Anda di halaman 1dari 10

6

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Fraktur Humerus

1. Definisi

Fraktur humerus ialah terputusnya kontinuitas tulang serta

permukaan rawan sendi pada tulang humerus. Tekanan fisik yang berlebihan

dapat mengakibatkan terjadinya patah tulang atau retakan tulang humeri

(Hardisman dan Riski, 2014).

Fraktur humerus merupakan patah tulang yang terjadi karena

terputusnya tulang humerus disertai kerusakan pada jaringan lunak, yaitu

otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah yang disebabkan oleh

tekanan eksternal yang lebih besar dari kapasitas dan kekutan pada tulang

humerus (Noordiati, 2018)

Fraktur humerus adalah gangguan kontinuitas yang normal dari

suatu tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga

seringkali terganggu (Black & Hawks, 2014).

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa fraktur

humerus ialah terputusnya kontinuitas tulang humerus akibat tekanan

ekstrenal yang keras dan juga tahanan yang mengakibatkan kerusakan

jaringan lunak seperti otot, kulit, dan saraf.

Fraktur humerus terdapat tiga klasifikasi, yaitu:

a. Fraktur humerus proksimal


Fraktur ini biasanya terjadi pada usia dewasa. Fraktur

proksimal humerus ini biasanya sering dihubungkan dengan

osteoporosis. Sedangkan pada usia dewasa muda, patah tulang

ini biasanya akibat kecelakaan lalu lintas.

b. Fraktur batang humerus

Pada fraktur batang humerus dapat terjadi karena trauma

langsung maupun tidak langsung. Karakteristik fraktur ini dapat

berupa trabversal, oblique, spiral, segmental, maupun kominutif.

c. Fraktur humerus ditsal

Fraktur humerus distal bisa terjadi karena benturan

langsung maupun benturan tidak langsung. Trauma langsung

biasanya terjadi akibat terjatuh lalu posisi siku menopang

ataupun terkena benda tumpul. Pada kasus ini sering terjadi

pada wanita usia pertengahan maupun lansia (Murtala, 2019).

2. Prevalensi

Menurut World Health Organization (WHO), prevalensi fraktur

secara umum di dunia pada tahun 2008 kurang lebih 13 juta orang dengan

prevalensi angka 2,7%. Sementara tahun 2009 kurang lebih 18 juta orang

mengalami fraktur dengan prevalensi angka 4,2%. Tahun 2010 mengalami

peningkatan menjadi 21 juta orang dengan prevalensi 3,5% (Sari, 2016).

Prevalensi kasus fraktur humerus di RSUD dr. Loekmono Hadi

Kudus pada 5 tahun terakhir tidak stabil dalam kenaikan maupun

penurunan kasus. Pada tahun 2017 terdapat 3 buah kasus fraktur humerus,

7
pada tahun 2018 terdapat 5 buah kasus fraktur humerus, tahun 2019 dan

tahun 2020 terdapat 4 buah fraktur humerus, pada tahun 2021 terdapat 2

buah kasus fraktur humerus. (Data RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus,

2022).

3. Etiologi

Fraktur humerus dapat disebabkan karena adanya pukulan

secara langsung, gerakan yang menimbulkan perputaran yang

mendadak, serta kontraksi otot yang berulang dan ekstrem.

Umumnya fraktur humerus ⅓ proksimal disebabkan karena

adanya trauma yang berlebihan pada ⅓ atas tulang humerus.

(Reeves dkk, 2011).

4. Gambaran Klinis

Gambaran klinis pada pasien dengan kondisi fraktur

humerus ⅓ proksimal ialah timbulnya deformitas, kekauan pada

bahu, lengan atas, bahkan sampai pada tangan bawah dan tangan,

timbulnya rasa nyeri, edema atau pembengkakan, hilangnya fungsi

atau terjadi gangguan fungsi gerak maupun sensorik, terbatasnya

lingkup gerak, serta kelemahan otot (Helmi, 2012). Gambaran

klinik fraktur humerus ialah munculnya gerakan abnormal,

ketegangan di atas lokasi fraktur, memar, perubahan neurovascular

yang menjadikan rasa kebas dan kesemutan di lokasi fraktur (Black

& Hawks, 2014)

5. Prognosis

8
Risiko pasca operasi seperti nyeri, pada pasien dapat

berkurang jika pasien mendapatkan penanganan dalam kurun

waktu tidak lebih dari 48 jam pasca fraktur. Fraktur os. humeri ⅓

proximal dextra post ORIF pada individu dapat menurunkan

kemandirian dalam melaksanakan aktivitas sehari hari. Pasien yang

tidak mendapatkan pelatiahan untuk meningkatkan lingkup gerak

sendi (LGS) dan kekuatan otot dalam satu tahun pasca operasi akan

mengalami keterbatasan dalam melakukan gerakan dan kelemahan

kekuatan otot yang mengakibatkan individu terganggu dalam

pelaksanaan aktivitas sehari-hari, bekerja, ataupun melaksanakan

hobi. Pada pasien fraktur os. humeri ⅓ proximal dextra post ORIF

dapat menggunakan alat bantu adaptif seperti alat bantu jalan dan

tongkat. Kebutuhan pasien di rumah, modifikasi lingkungan, serta

penilaian keamanan harus dilakukan sebelum mengeluarkan pasien

dari rumah sakit dikarenakan tingkat kemandirian pasien

mengalami penurunan (Southerland dkk, 2014).

B. ORIF

ORIF ialah tindakan operasi terbuka yang dilakukan untuk

mengembalikan tulang seperti letak asalnya dengan melibatkan penggunan

plat, sekrup, atau paku untuk mengaktifkan dan memfasilitasi proses

penyembuhan (Lukman & Nurna, 2013).

C. Aktivitas Memakai Daster

1. Definisi

9
Menurut KBBI, daster ialah baju yang terbuat dari kain tipis

yang agak jarang tenunannya terbuat dari nilon dan senagaja dibuat

longgar untuk dipakai di rumah. Memakai daster ialah aktivitas

memasangkan baju yang sengaja dibuat longgar pada tubuh

melalui lubang yang tersedia di kaus pada area kepala, lengan

kanan, lengan kiri, dan bawah (KBBI,2013).

2. Prasyarat

Keterampilan mengenakan daster menuntut individu untuk

menguasai berbagai kemampuan. Beberapa halnya ialah koordinasi

motorik kasar dan motorik halus, diskriminasi kanan dan kiri,

kestabilan postur tubuh, dan perencanaan motorik (Weichman,

2012; Lee et al., 2014 dalam Natasya & Tirta, 2018).

Agar seseorang mampu melakukan aktivitas memakai

daster dengan benar maka seseorang tersebut harus memiliki

keterampilan. Beberapa keterampilan tersebut ialah:

a. Koordinasi

Saat berpakaian koordinasi dibutuhkan untuk stabilisasi

sendi, posisi memindahkan berat tubuh, serta memanfaatkan

kedua tangan, mata, badan, kaki, dan juga koordinasi jari-jari.

Seorang individu harus mampu melakukan koordinasi dan

merencanakan gerak dalam gerakan yang lembut dan

bergradasi.

b. Joint Mobility

10
Gerakan yang dilakukan saat memakai daster

membutuhkan lingkup gerak sendi yang normal. Utamanya

pada sendi glenohumeral di bahu.

c. Kontrol Tangan dan Lengan

Kontrol gerakan tangan dan lengan diperlukan dalam

aktivitas memakai daster. Individu harus mampu

mengkoordinasikan kedua tangan secara bilateral dan lead –

assist (satu tangan sebagai penggerak utama, tangan yang lain

menstabilisasi). Penggunaan tangan yang sesuai akan

membantu dalam aktivitas memakai daster.

d. Balance and Equilibrium

Fungsi keseimbangan diperlukan saat memakai daster.

Karena dalam aktivitas ini terjadi perpindahan postur tubuh

dan posisi tubuh. Keseimbangan diperlukan untuk

menstabilisasi perpindahan tersebut.

e. Reach, Grasp, and Realease

Kemampuan meraih, menggenggam, serta melepas

dibutuhkan dalam memakai daster. Gerakan memakai daster

melibatkan proses mengambil daster, memasangkannya ke

badan serta merapihkannya.

f. Active Movement

Kemampuan otot penggerak bahu dibutuhkan saat

memaakai daster. Gerakan otot penggerak ini dilakukan secara

11
aktif dan mampu melawan gravitasi. Hal ini bertujuan untuk

memanipulasi tubuh dan anggota badan dalam memakai dan

melepas daster.

3. Tahapan

Memakai daster menurut Danuatmaja tahun 2003 dalam Aisa tahun

2018 terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:

1) Meletakkan daster diatas kepala

2) Meloloskan kepala melalui lubang leher daster

3) Meloloskan satu-persatu tangan melalui lubang daster

4) Menarik daster ke bawah setinggi dada

5) Menarik daster ke bawah sampai lutut.

D. Kerangka Acuan Biomekanik

1. Definisi

Kerangka acuan biomekanik ialah kerangka acuan yang dipergunan

pada kondisi yang mengalami keterbatasan Range Of Motion (ROM),

daya tahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan kekuatan otot

(Trombly & Randomski, 2002).

2. Tujuan

Tujuan dari penggunaan kerangka acuan biomekanik ialah

meningkatkan kekuatan otot, lingkup gerak sendi (LGS), dan daya tahan

otot. Analisis gerakan dilakukan untuk diidentifikasi berdasarkan gerakan

yang diperlukan. Dengan demikian diperlukan penekanan analisis

12
aktivitas pada otot, sendi, dan pola-pola dalam melakukan aktivitas

(Pedretti, 2001).

Tujuan dari pendekatan kerangka acuan biomekanik ialah untuk

mencegah keterbatasan lingkup gerak sendi, peningkatan kekutan otot

dengan latihan secara aktif dan pasif, serta untuk mencegah adanya

edema dan kontraktur (Mc Millan, 2011).

3. Prinsip

Prinsip dari kerangka acuan biomekanik ini ialah (1) meningkatkan

ROM dengan penguluran secara aktif dan pasif, (2) meningkatkan

kekuatan otot dengan cara meningkatkan tahanan, (3) meningkatkan

endurance yaitu dengan cara menambah durasi, (4) mencegah

keterbatasan ROM dengan gerakan full ROM sesuai batas toleransi pasien

dengan pengaturan posisi dan kompresi (Pranindita, 2019).

4. Strategi

Menurut Trombly dan Randomsky (2002), strategi yang dapat

diterapkan dalam kerangka acuan biomekanikantara lain:

a. Passive exercise

Passive exercise latihan menggerakkan anggota tubuh

pasien dengan bantuan penuh oleh terapis sebatas toleransi nyeri

pasien.

b. Active exercise

13
Active exercise dimana pasien menggerakkan anggota

tubuh secara aktfif tanpa bantuan oleh terapis sebatas toleransi

nyeri pasien.

c. Graded activity

Graded activity ialah latihan dengan pemberian aktivitas

dari aktivitas sederhana ke aktivitas yang lebih kompleks.

d. Remedial activity

Remedial activity ialah latihan dengan pengulangan

aktivitas yang telah ditentukan.

e. Active resistive

Active resistive ialah dimana pasien melakukan gerak aktif,

lalu terapis memberikan tahanan.

f. Active assistive

Active assistive ialah pasien melakukan gerak aktif sebatas

ROM pasien, lalu terapis memaksimalkan ROM sebatas toleransi

nyeri pasien.

g. Endurance

Endurance ialah pemberian aktivitas dengan tujuan

meningkatkan daya tahan dari pasien dalam melaksanakan

aktivitas.

5. Pro dan Kontra

Kelebihan dari penggunaan kerangka acuan biomekanik yaitu

dapat membantu individu dengan keterbatasan lingkup gerak sendi,

14
kelemahan otot, dan daya tahan akibat trauma atau penyakit yang

mempengaruhi otot, sendi, kulit atau jaringan lunak, saraf tepi, namun

fungsi otak tidak mengalami gangguan (Trombly dan Randomski, 2002).

Kekurangan dari kerangka acuan biomekanik yaitu tidak dapat

digunkan untuk memperbaiki fungsional secara umum dan tidak dapat

digunakan pada pasien yang memiliki gangguan saraf pusat (Trombly &

Randomski, 2002).

6. Kecenderungan Penulis

Fraktur humerus menyebabkan permasalahan pada lingkup gerak

sendi yang menjadi terbatas, kekuatan otot yang melemah, serta daya

tahan menurun dalam melakukan suatu aktivitas. Oleh sebab itu untuk

meningkatkan limitasi kekutan otot, meningkatkan lingsung gerak sendi

dan daya tahan diperlukan strategi dengan menerapkan kerangka acuan

biomekanik. Kerangka acuan biomekanik dipergunakan bagi pasien

dengan kondisi keterbatasan lingkup gerak sendi dan kelemahan otot

yang mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Pada pasien post ORIF fraktur

humerus diharapkan dapat meningkatkan lingkup gerak sendi dan

kekuatan otot sehingga mampu kembali pada aktivitas fungsional secara

mandiri salah satunya dalam berpakaian.

15

Anda mungkin juga menyukai