M. Zaenal Abidin
m.z.abidin@gmail.com
Universitas Ibrahimy, Situbondo
Abstract: The purpose of this research was to find out how they viewed NU figures
in Jember and how they viewed Islamic law about the presence of guardians who
have represented their guardianship in their child wedding. This study used a
qualitative approach, the chosen data collection technique was an interview. The
results of the study found that NU figures in Jember had a different viewed point.
Some nu figures had the view that a guardian who had represented his
guardianship can attend the ceremony and had no effect on the Wedding as long as
it is not one of the witnesses of marriage, others argue that the guardian expected to
leave the ceremony, some even think that the guardian should not attend the
ceremony because it can cause an invalid contract. While the Islamic legal view said
that the guardian who had represented his guardianship was allowed to attend the
ceremony of the wedding at the time of the contract as long as he did not become a
witness of marriage because it can be made the contract was invalid because the
guardian had a double status.
Keywords: NU figures, marriage guardian, representing guardianship
Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mereka
memandang tokoh NU di Jember dan bagaimana mereka memandang hukum Islam
tentang keberadaan wali yang mewakili perwaliannya dalam pernikahan anak
mereka. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan
data yang dipilih adalah wawancara. Hasil studi menemukan bahwa tokoh NU di
Jember memiliki sudut pandang yang berbeda. Beberapa tokoh nu berpandangan
bahwa wali yang telah mewakili perwaliannya dapat menghadiri upacara dan tidak
berpengaruh pada pernikahan selama bukan salah satu saksi nikah, yang lain
berpendapat bahwa wali diharapkan untuk meninggalkan upacara, beberapa
lainnya Bahkan ada anggapan bahwa wali tidak boleh menghadiri upacara tersebut
karena bisa mengakibatkan kontrak tidak sah. Sedangkan dalam pandangan hukum
Islam mengatakan bahwa wali yang mewakili perwaliannya diperbolehkan
menghadiri akad nikah pada saat akad asalkan tidak menjadi saksi nikah karena
dapat dibuat akad tidak sah karena wali memiliki status ganda.
Kata Kunci: tokoh NU, wali nikah, mewakilkan perwalian
62
DOI: 10.35316/istidlal.v5i1.304 Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam
Volume 5, Nomor 1, April 2021
63
Abidin – Pandangan Tokoh Nu Jember Tentang Hadirnya Wali dalam Majlis Akad
64
DOI: 10.35316/istidlal.v5i1.304 Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam
Volume 5, Nomor 1, April 2021
lalu sang kiai tidak mau melanjutkan akad perwalian terhadap jiwa dan harta sekaligus
tersebut karena sang wali yang telah ِ علَى النَّ ْف ِس َو ْال َم
(ال َمعًا َ ُ)ا َ ْل ِو ََليَة.
mewakilkan perwaliannya pada kiai Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam
tersebut. Ketegangan tersebut terjadi cukup al-Walayah 'alan-nafs, yaitu perwalian yang
lama sampai ada salah seorang keluarga bertalian dengan pengawasan (al-Isyraf)
mempelai putri membujuk wali tersebut terhadap urusan yang berhubungan dengan
untuk keluar dari majlis akad dan akhirnya masalah-masalah keluarga seperti
akad nikah dilangsungkan. perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan
Kiranya penelitian ini sangat penting anak, kesehatan, dan aktivitas anak
untuk dilakukan mengingat fenomena ini (keluarga) yang hak kepengawasannya pada
berkaitan dengan para tokoh agama yang dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek,
menjadi panutan masyarakat dalam berbuat dan para wali yang lain.
dan bertindak, terutama tokoh NU yang Wali Nikah ialah: " orang laki-laki
menjadi jam’iayah terbesar di Indonesia. yang dalam suatu akad perkawinan
berwenang mengijabkan pernikahan calon
mempelai perempuan" Adanya Wali Nikah
Konsep Wali Nikah merupakan rukun dalam akad perkawinan.
Menurut Islam
65
Abidin – Pandangan Tokoh Nu Jember Tentang Hadirnya Wali dalam Majlis Akad
kemudian apabila mereka berselisih maka meminta ijin terlebih dahulu maka akadnya
penguasa adalah wali bagi orang yang tidak tidak sah, jadi mana mungkin bisa
memiliki wali” (Al-Turmuzi, 1998). mewakilkan pada orang lain (W. Al-Zuhaili,
2008).
Menurut Hanafiyah seorang wali
Hukum Wali Nikah Menurut Ulama tidak harus mendapatkan ijin terlebih
dahulu dalam mewakilkan perwaliannya,
Jumhur Ulama mensyaratkan adanya baik wali mujbir atau selain wali mujbir, dan
wali nikah dalam akad perkawinan dan juga tidak harus mendatangkan saksi ketika
wanita tidak boleh mengawinkan dirinya mewakilkan. Karena menurut hanafiyah
sendiri. Menurut Ibnu Mundzir tidak yang dibutuhkan dalam sahnya akad nikah
terdapat seorang sahabatpun yang adalah ijin dari wali bukan ijin dari
menyalahi pendapat Jumhur ini. Imam mempelai perempuan. Namun menurut
Malik berpendapat bahwa disyaratkan hanafiyah seorang wakil harus memenuhi
adanya Wali Nikah bagi wanita bangsawan ketentuan wali yang mewakilkan, jika wali
dan tidak disyaratkan bagi wanita biasa (Al- yang mewakilkan adalah wali mujbir maka
Jaziri, 2001). wakil tidak harus mendapatkan ijin dari
Ulama Hanafiyah berpendapat mempelai perempuan untuk menikahkanya,
bahwa tidak disyaratkan adanya Wali Nikah apabila wali yang mewakilkan selain wali
dalam suatu akad perkawinan. Ulama mujbir maka wakil harus minta ijin terlebih
Dhahiriyah mensyaratkan adanya wali dahulu.
nikah bagi gadis dan tidak mensyaratkan Taukil wali atau mewakilkan
bagi janda. Abu Tsaur berkata bahwa wanita kewalian dalam akad nikah dihukumi sah
boleh mengawinkan dirinya dengan izin apabila orang yang menjadi wakil
walinya. memenuhi persyaratan sebagai wali yaitu
harus islam, baligh, laki-laki, merdeka, tidak
lemah akalnya, dan tidak sedang
Hukum Taukil Wali Nikah melaksanakan iharam haji atau umrah.
Apabila orang yang menjadi wakil tidak
Menurut jumhur ulama seorang wali memenuhi persyaratan sebagai wali maka
mujbir boleh mewakilkan perwaliannya hukumnya tidak boleh dan wakil tersebut
dalam mengawinkan putrinya dengan tanpa tidak bisa melaksanakan akad nikah sebagai
meminta ijin terlebih dahulu, sebagaimana wali.
dia boleh mengawinkan sendiri tanpa Mayoritas ulama dalam kitab-kitab
meminta ijin terlebih dahulu. Dalam fiqh menyatakan bahwa seorang wali yang
mewakilkan perwaliannya, seorang wali telah mewakilkan perwaliannya bisa hadir
tidak harus menentukan calon mempelai dalam majlis akad dan tidak mengganggu
lelakinya, namun dia boleh menetukannya. terhadap sahnya akad yang sedang
Jika dalam mewakilkan, seorang wali berlangsung. Semua kitab yang menjelaskan
menentukan calon mempelai lelakinya maka masalah ini rata-rata penjelasannya sama
wakil harus menikahkan dengan lelaki bahwa kehadiran wali yang telah
tersebut. Sedangkan bagi selain wali mujbir, mewakilkan perwaliannya pada saat akad
menurut Syafiiyah tidak boleh mewakilkan apabila wali tersebut menjadi saksi (Al-Jawi,
perwaliannya kepada orang lain dengan 1996).
tanpa mendapat ijin terlebih dahulu dari Dalam kitab fatawa Ibnu Shalah
mempelai perempuan karena selain wali dijelaskan bahwa ketidakbolehan seorang
mujbir apabila menikahkan dengan tanpa wali hadir sebagai saksi dikarenakan dia
66
DOI: 10.35316/istidlal.v5i1.304 Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam
Volume 5, Nomor 1, April 2021
67
Abidin – Pandangan Tokoh Nu Jember Tentang Hadirnya Wali dalam Majlis Akad
Dalam masalah ini, pandangan tokoh Menurut saya wali yang telah mewakilkan
masyarat yang berbasis NU terbagi menjadi perwaliannya tidak masalah hadir dalam
tiga kelompok yaitu: majlis akad asalkan bukan sebagai saksi
Ada yang berpendapat bahwa nikah. Dalam kitab-kitab fiqh dijelaskan
seorang wali yang telah mewakilkan seperti itu, selain itu juga sering dibahas
perwaliannya boleh hadir ketika akad dalam forum-forum Bahtsul masail yang
dilaksanakan karena tidak ada penjelasan keputusannya tidak ada pendapat yang
dama kitab yang melarangnya. Tradisi yang melarang seorang wali yang telah
terjadi di masyarakat tidak harus diikuti mewakilkan perwaliannya hadir dalam
karena tradisi tersebut timbul karena majlis akad.
kesalahan dalam memahami redaksi yang Menurut saya seorang wali yang
terdapat dalam kitab fiqh. telah mewakilkan perwaliannya pada
Wali nikah yang telah mewakilkan seorang tokoh tidak masalah hadir dalam
perwaliannya pada orang lain boleh hadir majlis akad ketika akad dilaksanakan. Yang
dalam majlis akad. Namun apabila di tidak boleh itu kalau dia hadir sebagai saksi
tempat tersebut ada orang yang memintanya nikah. Tapi kalau dia hadir hanya ingin
untuk keluar maka sebaiknya dia keluar menyaksikan prosesi pernikahan saja, bukan
karena untuk menolak fitnah sebagai saksi maka tidak menjadi masalah.
Wali nikah yang telah mewakilkan Sedangkan kebiasaan yang terjadi di
perwaliannya tidak boleh berada dalam masyarakat menurut beliau hanya
majlis akad pada saat akad dilaksanakan. merupankan kebiasaan yang terjadi akibat
Para tokoh yang berpendapat demikian kesalahan masa lalu yang dilakukan oleh
mempunyai alasan yang berbeda-beda. Ada orang yang dianggap alim kemudian diikuti
yang beralasan karena ada ulama yang oleh generasi selanjutnya. Kesalahan
melaranganya, karena mengikuti kebiasaan tersebut adalah kesalahan dalam memahami
yang telah lama berlaku, dan ada yang redaksi yang terdapat dalam kitab fiqh dan
beralasan karena si wali telah pasrah pada kemudian diikuti dengan tanpa dikoreksi
wakilnya. kembali. Menurut beliau kebiasaan tersebut
harus diluruskan, bukan malah diikuti
karena alasan sudah menjadi tradisi
Wali Tidak Perlu Keluar dari masyarakat.
Majlis Akad Dalam kitab Fathul muin yang
menjelaskan masalah ini terdapat pada
Sebagian tokoh NU yang terdapat di halaman 102 yang berbunyi:
kabupaten jember berpendapat bahwa
seorang wali yang mewakilkan َ خ ال ُْم ْن َف ِر ُد ِِف ا لنِي َكا ِح َو َح
ض َر َم َع اَ َخ َر ُ َفَ لَ ْوَوهك َل ْاَل
ُ َب اَ ِو ْاَل
اه ًدا َوِم ْن َثَه ل َْو َش ِه َد
ِ ص هح َِلَ نهه وِِلٌّ َعاقِ ٌد فَََل ي ُكو ُن َش ِ ََل ي
perwaliannya tidak perlu keluar dari majlis
akad pada saat akad dilaksanakan. Dia boleh َ َُ َْ
ِ ِ ٍّ
hadir untuk menyaksikan prosesi akad ص هح َو ِ
َ ث بِغَ ِْْي َوَكالَة م ْن اَ َحدِهَاُ ِان ِم ْن ثَََلثٍَّة َو َع َق َد الثهالِ اَ َخو
َ
اِهَل فَ ََل
tersebut, dan kehadirannya tidak
berpengaruh pada akad yang sedang
dilangsungkan. Pendapat ini disampaikan
oleh KH. Rahmatullah Ali dan Dr. Abdul “ Jika bapak atau saudara tunggal
Haris karena tidak ada keterangan dalam mewakilkan perwalian dalam nikah
kitab fiqh yang melarangnya. dan ikut hadir beserta orang lain
Sebagaimana pernyataan beliau maka pernikahan tidak syah karena
dalam sesi wawancara, Dr. Abdul Haris : statusnya sebagai wali yang
68
DOI: 10.35316/istidlal.v5i1.304 Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam
Volume 5, Nomor 1, April 2021
69
Abidin – Pandangan Tokoh Nu Jember Tentang Hadirnya Wali dalam Majlis Akad
wali telah mewakilkan pada orang lain dan kesalahan dalam memahaminya apabila
dia hadir bersama wakilnya, kemudian tidak dicerna secara seksama. Namun
wakilnya mengakad maka akadnya tidak apabila dibaca serius maka redaksi tersebut
sah. akan dapat difaham secara betul.
Lebih lanjut, menurut pendapat Lebih lanjut menurut KH. Abdul
golongan ini bahwa kebiasaan yang terjadi Mugni bahwa yang penting rukun nikah
di masyarakat tersebut tidak bisa dijadikan terpenuhi maka akad nikahnya sah.
dalil untuk diikuti. Karena kebiasaan ini Berkenaan dengan wali yang telah
hanya terjadi pada sebagian golongan mewakilkan perwaliannya, baik dia hadir
masyarakat saja, terutama yang ada di atau tidak pada saat akad itu bukan
pedesaan, tidak pada golongan yang lain termasuk rukun dan syarat nikah jadi tidak
yang ada di perkotaan. berpengaruh pada sah dan tidaknya akad.
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam
menetapkan rukun nikah. Tentang masalah
Wali Boleh Berada dalam wali dan saksi nikah ada yang mengatakan
Majlis Akad bahwa itu adalah rukun dan ada yang
mengatakan bahwa itu adalah syarat nikah.
Pendapat yang kedua ini lebih Namun tidak ada yang berpendapat bahwa
fleksibel dari pendapat sebelumnya. Yaitu ghaibnya wali yang telah mewakilkan
wali yang telah mewakilkan perwaliannya perwaliannya pada saat akad adalah
pada orang lain diperbolehkan hadir dalam merupakan salah satu dari syarat sahnya
majlis akad pada saat akad nikah nikah. Hanya ada satu syarat yang harus
dilangsungkan. Namun apabila dalam majlis dipenuhi dalam taukil wali yaitu orang yang
tersebut ada pihak yang menyuruhnya menjadi wakil memenuhi persyaratan untuk
untuk keluar maka sebaiknya dia keluar. menjadi wali (W. M. Al-Zuhaili, 2002).
Alasan yang dikemukakan tidak jauh Banyak yang menyatakan bahwa
beda dengan alasan yang dikemukakan oleh kebiasaan ini sudah kuat di kalangan
pendapat sebelumnya yaitu karena tidak masyarakat, sehingga seperti telah memiliki
mereka belum pernah menemukan landasan hukum walaupun sesungguhnya
penjelasan dalam kitab-kitab fiqh yang tidak ada. Akan tetapi tidak sampai ada
melarangnya. Menurut mereka kejadian sanksi baik secara fisik atau moral. Para kiai
dalam masyarakat hanya sebatas kebiasaan melakukan seperti itu, sampai pada kiai
yang tidak memiliki dasar hukum. yang berpendapat sebaliknya, karena untuk
KH. Abdul Mugni dan KH. Ali mencegah terjadinya fitnah di kalangan
Rahmatullah mengatakan bahwa dalam masyarakat karena menurut mereka hal ini
kitab Fathul Muin dijelaskan seorang wali tidak bertentangan dengan nash. Meskipun
yang telah mewakilkan perwaliannya boleh tidak ada perintah tapi juga tidak ada
hadir dalam majlis akad. Hal itu bisa larangan bagi wali untuk keluar.
difaham apabila membacanya serius, tidak Tradisi ini juga terdapat
hanya sekedar membaca saja, kalau hanya kemashlahatan yang terkandung di
membaca sekedarnya saja maka akan dalamnya :
mudah menimbulkan pemahaman yang 1. Dapat menolak fitnah. Ketika seorang kiai
berbeda. Begitulah penjelasan beliau. tidak mengikuti tradisi ini, apalagi
Di atas telah dibahas mengenai sampai mengatakan yang sebaliknya
redaksi yang terdapat dalam kitab Fthul pada saat prosesi akad nikah maka ada
Mu’in. Memang redaksi yang terdapat kemungkinan akan timbulnya fitnah
dalam kitab tersebut rentan menimbulkan karena kiai sebelumnya telah melakukan
70
DOI: 10.35316/istidlal.v5i1.304 Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam
Volume 5, Nomor 1, April 2021
tradisi itu. Terlebih apabila dalam acara wakil wali nikah maka dia memiliki hak
tersebut sampai ada masyarakat yang sebagaimana wali nikah yang asal, bila
meminta wali untuk keluar dari majlis wali nikahnya seorang wali munjbir maka
akad kemudia ada kiai yang hendak wakil juga berhak menikahkan dengan
mengakad berkata bahwa hal itu tidak tanpa meminta ijin terlebih dahulu dari si
perlu, hal ini akan menimbulkan perempuan namun jika bukan wali
perasaan tidak enak pada orang tersebut, mujbir maka dia terlebih dahulu minta
bahkan dimungkinkan terjadinya ijin pada si perempuan. Hal inilah yang
perdebatan seperti yang terjadi di daerah menjadi alasan KUA Tempurejo
tempurejo jember pada tahun 1980an menerapkan dua cara yaitu diminta
sebagaimana yang diceritakan oleh KH. keluar sebentar apabila walinya pertama
Abdul Mugni karena Hampir di setiap kali menikahkan anaknya atau orang
acara akad nikah apabila sang kiai yang yang tidak terlalu faham masalah nikah
menerima pemasrahan sebagai wali nikah dan membiarkan tetap di dalam akad
tidak meminta wali untuk keluar pada apabila sebaliknya.
saat akad dilaksanakan ada orang lain 3. Meminimalisir perasaan grogi pada
yang memintanya. Ketika terjadi hal mempelai pria. Telah diketahui bersama
sedemikian maka akan menimbulkan bahwa seseorang memiliki perasaan malu
kesan yang kurang baik di kalangan pada calon mertua, apalagi pemuda yang
masyarakat, baik bagi kiai karena belum pernah beristeri. Jika calon
dianggap tidak sama dengan kebiasaan mempelai pria malu atau segan pada
yang telah dijalani oleh kiai-kiai calon mertuanya dan dia mengakad
sebelumnya, atau bagi orang tersebut sendiri maka tidak menutup
karena dianggap merasa lebih pintar dari kemungkinan terjadi kesalahan ketika
kiai. Meskipun sebenarnya kiai tersebut mau mengucapkan qabul dikarenakan
hendak meluruskan pemahaman grogi dan hal tersebut dapat
masyarakat dan itu adalah perbuatan mengakibatkan akad nikah harus diulang
yang maslahat tapi dapat menimbulkan beberapa kali. Jika yang mengakad
mafsadah. Ketika mencari kemaslahatan seorang kiai atau penghulu dan di tempat
bertentangan dengan menolak mafsadah itu tidak ada calon mertua maka akan
maka yang harus didahulukan adalah mengurangi tekanan psikologis mempelai
menolak mafsadah, sebagaimana dalam pria. Hal itu pernah dijelaskan oleh KH.
kaedah fiqh: Ali Rahmatullah.
71
Abidin – Pandangan Tokoh Nu Jember Tentang Hadirnya Wali dalam Majlis Akad
72
DOI: 10.35316/istidlal.v5i1.304 Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam
Volume 5, Nomor 1, April 2021
73
Abidin – Pandangan Tokoh Nu Jember Tentang Hadirnya Wali dalam Majlis Akad
74
DOI: 10.35316/istidlal.v5i1.304 Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam
Volume 5, Nomor 1, April 2021
75
Abidin – Pandangan Tokoh Nu Jember Tentang Hadirnya Wali dalam Majlis Akad
Daftar Pustaka
76