Anda di halaman 1dari 5

JUDUL ACARA

SURABAYA MARI BICARA

SINOPSIS
Surabaya sebagai kota urban yang menampung dari berbagai asal
kota di Indonesia adalah konsekuensi Kota Metropolitan. Sebagai
kota metropolitan tentu saja memiliki problematik yang sangat
komplek. Mulai dari sisi ekonomi, sosial, pendidikan, lingkungan,
pembangunan, budaya dan lain sebagainya.
Lewat puisi Surabaya Mari Bicara Empat Mata karya Viddy
Alymahfoedh Daery dan puisi Kotaku karya Akhudiat, semoga dapat
menjadi inspirasi dan mewakili perenungan kompleksitas keadaan
Kota Metropolitan Surabaya saat ini. Tentu saja hal ini membutuhkan
partisipasi dari segala pihak untuk menjadikan Kota Surabaya yang
arif dan ramah. Selamat menyaksikan.

Materi :

Puisi Pertama

SURABAYA MARI BICARA EMPAT MATA


Viddy Alymahfoedh Daery

Surabaya, mari bicara empat mata,


yang enak-enak saja
dan tak perlu terlalu tergesa.

Surabaya mari saling memberi dari hati ke hati.


Aku melihat matamu lelah
dan aku ingin mengajakmu berkata-kata.
Surabaya kau adalah sahabatku
dan aku melihat kau begitu gugup
dan menyimpan beban.
Kenapa kita tidak duduk-duduk di tepi jalan,
di bawah akasia yang langka,
mencoba menghirup udara,
dan kau mulai bercerita?

Aku akan mencoba memahami segala sesuatunya,


dan aku akan mencoba membantumu menguraikan persoalan.

Ayolah kita berbincang,


sambil kita panggil penjual legen dan buah siwalan,
dan kau bisa terus bercerita dengan lebih enak,
yang leluasa dan santai saja.

Surabaya kurasa itu lebih enak,


marilah sekali-kali kita coba begitu,
membuka keruwetan tanpa harus terlalu tegang.
Tapi kau tak mau mendengar kata-kataku.
Surabaya, kau tak mau mendengar kata-kataku.
Kau lebih suka mengurung diri di kamarmu
yang dikawal seratus penjaga,
yang membikin nyaliku keburu kecut sebelum sempat mengetuk pintu,
atau kalau tidak begitu, kau lebih suka mengurung diri
di tingkat paling atas hotelmu yang paling mewah,
membikin aku menjadi segan dan enggan menemuimu.

Surabaya aku ingin mengajakmu berbincang lebih santai,


di tepi jalan, jalanmu sendiri, di bawah pohon, pohonmu sendiri.
Tapi kau tak mendegar kata-kataku,
dan kata-katakupun ditelan deru kendaraan yang setan
dan tak pernah kenal istirah,
kata-katakupun ditiup anginmu
yang selalu terasa panas dan sesak,
kata-kataku hanyut tersangkut-sangkut di sungaimu
yang selalu kelihatan kotor dan keruh.

Surabaya, 1981

Catatan :
Puisi ini pernah dipakai sebagai Puisi Wajib LOMBA DEKLAMASI NASIONAL DKS 1982, dibahas dan
dibedah oleh DKS, dijadikan puisi wajib pada upacara-upacara di Surabaya sepanjang 80-an oleh
Walikota Surabaya dr.Purnomo Kasidi, dan dijadikan videoklip TVRI Surabaya.

Puisi Kedua

KOTAKU

Kotaku dari baja, beton dan kaca


Taman-taman sintetis ditanami pohon dan bunga elastis
Sampah digiling jadi plastik.

Kotaku yang gagah


Hanya bisa ketawa dan pesta
Karena si miskin, si jompo dan residivis telah dilempar ke pulau rawa-rawa
Tanpa kubur dan rumahsakit
Mereka yang parah diisolir ke bukit
Di sini hanya sediakan salon psikiatri.

Kotaku necis, sehat sempurna


Disinari matahari tropika dan lampu merkuri di malam harinya.

Terbetik berita di koran dan teve


Orang-orang usiran berenang ke Pantai Metropolit.
Kotaku menutup pintu dan jendela
Merantai gerbang masjid dan gereja
Meliburkan sekolah, kantor dan universitas
Memadamkan reklame dan lampu lalulintas
Mendengarkan sendiri degup jantungnya.

Ini lebih dahsyat dari Perang Dunia


Bayangkan, parade jembel di aspal kota yang tertib, aman, cantik dan susila
Tak bisa dibiarkan, ujar penguasa kota.
Stop mereka!

Di panas siang membara


Burung-burung almunium mengintai dari udara
Tangan para pengemis disodori moncong senjata.

Kotaku dari baja, beton dan kaca


Alangkah ramahnya.

Akhudiat, 1978

Tata Lampu
Puisi Pertama
PANGGUNG

PEMUSIK

PEMBACA 1
PEMBACA 2 DAN 3
Puisi Kedua
PANGGUNG

PEMUSIK

PEMBACA 1
PEMBACA 2 DAN 3

Anda mungkin juga menyukai