Latar Belakang
Invansi militer terhadap Amerika Serikat yang dilakukan oleh Jepang di Pearl
Harbour di tahun 1941, malah menjadi bumerang bagi Jepang. Peristiwa ini menyebabkan
Amerika Serikat pada akhirnya ikut turun tangan dalam Perang Dunia Kedua, setelah
sebelumnya mereka lebih memilih untuk pasif. Konflik diantara keduanya terus berkembang
dan berujung pada terjadinya peristiwa pengeboman terhadap negara Jepang didua wilayah
yang berbeda yaitu Hiroshima dan Nagasaki. Amerika Serikat menjatuhkan bom atom
pertama di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dengan bom yang dinamai Little Boy dan
dilanjutkan dengan seranagan di Nagasaki pada 9 Agustus 1945 dengan bom yang dinamai
Fat Boy.
Dampak buruk yang disebabkan oleh pengeboman yang dilakukan oleh Amerika
Serikat sangat membekas dan menyisakan dampak buruk bagi Jepang. Diprediksi, korban
jiwa mencapai angka 135.000 jiwa di Hiroshima dan Nagasaki (HISTORY,2020). Patut
diketahui bahwa dampak dari radiasi bom atom sendiri dapat menganggu stabilitas hayati
sekitar dan juga memperngaruhi sumber daya manusia dalam kurun waktu yang cukup
panjang. Ini merupakan salah satu konsekuensi yang harus diterima Jepang dan rakyatnya,
akibat partisipasi mereka di Perang Dunia II. Pasca PDI, paham antimiliterisme pun kian
berkembang (Berger, 1993). Dengan berkembangnya paham ini, Jepang pun melakukan
perubahan Konstitusi, yaitu dari Konstitusi Meijij menjadi Konstitusi 1947. Perubahan ini
menyebabkan Jepang menjadi negara Pasifis. Dalam pasal 9 yang tercatat di Konstitusi 1947,
Jepang mengatakan bahwa mereka tak akan terlibat dalam perang apapun dengan bukti
mereka tak lagi mempertahankan angkatan darat, laut, serta udara mereka, dan juga seluruh
potensi perang lainnya.
Meski Jepang tak memiliki angkatan bersenjata lagi, mereka tetap ikut ambil bagian
dalam menandatangani United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS).
Jepang menandatangani UNCLOS di tahun 1994 dan kemudian melakukan eatifikasi pada
tahun 1996. Dampak dari Jepang yang menandatangani UNCLOS adalah mereka memiliki
hak untuk mendeklarasikan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Dalam Article V ayat 55
UNCLOS, ZEE merupakan teritori luar yang berbatasan langsung dengan laut teritorial suatu
negara. Klaim atas negara terhadap ZEE adalah tidak melebihi 200 nautical miles dari
baselines laut teritorial negara terkait (Article V ayat 57 UNCLOS). Kemudian dalam ayat 58
dari Article V UNCLOS, dikatakan bahwa negara mendapatkan hak istimewa berupa
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut dalam teritori tersebut.
Suatu negara akan mendekati rezim internasional yang berkuasa untuk memastikan
kepentingan nasional mereka dapat terpenuhi dengan maksimal. Jepang juga melakukan hal
yang sama, mengingat negara ini memiliki garis pantai yang cukup panjang hingga mencapai
kurang lebih 29.751 KM (Rizaty, 2021). Dengan panjangnya garis pantai mereka, tentu
menunjukkan bahwa Jepang juga memiliki sumber daya alam laut yang melimpah. Bukti
nyata nya adalah, wilayah ZEE Jepang mengandung berbagai kandungan mineral langka
seperti itrium, europium, terbium, dan disprosium yang dapat memenuhi permintaan global
selama kurang lebih 50 tahun kedepan (Nature, 2020).
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pasca Jepang menandatangani UNCLOS,
mereka menarik semua angkatan bersentaja. Maka dalam essai kali ini muncul lah sebuah
pertanyaan, Bagaimana Jepang Mengelola Perbatasan Maritim Mereka? Bagaimana
cara dan sistem yang digunakan Jepang dalam mengelola perbatasan maritim mereka
tanpa adanya angkatan bersenjata?
Penegakan hukum di wilayah tersebut dilakukan Jepang melalui JCG yang memang
menjadi aktor utama dalam penegakan hukum laut mereka. Secara khusu, JCG membatasi
jalur kapal Chinese Coast Guard (CCG) ketika memasuki teritorti laut Jepang dan meminta
kapal yang menerobos batas untuk segera putar balik (Jun, 2020). Kejadian ini kemudian
menjadi sebuah dilema tersendiri bagi Jepang yang memang tidak diperkuat dengan
kekuakan angkatan bersenjata, sehingga opsi dalam penegakan kedaulatan mereka di
Kepulauan Senkaku menjadi sangat terbatas. Terlebih JMSDF, hanya dapat terlibat apabil
Tiongkok mengambil langkah pengambilan alih dengan menggunakan kekuatan militer
terhadap Kepulauan Senkaku. Mengingat bahwa JMSDF, dibentuk dengan tujuan awal utnuk
menjaga keamana dan ketertiban Jepang.
Penulis memandang bahwa Jepang tidak bisa selamanya mempertahankan pasifisme
mereka. Hal ini mengingat tidak stabilnya geopolitik di Asia Timur, di mana masing-masing
negara memiliki hubungan yang kurang baik. Sengketa Kepulauan Senkaku merupakan satu
dari banyak konflik yang terjadi antara Jepang dengan negara Asia Timur lainnya. Selain itu,
konflik antara Rusia dan Ukraina yang meletus pada awal tahun 2022 seharusnya menjadi
alarm bagi Jepang untuk memperkuat sistem keamanan negara, dalam hal ini pengelolaan
wilayah laut, karena konflik dengan negara lain dapat terjadi kapan pun. Hal pertama yang
perlu mereka lakukan tentunya kembali mengevaluasi apakah pasifisme Jepang masih
diperlukan dalam politik internasional pada era sekarang. Terlebih, sengketa Kepulauan
Senkaku masih belum dapat diselesaikan, meski sejumlah perjanjian internasional telah
disepakati antara Jepang dengan Tiongkok, seperti Perjanjian San Fransisco.
Selaras dengan pandangan realisme, bahwa hubungan antarnegara akan selalu
konfliktual. Hal ini tidak terlepas dari struktur internasional yang bersifat anarki, sehingga
negara akan selalu mengutamakan kepentingan nasionalnya (Rosyidin, 2020: 30). Menurut
realisme, kepentingan nasional tersebut ditafsirkan sebagai power dan atau keamanan
nasional (Rosyidin, 2020: 30). Keamanan nasional sendiri sangat ditentukan oleh kekuatan
militer suatu negara. Sementara itu, Jepang yang tidak memiliki angkatan bersenjata dan
melarang penggunaan militer yang dapat memicu terjadinya perang akan selalu dihadapkan
dengan dilema ketika terlibat konflik dengan negara lain. Terlebih, struktur internasional
yang anarki membuat suatu negara tidak bisa selalu bergantung pada negara lain, melainkan
perlu untuk membangun national power-nya sendiri (Rosyidin, 2020: 31).
Simpulan
Perang Dunia Ketiga menyisakan trauma yang mendalam bagi masyarakat Jepang.
Dua bom nuklir yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki memiliki
dampak buruk yang luar biasa bagi Jepang. Ratusan ribu jiwa yang kemudian akhirnya
menjadi korban dalam insiden inilah yang menjadi latar belakang Jepang menjadi negara
pasifis. Dengan mengambil tindakan untuk mengamandemen konstitusi mereka, Jepang pun
meninggalkan segala bentuk peperangan yang membuat mereka tidak lagi memiliki angkatan
bersenjata. Sementara itu, dengan garis pantai yang cukup panjang, Jepang juga
menandatangani dan meratifikasi UNCLOS. Diratifikasinya UNCLOS menjadi jalan bagi
Jepang untuk mengklaim ZEE mereka yang merupakan salah ZEE terbesar di dunia. Hal ini
jelas membuat Jepang memiliki kekayaan laut yang begitu melimpah, mulai dari mineral
langka, keanekaragaman hayati, hingga gas alam.
Namun, tidak adanya angkatan bersenjata membuat Jepang memiliki cara yang
berbeda dalam mengelola perbatasan maritim mereka. Japan Coast Guard (JCG) menjadi
aktor utama bagi Jepang dalam menangani berbagai permasalahan di wilayah laut mereka.
Tugas dan fungsi JCG diatur dalam Undang-undang Nomor 102 Tahun 1999, di mana tujuan
utama mereka adalah untuk selalu melindungi kehidupan, properti, serta mencegah dan
mendeteksi pelanggaran hukum di wilayah laut Jepang. Dalam menjalankan tujuan tersebut,
JCG dibantu oleh Japan Maritime Self-Defense Force (JMSDF). Namun, JMSDF berbeda
dengan JCG, di mana tugas mereka adalah menjaga keamanan dan ketertiban negara.
Tidak adanya angkatan bersenjata menempatkan Jepang dalam sebuah dilema ketika
berhadapan pada konflik dengan negara lain. Salah satu konflik yang telah terjadi sejak lama
dalam wilayah laut Jepang adalah konflik mereka dengan Tiongkok terkait Kepulauan
Senkaku. Kepulauan Senkaku memang tidak berpenghuni, tetapi diklaim memiliki 85 persen
persediaan gas alam dan minyak bumi dunia. Namun, Jepang tidak dapat berbuat banyak
untuk menegakkan kedaulatannya, karena Jepang hanya mampu untuk membatasi jalur kapal
Chinese Coast Guard (CCG) yang memasuki teritori laut Jepang. Hal ini menjadi dilematis
bagi Jepang karena tidak adanya angkatan bersenjata membuat opsi mereka dalam
menegakkan kedaulatan menjadi terbatas.