Anda di halaman 1dari 30

Ruang Kolaborasi

(Nilai Luhur Sosial Budaya sebagai Tuntunan)


Disusun oleh:

Kelompok 5

1. Nurlatifah (No. Absen 19)


2. Nurul Hikmah (No. Absen 20)
3. Putri Azzahra (No. Absen 21)
4. Revalina (No. Absen 22)
5. Risky Nuramelyah (No. Absen 23)
6. Sakiruddin (No. Absen 24)
PROGRAM PROFESI GURU
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
1. Apa kekuatan konteks sosio-kultural (nilai-nilai luhur budaya) di daerah Anda
yang sejalan dengan pemikiran KHD?

Jawab:
Pemikiran Ki Hajar Dewantara yaitu Religius, budi pekerti, kreatif, toleransi, gotong
royong dan kerja sama. Dalam konteks sosio-kultural Indonesia, nilai-nilai seperti
gotong royong, keberagaman budaya, dan rasa saling menghormati memiliki
keterkaitan erat dengan visi Ki Hadjar Dewantara. Nilai sosio-kultural adalah proses
penanaman cara hidup menghormati, tulus, toleran terhadap keanekaragaman budaya
yang hidup di tengah-tengah masyarat plura, Berikut adalah beberapa contoh
kekuatan konteks sosio-kultural di daerah Indonesia yang sejalan dengan pemikiran
Ki Hajar Dewantara:

1) Mappadendang dari Suku Bugis


Mappadendang merupakan upacara adat menumbuk padi yang sering
dilakukan orang bugis.Mereka menyebutnya namou wette atau nampu ase
lolo. Dalam upacara ini hadir para muda-mudi, terutama dari golongan orang
terpandang. Upacara adat ini biasanya dilaksanakan pada musim setelah
panen dan dilakukan oleh muda-mudi dengan berpasang-pasangan. Upacara
ini dipimpin oleh orang tua yang sudah berpengalaman dalam melakukan
Mappadendang.
Tradisi Mappadendang yang dilakukan masyarakat suku bugis memiliki
peranan positif pada hal-hal yang baik seperti, hubungan sosial, gotong
royong dan sifat sosidaritas antara sesama masyarakat, hal ini sejalan dengan
pemikiran Ki Hajar Dewantar. Bentuk solidaritas gotong royong dapat terlihat
dari aktivitas masyarakat pada saat ingin menanam padi dan pada saat panen,
mereka berkumpul untuk membicarakan kapan mereka akan turun kesawah
untuk mengarap sawahnya dan berkumpul pada saat sudah menanam dan
setelah panen. Terutama pada hal pelaksanaan ritual mappadendang atau
pesta tani masyarakat. Solidaritas dalam sebuah kelompok saling berinteraksi
dan bekerja sama tidak memandang dari strata sosialnya. Solidaritas dalam
sebuah komunitas tanpa rukun atau saling membantu dan gotong royong tidak
akan berjalan lancer.
2) Budaya Siri Suku Bugis-Makassar
Budaya Siri Na pacce dalam kehidupan suku Bugis-Makassar menjadi
salah satu faktor pendukung untuk mempertahankan nilai solidaritas
kemanusiaan. Sehingga siri na pacce tidak dapat dipisah dalam kehidupan
masyarakat Bugis-Makassar. Siri merupakan bahasa Makassar yang berarti
malu. Sementara pacce merupakan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab,
semangat rela berkorban, bekerja keras, dan pantang mundur. Nilai-nilai yang
terkandung dalam adat Siri' tentu mengarah kepada hal yang positif dan
cenderung berdampak dalam kehidupan sosial masyarakat suku bugis, maka
dari itu sejak dulu sampai sekarang nilai-nilai tersebut masih di jaga dan di
junjung tinggi.
Adapun fungsi nilai siri na pacce terdiri dalam tiga nilai dasar. Pertama
siriÂ’e ri Allah TaÂ’alah (menjaga harga diri terhadap Allah SWT), kedua
nilai siriÂ’e riwatakkaleta (menjaga harga diri sendiri), dan ketiga siriÂ’e
ripadatta rupatau (menjaga harga diri terhadap orang lain).
Ketiga nilai siri ini sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang
nilai religious dan toleransi. Salah satu yang menjadi dasar kuat
pada Siri’ ialah penanaman nilainya. Nilai tersebut menjadi konsep dasar yang
baik pada tingkatan individu maupun pada tingkat kelompok. Pada tingkat
individu, nilai yang ada diartikan sebagai kebiasaan dan aturan-aturan untuk
mencapai sebuah tatanan kecil yang dapat menghidupkan kepercayaan moral
dan tercapainya suatu tindakan secara rasional. Lalu, pada tingkat kelompok,
merupakan keadaan dimana seorang individu dapat menjadi perekat di
kehidupan sosial dalam kelompok.
Sebagai sebuah tatanan di kebudayaan masyarakat Bugis, Siri’ menjelma
menjadi sebuah alat kontrol bagi masyarakat dalam menjalani kehidupannya.
Masyarakat Bugis yang telah menjadikan Siri’ sebagai alat kontrol dalam
berperilaku, senantiasa berpikir, bahwa jika dirinya memiliki Siri’, maka
orang lain pun pasti memilikinya. Hal inilah yang menjadi penggerak dasar
bagi individu untuk berperilaku, begitu juga jika ia tetap membawa budaya ini
ke dalam kelompok.
3) Budaya Mappalette Bola dari Suku Bugis
Bagi mereka pindah rumah memiliki artian yang sesungguhnya yakni
memindahkan rumah dengan benar-benar memindahkan rumah yang
sebenarnya. Tradisi memidahkan rumah ini mereka sebut ‘Mappalette Bola’.
Biasanya tradisi mappalette bola dilakukan jika ada salah satu masyarakat
yang ingin pindah dan menjual rumahnya tapi tidak dengan tanahnya. Rumah
yang dipindahkan pun buka rumah sembaragan, yakni rumah adat panggung
yang terbuat dari kayu ciri khas masyarakat Sulawesi.
Kerangka rumah biasanya menggunakan tiang dan balok yang dirangkai
tanpa menggunakan paku. Serta dengan bentuk bagunan persegi empat yang
dibuat memanjang ke arah belakang. Sementara tiang-tiang rumah ada yang
ditancapkan ke dalam tanah dan yang lainnya diletakkan di atas batu dengan
keseimbangan.Sebelum rumah tersebut dipindahkan perabot rumah tangga,
seperti lemari, barang pecah belah yang ada di dalam rumah tersebut harus
dikeluarkan dari dalam rumah untuk menghindari kerusakan. Kemudian
tiang-tiang yang ada di bawah rumah panggung tersebut dipasangi bambu
yang berguna untuk mengangkat rumah.
Melalui tradisi Mappalette Bola ini ada beberapa nilai yang bisa diambil
dan tentunya ada kaitan dengan nilai pemikiran Ki. Hajar Dewantara. Nilai
yang bisa kita dapat adalah tradisi Mappalette bola ini merupakan tindakan
nyata dari gotong royong yang sudah menjadi cita-cita bangsa sejak jaman
dulu.
Dengan sikap gotong royong ini hubungan antar masyarakat Indonesia
akan semakin erat walaupun banyak perbedaan yang bisa memecah belah.
Nilai yang dijunjung sama yaitu gotong royong dimana masyarakat pria akan
bersama-sama menggotong untuk memindahkan juga. Ada juga masyarakat
yang dengan sukarela membantu tanpa melihat perbedaan latar belakang dan
sebagainya. Para wanita pun bergotong royong menyediakan makanan tanpa
melihat siapa yang akan memakan masakannya. Tanpa adanya gotong royong
dan kesatuan ini rumah akan sulit untuk dipindahkan dan ritual akan sulit
untuk dilakukan.
2. Bagaimana pemikiran KHD dapat dikontekstualkan sesuaikan dengan nilai-
nilai luhur kearifan budaya daerah asal yang relevan menjadi penguatan
karakter peserta didik sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat
pada konteks lokal sosial budaya di daerah Anda?

Jawab:
Nilai-nilai luhur kearifan budaya daerah asal yang relevan menjadi penguatan
karakter peserta didik sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat

1) Nilai-nilai kerja sama


Mendorong siswa untuk membentuk program tutar sebaya di mana siswa yang
lebih ahli membantu siswa lainnya yang mengalami kesulitan. Ini tidak hanya
membantu siswa yang membutuhkan bantuan tambahan, tetapi juga memupuk
rasa tanggung Jawab dan kerjasama.
2) Nilai-nilai penguatan terhadap kebudayaan lokal.
Menyelenggarakan perayaan tradisional untuk memperkenalkan atau
memperingati acara-acara lokal seperti festival, upacara adat atau acara seni
tradisional. Hal ini dapat meningkatkan pemahaman peserta didik tentang
keberagaman dan melestarikan budaya tradisional yang ada.
3) Nilai kedisiplinan
Mengajarkan siswa untuk hadir tepat waktu di kelas, serta menyelesaikan tugas-
tugas mereka sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Ini membantu
membentuk kebiasaan positif terkait dengan manajemen waktu.
4) Nilai sosial
Mengajarkan siswa tentang bagaimana berperilaku dan bersikap dengan baik
dengan menjunjung tinggi rasa malu (siri) dan memiliki kepedulian dan kepekaan
sosial terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitar.
3. Sepakati satu kekuatan pemikiran KHD yang menebalkan laku peserta didik di
kelas atau sekolah Anda sesuai dengan konteks lokal sosial budaya di daerah
Anda yang dapat diterapkan.

Jawab:
Kekuatan pemikiran KHD yang sesuai dengan konteks lokal sosial budaya yang ada
di daerah kami adalah kerjasama dan juga gotong royong bahu membahu membantu
sesama. Hal tersebut dapat menguatkan karakter peserta didik sesuai dengan
pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa dalam pendidikan membutuhkan hubungan
saling kerjasama antara peserta didik dan juga guru dalam mencapai tujuan
pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai