Guru Pembimbing:
Drs. Sugiyo, M.M.Pd.
Puji syukur senantiasa saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat
rahmat dan hidayahnya, sehingga makalah yang berjudul Instrinsik dan Ekstrinsik Novel
“Isinga: Roman Papua” ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Adapun tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas praktek
mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Sugiyo selaku guru pembimbing yang telah
membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini. Saya juga mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman saya yang juga sudah memberi konstribusi baik langsung maupun tidak
langsung dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini dibuat dengan harapan agar yang membaca mendapatkan ilmu yang
bermanfaat serta membuka wawasan pembaca tentang wacana itu sendiri. Semoga makalah
ini dapat menambah pengetahuan kita, khususnya saya selaku penulis.
Saya sadar dalam makalah ini masih banyak kekurangan dalam hal isi maupun
penulisan, untuk itu penulis sampaikan mohon maaf yang sebesar besarnya dan
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk penyusunan makalah
kedepannya. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Semua orang dapat membaca dan menafsirkan dengan baik serta dapat pula menikmatinya
dengan baik, tanpa adanya kritik satra. Namun kenyataannya sering mendapat kecaman atau
keluhan bahwa karya si A tidak berisi, tidak mempunyai nilai kemanusiaan, atau bahkan
dikatakan karya tersebut tidak berguna atau tidak membawa pesan apa-apa hanya sebuah
karya kosong.
Dengan adanya kondisi tersebut kritik memiliki peran sebagai jembatan penghubung
antara karya dengan penikmatnya. Sumbangan pikiran dan analisis pengkritik yang baik bisa
menimbulkan minat yang menyala-nyala bagi penikmatnya untuk menikmati karya tersebut.
Pengkritik dalam hal ini dapat menjadi pemandu pembaca dalam menikmati suatu karya.
Selain itu kritik berguna untuk dijadikan alat pemandu bakat penulis muda dan dapat
mematangkan penuulis-penulis yang telah berkarya.
Kritik bukan untuk dihindari, tetapi untuk dijadikan sebagai motivasi untuk menempa
diri. Jangan pernah takut dalam menghadapi kritik karena pemanfaatannya sangat baik untuk
diri anda dan karena pada prinsipnya memang tidak ada manusia yang sempurna. Jadikan
kritik sebagai pembelajaran untuk memperbaiki kesalaan yang ada pada karya yang kiata
buat.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Dalam pengertian sehari-hari kata kritik diartikan sebagai pennilaian terhadap suatu
fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Secara etimologis, krtik berasal dari kata “krites”
(bahasa Yunani) yang berarti “hakim”. Kata kerjanya adalah “krinein” (menghakimi). Kata
tersebut juga merupakan pangkal dari kata benda “criterion” (dasar penghakiman). Dari kata
tersebut mmuncul “kritikos” untuk menyebut hakimkarya sastra. (dalam buku kritik sastra
feminis oleh Wellek, 1978; Pradopo, 1997).
Teori kritik dalam arti luas menitik beratkan pada upaya pembebasan manusia
seutuhnya dari hal-hal yang memperbudaknya (Didi Pramono dalam blogger). Teori kritik
harus memenuhi tiga kriteria, yaitu harus jelas, praktis, dan normatif, semua pada waktu yang
sama. Teori harus menjelaskan sesuatu yang keliru, kemudian melakukan identifikasi agar
sasaran dapat merubah kekeliruannya. Menyiapkan keduanya dalam hal norma-norma yang
tepat untuk kritik dan tujuan yang praktis yang dapat dicapai untuk transformasi.
Mengkritik berarti memberikan tanggapan terhadap sesuatu atau karya orang lain.
Tanggapan tersebut dapat berupa penilain baik atau buruknya suatu karya yang dilakukan
secara objektif. Kritik biasanya menampilkan kelebihan ataupun kekurangan dari sebuah
karya. Kritik tidak hanya berupa tulisan, namun kritik juga dapat disampaikan secara
langsung ataupun lisan. Kritik biasanya di buat berdasarkan selera personal berdasarkan
pengalaman masing masing. Jadi dapat di simpulkan bahwa kritik merupakan kegiatan
mencari kesalahan, memuji, menilai, membandingkan dan menikmati sebuah karya. Kritik
sering kali di kaitkan dengan sastra.
2.2 Ciri-Ciri
Untuk mempermudah mengenali sebuah kritik maka berdasarkan beberapa pengertian para
ahli dapat diketahui sebuah kritik memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
2
2.3 Tujuan
Dalam mengkritik, tentu kita memiliki tujuan yang ingin kita sampaikan. Adapun tujuan dari
kritik adalah :
a. Memperbaiki suatu karya ,yaitu dengan melakukan koreksi terhadap kesalahan yang
terdapat dalam suatu karya.
b. Bertujuan menjembatani pemahaman pembaca/apresiator/apresian dengan karya yang
bersangkutan.
c. Memberikan penilaian secara subjektif, ilmiah dan terstruktur terhadap suatu karya
d. Bertujuan akademis. Kegiatan krtitik ini dilakukan oleh mahasiswa untuk memperoleh
gelar akademis.
e. Bertujuan komersil, motivasi seorang kritikus untuk mendapat bayaran atas kegiatan
kritik,seperti menulis pada kolom surat kabar.
Setelah diperoleh pemahaman mengenai pengertian, ciri-ciri dan tujuan dari kritik maka
kritik mempunyai beberapa fungsi:
Berdasarkan pemaparan di atas, kritik dapat dibagi atas beberapa jenis berdasarkan tujuan,
nada kalimat, sasaran, karya.
1) Kritik konstruktif, yaitu kritik yang dilakukan dengan sikap welas asih terhadap orang
memenuhi syarat untuk kritik yang bertujuan untuk membangun.
2) Kritik destruktif, yaitu kritik yang bertujuan tidak membangun yang bersifat destruksi
(merusak, memusnahkan, atau menghancurkan).
3
b. Dilihat dari nada kalimat
1) Kritik lunak, yaitu kritik yang digunakan dengan kata-kata yang lunak.
2) Kritik keras, yaitu kritik yang digunakan dengan kata-kata yang keras dan sedikit
menyinggung.
1) Pejabat atau tokoh publik, yaitu terhadap pejabat atau tokoh publik yang digaji
memakai uang rakyat.
2) Bukan tokoh publik atau bukan pejabat publik, yaitu kritik terhadap orang-orang
terkenal yang tidak digaji memakai uang rakyat.
1) Kritik sastra, yaitu bidang studi sastra yang berhubungan dengan pertimbangan karya
sastra, mengenai bernilai atau tidaknya sebuah karya sastra. Bila dilihat dari segi
pendkeatan atau metode kritik maka kritik sastra dapat dibagi atas dua jenis:
a) Kritik sastra penilaian (Judicial Critism), yaitu kritik sastra yang sifatnya
memberikan penilaian terhadap pengarang dan karyanya.
b) Kritik sastra induktif (inductive criticsm), yaitu kritik sastra yang tidak mau
mengakui adanya aturan-aturan atau ukuran-ukuran yang ditetapkan sebelumnya.
c) Disamping itu masih ditemui pembagian yang lain yang sifatnya merupakan
perincian dari sastra penilaian (Judicial criticism) di atas, yaitu sebagai berikut:
d) Kritik sastra ilmiah (Scientific criticism)
Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra, kritik sastra itu digolongkan menjadi
empat jenis (Abrams;1981) yaitu:
a) Kritik mimetik (mimetic criticism), yaitu kritik yang bertolak pada pandangan bahwa
karya sastra merpakan suatu tiruan atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia.
b) Kritik pragmatik (pragmatic cristicism), yaitu suatu kritik yang disusun berdasarkan
pandangan bahwa sebuah karya sastra itu disusun untuk mencapai efek-efek tertentu
kepada pembacanya, seperti efek kesenangan, estetika, pendidikan dan sebagainya.
c) Kritik ekspresif, yaitu kritik sastra yang menekankan tealaahan kepada kebolehan
pengarang dalam mengekspresikan atau mencurahkan idenya kedalam wujud sastra
(umumnya puisi).
d) Kritik objektif, yaitu kritik sastra yang menggunakan pandangan bahwa suatu karya
sastra adalah karya yang mandiri.
Ditinjau dari segi bentuknya, kritik sastra dibagi atas kritik relatif dan kritik absolut. Adapula
pemisahan antara kritik teoritis dan kritik praktis.
4
2.6 Langkah-Langkah Menulis Kritik
Dalam melakukan penilaian atau kritik terhadap sebuah karya, hendaknya seorang kritikus
memperhatikan beberapa langkah-langkah berikut:
5
BAB III
ANALISIS
3.1 Tema
Dalam novel Isinga: Roman Papua karya Dorothea Rosa Herliany tema yang diangkat
adalah tentang percintaan dan perjuangan hidup. Cerita yang disajikan dalam novel ini
mengandung banyak unsur yang menarik, mulai dari kebudayaan dan adat istiadat
masyarakat Papua, citra perempuan, kehidupan social, dan kebutuhan primer masyarakat
Papua. Novel ini mengisahkan tentang perjuangan seorang perempuan Papua bernama Irewa.
Irewa dihadirkan sebagai tokoh yomine dalam memperjuangkan perdamaian Kampung
Hobone dan Kampung Aitubu. Pengorbanan Irewa tersebut harus berdampak pada kehidupan
percintaannya yang penuh dengan lika-liku dan penderitaan.
Sehingga novel ini cukup untuk membuat pembaca tertarik terhadap novel ini, sebab
tema yang diangkat mengandung banyak unsur menarik. Dan juga mengenalkan kepada
pembaca terhadap kehidupan masyarakat Papua yang jarang diketahui orang banyak.
Dari segi bentuk, novel ini ditulis dengan gaya sudut pandang orang ketiga. Sudut
pandang persona ketiga “dia” mahatahu. Cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun
pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia”
tersebut. Narator mengetahui segalanya. Pengarang layaknya Tuhan yang bertindak sebagai
pencipta segalanya. Menciptakan apa saja pada tokohnya, pikiran, perasaan, jalan pikiran,
sikap hidup, pandangan hidup tokohnya. Dengan menggunakan sudut pandang persona ketiga
ini memudahkan pembaca memahami situasi, konflik, dan tokoh-tokoh yang terdapat dalam
novel.
3.3 Alur
Alur cerita pada novel ini ialah alur maju namun berdasarkan kriteria jumlah alur di
dalam novel Isinga memiliki alur/plot sub-subplot. Adanya dua alur cerita dalam novel Isinga
dikarenakan terdapat dua tokoh utama yang dikisahkan, yaitu Irewa dan Meage. Alur tersebut
cukup untuk membuat pembaca memahami situasi ataupun konflik yang terdapat dalam novel
Isinga.
6
3.4 Latar
1. Latar Tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
karya sastra.
a) Aitubu
Aitubu terletak di bawah pegunungan Megafu, tepatnya di Lembah
Piriom. Aitubu terletak di bagian tengah Papua. Orang-orang Aitubu telah
menetap di sana selama ratusan tahun. Aitubu sendiri merupakan sebuah desa
yang terdiri dari beberapa dusun dan beberapa klen. Dusun yang terletak di
Aitubu yaitu Dusun Kapo, Munda, Samfar, Msob, Eryas, dan Wodori. Letak
tiap tiap dusun berjauhan. Penduduk Aitubu kira-kira berjumlah 15.000 orang.
Irewa dan Meage adalah penduduk Desa Aitubu. Masing-masing tinggal di
dusun yang berbeda. Irewa tinggal di Dusun Kapo sedangkan Meage tinggal di
dusun Eryas. Salah satu bukti kutipan cerita bahwa novel ini berlatar tempat di
Aitubu yaitu:
“Itulah kepercayaan masyarakat Aitubu tentang matahari,bulan,
bintang, dan manusia.”(Isinga, halaman 1).
b) Sungai Warsor
7
D) Rumah Sakit
E) Hobone
Hobone adalah desa tetangga Aitubu. Hobone terdiri dari lima dusun,
yaitu Dusun Fafor, Dusun Perem, Dusun Egiwo, Dusun Onef, dan Dusun
Papopen. Hobone adalah tempat tinggal Malom Wos, tepatnya di Dusun
Perem yang merupakan wilayah terjauh di desa Hobone. Bukti kutipan cerita
berikut menjelaskan bahwa Hobone menjadi salah satu latar tempat dalam
novel Isinga:
“Örang-orang Aitubu menduduki Dusun Fafor, dusun terdekat dari
Eryas yang sudah masuk perkampungan Hobone.” (Isinga, halaman 39).
2. Latar Waktu
1) Bulan kelima 1974
Secara eksplisit pengarang menggambarkan latar waktu di tahun1974
tepatnya di bulan Mei dengan peristiwa datangnya rombongan pemuda
Hobone ke Aitubu untuk menghadiri undangan makan-makan di Aitubu.
Namun, itu adalah sebuah jebakan yang dibuat orang-orang Aitubu. Pemuda
Hobone pun datang tanpa persiapan perang.
2) Pemilu 1977
Secara eksplisit pengarang menggambarkan latar waktu di tahun1997
yakni bertepatan dengan peristiwa pemilu di Perkampungan Doken. Penduduk
Doken yang sudah dapat mengikuti pemilu diminta memilih dengan
mencoblos salah satu dari tiga gambar. Tentara memaksa Penduduk Doken
untuk memilih yang bergambar pohon. Namun, Penduduk Doken ingat apa
yang di katakan orang Kapak Besi, guru dan pendeta, bahwa mereka bisa
memilih gambar apa saja.
8
3) 1983
Secara eksplisit pengarang menggambarkan latar waktu di tahun 1983,
saat itu Meage sudah tujuh tahun hidup bersama orang Yebikon. Di Yebikon
kemampuan Meage bertambah, ia pandai menangkap buaya. Buaya
tangkapannya dijual kulitnya ke luar hutan, ke wilayah yang lebih ramai, yakni
di kota. Di sana Meage banyak berkenalan dengan para penduduk lain, Meage
mengembangkan kosa kata bahasa Indonesianya. Meage jadi bisa mengajari
orang Yebikon bahasa Indonesia. Sepulangnya dari kota Meage juga
membawa barang- barang yang tak ada di hutan. Barang-barang itu Meage
bawa karena Meage berpikir akan sangat berguna di Yebikon.
Dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany terdapat beberapa tokoh,
diantaranya yaitu Irewa Ongge, Meage Aromba, Malom Wos, Jingi Pigay, Bapa
Labobar, Pendeta Ruben dan istrinya Marike, Dokter Leon dan istrinya Lea, Suster
Karolin, Suster Wawuntu, Mama Kame, Falimo, Bapak Meage, Bapa Ulunggi, Mama
Fos, anak-anak Irewa (Kiwana, Mery, Ansel, Nela), Lepi, Silak, Alys, Ibu Selvi
Warobay.
Dari tokoh-tokoh yang ada di dalam novel, terdapat beberapa tokoh yang
dianggap penting dan menjadi fokus dalam cerita. Penulis memfokuskan kepada
tokoh Irewa Ongge, Meage Aromba, Malom Wos, Jingi Pigay. Adapun penokohan
lebih jelasnya penulis paparkan sebagai berikut:
A. Irewa Ongge
Ciri-ciri fisik tokoh Irewa adalah gadis Papua berkulit hitam seperti orang
Papua pada umumnya. Irewa memiliki wajah yang sangat cantik, namun
badannya kurus. Irewa juga tampak lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.
Irewa menyukai seni tari dan seni musik tifa khas Papua. Irewa adalah sosok
wanita yang mandiri dan pintar, menjadi bagian dari masyarakat Hobone dan
menjadi istri dari orang Hobone membuat Irewa harus menyesuaikan diri dengan
kebiasaan orang Hobone. Walaupun Irewa masih sangat muda namun berbagai
tugas rumah tangga harus dapat Irewa kerjakan sendiri. Kehidupan barunya
menuntut Irewa menjadi perempuan yang mandiri Irewa banyak belajar hal baru
di masa modern: uang, telepon genggam, bahkan internet.
B. Meage Aromba
Ciri- ciri fisik tokoh Meage digambarkan sebagai sosok yang kuat, ia
memiliki tubuh yang kuat dengan tangan berotot dan kaki yang kokoh. Meage
pandai bermain tifa, sejak kecil Meage senang bermain tifa. Meage juga pandai
berburu. Meage berburu menggunakan panah dan busurnya serta ditemani
anjingnya Jack.
9
Meage memiliki jiwa penolong, hal ini diajarkan oleh Dokter Leon
kepadanya. Meage memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi jika dibandingkan
dengan laki-laki Aitubu lain. Dari lingkungan kehidupannya Meage seorang
yang pintar, tidak sombong, mudah beradaptasi dan belajar menyesuaikan diri
dengan banyak hal di mana pun iaberada. Selain itu, Meage juga digambarkan
sebagai orang yang penyayang, lemah lembut, terutama kepada perempuan.
Meage sangat baik dan sosok pemuda yang sangat menghargai perempuan.
C. Malom Wos
Ciri-ciri fisik tokoh Malom merupakan pemuda Papua yang memiliki
badan dan otot yang kuat dan usianyalebih tua dari usia Irewa, istrinya. Malom
menyukai Irewa, ia gigih dan mempunyai keinginan yang kuat. Malom memiliki
nafsu yang tinggi sehingga tidak dapat hidup tanpa perempuan. Malom tidak setia
dan senang bermain perempuan. Tidak hanya bermain perempuan Malom juga
suka bersenang- senang, menghabiskan uang, minum-minuman keras. Malom
tidak takut melakukan pelanggaran adat. Malom memiliki watak yang buruk,
licik dan bukanlah suami yang baik, ia ringan tangan dan kasar, merendahkan dan
tidak menghargai istrinya, Irewa. Malom juga tak pernah mengurus keluarga dan
mendidik anaknya. Kemudian dilihat dari aspek sosial, tokoh Malom merupakan
seorang pemuda Hobone. Ia tinggal di dusun Perem Hobone, bapaknya
merupakan seorang yang berpengaruh di Hobone, yaitu Bapa Ulunggi. Malom
pernah terpilih sebagai pendayung Papua dan menjadi juara kedua lomba dayung
di Surabaya.
D. Jingi Pigay
Ciri- ciri fisiknya, tokoh Jingi adalah perempuan yang cantik, tubuhnya
bersih, segar, dan berisi. Jingi tertarik dengan bidang kesehatan dan dunia
kedokteran sejak kecil dan memiliki keinginan memperdalam ilmunya di
Belanda. Jingi memiliki jiwa penolong, ia sangat menyayangi Irewa dan anak-
anaknya. Jingi merasa beruntung dari Irewa. Jingi peduli dan aktif
mensosialisasikan penyakit kelamin yang berbahaya bersama Irewa. Jingi adalah
perempuan yang menyukai kehidupan perkotaan. Jingi menganggap Meage
seperti kakaknya sendiri, ia tidak memiliki perasaan khusus pada Meage. Jingi
merupakan saudara kembar Irewa dan anak Mama Kame. Jingi dirawat dan
diangkat anak oleh Suster Karolin dan Suster Wawuntu. Jingi adalah mahasiswa
kedokteran di Manado dan menjadi seorang perawat di Aitubu yang juga. Aktif
mendukung kegiatan Irewa menjadi konselor penyakit kelamin berbahaya. Lalu
Jingi tinggal di Belanda untuk melanjutkan studinya. Dan tinggal bersama Mama
Karolin juga menjadi sahabat Meage di Jerman.
10
3.6 Gaya Bahasa
Dalam penulisan novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany, pengarang
banyak menggunakan gaya bahasa kiasan langsung. Kiasan langsung yang digunakan
adalah kiasan persamaan personifikasi, yaitu mengungkapkan atau mengutarakan
suatu benda dengan pembanding tingkah dan kebiasaan manusia. Kutipan dalam
novel yang berupa majas personifikasi adalah sebagai berikut:
Jika para perempuan memetik daun-daun, esoknya daun itu menjawab:
sebuah tunas kecil tumbuh. Pagi, sekuntum bunga masih putik. Siang, riang bunga
mekar sambil bersiul. Lumut-lumt di antara batu-batu dan pohon tua hanya
bergumam menyaksikan itu semua. Seekor burung jatuh. Sayapnya patah. Bumi
menerimanya dalam pangkuan. (hlm. 155)
Kutipan di atas menggambarkan seolah-olah daun, bunga, lumut dan pohon
tua hidup layaknya manusia yang dapat berbicara, bersiul, dan bergumam. Seperti
kepercayaan orang Papua yang hidup di alam. Bagi mereka alam memanglah hidup.
Matahari bagai mata yang selalu mengawasi mereka dan alam sebagai tempat tinggal
yang mau menerima keberadaan mereka tinggal.
Namun Dialog yang digunakan sangat minim sehingga bangunan cerita
menjadi kurang dramatic. Kalimat-kalimat yang ditulis pun cenderung tidak efektik
dan kesannya kaku.
3.7 Amanat
Amanat dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany berkenaan dengan
kebiasaan kebiasaan yang dilakukan masyarakat Aitubu dan Hobone. Banyak hal-hal
buruk yang mulai ditinggalkan masyarakat Aitubu dan Hobone. Tak ada peperangan
lagi antara Aitubu dan Hobone. Pentingnya untuk menghargai hidup. Manusia tidak
boleh membunuh manusia lain. Karena hidup adalah hak, harus dijaga dan
dipertahankan. Kalau sakit, dirawat agar sembuh. Kalau memang mati, biarlah itu
karena alam. Bukan karena manusia lain. Budaya dan tradisi baik tidak boleh
ditinggalkan, harus dijaga dan dikenalkan sampai ke anak cucu. Budaya merupakan
ciri khas masyarakat, jika budaya tersebut hilang, maka punah jugalah masyarakatnya.
11
BAB IV
HASIL ANALISIS
"Isinga: Roman Papua" novel karya Dorothea Rosa Herliany. Sesuai judulnya,
"Isinga" ini memang merupakan sebuah kisah roman. Bukan dalam artian bahwa ini adalah
sebuah novel percintaan, tapi lebih ke arah "karangan prosa yang melukiskan perbuatan
pelakunya menurut watak dan isi jiwa masing-masing" (menurut KBBI). Isinga dalam bahasa
Papua berarti perempuan atau ibu. Kata ini diambil sebagai judul roman oleh Dorothea Rosa
Herliany seorang penyair dan aktivis kesenian. Selama ini, Dorothea memang lebih dikenal
membuat karya puisi ketimbang menulis prosa. Ia meraih sejumlah penghargaan dalam
bidang ini. Karenanya, roman pertamanya ini menarik untuk diapresiasi. Roman ini juga
mendapat prestasi yang membanggakan. Ia meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa
ke-15 (dulu bernama Khatulistiwa Literary Award) kategori prosa yang diberikan pada 14
Januari 2016 di Jakarta. Isingamenyisihkan sejumlah nominee lain yaitu Hujan Bulan
Juni (Sapardi DJoko Damono), Anak-anak Masa Lalu (Damhuri Muhamad), Aruna dan
Lidahnya(Laksmi Pamuntjak), dan Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta
Melalui Mimpi (Eka Kurniawan).
Roman Isinga bercerita tentang tokoh Irewa seorang perempuan dari Suku Aitubu,
Papua. Ia terpaksa menjadi yonime, atau juru damai, antara sukunya dengan Suku Hobone
yang sedang berkonflik. Syarat menjadi yonime adalah ia mesti rela diperistri Malom,
seorang duda dari Suku Hobone, meskipun ia sesungguhnya lebih mencintai Meage, pemuda
di kampungnya sendiri yang pintar main tifa. Kehidupan Irewa setelah diperistri Malom
sungguh berat. Ia mesti bertanggungjawab memelihara babi, mengurus kebun, mencari sagu
dan betatas (ubi jalar), menyiapkan makanan, dan merawat anak. Kewajiban Irewa
berbanding terbalik dengan Malom yang hanya suka berburu dan berfoya-foya: minum dan
main perempuan. Bahkan Irewa tertular sifilis dari suaminya yang suka ke tempat
pelacuran. Di tengah kewajibannya yang maha berat, tak jarang Irewa menerima perlakukan
kasar dari suaminya. Pukulan, tempelengan, dan tendangan sering ia terima gara-gara hal
sepele. Nasib Irewa ini menjadi potret sebagian perempuan Papua pada masa itu. Di tengah
kekalutan nasib hidupnya, Irewa dipertemukan dengan Jingi, saudara kembarnya yang
dulunya dipilih untuk dibunuh dengan cara ditenggelamkan di sungai sewaktu lahir. Sesuai
dengan adat setempat waktu itu, yaitu bila ada seorang ibu melahirkan bayi kembar, maka
salah satunya harus dibuang atau dibunuh. Namun Jingi berhasil diselamatkan dan dijadikan
anak angkat oleh Suster Karolin dan Suster Wawuntu. Jingi dibesarkan di Manado dan
menempuh pendidikan dokter hingga ke Belanda. Atas dorongan Jingi, Irewa mencoba
bangkit dan bahkan menjadi aktivis kesehatan di kampungnya.
Di samping tokoh Irewa dan Jingi, roman ini juga menceritakan tokoh Meage, mantan
kekasih Irewa. Meage yang pintar main tifa bergabung dengan grup Farandus, pimpinan
Bapa Rumanus Asso. Grup ini berkelana ke pelosok Papua untuk main musik dan mendata
keberagaman musik lokal. Gerakan ini mengusik kecurigaan aparat keamaman (Orde Baru).
Mereka menuduh grup Farandus adalah bagian dari gerakan pengacau dan separatis. Dalam
suatu operasi, Rumanus ditangkap lalu dianiaya aparat hingga tewas. Meage, sebagai pemain
utama Farandus lalu menggantikan posisi Rumanus sebagai ketua kelompok. Hal ini
menjadikannya incaran aparat hingga akhirnya ia pun diburu dan dianiaya. Khawatir akan
keselamatan Meage, Dokter Leon (ayah angkat Meage), menyelamatkan Meage dengan
membawanya ke Jerman.
12
Secara umum, roman ini ingin mendesakkan beberapa isu. Isu utama adalah soal
ketertindasan kaum perempuan di Papua. Bagaimana perempuan di sana menghadapi
perlakuan tidak adil dari kaum lelaki. Dan bagaimana mereka tegar dan perkasa
menghadapinya. Isu selanjutnya adalah soal kekejaman regim Orde Baru waktu itu, dalam hal
ini aparat keamanannya yang bertindak sewenang-wenang dan kejam dengan melakukan
pembantaian terhadap penduduk yang dianggap melawan pemerintah. Dan isu terakhir
adalah soal kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi Papua yang banyak berubah. Banyak
sumber daya alam yang dieksploitasi secara liar dan ilegal antara lain kayu gaharu. Pesatnya
pendatang yang datang untuk merampok kekayaan alam Papua menjadikan Papua sebagai
tempat urban baru dengan banyaknya lokasi pelacuran. Akibatnya, penyakit sifilis dan HIV
AIDS merajalela.
Setting-an lokasinya juga dapat dibayangkan meski sedikit sulit ketika dicampur
dengan bahasa Papua. Budaya, tarian, nyanyian, yang semula tidak diketahui sama sekali
menjadi gambaran baru dalam benak. Diselipkan pula nasihat-nasihat dari Mama Kame, Ibu
Irewa untuk putrinya yang membuka mata saya akan peranan perempuan. Novel ini diperkuat
dengan karakter-karakter tokoh yang telah mengambil peran masing-masing dalam cerita.
Kendati penuturan gaya bercerita agak kaku, novel ini tetap mampu mengaduk perasaan
ketika membacanya. Novel ini layak untuk mendapat perhatian karena novel ini dapat
menambah pengetahuan kita lebih dalam lagi mengenai perjuangan dan arti hidup yang
sesungguhnya.
"Perempuan bisa menolak laki-laki saat dilamar. Tapi dia tak bisa menolak saat diminta
seluruh penghuni perkampungan untuk kepentingan perdamaian." (Isinga, halaman 52).
Saya merasa tersentuh kala membaca kalimat tersebut. Bagaimana mungkin seorang wanita
"ditumbalkan" demi kepentingan perdamaian? Ini absurd. Sulit bagi saya untuk
mempercayainya tetapi inilah kenyataan yang dialami Irewa, tokoh dalam novel ini, pada
masa hidupnya.
13
Namun sangat disayangkan karena saya sedikit kurang puas dengan bahasanya yang
kaku. Sehingga bahasanya terkesan berbeda daripada novel biasayanya.
14
BAB V
SIMPULAN
Jadi, kritik pada pada dasarnya merupakan sebuah penilaian, penikmatan, dan
penghayatan terhadap sebuah karya. Dalam melakukan kritik hendaknya seorang kritikus
mengetahui wawasan yang luas, serta mengetahui kriteria dari sebuah karya yang dapat
dikatakan baik maupun karya yang dikatakan kurang baik. Pada dasarnya karya merupakan
sebuah hasil dari kreatifitas manusia. Oleh sebab itu kritik biasanya bersifat pandangan
personal.
Dalam membuat kritik diharapkan kritikus dapat mencapai tujuan-tujuan dari kritik
yang dibuatnya. Kebebasan yang dilakukan dalam mengkritik dapat berupa menunjukkan
kelemahan sebuah karya atau dapat pula menunjukkan kelebihan yang terdapat pada karya
tersebut. Oleh sebab itu seorang kritikus hendaknya berhati-hati dalam menilai hasil karya
orang lain.
15
DAFTAR PUSAKA
16