Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

EKONOMI ISLAM MIKRO

REKAYASA PERMINTAAN DAN PENAWARAN

Dosen Pengampu : Abd. Mubaraq , S.E., Sy. M.A.

Disusun Oleh :

Sholeman (B1061221024)

Abdun Nashir Azzam (B1061221029)

Aqmal Maulana (B1061221038)

PRODI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2023
KATA PENGANTAR

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْأُك ُلْٓو ا َاْم َو اَلُك ْم َبْيَنُك ْم ِباْلَباِط ِل ِآاَّل َاْن َتُك ْو َن ِتَج اَر ًة َع ْن َتَر اٍض ِّم ْنُك ْم ۗ َو اَل َتْقُتُلْٓو ا َاْنُفَس ُك ْم ۗ ِاَّن َهّٰللا‬
‫َك اَن ِبُك ْم َر ِح ْيًم ا‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku
atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu”. (An-Nisa : 29)

Pertama-tama marilah kita ucapkan puja serta puji syukur kehadirat Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Karena tanpa rahmat dan ridho-Nya. Kita tidak dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Sholawat beserta salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Abd. Mubaraq , S.E., Sy.
M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Islam Mikro yang membimbing kami
dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman kami yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan data-data dalam
pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang Rekayasa
Permintaan dan Penawaran.

Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami
ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen.
Demi tercapainya makalah yang sempurna.

Pontianak, 28 Oktober 2023


Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................4
1.2 Rumus Permasalahan..................................................................................................5
1.3 Tujuan Pembahasan.....................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................6
2.1 Rekayasa Permintaan...................................................................................................6
2.2 Rekayasa Penawaran...................................................................................................8
BAB III PENUTUP.............................................................................................................13
3.1 KESIMPULAN..........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kita tentu pernah mendengar tentang kata “Rekayasa". Dalam beberapa konteks,
"rekayasa" dapat merujuk pada tindakan atau praktik yang melibatkan manipulasi atau
pengaturan yang tidak selalu etis atau legal. Pada makalah ini akan membahas tentang
rekayasa yang terjadi dalam konteks ekonomi yaitu rekayasa dalam permintaan dan
penawaran.

Dalam dunia ekonomi, permintaan dan penawaran adalah dua konsep utama yang
menjadi landasan analisis kebijakan ekonomi, bisnis, dan keuangan. Konsep ini
memainkan peran penting dalam menentukan harga, alokasi sumber daya, dan
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Demikian pula, dalam Islam, konsep ekonomi dan
perdagangan memiliki landasan etika dan prinsip-prinsip yang kuat yang telah diatur oleh
syari’at tentang bagaimana permintaan dan penawaran diatur dan dijalankan.

Makalah ini akan membahas konsep "Rekayasa Permintaan dan Penawaran dalam
Islam." Hal ini menjadi penting karena Islam memiliki pedoman etika dan prinsip-prinsip
ekonomi yang telah diatur dalam sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’
serta sumber hukum Islam lainnya yang mencakup keadilan, keberkahan, kepemilikan, dan
tanggung jawab sosial. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana Islam dan
Syari’atnya memandang permintaan dan penawaran dalam sistem ekonomi.

Di latar belakang ekonomi global yang terus berkembang, dengan tantangan seperti
ketidaksetaraan ekonomi, keuangan syariah, dan kebijakan perdagangan internasional,
pemahaman terhadap bagaimana Islam memandang permintaan dan penawaran dapat
memberikan wawasan yang berharga. Ini juga dapat menjadi dasar untuk merumuskan
kebijakan ekonomi dan bisnis yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, serta menjembatani
kesenjangan antara teori ekonomi konvensional dan ekonomi Islam.

1.2 Rumus Permasalahan

1. Apa istilah rekayasa permintaan dan penawaran dalam Islam?

2. Bagaimana pandangan dan hukum syari’at terhadap rekayasa dalam permintaan dan
penawaran?

3. Apa dalil-dalil dari Al-Qur'an As-Sunnah tentang adanya rekayasa dalam


permintaan dan penawaran?

1.3 Tujuan Pembahasan

1. Mengenal dan memahami istilah rekayasa permintaan dan penawaran dalam Islam

2. Mengetahui kacamata Syari’at hukum Islam terhadap rekayasa dalam permintaan


dan penawaran

3. Mengetahui dalil-dalil dari Al-Qur'an As-Sunnah tentang adanya rekayasa dalam


permintaan dan penawaran
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Rekayasa Permintaan


Dalam fiqh islam, rekayasa permintaan dikenal dengan istilah Ba’i An-
Najasy. Rekayasa Permintaan atau Bai’ Najasyi adalah menciptakan
permintaan palsu dengan tujuan untuk menaikkan harga dari harga yang
sedang berlaku di pasar. Penjual merekayasa permintaan, yaitu ada pihak
tertentu yang merupakan sekutu pihak penjual yang berpura-pura menjadi
calon pembeli. Kemudian ia memuji barang dagangannya dan menawar
dengan harga yang tinggi sehingga ada calon pembeli lain yang tertarik untuk
membeli dengan harga yang tinggi pula.
Transaksi seperti ini diharamkan dalam Islam, karena si penawar sendiri
tidak bermaksud benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya berpura-pura
untuk menipu orang lain. Akibatnya terjadi “permintaan palsu” (false Demand).
Oleh karena itu tingkat permintaan yang tercipta tidak dihasilkan secara
alamiyah. Di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dijelaskan
bahwa Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menambah harga
barang dagangan yang mengandung unsur penipuan (najashi).
Mirip dengan kasus jual beli najasy adalah jual beli dengan sistem lelang.
Dalam sistem lelang, masing-masing calon pembeli berlomba menaikkan
penawaran harga sampai didapatkan harga tertinggi dari pemenang lelang. Dan
jika lelang sudah ditutup (pemenang lelang sudah ditetapkan), maka tidak boleh
lagi ada yang melakukan penawaran barang.
Jual beli lelang ini diistilahkan dengan jual beli “muzayadah”, yang dalam
bahasa Arab artinya “saling menambah”. Hal ini karena pada umumnya, ketika
penjual membuka harga barang yang akan dilelang, dia akan mengatakan, “man
yazid?” (Siapa yang mau menambah harga?)
Jual beli dengan sistem lelang ini tidak terlarang, karena setiap calon
pembeli yang berlomba menaikkan penawaran harga jual barang memang
betul-betul berniat ingin membeli barang tersebut, berbeda dengan naajisy yang
hanya berpura-pura menawar barang, namun berniat untuk menjerumuskan
orang lain.
Dalil-dalil tentang Bai’ An-Najasy berikut sebagaimana dalam Hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
1.

‫َنَهى الَّنِبُّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َع ِن الَّنْج ِش‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli najasy.” (HR.
Bukhari no. 2142 dan Muslim no. 1516)

2. Dari Abu Hurairah RadhiyaAllahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah kalian melakukan talaqqi rukban, janganlah membeli sesuatu yang
sudah dibeli saudaranya, janganlah melakukan jual beli najasy, janganlah
melakukan hadir li bad, janganlah melakukan tashriyatul ghanam." (HR
Muslim).

3. Dari Ibnu Umar RadhiyaAllahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wasallam bersabda:
"Siapa saja yang melakukan najasy, maka ia adalah pemakan riba dan
pengkhianat." (HR Bukhari)

4. Dari Abdullah bin Mas'ud RadhiyaAllahu ‘anhu, bahwa Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang melakukan najasy, maka ia telah menjual agamanya dengan
dunianya." (HR Ahmad)

5.

‫َو َال َتَناَج ُش وا‬


“ .. dan janganlah kalian melakukan jual beli najasy … “
(HR. Bukhari no. 2150 dan Muslim 1515)

Contoh bai' najasy:


a. Seorang pedagang membeli beras dari petani, kemudian menyuruh orang lain
untuk memuji beras tersebut di pasar.
b. Seorang pedagang membeli mobil, kemudian menawar mobil tersebut
dengan harga tinggi, padahal sebenarnya tidak ingin membeli.
c. Seorang pedagang menyebarkan berita palsu tentang adanya kenaikan harga
minyak goreng, kemudian membeli minyak goreng dalam jumlah besar.

2.2 Rekayasa Penawaran


Rekayasa penawaran lebih dikenal sebagai Ihtikar. Ihtikar berasal dari
bahasa Arab, ihtikara-yahtakiru-ihtikaran yang bermakna secara bahasa adalah
al-habsu (menahan) dan al-jam’u (mengumpulkan). Menurut Imam Nawawi,
ihtikar adalah 'menahan (tidak menjual) bahan makanan sambil menunggu
(naiknya harga). Sedangkan makna secara syar’i ihtikar adalah Menahan suatu
barang (tidak menjualnya), padahal dia tidak membutuhkannya, sedangkan
orang lain sangat membutuhkannya, lalu menjualnya di saat harga melambung
tinggi sehingga menyulitkan orang lain atau masyarakat.
Ihtikar adalah membeli barang melebihi kebutuhan dengan tujuan
menimbunnya, menguasai pasar dan dijual dengan harga tinggi sekehendaknya
pada saat khalayak ramai membutuhkannya. (Harta Haram Muamalat
Kontemporer, hlm. 190)
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ihtikar (menimbun
barang) berarti:
1. Membeli barang melebihi kebutuhan.
2. Tujuannya menimbun.
3. Tujuannya menguasai pasar.
4. Ingin dijual dengan harga tinggi semaunya.
5. Khalayak ramai membutuhkan.
6. Menimbun barang di sini termasuk menzalimi orang banyak.

Menurut Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Ihtikar adalah


penimbunan atau penahanan barang dagangan dari peredarannya. Menurut
Imam Al-Ghazali, Ihtikar adalah 'penyimpanan barang dagangan oleh penjual
makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga
melonjak.' Menurut kalangan Hanafiah, Ihtikar adalah membeli bahan makanan
atau sejenisnya dan menimbunnya hingga harga menjadi mahal. Dan menurut
kalangan Malikiyah ihtikar yaitu dengan mengkosongkan pasar untuk
menunggu naiknya harga pasar.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan para ulama di atas dapat
disimpulkan bahwa Ihtikar adalah menahan atau menimbun barang untuk tidak
dijual menunggu adanya kenaikan harga untuk dijualnya. Sementara ia
(penimbun) tidak berhajat pada barang tersebut sementara masyarakat sangat
berhajat dengan barang tersebut. Dasar hukum pelarangan Ihtikar yaitu
terkandung pada nilai-nilai universal al-Qur’an yang menyatakan, bahwa setiap
perbuatan aniaya, merugikan orang lain, dan termasuk di dalamnya Ihtikar
diharamkan. Karena Ihtikar mengandung kemadharatan serta menimbulkan
kesulitan bagi manusia.
Dalam masalah Ihtikar ini yang paling utama yang harus diperhatikan
adalah hak konsumen, yang menyangkut kepentingan orang banyak. Sedangkan
yang melakukan ihtikar (penimbunan) hanya kepentingan perseorangan atau
pribadi. Oleh karena itu apabila kepentingan perseorangan atau pribadi
bertentangan dengan hak dan kepentingan orang banyak, maka hak dan
kepentingan orang banyaklah yang harus diutamakan dan didahulukan.
Sesuai dengan kaidah fiqih yang mengatakan: 'Hak orang lain terpelihara
menurut syara’.' Banyak dalil shohih tentang pelarangan Ihtikar, karena Ihtikar
dapat menimbulkan ketidakstabilan perekonomian masyarakat, mengakibatkan
manusia saling bermusuhan, saling iri dan dengki, dan mengakibatkan banyak
sifat-sifat tercela yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bisa dibayangkan
ketika para pedagang menimbun barang dagangannya, terutama disaat-saat
krisis ekonomi, sementara masyarakat saat itu sangat membutuhkan barang
dagangan tersebut, terutama bahan makanan pokok, kemudian para penimbun
menjual barang itu tatkala harga telah melonjak tinggi sehingga mereka meraup
keuntungan yang sangat melimpah, sebaliknya masyarakat (konsumen)
semakin kesulitan dengan harga yang tinggi, sehingga ini membahayakan
perekonomian masyarakat dan negara secara umum.
Adapun ihtikar yang Dibolehkan adalah:
(a) Menimbun atau menyimpan bahan makanan sebagai persiapan
kebutuhan diri dan keluarga yang diperkirakan cukup untuk kebutuhan selama
satu tahun penuh, sementara masyarakat tidak berhajat pada barang tersebut
karena banyak dipasaran, maka hal itu dibolehkan; dan
(b) Barang yang ditimbun banyak dan tercukupi di pasar serta harga pun
standar, sehingga ketika menimbun barang (sebagai stok persediaan) tidak
menyulitkan masyarakat dan tidak mempengaruhi kestabilan pasar, maka hal
itu dibolehkan. Dengan demikian, Ihtikar yang diharamkan dalam ajaran Islam
adalah usaha menimbun barang untuk tidak dijual dan akan menjualnya bila
harganya sudah naik. Ihtikar seperti inilah sebagai salah satu bentuk distorsi
pasar (market distortion) yang menyebabkan pasar bekerjanya tidak sempurna.
Di sana terjadi ketidakadilan terhadap salah satu agen ekonomi, produsen
diuntungkan sedangkan konsumen dirugikan.
Hikmah terlarangnya menimbun barang atau Ihtikar yaitu Imam Nawawi
rahimahullah berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat
menimbulkan mudarat bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim, 11:43).
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Alasan larangan penimbunan adalah
untuk menghindarkan segala hal yang menyusahkan umat Islam secara luas.
Segala hal yang menyusahkan umat Islam wajib dicegah. Dengan demikian,
bila pembelian suatu barang di suatu negeri menyebabkan harga barang
menjadi mahal dan menyusahkan masyarakat luas, wajib untuk dicegah, demi
menjaga kepentingan umat Islam. Pendek kata, kaedah ‘menghindarkan segala
hal yang menyusahkan’ adalah pedoman dalam masalah penimbunan barang.”
(Ikmalul Mu’lim, 5: 161).

Adapun jika menimbun barang sebagai stok untuk beberapa bulan ke depan
seperti yang dilakukan oleh beberapa pihak grosir, maka itu dibolehkan jika
tidak memudhorotkan orang banyak (Shahih Fiqh As-Sunnah, 4:395).

Dalil tentang Ihtikar sebagai berikut :


1.

‫َو َم ْن ُّيِر ْد ِفْيِه ِبِاْلَح اٍۢد ِبُظْلٍم ُّنِذ ْقُه ِم ْن َع َذ اٍب َاِلْيٍم‬
“Dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di
dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih”. ( Al-
Hajj:25)
2.

‫َال َيْح َتِكُر ِإَّال َخ اِط ٌئ‬


“Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang
berdosa.” (HR. Muslim, no. 1605).

3. Dari Ibnu Umar RadhiyaAllahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Siapa saja yang menimbun makanan selama empat puluh hari, maka ia telah
berzalim kepada Allah dan kepada manusia." (HR Bukhari dan Muslim)

4. Dari Abu Hurairah RadhiyaAllahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang menimbun makanan, maka ia telah berdosa dan menzalimi."
(HR Ahmad)

5. Dari Abdullah bin Amr RadhiyaAllahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang menimbun makanan, maka ia telah berbuat dosa dan
menzalimi umat Islam." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Contoh ihtikar:

a. Seorang pedagang membeli beras dalam jumlah besar, kemudian


menyimpannya di gudang untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi.
b. Seorang pedagang membeli minyak goreng dalam jumlah besar, kemudian
menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi.
c. Seorang pedagang membeli masker dalam jumlah besar, kemudian
menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi saat terjadi pandemi
COVID-19.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam fiqh Islam, Bai' Najasy dan Ihtikar adalah dua praktik ekonomi yang
dilarang karena mereka melibatkan penipuan, merugikan konsumen, dan tidak sesuai
dengan nilai-nilai keadilan dalam Islam. Bai' Najasy melibatkan menciptakan
permintaan palsu dengan tujuan menaikkan harga barang, sedangkan Ihtikar
melibatkan menahan atau menimbun barang dengan niat untuk menjualnya ketika
harga naik. Kedua praktik ini dapat mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi,
meningkatkan ketidakadilan, dan merugikan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy. (2009) Minhajul Muslim Konsep Hidup Ideal dalam
Islam. Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam
Ardiansyah, R. F. Hukum Akad Jual Beli Najasy (Rekayasa Permintaan Pasar) Perspektif
Imam Al-Rāfi’ī (555 H-623 H) Dan Ibnu Qudāmah (541 H-620 H).
Sopiandi, E., Hafidhuddin, D., & Tanjung, H. (2017). Analisis Distorsi Pasar Dalam
Perspektif Ekonomi Islam. Kasaba: Jurnal Ekonomi Islam, 10(1), 113-130.
Tokopedia. (n.d.). Al-Qur'an. Retrieved from Al-Qur'an Online Terjemahannya dan Tafsir
Ayat Tokopedia: https://www.tokopedia.com/s/quran?
utm_source=google&utm_medium=organic

Anda mungkin juga menyukai