Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

PENGELOLAAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KEGAWATDARURATAN PADA


PSIKIATRIC
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat II
Dosen Pengampu : Lia Novianty, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun Oleh:
KELOMPOK 3
Diva Nursafa : C1AA21036 Resfira khaerunisa : C1AA21114
Intan Dwi Salsabilah : C1AA21054 Rifa Azizah : C1AA21120
Leviana Suci Novianti : C1AA21063 Sehan aditya daffa : C1AA21141
Mila Siti Mariam : C1AA21072 Silmi Desliani : C1AA21147
Mutiara Dewi Safitri : C1AA21090 Sonia Ramadaniati : C1AA21162
Nasipa Sulistina : C1AA21099 Syifa Nurfitriani : C1AA21168
Nurun Nisa : C1AA21105 Wafa Nurfauziah : C1AA21171

3-C
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI
2024
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Karena hidayah dan nikmat-
Nya lah sehingga Makalah dengan judul “Pengelolaan Asuhan Keperawatan Pada
Kegawatdaruratan Pada Psikiatric” ini dapat kami selesaikan dengan tepat waktu. Tak lupa
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad
SAW.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat
II. Tak dapat disangkal dalam proses penyusunan makalah ini banyak mendapatkan bantuan
maupun dukungan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada
pihak-pihak yang telah ikut bantuan juga kontribusi yang telah di berikan kepada kami.

Sebagaimana manusia, makhluk yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan kami
menyadari dalam penyusunan makalah ini belum terbentuk dengan sempurna. Oleh karena itu,
segala masukan, saran maupun kritik akan kami terima dengan senang hati. Atas Apresiasinya
kami ucapkan terimakasih.

Sukabumi, 13 Maret 2024


Penulis,

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
BAB I ................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG ............................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................... 2
C. TUJUAN ................................................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 3
A. DEFINISI KEDARURATAN PSIKIATRI ................................................................ 3
B. TRIAGE KESEHATAN MENTAL ........................................................................... 3
C. PENGKAJIAN KESEHATAN MENTAL ................................................................. 5
D. ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
BERDASARKAN EMERGENSI KESEHATAN MENTAL ............................................. 8
1. Kedaruratan Kesehatan Mental Tanpa Psikosis ...................................................... 8
2. Kegawatdaruratan Mental Dengan Kasus Psikosis ............................................... 16
E. TINDAKAN LANJUTAN PADA KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI ........... 23
BAB III ............................................................................................................................... 26
PENUTUP .......................................................................................................................... 26
A. KESIMPULAN ....................................................................................................... 26
B. SARAN ................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyimpangan perilaku adalah salah satu bentuk tanda dan gejala gangguan jiwa dan
merupakan akibat dari distorsi emosi yang dapat mengakibatkan adanya perubahan
perilaku. Gangguan-gangguan pada seseorang dapat menghambat untuk menjadali
kehidupan sosial di masyarakat apabila seseorang mengamali gangguan mental. Menurut
Nasir (2011) ganguan yang terjadi meliputi gangguan emosi, perubahan perilaku, perasaan,
keinginan, motivasi, daya tarik diri, kemauan dan persepsi.
Faktor biologis, psikologis dan sosial budaya, dimana penduduknya beragam, sehingga
jumlah kasus gangguan jiwa meningkat, menyebabkan bertambahnya beban negara dan
penurunan produktivitas manusia. Pada tahun 2013, angka kejadian gangguan jiwa
emosional yang ditandai dengan kecemasan dan depresi mencapai 14 juta orang, terhitung
6 persen penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun yang terserang, angka kejadian
gangguan jiwa berat seperti skizofrenia sebanyak 400.000 orang. menurut 1,7 per 1.000
penduduk Indonesia. Gangguan kesehatan mental yang tidak dikelola dan ditangani dengan
baik, serta kurangnya dukungan keluarga dan masyarakat, memicu kecemasan dan
meningkatkan ketegangan, yang mengarah pada respons maladaptif dan dapat mengarah
pada situasi krisis.
Kegawatdaruratan psikiatri adalah kondisi yang dapat menimbulkan konsekuensi
serius, dapat mengancam diri sendiri, orang lain, dan orang di sekitar mereka, dan onsetnya
akut dan tibatiba. Krisis kesehatan mental dapat mempengaruhi seseorang, melibatkan
intrapsikis, intrapersonal, biologis atau bahkan kombinasi dari beberapa faktor tersebut.
Kejang memiliki tanda dan gejala yang spesifik seperti perilaku, kognitif, afektif, perasaan,
persepsi, respons fisiologis, hubungan atau cara berpikir, oleh karena itu perlu segera
mencari pengobatan jika terjadi krisis karena dapat menyebabkan berbagai masalah medis
lainnya seperti . sendiri seperti luka fisik, bunuh diri dan terjadinya kekerasan terhadap
orang lain.
Penanganan kegawatdaruratan psikiatri memerlukan penilaian yang akurat, jaminan
keamanan, perhatian segera kepada klien dan penilaian risiko kekerasan, kehilangan
kendali, agresi, menyakiti diri sendiri, bunuh diri atau pembunuhan. Dalam keadaan darurat
psikiatri, pengobatan biasanya berfokus pada manajemen perilaku dan gejala. Proses
treatment dilakukan bersamaan dengan proses assessment (bila treatment memungkinkan).

1
Konsultasi pertama tidak hanya untuk mendapatkan informasi diagnostik yang penting,
tetapi juga untuk terapi. Kegawatdaruratan psikiatri memerlukan penanganan khusus,
namun kondisi yang sering dijumpai caregiver pada pasien kegawatdaruratan psikiatri
adalah pengekangan atau pengekangan dan pemberian obat. Metode terapi dalam keadaan
darurat psikiatri meliputi: Farmakoterapi, kesendirian (isolasi) dan pengekangan (physical
restraint) dan psikoterapi (Knox dan Holloman, 2011; Riba et al., 2010; Sadock dan
Kaplan, 2019).

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan Latar Belakang di atas di atas kami membuat rumusan masalah, sebagai
berikut:
1. Definisi Kedaruratan Psikiatri
2. Triage Kesehatan Mental
3. Pengkajian Kesehatan Mental
4. Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Psikiatri Berdasarkan Emergensi Kesehatan
Mental
5. Tindakan Lanjutan Pada Kegawatdaruratan Psikiatri

C. TUJUAN
Tujuan yang kelompok kami harapkan dari rumusan masalah di atas adalah sebagai
berikut:
1. Dapat Mengetahui dan Memahami Definisi Kedaruratan Psikiatri
2. Dapat Mengetahui dan Memahami Triage Kesehatan Mental
3. Dapat Mengetahui dan Memahami Pengkajian Kesehatan Mental
4. Dapat Mengetahui dan Memahami Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Psikiatri
Berdasarkan Emergensi Kesehatan Mental
5. Dapat Mengetahui dan Memahami Tindakan Lanjutan Pada Kegawatdaruratan
Psikiatri

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI KEDARURATAN PSIKIATRI


Kedaruratan psikiatri merupakan keadaan yang tak terduga dengan potensi
katastrophic, dengan demikian diharapkan praktisi kesehatan mental harus siap untuk
mengatasi krisis seperti keinginan bunuh diri, agitasi dan agresi, serta keadaan confusional
state. Berdasarkan konsensus yang dikembangkan oleh American Psychiatric Association
(APA) menyebutkan bahwa kedaruratan psikiatri adalah gangguan yang bersifat akut, baik
pada pikiran, perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan intervensi segera yang
didefinisikan oleh pasien, keluarga pasien, atau masyarakat. (Trent, 2013) .
Tujuan pelayanan kedaruratan psikiatri adalah untuk:
1) Memberikan perawatan tepat waktu atas kedaruratan psikiatri
2) Adanya akses perawatan yang bersifat lokal dan berbasis masyarakat
3) Menyingkirkan etiologi perilaku pasien yang mungkin mengancam nyawa atau
meningkatkan morbiditas medis
4) Berjalannya kesinambungan perawatan. (Allen et al., 2002; Sadock and Kaplan, 2009).
Proses evaluasi di kedaruratan psikiatri antara lain:
1) Wawancara kedaruratan psikiatri,
2) Pemeriksaan fisik
3) Pemeriksaan penunjang.
Menurut Heriani, et al., 2010; Trent, 2013; Sadock and Kaplan, 2009. Hal-hal yang
sebaiknya dievaluasi pada pasien yang dirujuk ke bagian psikiatri adalah risiko bunuh diri,
risiko kekerasan (violence), dan penilaian psikososial dan Hal-hal yang harus diperhatikan
di seting kedaruratan yaitu:
1) Agitasi dan agresi 5) Kekerasan pada anak
2) Withdrawal (lepas zat) 6) Kekerasan pada lansia
3) Intoksikasi zat 7) Perkosaan.
4) Kekerasan domestic

B. TRIAGE KESEHATAN MENTAL


Tujuan dari triase kesehatan mental ditujukan untuk menentukan tingkat keparahan dari
masalah yang ada sementara melindungi pasien, staff dan yang lain. Individu dengan

3
kegawatan kesehatan mental seringkali menampilkan kondisi tertekan, ide bunuh diri dan
perlukaan diri yang membahayakan kesehatan dan keamanan pasien.
Sebagai tambahan pada kondisi psikotik, beberapa kegawatdaruratan kesehatan mental,
seperti kecemasan akut, serangan panik, depresi berat, atau penyalahgunaan obat-obatan
dapat menimbulkan gangguan dan perilaku yang membahayakan. Evaluasi pasien dengan
gangguan kesehatan mental secara signifikan berbeda dari proses pengambilan data pada
triase yang biasanya dikenal. The Emergency Severity Index (ESI), lima level kategorisasi
triase digunakaan di kebanyakan unit emergensi tidak cocok untuk mengatasi masalah-
masalah kegawatdaruratan kesehatan mental.
MENTAL HEALTH TRIAGE SCALE
Kode Kategori
Deskripsi Presentasi Tipe Perilaku
Triase Triase
1 EMERGENSI - Secara aktif  Perilaku kekerasan
melakukan  Kepemilikan racun
bunuh diri atau  Perilaku merusak diri
membunuh  Kegelisahan yang ekstrem
- Gangguan  Agresif secara verbal
perilaku berat  Tidak mampu berduka, ketidakmampuan
merawat diri yang sangat jelas
 Membutuhkan restrain
 Buruknya kontrol impuls; berkelahi
 Penyalahgunaan obat dan alkohol dengan
gejala psikiatrik
2 URGENT - Potensi  Gelisah; tidak bisa diam
membahayakan  Perilaku intrusive
diri sendiri atau  Bingung
orang lain  Menarik diri; tidak bisa berkomunikasi
- Gangguan  Ide bunuh diri tanpa perencanaan
perilaku yang  Halusinasi verbal atau pendengaran
sedang  Delusi
 Curiga
 Depresi atau cemas berat

4
 Peningkatan mood dan mudah tersinggung
3 SEMI- Distress berat  Tidak ada gelisah atau tidak bisa tenang
URGENT  Koperatif
 Memberikan riwayat yang koheren
 Ide bunuh diri tetapi mengajak teman atau
keluarga
 Tidak ada ide bunuh diri
 Mudah tersinggung tanpa perilaku agresi
4 NON- Tidak ada distress  Koperatif
URGENT berat  Komunikatif
 Sesuai
 Diketahui sebagai pasien dengan gejala
kronis
5 NONURGENT Tidak ada distress Pemenuhan ulang pengobatan

C. PENGKAJIAN KESEHATAN MENTAL


1. Pengkajian Awal
Sejalan dengan keluhan-keluhan fisiologis, adalah penting untuk mengidentifkasi
pasien-pasien yang memerlukan perhatian dengan cepat/segera. Beberapa pasien yang
termasuk dalam kondisi tersebut adalah:
a. Tidak sadar sebelum masuk rumah sakit
b. Percobaan dan perilaku-perilaku bunuh diri
c. Percobaan dan perilaku terkait pembunuhan
d. Kemampuan perawatan diri yang sangat menurun
e. Kontrol impuls yang buruk atau adanya perilaku kekerasan
f. Bizarre (perilaku yang aneh) dan tidak dapat dijelaskan
g. Perilaku perlukaan diri yang serius
h. Penggunaan obat dan alkohol yang terkait dengan gejala-gejala psikiatri
2. Pengkajian Sekunder
Bagaian kedua dari pengkajian kesehatan mental adalah Mental Status Examination
(MSE), yang dapat dipandang sama dengan pemerikasaan fisik pada pasien dengan
keluhan fisiologis. Tujuan dari MSE ini untuk menggambarkan status mental dan
perilaku pada pasien yang menampilkan gejala-gejala psikiatrik. Termasuk dalam MSE

5
ini adalah kegiatan observasi oleh praktisi kesehatan (data objektif) dan informasi yang
diberikan oleh pasien (data subjektif). Komponen dari MSE meliputi observasi hal-hal
sebagai berikut:
a. Penampilan Umum
a) Kesesuaian berpakaian
b) Kebersihan dan kerapihan
c) Postur tubuh: melorot, tegang, kaku
d) Ekspresi wajah: provokatif, mengancam
b. Perilaku
a) Aktivitas psikomotor (contoh: restlessness, gelisah)
b) Kualitas kontak mata
c) Ketidaknormalan pergerakan, tremor
d) Pembicaraan
e) Kecepatan bicara: meningkat atau menurun
f) Irama: cedal, monoton
g) Volume: keras, lembut
h) Isi: kata-kata yang sedikit, cerewet, lancer
c. Alam Perasaan
a) Status emosional sesuai yang disampaikan pasien
b) Depresi, sedih, marah, gembira, mudah tersinggung
d. Afeksi
a) Status emosional yang diobservasi
b) Tipe afeksi: euthymic (normal), depresi, cemas, afeksi yang berlebihan
c) Range: full (normal), tumpul, datar atau labil
d) Kongruen: apakah mood sesuai dengan yang disampaikan oleh pasien
e. Proses Pikir
a) Status emosional yang diobservasi
b) Tipe afeksi: euthymic (normal), depresi, cemas, afeksi yang berlebihan
c) Range: full (normal), tumpul, datar atau labil
d) Kongruen: apakah mood sesuai dengan yang disampaikan oleh pasien
f. Isi Pikir
Meliputi:
a) Pikiran yang terokupasi (kematian, bunuh diri, keinginan membunuh)
b) Ilusi: misinterpretasi terhadap lingkungan

6
c) Ideas of reference: misinterpretasi pribadi secara langsung terhadap peristiwa di
luar dirinya yang dihubungkan dengan pasien
d) Halusinasi: sensori dan persepsi yang salah (sensori auditori, visual, perabaan
dan penciuman)
e) Delusi: pikiran yang terfiksasi, keyakinan yang salah dan secara kuat dipegang
walaupun kontrakdiktif dengan realita yang ada
g. Kognitif
a) Tingkat kesadaran
b) Perhatian dan konsentrasi
c) Memori: kesegeraan, memori pendek dan memori jangka panjang
d) Pikiran yang abstrak atau konkret
e) Gangguan intelektual
h. Insight/ daya tilik diri
Kesadaran akan dirinya dan penyakitnya
i. Penilaian
Kesesuaian antara keputusan dan pilihan
3. Riwayat Pasien
a. Riwayat Penyakit Pasien
a) Mengapa pasien mencari pertolongan saat ini?
b) Peristiwa apa yang membuat pasien membutuhkan tindakan.
c) Ide atau perilaku bunuh diri atau membunuh orang lain.
d) Siapa yang membawa pasien ke unit emergensi?
e) Sumber-sumber yang biasa digunakan untuk pelayan primer dan pelayanan
psikiatri.
f) Regimen pengobatan yang digunakan saat ini, tanggal dan waktu terakhir
pengobatan.
b. Riwayat Psikiatrik
a) Diagnosa psikiatrik yang ditegakkan.
b) Perawatan psikiatri di rumah sakit.
c) Percobaan bunuh diri.
d) Obat yang diresepkan.
e) Kesesuaian dengan regimen pengobatan.
c. Riwayat Pengobatan dan Pembedahan
a) Diagnosa dan pengobatan medis.

7
b) Alergi.
c) Riwayat prosedur pembedahan.
d. Riwayat Keluarga
a) Sistem dukungan yang ada.
b) Riwayat keluarga menderita gangguan jiwa.
c) Riwayat bunuh diri dalam keluarga.
e. Riwayat Substance Abuse
a) Penggunaan obat: pemilihan obat, jumlah dan frekuensi, penggunaan terakhir.
b) Penggunaan substance abuse terakhir.
c) Pemberian detoxifikasi terdahulu, partisipasi dalam self-help group (Alcoholics
Anonymous or Narcotics Anonymous)

D. ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI


BERDASARKAN EMERGENSI KESEHATAN MENTAL
1. Kedaruratan Kesehatan Mental Tanpa Psikosis
a. Gangguan Kecemasan
Kecemasan adalah respons yang tidak terfokus, membaur, yang meningkatkan
kewaspadaan individu terhadap sebuah ancaman, nyata atau dalam imaginasinya.
Takut, dalam sisi lain, adalah respons fisiologis dan respons psikologis yang
alamiah sebagai reaksi terhadap ancaman yang nyata atau yang berpotensi
mengancam individu. Takut objeknya terfokus, sementara cemas tidak berbentuk,
ancamannya tidak spesifik, tidak ada objek yang teridentifikasi dengan jelas.
Gangguan kecemasan meliputi gangguan panik, obsesif kompulsif, gangguan stress
pasca trauma, gangguan kecemasan umum dan phobia (phobia sosial, phobia ruang
terbuka, dan phobia spesifik lainnya). Gangguan cemas biasanya sering disertai
depresi atau substance abuse.
a) Panik dan Serangan Cemas Akut
Permulaan kejadian biasanya pada usia dewasa awal (dengan median sekitar
usia 24 tahun). Perempuan biasanya dua kali lipat lebih sering daripada lelaki.
Serangan panik dimulai tanpa peringatan, sering terjadi ketika melaksanakan
aktivitas rutin dan tidak mengancam. Individu tiba-tiba akan mengalami sakit
yang intens, palpitasi, nyeri dada, napas pendek dan sakit kepala. Gejala-gejala
ini sering kali disertai perasaan bahwa dirinya akan mati, jadi gila atau
kehilangan kontrol diri. Serangan panik akan meningkat dalam waktu sepuluh

8
menit dan gejala akan menghilang dalam waktu 30 menit. Selama serangan
panik individu tidak kehilangan kontak dengan realitas, tetapi kemampuan daya
tilik diri dan penilaian benar-benar terganggu.
 Tanda dan Gejala
1) Perasaan akan adanya bahaya yang datang, kematian, atau menjadi gila
2) Nadi cepat, palpitasi
3) Ketidaknyamanan prekordial, perasaan dada tertekan
4) Hiperventilasi, merasa susah bernapas.
5) Paresthesia
6) Cegukan, kesulitan menelan (dysphagia)
7) Berkeringat banyak
8) Mulut kering
9) Sering berkemih
10) Tremor
11) Aktivitas berlebihan
12) Usaha untuk keluar dari lokasi sesegera mungkin
 Intervensi Terapeutik
Tujuan dari pelayanan kedaruratan untuk individu yang mengalami
serangan panik atau serangan cemas akut adalah untuk meningkatkan
lingkungan di mana individu dapat merasa aman, mendapat dukungan dan
memiliki kemapuan kontrol diri yang adekuat. Intervensi keperawatan
membantu menurunkan perasaan cemas yang ekstrem meliputi hal-hal
sebagai berikut:
1) Sediakan dukungan emosional.
2) Singkirkan penyebab-penyebab fisik yang dapat menimbulkan gejala.
3) Pastikan keamanan pasien tetapi hindarkan memberi jaminan palsu.
4) Identifikasi dan atasi hiperventilasi- anjurkan napas secara perlahan,
napas secara biasa.
5) Tampilkan diri secara tenang.
6) Anjurkan pasien untuk bicara.
7) Atasi gejala-gejala fisik yang timbul.
8) Arahkan pasien pada realita yang ada.
9) Pertimbangkan untuk menggunakan obat-obar antiansietas.

9
10) Tekankan pentingnya pelayanan kesehatan mental pada kondisi tidak
darurat.
11) Lakukan rujukan pada penyedia layanan kesehatan mental.
b) Gangguan Obsesif Kompulsif
Geiala-gejala gangguan obsesif kompulsif (obsessive. compulsive disorder-
OCD) sering dimulai sejak masa kanak-kanak atau remaja. Kriteria diagnostik
untuk OCD secara umum meliputi obsesif dan kompulsif. Obsesi adalah pikiran
yang berulang, gambar, dan dorongan yang menyerang pikiran, yang
menyebabkan kecemasan yang tidak dapat ditoleransi. Preokupasi pikiran ini
tidak beralasan dan dapat bertemakan hal yang menjijikkan, kekerasan dan
mengancam. Kompulsif adalah sebuah cara untuk menurunkan kecemasan dan
diawali dengan keragu-raguan dan obsesi. Individu akan didorong untuk
melakukan perilaku yang berulang-ulang, perilaku ritual yang dilakukan untuk
mengurangi ketidaknyamanan dan bersifat sementara. Perilaku ini dapat
diambil dari kehidupan pribadinya, memenjarakan pasien dalam aktivitas yang
terpola. Perilaku kompulsif in dapat meliputi aktivitas terus-menerus seperti:
1) Cuci tangan
2) Mandi atau membersihkan rumah
3) Menyuruh - mengatur berlebihan
4) Memeriksa, mengulang lagi memeriksa
5) Menghitung, menyentuh, melakukan aktivitas ritual berulang
6) Perilaku lambat berlebihan dalam kegiatan seperti makan atau menyikat gigi
7) Terus-menerus menanyakan dan mencari jaminan bahwa ancaman telah
tersingkirkan
Individu dengan OCD tidak mengalami delusi dan halusinasi, mereka hanya
tidak dapat mengontrol respons kompulsinya untuk mengatasi kecemasannva.
c) Gangguan Stress Pasca Trauma (Post-traumatic Stress Disorder)
Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah bentuk gangguan kecemasan
yang berkembang setelah terpapar pada peristiwa yang mengerikan, siksaan
yang berhubungan ancaman kematian dan ketidakberdayaan. Peristiwa-
peristiwa yanag dapat menyebabkan PTSD meliputi kekerasan personal seperti
perkosaan, penjambretan, kekerasan dalam rumah tangga, bencana alam,
bencana yang dibuat manusia, kecelakaan dan pertempuran militer.

10
Pasien dengan PTSD mengalami gangguan emosional, fisik, perilaku dan
psikologis. Dalam PTSD, respons "fight or flight" berubah atau rusak. Individu
dengan PTSD dapat merasa sangat stress dan ketakutan ketika mereka sudah
tidak lagi dalam peristiwa yang berbahaya." Ini dapat terjadi pada semua usia,
termasuk ketika usiabanak-anak." Individu yang mengalami PTSD berisiko
tinggi menggunakan substance abuse, mengalami gangguan relasi dan perilaku
bunuh diri.
 Tanda dan Gejala
Gejala-gejala dari PTSD dapat dikategorikan sebagai mengalami
Kembali peristiwa, menghindari atau menampilkan respons yang
berlebihan.
1) Pengulangan gejala-gejala
• Flashbacks (mengingat peristiwa)
• Trauma berulang-ulang
• Mimpi buruk atau nightmares
• Pikiran-pikiran menakutkan
2) Gejala menghindar
• Menghindar jauh dari suatu tempat, benda-benda yang mengingatkan
pada kejadian
• Secara emosional perasaannya tumpul
• Perasaan bersalah yang kuat, depresi atau khawatir
• Kehilangan akan ketertarikan pada aktivitas-aktivitas yang
sebelumnya disenangi
• Kesulitan mengingat peristiwa traumatik
3) Gejala hyperarousal
• Mudah terkejut
• Mengingatkan pada kejadian
• Merasa tegang atau "dalam tekanan"
• Kesulitan tidur
• Marah membabi buta
 Intervensi Terapeutik
1) Sediakan ruangan yang tenang.
2) Tetap tenang dan relaks.
3) Kaji risiko bunuh diri.

11
4) Kaii potensi kekerasan.
5) Persilahkan pasien untuk mengungkapkan perasaan dan hal - hal yang
menjadi perhatiannya.
6) Identifikasi peristiwa traumatik jika memungkinkan.
7) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menggunakan sistem
pendukung yang ada.
8) Berikan antidepresan dan anti cemas bila ada indikasi.
9) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dukungan-dukungan yang ada di
masyarakat.
10) Fasilitasi konsultasi dan rujukan bila diperlukan.
b. Gangguan Depresi
Pasien dengan gangguan depresi sering dijumpai di unit gawat darurat. Kondisi
depresi meliputi major depressive disorder dan dysthymic disorder. Kesedihan yang
normal, berduka dan respons emosional yang timbul terhadap kesulitan hidup harus
dapat dibedakan dari gangguan depresi. Untuk dapat menegakkan diagnosa
gangguan depressi major, gejala depresi harus ada sepanjang atau setiap hari,
sekurang-kurangnya selama dua minggu.
 Tanda dan Gejala Major Depressive Disorder
1) Perasaan tidak berharga, kesepian, tidak ada yang menolong dan sedih.
2) Tidak tertarik atau penurunan kesenangan dalam kegiatan yang biasanya.
3) Rasa bersalah
4) Kelelahan fisik, kehilangan tenaga
5) Penurunan kemampuan psikomotor atau agitasi
6) Gangguan tidur (insomnia or hypersomnia)
7) Kesulitan membuat keputusan
8) Perubahan berat badan (bertambah atau berkurang) sekitar 5% dari berat
badan yang ada selama satu bulan
9) Penurunan libido
10) Mudah tersinggung (Khususnya anak-anak dan remaja)
11) Perasaan putus asa
12) Penurunan kemampuan untuk konsentrasi
13) Ide bunuh diri, preokupasi tentang kematian
 Intervensi Terapeutik
1) Ciptakan perasaan aman dan nyaman bagi pasien.

12
2) Kaji risiko bunuh diri.
3) Jangan isolasikan pasien.
4) Hindari stimulus berlebihan di lingkungan sekitar pasien.
5) Hindarkan memaksa pasien untuk membuat keputusan.
6) Dukung pasien untuk mengekspresikan perasaannya.
7) Eksplorasi sumber-sumber dukungan emosional.
8) Libatkan anggota keluarga, dengan izin dari pasien.
9) Tulus dan empati, jangan menghakimi.
10) Rujuk pasien ke psikiater untuk evaluasi medis dan psikotherapi.
11) Informasikan pada pasien dan keluarga mengenai sumber-sumber dukungan
yang ada di masyarakat.
c. Berduka Akut
Berduka adalah respons yang diharapkan terhadap peristiwa kehilangan yang
signifikan, seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan kesehatan, pekerjaan
atau kehilangan gaya hidup atau kehilangan uang dalam jumlah besar. Reaksi
berduka yang akut sering terlihat di unit emergensi setelah kematian seseorang.
Proses berduka dipengaruhi banyak variabel, seperti latar belakang pasien, tipe
kepribadian, Riwayat kehilangan, kemampuan koping dan faktor yang lainnya.
Perawat emergensi harus mengantisipasi adanya reaksi berduka secara psikologis
dan fisiologis dan siap untuk memberikan dukungan fisik dan emosional kepada
pasien dan anggota keluarga.
 Tanda dan Gejala
1) Syok, ketidakpercayaan, penyangkalan
2) Emosional yang labil, air mata mengalir berlebihan, mengerang atau
meratap
3) Tidak mau bicara atau lambat dalam bicara
4) Ketidakmampuan berkonsentrasi
5) Marah, sedih dan rasa bersalah
6) Meningkatnya fokus perhatian pada orang atau objek yang hilang
7) Merasa tida ada pertolongan
8) Anorexia atau perubahan nafsu makan dan berat badan
9) Gangguan tidur (insomnia or hypersomnia)
 Intervensi Terapeutik

13
1) Terima respons pasien sebagai respons yang normal dan berikan support
dalam dialog.
2) Anjurkan pasien untuk mengkespresikan perasaannya, terutama kesedihan
dan kehilangannya.
3) Sediakan privasi di ruangan dengan pencahayaan normal tetapi stimulus
yang minimal.
4) Tekankan pentingnya nutrisi dan input cairan yang tepat, walaupun nafsu
makan menurun.
5) Explorasi sumber-sumber dukungan emosional.
6) Anjurkan pasien untuk berkumpul dengan teman, anggota keluarga,
kelompok yang sedang berduka untuk mendiskusikan perasaan dukanya.
7) Buat rujukan untuk konseling atau sumber-sumber dukungan di masyarakat
yang sesuai
d. Bunuh Diri
Pengkajian untuk Potensial Bunuh Diri:
a) Gender
1) Kaum perempuan tiga kali melakukan percobaan bunuh diri lebih sering
daripada kaum lelaki.
2) Kaum lelaki empat kali lebih sering betul-betul melakukan bunuh diri
daripada kaum perempuan.
b) Umur
1) Lansia menduduki 12,5% dari populasi pada tahun 2006 dan mewakili
15,9% kasus bunuh diri (data AS).
2) Kaum muda menduduki 14,2% dari populasi dari 2006 dan menampilakn
12,6% dari kasus bunuh diri (data AS).
c) Riwayat Keluarga
1) Terdapat peningkatan risiko bunuh diri pada keluarga yang memiliki riwayat
percobaan bunuh diri. m
2) Keluarga dengan riwayat gangguan mental atau substance abuse memilik
risiko untuk melakukan bunuh diri.
3) Riwavat kekerasan waktu kecil adalah faktor risiko untuk bunuh diri.
d) Faktor Risiko Lain untuk Bunuh Diri
1) Penggunaan obat terlarang (drug abuse) secara besar meningkatkan risiko
bunuh diri.

14
2) Risiko kematian lebih besar bila individu memiliki akses untuk meminum
racun (senjata api di rumah) atau dengan rencana yang mantap untuk
melakukan hal tersebut.
3) Percobaan bunuh diri terdahulu.
4) Penyakit mental biasanya ditemukan pada orang yang mati karena bunuh
diri, khususnya:
- Depresi (khususnya yang merasa putus asa)
- Penyakit bipolar
- Schizophrenia
- Substance abuse
- Penyakit fisik yang kronis
 Tanda dan Gejala Meningkatnya Risiko Bunuh Diri .
1) Perasaan tidak berharga, putus asa dan merasa tidak berdaya
2) Bingung, gangguan daya tilik diri dan penilaian
3) Restlessness, agitasi, mudah tersinggung
4) Ketidakpedulian, kelelahan, insomnia
5) Penurunan aktivitas fisik
6) Menarik diri, isolasi sosial
 Pendekatan pada Pasien Bunuh Diri
Tujuan dari asuhan kegawatan pada pasien dengan perilaku bunuh diri adalah
untuk menyediakan lingkungan aman terlindungi baik secara fisik maupun
psikologis dan menciptakan hubungan yang saling percaya dan empati.
Semua pasien yang menunjukkan gejala percobaan bunuh diri atau ide-ide
bunuh diri harus diperhitungkan memerlukan asuhan kegawatan dan sebaiknya
ditempatkan di rang pemeriksaan sesegera mungkin. Observasi ketat satu
perawat satu pasien sebaiknya dilakukan dan usahakan didokumentasikan
dengan tepat. Asuhan untuk pasien yang menunjukkan gejala overdosis,
gantung diri atau gejala serius percobaan bunuh diri lainnya diarahkan untuk
fokus pada kebutuhan medis segera untuk pasien. Sekali isu mengenai sesuatu
yang mengancam kehidupan didapatkan, maka fokus dari asuhan kemudian
pada kesehatan mental dan keamanan pasien.
 Intervensi Terapeutik
1) Lepaskan pakaian pasien dan singkirkan benda-benda yang berpotensi
membahayakan dari lingkungan di sekitar pasien.

15
2) Dorong pasien untuk mengungkapkan masalah yang mendorong pasien
untuk melakukan percobaan bunuh diri.
3) Evaluasi masalah bersama pasien.
4) Bantu pasien mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah.
5) Bila ada penyakit kronis, bantu pasien mengatasi masalah tersebut.
6) Berikan obat bila dibutuhkan.
7) Usahakan untuk melibatkan keluarga atau teman dalam diskusi, dengan izin
dari pasien. Siapkan pasien untuk perawatan di rumah sakit.
8) Lakukan konsultasi dengan psikiater.
9) Pastikan pasien dan keluarga memiliki nomor hotline untuk konseling dan
layanan yaitu nomer hotline 500-454.

2. Kegawatdaruratan Mental Dengan Kasus Psikosis


a. Reaksi Akut Psikosis
Psikosis akut merupakan kondisi kegawatan yang memerlukan
kecepatan dan ketepatan pengkajian dan diagnosa. Amat penting untuk
menentukan apakah psikosis ini disebabkan faktor organ atau faktor psikiatri.
Beberapa yang disebabkan faktor organ antara lain demensia, delirium, tumor
otak atau penggunaan obat terlarang atau drug abuse. Individu dengan psikosis
yang disebabkan karena faktor organik membutukan intervensi yang berbeda
dengan individu yang mengalami episode psikotik akut. Intervensi penting
untuk psikotik akut terlepas apapun etiologinya, bagaimanapun harus meniamin
keselamatan pasien. Psikosis merupakan kondisi keanehan yang sering
ditunjukkan dengan perubahan berpikir dan berperilaku yang melibatkan
gangguan proses pikir, gangguan berespons secara efektif dan kemampuan
untuk mempertahankan hubungan dengan realita yang ada. Tanpa intervensi,
gangguan ini akan berlanjut pada kondisi di mana pasien fidak dapat lagi
berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain.
 Tanda dan Gejala
1) Delusi
2) Halusinasi (bisa sensori yang lain tetapi paling banyak adalah halusinasi
dengar)
3) Kekacauan bicara yang mencerminkan kekacauan berpikir.
4) Perilaku yang sangat teratur

16
 Intervensi Terapeutik
1) Kurangi stimulus eksternal.
2) Cobalah untuk membentuk aliansi pemberi layanan untuk pasien.
3) Lepaskan pakaian pasien dan singkirkan benda-benda yang berpotensi
membahayakan dari lingkungan di sekitar pasien.
4) Berikan obat antipsikotik sesuai indikasi.
5) Pasang restrain hanya sebagai pilihan terakhir untuk melindungi pasien
dan orang lain.
b. Schizophrenia
Schizophrenia adalah penyakit otak yang merusak yang dalam fase akut
menunjukkan episode psikotik. Kata schizophrenia berarti "pikiran yang terbelah,"
phrase tepat yang menggambarkan terpecahnya realita dan proses pikir pada pasien
psikotik. Onset schizophrenia biasanya terjadi pada usia dewasa muda.
Schizophrenia sebaiknya tidak dipandang sebanyak penyakit tunggal, tetapi sebagai
proses penyakit yang melibatkan berbagai subtipe yang berbeda dengan berbagai
gejala yang bervariasi.
Lima subtipe schizophrenia adalah:
1) Paranoid
2) Disorganized
3) Catatonic
4) Undifferentiated
5) Residual
 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari schizophrenia seringkali dipikirkan dalam konteks
gejala positif dan gejala negatif.
1) Gejala positif
 Halusinasi: sensori persepsi yang salah yang tidak ada dalam realitas.
 Delusi: kesalahan keyakinan yang terfiksasi yang tidak ada dasar
realitanya
 Disorganisasi pikiran (sering berubah-ubah topik, respons yang tidak
nyambung, gangguan komunikasi).
 Berpakaian atau berperilaku aneh (disheveled or idiosyncratic dress,
regresi atau perilaku gelisah)

17
 Perseveration: kukuh pada satu ide atau pemikiran
 Ideas of reference keyakinan yang salah bahwa peristiwa eksternal
memiliki arti khusus
 Ambivalence memiliki keyakinan yang kontradiktif mengenai seseorang
atau suatu benda
2) Gejala negatif
 Apathy (perasaan acuh tak acuh/tidak peduli)
 Alogia (berbicara sedikit dengan konten yang minimal)
 Flat affect (tidak adanya ekspresi wajah yang menunjukkan emosi atau
mood)
 Anhedonia (perasaan tidak ada kesenangan atau kegembiraan)
 Avolition (tidak ada keinginan, ambisi atau energi untuk menyelesaikan
pekerjaan)
 Intervensi Terapeutik
1) Monitor lingkungan dan perilaku pasien yang mengancam dirinya dan
orang lain.
2) Ciptakan keamanan pasien dan orang lain; lepaskan pakaian pasien dan
singkirkan benda-benda yang berpotensi membahayakan dari lingkungan di
sekitar pasien.
3) Ciptakan hubungan yang terapeutik.
4) Gunakan ekspresi yang sederhana, konkrit dan kalimat yang jelas.
5) Hindari penggunaan kata-kata yang menyebabkan misinterpretasi.
6) Tampilkan kepercayaan diri Anda tetapi tidak mengancam untuk
memberikan jaminan kepada pasien bahwa petugas kesehatan memiliki
kemampuan utnuk mengontrol pasien dan lingkungan.
7) Dengarkan pembicaraan pasien untuk mendapatkan kata kunci sehubungan
dengan distorsi pikiran yang dialami pasien.
8) Bila pasien paranoid, hindarkan pintu yang tertutup atau hambatan pada
jalan masuk untuk mencegah pasien merasa "terpojok".
9) Berikan obat antipsikotik sesuai indikasi.
10) Observasi efek yang diharapkan dari pengobatan dan efek samping yang
timbul.
11) Kurangi stimulus dari lingkungan.

18
12) Jelaskan semua tindakan yang dilakukan.
c. Paranoia
Paranoia merupakan sebuah gejala dari schizophrenia dan beberapa kondisi
psikiatrik lainnya. Individu dengan paranoid menunjukkan gejala kehilangan
kontak dengan realitas dengan delusi pada sistem berpikir, merasa ada
penyiksaan, atau tema-tema pikiran mengenai waham kebesaran. Waham
penyiksaan bisa menimbulkan perasaan curiga, takut, cemas, marah,
bermusuhan atau kekerasan. Waham kebesaran bisa menyebabkan pasien masuk
dalam perilaku-perilaku yang berisiko tinggi.
 Tanda dan Gejala
1) Perasaan tidak percaya dan curiga
2) Merasa dikawal, diawasi/dijaga ketat
3) Delusi yang projektif (menyalahkan orang lain untuk kesulitan yang
dialami)
4) Merasa unik atau merasa diri besar (grandiose)
5) Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.
6) Proses pikir yang tidak masuk akal.
7) Pikiran obsesif
8) Gelisah, agitasi
9) Perilaku agresif dan menyerang
 Intervensi Terapeutik
1) Pastikan keamanan dan keselamatan pasien dan orang lain; lepaskan
pakaian pasien dan singkirkan benda-benda yang berpotensi
membahayakan dari lingkungan di sekitar pasien.
2) Hindarkan ancaman psikologis atau tantangan.
3) Gunakan ekspresi yang sederhana dan konkret.
4) Berikan batasan-batasan atas perilaku pasien.
5) Jelaskan tindakan sebelum dilakukan.
6) Tetap tenang dan berwibawa.
7) Duduk atau berdiri dalam level yang sejajar dengan pasien untuk
menghindari perbedaan kuasa.
8) Minimalkan stimulus eksternal.
9) Dukung pasien untuk memverbalisasikan pikirannya (pikiran yang
terganggu atau ilogis).

19
10) Jangan menvalidasi keyakinan/kepercayaan yang salah tetapi juga
jangan mencoba menyakinkan pasien bahwa pikirannya salah.
d. Bipolar Disorder Mania
Bipolar disorder dimanifestasikan dengan episode depresi dan episode
mania atau hipomania. Bipolar II disorder dikarakteristikan setidaknya ada satu
episode akut mania, biasanya disertai setidaknya satu periode depresi berat.
Manifestasi dari penyakit ini cenderung mengikuti pola-pola yang khas dari
setiap individu, di mana beberapa orang cenderung untuk lebih berat ke
manianya sementara yang lain cenderung ke depresinya.
Bipolar II disorder dikarakteristikan dengan setidaknya satu dari episode
depresi mayor tetapi tidak pernah mengalami episode mania secara utuh,
tepatnya, individu in mengalami episode hipomania. Episode mania dan
hipomania tampak serupa gejala-gejalanya, tetapi berbeda dalam derajat
kesakitan dan durasinya. Dalam episode hipomania ditemukan beberapa
perubahan fungsional yang biasa ditampilkan pasien, tetapi mereka belum
dinilai cukup berat untuk dirawat di rumah sakit. Dalam campuran bipolar I,
pasien menunjukkan tanda-tanda mania dan depresi secara simultan.
Dalam beberapa kasus, gangguan bipolar dipandang sebagai penyakit
kronis yang diderita seumur hidup. Lebih dori setengah populasi individu yang
mengalami penyakit ini akan mengalami ketidakmampuan fungsional yang
alkan bertahan sampai akhir hidup mereka. Sebagai dasarya, semakin sering
seseorang mengalami sebuah episode, semakin sering individu in mengalami
episode yang serupa di episode- episode yang akan datang.
“Beberapa studi telah membuktikan bahwa lebih dari 505 individu dengan
gangguan bipolar akan melakukan percobaan bunuh diri dalam beberapa titik
kehidupannya; 20% akan betul-betul melakukan bunuh diri.”
Secara umum, pengobatan untuk gangguan bipolar meliputi lithium atau
obat-obat anti epilepsi seperi divalproex, lamotrigine, atau carbamazepine. Saat
ini sebagian besar obat atipikal antipsikotik banyak digunakan sebagai
pengobatan gangguan bipolar. Ketika pasien dengan gangguan bipolar
ditemukan di unit gawat-darurat, kadar pengobatan sebaiknya dihitung dengan
baik apakah obat benar- benar dalam dosis yang terapeutik.
 Tanda dan Gejala Mania
1) Meningkatnya kegairahan mental yang tidak stabil

20
2) Mudah tersinggung, marah yang tak masuk akal
3) Pembicaraan yang terus menerus (cepat, sulit diputus)
4) Pikiran yang balapan, ide yang meloncat - loncat
5) Meningkatnya aktivitas motorik (gelisah, energi yang meningkat)
6) Grandiose (waham kebesaran)
7) Disinhibition
8) Impulsif
9) Kerusakan kemampuan penilaian dan daya tilik diri
10) Perilaku yang berisiko tinggi
11) Memamerkan perilaku berbau seks atau pikiran yang terokupasi
dengan tema seputar seks
12) Preokupasi dengan ide-ide yang bisa dikatakan pikiran delusi
 Intervensi Terapeutik
1) Ciptakan mekanisme keselamatan untuk pasien dan staf
2) Lindungi pasien, pemberi layanan dan yang lainnya dari kekerasan
fisik.
3) Turunkan stimulus lingkungan.
4) Tampilkan kewibawaan, dalam cara-cara yang tidak mengancam.
5) Sediakan ruangan yang aman, yang masih memungkinkan untuk
bergerak dan melakukan aktivitas motorik lainnya.
6) Jangan anjurkan pasien untuk berbicara, pertanyaan yang ringkas.
7) Berikan pengobatan sesuai indikasi.
8) Pasang restrain hanya sebagai pilihan terakhir untuk melindungi pasien
dan orang lain.
e. Pasien Dengan Kekerasan
Manajemen individu yang gelisah dan agresif akut di unit emergensi
adalah isu yang sering dijumpai. Manajemen awal seharusnya difokuskan pada
usaha untuk menenangkan pasien lewat komunikasi yang tegas tetapi penuh
empati dan menciptakan hubungan kolaboratif dengan pasien. Adalah penting
untuk menampilkan diri dengan tenang. tidak mengancam, dan dalam
pengontrolan dan memperhatikan keamanan diri.
Impulsif dan aggressif tidak terbatas hanya pada gangguan psikiatrik
tetapi juga bisa dijumpai pada penyakit/ gangguan lainnya. Ada beberapa
mekanisme yang dapat menimbulkan kegelisahan dan agresi.

21
Meningkatnya risiko kekerasan, meliputi hal-hal di bawah ini:
1) Mania, PTSD, cemas dan panik, demensia, delirium, psikosis, gangguan
kepribadian, dan intoksikasi zat atau withdrawal.
2) Kondisi pegobatan - termasuk gangguan metabolik, infeksi, trauma, tumor
otak dan disfungsi neurologi atau endokrin - dapat diperhitungkan sebagai
penyebab dari agresi dan perilaku kekerasan.
3) Pengaruh-pengaruh sosial seperti kemiskinan, deskriminasi, paparan
terhadap kekerasan dan kekerasan fisik dapat berperan sebagai kontributor
dalam penyebab utama kekerasan.
 Faktor-faktor dari Pasien yang dapat Berisiko Meningkatkan Perilaku
Kekerasan
1) Psikologikal
• Cemas atau takut akan keselamatan pribadi
• Perasaan tidak menentu atau ketidakmampuan mengatasi masalah
• Riwayat kekerasan fisik atau kekerasan seksual
2) Organik
• Alkohol atau keracunan obat
• Efek samping pengobatan
• Ketidakadequatan mengontrol gejala-gejala (mis; nyeri)
• Delirium
3) Psikiatrik
• Khayalan akan keyakinan penganiayaan
• "Perintah" dari halusinasi untuk melukai orang lain (halusinasi
pendengaran)
• Depresi dan percobaan bunuh diri akut
• Mania
 Intervensi Terapeutik
1) Ancaman kekerasan harus ditangani secara serius.
2) Sebisa mungkin dapatkan akses yang tidak ada hambatannya ke pasien.
3) Singkirkan furniture yang bisa bergerak dan objek yang dapat digunakan
dan berpotensi meracuni.
4) Singkirkan/ambil objek-obiek yang berpotensi membahayakan.
5) Mintalah beberapa orang yang ada di ruangan tersebut untuk pergi diam-
diam

22
6) Jangan meminta pasien untuk terburu-buru.
7) Kebanyakan pasien psikotik atau pasien dengan kekerasan dapat berbicara
lebih tenang bila diberi waktu.
8) Bila memungkinkan, ajak pasien terlibat dalam percakapan, cobalah untuk
menjalin hubungan yang terapeutik.
9) Bicaralah dengan kalimat yang jelas dan sederhana.
10) Biarkan pasien memverbalisasikan keluhan-keluhannya.
11) Barangkali hanya itu yang diperlukan pasien.
12) Bicaralah dengan tenang. Banyak orang yang mengalami psikosis merasa
takut dan tidak mampu mengontrol.
13) Pastikan pasien merasa terbantu untuk mendapatkan kembali kemampuan
kontrol dirinya.
14) Jujurlah, jelas dan tidak mengancam.
15) Hindari konfrontasi.
16) Berdiri bersebelahan dengan pasien.
17) Posisi ini menurunkan rasa terancam dan memperkecil ruang target.
18) Pastikan tangan terlihat sehingga tampak jelas bagi pasien bahwa Anda
tidak sedang menyembunyikan racun.
19) Petugas kesehatan sebaiknya memposisikan dirinya di posisi mereka
berada diantara pasien dan pintu.
20) Pasien tidak pernah boleh berada dalam posisi menghalangi akses ke luar
ruangan.
21) Jangan pernah mencoba mengatasi pasien kekerasan seorang diri. Cari
bantuan secepat mungkin.

E. TINDAKAN LANJUTAN PADA KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI


RESTRAINT (PENGEKANGAN)
1. Pengertian
Terapi dengan menggunakan alat mekanik atau manual dalam membatasi mobilitasi
fisik dengan kondisi khusus untuk meredan perilaku yang membahayakan diri sendiri,
orang lain & lingkungan.
2. Tujuan
1) Melindungi cedera fisik pada klien dan orang lain
2) Memberi perlindungan kepada pasien akan keselamatan dan rasa nyaman

23
3. Indikasi
1) Klien dengan penurunan kesadaran disertai gelisah
2) Klien dengan indikasi gangguan kejiwaan dengan perilaku agresif
4. Persiapan Klien dan Lingkungan
1) Jelaskan tujuan dari tindakan yang akan dilakukan
2) Berikan klien posisi yang nyaman
3) Berikan lingkungan yang aman dan nyaman
4) Berikan pencahayaan/penerangan ruangan yang cukup
5) Jaga privasi klien
5. Persiapan Alat
1) Restrain tali (untuk pergelangan 3) Kasa
tangan & kaki) 4) Sarung tangan
2) Bantalan pelindung kulit atau 5) Buku catatan & Pulpen
tulang
6. Prosedur kerja
1) Cuci tangan
2) Cunakan sarung tangan
3) Melakukan restrain dilakukan minimal 5 orang
4) Bersihkan area pergelangan tangan dengan kasa bila basah atau kotor
5) Gunakan bantalan pada ekstremitas klien sebelum dipasang restrain
6) Ikatkan restrain pada ekstremitas tangan kanan atau kiri atau yang dominan
7) Ikatkan restrain bagian kaki sebelah kanan atau kiri atau yang dominan
8) Longgarkan restrain setiap 2-3 jam selama 30 menit
9) Kaji kemungkinan adanya luka setiap 2 jam (observasi warna kulit & denyut nadi
pada ekstremitas)
10) Catat keadaan klien sebelum & sesudah pemasangan restrain
7. Evaluasi
1) Respon klien setelah prosedur tindakan
2) Observasi kemungkinan adanya luka setiap 2 jam (observasi warna kulit & denyut
nadi pada ekstremitas)
3) Observasi keadaan & perilaku klien setelah pemasangan restrain
8. Dokumentasi
1) Waktu pergantian posisi restrain
2) Daerah restrain & efek samping

24
3) Keadaan perilaku klien

25
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kegawatdaruratan Psikiatri adalah kondisi dimana kondisi psikis pasien menjadi
terganggu sehingga dibutuhkan intervensi segera dengan ilmu keperawatan gawat darurat
secara holisitik.
Kedaruratan psikiatri dibagi dalam beberapa bagian diantaranya ialah bunuh diri,gaduh
atau gelisah dan penyalahgunaan napza. Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak
dicegah dapat mengarah pada kematian (Gail w. Stuart, Keperawatan Jiwa,2007).
Penyebab kegawat daruratan psikiatrik adalah Bisa hal yang tidak berhubungan dengan
kelainan organis (Psikosis, mania, histeri dissosiatif, gangguan panik dan sebagainya).
Atau hal yang berhubungan dengan kelainan organis/delirium (trauma kapitis, drug abuse,
stroke, kelainan metabolik, sensitivitas terhadap obat dan sebagainya).
Perawatan di kedaruratan psikiatri biasanya berfokus pada manajemen perilaku dan
gejala. Proses pengobatan dilakukan bersamaan dengan proses evaluasi (jika pemberian
terapi telah memungkinkan). Wawancara awal tidak hanya berfungsi untuk memperoleh
informasi diagnostik yang penting, tetapi juga untuk terapi. Dalam melakukan proses
evaluasi, bila fasilitas tidak memadai, dapat dilakukan perujukan pada fasilitas kesehatan
terdekat yang memiliki fasilitas yang cukup untuk penatalaksanannya.

B. SARAN
Sebagai penyusun makalah ini, kami menyarankan kepada para pembaca khususnya
kepada para mahasiswa agar lebih mendalami materi yang telah dipaparkan dalam makalah
ini agar dapat berguna dalam kehidupan sehari-hari maupun saat berada di lapangan
sehingga dapat menerapkan proses keperawatan secara sistematis.

26
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, Ana, dkk, 2021, MODUL PRAKTIKUM KEPERAWATAN JIWA UNTUK


MAHASISWA DIPLOMA III KEPERAWATAN, Indramayu, Penerbit Adab.

Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, Pedoman Pelayanan Kegawat Daruratan Psikiatrik, Jakarta :
Kemenkes RI, 2011

Hammond, B. B., Zimmermann, P. G., & Cen, R. M. M. (2017). Sheehy's Emergency and
Disaster Nursing-1st Indonesian Edition. Elsevier (Singapore) Pte Limited.

Kusumawaty, Ira. "BAB 2 Kedaruratan Psikiatri." Keperawatan Kesehatan Jiwa (2023): 16.

Mirantri, Kusufia, Khairina. KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI FOKUS PADA


INTERVENSI PSIKOSOSIAL. 2019, unair, h 21.

Rokayah, Cucu, and Asep Aep Indarna. "Gambaran Penatalaksanaan Kegawatdaruratan


Psikiatri di Instasi Gawat Darurat." Jurnal Keperawatan 15.1 (2023): 77-86.

27

Anda mungkin juga menyukai