Oleh:
Ira Maulina (230105010005)
َّ ِالر ْح ٰم ِن
ِِالر ِح ْي ِم َّ س ِِمِالل ِه
ْ ِب
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Larangan Talaqqi Rukbhan” ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya. Shalawat serta salam kita curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta kerabat,sahabat,dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Makalah ini merupakan satu diantara tugas mata kuliah Pengantar Ekonomi
Islam di program studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapa Muhaimin selaku dosen pembimbing mata kuliah Pengantar Ekonomi Islam
ini. Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini maka itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
Daftar Isi
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari talaqqi rukbhan?
2. Apa yang dimaksud dengan larangan talaqqi rukbhan?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui apa itu talaqqi rukbhan
2. Mengetahui apa itu larangan talaqqi rukbhan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Talaqqi rukbhan terjadi ketika para pedagang di pasar kota (yang memiliki
informasi lengkap tentang harga di pasar kota) sengaja membeli barang dari
petani atau produsen di desa (yang tidak memiliki informasi lengkap tentang
harga di pasar kota) untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Nabi
Muhammad SAW melarang hal ini. Dari Anas RA berkata: "Rasulullah SAW
melarang orang kota menjual barang orang desa yang baru datang sebelum
sampai di pasar, meskipun orang itu saudaranya sendiri." (HR. Bukhari dan
Muslim). menjelaskan bahwa inti dari larangan ini adalah tindakan yang
dilakukan oleh pedagang kota adalah tindakan yang tidak adil karena tidak
menginformasikan harga pasar kota yang sebenarnya. Mencari barang dengan
harga murah memang tidak salah, namun jika dalam sebuah transaksi jual beli
salah satu pihak mengetahui informasi pasar dengan sempurna sementara pihak
lain tidak, maka ada ketidakadilan di sini.1
1
Achmad Fadlil Abidillah “ The Distortion Of Market Prices In Islamic Microeconomic” hlm. 82
3
Badui atau penduduk desa atau ketidaktahuan akan harga pasar. Sebelum
munculnya Islam, orang-orang biasa mempraktikkan bentuk perdagangan
manipulatif ini dengan membeli muatan kafilah secara penuh sebelum kafilah
tiba di pasar. Syariah melarang tindakan eksploitatif ini.2
“Dari Abdullah bin thawus dari ayahnya dari Ibn Abbas ra berkata, Nabi
SAW pernah bersabda :Janganlah kalian menjemput / menyambut kafilah
dagang dan janganlah orang kota membeli barang dagangan orang desa.
Lalu aku bertanya pada Ibn Abbas apa yang dimaksud tidak boleh
membeli barang dari orang desa? Ia berkata dalam jual-beli tidak ada
simsar”.4
2
Mohammad Ashraful Ferdous Chowdhury “A Short Review of Islamic Jurisprudential
Interpretation about Usury Exploitative Commercial Arbitrage (Talaqi alRukban)”, Journal of
Emerging Economies and Islamic Research, Vol. 3 No. 3, 2015, hlm. 82
3
Asyari, Kamus Istilah Ekonomi Syariah, (Padang, PT. Al-Ma’arif, 2003) , hlm. 100
4
Bukhāri, al-Imam, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma’īl bin Ibrāhīm ibnu al-Mugīrah bin
Bardizbah, al-Ja’fy, Saḥiḥ Bukhari, Juz 3, Beirut, Dar al-Fikri, 1401 H / 1981 M), hlm. 27
4
Hadits tersebut menerangkan bahwa, seseorang yang membawa barang
dagangan dari daerah lain, dengan alasan adanya perbedaan harga barang
dagangan di dua daerah tersebut, atau banyaknya permintaan pasar di daerah
yang akan di datangi. Kemudian penduduk asli daerah tersebut menyambut
mereka dengan tujuan untuk membeli barang dagangan tersebut dengan
harga yang lebih rendah dari harga ketika masuk ke pasar, demi
memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dengan tidak
memberitahukan harga yang sedang berlaku.5 Praktik transaksi ini secara
konkrit adalah seorang penjual datang ke pasar dan pembeli
menghadangnya sebelum penjual sampai ke pasar. Kemudian pembeli
tersebut membeli barang dagangannya dengan harga dibawah standar pasar
karena penjual tidak tahu harga standar yang berlaku di pasar.
Sebagai kesimpulan Talaqqi rukban adalah suatu tindakan yang
dilakukan oleh pedagang yang tidak menginformasikan harga yang
sesungguhnya yang masuknya barang ke pasar (entry barrier), kedua,
mencegah penjual dari luar kota untuk mengetahui harga pasar yang
berlaku.terjadi di pasar. Transaksi ini dilarang karena mengandung dua hal
: pertama, rekayasa penawaran yaitu mencegah masuknya barang ke pasar
(entry barrier), kedua, mencegah penjual dari luar kota untuk mengetahui
harga pasar yang berlaku
Adanya pelarangan ini dikarenakan adanya unsur ketidakadilan atas
tindakan yang dilakukan oleh pedagang yang tidak menginformasikan harga
yang sesungguhnya terjadi di pasar. Mencari barang dengan harga lebih
murah tidaklah dilarang, namun apabila transaksi jual-beli antara dua pihak
dimana yang satu memiliki informasi yang lengkap sementara pihak lain
tidak tahu berapa harga di pasar yang sesungguhnya, ini sangatlah tidak adil
dan merugikan salah satu pihak.6
5
Syihabu al-Din Aḥmad bin ‘Ali bin Ḥajr al-‘Asqalany, Ibanatu al-Ahkam Syarhu Bulugu al-
Maram Qismu al-Mu’amalah, (Juz III) , hlm. 40
6
T.M. hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 44
5
Kehidupan masyarakat modern, transaksi Talaqqi rukbhan sudah
merupakan suatu trend atau kecenderungan dan menjadi budaya yang
merambah kedalam kehidupan berbagai segmen masyarakat. Apalagi pola
hidup konsumtif semakin meluas didalam kehidupan masyarakat. Tingkat
kebutuhan yang tinggi dan tidak diimbangi dengan tingkat pendapatan yang
setara merupakan salah satu faktor mengapa masyarakat memilih transaksi
dengan menjual kepada orang yang mencegat sebelum penjual menjualkan
barang dagangannya dipasar (talaqqi rukban). Terdapat hal yang sangat
penting didalam transaksi jual beli yaitu masalah harga.7
7
Mankiw, Gregory. N, Pengantar Ekonomi Mikro Edisi 3 (Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudu “Principles of Economics 3rd Edition” , oleh : Chriswan Sungkono),(Jakarta: Salemba
Empat,Cetakan III, 2006), hlm.92
8
Dani Hidayat, Terjemahan Bulughul Maram Versi 2.0 (Surabaya: Pustaka Al-hidayah, 2008),
Hadits No. 828
6
menjualkan barang dagangannya di pasar dan tidak mengetahui informasi
harga yang benar dipasar.9
9
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Edisi
II (Surabaya: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005), hlm. 229
7
dalam tindakan talaqqi al-rukban. Hal ini tidak termasuk eksploitasi dan
larangannya tidak berlaku lagi, jika penjual yang mengetahui harga
pasar, masih melanjutkan kontrak atau dalam kesepakatan yang lebih
besar dalam perjanjian perdagangan dengan pedagang dari kota. Dalam
situasi seperti ini, dapat diasumsikan bahwa ia telah menyetujui harga
yang ditawarkan kepadanya, meskipun harga tersebut di bawah harga
pasar, karena unsur eksploitasi telah hilang.
4. Salem (2012) berpendapat bahwa alasan pelarangan ini bisa jadi karena
adanya perantara yang tidak perlu antara penjual dan calon pembeli.
Intervensi yang tidak perlu ini mengakibatkan kenaikan harga bagi
pembeli asli dan keuntungan bagi pihak ketiga yang intervensinya tidak
diperlukan. Intervensi pihak ketiga tidak menambah nilai pada barang
yang dijual atau membuatnya lebih mudah diakses oleh masyarakat.10
10
Mohammad Ashraful Ferdous Chowdhury “A Short Review of Islamic Jurisprudential
Interpretation about Usury Exploitative Commercial Arbitrage (Talaqi alRukban)”, Journal of
Emerging Economies and Islamic Research, Vol. 3 No. 3, 2015, hlm. 82
11
Sulaeman, Jajuli, EKONOMI DALAM AL-QUR’AN, (Yogyakarta: CV BUDI UTAMA, 2018),
hlm. 256
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
9
B. Saran
10
DAFTAR PUSTAKA
Bukhāri, al-Imam, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma’īl bin Ibrāhīm ibnu
al-Mugīrah bin Bardizbah, al-Ja’fy, Saḥiḥ Bukhari, Juz 3, Beirut, Dar al-Fikri,
1401 H / 1981 M).
Syihabu al-Din Aḥmad bin ‘Ali bin Ḥajr al-‘Asqalany, Ibanatu al-Ahkam
Syarhu Bulugu al-Maram Qismu al-Mu’amalah, (Juz III).
Ash Shiddieqy, T.M. hasbi. Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1986).
11