Laporan Tutorial Modul Integratif Klinis Skenario 6: Kelompok E
Laporan Tutorial Modul Integratif Klinis Skenario 6: Kelompok E
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK E
TUTOR:
dr. Fariska Zata Amani., Sp. OG
Dosen Pembimbing
LO 5
1. AGE: advanced glycation endproducts
2. EC: endothelial cells
3. MAPK: mitogen-activated protein kinase
4. MMP: matrix metalloproteinases
5. PARP: poly-ADP-ribose polymerase
6. VSMC: vascular smooth muscle cells
7. VWF: von Willebrand Factor
SKENARIO
Seorang laki-laki berusia 56 tahun mengeluh penglihatan terganggu. di kedua mata sejak 2
bulan lalu. pasien juga mengeluh kaki terasa kesemutan.
STEP 2 & 3 : Define Problem And Digging Information & Adding Information
Anamnesis
RPS
1. Apakah penglihatan terganggu ? iya, disertai bintik gelap seperti ada cahaya
2. Awal mula terjadi ? no data
3. Faktor pemberat ? no data
4. Faktor peringan ? no data
5. Apakah ada keluhan lain ? kaki terasa kesemutan (nyeri saraf perifer)
RPD
1. Apakah pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya? no data
2. Apakah pernah diobati? no data
3. Apakah memiliki riwayat hipertensi, dm ? iya ada DM Tipe 2 sejak 5 tahun lalu
RPK
1. Apakah ada keluarga yang memiliki keluhan sama? no data
2. Riwayat penyakit hipertensi, dm, pada keluarga? no data
1. Riwayat merokok dan minum alkohol? no data
RSE
2. Kondisi lingkungan sekitar? no data
3. Riwayat kontak dengan orang lain yang bergejala sama? no data
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
2. Gcs : normal
3. Vital sign : TD 130/90
4. TB/BB : 80 kg /165 cm
5. IMT : 29,4
6. Lingkar Perut : 108 cm
7. Pemeriksaan ekstremitas : kulit kering
Pemeriksaan Penunjang
8. Funduskopi : mikroaneurisma, perdarahan retina
9. Pemeriksaan Sensorik : Manofilamen 10 gr sudah terasa nyeri
10. Ankle Brachial Index (ABI) : 0,9
11. GDP : 256
12. Gula Darah 2 jam setelah puasa : 345
13. HBA1C : 10,2
14. Protein urin : +3
TPL PPL
PLANNING
TPL PPL ASSESSMENT
Penunjang terapi monitoring edukasi
Anamnesis Diabetes melitus tipe Diabetes melitus ▪ Fluorescein Farmako ▪ Gejala ▪ Menetapkan pola
▪ Laki-laki usia 56 tahun 2 dengan komplikasi angiography ▪ Metformin hidup sehat
▪ Penglihatan terganggu sejak 2 bulan retinopati diabetic dan (FA) ▪ Insulin ▪ Pengobatan ▪ Tingkatkan aktivitas
lalu Retinopati diabetik neuropati diabetik ▪ Patuh pengobatan
▪ Kaki terasa kesemutan ▪ Funduskopi ▪ Gula darah
Non-farmako ▪ Hindari pantangan
▪ Riw. keluhan sama (-) ▪ Mengatur pola ▪ Perawatan luka kaki
Neuropati diabetik ▪ Optical ▪ Tekanan darah
▪ Riw. pengobatan (-) makan 3J (jadwal,
coherence ▪ Hindari stress
▪ Riw. diabetes melitus tipe 2 sejak 5 jenis, jumlah)
tahun lalu tomography ▪ Latihan fisik
▪ RPK (-) (OCT) ▪ Istirahat cukup
Pemeriksaan fisik Non-farmako RD
▪ Hematology ▪ Fotokoagulasi
▪ KU: baik GCS:456
test ▪ Vitrektomi
▪ Vital sign : TD 130/90
▪ TB/BB : 80 kg /165 cm ▪ Electromyogra
▪ IMT : 29,4 phy (EMG)
▪ Lingkar Perut : 108 cm
▪ Pemeriksaan ekstremitas : kulit kering
Pemeriksaan penunjang
▪ Funduskopi : mikroaneurisma,
perdarahan retina
▪ Pemeriksaan Sensorik : Manofilamen
10 gr sudah terasa nyeri
▪ Ankle Brachial Index (ABI) : 0,9
▪ GDP : 256
▪ 2 jam PP : 345
▪ HBA1C : 10,2
▪ Protein urin : +3
STEP 6 : Define Learning Objective
1. Mahasiswa Mampu Mengetahui Struktur Anatomi Mata dan Fisiologi Sistem Penglihatan.
2. Mahasiswa Mampu Mengetahui Struktur Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Perifer.
3. Mahasiswa Mampu Mengetahui Struktur Anatomi Pankreas dan Fisiologi Regulasi Insulin.
4. Mahasiswa Mampu Mengetahui Definisi, Etiologi, dan Ciri Khas masing-masing diagnosis
banding (DM Tipe 2, Retinopati Diabetik, Neuropati Diabetik).
5. Mahasiswa Mampu Mengetahui Patogenesis dan Patofisiologi Mikroangiopati dan
Makroangiopati DM Tipe 2.
6. Mahasiswa Mampu Mengetahui Patofisiologi Retinopati Diabetik dan Neuropati Diabetik.
7. Mahasiswa Mampu Mengetahui Alur Diagnosis Retinopati Diabetik, Neuropati Diabetik.
8. Mahasiswa Mampu Mengetahui Tatalaksana farmakologis dan non farmakologis RD, DM,
Neuropati.
9. Mahasiswa Mampu Mengetahui Prognosis, Komplikasi dan Edukasi Retinopati Diabetik,
Diabetes Mellitus.
STEP 7 : Jawaban LO
1. Mahasiswa mampu mengetahui anatomi dan fisiologis pengelihatan
Anatomi Mata : Berdasarkan ilmu anatomi, mata manusia terbagi menjadi dua bagian yaitu
bagian dalam dan bagian luar. Berikut ini struktur dari bagian mata beserta fungsinya masing-
masing bagian.
a. Bagian Dalam
1. Konjungtiva : berfungsi untuk melindungi kornea dari gesekan, memberikan perlindungan
pada sklera dan memberi pelumasan pada bola mata.
2. Sklera : berfungsi untuk melindungi bola mata dari kerusakan mekanis dan menjadi tempat
melekatnya otot mata.
3. Kornea : berfungsi sebagai pelindung mata agar tetap bening dan bersih, kornea ini dibasahi
oleh air mata yang berasal dari kelenjar air mata.
4. Koroid : berfungsi memberi nutrisi ke retina dan badan kaca, dan mencegah refleksi internal
cahaya.
5. Iris : Iris juga mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata dan dikendalikan oleh saraf.
6. Pupil : berfungsi sebagai tempat untuk mengatur banyak sedikitnya cahaya yang masuk
kedalam mata. Pupil juga merupakan tempat lewatnya cahaya menuju retina.
7. Lensa : berfungsi memfokuskan pandangan dengan mengubah bentuk lensa, lensa berperan
penting dalam pembiasan cahaya.
8. Retina : berfungsi untuk menerima cahaya, mengubahnya menjadi impuls saraf dan
menghantarkan impuls ke saraf optic.
9. Aqueous Humor : atau cairan berair terdapat dibalik kornea yang berfungsi untuk menjaga
bentuk kantung depan bola mata.
10. Vitreus Humor : badan bening ini terletak di belakang lensa, yang berfungsi menyokong
lensa dan menolong dalam menjaga bentuk bola mata.
11. Bintik Kuning : berfungsi untuk menerima cahaya dan meneruskan ke otak.
12. Saraf Optik : berfungsi untuk menerukan sebuah rangsang cahaya hingga ke otak, semua
informasi yang akan dibawa oleh saraf nantinya diproses di otak, dan dengan demikian kita
bisa melihat suatu benda.
13. Otot Mata : otot-otot yamg melekat pada mata, yaitu:
• Muskulus levator palpebralis superior inferior : berfungsi mengangkat kelopak mata
• Muskulus orbicularis okuli (otot lingkar mata) : berfungsi untuk menutup mata.
• Muskulus rektus okuli inferior (otor sekitar mata) : berfungsi menggerakan bola mata ke bawah
dan ke dalam.
• Muskulus rektus okuli medial (otot disekitar mata) : berfungsi untuk menggerakan mata dalam
(bola mata).
• Muskulus obliques okuli superior : berfungsi memutar mata ke atas, ke bawah dan keluar.
b. Bagian Luar
1. Bulu Mata : berfungsi untuk melindungi mata dari benda-benda asing.
2. Alis Mata (Supersilium) : berfungsi mencegah masuknya air atau keringat dari dahi ke mata.
3. Kelopak Mata (Palpebra) : berfungsi pelindung mata sewaktu-waktu kalau ada gangguan pada
mata (menutup dan membuka mata).
4. Kelenjar Air Mata : berfungsi untuk menghasilkan air mata yang bertugas untuk menjaga
mata agar tetap lembab (tidak kekeringan).
Fisiologi Penglihatan : Penglihatan dimulai dari masuknya cahaya ke dalam mata dan
difokuskan pada retina. Cahaya yang datang dari sumber titik jauh, ketika difokuskan di retina
menjadi bayangan yang sangat kecil. Cahaya masuk ke mata direfraksikan atau dibelokkan
ketika melalui kornea dan bagian-bagian lain dari mata (aqueous humor, lensa, dan vitreous
humor). Bagian- bagian tersebut mempunyai kepadatan yang berbeda-beda sehingga cahaya
yang masuk dapat difokuskan ke retina. Cahaya yang masuk melalui kornea diteruskan ke
pupil. Pupil merupakan lubang bundar anterior di bagian tengah iris yang mengatur jumlah
cahaya yang masuk ke mata. Pupil membesar bila intensitas cahaya kecil, misalnya saat berada
di tempat gelap. Apabila berada di tempat terang atau intensitas cahaya tinggi maka pupil akan
mengecil. Pengatur perubahan pupil tersebut adalah iris yang merupakan cincin otot yang
berpigmen dan tampak dalam aqueous humor. Setelah melalui pupil dan iris, maka cahaya
sampai ke lensa. Ketika kita melihat benda pada jarak lebih dari 6 m (20 ft), lensa akan memipih
hingga ketebalan sekitar 3,6 mm. Sedangkan ketika kita melihat sesuatu pada jarak kurang dari
6 m, lensa akan menebal hingga 4,5 mm pada pusatnya dan membelokkan cahaya (refraksi)
dengan lebih kuat. Perubahan ketebalan lensa tersebut dikenal dengan lens accommodation
(akomodasi lensa) (Saladin, 2008). Selain daya akomodasi, lensa juga berfungsi untuk
memfokuskan bayangan agar jatuh tepat di retina. Bila cahaya sampai ke retina, maka sel- sel
batang dan sel- sel kerucut (sensitif terhadap cahaya) akan meneruskan sinyal- sinyal cahaya
tersebut ke otak melalui saraf optik. Bayangan atau cahaya yang tertangkap oleh retina adalah
terbalik, nyata, lebih kecil, tetapi pada persepsi otak terhadap benda tetap tegak, karena otak
mempunyai mekanisme menangkap bayangan yang terbalik itu sebagai keadaan normal (tegak)
(Guyton & Hall, 2008).
Penglihatan manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
Central Vision : Central vision adalah penglihatan yang timbul pada saat cahaya jatuh pada
area macula lutea retina dan memberikan stimulus pada fotoreseptor yang berada pada area
tersebut. Dalam pemeriksaaannya, central vision dapat dibagi menjadi uncorrected visual
acuity di mana mata diukur ketajamannya tanpa menggunakan kacamata maupun lensa kontak
dan corrected visual acuity dimana mata yang diukur telah dilengkapi dengan alat bantu
penglihatan seperti kacamata maupun lensa kontak. Karena penurunan ketajaman penglihatan
jarak jauh dapat disebabkan oleh kelainan refraksi, umumnya jenis pemeriksaan yang dipilih
untuk menilai kesehatan mata adalah corrected visual acuity (Riordan-Eva & Whitcher, 2007).
Peripheral Vision : Peripheral vision adalah penglihatan yang timbul pada saat cahaya jatuh
pada area di luar macula lutea retina dan memberikan stimulus pada fotoreseptor yang berada
pada area tersebut (Riordan- Eva & Whitcher, 2007). Penglihatan perifer dapat ditinjau secara
cepat dengan menggunakan confrontation testing. Pada pemeriksaan ini, mata yang tidak
diperiksa ditutup dengan menggunakan telapak tangan dan pemeriksa duduk sejajar dengan
pasien. Jika mata kanan pasien diperiksa, maka mata kiri pasien ditutup dan mata kanan
pemeriksa ditutup. Pasien diminta untuk melihat lurus sejajar dengan mata kiri pemeriksa.
Untuk mendeteksi adanya gangguan, pemeriksa menunjukkan angka tertentu dengan
menggunakan jari tangan yang diletakkan di antara pasien dan pemeriksa pada keempat
kuadran penglihatan. Pasien diminta untuk mengidentifikasi angka yang ditunjukkan (Riordan-
Eva & Whitcher, 2007).
Neuron merupakan unit fungsional dasar susunan saraf. Neuron terdiri dari badan sel
saraf dan prosesus-prosesusnya. Badan sel saraf merupakan pusat metabolisme dari suatu
neuron. Badan sel me ngandung nukleus dan sitoplasma. Nukleus terletak di sentral, berbentuk
bulat dan besar. Di dalam sitoplasma terdapat retikulum endoplasma serta mengandung organel
seperti substansi Nissl, apparatus Golgi, mitokondria, mikrofilamen, mikrotubulus dan liso
som. Membran plasma dan selubung sel membentuk membran semipermeabel yang
memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui membran ini dan menghambat ion-ion lainnya.
Processus sel neuron terbagi menjadi dendrit-dendrit dan sebuah akson. Neuron mempunyai
banyak dendrit yang menghantarkan impuls saraf ke arah badan sel saraf. Akson merupakan
processus badan sel yang paling panjang menghantarkan impuls dari segmen awal ke terminal
sinaps. Segmen awal badan sel merupakan elevasi badan sel berbentuk kerucut yang tidak
mengandung granula Nissl dan disebut akson hillock (Snell, 2006).
Neuron memiliki kemampuan metabolisme yang sangat tinggi, tetapi tidak dapat
menyimpan zat-zat makanan dan oksigen. Oleh karena itu neuron perlu didukung oleh
neuroglia yang menyuplai zat makanan dan oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Sel-sel
pendukung yang sangat penting antara lain adalah sel satelit dan sel Schwann. Sel Schwann
pada susunan saraf tepi bersifat seperti oligodendroglia pada SSP. Sebagian besar akson pada
susunan saraf tepi dilapisi myelin dan membentuk segmen-segmen seperti di SSP. Tiap sel
Schwann hanya melapisi satu segmen, berbeda dengan oligondendroglia yang
mengembangkan beberapa “tangan” ke tiap segmen. Sel Schwann juga berbeda dari
oligodendria dalam hal pembentukan sel baru. Bila terjadi kerusakan pada saraf tepi, sel
Scwhann membentuk serangkaian silinder yang berperan sebagai penunjuk arah pertumbuhan
akson (Kahle,2000).
Pembentukan meilin pada susunan saraf tepi
Mielin adalah campuran dari lipid dan protein. Pada susunan saraf tepi, selubung mielin
diproduksi oleh sel Schwann dan hanya terdapat satu sel Schwann untuk setiap segmen serabut
saraf. Mula-mula serabut saraf atau akson membentuk lekukan di tepi sebuah sel Schwann.
Lalu membran eksternal sel Schwann membentuk mesakson yang menggantung akson di
dalam sel Schwann saat akson menyatu dengan sel Schwann. Selanjutnya sel Schwann berotasi
mengelili ngiakson sehingga membran plasma membungkus akson berbentuk seperti spiral.
Arah spiral sesuai dengan arah jarum jam pada beberapa segmen, dan berlawanan arah dengan
jarum jam pada segmen lain. Awalnya selubung ini longgar, namun sitoplasma antar lapisan
membran menghilang secara bertahap. Yang tertinggal hanya sitoplasma yang ada di dekat
permukaan dan daerah nukleus. Selubung menjadi ketat dengan maturasi serabut saraf.
Ketebalan mielin bergantung pada jumlah spiral membran sel Schwann. Selubung sel Schwann
dan mielin yang dikandungnya, diselingi setiap 1-2 mm oleh konstruksi berbentuk cincin yang
disebut nodus Ranvier. Pada nodus Ranvier, dua sel Schwann yang berdekatan berakhir dan
selubung mielin menjadi lebih tipis. Nodus ini memainkan peranan penting dalam
perkembangan efek rangsangan dari reseptor ke medula spinalis atau sebaliknya, dengan
mengadakan konduksi cepat impuls melalui konduksi saltatori dari potensial aksi. Makin tebal
selubung mielin makin cepat konduksi serat saraf (Snell,2006).
Sel-sel Schwann dilapisi oleh selapis jaringan ikat, yaitu endoneurium. Jaringan ikat
yang melapisi beberapa berkas serat saraf disebut perineurium dan jaringan ikat yang
membungkus saraf lebih besar disebut epineurium. Lapisan jaringan ikat ini melindungi saraf
dari cedera mekanis dan kontak langsung dengan bahan yang merusak saraf. Jaringan ikat
membawa pembuluh darah yang memberi makan serat saraf (Duus,1996).
Transmisi sinaptik
Neuron menghasilkan dan menghantarkan potensial aksi ke neuron lain melalui sinaps. Bentuk
yang paling umum adalah sinaps yang terjadi antara akson sebuah neuron dengan dendrit atau
badan sel neuron kedua. Ketika akson mendekati sinaps, maka dapat terjadi pe lebaran terminal
(bouton terminal) atau perluasan serial yang mem bentuk hubungan sinaps. Transmisi impuls
pada sebagian besar sinaps melibatkan pelepasan dari neurotransmiter (Groot,1997).
Pada keadaan istirahat dan tidak dirangsang, sebuah serabut saraf berada terpolarisasi dengan
perbedaan potensial sekitar -80 Mv dengan bagian dalam lebih negatif daripada bagian luar.
Potensial membran istirahat ini disebabkan oleh difusi ion natrium dan kalium melalui kanal
pada membran plasma dan dipertahankan oleh pompa Natrium-Kalium (Na-K) dengan
melibatkan transpor aktif yang membutuhkan Adenosine Tri Phospate (ATP) (Snell,2006).
Sebuah potensial aksi dimulai oleh sebuah stimulus yang adekuat pada permukaan neuron pada
segmen inisial akson yang merupakan bagian akson yang paling peka. Stimulus mengubah
permeabilitas membran terhadap ion Na sehingga ion Na masuk ke akson dengan cepat. Ion-
ion positif diluar aksolema berkurang dengan cepat hingga mencapai nol disebut dengan
depolarisasi. Potensial istirahat -80 mV dengan bagian luar membran lebih positif daripada
bagian dalam, potensial aksi sekitar +40 mV dengan bagian luar membran lebih negatif
daripada bagian dalam. Potensial aksi saat ini bergerak sepanjang serabut saraf, ion Na yang
masuk kedalam akson berkurang dan permeabilitas aksolema terhadap ion K meningkat.
Sekarang ion K berdifusi keluar akson dengan cepat sehingga potensial membran istirahat
kembali seperti semula ion Na keluar akson dan ion K kedalam akson. Per mukaan luar
aksolema kembali lebih positif daripada permukaan dalamnya (Hackett ,1992).
Setiap serabut saraf bermielin alfa besar yang masuk ke otot rangka bercabang-cabang dan
selanjutnya berakhir pada sambungan neuromuskular atau motor end plate. Impuls saraf
(potensial aksi) mencapai membran prasinaps motor end plate, membuka kanal-kanal voltage
gate calcium (Ca) yang memungkinkan ion Ca masuk kedalam akson. Keadaan ini
menstimulasi penggabungan beberapa vesikel sinap tik yang menyebabkan pelepasan
asetilkolin ke celah sinap. Jika saraf tepi campuran terganggu, hanya otot yang dipersarafi oleh
saraf ini yang mengalami paralisis, dan paralisis akan berhubungan dengan gangguan sensorik
yang disebabkan oleh interupsi serat aferen. Paralisisnya bersifat fl aksid. Otot tidak hanya
paralisis, tapi juga hipotonik dan arefl eks, karena interupsi dari refl eks regangan mono
sinaptik. Atrofi dari otot yang paralisis dimulai setelah beberapa minggu, menggambarkan
bahwa sel kornu anterior mempunyai pengaruh pada serat otot, yang merupakan dasar dalam
mempertahankan fungsi otot normal. Dengan menggunakan Electromyography (EMG) untuk
menilai kerusakan, memungkinkan untuk menentukan apakah kornu anterior, radiks anterior,
pleksus atau saraf tepi yang terlibat (Snell, 2006)
Lengkung Refleks
Refleks adalah suatu respons involunter terhadap suatu stimlus. Refl eks bergantung
pada keutuhan lengkung refl eks. Dalam bentuk yang paling sederhana, sebuah lengkung refl
eks terdiri dari struktur anatomi: organ reseptor, neuron aferen, neuron efektor dan organ
efektor. Lengkung refl eks seperti ini hanya memiliki satu sinaps di sebut lengkung refleks
monosinaptik. Bila suatu otot rangka dengan persarafan yang utuh diregangkan maka akan
timbul kontraksi yang disebut refl eks regang. Rangsangannya adalah regangan pada otot dan
responsnya berupa kontraksi otot yang diregangkan. Reseptornya adalah kumparan otot
(muscle spindle). Impuls yang timbul akibat peregang an dihantarkan ke SSP melalui serat
saraf sensorik cepat yang langsung bersinap dengan neuron motorik otot yang teregang
(Ganong, 2003).
Beberapa persarafan segmental menimbulkan refl eks otot sederhana yaitu: refl eks
tendon biceps brakhii C5-6 (fl eksi sendi siku), refleks tendon triceps C7-8 (ekstensi sendi
siku), refleks abdominalis superfisial atas (T6-7), tengah (T8-9), bawah (T10-12), refl eks
tendon patella (KPR) L2,3,4 (ekstensi sendi lutut), refl eks tendon achilles (APR) S1-2 (plantar
fleksi) (Duus,1996).
Serat otot ekstrafusal berada dalam panjang yang tetap selama istirahat. Bila otot
teregang, demikian juga gelendong otot, maka ujung saraf anulospiral segera bereaksi terhadap
peregangan dengan mengirimkan potensial aksi ke motoneuron besar dalam medulla
spinalismelalui serat aferen Ia konduksi cepat dan serat eferen tebal alfa1 yang konduksinya
juga cepat ke otot ekstrafusal. Begitu otot berkontraksi, maka panjang asalnya akan kembali.
Setiap regangan otot akan segera mencetuskan mekanisme ini. Dengan dikirimnya impuls ke
motoneuron kornu anterior, perangsangan ini segera menyebabkan kontraksi singkat. Arkus
refleks melibatkan tidak lebih dari 1 atau 2 semen medulla spinalis, sehingga merupakan nilai
diagnostik yang nyata dalam menentukan lokasi cedera (Duus, 1996).
Lengkung Refleks
Refleks adalah suatu respons involunter terhadap suatu stimlus. Refl eks bergantung
pada keutuhan lengkung refleks. Dalam bentuk yang paling sederhana, sebuah lengkung refl
eks terdiri dari strukturanatomi: organ reseptor, neuron aferen, neuron efektor dan organ
efektor. Lengkung refl eks seperti ini hanya memiliki satu sinaps di sebut lengkung refleks
monosinaptik. Bila suatu otot rangka dengan perneuron kornu anterior, perangsangan ini segera
menyebabkan kontraksi singkat. Arkus refl eks melibatkan tidak lebih dari 1 atau 2 segmen
medulla spinalis, sehingga merupakan nilai diagnostik yang nyata alam menentukan lokasi
cedera (Duus, 1996).
Berjalan di atas batu yang tajam dan runcing akan menyebabkan rasa sakit yang segera
menimbulkan gerakan terprogram. Kaki yang tangkas diangkat (fl eksi) dan berat badan
dipindahkan ke tungkai lain. Perpindahan segera akan menyebabkan jatuh bila otot-otot tubuh,
bahu, leher dan lengan tidak segera mengkompensasi ketidakseimbangan dan memastikan
posisi tegak dari tubuh. Peristiwa ini membutuhkan sirkuit yang agak rumit di medula spinalis
yang berhubungan dengan daerah di pusat otak dan serebelum. Seluruh urutan ini terjadi dalam
waktu 1 detik, dan tidak terjadi sampai terasa adanya nyeri. Bagian impuls dari otot, tendon,
sendi dan jaringan yang lebih dalam, menuju serebelum melalui traktus spinoserebelaris
(Duus,1996).
Suatu refleks yang dibangkitkan pada satu sisi tubuh akan menyebabkan reaksi yang
berlawanan pada ekstremitas sisi kontralateral. Refleks ekstensor silang menunjukkan
stimulasi aferen pada lengkung refleks, menyebabkan fleksi pada ekstremitas ipsilateral dan
ekstensi pada ekstremitas sisi kontralateral (Duus,1996).
Pasien diabetes sering kali menunjukkan kerusakan pada tipe sel tersebut, terutama jika
terdapat komplikasi kardiovaskular. Karena hiperglikemia berdampak negatif pada cadangan
progenitor cells dan kapasitas untuk perbaikan dinding pembuluh darah, komplikasi vaskuler
diabetes mungkin mencerminkan “stem cell vasculopathy”, di mana kompartemen sel induk
yang rusak tidak mampu meregenerasi ECs yang sekarat atau VSMC, atau bisa jadi
kompartemen stem cell yang tidak berfungsi berkontribusi terhadap perkembangan penyakit5.
Pada EC retina manusia, keduanya (PARP) dan nuclear factor – kappa B (NF-κB) memainkan
peran sentral, seperti dijelaskan di bawah.
Cedera diabetes mengaktifkan PARP, yang pada gilirannya menginduksi aktivasi NF-κB
melalui jalur pensinyalan seperti tol-like receptor (TLR), dan menyebabkan sel apoptosis.
Mirip dengan jalur NF-κB, tetapi dengan efek biologis yang berlawanan, jalur Notch-1,
berpusat pada di sekitar Notch-1, anggota keluarga reseptor Notch yang terlibat dalam orientasi
stem / progenitor cells, dan dalam siklus hidup sel dewasa, memainkan peran kunci dalam
regulasi fungsi EC dan proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis VSMC. Adanya interaksi yang
baik antara jalur pensinyalan ini telah dikemukakan, dan semakin banyak bukti yang
menunjukkan adanya kerja sama yang kompleks antara Notch1, TLR4 dan NF-κB. Studi
terbaru menemukan bahwa apoptosis meningkat pada tikus diabetes dan EC retina manusia
diinduksi glukosa tinggi yang diperlakukan secara in vitro, melalui aktivasi PARP dan
pembelahan caspase-3, serta melalui berkurangnya ekspresi Notch-1 dan p-Akt. Notch-1
signaling berpartisipasi dalam interaksi PARP dan komponen p50 NF-κB, dan menghambat
apoptosis yang dimediasi PARP dan p50. Jadi, Notch-1 signaling melindungi EC retina
manusia dari apoptosis yang diinduksi PARP dan NF-κB pada pasien dengan glukosa tinggi5
.
Selain itu, EC dan VSMC retina manusia menunjukkan ekspresi menyimpang dari ligan Notch-
1 jagged 1, dan angiogenesis abnormal6.
Wnt signaling pathways juga memainkan peran mendasar dalam banyak hal proses fisiologis
dan patologis di EC, termasuk angiogenesis dan peradangan7. Hilangnya atau bertambahnya
fungsi komponen Wnt pathway menyebabkan perkembangan pembuluh darah abnormal dan
angiogenesis. Mutasi pada koreseptor Wnt, seperti Frizzled, atau molekul lainnya
menghasilkan kerusakan berat vaskularisasi retina7.
Selain itu, kallistatin, antagonis Wnt endogen, memberikan efek antiangiogenik dan anti-
neuroinflamasi dengan menghambat canonical Wnt signaling pada model murine dengan
retinopati diabetik8. Murine adalah spesies tikus
pathophysiology of macroangiopathy diabetic
Mekanisme patogenetik disfungsi vaskular pada diabetes termasuk disregulasi regenerasi
pembuluh darah atau gangguan fungsi sel yang terlibat dalam pemeliharaan homeostatis dan
permeabilitas vaskular (yaitu, sel endotel, sel otot polos, sel stroma, perisit,
sel inflamasi, stem cell/progenitor cell vaskular yang bersirkulasi dan menetap di jaringan)9.
Stem cell/progenitor cell yang berada di dinding pembuluh darah atau beredar dalam darah
akhir-akhir ini menarik banyak perhatian perhatian sebagai mekanisme untuk memperbaiki
kerusakan pembuluh darah dan menggantikan sel endotel yang terkelupas. Cacat pada jumlah
sel progenitor yang bersirkulasi telah dikaitkan dengan faktor risiko kardiovaskular, dan telah
dikaitkan dengan perkembangan penyakit pembuluh darah yang lebih cepat10,11. Diabetes
secara umum, dan komponen hiperglikemik dan resistensi insulin pada diabetes secara
khusus12, telah terkait dengan
pengurangan/kehilangan fungsi sel progenitor, serta stem cell
cacat mobilisasi – yang disebut “mobilopati” 13 sumsum tulang.
terhadap keluarnya stem cell/progenitor yang tidak efektif dari sumsum tulang
ke dalam sirkulasi perifer, berkontribusi pada perkembangan
penyakit pembuluh darah10,11. Secara khusus, hiperglikemia telah menunjukkan
dampak negatif pada cadangan pertumbuhan dan perbaikan dinding kapiler. Salah satu jenis
stem cell, mesenchymal stem cells (MSC), telah diusulkan
sebagai target potensial mekanisme patogenetik terkait diabetes. Penurunan jumlah dan fungsi
stem cell/progenitor yang bersirkulasi dan tinggal di jaringan, termasuk MSC, telah
ditunjukkan pada diabetes tipe 1 dan tipe 2.
Oleh karena itu,
komplikasi makrovaskuler diabetes mungkin mencerminkan – setidaknya sebagian – “stem cell
vasculopathy”, dimana kompartemen stem cell yang rusak tidak mampu
untuk meregenerasi sel otot polos endotel atau pembuluh darah yang sekarat, atau di mana
kompartemen stem cell yang tidak berfungsi itu sendiri berkontribusi terhadap
perkembangan komplikasi makrovaskular. Pada diabetes tipe 2,
pengurangan stem cell/progenitor vaskular berhubungan langsung dengan
tingkat kontrol glikemik. Pada pasien pra-diabetes sudah terlihat beberapa penurunan. Apakah
pengurangan dan/atau disfungsi stem cell/progenitor, bagaimanapun,
akibat langsung dari gangguan kadar glukosa, dan apa penyebabnya
sejauh mana mekanisme yang diduga ini dapat dikaitkan dengan hiperosmolar
komponen hiperglikemia sulit diurai. Pada pasien dengan
diabetes tipe 1, penurunan sel induk/progenitor vaskular sebanding dengan kadar hemoglobin
A1c (HbA1c).
DAPUS : Hildebrand, G.D., dan Fielder, A.R. 2011. Anatomy and Physiology of the Retina.
In Pediatric Retina, p: 39-65
b. Patofisiologi Neuropati Diabetik
Hiperaktivitas Polyol Pathway
Gangguan metabolik merupakan penyebab utama diabetik neuropatik. Hiperglikemia,
bertanggung jawab atas peningkatan aktivitas jalur polyol. Hal ini menyebabkan adanya
peningkatan turnover dari kofaktor seperti NADPH dan NAD⁺, yang berujung pada penurunan
dari reduksi dan regenerasi glutation. Deplesi glutation dapat menjadi penyebab utama dari
stres oksidatif dan akumulasi toksik (3).
Stres Oksidatif dan Nitrosative
Seperti yang sudah disebutkan bahwa stres oksidatif dapat disebabkan hiperaktivitas polyol,
adapun stres oksidatif juga dapat diinisiasi oleh autooksidasi dari glukosa dan metabolit,
meningkatkan formasi dari AGE (advanced glycation end product), peningkatan ekspresi dari
reseptor AGE dan ligand aktivasinya, perubahan fungsi mitokondrial, aktivasi dari isoform
PKC dan overaktivitas dari jalur hexosamin. Selain itu ada juga studi yang menyebutkan bahwa
peningkatan pembentukan radikal bebas akibat metabolisme glukosa dapat juga menjadi faktor
utama diabetik neuropatik.
Perubahan Mikrovaskuler
Adanya perubahan mikrovaskuler menyebabkan perfusi perifer yang menurun. Hal ini
menyebabkan iskemia saraf, disebabkan oleh peningkatan ketebalan dinding dan hialinisasi
basal lamina pembuluh darah.
Channel Sprouting
Adanya gangguan aksi potensial dapat dihasilkan oleh nerve end yang rusak, yang
diinterpretasikan oleh CNS sebagai nyeri atau disestesia. Beberapa channel ion juga dapat
mengalami gangguan berupa upregulasi seperti Nav channel, Na channel, Calcium channel,
Kv channel.
Aktivasi Mikroglia
Adanya aktivasi mikroglia sebagai efek jangka pendek dari peripheral nerve injury
bertanggung jawab atas produksi dari beberapa mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin dan
substansi sitotoksik (NO dan radikal bebas).
Sensitisasi Sentral
Ketika pasien mengalami nyeri diabetik neuropati, aferen primer tersensitisasi, menginduksi
hiperaktivitas cornu dorsalis dan perubahan neuroplastik pada neuron sensorik sentral sehingga
terjadi gangguan proses interpretasi nyeri pada CNS.
Plastisitas Otak
Teori yang lain menyatakan bahwa ada perubahan fungsional dari area pemroses nyeri pada
CNS selain korda spinalis. Hal ini dapat berkaitan dengan perubahan pada thalamus, korteks
dan rostroventromedial medulla.
7. Alur Diagnosis
Retinopati Deabeticum
Anamnesis
Anamnesis awal harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
- Lamanya menderita diabetes - Kontrol gula darah (Hemoglobin A1c)
- Pengobatan yang telah dilakukan
- Riwayat penyakit lain (misalnya obesitas, gangguan ginjal, hipertensi sistemik, pemeriksaan
serum lipid, kehamilan)
- Riwayat penyakit mata yang pernah dialami (trauma, injeksi okular, operasi, termasuk terapi
laser dan operasi refraktif) ¾
Gejala klinik:
- Asimtomatik (tidak ada gejala); bila kelainan pada retinopati diabetika belum menyebabkan
gangguan pada makula atau media penglihatan
- Penglihatan buram
- Floaters
- Penglihatan mendadak terhalang (pada perdarahan vitreus)
- Flashes (bila terjadi lepasnya retina)
- Tirai bayangan (bila terjadi lepasnya retina)
- Rasa sakit pada atau sekitar mata (akibat tekanan bola mata meningkat pada glaukoma
neovaskular) ¾
Pemeriksaan awal harus meliputi:
- Tajam penglihatan Ditentukan dengan memakai kartu Snellen dan hasilnya ditetapkan dalam
angka metrik 6/6, 6/50 dan seterusnya. Pada beberapa penelitian sering juga dipakai kartu log
MAR (logarithm of the Minimum Angle of Resolution) yang dianggap lebih menggambarkan
ketepatan penilaian. 11
- Slit lamp biomicroscopy Dengan alat ini dapat dinilai kondisi segmen anterior dari bola mata.
Sering kali pada penderita DM dapat ditemukan adanya katarak atau neovaskularisasi iris.(6,
19)
- Tekanan Intraokular (TIO) Kemungkinan terjadinya glaukoma pada penderita DM, perlu
dideteksi sejak awal.
- Gonioskopi (atas indikasi)
- Funduskopi pupil lebar:
• Evaluasi polus posterior
• Retina perifer dan vitreus
• Adanya edema makula
• NVD dan/atau NVE
• Tanda-tanda NPDR berat (perdarahan retina luas atau mikroaneurisma, venous beading, dan
IRMA)
• Perdarahan vitreus atau praretina
Pemeriksaan Penunjang meliputi:
1. Foto Fundus Foto fundus merupakan alat diagnostik penting dalam deteksi RD. Berguna pula
untuk mendokumentasikan perkembangan penyakit serta respon terhadap terapi. Colour
fundus photography (CFP) memperlihatkan beberapa fitur retinopati diabetika, seperti: -
Mikroaneurisma - Perdarahan intraretina - Hard exudates - Abnormalitas vena seperti dilatasi
vena dan tortuosity - Venous beading - Neovaskularisasi - Perdarahan preretina - Neovaskular
pada diskus optik (NVD) dan tempat lain (NVE) 12 - Proliferasi fibrovaskular luas pada mata
dengan PDR Advanced
2. Optical Coherence Tomography (OCT) Saat ini OCT merupakan alat diagnostik sangat penting
dalam mendiagnosis EMD. (21) OCT dapat menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi yang
menggambarkan potongan lintang lapisan retina secara in vivo sehingga dapat menggambarkan
ketebalan retina, melihat edema makula, serta dapat mengidentifikasi adanya traksi
vitreomakula.
3. Fluorescein Angiography (FA) Pemeriksaan angiografi merupakan tes yang bernilai klinis
untuk pasien tertentu dengan retinopati diabetika, digunakan untuk petunjuk dalam mengetahui
letak kebocoran dan iskemia retina.(6, 22) FA berguna untuk membedakan apakah
pembengkakan makula disebabkan oleh karena diabetes atau karena penyakit makula lainnya.
FA dapat mengidentifikasi daerah nonperfusi pada area fovea makula bahkan pada seluruh area
makula. FA juga dapat mendeteksi kapiler retina nonperfusi yang tidak dapat diobati setelah
operasi dengan laser scatter. (6)
4. Ultrasonography (USG) USG merupakan salah satu pemeriksaan penunjang pada pasien
diabetes dengan media yang keruh (umumnya karena katarak atau perdarahan vitreus) dan
ablasio retina traksional.
Deabetes
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan HbA1c.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan
dapat ditemukan pada pasien DM. Berikut kriteria diagnosis diabetes melitus (Perkeni, 2021)
:
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori
minimal 8 jam, atau 16
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
dengan beban glukosa 75 gram, atau
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik atau krisis
hiperglikemia, atau d. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) dan Diabetes
Control and Complications Trial assay (DCCT).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke
dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa
darah puasa terganggu (GDPT) yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100
− 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam < 140 mg/dL;
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 - jam setelah TTGO
antara 140 − 199 mg/dL dan glukosa plasma puasa < 100 mg/dL.
Neuropati
Anamnesis
- Nyeri seperti terbakar
- Nyeri seperti tersetrum
- Kesemutan
Pemeriksaan Fisik
- Reflek sensorik
- Reflek Motorik
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan melalui pemeriksaan urinary albumin to creatinin ratio
(UACR) dengan sampel spot urin acak. Nefropati diabetik merupakan diagnosis klinis
berdasarkan adanya albuminuria dan/atau penurunan LFG.
- Nilai diagnosis UACR adalah:
a. Normal : < 30 mg/g
b. Rasio albumin kreatinin 30 ʹ 299 mg/g
c. Rasio albumin kreatinin ш 300 mg/g
- Penapisan dilakukan:
a. Segera setelah diagnosis DM tipe 2 ditegakkan.
b. Jika albuminuria < 30 mg/24 jam dilakukan evaluasi ulang setiap tahun. (B)
- Metode Pemeriksaan
a. Rasio albumin/kreatinin dengan urin sewaktu
b. Kadar albumin dalam urin 24 jam: Pemantauan albumin urin secara kontinu untuk menilai
respon terapi dan progresivitas penyakit masih dapat diterim
Antidepresan
• Tidak dianjurkan dibandingkan
duloxetine atau venlafaxine.
Amitriptilin TIDAK 25–100 mg sebelum • AE termasuk mulut kering, retensi urin,
tidur sedasi, vertigo, sembelit.
• Pantau tekanan darah, detak jantung,
EKG sebelum dan selama
inisiasi; berat; status mental.
• Hindari penggunaan pada pasien yang
berusia lebih dari 60 tahun.
Anti konvulsan
Opioid
Obat topikal
Capsaicin (krim) TIDAK 0,075% TID atau • Dapat digunakan sebagai tambahan pada
(Trixaicin HP) QID obat oral.
• AE termasuk rasa perih, terbakar, dan
gatal lokal; batuk; bersin; ruam.
• Pantau kerusakan kulit.
Patch lidokain TIDAK Maksimum tiga kali • Dapat digunakan sebagai tambahan pada
(Lidoderm) tempelan obat 5% obat oral.
diterapkan satu kali • AE utama mencakup reaksi di tempat
selama maksimal 12 aplikasi (misalnya, lecet, memar, sensasi
jam dalam jangka terbakar, depigmentasi, dermatitis,
waktu 24 jam perubahan warna, edema, eritema,
pengelupasan kulit).
Menurut Mayo Clinic, obat tingkat pertama untuk pasien DPN meliputi duloxetine, oxycodone
CR, pregabalin, dan TCA. Tingkat kedua terdiri dari karbamazepin, gabapentin, lamotrigin,
tramadol dan venlafaxine ER. Mayo Clinic juga menyarankan penggunaan capsaicin topikal
dan lidokain topikal.
Non-farmakologis Neuropati Diabetik
Berdasarkan 8 penelitian mengenai terapi non farmakologi pada pDN, 6 diantaranya
menyebutkan bahwa stimulasi elektrik efektif dalam mengurangi nyeri. stimulasi listrik yang
dapat digunakan antara lain stimulasi saraf listrik perkutan dan transkutan serta stimulasi saraf
elektromagnetik termodulasi.5 Akupuntur juga dilaporkan memiliki efektivitas dalam
manajemen nyeri neuropati.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa latihan yang menyebakan meningkatkan
miRNA dan penurunan Nav1.3 mampu mengurangi nyeri neuropati. Pada penelitian yang
dilakukan kepada tikus, olahraga renang dilaporkan mampu mengurangi nyeri. Selain
itu,olahraga renang juga dapat mencegah kejadian neuropati pada tikus sehat (Putri, 2021).
9. Prognosis, Komplikasi dan Edukasi Diabetes Mellitus, Retinopati Diabetik.
DM tipe 2 yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan berbagai komplikasi
yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik (Tjokroprawiro dkk, 2015). Yang termasuk
komplikasi akut DM antara lain:
1. Hipoglikemia
2. Koma Lakto-Asidosis
3. Ketoasidosis Diabetik – Koma Diabetik
4. Hyperosmolar Hyperglicemia State (HHS) = Hyperosmolar Non Ketolik (HONK)
Komplikasi kronis DM tipe 2 dapat berupa komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang
dapat menurunkan kualitas hidup penderita. Penyebab utama kematian penyandang DM tipe 2
adalah komplikasi makrovaskular. Komplikasi makrovaskular melibatkan pembuluh darah
besar, pembuluh darah otak dan pembuluh darah perifer. Mikrovaskular merupakan lesi
spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus
ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik) (Edwina dkk, 2015).
Makroangiopati
Mikroangiopati
a. Retinopati Diabetik
Prognosis:
Tergantung pada regulasi kadar gula darah dan ketepatan waktu pengobatan dengan
fotokoagulasi LASER.
Komplikasi:
Edukasi DM diambil dari Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam oleh Tjokroprawiro dkk, 2015:
- Kontrol gula darah: gula darah terkontrol merupakan salah satu kunci utama pencegahan
Retinopati diabetikum.
- Segera periksakan diri jika mengalami penurunan penglihatan, floaters, metamorphosia, nyeri,
kemerahan.
KESIMPULAN
Dari hasil anamnesis didapatkan seorang pria berusia 56 tahun mengeluhkan penglihatan
terganggu di kedua mata sejak 2 bulan yang lalu. Kadang-kadang terlihat bintik gelap dan ada
lingkaran cahaya. Pasien kadang-kadang juga merasa kesemutan dan merasa nyeri Ketika
berjalan dan membaik ketika tidak beraktivitas. Ada riwayat diabetes sejak 5 tahun lalu. Pada
pemeriksaan fisik IMT: 29,4 (Overweight). Hasil pemeriksaan Funduskopi terdapat
mikroaneurisma, pemeriksaan sensorik monofilament dilakukan dan didapatkan hasil 10 gr
sudah terdapat nyeri, lalu didapatkan pendarahan pada retina. Pasien didiagnosa kemungkinan
mengalami diabetes mellitus tipe 2 yang berkomplikasi ke retinopati diabetikum dan neuropati
diabetikum. Terapi yang dapat dilakukan pasien yakni ada farmakologi dan non farmakologi,
untuk terapi farmakologi bisa menggunakan metformin dan insulin untuk control diabetes
mellitus. Sedangkan terapi non farmakologi diabetes mellitus yakni pasien dapat mengatur pola
makan 3J (jadwal, jenis, jumlah), melakukan latihan fisik, istirahat cukup. Untuk terapi non
farmakologi Retinopati Diabetik bisa melakukan vitrektomi dan fotokoagulasi. Edukasi yang
diberikan kurang lebih sama dengan terapi non farmakologi yakni pasien dapat menerapkan
pola hidup sehat, meningkatkan aktivitas, patuh pengobatan, menghindari pantangan, melakukan
perawatan luka kaki dan menghindari stress.
MINDMAPPING
DAFTAR PUSTAKA:
Edwina, D. A, Asmana M., Efrida. 2015. Pola Komplikasi Kronis Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat
Inap di Bagian Penyakit Dalam RS. Dr, M. Djamil Padang Januari 2011-Desember 2012. Jurnal Kesehatan
Andalas. Vol. 4, No. 1, Hal. 102-106.
Schreiber AK, Nones CF, Reis RC, Chichorro JG & Cunha JM. Diabetic neuropathic pain:
Physiopathology and treatment. World Journal of Diabetes; 2015. 6(3):432–444. DOI:
https://doi.org/10.4239/wjd.v6.i3.432
Tjokroprawiro, A., dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University
Press (AUP).
dr. H. Achmad Sofwan, M. K. and dr. Aryenti, M. S. (2017) ‘Anatomi Endokrin’, Universitas
Yarsi, pp. 1–7. Available at:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/50ad33eccd269271ca585795f48cf2b4.p
df.
5.] X. Qin, Z. Zhang, H. Xu, et al., Notch signaling protects retina from nuclear factorkappaB-
and poly-ADP-ribose-polymerase-mediated apoptosis under highglucose stimulation, Acta
Biochim. Biophys. Sin. Shanghai 43 (2011) 703–711.
6. C.H. Yoon, Y.E. Choi, S.J. Koh, et al., High glucose-induced jagged 1 in endothelial cells
disturbs notch signaling for angiogenesis: a novel mechanism of diabetic vasculopathy, J. Mol.
Cell. Cardiol. 69 (2014) 52–66.
7. L. Zhao, S.H. Patel, J. Pei, et al., Antagonizing Wnt pathway in diabetic retinopathy, Diabetes
62 (2013) 3993–3995.
10. G.P. Fadini, A reappraisal of the role of circulating (progenitor) cells in the pathobiology of
diabetic complications, Diabetologia 57 (2014) 4–15.
11. J.H. Moon, M.K. Chae, K.J. Kim, et al., Decreased endothelial progenitor cells and
increased serum glycated albumin are independently correlated with plaqueforming carotid
artery atherosclerosis in type 2 diabetes patients without documented ischemic disease, Circ. J.
76 (2012) 2273–2279.
12. M.B. Kahn, N.Y. Yuldasheva, R.M. Cubbon, et al., Insulin resistance impairs circulating
angiogenic progenitor cell function and delays endothelial regeneration, Diabetes 60 (2011)
1295–1303.
13. DiPersio JF, Diabetic stem-cell “mobilopathy”, N. Engl. J. Med. 365 (2011) 2536–2538.
14. G.P. Fadini, C. Agostini, S. Sartore, A. Avogaro, Endothelial progenitor cells in the natural
history of atherosclerosis, Atherosclerosis 194 (2007) 46–54.
15. R. Madonna, Y.J. Geng, R. De Caterina, Adipose tissue-derived stem cells: characterization
and potential for cardiovascular repair, Arterioscler. Thromb. Vasc. Biol. 29 (2009) 1723–1729.
Bansal, V., Kalita J., Misra UK. 2006. Diabetic neuropathy. Postgrad Med Journal, vol.
82(964), hal. 95-100.
Elvira, Ernes Erlyana Suryawijaya. 2019. Retinopati Diabetes. Continuing Medical Education,
vol. 46(3), hal. 220-224.
Lestari., Zulkarnain ST., Aisyah Sijid. 2021. Diabetes Melitus: Review Etiologi, Patofisiologi,
Gejala, Penyebab, Cara Pemeriksaan, Cara Pengobatan dan Cara Pencegahan. UIN Alaudin
journal, vol. 7(1), hal. 237-241.
Gumansalangi, M. N. E., 1999. Glaukoma Salah Satu Penyebab Kebutaan: Mengapa dan Apa Upaya
Pencegahan Kebutaan Ini. Surabaya: Airlangga University Press
Rechtman, E., Harris A., Garzozi HJ., Ciulla TA. 2007. Pharmacologic therapies for diabetic retinopathy
and diabetic macular edema. Clin Ophthalmol, vol. 1(4), hal. 383-391.
Putri, Cindy Aisyah. 2021. Manajemen Nyeri Neuropati Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2.
Jurnal Medika Hutama, vol. 2(3), hal. 954-959.