Anda di halaman 1dari 22

Sukamto Prasetyo Rizkiana Sri Kurniasih Riza Halifah Rabudin

PENDIDIKAN GURU PENGGERAK


KOTA SINGKAWANG
Tergerak, Bergerak, dan Menggerakkan
KAITAN ANTARA KONTEKS LOKAL SOSIAL BUDAYA DENGAN
PEMIKIRAN KHD

Dalam konteks pernikahan masyarakat Melayu Singkawang, adat istiadat memiliki peran yang sangat penting.
Pernikahan di masyarakat Melayu Singkawang tidak hanya merupakan ikatan antara dua individu, tetapi juga
melibatkan keluarga besar dan komunitas. Adat istiadat pernikahan Melayu Singkawang memiliki berbagai
ritual dan tradisi yang harus diikuti, seperti adanya proses nyarok, nunjam tarub, numbok rampah, pakatan
atau ari kacik, ari basar, mulang-mulangkan, dan balik tikar.

Pemikiran ini memiliki kesamaan dalam menghargai dan melestarikan budaya lokal. Ki Hajar Dewantara
mendorong pendidikan yang memperhatikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat lokal, sedangkan masyarakat
Melayu Singkawang menjaga dan mempraktikkan adat istiadat pernikahan mereka. Keduanya menganggap
bahwa budaya dan adat istiadat adalah bagian penting dari identitas dan keberagaman masyarakat.

Dengan demikian, kaitan antara konteks lokal sosial budaya adat istiadat pernikahan masyarakat Melayu
Singkawang dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah bahwa keduanya memiliki fokus pada pentingnya
menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat dalam masyarakat.
HARI PERTAMA
Nyaruk (mengundang)
artinya mendatangi rumah
orang/tetangga satu persatu.

Nilai Budayanya
adalah Silaturahmi.
HARI KEDUA
Nunjam Tarup
Di dalam kegiatan Nunjam
Tarup ada pembuatan
emper-emper dan petadang.

Nilai Budayanya yaitu


kerjasama, gotong-royong,
persatuan dan kesatuan.
HARI KETIGA
Berampah
yaitu membuat bumbu
yang biasanya dilakukan
oleh ibu-ibu.

Nilai Budayanya
adalah kerjasama
dan gotong- royong.
HARI KEEMPAT
Acara yang dilakukan adalah
ngantar barang (hantaran) Nilai budayanya
biasanya dilakukan pada pagi adalah tolong
hari, dan sore harinya orang-
orang antar pakatan yaitu
menolong,
membawa ayam dan beras, serta kebersamaan,
malam harinya di isi dengan kerjasama, dan
kegiatan Khataman Qur'an.
religius.
adalah hari yang paling ditunggu-
tunggu dimana ada kegiatan
Serakalan, makan saprahan, belarak
pengantin, berbalas pantun dan
makan damai bagi pengantin.

Nilai Budaya yang dihasilkan


adalah religius, empati, berbudi,
bersyukur, dan kebhinekaan.
HARI KEENAM
"Mulang-mulangkan"
Pihak laki-laki maupun
perempuan saling
menyerahkan kedua mempelai
menjadi keluarga.

Nilai budayanya yaitu


silaturahmi, kekeluargaan,
kesetaraan dan toleransi.
HARI KETUJUH
"Balik Tikar"
Kegiatan yang dilakukan di
dalam acara Balik Tikar adalah
membaca doa selamat dan
bepapas untuk keselamatan
pengantin.

Nilai Budayanya adalah religius.


Kekuatan Pemikiran Ki Hajar Dewantara
yang menebalkan laku murid di sekolah
kami yang sesuai dengan konteks sosial
budaya di daerah, bahwa di dalam
budaya melayu mengajarkan siswa
untuk berperilaku sikap sopan, santun,
gotong royong, kerjasama, toleransi,
tolong menolong, empati, menghargai
keberagaman, dan bersikap religius,
serta rasa syukur.
Bentuk Aplikasi dalam Pembelajaran di Kelas:
Agama : Doa dan Mengaji.
PKn : Toleransi, gotong-royong, kerjasama,
persatuan dan kesatuan, dan kebhinekaan.
B. Indo : Syair/pantun dan tata bahasa.
IPA : Mengenal/klasifikasi tumbuhan.
IPS : Sosial/budaya.
SBDP : Keterampilan/kriya.
Penerapan Pemikiran KHD dalam Kelas dapat
menemui beberapa tantangan, diantaranya:

1. Kurikulum yang Kaku


Sistem pendidikan di Indonesia masih
cenderung mengedepankan kurikulum yang
kaku dan terpusat. Hal ini membuat sulitnya
menerapkan pemikiran Ki Hajar Dewantara
yang menekankan pada pendekatan individual
dan pengembangan potensi siswa secara
holistik.
2. Tekanan Hasil Akademik

Di dalam kelas, seringkali tekanan hasil


akademik menjadi fokus utama. Pemikiran
Ki Hajar Dewantara menekankan
pentingnya pengembangan karakter dan
potensi siswa, namun seringkali hal ini
terabaikan karena lebih menekankan pada
pencapaian nilai dan prestasi akademik.
3. Terbatasnya Sumber Daya

Implementasi pemikiran Ki Hajar Dewantara


membutuhkan sumber daya yang memadai, seperti
fasilitas pendukung, buku-buku referennsi, dan
pelatihan untuk guru. Namun, terbatasnya sumber
daya ini menjadi tantangan dalam menerapkan
pemikiran tersebut, terutama di daerah-daerah yang
memiliki keterbatasan infrastruktur pendidikan.
4. Perubahan Paradigma

Menerapkan pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam


kelas juga membutuhkan perubahan paradigma
dalam pendekatan pembelajaran. Guru perlu
mengubah pola pikir dan cara mengajar yang lebih
inklusif, partisipatif, dan menghargai perbedaan
individu. Hal ini membutuhkan waktu dan upaya
yang tidak mudah dilakukan oleh semua guru.
5. Tantangan Budaya

Budaya yang masih mengedepankan otoritas guru


dan kepatuhan siswa juga menjadi tantangan dalam
menerapkan pemikiran Ki Hajar Dewantara.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara menekankan pada
partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran, namun
budaya yang masih menghargai otoritas guru bisa
menghambat penerapan ini.
Untuk mengatasi tantangan-
tantangan ini, perlu adanya
perubahan sistem pendidikan
secara menyeluruh, pelatihan
bagi guru dalam menerapkan
pendekatan yang lebih inklusif,
serta dukungan dari semua
pihak terkait, baik pemerintah,
sekolah, maupun masyarakat.
Main Tebak-Tebakan Yuk....
Lahir di Arab,
besar di Arab
tapi tidak bisa
bahasa Arab?
Binatang apa
yang tidak
pernah rugi?
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai