Anda di halaman 1dari 16

GAMOPHOBIA & CHILDREE

Diajukan untuk memenuhi tugas:


Mata Kuliah PAK Dewasa

Dosen Pengampu:
Johanes Kurniawan, M.Pd.K

Oleh:
Kelompok 4
Putri Yonike Simorangkir
Irawati Samaloisa
Aperlina Waruwu
Wahyuni Putri Halawa
Yosika Rodina Anin
Trivan Syukur Waruwu

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI EKUMENE JAKARTA


PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
2024
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis panjatkan Kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya dan segala upaya yang telah dilakukan, sehingga penulis bisa menyelesaikan
tugas makalah Mata Kuliah PAK Dewasa sebagai Dosen pengampu: Bapak Johanes
Kurniawan, M.Pd.K. Dimana materi yang akan dibahas ialah terkait mengenai
“Gamophobia & Childfree”. Secara garis besar, Gamophobia merupakan ketakutan untuk
menikah, dan Childree merupakan ketakutan untuk memiliki anak. Dalam makalah ini akan
dibahas lebih lanjut tentang topik ini. Namun sebelumnya penulis minta maaf jika dalam
penulisan makalah ini, masih banyak yang kurang sempurna baik dalam segi pemaparan dari
topik pembahasan maupun kesalahan penulisan. Dan penulis berharap agar mendapat kritik
maupun saran yang membangun. Penulis juga berharap bahwa isi dalam tulisan ini dapat
memberi manfaat bagi pembacanya. Terima kasih.

Jakarta, April 2024


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah………………………………………………………...
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………….
1.3 Tujuan…………………………………………………………………………...

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Gamophobia…………………………………………………………….
2.2 Pandangan alkitab terhadap pernikahan………………………………………….
2.3 Pengaruh Gamophobia terhadap hubungan………………………………………
2.4 Peran Gereja dalam mengatasi Gamophobia……………………………………..
2.5 Definisi Childfree…………………………………………………………………
2.6 Pandangan alkitab dan pandangan masyarakat tentang keputusan Childfree…….
2.7 Cara mengatasi rasa tidak ingin memiliki anak dalam Kekristenan……………...

BAB III PENUTUP


Kesimpulan…………………………………………………………………………...
Saran………………………………………………………………………………….
Daftar Pustaka………………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah


Keputusan untuk menikah dan memperoleh keturunan merupakan tahapan yang
umum dalam perjalanan hidup setiap individu. Hal ini dapat dijustifikasi oleh kenyataan
bahwa, pada akhirnya, arah hidup sebagian besar orang dewasa cenderung mengarah kepada
pernikahan dan pembentukan keluarga. Namun, ternyata, ada beberapa individu yang
mengalami hambatan psikologis terhadap ketakutan menghadapi pernikahan (gamophobia)
atau mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak (childree). Fenomena ini menciptakan
dinamika yang kompleks terhadap kondisi psikologis individu tersebut dan memerlukan
pemahaman mendalam terkait faktor-faktor yang melatarbelakangi dan dampaknya terhadap
hubungan pasangan dan masyarakat.
Gamophobia merupakan ketakutan seseorang yang berlebihan untuk menghadapi
pernikahan. Beberapa individu mengalami gamophobia sebagai dampak dari berbagai
pengalaman traumatis, seperti kegagalan dalam hubungan sebelumnya, dinamika kehidupan
keluarga, atau bahkan ketakutan terhadap tanggung jawab yang melekat dalam ikatan
pernikahan, yang dianggap dapat mengurangi kebebasan individu. Kondisi ini dapat
memberikan dampak negatif terhadap kualitas hidup penderitanya, karena dapat
menyebabkan rasa kesepian dan isolasi, serta merasa tidak memiliki dukungan sosial. Selain
itu, gamophobia juga dapat berdampak buruk pada komitmen dalam hubungan asmara dan
menimbulkan konflik dengan hubungan keluarga dan orang-orang disekitarnya (IHC
Telemed, 2021).
Sementara itu, fenomena childfree menyoroti keputusan sadar seseorang untuk tidak
memiliki anak. Pilihan ini dapat muncul dari berbagai pertimbangan, mulai dari ketakutan
tidak sanggup membesarkan anak, mendidik anak, dan memenuhi kebutuhan finansial anak.
serta pertimbangan pribadi yang melibatkan karir, dan kebebasan pribadi. Childree menjadi
penting untuk diteliti karena menuai pergeseran dalam pandangan masyarakat terhadap
norma keluarga tradisional yang menyatakan bahwa anak adalah sumber rezeki, dan penerus
dari warisan keluarga. Keputusan childfree juga memunculkan perbedaan dalam perspektif
alkitab yang menyatakan bahwa anak adalah karunia dan hadiah dari Tuhan (Mazmur
127:3-5) serta merupakan perintah dari Tuhan untuk melahirkan keturunan (Kejadian 1:28).
Namun penting untuk digaris bawahi bahwa, keputusan untuk memiliki anak tidak selamanya
bertolak belakang dengan ajaran Kekristenan asalkan individu yang memiliki keputusan
childfree tersebut memiliki alasan kuat dan alasan positif yang mendasarinya (Yuniarti et al.,
2023a).
Meskipun masing-masing fenomena ini memiliki dinamika dan ciri khasnya sendiri,
terdapat keterkaitan yang menarik antara gamophobia dan childree. Beberapa individu yang
mengalami gamophobia mungkin cenderung memilih hidup tanpa anak sebagai respons
terhadap ketakutan mereka terhadap pernikahan. Sebaliknya, sebagian orang yang memilih
childree mungkin menunjukkan gejala gamophobia dalam hubungan romantis mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami faktor-faktor psikologis yang melatarbelakangi
kedua fenomena ini dapat terjadi dalam keputusan individu, serta bertujuan dalam
memberikan wawasan tentang bagaimana individu membentuk pilihan hidup mereka. Hal ini
juga dapat menjadi landasan untuk pengembangan strategi konseling dan dukungan yang
lebih efektif bagi individu yang mengalami tantangan psikologis terkait pernikahan dan
keputusan untuk memiliki anak. Melalui pemahaman yang mendalam terhadap gamophobia
dan childree, diharapkan dapat diidentifikasi strategi yang dapat membantu individu dalam
menjalani hubungan dan membuat keputusan hidup yang lebih seimbang dan bijak.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa yang dimaksud dengan gamophobia dan childfree?
2. Apa pandangan alkitab mengenai pernikahan?
3. Bagaimana pengaruh gamophobia terhadap hubungan?
4. Mengapa Gereja sangat penting untuk memberi kontribusi dalam mengatasi individu
yang menderita Gamophobia?
5. Bagaimana pandangan alkitab dan pandangan masyarakat tentang keputusan untuk
childfree?
6. Bagaimana perspektif kekristenan dalam mengatasi rasa tidak memiliki anak?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui secara mendalam apa itu Gamophobia dan childfree serta faktor
yang melatarbelakanginya.
2. Untuk mengetahui pandangan alkitab tentang pernikahan yang bersangkutan dengan
kondisi Gamophobia.
3. Untuk mengetahui apa dampak yang dihasilkan dari keputusan seseorang yang takut
untuk menikah terhadap hubungan sosial dan pasangannya.
4. Untuk mengetahui seperti apa kontribusi Gereja dalam mengatasi jemaat/individu
yang mengalami gamophobia.
5. Untuk mengetahui pandangan alkitab dan pandangan masyarakat terkait dengan
keputusan seseorang yang tidak ingin memiliki anak.
6. Dan Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi rasa tidak ingin memiliki anak dari
perspektif Kekristenan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Gamophobia dan Faktor Penyebab


Dalam ranah psikologis, gamophobia didefinisikan sebagai kondisi mental seseorang
yang merasa takut untuk menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius dengan
pasangannya. Istilah gamophobia berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata,
yaitu "gamos" yang berarti pernikahan, dan "phobos" yang berarti ketakutan. Jadi,
gamophobia dapat diartikan sebagai ketakutan terhadap pernikahan. Seseorang yang
mengalami gamophobia seringkali menunjukkan respons yang tidak disengaja, seperti
munculnya rasa panik dan kecemasan yang dapat ditandai dengan gejala gemetar, keringat
dingin, bulu kuduk merinding, mual, detak jantung yang cepat, kesulitan bernapas, pusing,
dan lain sebagainya. Mereka cenderung mengalihkan topik pembicaraan atau bahkan
menolak saat diajak untuk berkomitmen oleh pasangannya. Dengan demikian, gamophobia
tidak hanya mengacu pada ketakutan terhadap pernikahan itu sendiri, tetapi juga mencakup
respons emosional yang kuat dan mungkin mengganggu dalam menghadapi situasi komitmen
(Ochi, 2019).
Penderita gamophobia dapat mengalami kondisi ini secara permanen, meskipun ada
kemungkinan juga bahwa gamophobia bersifat sementara. Gamophobia secara khusus
berbeda dengan philophobia, yang merupakan ketakutan untuk jatuh cinta, dan sangat
berbanding terbalik dengan anuptaphobia, yaitu ketakutan untuk tidak memiliki pasangan
atau takut melajang. Gamophobia sering ditemui pada individu yang telah terbiasa menjalani
kehidupan secara mandiri, dikenal sebagai independent woman. Mereka biasanya adalah
pekerja keras dan merasa tidak perlu bergantung pada orang lain, terutama pada pasangan.
Oleh karena itu, penderita gamophobia merasa bahwa mereka hanya ingin menikmati
kehidupan mereka sendiri, bebas melakukan apapun sesuai keinginan mereka, dan tidak
terikat dengan apapun. Pernikahan dianggap sebagai suatu perubahan besar dalam hidup,
yang berarti terikat untuk jangka waktu yang lama dan mengalami pembatasan dalam ruang
gerak. Penting untuk dicatat bahwa gamophobia dapat dialami oleh siapa saja, baik pria
maupun wanita, dewasa muda maupun dewasa tua. Selain itu, kondisi ini tidak muncul atau
dirasakan secara tiba-tiba, melainkan karena sebab tertentu yang perlu diidentifikasi (Ariska,
2020).
Gamophobia, atau ketakutan terhadap pernikahan, dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu: tingginya rasa kurang percaya diri, kekhawatiran terhadap beban biaya dan
kebutuhan rumah tangga yang tidak terpenuhi, kesibukan yang berlebihan dalam dunia kerja
atau merintis karir, fokus utama pada membahagiakan atau merawat orang tua yang sakit
sehingga menciptakan keteralihan perhatian dari mencari pasangan hidup, pengalaman
traumatis selama menjalin hubungan pacaran seperti mengalami kekerasan fisik atau
seringkali menjadi korban perselingkuhan oleh pasangan, terpapar pada trauma karena ibu
mengalami kekerasan dalam rumah tangga dari ayahnya, menjadi anak yang tumbuh dalam
keluarga broken home, trauma karena pernah mengalami pelecehan pada masa lalunya,
mengalami trauma akibat melihat teman sebaya atau rumah tangga orang lain yang tidak
bahagia dengan pernikahannya. Semua faktor ini dapat saling berinteraksi dan membentuk
kondisi psikologis yang memunculkan ketakutan terhadap komitmen pernikahan (Cyntiawati
et al., 2023a).

2.2 Pandangan Alkitab terhadap pernikahan


Manusia diciptakan Allah tentunya bertujuan untuk memenuhi rencana-Nya, dalam
menjalankan rencana Allah tersebut, manusia tidak diciptakan sendirian. Allah menciptakan
laki-laki dan perempuan yang bertujuan untuk saling mendukung dan bekerjasama dalam
menjalankan kehidupan sesuai dengan kehendak Allah (Paath et al., 2020). Dalam kitab
Kejadian 2:18 Tuhan berfirman “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Hal ini menunjukan bahwa
kehadiran pasangan hidup merupakan anugerah dari Allah untuk membantu manusia dalam
menjalani kehidupan ini dengan penuh kasih dan pengertian.
Tentunya, memiliki pasangan hidup harus melalui proses pernikahan. Pernikahan
merupakan ikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang sepakat untuk hidup bersama
sebagai suami dan istri (Mamahit, 2013). Artinya, hubungan pernikahan ini diakui secara sah
oleh negara, keluarga, masyarakat, atau otoritas yang mengatur sesuai dengan norma-norma
yang berlaku dalam lingkungan sosial mereka. Dalam kitab Kejadian 2:24 berbunyi “Sebab
itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya,
sehingga keduanya menjadi satu daging. Jadi mereka bukan lagi dua orang, tetapi satu.” Ini
mengandung makna bahwa hubungan suami-istri haruslah sangat erat, tidak ada pemisah
diantara mereka. Mereka harus satu pikiran, satu roh, satu tujuan, satu hati dan segala hal
lainnya.
Tujuan utama dari pernikahan bukanlah pasangan sendiri, tetapi hidup kedua
pasangan dapat memuliakan Allah. Kedua pasangan yang telah disatukan oleh Allah tidak
hanya untuk mencari kebahagiaan, tetapi juga menjadikan pernikahan sebagai bentuk
penghormatan dan kemuliaan kepada Allah. Pernikahan merupakan sebuah janji suci dan
komitmen yang tidak boleh diabaikan antara seorang pria dan seorang wanita. Sebagaimana
firman Tuhan yang berbunyi “Apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan
oleh manusia.” (Mat.19:6). Pernikahan yang telah dipersatukan oleh Allah mengandung
perjanjian dan panggilan Allah. Oleh sebab itu, setiap pasangan harus mematuhi kesetiaan
dan tidak boleh sembarang alam memenuhi komitmen pernikahan. Jika terjadi pelanggaran,
mereka harus bertanggung jawab tidak hanya kepada pasangan atau keluarga, tetapi juga
kepada Tuhan (Sugiarto, 2022). Pernikahan memang sangat penting, akan tetapi hal ini tidak
mutlak, karena setiap orang memiliki kehendak bebas. Yang terpenting adalah bagaimana
sikap hidupnya dihadapan Tuhan.

2.3 Pengaruh Gamophobia terhadap hubungan


Gamophobia dapat menghambat kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan
yang sehat dan langgeng. Pengaruh dari gamophobia membuat individu sulit membentuk
hubungan yang lebih serius. Hal ini disebabkan karena mereka takut terluka dan ditinggalkan,
sehingga sulit bagi mereka untuk terbuka kepada pasangan. Selain itu, dampak gamophobia
juga dapat memp. engaruhi hubungan sosial seseorang dengan orang disekitarnya. Karena
mereka selalu mendapat stigma dan desakan pertanyaan-pertanyaan dari keluarga dan
masyarakat lingkungan sekitar yang mempertanyakan dan menyuruh dirinya untuk segera
menikah. Situasi ini dapat berujung pada isolasi sosial dan kesulitan dalam membangun
hubungan komunikasi dengan orang lain. Lebih lanjut, gamophobia juga memiliki potensi
menyebabkan konflik dalam hubungan intrapersonal. Ketakutan yang ada dapat membuat
seseorang cenderung mengabaikan permasalahan yang muncul dalam hubungan,
membuatnya menjadi pribadi yang tidak peduli dengan urusan asmaranya dan membuatnya
bersikap acuh tak acuh. Oleh karena itu, pemahaman dan penanganan yang tepat terhadap
gamophobia menjadi krusial untuk membantu individu mengatasi ketakutannya dan
mewujudkan hubungan sosial yang sehat dan bermakna (Za & Susanti, 2023).

2.4 Peran Gereja dalam mengatasi Gamophobia


Bagi orang yang mengalami Gamophobia, sulit untuk menerima dan menghadapi
konsep bahwa cinta dan hubungan dapat menjadi faktor penting dalam mengikat diri pada
seseorang atau sesuatu. Mungkin mereka merasa terpaksa atau tidak mampu untuk
berkomitmen dalam hubungan jangka panjang. Gamophobia memang dapat menyebabkan
kecemasan yang berlebihan saat seseorang memikirkan pertunangan atau pernikahan. ketika
seseorang menghadapi situasi kecemasan yang berlebihan maka mereka akan merasa tidak
berdaya dalam menghadapi dan mengatasinya. Sehingga gereja memiliki peran dalam
membantu dalam mengatasi yang mengalami Gamophobia tersebut.
Salah satu peran gereja dalam mengatasi gamophobia yaitu dengan pendekatan
pastoral care. Pastoral Care adalah aktivitas manusia dalam membantu sesama, didorong oleh
pemahaman akan keagungan kasih Kristus yang dialami dalam kehidupan mereka
(Cyntiawati et al., 2023b). Dengan kata lain pastoral care adalah tindakan sadar yang
melampaui naluri sebagai manusia menemani yang merupakan bagian dari anggota
komunitas beriman yang sudah selayaknya saling mendampingi. Ada empat fungsi dari
pastoral care menurut Clebsch dan Jaekle yaitu:
- Penyembuhan : Membimbing dan mengarahkan mereka ke keadaan yang lebih baik
seperti sebelumnya
- Mempertahankan : Berusaha untuk menjaga situasi orang yang sedang mengalami
masalah. Artinya memberikan dukungan moral dan emosional.
- Membimbing : Memberikan saran tentang apa yang sebaiknya dilakukan ketika
mereka menghadapi masalah yang rumit dan sulit untuk memilih di antara beberapa
pilihan.
- Rekonsiliasi : Membantu membangun dan memulihkan hubungan yang dapat
bermanfaat bagi keduanya.
Melalui peran gereja yang dilakukan melalui pastoral care dengan langkah-langkah
tersebut diharapkan orang yang mengalami keadaan atau kondisi gamophobia dapat
merubah cara berpikir dan menjadikan mata hatinya terang. Yang memampukan
mereka melihat hubungan dengan cara yang lebih positif dan sehat.
2.5 Definisi Childfree dan Faktor Penyebab
Childfree adalah keputusan atau pilihan yang diambil oleh pasangan untuk tidak
memiliki anak dengan sengaja, baik itu anak biologis maupun anak angkat. Houseknecht
(1980) menyatakan bahwa istilah childfree sudah dikenal sejak tahun 1970, yang mengacu
pada individu yang tidak memiliki anak dan tidak merencanakan untuk memiliki anak.
Childfree berbeda dengan kondisi involuntary childless, di mana individu tersebut tidak
sengaja tidak dapat memiliki anak melainkan karena infertilitas seorang istri maupun suami
ataupun dapat dari keduanya, sementara individu childfree memilih untuk tidak memiliki
anak dengan sengaja. Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa pasangan memilih untuk
hidup tanpa anak:
1. Kesibukan dalam pekerjaan: Kesibukan dalam pekerjaan menjadi alasan utama bagi
pasangan suami-istri untuk memilih gaya hidup tanpa anak. Memperoleh karir yang
sukses memerlukan waktu yang lama dan melelahkan, sehingga mereka enggan
mengorbankan perjalanan karir mereka dengan memiliki anak. Prioritas terhadap
pekerjaan juga dapat mengaburkan keinginan untuk memiliki anak.
2. Pengaruh trauma masa lalu: Pengalaman traumatis dalam masa lalu seseorang dapat
mempengaruhi keputusan untuk hidup tanpa anak. Pengalaman negatif dalam
keluarga atau pengalaman kekerasan secara emosional atau fisik dapat membentuk
pandangan seseorang terhadap keinginan untuk tidak memiliki anak di masa depan.
3. Ketidaksiapan secara materiil dan mental: Pasangan harus mempersiapkan diri secara
matang baik secara finansial maupun mental sebelum memutuskan untuk memiliki
anak. Merawat anak membutuhkan komitmen dan persiapan yang matang, termasuk
kesiapan finansial untuk biaya pendidikan, kebutuhan sehari-hari, dan keadaan
darurat. Selain itu, persiapan mental juga diperlukan untuk menghadapi tugas
mengurus dan membimbing anak dengan penuh kesabaran. Ketakutan bahwa mereka
tidak mampu untuk mengurus, membimbing, atau mendidik anak dapat menjadi
alasan seseorang memilih untuk tidak memiliki anak (childfree).
4. Keinginan untuk quality time berdua: Beberapa pasangan menginginkan waktu
berkualitas berdua tanpa adanya kehadiran anak. Mereka mungkin ingin memperkuat
hubungan mereka dan menikmati kebebasan untuk mengejar minat dan kegiatan
pribadi mereka tanpa adanya tanggung jawab terhadap anak.
5. Tidak memiliki keinginan untuk memiliki anak: Sebagian orang merasa nyaman
hanya dengan pasangan mereka dan tidak memiliki keinginan untuk memiliki anak.
Mereka merasa lebih bebas dan leluasa dalam menjalani hidup mereka tanpa
tanggung jawab sebagai orangtua.
6. Faktor-faktor lain yang bersifat sementara: Alasan untuk hidup tanpa anak bisa
bervariasi, termasuk faktor internal dan eksternal. Beberapa individu mungkin hanya
ingin menunda keputusan untuk memiliki anak sementara mereka menikmati
kehidupan mereka saat ini. Faktor eksternal seperti keadaan dunia dan isu lingkungan
juga dapat mempengaruhi keputusan ini, meskipun faktor-faktor ini bersifat sementara
karena pikiran manusia dinamis dan dapat berubah seiring waktu (Yuniarti et al.,
2023a).

2.6 Pandangan alkitab dan pandangan masyarakat tentang keputusan childfree


Keputusan untuk menjadi childfree, berarti memilih tidak mempunyai anak. Ini
merupakan masalah yang kompleks tergantung pada situasi seseorang. (Yuniarti et al., 2023b)
berpendapat bahwa, dalam Alkitab dijelaskan ada perintah untuk mereka yang sudah menikah
untuk melahirkan keturunan, Tertulis di kitab Kejadian 1:28 “Allah memberkati mereka, lalu
Allah berfirman kepada mereka: Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukan itu, berkuasalah atas ikan-ikan dilaut dan burung-burung di udara dan atas segala
bintang yang merayap di bumi”. (Safitri et al., 2022) juga berpendapat dalam Kejadian 1
manusia pertama diciptakan oleh Allah dari tanah. setelah itu Allah menciptakan manusia
yang tidak berasal dari tanah. Allah menciptakan manusia baru melalui pasangan dan Allah
memberkati mereka pria dan wanita: “beranakcuculah dan bertambah banyak”, dari
pemahaman ini, pasangan yang tidak memiliki anak berarti menolak menjadi “rekan kerja
Allah.”
Pandangan masyarakat mengenai keputusan childfree atau tidak memiliki anak sangat
beragam pada budaya, nilai-nilai sosial, agama dan pengalaman pribadi. Terdapat masyarakat
yang mengambil keputusan untuk memiliki anak semuanya tergantung pada masing-masing
individu. (Siswanto & Nurhasanah, 2022) mengemukakan bahwa, childfree diambil secara
sadar untuk menentukan pilihan hidup seseorang, melalui pertimbangan dan proses yang
cukup panjang sebelum memutuskan memilih childfree di dalam hidupnya, oleh sebab itu
dalam masyarakat makna anak sangat besar, tetapi berbeda dengan pandangan mereka yang
memilih childfree, sebab mereka berpandangan memiliki anak merupakan sebuah beban serta
tanggung jawab yang besar dan saat menentukan untuk memiliki anak perlu pertimbangan
yang matang, baik dalam segi ekonomi, kesiapan mental untuk bertanggung jawab
memenuhi kebutuhan hak anak. (Pangestu & Jenuri, 2023) berpendapat, Pasangan yang
memutuskan tidak memiliki anak di padangan akan mengalami kesulitan berdasarkan
perspektif masyarakat indonesia, mereka berpendapat anak sebagai sumber kebahagian,
namun nyatanya kebahagian merupakan sesuatu yang subjektif sehingga setiap individu tidak
dapat digenerasikan kepada semua, maka itu beberapa orang dapat bahagia ketika memiliki
anak atau berdua dengan pasangan saja sudah cukup. (Agustin et al., 2024) juga berpendapat
bahwa, Pasangan yang memilih childfree merasakan dampak positif, sebab banyak orang tua
yang kesulitan dalam mendidik anak, yang berujung pada keterlibatan anak pada perilaku
bebas seperti narkoba, putus sekolah, kehamilan di luar nikah, dan perilaku nakal, karena
bagi pasangan yang belum siap secara mental dan finansial untuk memberikan pendidikan,
perawatan, dan pengasuhan anak dan pengasuhan anak, memilih gaya childfree dianggap
sebagai opsi yang cocok. Dan (Pricillia & Putri, 2023) menyatakan, keindahan antara budaya
pronatalitas dan patriarki menguatkan masyarakat untuk mempercayai bahwa setiap
perempuan ditakdirkan untuk memiliki anak, nyatanya dalam praktik sekalipun diajarkan
untuk melakukan peran gender feminin sejak kecil, tidak semua orang benar-benar
menginginkan menjadi ibu, dan tidak semua perempuan mampu menjadi ibu dan perempuan
sesuai standar masyarakat.
Beberapa negara memilih untuk childfree dikarenakan biaya hidup yang mahal dan
memilih untuk berkarir dibandingkan memilih anak. Negara Jepang adalah salah satu negara
yang yang memilih childfree dilansir dari tempo.co yang dikemukakan oleh (Setiawan, 2023)
alasan masyarakat Jepang memilih tidak punya anak salah satunya mahalnya biaya
pendidikan, kesehatan, dan harga properti. Pasangan di Jepang kesulitan membiayai rumah
tangga lebih dari dua orang, karena memiliki anak mengeluarkan biaya untuk membiayai
sekolah. Dan (Dhimas Adi Nugroho,dkk 2022) juga menyatakan bahwa, tingginya biaya
hidup di Jepang, terutama daerah perkotaan dan area bisnis menyebabkan masyarakat Jepang
menunda keputusan untuk memiliki anak, penyebabnya memiliki anak membutuhkan waktu
dan biaya yang lebih.
Jadi penulis menyimpulkan bahwa, dalam Alkitab menjelaskan bahwa, manusia harus
memiliki anak yang terdapat dalam Kejadian 1:28. Namun penting untuk mengetahui bahwa
keputusan untuk memiliki anak adalah hal yang pribadi, beberapa orang memilih untuk
mempunyai anak ini dikarenakan sumber kebahagian adalah saat seseorang memiliki anak.
berbeda dengan mereka yang childfree menganggap bahwa kebahagian bukan saat mereka
memiliki anak. Mereka yang memilih childfree, karena biaya hidup yang mahal, dan sosial
lingkungan.
2.7 Cara mengatasi rasa tidak ingin memiliki anak dalam Kekristenan
Dalam agama Kristen, pandangan mengenai memiliki anak dapat berbeda-beda
tergantung denominasi dan keyakinan individu (Jika Tidak Mempunyai Anak | Christian
Counseling Center Indonesia (C3I) - Pusat Konseling Kristen Indonesia, n.d.). Namun, ada
beberapa prinsip umum yang dapat membantu seseorang mengatasi keengganannya untuk
memiliki anak dalam agama kristen (Ketika Tuhan Belum Mengaruniakan Anak, n.d.).
Beberapa cara yang dapat mengatasinya yaitu :
- Doa dan mencari kehendak Tuhan
Dalam agama kristen, doa dan mencari kehendak Tuhan penting dalam setiap
keputusan hidup, termasuk kelahiran anak. Dalam doa, seseorang dapat memohon
petunjuk dan hikmat kepada Tuhan apakah memiliki anak merupakan bagian dari
rencana hidupnya.
- Memahami tujuan pernikahan
Cara mengatasi rasa tidak ingin memiliki anak dalam Kekristenan melibatkan
pemahaman yang mendalam tentang tujuan sejati pernikahan dalam agama Kristen.
Pernikahan dimaknai sebagai upaya untuk memajukan kesejahteraan suami dan istri,
serta sebagai wadah bagi kelahiran dan pembesaran anak-anak dengan penuh
tanggung jawab. Namun, esensi pernikahan juga mencakup aspek-aspek lain seperti
saling mendukung, tumbuh bersama, dan mengalami rasa kasih dalam hubungan.
Oleh karena itu, menyeimbangkan pemahaman ini dapat membantu seseorang dalam
mengatasi ketakutan atau keraguan untuk memiliki anak dalam pandangan
Kekristenan.
- Konsultasikan dengan pemimpin gereja
Jika seseorang merasa tidak yakin atau bingung dengan keputusan untuk
memiliki anak, berkonsultasi dengan pemimpin gereja atau pendeta dapat
memberikan bimbingan dan nasihat yang sesuai dengan keyakinan kristennya.
- Menghargai kehidupan dan tanggung jawab
Dalam agama kristen, kehidupan dianggap sebagai anugerah dari Tuhan.
Itulah mengapa penting untuk menghargai kehidupan dan mempertimbangkan
tanggung jawab yang timbul saat memiliki anak. Hal ini memerlukan pemikiran
bagaimana anak dapat memperoleh perhatian, kasih sayang dan pendidikan yang baik
- Kenali alasan dan motivasi pribadi
Setiap orang mempunyai alasan dan motivasi pribadi mengapa mereka tidak
ingin memiliki anak. Penting untuk secara jujur mengenali dan memahami
alasan-alasan ini. Dalam konteks agama refleksi dan introspeksi dapat membantu
seseorang memahami apakah alasannya sesuai dengan nilai dan prinsip imannya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan dan saran


Gamophobia dan childfree adalah keputusan pribadi yang dipilih oleh individu sesuai
dengan kebutuhan, preferensi, dan ketakutan mereka dalam hubungan dan kehidupan
keluarga. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami dan menghargai setiap pilihan
hidup yang dibuat oleh individu tersebut. Masyarakat harus berupaya mengurangi
stigmatisasi terhadap pilihan hidup yang berbeda-beda, dan sebaliknya, memberikan
dukungan sosial serta arahan yang sesuai bagi individu yang memilih jalur ini. Ini akan
membantu menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung bagi semua individu, tanpa
memandang pilihan hidup mereka.

REFERENSI
Agustin, A. V., Sa’adah, F. N., & Umaidah, Y. (2024). Analisis Sentimen Menggunakan
Metode Naive Bayes Terhadap Childfree. Dinamik, 29(1), Article 1.
Https://Doi.Org/10.35315/Dinamik.V29i1.9455
Ariska, S. (2020). Gamophobia: Novelindo Publishing. Novelindo Publishing.
Cyntiawati, D., Hermanto, Y. P., & Abraham, J. E. (2023a). Pastoral Care Bagi Jemaat
Dewasa Muda Dengan Gamophobia Menuju Pernikahan Kristen. Manna Rafflesia,
9(2), Article 2. Https://Doi.Org/10.38091/Man_raf.V9i2.293
Cyntiawati, D., Hermanto, Y. P., & Abraham, J. E. (2023b). Pastoral Care Bagi Jemaat
Dewasa Muda Dengan Gamophobia Menuju Pernikahan Kristen. Manna Rafflesia,
9(2), Article 2. Https://Doi.Org/10.38091/Man_raf.V9i2.293
Dhimas Adi Nugroho, Fitri A Ifarisy, Afizal Nuradhim Kurniawan, Elin Rahma Sarita.
(2022). Tren Childfree Dan Unmarried Di Kalangan Masyarakat Jepang | Comserva:
Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat.
Https://Comserva.Publikasiindonesia.Id/Index.Php/Comserva/Article/View/153
Ihc Telemed. (2021). Gamophobia Atau Fobia Takut Menikah, Apa Itu.
Https://Telemed.Ihc.Id/Artikel-Detail-617-Gamophobia-Atau-Fobia-Takut-Menikah,-
Apa-Itu.Html
Jika Tidak Mempunyai Anak | Christian Counseling Center Indonesia (C3i)—Pusat
Konseling Kristen Indonesia. (N.D.). Retrieved February 28, 2024, From
Https://C3i.Sabda.Org/04/Jul/2006/Konseling_jika_tidak_mempunyai_anak
Ketika Tuhan Belum Mengaruniakan Anak. (N.D.). Telaga. Retrieved February 28, 2024,
From Https://Www.Telaga.Org/Audio/Ketika_tuhan_belum_mengaruniakan_anak
Mamahit, L. (2013). Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan Campuran
Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia | Lex Privatum.
Https://Ejournal.Unsrat.Ac.Id/Index.Php/Lexprivatum/Article/View/1011
Ochi, E. (2019). Mengenal Gamophobia, Ketakutan Yang Membuat Seseorang Enggan
Menikah. Https://Www.Beautyjournal.Id/Article/Mengenal-Gamophobia
Paath, J., Zega, Y., & Pasaribu, F. (2020). Konstruksi Pernikahan Kristen Alkitabiah. Scripta:
Jurnal Teologi Dan Pelayanan Kontekstual, 8(2), 181–202.
Https://Doi.Org/10.47154/Scripta.V8i2.104
Pangestu, F. N. N., & Jenuri, J. (2023). Fenomena Childfree Pada Keluarga Milenial Dalam
Pandangan Islam: Kontroversi Atau Solusi? Tahdzib Al-Akhlaq: Jurnal Pendidikan
Islam, 6(2), Article 2. Https://Doi.Org/10.34005/Tahdzib.V6i2.3412
Pricillia, W. R. R., & Putri, L. S. (2023). Perempuan Voluntary Childfree: Melawan Stigma
Dan Menyoal Femininitas Dalam Masyarakat Pronatalis. Dharmasmrti: Jurnal Ilmu
Agama Dan Kebudayaan, 23(1), Article 1. Https://Doi.Org/10.32795/Ds.V23i1.4080
Safitri, A. D., Shalsabila, N., Yuliandari, B., Safitri, N., & Adidama, A. K. P. (2022).
Fenomena Childfree Di Era Gen-Z Menurut Pandangan Agama. Moderasi: Jurnal
Kajian Islam Kontemporer, 1(01), Article 01.
Https://Journal.Forikami.Com/Index.Php/Moderasi/Article/View/475
Setiawan, B. (2023, May 4). Penurunan Populasi Di Jepang, Rumah Kosong Hingga Pilihan
Childfree. Tempo.
Https://Dunia.Tempo.Co/Read/1721902/Penurunan-Populasi-Di-Jepang-Rumah-Koso
ng-Hingga-Pilihan-Childfree
Siswanto, A. W., & Nurhasanah, N. (2022). Analisis Fenomena Childfree Di Indonesia.
Bandung Conference Series: Islamic Family Law, 2(2), Article 2.
Https://Doi.Org/10.29313/Bcsifl.V2i2.2684
Sugiarto, Y. (2022). Prinsip Alkitab Mengenai Pernikahan, Perceraian Dan Pernikahan
Kembali. Excelsis Deo: Jurnal Teologi, Misiologi, Dan Pendidikan, 6(1), Article 1.
Https://Doi.Org/10.51730/Ed.V6i1.72
Yuniarti, T., Safitri, Y. C., & Vanya, A. P. (2023a). Analisis Keputusan Childfree Dalam
Sebuah Hubungan Melalui Perspektif Hak Reproduksi Dalam Agama. Toleransi:
Jurnal Kajian Hubungan Antar Agama, 1(01), Article 01.
Https://Journal.Pusatpenelitian.Com/Index.Php/Toleransi/Article/View/10
Yuniarti, T., Safitri, Y. C., & Vanya, A. P. (2023b). Analisis Keputusan Childfree Dalam
Sebuah Hubungan Melalui Perspektif Hak Reproduksi Dalam Agama. Toleransi:
Jurnal Kajian Hubungan Antar Agama, 1(01), Article 01.
Https://Journal.Pusatpenelitian.Com/Index.Php/Toleransi/Article/View/10
Za, N. P. S., & Susanti, I. (2023). Perancangan Ilustrasi Buku Karya Linangkung Diah
Dengan Judul “Untuk Hati Yang Takut Menikah” Sebagai Media Informasi
Gamophobia Untuk Usia 25-30 Tahun. 5.

Anda mungkin juga menyukai