Anda di halaman 1dari 7

Pengelolaan Perbatasan Laut : Dilema Jepang dalam Sengketa Kepulauan Senkaku

Vinolla Sekar Ayu Shakira - 14050120130054


Hukum Laut Internasional

Latar Belakang

Invansi militer terhadap Amerika Serikat yang dilakukan oleh Jepang di Pearl
Harbour di tahun 1941, malah menjadi bumerang bagi Jepang. Peristiwa ini menyebabkan
Amerika Serikat pada akhirnya ikut turun tangan dalam Perang Dunia Kedua, setelah
sebelumnya mereka lebih memilih untuk pasif. Konflik diantara keduanya terus berkembang
dan berujung pada terjadinya peristiwa pengeboman terhadap negara Jepang didua wilayah
yang berbeda yaitu Hiroshima dan Nagasaki. Amerika Serikat menjatuhkan bom atom
pertama di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dengan bom yang dinamai Little Boy dan
dilanjutkan dengan seranagan di Nagasaki pada 9 Agustus 1945 dengan bom yang dinamai
Fat Boy.

Dampak buruk yang disebabkan oleh pengeboman yang dilakukan oleh Amerika
Serikat sangat membekas dan menyisakan dampak buruk bagi Jepang. Diprediksi, korban
jiwa mencapai angka 135.000 jiwa di Hiroshima dan Nagasaki (HISTORY,2020). Patut
diketahui bahwa dampak dari radiasi bom atom sendiri dapat menganggu stabilitas hayati
sekitar dan juga memperngaruhi sumber daya manusia dalam kurun waktu yang cukup
panjang. Ini merupakan salah satu konsekuensi yang harus diterima Jepang dan rakyatnya,
akibat partisipasi mereka di Perang Dunia II. Pasca PDI, paham antimiliterisme pun kian
berkembang (Berger, 1993). Dengan berkembangnya paham ini, Jepang pun melakukan
perubahan Konstitusi, yaitu dari Konstitusi Meijij menjadi Konstitusi 1947. Perubahan ini
menyebabkan Jepang menjadi negara Pasifis. Dalam pasal 9 yang tercatat di Konstitusi 1947,
Jepang mengatakan bahwa mereka tak akan terlibat dalam perang apapun dengan bukti
mereka tak lagi mempertahankan angkatan darat, laut, serta udara mereka, dan juga seluruh
potensi perang lainnya.

Meski Jepang tak memiliki angkatan bersenjata lagi, mereka tetap ikut ambil bagian
dalam menandatangani United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS).
Jepang menandatangani UNCLOS di tahun 1994 dan kemudian melakukan eatifikasi pada
tahun 1996. Dampak dari Jepang yang menandatangani UNCLOS adalah mereka memiliki
hak untuk mendeklarasikan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Dalam Article V ayat 55
UNCLOS, ZEE merupakan teritori luar yang berbatasan langsung dengan laut teritorial suatu
negara. Klaim atas negara terhadap ZEE adalah tidak melebihi 200 nautical miles dari
baselines laut teritorial negara terkait (Article V ayat 57 UNCLOS). Kemudian dalam ayat 58
dari Article V UNCLOS, dikatakan bahwa negara mendapatkan hak istimewa berupa
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut dalam teritori tersebut.
Suatu negara akan mendekati rezim internasional yang berkuasa untuk memastikan
kepentingan nasional mereka dapat terpenuhi dengan maksimal. Jepang juga melakukan hal
yang sama, mengingat negara ini memiliki garis pantai yang cukup panjang hingga mencapai
kurang lebih 29.751 KM (Rizaty, 2021). Dengan panjangnya garis pantai mereka, tentu
menunjukkan bahwa Jepang juga memiliki sumber daya alam laut yang melimpah. Bukti
nyata nya adalah, wilayah ZEE Jepang mengandung berbagai kandungan mineral langka
seperti itrium, europium, terbium, dan disprosium yang dapat memenuhi permintaan global
selama kurang lebih 50 tahun kedepan (Nature, 2020).
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pasca Jepang menandatangani UNCLOS,
mereka menarik semua angkatan bersentaja. Maka dalam essai kali ini muncul lah sebuah
pertanyaan, Bagaimana Jepang Mengelola Perbatasan Maritim Mereka? Bagaimana
cara dan sistem yang digunakan Jepang dalam mengelola perbatasan maritim mereka
tanpa adanya angkatan bersenjata?

Diskusi dan Pembahasan


Japan Cost Guard )JCG) dan Japan Maritime Self-Defense Force (JMSDF)
Wilayah lautan Jepang sangatlah luas. Luas wilayahnya mencapai dua belas kali dari
wilayah darat mereka. Maka dari itu, Jepang juga memerlukan institusi atau badan yang dapat
membantu pemerintah untuk menangani berbagai permasalahan di wilayah laut mereka.
Salah satu institusi yang kemudian terbentuk adalah Japan Coast Guard (JCG) yang
memegang peranan utama dan dibantu oleh institusi lainnya yaitu Japan Maritime Self-
Defense Force (JMSDF). Kedua badan ini memiliki peran serta tugas yang berbeda pula.
Kemudian akan dijelaskan mengenai bagaimana implementasi peran tersebut dijalankan
dalam situasi atau kasus tertentu.
Negara maritim akan selalu dibayangi oleh berbagai permasalah keamanan wilayah
mereka. Sebut saja Ilegal Fishing, penyelundupan barang, pembajakam serta perampokan
yang marak terjadi di laut. Terlebih, ancaman yang telah disebutkan sebelumnya tak hanya
bersumber dari dalam negeri, namun juga bersifat transnasional. Ancaman pada tingkat
transnasional sangat memungkinkan untuk terjadi dan juga melibatkan negara lainnya. Oleh
karena itu, peran JCG menjadi sangat penting dalam melinudngi dan menjaga wilayah
keamanan maritim mereka. JCG dibentuk untuk mengatasi permasalahan tersebut, di mana
pasca PD II, Jepang dihadapkan oleh berbagai permasalahan transnasional yang sangat
kompleks seperti penyelundupan barang serta orang (Kojima, 2019).
Dasar hukum JCG diatur dalam Undang-Undang Tahun 1999 Nomor 102 Tentang
Japan Coast Guard, yang sebelumnya diatur dalam UU Tahun 1948 Nomor 28. Tujuan
utama JCG diatur dalam UU Nomor 102 Pasal 1 Tahun 1999 yaitu melindungi properti,
kehidupan, hingga mendeteksi serta mencegah adanya pelanggaran hukum di wilayah laut
Jepang. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, JCG mengatur sejumlah tugas dalam Pasal 2
di UU yang sama :
1) Melaksanakan tugas menegani penegakan hukum peraturan laut;
2) Melakukan pencarian serta penyelamatan maritim;
3) Pencegahan pencemaran laut;
4) Upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan di wilayah laut;
5) Mendeteksi dan penangkapan tindak pidana di laut;
6) Pengaturan lalu lintas kapal laut;
7) Pelayanan dalam bidang hidrografi dan alat bantu navigasi;
8) Serta memberikan pelayanan lain untuk menjamin keselamatan laut dan pelayanan
lain yang terkait.

Tugas-tugas tersebut dijalankan di bawah pengawasan yuridiksi Sekretariat Kementerian


Perhubungan. kemudian , tugas lainnya menempatkan beberapa biro administratif di bawah
yuridiksi JCG.
Jepang tidak pernah menolak segala bentuk penggunan militer, ini didasari oleh
konstitusi yang mereka miliki. Sehingga para petugas JCG bukanlah bagian dari angkatan
militer manapun. Sebagaimana yang dituliskan dalam Pasal 31 UU nomor 102 Tahun 1999,
Petugas JCG adalah siapa yang bertatus sebagai aparat Kepolisan dan menjalankan serta
menjelaskan tugas pejabat polisi yudisial sebagaimana diatur dalam Code of Criminal
Procedure. Hal ini kemudian memberikan petugas JCG memeroleh hak yang dimiliki oleh
petugas Kepolisian dalam melancarkan kepentingan mereka untuk menjalankan tugas. Hak
tersebut seperti mengambil tindakan pemaksaan jika terjadi kasus darurat seperti kejahatan
yang dilakukan di laut, di mana contohnya adalah menghentikan atau memindahkan kapal ,
melakukan bongkar muat, dan membatasi atau melarang lalu lintas laut (Kojima, 2019).

Sengketa Kepulauan Senkaku Antara Jepang dan Tiongkok


Salah satu contoh kompleks dalam pengelolaan perbatasan maritim Jepang adalah
adanya sengketa Kepulauan Senkaku yang kemudian menarik Tiongkok untuk terlibat. Pulau
Senkaku merupakan pulau yang tidak berpenghuni yang berada di perbatasan antara Jepang
dan Tiongkok, lebih tepatnya di tepi Barat Daya Laut Tiongkoko Timur. Dalam tinjauan
geografis, Kepulauan Senkaku berada di wilayah 12o mil laut Timur Laut Taiwan, 200 mil
lau sebelah Timur Tiongkok, dan 200 mil laut Timur sebelah Barat Daya Kepulauan Okinawa
Jepang (Yiallourides, 2017). Fakta bahwa Pulau Senkaku memiliki 85% dari persediaan gas
alam dan minyak bumi di dunia, menjadikan pulau tak berpenghuni ini sebagai daya tarik
tersendiri bagi para ilmuwan. Tak hanya itum di pulau ini juga terdapat sumber daya
perikanan yang dangat tinggi (Hidayat, 2020). Dengan fakta yang ada, Tiongkok dan Jepang
kemudian saling memperebutkan kepemilikan Kepulauan Senkaku. Perebutan ini kemudian
juga diperburuk oleh hubungan bilateral keduanya yang selalu berdinamika.
Sengketa bermula pasca PD II, namun klaim kepemilikan atas Pulau Senkaku terjadi
jauh dari sebelumnya. Setelah melakukan survey dan terbukti bahwa pulau tersebut tak
berpenghuni, pada 14 Januari 1895, Jepang mendirikan batas kedaulatan resmi dan
memasukakkan Senkaku ke dalam wilayah kekuasaan Jepang (Furon, 2014). Sunkaku
ditetapkan menjadi bagian dari Kepulauan Nansei Shoto, yang kemudian lebih dikneal
sebagai Kepulauan Ryukyu dan sekarang dikenal sebagai Okinawa (Furqon, 2014).
Berdasarkan Traktat Shimonoseki tahun 1895, pasca Perang Tiongkok-Jepang, Taiwan pun
akhirnya diserahkan kepada Jepang. Tapi dilain sisi, Tiongkoko mengklaim Kepulauan
Diaoyu yang memang telah berada di wilayah peta Tiongkok sejak Zaman Dinasti Ming
(1368-1644), dan menjadi wilayah perikanan yang dikuasai oleh Pemerintahan Taiwan.
Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan bahwa klaim tersebut telah dibuktikan
dalam sejarah dan secara legal memang kuat (Rizki Roza, 2012).
Dilemma Jepang dalam Penanganan Sengketa Kepulauan Senkaku

Penegakan hukum di wilayah tersebut dilakukan Jepang melalui JCG yang memang
menjadi aktor utama dalam penegakan hukum laut mereka. Secara khusu, JCG membatasi
jalur kapal Chinese Coast Guard (CCG) ketika memasuki teritorti laut Jepang dan meminta
kapal yang menerobos batas untuk segera putar balik (Jun, 2020). Kejadian ini kemudian
menjadi sebuah dilema tersendiri bagi Jepang yang memang tidak diperkuat dengan
kekuakan angkatan bersenjata, sehingga opsi dalam penegakan kedaulatan mereka di
Kepulauan Senkaku menjadi sangat terbatas. Terlebih JMSDF, hanya dapat terlibat apabil
Tiongkok mengambil langkah pengambilan alih dengan menggunakan kekuatan militer
terhadap Kepulauan Senkaku. Mengingat bahwa JMSDF, dibentuk dengan tujuan awal utnuk
menjaga keamana dan ketertiban Jepang.
Penulis memandang bahwa Jepang tidak bisa selamanya mempertahankan pasifisme
mereka. Hal ini mengingat tidak stabilnya geopolitik di Asia Timur, di mana masing-masing
negara memiliki hubungan yang kurang baik. Sengketa Kepulauan Senkaku merupakan satu
dari banyak konflik yang terjadi antara Jepang dengan negara Asia Timur lainnya. Selain itu,
konflik antara Rusia dan Ukraina yang meletus pada awal tahun 2022 seharusnya menjadi
alarm bagi Jepang untuk memperkuat sistem keamanan negara, dalam hal ini pengelolaan
wilayah laut, karena konflik dengan negara lain dapat terjadi kapan pun. Hal pertama yang
perlu mereka lakukan tentunya kembali mengevaluasi apakah pasifisme Jepang masih
diperlukan dalam politik internasional pada era sekarang. Terlebih, sengketa Kepulauan
Senkaku masih belum dapat diselesaikan, meski sejumlah perjanjian internasional telah
disepakati antara Jepang dengan Tiongkok, seperti Perjanjian San Fransisco.
Selaras dengan pandangan realisme, bahwa hubungan antarnegara akan selalu
konfliktual. Hal ini tidak terlepas dari struktur internasional yang bersifat anarki, sehingga
negara akan selalu mengutamakan kepentingan nasionalnya (Rosyidin, 2020: 30). Menurut
realisme, kepentingan nasional tersebut ditafsirkan sebagai power dan atau keamanan
nasional (Rosyidin, 2020: 30). Keamanan nasional sendiri sangat ditentukan oleh kekuatan
militer suatu negara. Sementara itu, Jepang yang tidak memiliki angkatan bersenjata dan
melarang penggunaan militer yang dapat memicu terjadinya perang akan selalu dihadapkan
dengan dilema ketika terlibat konflik dengan negara lain. Terlebih, struktur internasional
yang anarki membuat suatu negara tidak bisa selalu bergantung pada negara lain, melainkan
perlu untuk membangun national power-nya sendiri (Rosyidin, 2020: 31).
Simpulan
Perang Dunia Ketiga menyisakan trauma yang mendalam bagi masyarakat Jepang.
Dua bom nuklir yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki memiliki
dampak buruk yang luar biasa bagi Jepang. Ratusan ribu jiwa yang kemudian akhirnya
menjadi korban dalam insiden inilah yang menjadi latar belakang Jepang menjadi negara
pasifis. Dengan mengambil tindakan untuk mengamandemen konstitusi mereka, Jepang pun
meninggalkan segala bentuk peperangan yang membuat mereka tidak lagi memiliki angkatan
bersenjata. Sementara itu, dengan garis pantai yang cukup panjang, Jepang juga
menandatangani dan meratifikasi UNCLOS. Diratifikasinya UNCLOS menjadi jalan bagi
Jepang untuk mengklaim ZEE mereka yang merupakan salah ZEE terbesar di dunia. Hal ini
jelas membuat Jepang memiliki kekayaan laut yang begitu melimpah, mulai dari mineral
langka, keanekaragaman hayati, hingga gas alam.
Namun, tidak adanya angkatan bersenjata membuat Jepang memiliki cara yang
berbeda dalam mengelola perbatasan maritim mereka. Japan Coast Guard (JCG) menjadi
aktor utama bagi Jepang dalam menangani berbagai permasalahan di wilayah laut mereka.
Tugas dan fungsi JCG diatur dalam Undang-undang Nomor 102 Tahun 1999, di mana tujuan
utama mereka adalah untuk selalu melindungi kehidupan, properti, serta mencegah dan
mendeteksi pelanggaran hukum di wilayah laut Jepang. Dalam menjalankan tujuan tersebut,
JCG dibantu oleh Japan Maritime Self-Defense Force (JMSDF). Namun, JMSDF berbeda
dengan JCG, di mana tugas mereka adalah menjaga keamanan dan ketertiban negara.
Tidak adanya angkatan bersenjata menempatkan Jepang dalam sebuah dilema ketika
berhadapan pada konflik dengan negara lain. Salah satu konflik yang telah terjadi sejak lama
dalam wilayah laut Jepang adalah konflik mereka dengan Tiongkok terkait Kepulauan
Senkaku. Kepulauan Senkaku memang tidak berpenghuni, tetapi diklaim memiliki 85 persen
persediaan gas alam dan minyak bumi dunia. Namun, Jepang tidak dapat berbuat banyak
untuk menegakkan kedaulatannya, karena Jepang hanya mampu untuk membatasi jalur kapal
Chinese Coast Guard (CCG) yang memasuki teritori laut Jepang. Hal ini menjadi dilematis
bagi Jepang karena tidak adanya angkatan bersenjata membuat opsi mereka dalam
menegakkan kedaulatan menjadi terbatas.

Penulis memandang bahwa Jepang perlu kembali meninjau serta mengevaluasi


apakah pasifisme mereka masih diperlukan pada era sekarang. Hal ini mengingat pandangan
realisme bahwa hubungan antarnegara akan selalu bersifat konfliktual. Di bawah struktur
internasional yang bersifat anarki, setiap negara akan selalu mengutamakan kepentingan
mereka, yakni keamanan nasional. Terlebih, dalam konteks sengketa Kepulauan Senkaku,
JMSDF hanya dapat diturunkan apabila Tiongkok telah melancarkan pengambilalihan
menggunakan kekuatan militer. Mengandalkan JCG saja tentunya tidak cukup bagi Jepang
karena konflik dengan negara lain dapat terjadi kapan pun dan JCG pun tidak memiliki
kewenangan serta tugas yang sama dengan dimiliki oleh JMSDF. Ditambah lagi, geopolitik
Asia Timur sangat tidak stabil karena masing-masing negara di wilayah tersebut terlibat
konflik satu sama lain.

Anda mungkin juga menyukai