OLEH
BAB I
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP NIFAS
1.1 Pengertian
Post Partum yang baiasa disebut masa nifas ialah masa dimulainya
sesudah kelahiran plasenta dan menutupnya kandung kemih kembali ke
kondisi normal seperti sebelum hamil, dengan jangak waktu 40 Hari.
Secara etimologi, puer adalah bayi dan parous berarti melahirkan. Dalam
bahasa latin, yang disebut puerperium yaitu waktu tertentu setelah
melahirkan seorang anak. Jadi, puerperium ialah masa pulih kembali atau
masa setelah melahirkan seorang bayi (Sutanto, 2019).
Skala antara setelah melahirkan bayi hinggakembalinya organ
reproduksi seperti sebelum waktu hamil disebut masa Post
Partum.Periode post partum disebut juga peurperium atau trimester 4 dari
kehamilan dan terjadi selama 6 minggu (Anggraini et al., 2019).
1.2 Tujuan Asuhan Keperawatan Post Partum
1) Mendeteksi adanya perdarahan masa nifas
Hilangnya darah sebanyak 500 ml ataupun lebih dari komponen sistem
imun mukosa yang terhubung dari sel serta jaringan yang bekerja
sebagai suatu pertahanan imun yang komplek di permukaan mukosa
setelah melahirkan disebut Pendarahan Post Partum. Penyebab
pendarahan ini yaitu perubahan tanda vitalmisalnya merasa lemah,
berkeringat dingin, kehilangan keseimbangan, menggigil, tekanan
darah sistolik <90 mmHg, nadi >100x/menit, kadar Hb kurang dari 80
gr%.
2) Mempertahankan kesehatan psikologis
Selama masa nifas, adanya pekerjaan lain sebagai ibu atau ibu nifas
yang mengalami kesakitan saat persalinan sangatlah membutuhkan
upaya pemulihan kesehatan mentalnya. Tidak sedikit ibu nifas yang
merasa tidak layak menjadi ibu yang baik untuk bayinya. Perawat
memberikan asuhan untuk menjamin kesehatan mental ibu nifas.
3) Mencegah infeksi dan komplikasi
Resiko infeksi dan komplikasi yang cukup besar terjadi pada ibu nifas.
Perawat memberikan asuhan berupa tindakan perawatan.
4) Menjaga kebersihan diri
Perawatan kebersihan pada daerah kelamin bagi ibu dengan persalinan
normal lebih kompleks daripada ibu bersalin secara operasi, karena ibu
dengan persalinan nirmal mempunyai luka episotomi pada daerah
perineum. Cara merawat perineum ibu melahirkan normal:
a. Ganti pembalut setiap 3-4 jam sekali.
b. Lepas pembalut dari vagina ke anus.
c. Sesudah buang air kecil atau saat ganti pembalut, bilas area
perineum dengan larutan antiseptik.
d. Keringkan dengan handuk lalu ditepuk-tepuk secara pelan-pelan.
e. Tidak boleh memegang area perineum sampai pulih.
f. Tidak boleh duduk terlalu lama untuk menghindari tekanan lama
pada perineum. Disarankan pada ibu bersalin untuk berbaring
miring waktu tidur dan duduk diatas bantal.
g. Dengan adanya rasa gatal menunjukkan luka perineum hampir
sembuh. Rasa gatal dapat diredakan dengan mandi berendam air
hangat.
h. Berikan saran untuk melakukan latihan senam Kegel untuk
merangsang peredaran darah di perineum.
5) Melaksanakan screening secara komprehensif
Tahap ini dilakukan bertujuan untuk mendeteksi masalah apabila ada,
kemudian merujuk serta mengobati ibu dan bayi apabila terjadi
komplikasi.
6) Memberi pendidikan laktasi serta perawatan payudara
a. Merawat payudara agar tetap bersih serta kering.
b. Gunakan bra menyusui agar nyaman waktu melaksanakan peran
sebagai ibu menyusui.
c. Menjelaskan dan mengajari tentang teknik menyusui dan pelekatan
dengan benar.
d. Oleskan kolostrum yang keluar pada sekitar puting susu tiap
sesudah menyusui. Jika puting susulecet.
e. Berikan ke Bayi ASI setiap 2-3 Jam. Apabila payudara bengkak
dan terjadi bendungan kosongkan payudara dengan memompa.
Urutlah payudara dengan cara dari pangkal menuju puting, setelah
itu keluarkanlah ASI sebagian dari arah depan payudara, agar
putting dapat menjadi lunak.
f. Memberikan semangat kepada Ibu untuk tetap menyusui dengan
baik dan benar, walaupuan masih merasakan rasa sakit setelah
melahirkan.
7) Konseling Keluarga Berencana (KB)
Berikut adalah konseling KB yang dapat diberikan bidan kepada Ibu
bersalin:
a. Setiap pasangan suami istri berhak menentukan kapan serta
bagaimana mereka ingin merencanakan keluarganya. Sebelum ibu
hamil kembali, pasangan suami istri harus menunggu minimal yaitu
2 tahun.
b. Perempuan akan mengalami ovulasi sebelum mendapatkan lagi
haidnya sesudah persalinan dan untuk penggunaan KB
diperlukansebelum haid pertama untuk menghindari kehamilan
baru. Pada umumnya metode KB ini bisa dimulai sesudah 2
minggu melakukan persalinan.
c. Untuk melihat hasil metode KB yang diterapkan tersebut bekerja
dengan baik atau tidak maka, suami istri 2 minggu sekali
dianjutkan untuk periksa kembali. Itu jika suami dan istri telah
memilih metode KB tertentu.
8) Mempercepat involusi alat kandungan
9) Meningkatkan kelancaran pada peredaran darah kemudiandapat
mempercepat fungsi hati serta mengeluaran sisa - sisa metabolisme.
(Sutanto, 2019).
1.3 Tahapan Masa Nifas
Ada beberapa tahapan yang di alami oleh wanita selama masa nifas, yaitu
sebagai berikut :
a. Immediate puerperium, yaitu waktu 0-24 jam setelah melahirkan. ibu
telah di perbolehkan berdiri atau jalan-jalan.
b. Early puerperium, yaitu waktu 1-7 hari pemulihan setelah melahirkan.
Pemulihan menyeluruh alat-alat reproduksi berlangsung selama 6-
minggu. Later puerperium, yaitu waktu 1-6 minggu setelah
melahirkan, inilah waktu yang diperlukan oleh ibu untuk pulih dan
sehat sempurna. Waktu sehat bisa berminggu-minggu, bulan dan
tahun. (Wulandari, 2020)
1.4 Adaptasi Psikologis Post Partum
Periode postpartum menyebabkan stress emosional terhadap ibu
baru, bahkan lebih menyulitkan bila terjadi perubahan fisik yang hebat.
Faktor-faktor yang memepengaruhi suksesnya masa transisi ke masa
menjadi orang tua pada masa psotpartum, yaitu:
1) Respon dan dukungan dari keluarga dan teman
2) Hubungan antara pengalaman melahirkan dan harapan serta aspirasi
3) Pengalaman melahirkan dan membesarkan anak yang lain
4) Pengaruh budaya
Satu dua hari postpartum, ibu cenderung pasif dan tergantung. Ia
hanya menuruti nasehat, ragu-ragu dalam membuat keputusan, masih
berfikus untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, masih menggebu
membicarakan pengalaman persalinan. Periode ini diuraikan dalam tiga
tahap:
a. Fase taking in / tergantung
Waktu fase Taking In atau fase keterrgantungan adalah setelah
melahirkan sampai hari ke-2.
Ciri-Ciri :
1) Ibu berfokus pada dirinya sendiri.
2) Ibu belum aktif dan bergantung dengan orang lain.
3) Ibu khawatir akanberubahnya bentuk tubuhnya.
4) Ibu akan selalu mengulangi pengalaman ketika melahirkan.
5) Diperlukan kondisi tenang dalam tidur yang bertujuan untuk
mengembalikan keadaan ke kondisi normal seperti sebelum
melahirkan.
6) Nafsu makan Ibu biasanya bertambah sehingga ibu membutuhkan
peningkatan nutrisi. Ketika nafsu makan kurang menandakan
bahwa proses pengembalian kondisi tubuh tidak berlangsung
dengan normal.
7) Masalah mental ibu pada tahap ini meliputi, rasa bersalah sebab,
tidak siap menyusui anaknya, frustasi karena tidak mendapatkan
apa yang dibutuhkan dari anaknya, ketidaknyamanan karena
perubahan nyata yang dialami ibu selanjutnya, untuk mengandung
anak dan analisis dari pasangan dan keluarganya tentang
bagaimana benar-benar fokus pada anaknya. Cukup lihat saja tanpa
membuat perbedaan.
b. Fase taking hold / antara tergantung dan mandiri
Waktu fase taking hold atau fase transisi antara ketergantungaan dan
kemandirian adalah hari ke-3 sampai hari ke-10.
1) Kekhawatiran ibuakan ketidakmampuan merawat bayi.
2) Ibu menitikberatkan pada kapasitas sebagai orang tua dan
meningkatkan kewajiban terhadap anaknya.
3) Ibu berfokus pada pengendalian BAK, BAB, dan daya tahan tubuh.
4) Ibu berusaha mendominasi cara untuk benar-benar fokus pada anak
misalnya menyusui,menggendong, mencuci, serta mengembangkan
popok.
5) Ibu pada umumnya akan lebih terbuka untuk mendapatkan
konseling dan data dari dokter spesialis, perawat, dan bidan.
c. Fase letting go / mandiri
Hari ke-10 hingga akhir masa nifas disebut fase mandiri. Ciri-ciri :
1) Ibu merasa lebih percaya diri terhadap perawatan diri serta bayinya.
2) Tanggung jawab seorang ibu dalam merawat bayinya dan
memahami kebutuhan bayi. (Sutanto, 2019)
1.5 Adaptasi Fisiologis Post Partum
Sistem tubuh ibu akan kembali beradaptasi untuk menyesuaikan
dengan kondisi post partum. Organ-organ tubuh ibu yang mengalami
perubahan setelah melahirkan antara lain:
1) Uterus Involusi merupakan suatu proses kembalinya uterus pada
kondisi sebelum hamil. Perubahan ini dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan palpasi untuk meraba dimana Tinggi Fundus
Uterinya (TFU).
Waktu TFU Berat Uterus
Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gr
Uri lahir 2 jari di bawah pusat 750 gr
1 minggu ½ pst symps 500 gr
2 minggu Tidak teraba 350 gr
6 minggu Bertambah kecil 50 gr
8 minggu Normal 30 gr
Tabel. Perubahan Uterus
2) Lokhea
Lokhea adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas. Lokhea
berbau amis atau anyir dengan volume yang berbeda-beda pada setiap
wanita. Lokhea yang berbau tidak sedap menandakan adanya infeksi.
Lokhea mempunyai perubahan warna dan volume karena adanya
proses involusi.
Lokhea dibedakan menjadi 4 jenis berdasarkan warna dan waktu
keluarnya:
a) Lokhea rubra Lokhea ini keluar pada hari pertama sampai hari ke-4
masa post partum. Cairan yang keluar berwarna merah karena terisi
darah segar, jaringan sisa-sisa plasenta, dinding rahim, lemak bayi,
lanugo (rambut bayi), dan mekonium.
b) Lokhea sanguinolenta Lokhea ini berwarna merah kecokelatan dan
berlendir, serta berlangsung dari hari ke-4 sampai hari ke-7 post
partum.
c) Lokhea serosa Lokhea ini berwarna kuning kecokelatan karena
mengandung serum, leukosit, dan robekan atau laserasi plasenta.
Keluar pada hari ke-7 sampai hari ke14.
d) Lokhea alba Lokhea ini mengandung leukosit, sel desidua, sel
epitel, selaput lendir serviks, dan serabut jaringan yang mati.
Lokhea alba ini dapat berlangsung selama 2-6 minggu post partum.
Lokhea yang menetap pada awal periode post partum menunjukkan
adanya tanda-tanda perdarahan sekunder yang mungkin disebabkan
oleh tertinggalnya sisa atau selaput plasenta. Lokhea alba atau
serosa yang berlanjut dapat menandakan adanya endometritis,
terutama bila disertai dengan nyeri pada abdomen dan demam. Bila
terjadi infeksi, akan keluar cairan nanah berbau busuk yang disebut
dengan “lokhea purulenta”. Pengeluaran lokhea yang tidak lancar
disebut “lokhea statis”.
3) Perubahan Vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan, serta peregangan yang sangat
besar selama proses melahirkan bayi. Dalam beberapa hari pertama
sesudah proses tersebut, kedua organ ini tetap dalam keadaan kendur.
Setelah 3 minggu, vulva dan vagina kembali kepada keadaan tidak
hamil dan rugae dalam vagina secara berangsur-angsur akan muncul
kembali, sementara labia menjadi lebih menonjol.
4) Perubahan Perineum
Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena
sebelumnya teregang oleh tekanan bayi yang bergerak maju. Pada post
partum hari ke-5, perinium sudah mendapatkan kembali sebagian
tonusnya, sekalipun tetap lebih kendur daripada keadaan sebelum
hamil.
5) Perubahan Sistem Pencernaan
Biasanya ibu mengalami konstipasi setelah persalinan. Hal ini
disebabkan karena pada waktu melahirkan alat pencernaan mendapat
tekanan yang menyebabkan kolon menjadi kosong, pengeluaran cairan
yang berlebihan pada waktu persalinan, kurangnya asupan makan,
hemoroid dan kurangnya aktivitas tubuh.
6) Perubahan Sistem Perkemihan
Setelah proses persalinan berlangsung, biasanya ibu akan sulit untuk
buang air kecil dalam 24 jam pertama. Penyebab dari keadaan ini
adalah terdapat spasme sfinkter dan edema leher kandung kemih setelah
mengalami kompresi (tekanan) antara kepala janin dan tulang pubis
selama persalinan berlangsung. Kadar hormon estrogen yang besifat
menahan air akan mengalami penurunan yang mencolok. Keadaan
tersebut disebut “diuresis”.
7) Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Otot-otot uterus berkontraksi segera setelah partus, pembuluh darah
yang berada di antara anyaman otot-otot uterus akan terjepit, sehingga
akan menghentikan perdarahan. Ligamen-ligamen, diafragma pelvis,
serta fasia yang meregang pada waktu persalinan, secara berangsur-
angsur menjadi ciut dan pulih kembali. Stabilisasi secara sempurna
terjadi pada 6-8 minggu setelah persalinan.
8) Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Setelah persalinan, shunt akan hilang tiba-tiba. Volume darah
bertambah, sehingga akan menimbulkan dekompensasi kordis pada
penderita vitum cordia. Hal ini dapat diatasi dengan mekanisme
kompensasi dengan timbulnya hemokonsentrasi sehingga volume darah
kembali seperti sediakala. Pada umumnya, hal ini terjadi pada hari
ketiga sampai kelima postpartum
9) Perubahan Tanda-tanda Vital
Pada masa nifas, tanda – tanda vital yang harus dikaji antara lain:
a) Suhu badan Dalam 1 hari (24 jam) post partum, suhu badan akan
naik sedikit (37,50 – 38◦ C) akibat dari kerja keras waktu
melahirkan, kehilangan cairan dan kelelahan. Apabila dalam
keadaan normal, suhu badan akan menjadi biasa. Biasanya pada hari
ketiga suhu badan naik lagi karena ada pembentukan Air Susu Ibu
(ASI). Bila suhu tidak turun, kemungkinan adanya infeksi pada
endometrium.
b) Denyut nadi normal pada orang dewasa 60-80 kali per menit.
Denyut nadi sehabis melahirkan biasanya akan lebih cepat. Denyut
nadi yang melebihi 100x/ menit, harus waspada kemungkinan
dehidrasi, infeksi atau perdarahan post partum.
c) Tekanan darah Tekanan darah biasanya tidak berubah.
Kemungkinan tekanan darah akan lebih rendah setelah ibu
melahirkan karena ada perdarahan. Tekanan darah tinggi pada saat
post partum menandakan terjadinya preeklampsi post partum.
d) Pernafasan Keadaan pernafasan selalu berhubungan dengan keadaan
suhu dan denyut nadi. Bila suhu nadi tidak normal, pernafasan juga
akan mengikutinya, kecuali apabila ada gangguan khusus pada
saluran nafas. Bila pernafasan pada masa post partum menjadi lebih
cepat, kemungkinan ada tanda-tanda syok. (Risa & Rika, 2014)
1.6 Tanda-Tanda Bahaya Masa Nifas
a. Perdarahan hebat atau peningkatan perdarahan secara tiba-tiba
(melebihi haid biasa atau jika perdarahan tersebut membasahi lebih
dari 2 pembalut saniter dalam waktu setengah jam).
b. Pengeluaran cairan vaginal dengan bau busuk yang keras.
c. Rasa nyeri di perut bagian bawah atau punggung. Sakit Kepala yang
terus menerus. nyeri epigastrium, atau, masalah penglihatan.
d. Pembengkakan pada wajah dan tangan, deman, muntah, rasa sakit
sewaktu buang air seni, atau merasa tidak enak badan, payudara yang
memerah panas dan/atau sakit.
e. Kehilangan selera makan untuk waktu yang berkepanjangan, rasa
sakit, warna merah, kelembutan dan/atau pembengkakan pada kaki.
f. Merasa sangat sedih atau tidak mampu mengurus diri-sendiri atau
bayi.
g. Merasa sangat letih atau bernafas terengah-engah.
(Wilujeng & Hartati, 2018).
B. KONSEP SECTIO CAESAREA
2.1 Definisi
Sectio Caesarea adalah satu bentuk persalinan dengan melakukan
sebuah insisi pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu dan uterus
dengan tujuan mengeluarkan bayi. Cara ini biasanya dilakukan ketika
kelahiran melalui vagina terdapat kendala/ suatu problem kendati metode ini
semakin umum sebagai pengganti persalinan normal (Jauniaux & Grobman,
2016). Sectio Caesarea merupakan persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syaraf rahim
dalam keadaan utuh serta berat diatas 500 gr (Jong, 2012).
Persalinan Sectio Caesarea merupakan proses melahirkan janin,
plasenta dan selaput ketuban melalui dinding perut dengan cara membuat
irisan pada dinding perut dan rahim, dilakukan dengan tujuan agar
keselamatan ibu dan bayi dapat ditangani dengan baik (Oxorn, 2012).
Tindakan SC dilakukan karena adanya komplikasi dan penyulit yang
dapat menyebabkan kematian bagi ibu. Indikasi SC secara klinis dibagi
menjadi 3, yaitu indikasi ibu, utero-plasental dan janin. Panggul dan rahim
pada ibu dengan usia ≤ 20 tahun belum berkembang dengan baik sehingga
dapat menjadi penyulit persalinan. Selain itu risiko kematian akibat persalinan
pada wanita usia 35 tahun juga 3 kali lebih tinggi dari kelompok usia
reproduksi sehat (21-35 tahun) (Saifudin, 2013).
2.2 Tujuan Asuhan Keperawatan Post Op Section Caesarea
Asuhan keperawatan post SC dilakukan untuk menggali dan
mengatasi masalah yang muncul akibat insisi pembedahan, diberikan secara
menyeluruh dan komprehenensif baik dari segi bio-fisio-psiko dan spiritual
(Perry & Potter, 2012).
Persalinan section caesarea mempunyai risiko masalah atau
komplikasi lima kali lebih tinggi dibandingkan persalinan normal. Banyak
faktor yang mempengaruhi akan hal tersebut, perdarahan atau pengeluaran
darah yang berlebih dan infeksi merupakan masalah yang sering kali dialami
oleh ibu. Perdarahan terjadi akibat terbukanya cabang-cabang arteria uterine
karena insisi atau pembedahan. Tanda infeksi pada ibu nifas post SC dapat
diamati dengan keluarnya lochea yang berlebih berbentuk layaknya nanah
dan berbau tidak sedap atau busuk, tingginya fundus uteri serta ukuran uterus
yang lebih besar dan lembek dari kondisi yang seharusnya (Ramadanty,
2019).
Nyeri muncul akibat insisi yang menimbulkan gangguan rasa nyaman.
Masalah post SC lain yang dapat muncul yakni risiko lebih tinggi bayi tidak
disusui oleh ibu dibanding dengan persalinan pervaginam, sensasi nyeri yang
dirasakan menjadi faktor penyulit sang ibu untuk menyusui banyinya, jika
inisiasi menyusui dini mengalami keterlambatan dapat berakibat penurunan
dari sekresi prolaktin. Masalah mobilitas fisik muncul dari efek insisi atau
terputusnya kontinuitas jaringan, mobilisasi ibu mengalami keterbatasan
konsekuensi dari rasa nyeri dan sekitar 68% ibu mengalami kesulitan dalam
perawatan terhadap bayinya (Mander, 2012).
2.3 Etiologi
1. Faktor Ibu
a. Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya pada usia sekitar 34 tahun
memiliki resiko melahirkan dengan operasi.
b. Tulang Panggul
Chephalopelvic Diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan
ibu tidak dapat melahirkan secara alami.
c. Riwayat Sectio Caesarea Sebelumnya
Persalinan melalui bedah sesar tidak mempengaruhi persalinan
selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Apabila memang
ada indikasi yang mengharuskan dilakukannya tindakan pembedahan,
seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan lahir yang
tidak mau membuka maka operasi bisa saja di lakukan.
d. Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku
sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan
kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat yang pendek dan ibu sulit
nafas.
e. Ketuban Pecah Dini
Robeknya kantunng ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi
harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban merembes
keluar sehingga tinggal sedikit atau habis. (Rosenberg & Smith. 2012)
2. Faktor Janin
a. Gawat Janin
Denyut jantung janin yang lemah, normalnya berkisar antara 120-160.
Namun dengan CTG (cardiotography) denyut jantung janin melemah,
lakukan segera sectio caesarea segera untuk menyelamatkan janin.
b. Letak Sungsang
Letak sungsang dapat menyebabkan proses janin tidak sesuai dengan
arah jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi yang satu dan
bokong pada posisi yang lain.
c. Faktor Plasenta
1) Plasenta Previa
Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian atau
seluruhnya dari jalan lahir.
2) Plasenta Lepas (Solution Plasenta)
Merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari dinding
rahim sebelum waktunya. Persalinan dengan operasi dilakukan untuk
menolong janin segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan
oksigen atau kerucunan air ketuban.
3) Plasenta Accreta
Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Pada
umumnya dialami pad ibu yang mengalami persalinan yang berulang
tiga kali, usia ibu rawan untuk hamil (diatas 35 tahun), dan ibu yang
pernah operasi (operasinya meninggalkan bekas yang menyebabkan
menempelnya plasenta).
4) Kelainan Tali Pusat
a) Prolapsus Tali
Pusat (Tali
Pusat
Menumbang)
Keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada
keadaan ini tali pusat berada didepan atau disamping atau tali pusat
sudah berada dijalan lahir.
b) Lilitan Tali
Pusat
Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya selama tali
pusat tidak terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen dan nutrisi
dari plasenta ke tubuh janin tetap aman. (Rosenberg & Smith,
2012)
2.4 Jenis Sectio Caesarea
1. Sectio caesarea klasik
Yaitu insisi pada segmen atas uterus atau korpus uteri. Pembedahan ini
dilakukan bila segmen bawah rahim tidak dapat dicapai dengan aman, bayi
besar dengan kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah.
2. Sectio caesarea transperitoneal profunda
Yaitu dengan insisi pada segmen bawah rahim merupakan suatu
pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus.
3. Secti caesarea diikuti dengan histerektomi
Yaitu pengangkatan uterus setelah secti caesarea karena atonia uteri yang
tidak dapat diatasi dengan tindakan lain pada mimatousus yang besar dan
banyak atau pada ruptur uteri yang tidak dapat diatasi dengan jahitan.
4. Sectio caesarea ekstraperitoneal
Yaitu sectio sectio yang dilakukan tanpa insisi peritoneum dengan
mendorong lipatan peritoneum keatas dan kandung kemih ke bawah atau
ke garis tengah kemudian uterus dibuka dengan insisi di segmen bawah.
(Hutabarat, dkk. 2022)
2.5 Patofisiologi
Terjadi kelainan pada ibu serta janin menimbulkan persalinan normal
tidak membolehkan serta akhirnya mesti dicoba tindakan sectio caesarea,
apalagi saat ini secto caesarea jadi salah satu opsi persalinan( Sugeng, 2015).
terdapatnya sebagian hambatan ada proses persalinan yang menimbulkan bayi
tidak bisa dilahirkan secara normal, misalnya plasenta previa, rupture
sentralis serta lateralis, panggul kecil, partus tidak maju( partus lama),
preeklamsi, distoksia service serta mall presentasi janin keadaan tersebut
menimbulkan tindakan operasi sectio caesarea( SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan yang hendak
menimbulkan pasien hadapi mobilisasi sehingga hendak memunculkan
permasalahan intoleransi kegiatan. Terdapatnya kelumpuhan sementara serta
kelemahan raga hendak menimbulkan penderita tidak sanggup melaksanakan
kegiatan perawatan diri penderita secara mandiri sehingga mencuat masalaah
defisit perawatan diri. Minimnya data menimpa proses operasi, pengobatan
serta perawatan post pembedahan hendak memunculkan permasalahan
ansietas pada pasien. Tidak hanya itu dalam proses operasi pula hendak
dilakukan tindakan insisi pada bilik abdomen sehingga menimbulkan
inkontuinuitas jaringan, pembuluh darah serta saraf- saraf di wilayah insisi.
Perihal ini hendak memicu pengeluaran histamin serta prostaglandin yang
hendak memunculkan rasa perih.
Setelah itu, pada saat cedera insisi terasa perih ibu hendak merasa
malas buat bergerak sehingga hendak muncul ketidakefektifan pemberian
ASI. Sesudah seluruh proses operasi berakhir, wilayah insisi hendak ditutup
serta menimbullkan cedera post pembedahan yang apabila tidak dirawat
dengan baik hendak memunculkan permasalahan resiko infeksi. (Nurarif &
Hardhi, 2015)
Indikasi Sectio Caesarea
2.6 Pathway
Faktor Janin: Faktor Ibu:
1. Gawat janin 1. Usia
2. Letak sungsang 2. Tulang panggul
3. Faktor plasenta (plasenta previa, solution plasenta, 3. Riwayat sectio caesarea sebelumnya
plasenta accreta) 4. Hambatan
4. Kelainan tali pusat (prolaps tali pusat, lilitan tali pusat) 5. Ketuban
Sectio Caesarea
Trauma jaringan Luka bekas insisi Efek anestesi Adaptasi fisiologis Adaptasi psikologis
Diskontinuitas jaringan Invasi Mempengaruhi tonus Proses laktasi Taking in Taking hold Letting go
uteri
Risiko Isapan bayi Stimulasi Hip.
Nyeri Akut Kelemahan Infeksi Atonia uteri posterior Perubahan peran
fisik
Stimulasi Hip.
Risiko perdarahan anterior
Gangguan Kurang Sekresi Ansietas
Mobilitas informasi oksitosin
Fisik tentang
mobilisasi Sekresi
prolaktin Produksi ASI
sedikit
Defisit
Pengetahuan Putting inverte
Menyusui Tidak Efektif
2.7 Komplikasi Kelahiran Sectio Caesarea
1. Infeksi puerperal : komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu
selama beberapa hari dalam masa nifas bersifat berat seperti peritonitis,
sepsis dsb.
2. Perdarahan : perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika
cabang-cabang srteri ikut terbuka atau karena atonia uteri.
3. Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kencing, embolisme
paru-paru dan sebagainya sangat jarang terjadi. Suatu komplikasi yang
baru kemudian tampak ialah kuarang kuatnya perut dinding uterus,
sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri.
Kemungkinan peristiwa ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio
saecarea.(Padila, 2015)
2.8 Penatalaksanaan Sectio Caesarea
1. Pemberian Cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan per intavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar
tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya.
Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL
secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb
rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
2. Diet
Pemberian cairan per infus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan per oral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 sampai 8 jam
pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi : Miring kanan dan kiri dapat
dimulai sejak 6 sampai 10 jam setelah operasi, Latihan pernafasan dapat
dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin setelah sadar,
Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya, Kemudian posisi
tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semifowler),
Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada
hari ke-3 sampai hari ke-5 pasca operasi.
4. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan rasa tidak enak
pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan.
Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis
operasi dan keadaan penderita.
5. Pemberian obat-obatan
Antibiotik cara pemilihan dan pemberian antibiotik sangat berbeda-beda
sesuai indikasi. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran
pencernaan.
6. Perawatan Luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan
berdarah harus dibuka dan diganti.
7. Pemeriksaan Rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan
darah, nadi,dan pernafasan.
8. Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan
tidak menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan
payudara tanpa banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa
nyeri. (Padila, 2015)
2.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan janin terhadap kesehatan janin
2. Pemantauan EKG
3. Darah lengkap, elektrolit
4. Golongan darah dan Urinalis
5. Amniosentesis terhadap maturitis paru janin sesuai indikasi
6. Pemeriksaan sinar X sesuai indikasi
7. Ultrasound sesuai pesanan
(tucker, susan martin, 1998. Dalam buku aplikasi Nanda, 2015)
BAB II
KONSEP DASAR PROSES KEPERAWATAN
V. Data Fokus
1. Pada pemeriksaan kepala meliputi bentuk kepala, kulit kepala,
apakah ada lesi atau benjolan, dan kesan wajah, biasanya terdapat
chloasma gravidarum pada ibu post partum. Pada pemeriksaan mata
meliputi kelengkapan dan kesimetrisan mata,kelompok mata,
konjungtiva, cornea, ketajaman pengelihatan. Pada ibu post sectio
caesarea biasanya terdapat konjungtiva yang anemis diakibatkan
oleh kondisi anemia atau dikarenakan proses persalinan yang
mengalami perdarahan.
2. Pada pemeriksaan payudara pada ibu yang mengalami bendungan
ASI meliputi bentuk simetris, kedua payudara tegang, ada nyeri
tekan, kedua puting susu menonjol, areola hitam, warna kulit tidak
kemerahan, ASI belum keluar atau ASI hanya keluar sedikit.
3. Pada pemeriksaan abdomen meliputi inspeksi (lihat luka bekas
operasi apakah ada tanda-tanda infksi dan tanda perdarahan, apakah
terdapat striae dan linea), auskultasi (peristaltic usus normal 5-35
kali permenit), palpasi (kontraksi uterus baik atau tidak).
4. Pada pemeriksaan genetalia eksterna meliputi inspeksi (apakah ada
hematoma, oedema,tanda-tanda infeksi,periksa lokhea meliputi
warna, jumlah, dan konsistensinya).
5. Pada pemeriksaan kandung kemih diperiksa apakah kandung kemih
ibu penuh atau tidak, jika penuh minta ibu untuk berkemih, jika ibu
tidak mampu lakukan kateterisasi.
6. Pada pemeriksaan integument meliputi warna, turgor, kerataan
warna, kelembaban, temperatur kulit, tekstur, hiperpigmentasi.
7. Pada pemeriksaan ekstermitas meliputi ada atau tidaknya varises,
oedema, reflek patella, reflek Babinski, nyeri tekan atau panas pada
betis, pemeriksaan human sign.
8. Pada pemeriksaan status mental meliputi kondisi emosi, orientasi
klien, proses berpikir, kemauan atau motivasi serta persepsi klien.
(Dermawan,2012).
VI.Data penunjang
Darah : pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin 13-14 jam pasca
persalinan (apabila nilai Hb dibawah 10% dibutuhkan sumplemen FE)
eritrosit,trombosit dan leukosit.