Anda di halaman 1dari 13

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS TRISAKTI

PAPER MANAJEMEN STRATEGIK


CRITICAL SUCCESS FACTOR
SEKTOR PUBLIK

Diajukan oleh:

ALFIA KAMALIA 123012304007

NAILA RUSYDA MUNIF 123012301055

MAGISTER AKUNTANSI
JAKARTA
2024
Pengertian
Pada suatu organisasi sektor publik maupun swasta memiliki tujuan organisasi
yang menjadi target pencapaian setiap tahunnya. Dalam sektor publik, suatu instansi
telah menetapkan rencana strategis yang akan dicapai dalam 5 tahun, kemudian
diperkecil dengan disusunnya rencana kerja tahunan untuk mencapai tujuan strategis.
Untuk menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan, maka organisasi menyusun
Critical Success Factor (CFS) dalam membantu menciptakan dasar yang kuat agar
tujuan dapat tercapai tepat waktu.
Definisi CFS menurut Boynlon et. al. (2016) yaitu hal-hal yang harus berjalan
dengan baik untuk memastikan keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan. CSF
mewakili area manajerial yang harus mendapatkan perhatian khusus dan terus
menerus agar menghasilkan kinerja yang tinggi. Jadi CSF berisi dari isu-isu yang
penting bagi aktivitas operasi organisasi saat ini dan kesuksesan di masa depan. Untuk
mengidentifikasi semua jenis kemungkinan CFS, maka perlu dilakukan pendekatan
dengan memperhatikan aspek industri, lingkungan, strategi dan waktu.
CSF yaitu istilah manajemen yang mengacu pada elemen yang diperlukan untuk
sebuah organisasi atau proyek untuk memenuhi misinya. Pengertian lain dari CSF
adalah kumpulan analisa dari banyak proses-proses penentu keberhasilan. Analisis
SWOT dapat menjadi alat untuk menetapkan faktor penentu keberhasilan suatu strategi
setelah strategi tersebut dilaksanakan oleh organisasi.

Critical Success Factors dalam Manajemen Strategi


Menurut Tampubolon (2006), manajemen strategik sebagai alat yang sangat
bergantung pada pelakunya yaitu kepemimpinan dari masing-masing tingkatan
manajemen, kekuasaan yang dipunyai dan budaya organisasi. Oleh karenanya ada 3
faktor determinan dari manajemen strategi, yaitu kepemimpinan, kekuasaan dan
budaya organisasi.
a. Kepemimpinan
Kepemimpinan memiliki peran penting terkait model, strategi dan transformasi
sehingga sangat menentukan keberhasilan proses manajemen strategi. Kavanagh dan
Ashkanasy (2006), telah membuktikan melalui penelitiannya terhadap penerapan
manajemen strategik dalam proses merger organisasi di lebih dari 100 organisasi yang
diteliti selama rentang waktu selama sepuluh tahun yang dibagi ke dalam tiga tahap.
b. Kekuasaan
Kekuasaan menjadi salah satu peran penting dalam strategi pembuatan
keputusan dalam organisasi. Pada penelitian Putz (2005) menyatakan dalam kasus
kota Munich menunjukkan bahwa pemerintah kota dalam menerapkan manajemen
strategik penataan wilayah dipengaruhi oleh kekuasaan antar aktor yang berperan
dalam proses pengambilan kebijakan.
c. Komitmen organisasi
Komitmen dimaknai dalam kerangka dunia kerja, artinya seluruh perasaan,
loyalitas, kebanggaan dan sebagainya merupakan bentuk keterikatan seseorang
dengan pekerjaan dan organisasi tempat bekerja. Menurut penelitian Malhotra dan
Galletta (2003) menemukan adanya pengaruh komitmen terhadap implementasi
manajemen sistem pengetahuan.
Manajemen strategik dapat diukur melalui beberapa indikator yaitu penyusunan
misi, tujuan, dan strategi; motivasi, struktur, sistem fungsi, kelompok, budaya dan
kebijakan yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Implementasi Critical Success Factors dalam Manajemen Strategi


Keberhasilan dalam implementasi strategi sangat bergantung pada kemampuan
pemimpin untuk mempengaruhi, menggerakkan dan memotivasi karyawan. Oleh
karenanya ada beberapa faktor yang dapat mendukung pencapaian keberhasilan
implementasi strategi, diantaranya:
a. Penerapan manajemen strategi
Penerapan manajemen strategi dalam lingkungan organisasi pemerintahan di
Indonesia tidak terlepas dari berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Manajemen
strategi yang semula tumbuh dan berkembang dalam dunia bisnis dan organisasi profit
telah diterapkan ke dalam berbagai bentuk organisasi termasuk organisasi
pemerintahan. Meluasnya cakupan manajemen strategi tersebut bukan suatu intervensi
untuk perubahan semata, tetapi manajemen strategi sudah menjadi kebutuhan yang
sangat vital bagi pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Bagaimanapun perlu disadari
bahwa manajemen strategi yang diterapkan dalam dunia bisnis (organisasi privat)
dengan pemerintahan (non profit) memiliki beberapa perbedaan, meskipun ada
kesamaannya. Hal tersebut disebabkan oleh karakter organisasi itu sendiri.
b. Bentuk penerapan manajemen strategi
Gran (2002), menegaskan bahwa peran strategi untuk keberhasilan mempunyai
elemen sebagai berikut:

Faktor penentu keberhasilan strategi ada empat: (1) Tujuan yang sederhana,
konsisten dan jangka panjang; (2) Pemahaman yang memadai tentang lingkungan
kompetitif; (3) Penilaian sumberdaya yang objektif; (4) Implementasi efektif.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perubahan menjadi kata kunci perlunya manajemen
strategi diterapkan dalam organisasi publik atau pemerintahan.
Salah satu kebijakan pemerintah yang dapat diajukan sebagai bukti pentingnya
manajemen strategi dalam lingkungan pemerintahan adalah Keputusan Presiden No. 3
Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government
dengan demikian hal ini dapat dijadikan contoh konkret dalam memaknai peran
manajemen strategi dalam pelaksanaan pemerintahan. Dalam surat Keputusan
Presiden tersebut ditegaskan bahwa pemerintah memerlukan strategi pengembangan
E-Government dalam rangka tersedianya jaringan informasi dan transaksi pelayanan
publik yang berkualitas, memuaskan dan merata. Dari ungkapan ini Terdapat nilai-nilai
yang hendak dicapai melalui strategi yang ditetapkan tersebut. Bahwa bagi organisasi
pemerintah, nilai-nilai tersebut dimaknai sebagai bentuk pelayanan yang berkualitas,
memuaskan dan merata

Langkah Identifikasi Critical Success Factor


Terdapat 5 langkah mengidentifikasi CSF, diantaranya:
1. Membuat rencana strategis. Landasan utama dalam membuat CSF adalah
rencana strategis 3 sampai 5 tahun organisasi.
2. Tinjauan rencana strategis bersama pemangku kepentingan eksekutif.
Setelah membuat rencana strategis, kumpulkan seluruh tim untuk mempelajari
rencana strategis, menentukan proses bisnis dan key result area (KRA) dalam
membuat CSF.
3. Menentukan faktor penentu kesuksesan dan bagikan ke organisasi yang
lebih luas. CSF terkait membantu dalam pencapaian tujuan organisasi harus
dilampirkan dan dibagikan kepada tim lain yang lebih luas untuk mendapatkan
umpan balik.
4. Hubungan CSF dan KPI agar dapat ditindaklanjuti. Untuk mengubah CSF
menjadi tindakan, maka perlu dihubungkan dengan key performance index (KPI)
yang terukur.
5. Pantau dan ukur. Apabila CSF dan KPI telah dibuat, selanjutnya perlu dilakukan
pemantauan dalam bentuk monitoring dan evaluasi agar keduanya berjalan
dengan sukses.

Tahapan dalam Critical Success Factors


1. Identifikasi misi dan tujuan strategis organisasi/perusahaan.
2. Setiap tujuan strategis harus dapat menjawab pertanyaan “wilayah bisnis apa
yang penting bagi organisasi untuk mencapai tujuan?” (kandidat CSF)
3. Evaluasi setiap kandidat (CSF).
4. Identifikasi bagaimana CSF diawasi dan diukur.
5. Komunikasikan CSF kepada setiap elemen penting perusahaan.
6. Lakukan pengawasan dan evaluasi ulang CSF.

CONTOH PENERAPAN CSF


CRITICAL SUCCESS FACTOR: STUDI KASUS DI KEMENTERIAN KEUANGAN

Kementerian keuangan pertama kali menerapkan manajemen risiko dengan

mengeluarkan Peraturan Kementerian Keuangan No. 191/PMK.09/2008 Penerapan

Manajemen Risiko di Lingkungan Departemen Keuangan. Dengan mengetahui CSF

apa yang dibutuhkan dalam mengimplementasikan manajemen risiko, maka akan

membantu organisasi untuk menciptakan kondisi yang diinginkan.

Terdapat 8 CSF yang dijelaskan dalam studi kasus ini yaitu:

● Risk Management Knowledge

● Management Commitment & Leadership

● Culture

● Organizational Structure

● Risk Monitoring & Evaluation

● Documentation & Reporting

● External Environment

● Consultant

CSF 1: RISK MANAGEMENT & KNOWLEDGE

Dalam faktor ini yang menjadi fokus perhatian adalah bagaimana entitas di dalam

Kementerian Keuangan mendapatkan pengetahuan mengenai manajemen risiko, serta

hal-hal yang dianggap penting dalam memperoleh pengetahuan tersebut.


Dalam CSF ini ditanyakan mengenai bagaimana Kementerian keuangan melakukan

proses pendidikan dan pelatihan dalam upaya menumbuhkan pengetahuan tentang

manajemen risiko bagi entitas di organisasi. Pengetahuan mengenai manajemen risiko

sangat penting karena pengetahuan yang mumpuni terhadap manajemen risiko dapat

membantu organisasi untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengembangkan

respons terhadap paparan risiko, sehingga dapat ditentukan tindakan yang tepat untuk

mengantisipasi risiko tersebut. Dengan cara menentukan prioritas untuk menyusun

respons untuk mengurangi probabilitas kejadian dan/atau dampak dari peristiwa

tersebut.

CSF 2: MANAGEMENT COMMITMENT & LEADERSHIP

Dalam faktor ini dicari informasi mengenai bagaimana komitmen manajemen pimpinan

dalam mengimplementasikan manajemen risiko, strategi apa yang dilakukan agar

manajemen risiko tersebut dapat terlaksana dengan baik

Merupakan critical success factor yang paling utama. Dalam CSF ini ditanyakan

mengenai peranan pimpinan serta bagaimana bentuk komitmen dari pimpinan tersebut.

Dari hasil wawancara tersebut diketahui bahwa ternyata pimpinan merupakan faktor

yang paling penting dalam penerapan manajemen risiko. Selain itu diperlukan adanya

IKU (Indikator Kinerja Utama) terkait manajemen risiko sebagai bentuk komitmen

pimpinan.

CSF 3: CULTURE

Dalam faktor ini digali informasi mengenai bagaimana nilai serta kebiasaan yang ada di
Kementerian Keuangan saat diterapkannya manajemen risiko

Dalam CSF ini ditanyakan mengenai bentuk dari budaya manajemen risiko. Budaya

merupakan efek dari kebiasaan, dimana dari hasil wawancara diketahui bahwa saat ini

manajemen risiko telah menjadi budaya dalam proses bisnis Kementerian Keuangan

sebagai contoh adanya kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh pegawai.

CSF 4: ORGANIZATIONAL STRUCTURE

Yang menjadi fokus dalam faktor ini adalah perlu atau tidak struktur organisasi

tersendiri yang menangani terkait manajemen risiko.

Dalam CSF ini ditanyakan mengenai struktur organisasi yang diperlukan apabila ingin

menerapkan manajemen risiko. Diperlukan suatu struktur organisasi tersendiri yang

khusus menangani mengenai manajemen risiko. Hal ini diperlukan karena dalam

mengelola manajemen risiko diperlukan orang-orang yang fokus untuk menjalankan

manajemen risiko agar tidak terganggu oleh hal-hal lain.

CSF 5: RISK MONITORING & EVALUATION

Dalam CSF ini ditanyakan mengenai bagaimana bentuk monitoring risiko dan

bagaimana evaluasi risiko dilakukan. Untuk menghasilkan suatu manajemen risiko yang

efektif dan efisien, maka diperlukan proses manajemen risiko yang berkesinambungan.

Hal ini dapat diperoleh melalui proses monitoring dan evaluasi atas manajemen risiko

yang telah dilakukan dengan cara melakukan verifikasi, terhadap proses, kebijakan dan

prosedur manajemen risiko. Di kementerian keuangan, risk monitoring & evaluation

dilakukan secara rutin dan berkala.

CSF 6: DOCUMENTATION & REPORTING


Dalam CSF ini ditanyakan mengenai bagaimana proses terhadap dokumentasi dan

pelaporan manajemen risiko. Dokumentasi dan laporan ini disimpan dengan baik

meskipun penggunaan sistem informasi (SIMAKRO) untuk dokumentasi dan pelaporan

baru dikembangkan. Faktor ini dapat dikatakan merupakan faktor pendukung dari

implementasi manajemen risiko, meskipun juga memiliki peran yang cukup penting.

Dokumentasi yang dimaksud merupakan sebuah sistem dokumentasi yang digunakan

dalam organisasi, beserta infrastruktur perangkat keras dan kemampuan perangkat

lunaknya. Ini juga termasuk tingkat akurasi data dalam organisasi. Selain itu diperlukan

pula pelaporan terhadap kinerja baik dalam jangka pendek atau jangka panjang untuk

menilai apakah manajemen risiko telah berjalan sebagaimana mestinya.

CSF 7: EXTERNAL ENVIRONMENT

Dalam CSF ini ditanyakan mengenai bagaimana lingkungan di luar instansi dapat

memberikan pengaruh dalam implementasi manajemen risiko. Lingkungan luar

merupakan segala entitas diluar lingkungan organisasi yang menyebabkan organsisasi

tersebut bereaksi. Dapat berupa sistem sosial, politik, pesaing, kondisi perekonomian.

Kementerian Keuangan sebagai instansi pemerintah yang pertama kali menerapkan

manajemen risiko, sehingga dalam menerapkan manajemen risiko tersebut

kementerian keuangan sering kali kesulitan menemukan rujukan untuk implementasi

manajemen risiko tersebut. Oleh karena itu ketika menyusun panduan terkait

manajemen risiko yang dilakukan adalah mengumpulkan berbagai macam framework

untuk kemudian di mixing menjadi satu aturan manajemen risiko yang dirasa cocok

untuk Kementerian Keuangan.

CSF 8: CONSULTANT
Dalam CSF ini ditanyakan mengenai apakah ada konsultan luar yang terlibat dalam

pelaksanaan manajemen risiko di kementerian keuangan. Keberadaan konsultan

manajemen risiko dapat mempengaruhi pelaksanaan manajemen risiko yang efektif.

Karena konsultan disini memberikan masukan atas pelaksanaan manajemen risiko.

Di Kementerian Keuangan, konsultan tidak terlalu berperan. Proses pembelajaran dan

implementasi dilakukan secara mandiri dengan mempelajari dari berbagai framework

yang ada. Meskipun demikian konsultan sempat digunakan di awal proses

mengimplementasikan manajemen risiko. Penggunaan konsultan hanya untuk

memberikan masukan agar apa yang dilakukan oleh kementerian keuangan tidak

menyimpang jauh dari keilmuannya.

Implementasi struktur manajemen risiko di Kementerian Keuangan

Keputusan Menteri Keuangan nomor 577/KMK.01/2019 telah mengakomodir

perubahan dari ISO maupun COSO, hal ini menyebabkan Kementerian Keuangan telah

mengadopsi ERM secara utuh. Secara struktur manajemen risiko di Kemenkeu dibagi

menjadi 3 yaitu UPR (Unit Pemilik Risiko), Unit Kepatuhan Risiko dan Itjen sebagai

reviewer. UPR ini dibentuk dari level paling tinggi ke yang paling rendah, yang dikenal

dengan istilah Kemenkeu wide, Kemenkeu one, Kemenkeu two, Kemenekeu three,

Kemenkeu Four, Kemenkeu five. Hal ini mencerminkan fungsi-fungsi unit organisasi,

jika Kemenkeu wide setara menteri, Kemenkeu one setara Eselon 1, Kemenkeu two

setara eselon 2, Kemenkeu three setara eselon 3, Kemenkeu four setara eselon 4,

Kemenkeu five setara pelaksana. Tetapi untuk manajemen risiko hanya untuk sampai

dengan Kemenkeu three.


Implementasi budaya manajemen risiko

Suatu sistem baru dapat berjalan dengan baik hanya terjadi apabila di budaya dalam

entitas tersebut dapat menerimanya. Implementasi budaya manajemen risiko dibagi

menjadi 4 unsur yaitu: komitmen pimpinan, manajemen resiko dalam proses bisnis,

manajemen risiko dalam pengambilan keputusan, dan Penghargaan atau reward.

Implementasi proses manajemen risiko

KMK 577/KMK.01/2019 menyatakan bahwa proses manajemen risiko ada beberapa

tahapan, yaitu sebagai berikut:

● Communication and consultation.

Dalam proses komunikasi dan konsultasi dilakukan dalam bentuk:

1) Rapat berkala,

2) Rapat incidental,

3) Diskusi kelompok terarah (Focused group discussion)

● Establishing the context.

Proses perumusan konteks dilakukan dengan beberapa tahap yaitu:

a) Menentukan ruang lingkup dan periode penerapan manajemen risiko,

b) Menentukan sasaran organisasi,

c) Mengidentifikasi pemangku kepentingan,

d) Menentukan struktur Unit Pemilik Risiko (UPR),

e) Menuangkan hasil perumusan konteks dalam formulir konteks manajemen risiko.


Dalam pelaksanaannya seluruh tahapan ini dilakukan pada akhir tahun bulan

November sampai dengan bulan Januari tahun berikutnya.

● Risk Identification

Dalam melakukan identifikasi risiko memiliki tujuan untuk mengetahui risiko yang

akan mempengaruhi capaian sasaran organisasi. Proses identifikasi risiko

dilakukan selama bulan November s/d Januari tahun berikutnya.

● Risk Analysis

Risk Analysis bertujuan untuk menentukan besaran risiko dan level risiko.

● Risk evaluation

Risk evaluation memiliki tujuan untuk menentukan prioritas risiko, besaran/level

risiko residual harapan, keputusan mitigasi risiko dan indikator risiko utama.

● Risk mitigation

Mitigasi risiko merupakan tindakan yang bertujuan untuk menurunkan, menjaga

risiko hingga mencapai Risiko Risidual Harapan. Hal ini dilakukan dengan cara

mengidentifikasi dan memilih mitigasi risiko, menyusun rencana mitigasi, dan

melaksanakan rencana mitigasi tersebut.

● Monitoring and review

Tahapan ini bertujuan untuk memastikan bahwa manajemen risiko yang berjalan

sudah berjalan dengan efektif sesuai dengan rencana dan memberikan umpan balik
bagi proses penyempurnaan manajemen risiko.

Implementasi sistem pendukung manajemen risiko

Sistem pendukung manajemen risiko di sini merupakan salah satu upaya dari pihak

Kementerian Keuangan agar sistem manajemen risiko yang telah dibangun bisa

dimanfaatkan sebaik mungkin. Selain itu dengan adanya sistem pendukung ini akan

membantu dalam proses pendokumentasian manajemen risiko tersebut.

Dalam melaksanakan manajemen risiko, seluruh proses merupakan bagian yang

terpadu dengan proses manajemen secara keseluruhan, khususnya dengan

perencanaan strategis, penganggaran, kinerja, dan sistem pengendalian internal, serta

menyatu dalam budaya dan proses bisnis organisasi. Karena sifatnya yang melekat

tersebut sehingga tidak ditemukan program khusus mengenai implementasi

manajemen risiko.

Anda mungkin juga menyukai