besaran
irasional dengan prinsip-prinsip utama Unsur dan dengan demikian
membuktikan bahwa metode perhitungan kontemporer adalah valid. Dia
cukup sadar bahwa metode penghitungan numerik ini lebih sederhana
daripada mode geometri Euclid: “Lebih mudah untuk berasumsi suatu
bilangan dan mendasarkannya pada diri sendiri daripada membuat asumsi
serupa mengenai besaran.” 39 Karena dia tahu Dari perbedaan mendasar
Aristoteles dan Euclid antara bilangan dan besaran, ia memulai dengan
menghubungkan kedua konsep tersebut dengan menetapkan hubungan antara
bilangan dan ruas garis dengan cara yang tampaknya modern. Yaitu, jika diberi
satuan besaran a, masing-masing “bilangan bulat " n sesuai dengan kelipatan
m
na yang sesuai dari satuan besaran. Bagian sebesar ini, seperti a a, lalu
n
m
sesuaikan dengan bagian darinomor . Ibn al-Baghdad menganggap besaran
n
apa pun yang dapat diungkapkan dengan cara ini adalah sesuatu yang
rasionalbesarnya. Dia menunjukkan bahwa besaran-besaran ini berhubungan

3
satu sama lain sebagai angka dengan angka, seperti pada Elemen X–5.
Besaran yang bukan merupakan “bagian” dianggap besaran yang tidak
rasional. Di dalam akibatnya, Ibnu al-Baghdad mencoba memasukkan
bilangan rasional ke dalam garis bilangan. Tapi diajuga ingin menghubungkan
besaran yang tidak rasional dengan “angka”.
Ibn al-Baghdad¯ ¯i membuat hubungan tersebut melalui gagasan
tentang sebuah akar. Akar suatu bilangan n adalah suku tengah x dalam
proporsi kontinu n : x = x : 1. Akar seperti itu mungkin atau mungkin tidak
ada. Dia kemudian mendefinisikan akar besaran na dengan cara yang sama
dengan mean proporsional antara besaran satuan a dan besaran na. Kuantitas
ini selalu dapat dibangun dengan penggaris dan kompas, jadi itu pasti ada.
Tentu saja, ini mungkin rasional atau irasional. Karena “bilangan rasional”
berhubungan dengan “besaran rasional”, dan sejak yang terakhir selalu
memiliki akar, yang mungkin rasional atau tidak, ia dapat mempertimbangkan
akar dari yang pertama lanjutkan korespondensi ini. Secara khusus, ia
mencatat bahwa untuk besaran, akar dan kuadrat memiliki tipe geometri yang
sama. Dengan kata lain, akar suatu besaran dinyatakan dalam bentuk garis
ruas adalah ruas garis lainnya, seperti halnya kuadrat suatu ruas garis sebuah
segmen garis. Ibn al-Baghdad¯¯i, seperti beberapa pendahulu Islamnya,
kemudian pindah dari desakan Yunani terhadap homogenitas dan gagasan
bahwa semua “kuantitas” bisa ada dinyatakan dengan cara yang sama, pada
dasarnya sebagai “angka”.
Ibnu al-Baghdad¯ ¯i menutup bukunya dengan membahas secara
ekstensif berbagai jenis besaran irasional yang dibahas oleh Euclid dalam
Buku X. Sebagai hasil dari diskusi itu, dia mampu membuktikan hasil pada
“kepadatan” besaran-besaran yang tidak rasional, yaitu antara apa pun dua
besaran rasional terdapat banyak sekali besaran irasional yang tak terhingga.
Misalnya, dia dianggap besaran yang diwakili oleh angka berurutan 2 dan 3.
Kotak besaran-besaran ini diwakili oleh 4 dan 9. Di antara besaran-besaran
tersebut terdapat besaran-besaran diwakili oleh angka 5, 6, 7, dan 8.Akarnya, ,
√ 5,√ 6,√ 7, dan √ 8, yang oleh Ibn al-Baghdad¯ ¯i disebut sebagai besaran
irasionalitas tingkat pertama, terletak di antara 2 dan 3. Demikian pula,
kuadrat 4 dan 9, yaitu 16 dan 81, juga melambangkan besaran, begitu pula
kuadrat 25, 36,49, dan 64. Sesuai dengan bilangan bulat 17, 18,..., 24 adalah
4
besaran orde pertamairasionalitas √ 17,√ 18,..., √ 24serta besaran irasionalitas
orde kedua√ √ 17, √ √ 18,..., √ √ 24.Besaran terakhir terletak di antara besaran
awal 2 dan 3. Ibn al-Baghdad¯ ¯i mencatat bahwa cara ini dapat dilanjutkan
untuk menemukan besaran sebanyak yang diinginkan seseorang, dari berbagai
tingkat irasionalitas yang lebih tinggi, di antara dua irasionalitas yang asli.
Karya Ibnu al-Baghdad¯¯i dengan demikian menunjukkan bahwa para penulis
Islam memahami argumen-argumen mereka Pendahulu Yunani dalam
memisahkan bidang besaran dan jumlah, tetapi juga menginginkannya untuk
memutuskan ikatan yang dikenakan oleh dikotomi ini sehingga mereka dapat
membenarkan peningkatan penggunaannya dari “irasional” dalam
perhitungan.

b) Volume dan Metode Kehabisan


Salah satu bidang geometri terakhir yang akan kita bahas juga
menunjukkan bahwa para penulis Islam memahami karya-karya Yunani dan
ingin melampauinya, yaitu karya menghitung volume zat padat melalui
metode kehabisan yang dipelopori oleh Eudoxus dan digunakan secara luas
oleh Archimedes. Ternyata meskipun ahli matematika Islam membaca karya
Archimedes, On the Sphere and the Cylinder (pada bola dan silinder), mereka
tidak menyediakan karyanya On Conoids and Spheroids (Tentang Conoid dan
Spheroid) yang mana Archimedes menunjukkan cara menghitung volume
benda padat yang dibentuk dengan memutar parabola pada porosnya. Dengan
demikian, Thabit ibn Qurra menemukan pembuktiannya sendiri yang cukup
panjang uh¯ ¯i (abad ke-10), sekitar 75 tahun kemudian Abu Sahl al-K di
selatan Laut Kaspia, dari wilayah tersebut dan rumit, dan menyederhanakan
metode Thabit dan menyelesaikannya. beberapa masalah serupa pada volume
dan masalah serupa pada pusat gravitasi. Al-Kuh¯ ¯i pada gilirannya dikritik
tak lama kemudian oleh Ibn alHaytham karena tidak memecahkan masalah
paraboloid secara umum, yaitu karena tidak mempertimbangkan volume
benda padat yang dibentuk dengan memutarkan segmen parabola terhadap
garis tegak lurus ke porosnya. Masalah terakhir inilah yang kemudian
dipecahkan sendiri oleh Ibn alHaytham.

5
Dalam terminologi modern, Ibnu Al-Haytham membuktikan bahwa
volume zat padat yang terbentuk adalah memutar parabola x=ky 2 mengelilingi
garis x=kb 2 (yang tegak lurus sumbuparabola) adalah 8/15 volume silinder
yang berjari-jari x=kb 2dan tinggi b. Formalnyaargumen adalah argumen
kehabisan yang khas. Yakni, dia berasumsi volume yang diinginkanlebih besar
dari 8/15 silinder dan menghasilkan kontradiksi, lalu diasumsikan demikianitu
lebih sedikit dan menimbulkan kontradiksi lain. Namun inti argumen Ibnu Al-
Haythammelibatkan "mengiris" silinder menjadi n disk, , masing-masing
b
tebalnya h= , perpotongan masing-masing dengan paraboloid memberikan
n
perkiraan volume irisan paraboloid(Fig. 9.23).Piringan ke i pada paraboloid
2 2
mempunyai jari-jari kb −k (ih) sehingga mempunyai volume π h
2 2 2 2 2 2 5 2 2 2
(kh n −ki h ) = πk h ( n −i ) . Oleh karena itu, volume total paraboloid
tersebut adalahdiperkirakan oleh
n−1
π k 2 h5 ∑ ¿ ¿
n=1

Namun Ibnu al-Haytham sudah mengetahui rumus jumlah integral kuadrat dan
integral kuadrat empat. Dengan menggunakan ini, dia bisa menghitungnya

n −1
8 1 8 1 1
∑ ( n4 −2 n2 i2 +i4 )= 15 ( n−1 ) n4 + ¿ n4 = n . n4 − n4− n ¿
30 15 2 30
n =1

dan oleh karena itu


n −1
8
c) (n−1)n4 < ∑ ¿ ¿
15 n =1

d)
Memutar segmen parabola mengelilingi suatu garis tegak lurus terhadap
porosnya.

6
Namun volume potongan silinder pembatas adalah π h ¿ dan jadi
volume totalsilinder tersebut adalah π k 2 h5 n. n 4, sedangkan volume silinder
dikurangi “potongan atasnya”adalah π k 2 h5 (n−1) n4 . Oleh karena itu,
pertidaksamaan menunjukkan bahwa volumenyaparaboloid dibatasi antara
8/15 silinder dikurangi potongan atasnya dan 8/15 dari keseluruhansilinder.
Karena potongan atas dapat dibuat sekecil yang diinginkan dengan mengambil
nsecukupnya mengikuti bahwa paraboloid tersebut tepat 8/15 dari silinder
seperti yang ditegaskan.

B. Geometri di Eropa Abad Pertengahan


Elemen Euclid diterjemahkan kedalam bahasa Latin pada awal abad kedua
belas. Sebelumnya, yang versi Arab tersedia di Spanyol. Ketika Abraham bar
Hiyyadari Barcelona menulis Hibbur ha-Meshihah ve-ha-Tishboret (Risalah
tentang Pengukuran dan Penghitungan) pada tahun 1116 untuk membantu orang
Yahudi Prancis dan Spanyol dalam mengukur ladang mereka, dia memulai
pekerjaan dengan ringkasan beberapa definisi, aksioma, dan teoremadari Euclid.
Tidak banyak yang diketahuitentangkehidupan Abraham bar Hiyya, namun dari
nama Latinnya savasorda, yang memiliki makna bahwa ia memegang posisi resmi
dalam pemerintahan di Barcelona, kemungkinan besar ia pernah menduduki
jabatan di istana, dimana dia memberikan nasihat matematika dan astronomi
kepada raja Kristen.
a) Risalah Abraham Bar Hiyya Tentang Pengukuran
Seperti kebanyakan orang yang berurusan dengan geometri selama
beberapa abad, Abraham tidak begitu tertarik pada aspek teoritis Elemen
Euclid melainkan pada penerapan praktis metode geometri pada pengukuran.
Namun demikian, ia mengambil alih tradisi pembuktian Islam, yang diserap
dari tradisi Yunani, dan memberikan pembenaran geometris terhadap metode
penyelesaian masalah. Dalam diskusi geometrinya ia memasukan masalah
aljabar. Secara khusus, Abraham memasukkan dalam karyanya hasil utama
Elemen II pada aljabar geometri dan menggunakannya untuk
mendemonstrasikan metode penyelesaian persamaan kuadrat. Faktanya, karya
Abraham adalah yang pertama di Eropa yang memberikan prosedur islam
untuk memecahkan persamaan tersebut.

7
Misalnya, Abraham mengajukan pertanyaan, “Jika luas persegi
dikurangi jumlah keempat sisinya dan tersisa 21, berapa luas persegi tersebut
dan berapa panjang masing-masing sisi yang sama panjang? ” Kita dapat
menerjemahkan pertanyaan Abraham kedalam persamaan kuadrat x² - 4x = 21,
persamaan ini ia selesaikan dengan cara yang biasa, yaitu dengan membagi 4
menjadi 2, mengkuadratkan hasil ini untuk mendapatkan 4, menambahkan
kuadrat ini ke 21 untuk mendapatkan 25, mengambil akar kuadrat untuk
mendapatkan 5, dan kemudian menambahkannya kesetengah dari 4 untuk
mendapatkan jawaban 7 untuk sisi dan jawaban 49 untuk luas. Pernyataan
Abraham mengenai permasalahan tersebut bukanlah pernyataan geometri,
karena ia menulis tentang pengurangan panjang (jumlah sisi) dari sebuah luas.
Namun dalam pembenaran geometrisnya, dia menyatakan kembali
permasalahan tersebut dengan mengartikan pemotongan sebuah persegi
panjang dengan 4 sisi dan x dari persegi asli dengan sisi x yang tidak diketahui
sehingga menyisakan sebuah persegi panjang dengan luas 21. Ia kemudian
membagi sisi yang panjangnya 4 dan menerapkan Elemen II - 6 untuk
membenarkan prosedur aljabar. Dengan demikian, Abraham ternyata
mempelajari aljabarnya bukan dari al-Khawarizmi (yang Aljabarnya
diterjemahkan kedalam bahasa Latin ditahun yang sama dengan karya
Abraham), namun dari penulis seperti Abu Kamil, yang menggunakan
pembenaran Euclidean. Abraham juga memaparkan metode dan bukti
Euclidean sebagaicontoh dua kelas persamaan kuadrat campuran Islam
lainnya, x² + 4x = 77 dan 4x − x² = 3. Dalam kasus terakhir, dia memberikan
kedua solusi positif. Abraham juga memecahkan masalah kuadrat tersebut
sebagai sistem x² + y² = 100, x − y = 2, dan xy = 48, x + y = 14.
Namun kontribusi Abraham yang paling original terdapat pada bagian
pengukuran lingkaran. Dia tidak hanya memberikan aturan standard untuk
mencari keliling dan luas lingkaran, tetapi juga memberikan nilai yang lebih
eksak untuk π serta memberikan pembenaran geometris untuk rumus luas
1
lingkaran. Pertama, Abraham bar Hiyya menggunakan pendekatan awal 3
7
untuk nilai π. Namun, kemudian dia menyadari bahwa untuk keperluan yang
lebih presisi, seperti dalam menghitung bintang, nilai ini tidak cukup akurat.
Oleh karena itu, dia memberikan pendekatan yang lebih baik dengan

8
1
8 17
menggunakan 3 2 = 3 untuk nilai π. Selanjutnya, yang lebih menarik
120
60
adalah pembenaran geometris yang diberikan oleh Abraham bar Hiyya untuk
c d
rumus luas lingkaran A = . Dalam teksnya, dia menjelaskan bahwa
d2
lingkaran dapat dianggap terdiri dari lingkaran-lingkaran konsentris yang
terbuat dari benang-benang yang tidak dapat dibagi-bagi, (seperti gambar di
bawah ini). Jika lingkaran ini diiris dari pusatnya ke kelilingnya dan dibuka
menjadi segitiga, alas segitiga tersebut akan memiliki panjang yang sama
dengan keliling asli lingkaran, sementara tingginya akan sama dengan jari-jari
lingkaran. Dengan demikian, rumus luas lingkaran bias diperoleh dengan
mudah dari pembenaran ini.

Untuk mengukur luas ruas lingkaran, Abraham mencatat bahwa


pertama-tama kita harus mencari luas sektor yang bersesuaian dengan
mengalikan jari-jari dengan setengah panjang busur (seperti gambar di bawah
ini). Kemudian, kurangi luas segitiga yang terbentuk oleh tali busur dari
segmen dan dua jari-jari di ujungnya.

9
Namun, bagaimana cara menghitung panjang busur, jika kita
mengetahui panjang tali busurnya? Jawaban Abraham adalah dengan
menggunakan tabel yang memuat hubungan antara tali busur dan busur. Dan
dengan demikian, untuk pertama kalinya di Eropa muncul apa yang bisa
disebut sebagai tabel trigonometri. (terdapat pada gambar di bawah ini).
Berbeda dengan tabel sinus al-Khwarizmi, yang muncul dalam terjemahan
Latin sesaat setelah buku Abraham dan yang menggunakan derajat untuk
mengukur busur dan jari-jari lingkaran sebesar 60, tabel Abraham adalah tabel
busur ke tali busur yang diberikan menggunakan ukuran yang tampaknya lebih
nyaman bagi Abraham. Yakni, ia menggunakan jari-jari sepanjang 14 bagian,
sehingga setengah keliling lingkaran menjadi bilangan bulat (44), dan
kemudian memberikan busur (dalam bagian, menit, dan detik) yang sesuai
dengan setiap nilai bulat dari tali busur dari 1 hingga 28. Jadi, untuk
menentukan panjang busur dari segmen lingkaran, diberikan tali busur s dan
jarak h dari pusat tali busur ke keliling, Abraham pertama-tama menentukan
diameter d lingkaran dengan rumus

d = s²/4h + h

Kemudian ia mengalikan tali busur yang diberikan dengan 28d (untuk


mengonversinya menjadi lingkaran berdiameter 28), memeriksa tabelnya
untuk menentukan busur α yang sesuai, dan mengalikan α dengan d28 untuk
menemukan panjang busur sebenarnya.

10
2. Sejarah Geometri Pada Zaman Modern Awal
a) Geometri di abad ketujuh belas
I. Geometri Analitik
Geometri analitik lahir pada tahun 1637 dari dua tokoh, yaitu Rene
Descartes (1596–1650) dan Pierre de Fermat (1601–1665).
Geometri analitik pada abad ke-17 merupakan perkembangan penting
dalam bidang matematika yang menggabungkan konsep-konsep geometri
dengan aljabar. Pada masa ini, terjadi perpaduan antara studi tentang kurva
geometris dengan penggunaan metode aljabar untuk menganalisis sifat-
sifatnya.
Rene Descartes memainkan peran penting dalam pembentukan
geometri analitik melalui karyanya yang terkenal "La Géométrie"
(Geometri), yang diterbitkan pada tahun 1637. Dalam karyanya ini,
Descartes mengajukan gagasan tentang penggunaan system koordinat
kartesian untuk memetakan kurva geometris menjadi persamaan aljabar.
Pendekatan ini memungkinkan representasi grafis dari kurva-kurva seperti
lingkaran, elips, dan parabola dalam ruang koordinat.
Pierre de Fermat juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam
pengembangan geometri analitik. Melalui karyanya yang berjudul "Ad

11
locos planos et solidos isagoge" (Pengantar untuk Tempat Datar dan
Tempat Padat), Fermat menunjukkan pemahamannya tentang hubungan
antara kurva geometris dengan persamaan aljabar dalam dua variabel. Dia
juga mulaimemperkenalkankonsep-konseppentingsepertikurvaelips dan
hiperbola. Kedua matematikawan ini memahami hubungan dasar antara
persamaan aljabar dan kurva geometris. Mereka menggunakan system
koordinat kartesian untuk menghubungkan geometri dengan aljabar,
menghasilkan metode yang kuat untuk menganalisis sifat-sifat geometris
dari kurva-kurva yang berbeda.
Namun Fermat dan Descartes mengembangkan pendekatan yang
berbeda terhadap subjek bersama mereka, perbedaan yang berakar pada
sudut pandang matematika yang berbeda.Fermat memberikan pernyataan
yang sangat jelas bahwa sebuah persamaan dalam dua variable
menentukan sebuah kurva. Dia selalu memulai dengan persamaan dan
kemudian menjelaskan kurva tersebut. Descartes, di sisi lain, lebih tertarik
pada geometri. Baginya, kurva-kurva adalah yang utama. Diberikan
deskripsi geometris dari sebuah kurva, dia mampu menemukan
persamaannya. Oleh karena itu, Descartes terpaksa berurusan dengan
persamaan aljabar yang jauh lebih kompleks dari pada persamaan Fermat.
Itulah rumitnya persamaan Descartes yang memimpinnya untuk
menemukan metode penanganan persamaan polynomial dengan derajat
tinggi.

II. Geometri Proyektif


Nasib yang diabaikan juga menimpa Girard Desargues (1591–1661),
seorang insinyur dan arsitek Prancis yang kontribusi paling orisinal dalam
matematika terletak pada bidang geometri proyektif. Sebagai bagian dari
minat profesionalnya, ia ingin melanjutkan studi perspektif yang dimulai
oleh seniman Renaisans. Setelah menguasai karya geometris para Yunani,
terutama karya Apollonius, ia mengusulkan untuk menyatukan berbagai
metode tersebut, bukan dengan mengaljabarisasikannya seperti yang
dilakukan Fermat, tetapi dengan memasukkannya dalam teknik proyek
sisintetis yang baru. Secara khusus, ia mencoba dalam karyanya yang
berjudul "Brouill on projetd’ uneatteinte aux´ev´enemens des rencontres

12
d’un cone avec un plan" (Naskah Kasar dari Upaya untuk Menangani
Hasil Pertemuan Antara Sebuah Kerucut dengan Sebuah Bidang) tahun
1639 untuk menyatukan studi konik dengan menggunakan teknikproyektif.
Karya Desargues tidak diterima dengan baik, sebagian karena ia
menemukan dan menggunakan begitu banyak istilah teknis baru sehingga
hanya sedikit yang bias mengikutinya dan sebagian lagi karena
matematikawan baru mulai menghargai penyatuan geometri analitik
Descartes dan belum siap untuk mempertimbangkan versi sintetik baru.
Rupanya, satu-satunya ahli matematika kontemporer yang mengapresiasi
karyanya adalah Pascal, yang menerbitkan Essay on Conics pada tahun
1640 di mana iamemuji Desargues karena memperkenalkannya pada
metode proyektif. Karya ini berisi versi teorema yang dikenal dengan
nama Pascal:

Pascal tidak memberikan bukti teoremanya dalam esai singkatnya. Dia


hanya mengklaim kebenarannya terlebih dahulu untuk lingkaran dan
kemudian untuk kerucut yang sewenang-wenang. Agaknya, dia bermaksud
membuktikan hasil umum dengan mengikuti garis besar Desargues. Pascal
berjanji untuk mengungkap lebih banyak hasil beserta metodenya dalam
karya yang lebih lengkap tentang kerucut, sebuah karya yang ditulisnya
pada pertengahan tahun 1650-an. Sayangnya, karya yang lebih besar ini
tidak pernah diterbitkan, dan semua salinan manuskrip kemudian hilang.
Faktanya, metode proyektif dalam geometri diabaikan hingga awal abad
kesembilan belas.

3. Sejarah Geometri Pada Zaman Modern


a) Sejarah Geometri di Abad Kedelapan Belas

13
Basel merupakan kota asal matematikawan abad ke-18 terbesar,
Leonhard Euler, meskipun, sebagian karena kesulitan untuk melanjutkan di
sebuah kota yang didominasi oleh keluarga Bernoulli, Euler menghabiskan
sebagian besar waktunya di luar negeri, di Jerman dan St. Petersburg, Rusia.
Dia unggul dalam semua aspek matematika, dari geometri ke kalkulus ke
trigonometri ke aljabar ke teori bilangan, dan mampu menemukan hubungan
tak terduga antara bidang yang berbeda. Dia membuktikan banyak teorema,
memelopori metode baru, notasi matematika standar dan menulis banyak buku
pelajaran berpengaruh sepanjang kehidupan akademiknya yang panjang.

Dalam sebuah surat kepada Euler pada tahun 1742, ahli matematika
Jerman Christian Goldbach mengusulkan dugaan Goldbach, yang menyatakan
bahwa setiap bilangan bulat bahkan lebih besar dari 2 dapat dinyatakan
sebagai jumlah dari dua bilangan prima (misalnya 42+2:835; 143+11=7+ 7;
dil) atau, dalam versi lain yang setara, setiap bilangan bulat lebih besar dari 5
dapat dinyatakan. sebagai jumlah dari tiga bilangan prima. Namun versi lain
adalah apa yang disebut dugaan Goldbach "lemah", bahwa semua angka ganjil
lebih besar dari 7 adalah jumlah dari tiga bilangan prima ganjil. Mereka tetap
di antara masalah tertua yang belum terpecahkan dalam teori bilangan (dan
dalam semua matematika), meskipun bentuk dugaan yang lemah tampaknya
lebih dekat dengan resolusi daripada yang kuat. Goldbach juga membuktikan
teorema lain dalam teori bilangan seperti Teorema Goldbach- Euler tentang
kekuatan sempurna.

Meskipun Euler dan Bernoullis mendominasi matematika abad ke-18,


banyak ahli matematika penting lainnya berasal dari Prancis. Pada awal abad
ini, Abraham de Moivre mungkin paling dikenal dengan rumus de Moivre,
(cosx + isinx) n cos (nx) + isin (nx), yang menghubungkan bilangan kompleks
dan trigonometri. Tetapi ia juga menggeneralisasi teorema binomial Newton
yang terkenal ke dalam teorema multinomial, memelopori pengembangan
geometri analitik, dan karyanya pada distribusi normal (ia memberikan
pernyataan pertama dari rumus untuk kurva distribusi normal) dan teori
probabilitas sangat penting.

I. Clairut dan Unsur Geometri

14
Salah satu teks geometri penting abad kedelapan belas, El 'ements
de Geometrie (Elemen Geometri) karya Clairaut tahun 1741,
memberikan contoh keyakinan penulis bahwa pemula dalam mata
pelajaran. tersebut harus mempelajari materi dalam apa yang
disebutnya "alami". jalan. Oleh karena itu, Clairaut menulis, "Saya
bermaksud untuk kembali ke apa yang mungkin memunculkan
geometri; dan saya berusaha mengembangkan prinsip-prinsipnya
dengan metode yang cukup alami sehingga orang dapat
menganggapnya sama dengan yang dilakukan para penemu geometri
pertama, hanya berusaha menghindari langkah-langkah salah yang
mungkin harus mereka ambil. "3 Teksnya mengandung banyak makna
pengaruhnya terhadap pengajaran geometri hingga abad kesembilan
belas, melalui 11 edisi di Perancis dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Swedia, Jerman, dan inggris.
Clairaut percaya bahwa pengukuran medan adalah awal dari
geometri-bagaimanapun juga, nama itu sendiri ada hubungannya
dengan pengukuran bumi-dan oleh karena itu dia akan memulai
siswanya dengan ide dasar tersebut, bukan dengan aksioma dan
definisi seperti dalam Euclid. Dia kemudian berencana untuk
mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks berdasarkan analogi
prinsip-prinsip pengukuran pertama, yang selalu menunjukkan
bagaimana keingintahuan alami manusia memungkinkan mereka
memecahkan masalah baru dan menemukan konsep-konsep baru. Oleh
karena itu, ia berharap dapat mendorong semangat penemuan ini pada
para pembacanya, la menyadari bahwa ia akan dikritik karena tidak
"ketat" dalam melakukan demonstrasi, namun ia merasa tidak perlu
menggunakan penalaran abstrak untuk membuktikan hasil yang
diketahui kebenarannya oleh orang yang berakal sehat.
Pendekatan alami Clairaut dimulai dengan konsep pengukuran
panjang dengan menggunakan ukuran yang diketahui. Karena garis
lurus merupakan jarak terpendek dari suatu titik ke titik lainnya, maka
jarak antara dua titik diukur dengan panjang garis lurus yang
menghubungkan kedua titik tersebut. Untuk mengukur jarak dari titik
C ke garis AB, kita cukup menyadari bahwa garis terpendek tersebut
15
"condong" tidak ke arah A maupun ke arah B dan oleh karena itu
merupakan garis tegak lurus dari C ke AB. Namun, untuk menentukan
garis ini diperlukan metode untuk membuat garis tegak lurus. Clairaut
kemudian menyajikannya, menggunakan kompas. Mengingat sekarang
gagasan tentang tegak lurus, Clairaut dapat mendefinisikan persegi
panjang, bangun datar bersisi empat yang masing-masing sisinya tegak
lurus dengan sisi yang bersebelahan, dan persegi, persegi panjang
dengan empat sisi yang sama panjang. Clairaut juga memberikan
definisi "alami" tentang garis sejajar sebagai garis sedemikian rupa
sehingga jarak antara jarak antara keduanya selalu sama.
Persegi panjang diukur dengan menggunakan kuadrat sisi
satuan. Jadi, Clairaut menunjukkan bahwa luas persegi panjang adalah
hasil kali panjang dan lebar, dan karena segitiga selalu merupakan
setengah persegi panjang, maka luas segitiga adalah setengah hasil kali
alas dan tingginya. Namun, karena bidang tidak selalu memiliki sisi
lurus, Clairaut mencatat bahwa seseorang dapat mengukur sisi-sisi
tersebut dengan memperkirakan sisi lengkung dengan segmen garis
lurus, lalu membagi daerah menjadi segitiga, dan mengukur masing-
masing segitiga tersebut. Seseorang selalu dapat memperkirakan
dengan cukup dekat sehingga “semua kesalahan yang masuk akal
dapat dihilangkan”.
Clairaut mengembangkan dalam teksnya sebagian besar hasil
penting dari Buku I-IV, VI, XI, dan XII karya Euclid, tetapi selalu
dengan cara yang dianggapnya wajar. Misalnya, diberikan segitiga
ABC yang sisi-sisinya diketahui, ia menunjukkan cara membuat
segitiga baru yang kongruen dengannya. Hal ini diperlukan karena
segitiga ABC tidak mungkin diukur di tempatnya; garis tegak lurus
terhadap alas mungkin, misalnya, melewati rintangan. Konstruksinya
sendiri sederhana. Clairaut memindahkan alas AB ke lokasi baru DE
dan kemudian menggunakan kompas yang masing-masing memiliki
panjang AC dan BC, untuk menentukan titik F sehingga DF AC dan
EF = BC (Gbr. 20.1). Jelas bagi Clairaut bahwa segitiga yang dibangun
sama dalam segala hal dengan segitiga yang diberikan. Demikian pula,
untuk menunjukkan bahwa suatu segitiga ditentukan jika dua sisi dan
16
sudut yang disertakan diketahui, pertama-tama ia menunjukkan cara
membuat sudut yang sama dengan sudut tertentu dengan
menggunakan, dengan cara yang jelas, instrumen abc yang terdiri dari
dua aturan, ba dan be, yang dapat borputar di sekitar b (Gbr. 20.2).
Kemudian, diketahui segitiga ABC yang sudutnya diketahui B dan
garis baru EF sama dengan BC, ia meletakkan alat tersebut dengan be
sepanjang EF, menarik garis baru DE pada sudut tertentu 8 ke garis EF,
dan membuat DE sama dengan BA. Segitiga DEF yang dilengkapi
dengan menggambar DF kemudian kongruen dengan segitiga aslinya.
Clairaut menggunakan teknik analogi untuk membuat segitiga serupa
dengan segitiga tertentu dan dengan demikian “mengukur” jarak ke
titik yang tidak dapat diakses.

Clairaut mencatat bahwa ahli geometri tidak ingin mengukur


dengan perkiraan luas daerah yang dibatasi oleh kurva seperti yang dia
sarankan. Jika memungkinkan, akan lebih “ketat” jika mengukur
wilayah tersebut secara langsung. Namun, satu-satunya bangun yang ia
tangani dengan cara ini adalah lingkaran, yang menunjukkan bahwa
luasnya sama dengan hasil kali keliling dan setengah jari-jarinya.
Karena Clairaut tidak ingin menggunakan metode kelelahan
Yunani dan argumen reductio yang menyertainya, ia memutuskan
untuk menggunakan “fakta” bahwa lingkaran adalah poligon dengan
banyak sisi yang tak terhingga. Jadi, pertama-tama ia menunjukkan
bahwa luas setiap poligon beraturan yang terdapat dalam lingkaran
adalah sama dengan keliling dikalikan setengah apotema dan kemudian

17
mencatat bahwa jika jumlah sisinya tak terhingga, maka luas, keliling,
dan apotema poligon tersebut menjadi sama dengan luas, keliling, dan
jari-jari lingkaran masing-masing. Pada bagian bukunya tentang
geometri padat, ia juga menganggap piramida persegi terdiri dari
banyak irisan tak terhingga yang sejajar dengan alasnya dan
berargumen bahwa dua piramida dengan alas yang sama dan tinggi
yang sama memiliki volume yang sama. Seperti yang telah kita lihat,
argumen yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang tidak dapat
dipisahkan ini sudah ada sejak beberapa ribu tahun yang lalu. Namun,
untuk menunjukkan bahwa volume dua piramida dengan tinggi yang
sama adalah alasnya satu sama lain, Clairaut mengajukan argumen
yang lebih ketat, yang pada dasarnya menggunakan metode
Archimedean. Berdasarkan hasil ini, ia menurunkan rumus V = (1/3)h
B untuk volume piramida dengan tinggi h dan alas B dengan memulai
dengan penguraian sebuah kubus menjadi enam piramida sama besar
yang masing-masing memiliki titik sudut di tengahnya. Dia kemudian
menghitung volume bola berjari-jari r dengan mencatat bahwa bola
tersebut terdiri dari banyak piramida yang tak terhingga banyaknya,
masing-masing tingginya r. Karena jumlah luas alas piramida adalah
luas permukaan bola, volume yang diinginkan adalah sepertiga jari-jari
dikalikan luas permukaan. Untuk mendapatkan rumus luas permukaan
bola, Clairaut menggunakan argumen yang melibatkan kerucut yang
sangat kecil, yang luasnya telah ditentukan melalui argumen lain yang
menggunakan bilangan yang sangat kecil.

II. Postulat Paralel


Abad ke-18 menyaksikan minat baru dalam upaya untuk
menurunkan secara "ketat" postulat paralel Euclid dari aksioma dan
postulat yang tersisa dan dengan demikian menunjukkan bahwa Euclid
tidak perlu mengambil postulat kelima yang tidak terbukti dengan
sendirinya. Di antara mereka yang menulis mengenai hal ini adalah
Girolamo Saccheri (1667-1733) dan Johann Lambert.
 Saccheri dan Postulat Paralel

18
Saccheri masuk ordo Jesuit pada tahun 1685 dan kemudian
mengajar filsafat di Genoa, Milan, Turin, dan kemudian di Universitas
di Pavia, dekat Milan, di mana dia memegang kursi matematika sampai
kematiannya. Pada tahun 1697, ia menerbitkan sebuah karya di bidang
logika yang berisi studi tentang jenis penalaran salah tertentu yang
dimulai dengan hipotesis yang tidak sesuai satu sama lain. Pada
akhirnya, dia diarahkan pada pertimbangan postulat Euclid dan studi
tentang apakah alternatif postulat paralel Euclid akan kompatibel atau
tidak dengan aksioma dan postulat yang tersisa. Penelitian inilah yang
akhirnya diterbitkan Saccheri pada tahun 1733 dalam karyanya
Euclides ab omni naevo vindicatus (Euclid Freed of All Blemish).
Saccheri membahas "cacat" postulat paralel di bagian pertama karya
ini. Pada bagian kedua ia mempertimbangkan dua "cacat" lainnya,
yang satu berkaitan dengan keberadaan proporsional keempat, dan
yang lainnya berkaitan dengan penggabungan rasio.

Tujuan Saccheri di Bagian Pertama, satu-satunya bagian yang


perlu dipertimbangkan di sini, adalah "dengan jelas
mendemonstrasikan aksioma Euclidean yang disengketakan 4 dengan
berasumsi bahwa aksioma tersebut salah dan kemudian
menurunkannya sebagai konsekuensi logis. Saccheri memulai dengan
meninjau segi empat ABCD dengan dua sisi yang sama besar CA dan
DB, keduanya tegak lurus atas AD, dianggap segi empat yang sama
sekitar 600 tahun sebelumnya oleh al-Khayyam" (Gbr. 20.3). Hanya
dengan menggunakan proposisi Euclidean yang tidak memerlukan
postulat paralel, Saccheri dengan mudah menunjukkan bahwa sudut di
C dan D adalah sama besar. Ada tiga kemungkinan untuk sudut-sudut
ini: keduanya siku-siku, keduanya tumput, atau keduanya lancip.
Saccheri menyebut kemungkinan-kemungkinan ini berturut-turne
sebagai hipotesis sudut siku-siku, hipotesis sudut tumpul, dan hipotesis
sudut lancip. Dia kemudian menunjukkan bahwa hipotesis ini masing-
masing ekuivalen dengan ruas garls CD yang sama dengan, lebih kecil,
atau lebih besar dari ruas garis AB. Adalah "jetas" bagi Saccheri, dan
juga hagi semua orang yang mempertimbangkan pertanyaan ini di

19
masa lalu. behwa satu-satunya kemungkinan yang "benar" adalah
hipotesis sudut siku siku, karena hal ini, pada kenyataannya, tersirat
dalam postulat paralel. Dua hipotesis lainnya berasal dari asumsi
bahwa postulat paralel Itu salah. Saccheri bermaksud untuk
mendapatkan postulat paralel dari masing-masing hipotesis "satah" ini,
dengan hanya menggunakan aksioma Euclid yang terbukti dengan
sendirinya", sehingga menunjukkan bahwa setiap kemungkinan
mengarah pada kontradiksi.

Saccheri memulai dengan membuktikan bahwa jika salah maka


itu berlaku untuk semua. Dia kemudian melanjutkan hipotesis
segiempat,
Diberikan sembarang segitiga ABD yang siku-siku di B;
memanjangkan DA ka sembarang titik X, dan melalui A tegak. H AC
tegak lurus AB, titik H berada dalam sudut XAB. Saya katakan sudut
luar XAH akan sama dengan, atau lebih kecil, atau lebih besar dari
sudut dalam dan berlawanan dengan ADB, ergantung apakah hipotesis
sudut siku-siku, atau sudut tumpul, atau sudut lancip benar, dan
sebaliknya.

20
Pembuktian Saccheri memanfaatkan berbagai proposisi Elemen
Euclid, Buku L la memulai dengan asumai bahwa AC sama dengan BD
dan menghubungkan CD, sehingga membentuk segiempat Saccheri
ABCD (Gbr. diatas). Berdasarkan hipotesis sudut siku-siku, CDAB.
Oleh karena itu ADB DAC XAH, dan kasus pertama terbukti.
Berdasarkan hipotesis sudut tumpul, CD <AB. Maka XAH DAC ADB
dan kasus kedua terbukti.
Demikian pula dengan hipotesis sudut lancip, CD > AB, dan
pernyataan tentang sudut berikut ini. Kebalikannya. dibuktikan dengan
argumen-argumen yang hampir sama singkatnya. Proposisi ini
mengarah pada proposisi yang lebih penting:
Dalam segitiga siku-siku apa pun, dua sudut lancip yang
tersisa, jika digabungkan, sama dengan satu sudut siku-siku, dalam
hipotesis sudut siku siku; lebih besar dari satu sudut siku-siku, dalam
hipotesis sudut sumpul; tetapi kurang dalam hipotesis sudut lancip.
Karena menurut hipotesis mana pun, sudut XAH dan HAD
sama besar dengan dua sudut siku-siku, sedangkan sudut HAB adalah
sudut siku-siku, sudut XAH dan DAB sama besarnya dengan satu
sudut siku-siku. Hasilnya kemudian langsung dari Proposisi VIII.
Sayangnya, ada masalah dengan teorema ini yang ternyata tidak
disadari oleh Saccheri. Pernyataan teoremanya mengatakan bahwa
kedua sudut tidak siku-siku dalam segitiga adalah lancip. Faktanya, hal
ini mengikuti Elemen 1-17 yang menyatakan bahwa dua sudut segitiga
mana pun kurang dari dua sudut siku-siku. Sebagaimana dicatat dalam
Bab 3, teorema tersebut bergantung pada asumsi yang digunakan oleh
Euclid tetapi tidak pernah dinyatakan secara eksplisit -bahwa garis
lurus dapat diperpanjang hingga panjang tertentu, sebuah asumsi yang
ternyata tidak valid berdasarkan hipotesis sudut tumpul.
Meskipun Saccheri tidak mengetahui hasil garis lurus, dia
membuktikan bahwa hipotesis sudut tumpul mengarah pada
kontradiksi Elemen 1-17 dengan terlebih dahulu
mendemonstrasikannya, baik dalam kasus hipotesis sudut siku-siku
(Proposisi XI) atau bahwa dari sudut tumpul (Proposisi X01). bahwa
21
jika garis AP memotong PL pada sudut siku-siku dan AD pada sudut
lancip, maka AD pada akhirnya akan memotong PL, la
membuktikannya dengan mengambil titik M1, M2, M3..... sepanjang
AD dengan AM1 = M1M2 = M2M3... dan menunjukkan bahwa jika N i
adalah kaki tegak lurus dari Mi ke AP untuk setiap i, maka AN1 <N1N2
< N2N3<... Oleh karena itu, beberapa Ni akan terletak di luar titik P dan
oleh karena itu AD memotong PL. di suatu titik antara Mi-1 dan Mi.

Saccheri sekarang dapat membuktikan postulat paralel Euclid


berdasarkan hipotesis berikut:

Jika garis lurus XA (dengan panjang tertentu berapa pun


besarnya) bertemu dengan dua garis lurus AD, XL. sehingga
membentuk sudut dalam XAD, AXL pada sisi yang sama kurang dari
dua sudut siku-siku (Gbr. 20.6), saya katakan bahwa keduanya,
meskipun tidak ada sudut yang siku- siku, akan bertemu di suatu titik
di sisi sudut tersebut, dan tentu saja pada jarak yang terbatas, jika
hipotesis mana pun berlaku, yallu sudut siku-siku atau sudut tumpul.

Sekali lagi, pembuktiannya bergantung pada Elenmen 1-17.


Karena salah satu sudut, katakanlah AXL, adalah lancip, maka AP
dapat dijatuhkan tegak lurus pada XL, yang menurut proposisi
tersebut, terletak pada sisi sudut lancip AXL Karena delam hipotesis
mana pun kedua sudut lancip PAX dan PXA tidak lebih kecil dari

22
sudut siku-siku, jika kedua sudut tersebut dikurangkan dari jumlah
sudut XAD dan AXL. sudut DAP yang tersisa akan lebih kecil dari
sudut siku-siku, Dalil XI dan XII kemudian memungkinkan Saccheri
menyimpulkan bahwa kedua garis tersebut akan berpotongan.

Namun sekarang, karena sudut lancip segitiga AP X,


berdasarkan hipotesis sudut tumpul, lebih besar dari satu sudut siku-
siku, Saccheri dapat memilih sudut lancip PAD, yang bersama-sama
dengan kedua sudut tersebut, membentuk dua sudut siku-siku.
Berdasarkan Proposisi XII, garis AD akhirnya memotong XP dan
diperpanjang di, katakanlah. L. Selanjutnya, dua sudut segitiga XAL
itu sendiri berjumlah dua sudut siku-siku, bertentangan dengan 1-17.
Dan tentu saja, karena postulat paralel telah dibuktikan, Saccheri
menggunakannya untuk membuktikan, seperti Euclid dalam Buku
Elemen 1. bahwa ketiga sudut suatu segitiga sama besar dengan dua
sudut siku-siku, yang bertentangan, melalui Proposisi IX, hipotesis dari
sudut tumpul itu sendiri. Oleh karena itu, seperti yang dia katakan,

Hipotesis sudut tumpul sama sekali salah, karena la


menghancurkan dirinya sendiri.

Saccheri selanjutnya menunjukkan bahwa hipotesis sudut siku-


siku, sudut tumpul, dan sudut lancip masing-masing setara dengan
hasil bahwa jumlah sudut suatu segitiga sama dengan, lebih besar dari,
atau kurang dari dua sudut siku-siku dan bahwa jumlah sudut siku-siku
adalah sama dengan, lebih besar dari, atau kurang dari dua sudut siku-
siku. sudut-sudut suatu segiempat sama dengan, lebih besar dari, atau
kurang dari empat sudut siku-siku. Dia kemudian melanjutkan untuk
menyelidiki lebih detail konsekuensi dari hipotesis sudut lancip.
Namun di sini, ia tidak dapat memperoleh postulat paralel sebagai
konsekuensinya. Namun, dia mendapatkan hasil menarik lainnya,
misalnya, Jika garis lurus AH tegak lurus terhadap suatu garis lurus
AB, betapapun kecilnya, saya katakan bahwa berdasarkan hipotesis
sudut lancip tidak mungkin benar bahwa setiap garis lurus BD yang

23
memotong AB pada sudut lancip pada akhirnya akan bertemu AH yang
dihasilkan (Ara. 20.7).

proporsisi XVII

Misalkan BM juga tegak lurus AB. Jatuhkan garis tegak lurus


dari Mke AH yang memotong garis tersebut di H. Karena jumlah sudut
suatu segi empat kurang dari empat sudut siku-siku, maka sudut BMH
adalah lancip. Demikian pula jika BX ditarik dari B tegak lurus HM
dan memotong garis tersebut di D, maka sudut XBA juga lancip.
Namun sekarang perpanjangan BD tidak dapat memotong
perpanjangan. AH karena, sudut di H dan D keduanya siku-siku, hal ini
bertentangan dengan Elemen 1-17.

Karena Proposisi XVII menyiratkan bahwa ada dua garis lurus


pada bidang yang tidak bertemu, Saccheri dapat menunjukkan dalam
Proposisi XXIII bahwa untuk garis-garis tersebut, keduanya
mempunyai garis tegak lurus yang sama atau "keduanya semakin
mendekat satu sama lain. "5 Lebih jauh lagi, dalam kasus terakhir,
jarak antar garis menjadi lebih kecil dari panjang yang ditentukan;
artinya, garis-garis tersebut tidak menunjukkan gejala. Saccheri
kemudian dapat membuktikan dalam Proposisi XXXII bahwa jika ada
garis BX yang tegak lurus dengan ruas garis AB, maka terdapat sudut
lancip tertentu BAX sehingga garis AX "hanya pada jarak tak
terhingga bertemu dengan BX,"6 sedangkan garis-garis yang
membentuk sudut lancip lebih kecil dengan BA memotong BX dan

24
yang membuat yang lebih besar semuanya mempunyai garis tegak
lurus yang sama dengan BX.

Hipotesis Tentang Sudut Lancip adalah Salah Mutlak,


karena bertentangan dengan sifat garis lurus

Saccheri hampir tidak memberikan "bukti" atas hasil ini.


Faktanya, dia mengakhiri pencariannya dengan proposisi ini hanya
karena dia yakin bahwa postulat paralel pasti benar. Dia hanya menulis
bahwa, berdasarkan hipotesis sudut lancip, pasti ada dua garis lurus
yang pada akhirnya berjalan bersama "menjadi garis lurus yang satu
dan sama, yang benar-benar menerima, pada satu titik yang jauhnya
tak terhingga, sebuah garis tegak lurus yang sama pada bidang yang
sama, dengan mereka."7 Namun kemudian, setelah berpikir ulang
mengenai masalah ini, ia menghabiskan 30 halaman berikutnya untuk
mencoba memberikan pembenaran lebih lanjut atas hasil yang ia
peroleh, dengan menunjukkan bahwa dua garis lurus tidak dapat
menutup sebuah spasi, bahwa dua garis lurus tidak dapat memiliki
sebuah segmen yang sama, dan terdapat garis tegak lurus yang unik
terhadap suatu garis tertentu di suatu titik tertentu semuanya berkaitan
dengan garis lurus berhingga dan tidak ada satupun yang banyak
berkaitan dengan kedua garis lurus tersebut yang keduanya bergabung
dan memiliki garis tegak lurus yang sama. di tak terhingga. Meski
demikian, Saccheri yakin bahwa tujuannya telah tercapai.

 Lambert dan Postulat Paralel

25
Johann Lambert, setelah mempelajari setidaknya ringkasan
karya Saccheri, berusaha memperbaikinya. Namun karyanya tentang
postulat paralel, Theorie der Parallellinien (Teori Garis Paralel), yang
diselesaikan pada tahun 1766, tidak pernah diterbitkan, mungkin
karena Lambert pada akhirnya tidak puas dengan kesimpulannya.
Dalam buku tersebut, ia membahas segiempat dengan tiga sudut siku-
siku dan membuat tiga hipotesis mengenai sifat sudut keempat, yang
pada dasarnya merupakan tiga hipotesis yang sama seperti yang
dikemukakan Saccheri, bahwa sudut itu bisa siku- siku, tumpul, atau
lancip. Sekali lagi dengan menggunakan prinsip bahwa garis lurus
dapat memiliki panjang yang berubah-rubah. Namun dia mengalami
kesulitan besar dalam menolak hipotesis ketiga. Seperti yang diacatat,
di awal bab ini, "hipotesis ini tidak akan hancur dengan mudah."

Seperti Saccheri, Lambert mulai menyimpulkan berbagai


konsekuensi dari hipotesis tersebut. Hal yang paling mengejutkan
adalah bahwa pada segi empat fundamentalnya, selisih antara 360ÿ dan
jumlah sudutnya sebanding dengan luas segiempat tersebut, yaitu
semakin besar segi empat, semakin kecil jumlah sudutnya. Perhatikan
segi empat ABCD dengan sudut siku-siku di A, B, dan C dan sudut
lancip di D berukuran β. Di titik E antara A dan B, buatlah garis EF
yang tegak lurus terhadap AB. Oleh karena itu, CFE juga bersifat akut.
Jika besarnya α, maka besaran EFD-nya adalah 180 0-α. Tetapi jumlah
sudut EBFD segi empat kurang dari 360 0; jadi, 90+90+180-α+β < 360
atau β < α . Oleh karena itu, jumlah sudut segi empat ABCD lebih kecil
dari jumlah sudut segi empat AECF, seperti yang disebutkan.

Sebagaimana dicatat datan kutipan pembuka bab ini, Lambert


menyimpulkan dari hasil ini bahwa hipotesis ketiga menyiratkan
ukuran absolut panjang, luas, dan volume. Dengan kata lain, jika kita
berasumsi bahwa segi empat AEF C mempunyai AE AC, maka EFC

26
adalah sudut lancip tertentu, suatu sudut yang tidak dapat ditampung
oleh segi empat lain yang serupa. Dengan demikian, ukuran α dari EFC
dapat dianggap sebagai ukuran absolut dari segi empat. Lambert tidak
dapat menyimpulkan ukuran mutlak ini, yaitu, ia tidak dapat
menentukan besar sudut jika AE = AC satu kaki, namun ia menyadari
bahwa hipotesis ini sepenuhnya menghancurkan gagasan tentang
bangur Hal ini juga menyiratkan bahwa selisih antara 180 0 dan jumlah
sudut suatu segitiga, cacat segitiga, sebanding dengan luas segitiga,
Lambert menyadari bahwa hasil serupa juga berlaku pada hipotesis
kedua, dengan cacat digantikan oleh kelebihan jumlah sudut di atas
1800 sehingga jumlah sudutnya lebih besar-Namun dia juga
mengetahui bahwa segitiga bola memiliki sifat yang sama dari 180 0
dan kelebihan tersebut sebanding dengan luas. la kemudian
berargumentasi dengan analogi: "Oleh karena itu, saya seharusnya
mengajukan usul bahwa hipotesis ketiga ada di permukaan bola
imajiner."

Lambert meninggalkan studinya tentang postulat paralel Euclid


setelah dia merasa bahwa dia tidak berhasil menyangkal hipotesis
sudut lancip, meskipun tampaknya dia yakin bahwa geometri Euclid
benar untuk ruang. Namun demikian, la percaya bahwa karena
geometri hipotesis sudut tumpul tercermin dalam geometri bola, maka
bola dengan jari-jari imajiner akan menjalankan fungsi yang sama
untuk hipotesis sudut lancip. Meskipun pada tahun 1770 ia telafı
memperkenalkan fungsi hiperbolik sebagai analog kompleks. dari
fungsi lingkaran, dalam arti bahwa cosh i x = cos x dan sinh i x = i sin
x, ia tidak dapat menerapkan fungsi-fungsi ini untuk mengembangkan
geometri pada bola imajiner. berdasarkan hipotesis sudut lancip, dia
juga tidak dapat memberikan konstruksi dalam ruang tiga dimensi dari
bola imajiner ini. Baru pada awal abad ke-19, ketika analisis jenis ini
dapat diterapkan pada alternatif postulat paralel, apa yang sekarang
disebut geometri non-Euclidean dikembangkan. Kami menceritakan
kisah itu di Bab 24.

27
III. Geometri Analitik dan Diferensial

Inti dari geometri abad kedelapan belas adalah hubungannya


dengan analisis. Kami mempertimbangkan hal ini dalam karya Euler
tentang geometri analitik kurva pada bidang, dalam karya Clairaut dan
Euler tentang kurva dalam tiga ruang, dan akhirnya dalam karya
Monge pada akhir abad ini yang mensistematisasikan teks subjek yang
dirancang untuk digunakan dalam Politeknik Ecole.

 Geometri Analitik Euler dan Bidang

Volume 2 dari Pengantar Euler dikhususkan untuk apa yang


sekarang kita sebut geometri analitik, dimulai dengan konsep kurva
yang diberikan oleh fungsi. Seperti kebiasaan pada saat itu, Euler
hanya menggunakan satu sumbu, bukan dua sumbu standar kami.
"Kuantitas variabel" x (atau, absis) diletakkan di sepanjang garis lurus
horizontal, sedangkan besaran terikat y ditentukan secara sederhana di
setiap titik di sepanjang garis horizontal tersebut dengan membuat
garis tegak lurus (ordinat) dengan panjang yang sesuai , di atas garis
jika y positif dan di bawah jika y negatif. Euler mencatat bahwa ada
kemungkinan juga ordinat miring terhadap sumbu absis. Kurva yang
mewakili fungsi tersebut kemudian dibangun dengan menghubungkan
ujung-ujung garis lurus tegak lurus y. Seperti yang ditulis Euler,
“setiap fungsi x diterjemahkan ke dalam geometri dan menentukan
suatu garis, baik lurus maupun melengkung, yang sifatnya bergantung
pada sifat fungsinya.

Setelah pembahasan awal tentang kurva secara umum, Euler


mempertimbangkan secara terpisah kurva orde pertama (yaitu garis
lurus), kurva orde kedua (yaitu bagian kerucut), kurva orde ketiga, dan
kurva orde keempat. Euler memberikan persamaan umum garis lurus
dalam bentuk α + βx + Yy = 0, dengan memperhatikan juga bahwa
garis tersebut sebenarnya ditentukan oleh dua rasio β : α dan Y : α.
Jadi, dua titik cukup untuk menentukan tepat satu garis lurus.
Menariknya, Euler tidak memberikan interpretasi geometris terhadap

28
koefisien dalam persamaan garis lurus; tidak ada apa pun tentang
kemiringan atau perpotongan. Namun, dia mencatat bahwa untuk
menemukan titik potong garis pada sumbunya, cukup dengan
menetapkan y= 0 dan menyelesaikannya.

Kurva orde kedua diberikan oleh persamaan


α+βx+Yy+δx²+∈xy+ ζy²=0 dan, untuk alasan yang sama seperti
sebelumnya, kurva tersebut sebenarnya ditentukan oleh lima rasio atau,
dengan kata lain, lima poin seluruhnya tentukan kurva seperti itu. Oleh
karena itu, Euler membahas berbagai sifat kurva orde dua secara
umum, termasuk konsep-konsep seperti diameter konjugasi, fokus,
parameter, simpul, dan metode pembuatan garis singgung, secara alami
tanpa menggunakan kalkulus. Setelah melakukan generalisasi, Euler
menunjukkan cara mengenali tiga jenis bagian kerucut, yaitu elips,
parabola, dan hiperbola, dengan mencatat bahwa perbedaan mendasar
"terletak pada jumlah cabang yang tak terhingga". Elips tidak memiliki
bagian yang bergerak. hingga tak terbatas; parabola memiliki dua
cabang yang tak terhingga, sedangkan hiperbola memiliki empat
cabang. Dia kemudian menurunkan sifat-sifat dasar ketiga jenis ini,
menggunakan persamaannya dan bukan menggunakan pembagian
kerucut. Euler juga membahas dan mengklasifikasikan kurva orde
ketiga dan keempat, memberikan 146 bentuk kuartik yang berbeda.
Dia bahkan berurusan dengan kurva eksponensial (atau logaritmik) dan
kurva trigonometri, termasuk contoh seperti 2y = x i+x (atau y = cos(ln
x)) dan y = xx dan juga membuat sketsa grafik paling awal dari y =
arcsin x. Untuk kurva tertentu, seperti spiral Archimedean, ia
memanfaatkan koordinat kutub, yang dijelaskan dengan cara modern.
Jadi, jika s melambangkan sudut kutub dan panjang jari-jari, maka
persamaan spiral itu adalah z = ae s/n. Demikian pula, persamaanzae
mewakili spiral logaritmik, yang grafiknya juga ditampilkannya.

Euler menutup Pendahuluan dengan perlakuan sistematis


terhadap studi permukaan kuadrat dalam ruang tiga dimensi. Euler
menggunakan bidang koordinat tunggal, dengan hanya satu sumbu
yang ditentukan di atasnya, dan mewakili koordinat ketiga dengan

29
jarak tegak lurus dari suatu titik ke bidang tersebut. Namun dia
menyatakan bahwa penggunaan tiga bidang koordinat dapat dilakukan
dan sering kali menggambarkan suatu permukaan melalui jejaknya di
berbagai bidang tersebut. Dia memberikan persamaan untuk bidang
dalam tiga ruang sebagai α + βx + Yy = α tetapi menjelaskan arti
koefisien hanya dalam kosinus sudut θ antara bidang tersebut dan
bidang xy : соs θ = γ / √ (α2 + β2 + γ2). Dalam pembahasannya tentang
permukaan kuadrat itu sendiri, Euler memulai dengan mencatat bahwa
persamaan umum derajat kedua dalam tiga variabel dapat direduksi
dengan perubahan koordinat ke salah satu bentuk Ax 2 + By2 + Cz² = a2,
Ax2 + By2 = Cz atau Ax2 = By . Hubungan antar koefisien kemudian
menentukan jenis permukaan: ellipsoid, paraboloid elips atau
hiperbolik, hiperboloid elips atau hiperbolik (sekarang disebut
hiperboloid masing-masing satu dan dua lembar), kerucut, dan silinder
parabola.

 Kurva Clairaut dan Ruang

Karya paling awal yang diterbitkan tentang kurva di ruang


angkasa adalah Recherches sur les courbes á double courbure
(Penelitian tentang Kurva Kelengkungan Ganda) tahun 1731 oleh
Clairaut. Bagi Clairaut, kurva dalam ruang hanya dapat diartikan
sebagai perpotongan permukaan tertentu. Oleh karena itu, ia memulai
studinya dengan menangani berbagai kasus permukaan sederhana. Dari
definisi geometrinya ia menunjukkan bahwa bola mempunyai
persamaan x²+y²+2²= a², paraboloid adalah y² + z 2 = ax, dan secara
umum persamaan permukaan revolusi dibentuk dengan memutar kurva
f(x,u) = k di sekitar sumbu x ditemukan dengan mengganti u by √
(y2+z2). Ia mengembangkan gagasan umum tentang kerucut sebagai
permukaan yang dibentuk dengan menghubungkan kurva sembarang
pada bidang ke titik di luar bidang dan menunjukkan bahwa setiap
persamaan dalam tiga variabel yang setiap sukunya mempunyai derajat
yang sama pasti merupakan permukaan berbentuk kerucut. Dan dia
membuktikan hasil umum yaitu sebuah persamaan. dalam tiga variabel
selalu mendefinisikan suatu permukaan yang sifat-sifatnya ditentukan

30
oleh persamaan. Clairaut menerapkan teknik kalkulus diferensial untuk
menemukan garis singgung dan tegak lurus terhadap kurva dalam
ruang dan, oleh karena itu, menganggap kurva tersebut terdiri dari
"sisi-sisi kecil yang tak terhingga". Menentukan garis singgung suatu
kurva di titik N adalah dengan menentukan titik di mana perpanjangan
ruas garis Na yang menghubungkan N dengan titik n yang sangat dekat
pada kurva tersebut memotong bidang xy, atau jika M adalah proyeksi
N ke bidang itu, untuk menentukan panjang Mt. Tentu saja, tujuan
untuk menemukan subtangen Mt ini merupakan analogi langsung dari
metode standar abad ketujuh belas dalam menentukan garis singgung
kurva bidang. Hasilnya analog langsung dengan hasil dalam dua
dimensi juga. meskipun prosedur dalam tiga ruang agak rumit karena
perlunya pemeliharaan. semua garis yang relevan pada bidang yang
sama. Clairaut mengambil Mm sebagai proyeksi pada bidang xy dari
sisi Nn kurva yang sangat kecil dan memperluasnya hingga memenuhi
titik potong r. Kemudian segitiga N t M mendefinisikan bidang di mana
garis singgung berada. Clairaut pun hanya memanfaatkan satu sumbu,
yaitu sumbu. Jadi jika Ap dianggap mewakili koordinat N, koordinat z
dan y masing-masing diwakili oleh panjang MN tegak lurus dari N ke
bidang xy dan panjang MP tegak lurus dari sana ke sumbu. Jika Ap,
nm, pm adalah koordinat-koordinat yang bersesuaian dengan n, dan
selanjutnya jika Ni digambarkan sejajar dengan Mm dan MΗ
digambarkan sejajar dengan Ap, maka Pp melambangkan dx, nh
melambangkan dz, mH melambangkan dy, dan

31
melambangakan Mm. Karena segitiga n N h dan N
M t serupa, Clairaut menurunkan proporsi n h : N h = M N : M t.
Karena N h = M m, maka

Garis singgung Nt sendiri kemudian diberikan oleh :

Selanjutnya tegak lurus N O dari kurva terhadap bidang xz,


yang juga tegak lurus terhadap bidang segitiga Nt M, diberikan oleh

Clairaut memberikan beberapa contoh perhitungan ini, antara lain


ditentukan oleh perpotongan dua silinder parabola ax = y2 dan by = z2.
Dalam hal ini a dx = 2y dy dan b dy = 2z dz. Oleh karena itu

Karena subtangen diberikan oleh

Demikian pula, garis singgung diperoleh

Perhitungan analog dapat dilakukan untuk tegak


lurus NO.

 Euler dan Kurva Ruang dan Permukaan Baru

Baru pada tahun 1775 Euler membahas subjek kurva ruang,


kali ini mengungkapkannya secara parametrik melalui panjang busur s.
Jadi, sebuah kurva diberikan oleh tiga persamaan x = x (s), y = y (s), z
= z (s). Mengambil perbedaan masing-masing membawa Euler ke
ekspresi dx = p ds, dy = q ds, dz = r ds dari mana ia memperoleh hasil

32
p²+q+r² = 1. Fungsi p, q, r. turunan fungsi koordinat terhadap panjang
busur, merupakan komponen vektor singgung satuan terhadap kurva.
Komponen-komponen ini disebut juga cosinus arah garis singgung
(atau kurva itu sendiri) pada titik tertentu.

Kelengkungan kurva bidang di suatu titik P antara lain


didefinisikan oleh Newton sebagai kebalikan dari jari-jari lingkaran
osilasi yang bertemu dengan kurva di P. Untuk menentukan
kelengkungan kurva ruang, Euler menggunakan satuan bola yang
berpusat di suatu titik (x(s), y(s), z(s)). Jika "vektor satuan” (p, q, r)
pada nilai parameter s dan s + ds, keduanya dianggap berasal dari
pusat tersebut, berbeda sebesaran berada pada bola yang sama dengan

ds', maka kelengkungan pada titik tersebut didefinisikan sebagai ,


suatu nilai yang mengukur bagaimana kurva di suatu titik berbeda
dengan lingkaran besar pada bola, karena vektor ds' diberikan oleh

Itu mengikuti itu

Euler selanjutnya mendefinisikan jari-jari kelengkungan ρ sebagai


kebalikan dari kelengkungan. Dengan demikian,

Ternyata, meski baru terbukti pada abad kesembilan belas,


kelengkungan merupakan salah satu dari dua sifat penting kurva ruang.
Kuantitas lainnya adalah torsi, yang mengukur laju penyimpangan
kurva dari kurva bidang. Jika kelengkungan dan torsi diberikan sebagai

33
fungsi panjang busur sepanjang suatu kurva, maka kurva tersebut
ditentukan sepenuhnya hingga posisi sebenarnya dalam ruang.

Lima belas tahun sebelumnya, Euler telah memulai geometri


diferensial permukaan. dengan makalah berjudul Recherches sur la
courbure des permukaan (Research on the Curvature of Surfaces).
Dalam karya tersebut Euler mencatat bahwa meskipun metode untuk
menemukan kelengkungan kurva bidang pada suatu titik tertentu sudah
dikenal luas, bahkan untuk menentukan kelengkungan sulit untuk
mencapai suatu permukaan di ruang angkasa pada suatu titik. Setiap
bagian permukaan oleh sebuah bidang yang melalui titik tertentu
memberikan kurva yang berbeda, dan kelengkungan masing-masing
bagian ini mungkin berbeda, bahkan jika seseorang membatasi diri
pada bagian bidang yang tegak lurus terhadap permukaan. Dalam
makalahnya, Euler menghitung berbagai kelengkungan ini dan
membangun beberapa hubungan di antara mereka. Namun pertama-
tama, ia perlu mengkarakterisasi bidang-bidang yang tegak lurus
terhadap permukaan, yaitu bidang-bidang yang melalui garis normal ke
permukaan pada titik P. Ia menunjukkan bahwa bidang dengan
persamaan z = αy – βx + γ tegak lurus terhadap permukaan yang

didefinisikan oleh z = f(x, y) jika . Dengan


mendefinisikan bidang utama sebagai bidang melalui P yang tegak
lurus terhadap permukaan dan bidang xy, Euler kemudian
mendemonstrasikan bahwa jika suatu bidang tertentu yang tegak lurus
terhadap permukaan membentuk sudut φ dengan bidang utama, maka
kelengkungan bagian yang dibentuk oleh bidang tersebut bidang
diberikan oleh κφ = L + M cos 2φ + N sin 2φ dimana L, M, N hanya
bergantung pada turunan parsial z di P. Mengambil turunan dari
persamaan ini diperoleh bahwa kelengkungan maksimum dan
minimum terjadi pada saat −2M sin 2φ + 2N cos 2φ = 0 atau pada saat
tan 2φ = N/M. Namun karena tan (2φ + 180◦) = tan 2φ, Euler
menyimpulkan bahwa kelengkungan maksimum terjadi pada nilai φ
tertentu, kelengkungan minimum terjadi pada φ + 900. Dia akhirnya
dapat menunjukkan bahwa jika k1 adalah kelengkungan maksimum dan

34
k₂ minimum, dan jika kelengkungan minimum terjadi pada bidang
utama, maka kelengkungan setiap bagian yang dibuat oleh bidang yang
membentuk sudut φ terhadap bidang utama diberikan oleh

1 1
k= ¿+K2) - = ( K 1−K 2 ) cos 2 φ
2 2

 Karya Monge

Gaspard Monge (1746-1818) mensistematisasikan hasil dasar


geometri analitik dan diferensial dan menambahkan banyak materi
baru dalam beberapa makalah mulai tahun 1771 dan akhirnya dalam
dua buku teks yang ditulis untuk murid-muridnya di École
Polytechnique pada akhir abad tersebut. Misalnya, dalam makalah
yang diterbitkan pada tahun 1784 Monge menyajikan untuk pertama
kalinya bentuk titik-kemiringan persamaan garis: "Jika seseorang ingin
menyatakan fakta bahwa garis ini [dengan persamaan titik-potongan
kemiringan y = ax + b] melalui titik M yang koordinatnya x' dan y'
yang menentukan besaran b, maka persamaannya menjadi y-y' =
a(x -x'), dimana a adalah garis singgung sudut yang dibentuk garis
lurus tersebut dengan garis x’s." Sebaliknya, teks deskriptif Géométrie
Monge tahun 1799 tidak membahas aljabar sama sekali tetapi
mengandalkan gagasan dasar geometri murni. Monge menguraikan
banyak teknik untuk merepresentasikan objek tiga dimensi dalam dua
dimensi. Dia secara sistematis menggunakan proyeksi dan transformasi
lain dalam ruang untuk menggambar dua dimensi berbagai aspek figur
ruang. Dia menjelaskan secara rinci konsep-konsep seperti bidang
singgung suatu permukaan, perpotongan dua permukaan, gagasan
tentang permukaan yang dapat dikembangkan (permukaan yang dapat
diratakan menjadi suatu bidang tanpa distorsi), dan kelengkungan
suatu permukaan.

Dalam teks keduanya, Application de l'analyse á la géométrie


tahun 1807, yang berkembang dari catatan kuliah yang berasal dari
tahun 1795, Monge menunjukkan bagaimana menerapkan analisis pada
geometri. Bagian pertama dari karya ini, yang hanya menggunakan

35
aljabar, berisi presentasi rinci paling awal tentang geometri analitik
garis dalam ruang dua dan tiga dimensi serta bidang dalam ruang tiga
dimensi. Jadi, Monge menunjukkan bahwa titik-titik dalam ruang
ditentukan dengan mempertimbangkan garis tegak lurus terhadap
masing-masing tiga bidang koordinat. Suatu garis dalam ruang
ditentukan oleh proyeksinya pada dua dari tiga bidang tersebut,
persamaan proyeksi pada bidang xy, misalnya, diberikan dalam bentuk
perpotongan lereng atau dalam bentuk titik-kemiringan. Monge
menunjukkan cara mencari perpotongan dua garis, serta cara mencari
garis yang sejajar dengan garis tertentu yang melalui suatu titik tertentu
dan garis yang melalui dua titik tertentu. Ia juga mencatat bahwa garis-
garis pada bidang dengan persamaan y=ax+α dan y=a'x+a' tegak lurus
jika aa' = -1.

Monge menulis persamaan bidang dalam bentuk z = ax + by +


c, dengan a dan b adalah kemiringan garis perpotongan bidang ini
dengan bidang xz dan bidang yz, dan dalam bentuk simetris Ax + By +
C + D = 0, dimana koefisien A, B, dan C menentukan kosinus arah
sudut antara bidang dan bidang koordinat. Dia kemudian melanjutkan
dengan membahas semua masalah umum yang berhubungan dengan
titik, garis, dan bidang, seperti mencari garis normal ke bidang yang
melalui suatu titik tertentu, mencari jarak terpendek antara dua garis,
dan mencari sudut antara dua garis atau di antara sebuah garis dan
sebuah bidang.

Bagian kedua dari teks Monge dikhususkan untuk mempelajari


permukaan. Di sini dia menggunakan seluruh mesin kalkulus untuk
mengembangkan secara analitis semua topik yang telah dia
pertimbangkan dalam karyanya Geometrie Deskriptif. Oleh karena itu,
ia mempertimbangkan secara rinci bagaimana menentukan dari
berbagai jenis deskripsi persamaan diferensial parsial yang mewakili
suatu permukaan tertentu serta bagaimana, dalam kasus tertentu,
mengintegrasikan persamaan tersebut. Untuk mengembangkan
persamaan bidang singgung dan garis normal suatu permukaan, Monge

36
memulai dengan mencatat bahwa persamaan diferensial yang
menyatakan permukaan z = f (x,y) dekat suatu titik (x', y', z') yaitu

dimana turunan parsial dievaluasi pada x' dan y'. Sebaliknya,


persamaan bidang apa pun yang melalui (x', y', z') dapat ditulis sebagai
A (x-x') + B (y-y') + C (z-z') = 0. Untuk bidang ini untuk menjadi
bidang singgung, setiap titik di atasnya yang sangat dekat dengan titik
tertentu juga harus berada di permukaan, yaitu harus memenuhi
persamaan diferensial permukaan tersebut. Jadi, dengan mengambil x-
x' sebagai dx, y-y' sebagai dy, dan z-z' sebagai dz, Monge mencatat
bahwa persamaan A dx + B dy + C dz = 0 harus identik dengan

maka A/C −∂z/∂x, B/C = −∂z/∂y, dan persamaan bidang


singgungnya adalah

Persamaan garis normal terhadap permukaan, yaitu garis


normal terhadap bidang singgung, kemudian dihitung menjadi

Gagasan umum Monge tentang menghubungkan persamaan


diferensial parsial dengan geometri ruang telah mempunyai pengaruh
besar selama bertahun-tahun. Mungkin yang lebih penting lagi,
pengajarannya di Ecole Polytechnique mempengaruhi seluruh generasi
insinyur, matematikawan, dan ilmuwan Perancis.

b) Sejarah Geometri di Abad Kesembilan Belas


i. Geometri Diferensial

37
Setelah memimpin survei di Hanover dari tahun 1820 hingga
1825, dan memperkenalkan berbagai metode baru yang menjadikan
geodesi sebagai ilmu yang diakui, Gauss akhirnya mampu pada tahun
1827 untuk menuliskan di atas kertas hasil pemikirannya selama lebih
dari seperempat abad mengenai subjek permukaan melengkung. .
Gauss mencatat dalam abstrak karyanya Disquisitiones generales circa
superficies. curvas (Investigasi Umum Permukaan Melengkung) itu.
Meskipun para ahli geometri telah memberikan banyak
perhatian pada penyelidikan umum terhadap permukaan lengkung dan
hasilnya mencakup sebagian besar bidang geometri yang lebih tinggi,
subjek ini masih jauh dari kata habis, sehingga dapat dikatakan
demikian. hingga saat ini, namun sebagian kecil dari ladang yang
sangat subur telah dibudidayakan. Melalui solusi masalah, untuk
menemukan semuanya. representasi permukaan tertentu di atas
permukaan lain yang elemen terkecilnya tetap tidak berubah. penulis
berusaha beberapa tahun yang lalu untuk memberikan fase baru pada
penelitian ini. Tujuan dari diskusi ini adalah untuk membuka lebih jauh
sudut pandang baru dan mengembangkan beberapa kebenaran baru
yang dapat diakses.
Gauss telah memecahkan masalahnya dalam menetapkan
kondisi untuk memetakan satu permukaan secara konformal ke
permukaan lainnya (sehingga "elemen terkecil tetap tidak berubah")
pada tahun 1822 dalam sebuah pertanyaan tantangan yang ia usulkan
kepada Copenhagen Scientific Society. Jawabannya adalah bahwa
fungsinya telah agar dapat direpresentasikan sebagai analitik kompleks
dalam parameter yang mewakili dua permukaan. (Gauss,
bagaimanapun, tidak menggunakan teori fungsi kompleks pada saat
itu.) Namun dalam rangka mengembangkan jawaban ini, Gauss
menyadari bahwa gagasan utama yang terlibat dalam studi permukaan
adalah kelengkungan, dan, khususnya, ia menyadari betapa
kelengkungan dapat dihitung berdasarkan deskripsi analitik permukaan
yang bersangkutan.
 Definisi Kelengkungan

38
Gauss memulai Disquisitiones generales-nya dengan gagasan
tentang kelengkungan permukaan melengkung. Dia memutuskan
bahwa dia hanya akan menangani permukaan, atau bagian permukaan,
dengan "kelengkungan kontinu", yaitu permukaan (atau bagian) yang
memiliki bidang singgung di semua titik. Jadi, puncaknya kerucut
tidak akan dipertimbangkan, karena tidak ada bidang singgung, dan
tidak ada kelengkungan, pada titik tersebut. Karena bola adalah
permukaan "model" Gauss, suatu permukaan dengan kelengkungan
konstan yang analog dengan kelengkungan konstan lingkaran pada
bidang, Gauss memutuskan untuk mendefinisikan kelengkungan pada
suatu titik di permukaan dengan membandingkan daerah di sekitar titik
tersebut dengan daerah yang bersesuaian. sekitar suatu titik pada
satuan bola. Kelengkungan adalah properti lokal pada permukaan S.
Bagaimanapun definisinya, jelas bahwa kelengkungan dapat bervariasi
dari titik ke titik. Pada bidang satuan, namun, kelengkungan di setiap
titik ditetapkan pada 1. Oleh karena itu, untuk membuat
perbandingannya, Gauss membuat pemetaan n (sekarang disebut peta
normal Gauss) dari S ke unit lingkup yang ditentukan. sehingga vektor
dari pusat ke q = n (p) sejajar dengan vektor normal ke S di p (yaitu,
ke vektor normal bidang singgung S di p) (Gbr. 24.1). Pemetaan ini
membutuhkan batasan wilayah A dari permukaan S ke wilayah terbatas
(A) bola. Gauss kemudian mendefinisikan kelengkungan total A
menjadi luas n(A), sedangkan ia mendefinisikan konsep yang lebih
penting ukuran kelengkungan pada suatu titik sebagai "hasil bagi
ketika [total] kelengkungan permukaan elemen di sekitar suatu titik
dibagi dengan luas elemen itu sendiri; dan karenanya ini menunjukkan
rasio luas tak terhingga kecil yang bersesuaian I satu sama lain pada
permukaan lengkung dan pada bola." Dalam terminologi yang lebih
modern, Gauss mendefinisikan kelengkungan pada titik p menjadi

( )
.
arean (A )
k (p) = lim
A→ p area A

dimana limitnya diambil ketika daerah A di sekitar p menyusut hingga


ke titik p itu sendiri. Oleh karena itu, kelengkungan total suatu daerah

39
A sama dengan∫ k dφ, dimana dφ adalah elemen luas permukaan dan
integralnya diambil alih daerah A.

Pembaca modern mungkin mencatat setidaknya dua masalah


dengan definisi Gauss tentang ukuran kelengkungan. Pertama,
bagaimana luas permukaan lengkung sembarang dapat didefinisikan
dan, kedua, dengan asumsi hal ini dilakukan, bagaimana kita
mengetahui bahwa limit, jika ada, tidak bergantung pada cara
penyusutan luas tersebut dilakukan? Gauss tidak mengatasi masalah
ini. Faktanya, ia tidak benar-benar mendefinisikan kelengkungan
sebagai suatu batas tetapi hanya sebagai rasio yang sangat kecil. Dia
kemudian menggunakan intuisi geometrisnya untuk meyakinkan
dirinya sendiri bahwa definisi tersebut masuk akal. Misalnya, jika
permukaan S berbentuk bola dengan jari-jari r, maka luas n(A) sama
dengan 1/r2 dikali luas A (untuk setiap daerah A) sehingga
kelengkungan di setiap titik sama dengan 1/r2. Demikian pula, jika S
adalah sebuah bidang, maka n(A) sama dengan sebuah titik untuk
sembarang daerah A. Oleh karena itu, luasnya adalah 0, begitu pula
dengan kelengkungannya. Hasil yang lebih mengejutkan, namun
meyakinkan Gauss bahwa definisinya benar, terjadi ketika S adalah
silinder sirkular. Dalam hal ini, bayangan n(A) suatu daerah A hanyalah
sebuah kurva pada bola dan dengan demikian mempunyai luas 0. Oleh
karena itu, kelengkungan silinder, seperti halnya bidang, juga adalah 0.
Mengapa hasil ini adalah masuk akal dibahas segera.

 Kelengkungan dan Teorema Egregium


Gauss dapat menggunakan definisinya untuk menghitung
kelengkungan dalam persamaan permukaan tertentu. Karena bidang

40
singgung S di p sejajar dengan bidang singgung bola satuan di n(p),
maka perbandingan luas n(A) dengan luas A sama dengan
perbandingan luas proyeksi n(A) pada bidang xy terhadap proyeksi A
pada bidang yang sama. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan
daerah segitiga A yang proyeksinya memiliki tiga titik sudut (x, y),
(x + dx, y + dy), (x + δ x, y + δ y), Gauss mencatat bahwa luas segitiga
tersebut adalah (dx kali dy bx). Demikian pula, jika fungsi X(x, y), Y(x,
y) mewakili komposisi proyeksi dengan fungsi normal n, maka segitiga
1
yang bersesuaian untuk n(A) memiliki luas (dX δY −dy δX ). Oleh
2
d XδY –dY δ X
karena itu k =
d x δ y−d y δ x

Sekarang tinggal Gauss menentukan nilai pecahan ini jika


permukaan didefinisikan dengan persamaan z = z(x, y), dengan
persamaan W(x, y, z) = 0, atau dengan persamaan parametrik
x = x(p.q), y = y(p.q), z = z(p, q). Untuk metode representasi pertama,
karena

∂X ∂X ∂Y ∂Y
d X= dx + dy , d Y= dx + dy ,
∂x ∂y ∂x ∂y

∂X ∂X ∂Y ∂Y
δ X= dx+ dy , δY= dx + dy ,
∂x ∂y ∂x ∂y

Gauss menemukan itu

∂ X ∂ Y ∂ X ∂Y
k= −
∂x ∂ y ∂ y ∂x

Maka merupakan perhitungan yang mudah, meskipun


berantakan, untuk menulis ulang ungkapan ini turunan parsial dari z
untuk mendapatkan

2
Z xx Z yy −Z xy
k= 2
(1+ Z 2 +Z 2 )
x y

41
Gauss menghitung ekspresi serupa untuk k ketika permukaan
diwakili oleh persamaan tiga variabel dan persamaan parametrik. Dia
kemudian mampu memperoleh serangkaian teorema yang indah.

Pertama, ia menunjukkan bahwa ukuran kelengkungan pada


titik p dapat dinyatakan dalam kelengkungan dua bagian permukaan
tertentu yang melalui p. Dengan menggunakan pilihan yang sesuai
sumbu, ia menulis ulang persamaan z = z (x, y) dalam bentuk dimana p
= (0, 0, 0) dan zx (0, 0) = zy (0,0) zxy = (0, 0) = 0 Selanjutnya
kelengkungan maksimum dan minimum dari semua kurva yang
dibentuk oleh bagian normal melalui p adalah z xx (0,0) dan 2yy (0 0).
Jadi, ukuran kelengkungan k (p) di p adalah z xxzyy, hasil kali dua
kelengkungan ekstrim pada bagian normal.

Kedua, Gauss membuktikan teorema egregiumnya yang


menyatakan bahwa ukuran kelengkungan gambar tersebut merupakan
invarian isometrik permukaan, yaitu tidak berubah jika permukaan
ditransformasikan dengan transformasi menjaga jarak. Untuk mencapai
hal ini, ia mengambil bentuk parametrik representasi permukaan, x =
x(u, v), y = y(u, v), z = z(u, v), himpunan
2 2 2 2 2 2
E=x + y + z , F=x u x v + y u y v + z u z v dan G=x + y + z ,
u u u v v v
menurunkan rumus kelengkungan yang dinyatakan hanya dalam E, F,
G dan turunan parsial orde pertama dan kedua terhadap u dan v. Tidak
sulit untuk menunjukkan bahwa jarak ele- ment ds sendiri juga dapat
dinyatakan dalam besaran berikut: ds2 = dx² + dy² + dz2 = Edu² +
2Fdu dv + Gdv². Jadi, kelengkungan ditentukan oleh elemen jarak.
Gauss kemudian dapat menyatakan teoremanya yang "luar biasa"
bahwa, jika satu permukaan "dikembangkan" ke permukaan lainnya,
yaitu, jika terdapat fungsi satu-ke-satu dari satu permukaan ke
permukaan lainnya yang mempertahankan elemen panjang, maka
besarnya kelengkungan pada titik-titik yang bersesuaian pada kedua
permukaan selalu sama. Misalnya, karena bidang dapat dikembangkan
menjadi silinder, maka kelengkungan silinder sama dengan
kelengkungan bidang, yaitu 0. Gauss menekankan bahwa hasilnya

42
hanyalah permulaan dari metode baru dan penting dalam mempelajari
suatu permukaan

bukan sebagai batas suatu benda padat, tetapi sebagai benda


padat yang fleksibel, meskipun tidak dapat diperluas, yang
salah satu dimensinya seharusnya hilang. [Dengan cara ini]
sifat-sifat permukaan sebagian bergantung pada bentuk yang
dapat kita anggap tereduksi, dan sebagian bersifat absolut dan
tetap tidak berubah, apa pun bentuk kelengkungan permukaan
tersebut. Sifat-sifat terakhir ini, studi yang membuka bidang
baru dan subur bagi geometri, termasuk ukuran kelengkungan
dan kelengkungan integral..... Dari sudut pandang ini,
permukaan bidang dan permukaan yang dapat dikembangkan
pada bidang, misalnya .. permukaan silinder, permukaan
kerucut, dll., pada dasarnya dianggap identik.

Terakhir, Gauss mendemonstrasikan hubungan penting antara


kelengkungan total segitiga yang dibentuk oleh luas geodesi di
permukaan (busur dengan panjang terpendek) dan jumlah sudut dalam
segitiga tersebut. Faktanya, dia menghitung bahwa total kelengkungan
yang dilakukan jk pada segitiga geodesik sama dengan A+B+C-π,
dengan A, B, C adalah ukuran ketiga sudut segitiga tersebut. Misalnya,
pada permukaan dengan kelengkungan positif konstan, setiap segitiga
geodesik memiliki jumlah sudut lebih besar dari r, sedangkan pada
permukaan dengan kelengkungan negatif konstan, setiap segitiga
memiliki jumlah sudut kurang dari 7. Hasil Gauss adalah generalisasi
dari hasil yang terkenal bahwa pada satuan bola, dimana jumlah
kelengkungan suatu daerah sama dengan luasnya, jumlah sudut suatu
segitiga yang terdiri dari busur lingkaran besar (geodesik) lebih besar
dari ir dengan nilai yang sama dengan luas segitiga,

Risalah Gauss tentang geometri diferensial permukaan tidak


hanya penting tetapi juga memiliki konsekuensi besar bagi penelitian
di masa depan. Secara khusus, ternyata hubungan jumlah sudut suatu
segitiga dengan geometri intrinsik pada permukaan membantu

43
menjawab pertanyaan tentang validitas postulat paralel Euclid. Lebih
jauh lagi, karakterisasi Gauss terhadap suatu permukaan berdasarkan
elemen panjangnya, yang pada gilirannya dapat dinyatakan dalam
besaran E, F, G. terbukti menjadi awal dari teori umum manifold n-
dimensi, banyak aspek penting di antaranya dikembangkan dalam
karya Riemann sekitar 30 tahun kemudian.

ii. Geometri Non-Euclidean

Dengan perkembangan yang terjadi, apakah obyek ilmu


geometri tetap bumi, dimensi ruang dan waktu, atau ada obyek lain
yang menjadi dasar pembelajaran dari ilmu geometri.

Yang dimaksud dengan geometri non euclid adalah salah satu


dari dua geometri yang diperoleh dengan meniadakan paralel postulat
euclid, yaitu hiperbolik dan geometri eliptik. Sedangkan menurut
Anton Tirta S, dan Anwar Sadat (2010) geometri non euclid adalah
sebuah system yang konsisten baik secara definisi, asumsi, dan bukti-
bukti yang menggambarkan objek-objek sebagai titik-titik, garis dan
dua bidang.

Perlu diketahui bahwa kemunculan geometri non euclid ini


diawali dari adanya perbedaan pendapat para matematikawan tentang
postulat euclid kelima yang disebut postulat paralel. Postulat tersebut
tercantum dalam buku yang ditulis oleh Euclid pada tahun 300 SM
yang berjudul The Element, yang berbunyi "jika dua buah garis
dipotong oleh sebuah garis lain sedemikian sehingga membuat jumlah
sudut dalam sepihak kurang dari 180, maka kedua garis itu
berpotongan pada pihak yang jumlah sudut dalam sepihaknya kurang
dari 180".

Ingatlah bahwa pada abad kedelapan belas, baik Saccheri


maupun Lambert berusaha membuktikan postulat paralel Euclid
dengan berasumsi bahwa postulat tersebut salah dan mencoba mencari
kontradiksi. Saccheri yakin bahwa usahanya telah berhasil, namun

44
Lambert menyadari bahwa usahanya gagal. Keduanya menyerang
masalah tersebut melalui cara sintetik, mencoba menggunakan
metodologi Euclid untuk menunjukkan bahwa ia telah mengambil dalil
yang tidak perlu. Abad kesembilan belas. namun, dengan
meningkatnya penggunaan analisis untuk memecahkan segala macam
masalah, muncul pula pendekatan baru untuk masalah ini. Dan yang
cukup menarik, fungsi hiperbolik Lambert-lah yang digunakan untuk
membuat hubungan antara analisis dan geometri baru, suatu hubungan
yang telah dilewatkan oleh Lambert sendiri.

 Taurinus dan Geometri Log-Bola


Lambert telah mencatat bahwa hipotesis sudut lancip
tampaknya berlaku pada permukaan bola dengan radius imajiner, tetapi
Franz Taurinus (1794-1874), adalah orang yang mandiri. berarti yang
menekuni matematika sebagai hobi, yang sebenarnya membuat
hubungan ini secara eksplisit dalam sebuah karya tahun 1826. Taurinus
memulai dengan rumus trigonometri bola yang menghubungkan sisi
dan sudut segitiga bola sembarang pada bola berjari-jari K,

rumus yang kami punya sudah terlihat dalam karya al-Battani:

a b c b c
cos =cos cos +sin sin cos A ,
K K K K K

dimana segitiga tersebut memiliki sisi a, b, c dan sudut yang


berhadapan A, B, C (Gbr. 24.2). Mengganti K dengan iK-yaitu,
membuat jari-jari bola menjadi imajiner (apa pun artinya) dan
mengingat cos i x = cosh x dan sin i x = sinh x, Taurinus memperoleh
rumus baru

45
a b c b c
cosh =cosh cosh −sinh sinh cos A ,
K K K K K

Taurinus menyebut geometri yang ditentukan oleh rumus ini


sebagai "geometri log-sferis", namun ia menyadari bahwa geometri ini
tidak mungkin dilakukan pada bidang datar. Menjelajahi konsekuensi
rumus memberikan gambaran tentang sifat-sifat geometri ini. Misalnya
segitiga sama sisi (abc), maka rumusnya menjadi

a 2 a 2 a
cosh =cosh −sinh cos A
K K K

Atau

a a
−¿ cosh
K K a
cosh A=c osh 2 =cosh A=cosh ¿ ¿ ¿ ¿ ¿
a K
sinh2
K

a
Karena cosh >1, maka cos A ¿1/2 dan oleh karena itu A < 60°.
K
Dengan kata lain, jumlah sudut segitiga sama sisi dalam geometri ini
kurang dari 180°. Sebaliknya, mudah untuk lihat bahwa ketika sisi-
sisinya mengecil atau jari-jari K bertambah besar, sudut A mendekati
60° dan geometrinya mendekati geometri Euclid. Faktanya, kita juga
dapat menunjukkan (dengan menggunakan perluasan deret pangkat
yang sesuai) bahwa dalam limit sebagai K mendekati∞ . Rumus
Taurinus (Persamaan 24.1) direduksi menjadi huku euclidean tentang
cosinus a2 = b2 + c2 – 2bc cos A.

Rumus penting kedua dari trigonometri bola yang


menghubungkan sudut dan sisi segitiga bola adalah

a
cos A = - cos B cos C + sin B sin C cos
K

Untuk kasus khusus dimana A = 0 dan C = 90 0, rumus 24.2 direduksi


menjadi

46
a 1
cosh =
K sin B

Tentu saja, segitiga dengan sudut siku-siku di C dan sudut nol


derajat di A tidak ada dalam geometri Euclid. Namun, ingat bahwa
Saccheri telah menyadari bahwa hipotesis sudut lancip mengarah pada
konsep garis lurus asimtotik. Jadi, segitiga Taurinus harus dianggap
sebagai segitiga yang kedua sisinya asimtotik (Gbr. 24.3). Sudut B dan
panjangnya. a dari sisi ketiga kemudian dihubungkan melalui rumus
a
sin B=sech , Seseorang dapat menulis ulang rumus ini dalam bentuk
K
−a
B K
tan ¿e
2

Sebuah formula yang menjadi dasardalam karya Lobachevsky

Rumus 24.2 juga menunjukkan bahwa jika seseorang membuat


segitiga siku-siku sama kaki dan membaginya menjadi dua segitiga
siku-siku dengan menggambar tinggi a, maka hubungan antara a dan
a
sudut alas A dari segitiga asal diberikan oleh cosh ¿ √ 2 cos A (Gbr.
K
24.4). Oleh karena itu, ketinggian maksimum a yang mungkin terjadi
pada segitiga siku-siku sama kaki terjadi jika A = 00, yaitu jika kedua
kaki segitiga asimtotik terhadap sisi miring. Dalam hal
h h
cosh = √ 2 atau K =
K ln (1+ √ 2 ¿ )¿

Taurinus mencatat lebih lanjut bahwa luas segitiga sebanding dengan


cacatnya (seperti yang ditemukan Lambert), panjang keliling lingkaran
r
berjari- jari r adalah 2 π K sinh
K

47
2 r
dan luas lingkaran berjari-jari r adalah 2 π K ( cosh −1) Patut
K
dicatat bahwa hasil-hasil terakhir ini, serta sebagian besar karya
Lobachevsky dan Bolyai, akan dibahas segera. semuanya telah
dikerjakan oleh Gauss lebih awal di makalah pribadinya. Gauss,
bagaimanapun, mungkin karena dia tidak merasa bahwa dia telah
membuktikan semua hasil yang beragam sesuai standarnya yang
tinggi, jadi dia tidak pernah mempublikasikan apapun mengenai subjek
tersebut secara langsung. Di sisi lain, karyanya yang berkaitan dengan
kelengkungan permukaan dengan cacat atau kelebihan segitiga pasti
dirangsang oleh pemikirannya tentang geometri baru ini.

4. Implementasi Sejarah Geometri Di Dalam Pembelajaran Matematika


Metode geometri Babilonia kuno (metode naïve geometry) menjadi jembatan
bagi siswa untuk memahami konsep penyelesaian persamaan kuadrat. Pembelajaran
yang dikembangkan berlangsung melalui serangkaian kegiatan pembelajaran yang
masing-masing menyajikan kepada siswa permasalahan yang harus diselesaikan
dengan menggunakan metode sejarah matematikawan Babilonia kuno, atau yang
disebut metode naïve geometry.

Dalam hal ini yang menjadi fokus desain pembelajaran adalah bagaimana
memahami makna simbol-simbol aljabar melalui serangkaian proses penyelesaian
persamaan kuadrat menggunakan manipulasi geometri untuk menginterpretasikan
permasalahan aljabar. Pembelajaran biasanya terjadi melalui serangkaian kegiatan
yang memiliki banyak tujuan. Yang pertama adalah memahami konsep dasar
persamaan kuadrat melalui pendekatan geometri. Selanjutnya, membangun model dan
memahami bentuk persamaan kuadrat lainnya. Ketiga atau terakhir, temukan
hubungan antara proses manipulasi geometri dan simbol umum aljabar.

Langkah pembelajaran :

48
a. Mengenal metode geometris (naïve geometry)
Pembelajaran dimulai dengan pemberian soal geometri yang diinspirasi dari
permasalahan sejarah (Arithmetica Book I Problem 27 (Radford, 1996)). Berikut
adalah permasalahan pertama pada aktivitas 1.
Diberikan sebuah persegi dengan Panjang sisi 10 satuan. Buatlah
persegipanjang yang kelilingnya sama (dengan keliling persegi)! Gambarkan hasil
pekerjaanmu pada tempat yang disediakan.
Siswa diminta untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan sebarang
metode yang mereka pahami. Rata-rata siswa menyelesaikan permasalahan
tersebut dengan metode trial and error atau mencoba-coba nilai yang mungkin.
Selanjutnya dengan menggunakan alat peraga berupa potongan kertas guru
menunjukkan cara penyelesaian dengan menggunakan metode geometris, Naïve
Geometry, melalui manipulasi bentuk persegi menjadi persegipanjang.
Selanjutnya siswa disajikan permasalahan lanjutan di bawah ini:
Tentukan panjang dan lebar sebuah persegipanjang apabila diketahui luasnya
adalah 84 satuan luas dan kelilingnya adalah 40 satuan?
Dengan memecahkan masalah tersebut, siswa memahami bahwa dengan
melakukan manipulasi geometris dengan metode Naïve Geometry, panjang
persegipanjang diperoleh dengan menambahkan sisi persegi terbentuk di awal
dengan sisi yang dipotong dari persegi (dibuang untuk mencocokkan area persegi
panjang yang diinginkan ). Karena sisi persegi yang terbentuk di awal adalah 10
unit dan sisi persegi yang dihilangkan adalah 4 unit, dimensi persegi panjang
adalah 10 + 4 = 14 (panjang) dan 10-4 = 6 (lebar).

49
Hasil pekerjaan siswa pada permasalahan 2

Selanjutnya pada bagian terakhir pada aktivitas 1, siswa dihadapkan pada permasalahan
yang sama akan tetapi bagian luas yang dihilangkan pada langkah metode geometris bukan berupa
persegi (jika dinyatakan dalam bilangan bulat). Pada kasus ini rata-rata siswa belum mampu untuk
menyelesaikannya, terkait dengan pemahaman mereka tentang bilangan rasional yang masih belum
sempurna.

Menggunakan metode naïve geometry untuk menyelesaikan permasalahan. Pada tahap ini siswa
dihadapkan pada masalah berikut ini :

Diketahui lebar suatu persegipanjang 4 satuan dan panjangnya tidak diketahui. Jika sebuah
sisi persegi dihimpitkan pada sisi panjang persegipanjang, luasnya gabungan keduanya menjadi 117
satuan luas, tentukan panjang dari persegipanjang tersebut!

Pada permasalahan ini siswa dihadapkan pada penyelesaian masalah dengan manipulasi
geometris yang sama dengan sebelumnya, akan tetapi dengan langkah yang terbalik. Jika
sebelumnya mereka melakukan manipulasi bentuk persegi menjadi persegi Panjang, maka kali ini
manipulasi yang harus mereka lakukan adalah merubah bentuk persegipanjang menjadi persegi
(serupa dengan intepretasi geometri dari BM 1390, gambar 2).

Pada tahap ini penyelesaian siswa sama dengan konjektur pada HLT. Namun, mereka
menghadapi kesulitan saat diminta untuk menuliskan secara deskriptif urutan langkah yang mereka
lakukan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Selanjutnya siswa juga diminta untuk

50
mengajukan masalah yang serupa dengan permasalahan yang diberikan. Pada bagian ini tidak semua
dapat mengajukan permasalahan dan memberikan jawaban sesuai dengan HLT yang telah dibuat.

Menemukan hubungan antara proses manipulasi geometri dan simbol umum aljabar dan
Mengkontruksi rumus persamaan kuadrat, pada bagian terakhir masalah yang disajikan adalah
sebagai berikut.

Sebuah persegi panjang yang lebarnya 𝑏 dan panjangnya x, apabila dihimpitkan dengan
persegi yang sisinya x maka luas gabungannya menjadi 𝑐 satuan luas. Tentukan 1. Bentuk aljabar
permasalahan tersebut! 2. nilai x (nyatakan dalam b dan c)!

Ide memberikan masalah ini adalah untuk membangun pemahaman siswa bahwa masalah
geometri yang mereka hadapi adalah masalah persamaan kuadrat yaitu x² + bx = c. Dengan
b b²
menggunakan naïve geometry, bentuk permasalahan tersebut menjadi sederhana (𝑥 + ¿ ²= 𝑐 +
2 4
sehingga siswa dapat menyatakan bahwa untuk bentuk permasalahan x² + bx = c memiliki solusi

√ ()
c+
b 2 b
2
+ . Siswa mampu mendapatkan penyelesaian permasalahan dengan metode naïve
2
geometry mudah tanpa melibatkan manipulasi aljabar yang rumit.

Hasil pekerjaan siswa pada aktivitas bagian 3

51
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Geometri adalah cabang matematika yang mempelajari properti dan hubungan
antara objek-objek dalam ruang.Pada peralihan dari zaman klasik ke zaman modern di
Eropa, geometri terus berkembang meskipun terjadi keruntuhan peradaban klasik. Di
antara banyak peristiwa sejarah yang memengaruhi perkembangan geometri pada
masa ini adalah transmisi pengetahuan matematika dari dunia Islam ke Eropa Barat
melalui perantaraan bangsa Arab. Pada zaman modern, perkembangan geometri
semakin pesat dengan munculnya konsep-konsep baru seperti geometri non-
Euclidean, geometri diferensial, dan geometri fraktal.

B. Saran
Demikian makalah ini kami buat sebagai bahan pembelajaran semoga dapat
bermanfaat khususnya bagi penyusus dan kawan-kawan mahasiswa sekalian.Dalam
pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan dalam mencari sumber, tentunya
sumber dari buku-buku yang berkaitan dengan sejarah perkembangan geometri. Jika

52
mungkin diantara pembaca memiliki sumber yang lebih lengkap, maka saudara
diperkenankan untuk menambahkan dan melengkapi makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Katz, V. J. 2009. A History of Mathematics: An Introduction, 3rd edition. Boston: Addison-


Wesley.

Fachrudin, Kusumawati. 2018 “Pendekatan Geometris Yang Melibatkan Sejarah Matematika


Dalam Pembelajaran Penyelesaian Persamaan Kuadrat”. Jurnal Elektronik Pembelajaran
Matematika Vol.5, No.1, hal 90-97 Agustus 2018

Boyer, C. B., & Merzbach, U. C. (2011). A History of Mathematics (2nd ed.). John Wiley &
Sons.

https://id.scribd.com/doc/138307881/Geometri-Non-Euclid-s-Bab-II

http://existsbox.wordpress.com/

53

Anda mungkin juga menyukai