Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH PRESENTASI KASUS

“PUCAT”

Disusun oleh:
Kelompok C Rombongan 5

Nathaniel Aditya 1506738851

Alya Darin Wijaya 1506738145

Kamila Ratu Chaidir 1506739305

Narasumber:
dr. Wulyo Rajabto, Sp.PD-KHOM

MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
NOVEMBER 2019
JAKARTA

1
BAB I
PENDAHULUAN

Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta
pemahaman mahasiswa didik mengenai pendekatan pucat secara holistik, sehingga
diharapkan mahasiswa didik mampu membuat strategi baik dalam pendekatan diagnosis
maupun tatalaksana keluhan pucat dikemudian hari.
Latar Belakang Pembahasan Kasus
Pucat merupakan salah satu tanda dan gejala yang umum dijumpai di layanan klinis
sehari-hari. Pucat didefinisikan sebagai hilangnya/berkurangnya warna pada kulit maupun
mukosa sebagai akibat berkurangnya hemoglobin yang bersirkulasi di dalam darah. Pucat
dapat dinilai secara subjektif maupun objektif. Secara subjektif, pucat dapat dilihat pada
mukosa, konjungtiva, ataupun kulit pasien. Secara objektif, pucat dapat dilihat melalui kadar
hemoglobin darah. Pucat dapat mengindikasikan berbagai hal dari yang sifatnya fisiologis
hingga patologis. Pucat juga dapat mewakilkan adanya proses patologi dalam berbagai organ
di dalam tubuh.
Salah satu etiologi tersering pada pucat adalah anemia. Anemia secara fungsional
didefinisikan sebagai menurunnya jumlah massa eritrosit yang bersirkulasi sehingga
menurunkan kapasitas angkut oksigen ke jaringan perifer. Secara parameter objektif dari
WHO, anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin <13g/dL untuk laki-laki, <12g/dL
untuk perempuan, serta <11g/dL untuk wanita hamil. Anemia cukup sering dijumpai pada
kasus sehari-hari. Prevalensi anemia sendiri berkisar >30%. Meskipun umum dijumpai,
anemia seringkali tidak diidentiifikasi dan diperhatikan di praktik klinis sehari-hari. Padahal,
anemia dapat menyebabkan debilitas kronik apabila dibiarkan.
Oleh karena itu, penting untuk melakukan pendekatan pucat secara holistik sehingga
etiologi dari pucat dapat ditemukan secara presisi dan dapat dilakukan tatalaksana yang
holistik terhadap etiologi yang mendasari pucat. Makalah ini disusun dengan tujuan untuk
memperkaya pemahaman mahasiswa didik terhadap pucat, sehingga manajemen holikstik
yang sesuai dapat dilakukan di kemudian hari.

2
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas
Nama : Ny. TSL
TTL : Sukabumi, 8 Mei 1983
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Ancol Selatan
Agama : Kristen
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pembayaran : BPJS
Tanggal Admisi : 4 November 2019
Tanggal Periksa : 4 November 2019
2.2 Data Anamnesis
Subjek anamnesis: Pasien Sendiri
Keluhan Utama
Pucat sejak 5 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan pucat sejak 5 hari SMRS. Pasien merasa semakin
pucat seiring bertambahnya hari. Pucat mulai disadari pasien bersamaan dengan
dimulainya mestruasi hari pertama pasien. Pasien mengeluhkan menstruasinya kali ini
lebih banyak dari biasanya. Pasien dapat mengganti pembalut hingga 5-6 kali sehari.
Keluhan menstruasi berlebihan ini sudah pasien alami 2 bulan kebelakang namun baru kali
ini pasien merasa pucat hingga seperti ini. Bulan lalu, pasien menstruasi dengan volume
yang banyak disertai durasi mencapai 10 hari. Riwayat perdarahan lain seperti mimisan,
bintik merah, lebam, BAB hitam dan gusi berdarah disangkal. Riwayat kuning disangkal.
Riwayat perjalanan disangkal. Selain pucat, pasien juga merasa lemas. Sama seperti pucat,
lemas juga dirasakan semakin memberat. Satu hari SMRS pasien merasa sangat lemas
hingga sulit berjalan. Kelumpuhan disangkal. Lemas muncul kapan saja, tidak dipengaruhi
oleh aktivitas, ataupun jumlah makanan yang dikonsumsi. Pasien juga mengeluh terdapat
demam sejak 5 hari SMRS. Demam sudah menghilang sejak 1 hari SMRS. Demam tiba-
tiba tinggi dengan suhu 38oC. Demam hilang timbul tidak berpola serta turun dengan

3
pemberian parasetamol. Keluhan nyeri sendi, menggigil, nyeri perut, nyeri saat berkemih,
dan pilek disangkal. BAB dan BAK pasien tidak ada keluhan.
Tiga bulan SMRS, pada tubuh pasien secara tiba-tiba muncul banyak bintik merah.
Bintik merah kemudian berprogresi menjadi lebam-lebam tanpa adanya riwayat trauma.
Pasien juga mengeluh adanya keringat yang banyak di malam hari dan penurunan berat
badan sebanyak 9 kg dalam jangka waktu 1 bulan meskipun nafsu makan pasien tidak ada
perubahan. Riwayat benjolan di tubuh disangkal. Pasien kemudian memutuskan untuk
pergi ke RS Persahabatan untuk cek lab. Dari hasil lab kemudian diketahui bahwa leukosit
pasien tinggi. Pasien kemudian di rujuk ke RS Dharmais untuk menjalani prosedur BMP.
Dari hasil BMP diketahui bahwa pasien mengidap AML-M1. Sampai saat ini pasien
belum menjalani kemoterapi. Pasien hanya di transfusi beberapa kali. Selain gejala yang
telah disebutkan sebelumnya, pasien juga mengeluh batuk sejak tiga bulan SMRS. Batuk
terkadang berdahak dan tidak berdahak. Dahak bervariasi mulai dari hijau, kuning,
berdarah, hingga bening. Sampai saat ini pasien masih sering batuk. Pasien sudah berobat
namun selama ini hanya diberikan OBH. Batuk biasanya disertai dengan rasa mual dan
muntah. Mual dan muntah tidak diprovokasi oleh makanan. Muntah hanya sedikit dengan
konsistensi seperti ludah. Pasien juga terkadang mengeluh adanya rasa pahit di belakang
mulut setelah muntah dan nyeri ulu hati yang terasa berdenyut. Nyeri tidak menjalar.
Nyeri seperti ditusuk, dihimpit, atau rasa panas di dada disangkal. Pasien memiliki riwayat
maag.
Dua bulan SMRS pasien sempat mengalami sesak nafas sehingga pasien dirujuk ke
RSCM. Sesak nafas membaik jika pasien merubah posisi namun tidak ada posisi tetap
dimana pasien merasa lebih baik. Riwayat bengkak pada kaki, kencing berbusa, diare,
terbangun karena sesak, serta sesak yang diperberat aktivitas disangkal. Riwayat penyakit
jantung, hati, ginjal, diabetes melitus, serta darah tinggi disangkal. Saat ini pasien hanya
mengkonsumsi obat mual, obat lambung, serta obat untuk memberhentikan perdarahan.
Pasien tidak mengingat nama dari obat-obatan tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat TB disangkal. Riwayat operasi disangkal. Pasien mengaku tidak pernah sakit
sebelumnya. Pasien hanya pernah dirawat karena jatuh dan karena melahirkan.
Riwayat dalam Keluarga
Riwayat penyakit serupa pasien disangkal. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
penyakit ginjal, penyakit hati, TB, serta sakit kuning di keluarga disangkal. Nenek pasien
menderita kanker payudara. Terdapat riwayat penyakit jantung di keluarga.
4
Riwayat Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan
Pasien merupakan ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Dirumah, pasien tinggal bersama
ibu, suami, dan satu orang anak yang berusia 5 tahun. Rumah berada di pinggir jalan. Rumah
tidak dekat dengan persawahan, ladang, maupun pabrik dan sumber polusi lainnya. Pasien
tidak memiliki riwayat konsumsi alkohol. Pasien sempat mengkonsumsi rokok namun hanya
beberapa bulan dengan pemakaian 1-2 bungkus/hari.
2.3 Pemeriksaan Fisis
Status Generalis
Kesadaran : Kompos Mentis
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 126x/menit, irama reguler, isi cukup
Pernafasan : 24x/menit, irama reguler, kedalaman cukup, torakoabdominal
Suhu : 36,6 °C
Keadaan umum : Baik
Keadaan sakit : Sakit sedang
Status gizi : Baik
Tinggi badan :
Berat badan :
IMT :

Pemeriksaan Lain
Kulit : Turgor kulit normal, kulit pucat, tidak terdapat bintik merah, tidak
terdapat lebam maupun tanda-tanda perdarahan lainnya, tidak terdapat
tanda-tanda inflamasi, benjolan, ataupun kelainan kulit lainnya.
Kepala : Normosefal, simetris kanan dan kiri, tidak terdapat deformitas tulang,
benjolan, maupun tanda peradangan.
Rambut : Warna hitam, persebaran merata, tidak mudah tercabut, tidak terdapat
alopecia maupun krusta pada kulit rambut
Mata : Konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik. Pupil isokor, bulat, hitam, 3
mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+
Telinga
 Inspeksi : Normotia, tidak ada deformitas tulang pada kedua telinga, tidak
terdapat sekret keluar dari kedua liang telinga, kedua liang telinga lapang dengan
serumen, membran timfani intak pada kedua telinga
5
 Palpasi : Tidak ada nyeri tekan tragus, tidak ada nyeri pada palpasi telinga luar,
tidak ada nyeri tekan mastoid
Hidung : Tidak ada deviasi septum, tidak ada sekret keluar dari hidung, tidak
terdapat nafas cuping hidung
Tenggorok : Tidak hiperemis, uvula di medial, T1-T1
Gigi dan Mulut : Bibir tampak pucat, mukosa tampak pucat licin dan lembab, tidak
terdapat stomatitis, terdapat tiga bintik kehitaman (blood clot) pada
mukosa mulut sebelah kiri bawah dekat molar III, tidak nampak
adanya erosi pada gigi, kesan oral hygiene baik, tidak ada atrofi pada
papil lidah, tidak ada deviasi lidah, maupun coated tongue, mulut tidak
berbau, terdapat lesi bulat dengan krusta berwarna hitam
berukuran diameter 1cm pada sudut bibir kiri
Leher
 Inspeksi : Simetris, tidak terdapat tanda inflamasi, tidak terdapat benjolan
 Palpasi : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tidak terdapat
pembesaran kelenjar tiroid, tidak terdapat nyeri tekan, JVP 5+0 cmH2O,
 Auskultasi : Tidak terdengar suara abnormal pada auskultasi
Toraks : Bentuk dada normal dengan diameter anteroposterior 2:1, tidak
terdapat spider navy, tidak terdapat pectus excavatum maupun
carinatum, tidak terdapat tanda peradangan, tidak terdapat benjolan
Paru
 Inspeksi : Ekspansi dada simetris baik saat statis maupun dinamis, napas reguler
dengan kedalaman cukup, thorakoabdominal, tidak terdapat retraksi sela iga
suprasternal maupun epigastrum.
 Palpasi : Tidak terdapat krepitasi maupun pleural friction rub, fremitus dada
kanan dan kiri simetris , ekspansi dada kanan dan kiri simetris
 Perkusi : Sonor pada seluruh kedua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler pada kedua lapang, tidak terdapat ronki dan wheezing

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V linea midclavicula kiri

6
Perkusi : Batas jantung kiri di ICS V linea midklavikula kiri; batas pinggang
jantung di ICS III linea parasternal kiri; batas jantung kanan di ICS V
linea sternalis kanan
Auskultas : Bunyi jantung I-II reguler, tidak terdengar murmur ataupun
gallop
Abdomen
 Inspeksi : Perut simetris dan datar, tidak terdapat caput medusa
 Palpasi : Perut supel, terdapat nyeri tekan epigastrium, tidak teraba
pembesaran hati di kedua lobus, tidak terdapat perbesaran limpa, ballottement negatif,
McBurney negatif
 Perkusi : Shifting dullness negatif
 Auskultasi : Bising usus 3x/menit
Pinggang : Nyeri ketok CVA negatif
Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus, rektum : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
 Inspeksi : Tidak terdapat edema, tidak terdapat tanda peradangan, tidak terdapat
benjolan, keempat ekstremitas mampu bergerak aktif, tidak terdapat clubbing
finger
 Palpasi : Akral hangat, CRT <2”
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Darah Perifer Lengkap (4/11/2019)

Nama Test Hasil Nilai Rujukan

Hb (g/dl) 4.9 (L) 12.0 – 15.0

Ht (%) 14.6 (L) 36.0 – 46.0

Eritrosit (x106/µl) 1.80 (L) 3.80 – 4.80

MCV(fl) 81.1 (L) 83.0 – 101.0

MCH (pg) 27.2 27.0 – 31.0

MCHC (g/dl) 33.6 31.5 – 34.5

7
Trombosit (x103µl) 26 (L) 150 – 410

Leukosit (x103µl) 160.01 (HH) 4.00 – 10.00

Hitung Jenis (4/11/2019)

Nama Test Hasil Nilai Rujukan

Basofil (%) 0.0 0–2

Eosinofil (%) 0.0 (L) 1–6

Neutrofil (%) 1.0 (L) 40.0 – 80.0

Limfosit (%) 10.0 (L) 20 – 40

Monosit (%) 1.0 (L) 2 – 10

Blas (%) 88.0 11.5 – 14.5

Selisih (%) 0

Laju Endap Darah (%) . 0 – 20

Kimiawi (4/11/2019)

Komponen Nilai Range Normal

Glukosa Sewaktu (mg/dl) 224 (H) 60 – 140

Ureum (mg/dl) 8.7 (L) 15 – 40

Kreatinin (mg/dl) 0.5 (L) 0.55 – 1.02

eGFR (mL/min/1.73 m2) 124.9 86 – 128

Albumin (g/dL) 2.85 (L) 3.50 – 5.20

Elektrolit (4/11/2019)

Komponen Nilai Range Normal

Natrium (mEq/L) 141 136 – 145

8
Kalium(mEq/L) 3.8 3.5 – 5.1

Klorida(mEq/L) 103.0 98.0 – 107.0

Hemostasis (4/11/2019)
Nama Test Hasil Nilai Rujukan
PT
Pasien (detik) 11.5 9.8 – 12.6
Kontrol (detik) 10.8
APTT
Pasien (detik) 34.9 31.0 – 47.0
Kontrol (detik) 35.5

Fungsi Hati (4/11/2019)

Nama Test Hasil Nilai Rujukan

SGOT (U/L) 61 (H) 5.00 – 34.00

SGPT (U/L) 66 (H) 0.00 – 55.00

Hasil Radiografi Thoraks AP (4/11/2019)


Deskripsi:
- Jantung kesan tidak membesar
- Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
- Trachea di garis tengah. Kedua hilus tidak menebal
- Tampak infiltrat di lapangan tengah paru kiri
- Lengkung diafragma dan sinus kostrofrenikus normal
- Tulang-tulang yang tervisualisasi optimal kesan intak
Conclusion:
- Infiltrate di lapangan tengah paru kiri, dd/ pneumonia, TBC paru
- Tidak tampak kelainan pada radiologis jantung

9
2.5 Ringkasan
Anamnesis : Pasien datang dengan keluhan pucat sejak 5 hari SMRS. Pucat
dimulai sejak pasien mengalami menorrhagia. Menorrhagia
membuat pasien hingga mengganti pembalut 5-6 kali sehari.
Menorrhagia terjadi dua bulan kebelakang, Riwayat perdarahan
lain, keluhan kuning, serta riwayat perjalanan disangkal. Selain
pucat, pasien juga mengeluh lemas dan demam. Keluhan demam
tidak disertai dengan penemuan fokus infeksi selain batuk kronik
yang telah pasien alami sejak 3 bulan SMRS. Pasien didiagnosis
dengan AML-M1 3 bulan SMRS. Gejala awal yang muncul berupa
bintik merah dan lebam tanpa sebab, keringat dingin saat malam
hari, serta penurunan berat badan drastis. Diagnosis ditegakkan
melalui hasil BMP dan hasil cek lab leukosit yang tinggi. Pasien
juga mengeluh adanya batuk sejak 3 bulan SMRS dengan warna
sputum yang bervariasi mulai dari kuning, hijau, berdarah, hingga
bening. Mual dan muntah terkadang muncul tanpa provokasi
makanan, disertai dengan rasa pahit dibelakang mulut serta nyeri
ulu hati. Dua bulan SMRS, pasien dirawat karena keluhan sesak
nafas. Kemungkinan keterlibatan jantung dan ginjal disangkal.
Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, DM, penyakit hati,
ginjal, ataupun jantung. Di keluarga terdapat riwayat penyakit
jantung dan kanker payudara.
Pemeriksaan fisik : Takikardi, takipnea, konjungtiva pucat, kulit pucat, mukosa bibir
pucat, tidak terdapat petechiae purpura atau ekimosis, tidak
terdapat atrofi pada papil lidah, terdapat tiga bintik blood clot pada
mukosa mulut kiri bawah dekat molar III, lesi bulat diameter 1 cm
dengan crustae kehitaman pada sudut bibir kiri, bunyi jantung I
dan II normal tanpa murmur ataupun gallop, bunyi paru vesikuler
di kedua lapang paru tanpa ronki ataupun wheezing, hepatomegaly
(-), splenomegaly (-), nyeri tekan epigastrium (+), akral hangat,
CRT <2 detik, tidak terdapat clubbing finger
Pemeriksaan penunjang : Hb rendah, hematokrit rendah, eritrosit rendah, trombosit rendah,
leukosit sangat tinggi, blas 88%, albumin rendah, SGOT dan
SGPT meningkat, PT dan APTT normal, GDS tinggi, terdapat
10
infiltrate di lapangan tengah paru kiri pada hasil radiografi toraks
AP
2.6 Daftar Masalah dan Pengkajian
1. Anemia gravis ec menorrhagia dan AML

Anamnesis Pucat dan lemas sejak 5 hari SMRS yang muncul bersamaan
dengan menorrhagia. Pucat dan lemas semakin memberat seiring
berjalannya menorrhagia. Menorrhagia dapat membuat pasien 5-6
kali berganti pembalut. Tiga bulan SMRS pasien didiagnosis
dengan AML-M1. Anemia dipikirkan terjadi akibat menorrhagia
karena tidak ditemukan sumber perdarahan lain, tidak ditemukan
kemungkinan akibat hemolisis (kuning (-)), serta tidak terdapat
riwayat perjalanan ke daerah endemis. Anemia juga dipikirkan
berkaitan dengan AML-M1 karena AML merupakan salah satu
faktor predisposisi anemia berat.

Pemeriksaan Fisik TTV: takikardi, takipnea


Mata: konjungtiva pucat
Kulit: pucat
Bibir dan mulut: mukosa pucat
Lidah: tidak terdapat papil atrofi
Jantung: bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat murmur
ataupun gallop
Ekstremitas: pucat, tidak terdapat clubbing finger
Atas dasar penemuan pemeriksaan fisik, dipikirkan anemia yang
ada terjadi sebagai akibat suatu proses yang bersifat akut sehingga
semakin mendukung ec menorrhagia dan AML

Pemeriksaan Hb rendah (4.9 g/dL), hematokrit rendah (14.6%), eritrosit rendah


Penunjang (1.8 juta/uL), leukosit sangat tinggi (160.1 ribu/uL), blas 88%. Dari
hasil pemeriksaan penunjang didapatkan anemia dengan
leukositosis dan sel blas yang tinggi

Rencana Diagnosis DPL rutin, pemantauan tanda vital, hitung retikulosit

Rencana Tata  Transfusi PRC hingga target Hb terpenuhi.


Laksana

11
2. Trombositopenia ec AML

Anamnesis  Dua bulan kebelakang, pasien mengalami


menstruasi yang berlebihan baik dari segi
volume maupun durasi. Menorrhagia yang
terjadi dipikirkan sebagai akibat adanya
trombositopenia pada AML yang
mengakibatkan perdarahan menjadi lebih
sukar berhenti.
 Pasien memiliki riwayat bintik merah dan
lebam-lebam tanpa sebab pada kulit 3 bulan
SMRS

Pemeriksaan Fisik  Kulit: saat pemeriksaan tidak didapatkan


petechiae, ekimosis, ataupun purpura
 Mulut: terdapat tiga bintik blood clot pada
mukosa mulut kiri bawah dekat molar III
 Atas dasar pemeriksaan fisik dipikirkan
adanya perdarahan gusi minimal yang tidak
disadari oleh pasien sebagai akibat
trombositopenia yang belum terlalu berat

Pemeriksaan Penunjang  Trombosit rendah (26 ribu/uL)

Rencana Diagnosis  DPL rutin, pemantauan tanda perdarahan

Rencana Tata Laksana  Transfusi TC hingga target tercapai

3. AML-M1

Anamnesis  Tiga bulan SMRS pasien memiliki keluhan


munculnya bintik merah dan lebam secara
spontan tanpa riwayat trauma, keringat
banyak saat malam hari, serta penurunan
berat badan. Pada hasil pemeriksaan lab
didapatkan leukosit tinggi. Pada hasil BMP

12
diagnosis AML-M1 kemudian ditegakkan

Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda bisitopeni (trombositopenia dan


eritrosit rendah)
Mata: konjungtiva pucat
Kulit: pucat
 Bibir dan mulut: mukosa pucat, terdapat tiga
bintik blood clot pada mukosa mulut kiri
Ekstremitas: pucat, tidak terdapat petechiae,
ekimosis, ataupun purpura

Pemeriksaan Penunjang  Hb rendah (4.9g/dL), hematokrit rendah


(14.6%), eritrosit rendah (1.8 juta/uL),
trombosit rendah (26 ribu/uL), leukosit
sangat tinggi (106.01/uL), blas 88%

Rencana Diagnosis  Pemeriksaan morfologi sel, pengecatan


sitokimia

Rencana Tata Laksana  Tatalaksana standar 7+3: kemoterapi induksi


dengan sitarabin 100mg/m3 diberikan secara
infus kontinu selama 7 hari dan danorubisin
45-60mg/m2/hari iv selama 3 hari

4. Tuberculosis dd/ Pneumonia

Anamnesis  Tiga bulan SMRS pasien memiliki keluhan


batuk dengan warna sputum bervariasi mulai
dari kuning, hijau, berdarah, hingga bening,
terdapat riwayat penurunan berat badan.

Pemeriksaan Fisik Paru: bunyi vesikuler di kedua lapang paru,


tidak terdengar adanya ronki ataupun
wheezing

Pemeriksaan Penunjang  Radiografi toraks: adanya infiltrate di


lapangan tengah paru kiri, dd/pneumonia,

13
TBC paru

Rencana Diagnosis  Induksi sputum, kultur sputum, pewarnaan


BTA dan GeneXpert

Rencana Tata Laksana  Tatalaksana diberikan sesuai dengan


diagnosis yang tegak (TBC paru atau
pneumonia)

5. Hiperglikemia susp DM tipe 2

Anamnesis  Tidak terdapat keluhan 3P

Pemeriksaan Fisik -

Pemeriksaan Penunjang  GDS tinggi (224mg/dL)

Rencana Diagnosis  GDS atau GDP ulang, HbA1C

Rencana Tata Laksana Disesuaikan dengan hasil evaluasi ulang


(jika diagnosis diabetes melitus dapat
ditegakkan, maka diberikan tata laksana DM
tipe 2), Edukasi modifikasi gaya hidup

6. Dyspepsia dd/ GERD

Anamnesis  Pasien terkadang merasa mual dan muntah.


Mual dan munta tidak di provokasi
makanan. Terkadang disertai dengan rasa
pahit di belakang mulut serta nyeri ulu hati

Pemeriksaan Fisik Nyeri tekan epigastrium

Pemeriksaan Penunjang  -

Rencana Diagnosis  Urea breath test, endoskopi SCBA

Rencana Tata Laksana Edukasi modifikasi gaya hidup dan dietetik


(mengurangi makanan yang iritatif, small
but frequent feeding, tidak makan kurang
dari 2 jam sebelum tidur, dsb), pemberian

14
PPI (Omeprazole 1x20mg PO)

2.7 Kesimpulan
Pasien wanita usia 36 tahun mengeluhkan pucat dan lemas. Dipikirkan terjadi anemia
perdarahan akibat menorrhagia atas dasar menorrhagia berlebihan 2 bulan kebelakang hingga
ganti pembalut 5-6 kali sehari. Menorrhagia dipikirkan diprovokasi oleh trombositopenia
akibat AML-M1 yang pasien idap. Selain itu, dipikirkan pula terdapat TBC paru atas dasar
keluhan batuk kronik 3 bulan dengan sputum bervariasi kuning, hijau, darah dan bening.
Dipikirkan juga terdapat dyspepsia atas dasar keluhan mual, muntah, nyeri ulu hati, serta rasa
pahit dibelakang mulut. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pucat, takikardi, takipnea, blood
clot minimal pada mukosa mulut, dan nyeri tekan epigastrium. Pada pemeriksaan penunjang
didapatkan Hb rendah (4.9 g/dL), hematokrit rendah (14.6%), eritrosit rendah (1.8 juta/uL),
trombosit rendah (26 ribu/uL), leukosit sangat tinggi (160.1 ribu/uL), blas 88%, albumin
rendah (2.85g/dL), SGOT (61U/L) dan SGPT (66U/L) meningkat, GDS tinggi (224mg/dL),
terdapat infiltrate di lapangan tengah paru kiri pada hasil radiografi toraks AP. Rencana
diagnosis DPL rutin, hitung retikulosit, kultur sputum, pewarnaan BTA, GeneXpert, dan
HbA1c. Rencana tata laksana transfusi PRC, transfusi TC, modifikasi gaya hidup,
omeprazole 1x20mg PO, serta tatalaksana definitif apabila diagnosis TBC dan DM sudah
tegak.

Prognosis
 Ad vitam : bonam
 Ad functionam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pucat
Pucat didefinisikan sebagai memudarnya/hilangnya warna pada permukaan kulit
maupun pada mukosa sebagai akibat penurunan jumlah hemoglobin yang bersirkulasi. 1
Keluhan pucat umum dijumpai pada praktik klinis sehari-hari terutama pada sub-bidang yang
mnedalami kardiovaskular ataupun respirasi. Pucat dapat dievaluasi pada berbagai bagian
tubuh seperti telapak tangan, nail bed, mukosa mulut, maupun konjungtiva. Diantara berbagai
situs tubuh tersebut, konjugntiva merupakan bagian yang paling sering dievaluasi dalam
menentukan pucat. 2
Pucat dapat merepresentasikan suatu proses yang sifatnya fisiologis ataupun
patologis.2 Oleh karena itu, penitng untuk melakukan evaluasi secara holsitik terhadap
keluhan pucat agar latar belakang proses yang mendasari pucat dapat ditemukan. Diantara
berbagai kondisi yang dapat menimbulkan pucat, anemia merupakan kondisi yang paling
umum dijumpai di praktik klinis sehari-hari.
3.2 Anemia
Secara fungsional, anemia didefinisikan sebagai berkurangnya jumlah massa eritrosit,
yang mengakibatkan penurunan fungsi eritrosit dalam perfusi oksigen ke jaringan perifer. Di
dunia, anemia masih menjadi salah satu masalah kesehatan global terutama pada negara
berkembang. Secara global, WHO mengestimasikan terdapat sekitar 1,62 miliar orang
anemia dengan populasi terbanyak pada wanita hamil dan balita. 3 Di Indonesia sendiri,
Barkley et al menemukan bahwa prevalensi anemia berkisar pada angka 31.4%, dengan
prevalensi pada anak-anak (usia 5- 12 tahun) sebesar 20.6%, wanita hamil 37.3%, dan pria
diatas usia 15 tahun sebanyak 15.4%.4
Secara klinis, anemia dapat dilihat dari adanya penurunan kadar hemoglobin,
hematocrit, atau hitung eritrosit. Dari ketiga parameter tersebut, hemoglobin merupakan
parameter utama yang digunakan untuk mendefinisikan anemia. Berdasarkan WHO,
parameter anemia untuk pria dewasa ditetapkan kadar hemoglobin <13g/dL, pada wanita
dewasa <12g/dL, serta pada wanita hamil <11g/dL. Tantangannya, kadar hemoglobin
sangatlah bervariasi dan dapat dipengaruhi oleh berbagai kondisi fisiologis seperti jenis
kelamin, usia, ketinggian tempat tinggal, hingga kehamilan.3
Anemia acapkali bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan merefleksikan
adanya proses yang melatarbelakanginya. Anemia dapat disebabkan oleh 3 proses utama,

1
yakni penurunan produksi sel darah merah, peningkatan destruksi sel eritrosit, serta
peningkatan pengeluaran (perdarahan). Diantara semua jenis anemia, secara umum anemia
yang paling sering dijumpai adalah anemia defisiensi besi. Selain anemia defisiensi besi,
anemia juga dapat terjadi akibat kekurangan asam folat, vitamin B12, atau vitamin A;
inflamasi kronik atau akut; serta gangguan pada proses produksi sel darah merah. Klasifikasi
anemia berdasarkan kemungkinan keadaan yang melatarbelakanginya adalah sebagai berikut:
1. Gangguan/penurunan produksi eritrosit oleh sumsum tulang:
a. Kerusakan sumsum tulang
Dapat dijumpai pada kondisi seperti anemia aplastic, anemiamielopsitik,
anemia pada keganasan hematologi, anemia diseritropoietik, anemia pada
sindrom mielodisplastik, anemia akibat kekurangan eritropoietin (pada
penyakit ginjal kronik).
b. Kekurangan bahan esensial pembentukan eritrosit
Menyebabkan anemia defisiensi besi, anemia defisiensi asam folat, anemia
defisiensi vitamin B12.
c. Gangguan utilisasi besi
Dijumpai pada anemia akibat penyakit kronik, serta anemia sideroblastic.
2. Peningkatan pengeluaran (perdarahan):
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
3. Peningkatan destruksi sel eritrosit:
a. Anemia hemolitik intrakorpuskular
Dijumpai pada gangguan membran eritrosit (membranopati), gangguan enzim
eritrosit (enzimopati: anemia akibat defisiensi G6PD), gangguan hemoglobin
(hemoglobinopati), thalassemia, hemoglobinopati structural (HbS, HbE, dll)
b. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
Dijumpai pada anemia hemolitik autoimun, anemia hemolitik mikroangiopatik
4. Anemia yang tidak penyebabnya atau anemia akibat patogenesis yang kompleks

Anemia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan indeks eritrosit atau apusan darah tepi.
Klasifikasi anemia berdasarkan indeks eritrosit adalah sebagai berikut:
1. Anemia mikrositik hipokrom: apabila MCV < 80fl dan MCH < 27pg
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia major
2
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia siderblastik
2. Anemia normositik normokrom: apabila MCV 80 - 95fl dan MCH 27 - 34 pg
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastic
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada penyakit ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
3. Anemia makrositik: apabila MCV > 95fl
a. Bentuk megaloblastic
i. Anemia defisiensi asam folat
ii. Anemia defisiensi B12, anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
i. Anemia pada penyakit kronik
ii. Anemia hipotiroidisme
iii. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Pada anemia terjadi kondisi hipoksia organ serta proses kompensasi tubuh mengatasi
kondisi hipoksia tersebut. Berbagai gejala yang dapat muncul seperti rasa lemah, lesu,
lunglai, mata berkunang-kunang, telinga mendenging, sesak nafas, kaki terasa dingin, hingga
dyspepsia. Kemunculan gejala-gejala tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti derajat
penurunan hemoglobin, usia, kecepatan penurunan hemoglobin, serta ada tidaknya penyakit
komorbid seperti kelainan pada jantung dan atau paru pasien. Umumnya, berbagai gejala baru
akan muncul apabila hemoglobin berada di angka < 7g/dL. Pada beberapa jenis anemia,
seringkali terdapat gejala spesifik tambahan, seperti:3
 Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku
sendok
 Anemia megaloblastic: glossitis, gangguan neurologis pada defisiensi vitamin B12
 Anemia hemolitik: ikterus, splenomegaly, hepatomegaly
 Anemia aplastic: perdarahan dan tanda infeksi

3
3.3 Pendekatan Klinis Pasien dengan Anemia
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium juga memegang
peranan yang penting dalam menegakkan diagnosis anemia. Pemeriksaan laboratorium yang
dapat dilakukan diantaranya pemeriksaan darah perifer lengkap, sumsum tulang untuk
keadaan sistem hematopoiesis pada anemia aplastik, megalobastik, dan MDS, serta
pemeriksaan khusus atas indikasi, seperti pada anemia defisiensi besi (serum besi, TIBC,
saturasi transferrin, protoporfirin eritrosit, ferritin serum, reseptor transferrin dan Perl’s stain),
anemia megaloblastik (serum folat, serum vitamin B12, tes supresi deoksiuridin, tes
Schilling), anemia hemolitik (bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan
lain-lain), dan anemia aplastik dengan biopsi sumsum tulang. Tahapan pada diagnosis anemia
adalah:
1. Menentukan adanya anemia
2. Menentukan jenis anemia
3. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
4. Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta.
Pada saat menemukan kasus anemia, salah satu parameter penting dalam menentukan
etiologi anemia adalah awitan anemia, derajat keparahan anemia serta gejala yang menonjol.
Apabila anemia timbul dengan cepat (hari – minggu) biasanya disebabkan oleh perdarahan
akut, anemia hemolitik yang didapat, anemia karena leukemia akut, dan anemia hemolitik
kronik. Anemia yang timbul dengan lambat dapat dipikirkan karena anemia defisiensi besi,
anemia defisiensi folat atau vitamin B12, anemia akibat penyakit kronik, dan anemia
hemolitik yang bersifat kongenital.3
Derajat anemia juga dapat memberikan petunjuk dalam penentuan etiologi anemia.
Umumnya anemia yang berat disebabkan oleh defisiensi besi, anemia aplastik, leukemia akut,
anemia hemolitik didapat atau kongenital, anemia pasca perdarahan akut, atau anemia pada
penyakit ginjal kronik stadium akhir. Anemia derajat ringan – sedang biasanya disebabkan
oleh penyakit kronik, sistemik, atau trait thalassemia. Apabila pada ketiga kasus tersebut
terjadi anemia berat maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain atau penyebab yang
memperberat derajat anemia pasien tersebut.
Gejala yang menonjol juga dapat memberikan petunjuk terkait etiologi anemia. Gejala
anemia yang menjol dibandingkan dengan penyakit dasar dijumpai pada anemia defisiensi
besi, anemia aplastic, serta anemia hemolitik. Sementara itu, apabila gejala anemia tidak
terlalu menonjol namun gejala penyakit dasar lebih menonjol, pada umumnya etiologi anemia

4
berupa anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya (anemia akibat penyakit
sistemik, hati, atau ginjal).3
Algoritme pendekatan klinis anemia yang didasarkan dari pemeriksaan laboratorium
adalah sebagai berikut:3

Gambar 1. Algoritme pendekatan diagnosis anemia.3

Gambar 2. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik normositer.3

5
Gambar 3. Algoritme diagnosis anemia normokromik normositer.3

Gambar 4. Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer.3

6
3.4 Penatalaksanaan Anemia
Penatalaksanaan anemia bergantung pada hasil diagnosa jenis anemia yang dialami
pasien. Dalam menatalaksana anemia, beberapa hal berikut perlu diperhatikan, yaitu 4:
1. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak
dianjurkan
2. Pengobatan anemia dapat berupa:
a. Terapi darurat misalnya pada kasus perdarahan akut yang mengancam jiwa
pasien, atau paska perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik
b. Terapi suportif
c. Terapi yang khas tiap jenis anemia
d. Terapi kausal anemia
3. Terapi percobaan terpaksa diberikan (terapi ex juvantivus) jika berada pada keadaan
dimana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan. Perlu diperhatikan pada bagian ini,
adalah pemantauan yang ketat dan evaluasi kondisi pasien terus menerus.
4. Transfusi diberikan pada anemia paska perdarahan akut dengan muncul gangguan
hemodinamik. Anemia kronik hanya diberikan transfusi jika anemia bersifat
simptomatik atau ada ancaman gagal jantung. Pada keadaan ini diberikan packed red
cell. Pada anemia kronik sering ditemukan peningkatan volume darah sehingga
transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Pemberian diuretika seperti furosemide juga
dapat diberikan sebelum transfusi untuk mencegah overload cairan.3

3.5 Transfusi Darah


Merupakan salah satu metode penatalaksanaan ketika kadar hemoglobin (Hb) sangat
rendah dalam tubuh. Transfusi darah mempunyai risiko cukup besar sehingga penilaian risiko
dan manfaatnya harus benar-benar dicermati sebelum memberikan pemberian. Risiko
transfusi darah seperti demam, reaksi alergi, reaksi hemolitik, risiko penularan penyakit,
cedera paru akut.5 Secara umum, tidak direkomendasikan untuk melakukan transfuse
profilaksis dan ambang batas dilakukan transfusi adalah kadar hemoglobin dibawah 7,0 atau
8,0 g/dl, kecuali pada pasien dengan penyakit kritis. 5 Kadar 8,0 g/dl Hb merupakan ambang
batas pada pasien yang dioperasi yang tidak memiliki faktor risiko iskemia, dan pasien
dengan risiko iskemia ambang batasnya menjadi 10,0 g/dl. 5 Pemberian transfusi darah perlu
melihat indikasi dan komponen darah yang diberikan. Komponen darah umumnya terbagi
dua yaitu seluler dan non selular. Bagian seluler terdiri dari:6
7
1. Darah utuh (whole blood)
2. Sel darah merah pekat (packed red blood cell):
a. Sel darah merah pekat dengan sedikit lekosit (packed red blood cell
leukocytes reduced)
b. Sel darah merah pekat beku (packed red blood cell washed)
c. Sel darah merah pekat beku (packed red blood cell frozen/deglycerolized)
3. Trombosit konsentrat (concetrate platelets)
a. Trombosit dengan sedikit leukosit (platelet concentrate leukocytes reduced)
4. Granulosit feresis (granulocyte pheresis)
Bagian non seluler terdiri dari:6
1. Plasma segar beku (fresh frozen plasma)
2. Plasma donor tunggal (single donor plasma)
3. Kriopresipitat faktor anti hemophilia (cryoprecipitate AHF)
Selain itu, plasma juga memiliki berbagai jenis derifat yaitu seperti albumin,
immunoglobulin, faktor VIII dan faktor IX pekat, Rh immunoglobulin, dan plasma ekspander
sintetik.
Pada darah lengkap (whole blood) biasanya terdiri dari sel darah merah, lekosit,
trombosit, dan plasma. Pada satu unit whole blood biasa mengandung 450 mL darah dan 63
mL antikoagulan, dan di Indonesia satu kandung darah lengkap berisi 250 mL darah dengan
37 mL antikoagulan (ada juga yang berisi 350 mL darah dengan 49 mL antikoagulan). 8 Suhu
simpan biasanya pada 1-60 C. Lama penyimpanannya tergantung antikoagulan yang dipakai
jika menggunakan fosfat dekstrose lama simpanan adalah 21 hari, sedangkan jika CPD
adenin lamanya adlah 35 hari. Indikasi pemberian darah lengkap adalah untuk meningkatkan
jumlah sel darah merah dan volume plasma dalam waktu bersamaan, jadi misalnya pada
perdarah aktif kehilangan darah lebih dari 30% volume darah total, namun perlu diperhatikan
bahwa hal ini bukanlah indikasi terapi pertama pada anemia karena pemeulihan segera
volume darah pasien lebih penting dibanding penggantian sel darah merah. Pemberian darah
lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronik yang normovelemik
atau yang bertujuan meningkatkan sel darah merah. Dosis dan cara pemberian bergantung
pada kondisi klinis pasien. Pada orang deawa, 1unit darah lengkap meningkatkan Hb sekitar
1g/dl (hematokrit 3-4%). Pemberian darah lengkap sebaiknya menggunakan filter darah,
dengan kecepatan pemberian dalama 4 jam (namun juga bergantung pada keadaan klinis
pasien).6

8
Sel darah merah pekat (packed red blood cell) merupakan bagian yang terdiri dari
eritrosit, trombosit, lekosit dan sedikit plasma. Pada bagian ini, bagian besar plasma
dipisahkan sehingga kadarnya sel darah merah menjadi 60-70%. Volume diperkirakan 150-
300 dengan massa sel darah merah 100-200 mL. jika disimpan menggunakan antikoagulan
CPDA masa simpan hingga 35 hari dengan nilai hematocrit 70-80%, sedangkan pada
antikoagulan CPD masa simpan jadi 21 hari.8 Jika disimpan pada larutan tambah (buffer,
dekstrosa, adenin, dan mannitol) mempunya hematokrit sebesar 52-60% dengan masa simpan
42 hari.indikasi pemberian adalah meningkatkan sel darah merah pasien yang menunjukkan
gejala anemia dan membutuhkan massa sel darah merah pembawa oksigen misalnya pada
pasien gagal ginjal atau keganasan yang menyebabkan anemia. Pemberian disesuaikan pada
keadaan klinis, bukan pada nilai Hb atau hematokrit. Keuntungan pemberiannya adalah
perbaikan oksigenasi dan jjumlah eritrosit tanpa menambah beban kerja jantung. Pemberian
PRC juga dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam jumlah singkat dan banyak
pada orang dewasa, 1 unit prc meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl atau hematokrit 3-4% dan
harus melalui filter darah standar (170 µ).6
Sel darah merah pekat dengan sedikit leukosit (packed red blood cell leucocytes
reduced) mengandung 1-3 x 109 lekosit. American Association of Blood Bank Standadf for
Transfusion Services, menetapkan pemberian sel darah merah sedikit leukosit adalah jika
kandungan leukositnya kurang dari 5 x 106 leukosit per unit.produk ini digunakan untuk
menignkatkan jumlah sel darah merah padda pasien yang sering transfusi / bergantung pada
transfusi dan juga pada mereka yang sering mendapatkan transfusi panas yang berulang dan
reaksi alergi disebabkan ole protein plasma atau antibodi leukosit. 6 Untuk sel darah merah
pekat cuci (packed red blood cell washed) merupakan sel darah merah yang dicuci dengan
normal salin memiliki hematokrit 70-80% dengan volume 180 mL. Pada proses pencucian
dengan salin membuang plasma sebesar 98%, menurunkan leukosit dan tombrosit serta
debris. Sel darah merah jenis ini hanya disimpan dalam 24 jam. Penggunaan jenis ini
biasanya pada dewasa untuk mencegah reaksi alergi yang berat atau alergi berulang, dapat
pula digunkan pada transfuse neonatal atau transfuse intrauteri. Pada jenis sel darah merah
pekat beku yang dicuci (packed red blood cell frozen/deglycerolized), merupakan sel darah
merah dengan penambahan gliserol suatu sediaan krioprotektif terhadap darah yang usianya
kurang dari 6 hari atau -200 0C dan dapat disimpan dalam 10 tahun.6
Trombosit pekat (concentrate platelets) berisikan trombosit, beberapa leukosit, sek
darah merah, serta plasma. trombosit didapatkan melalui proses sentrifugasi darah lengkap
atau tromboferesis. Satu kantung trombosit pekat yang berasal dari 450mL darah lengkap
9
berisi 5.5x1010 trombosit dengan volume sekitar 50mL Satu kantung trombosit pekat yang
berasal dari proses tromboferesis berisi sekitar 3x1011 trombosit, setara dengan 6 kantung
trombosit yang berasal dari darah lengkap dengan volume berkisar 150-400mL bergantung
dengan mesin yang dipakai. Trombosit pekat disimpan dalam suhu 20 o-24oC dengan
diletakkan diatas rotator/agitator yang selalu berputar/bergoyang. Trombosit dapat disimpan
hingga 3 hari atau 5 hari apabila menggunakan kantung darah khusus. Trombosit pekat
diindikasikan pada kasus perdarahan karena trombositopenia dengan trombosit <50 ribu/uL
atau trombositopenia kongenital/didapat. Trombosit pekat juga diindikasikan pada orang
dengan trombositopenia (<50 ribu/uL) yang akan menjalani prosedur invasif, profilaksis pada
hipoplasi sumsum tulang akibat kemoterapi, invasi tumor, atau aplasia primer sumsum tulang
(dengan kadar trombosit 5-10.000/uL). Trombosit pekat sebaiknya diberikan oleh donor
kepada resipien dengan golongan ABO yang sama. Trombosit pekat dikontraindikasikan
pada pasien dengan destruksi trombosit yang cepat seperti ITP, TTP, KID. Transfusi biasanya
hanya diberikan pada perdarahan aktif. Pada sepsis atau hipersplenisme, pemberian transfusi
trombosit biasanya refrakter. Pada beberapa kesempatan dapat terjadi reaksi transfusi
trombosit berupa menggigil, panas, dan reaksi alergi. Dalam situasi demikian, antipiretik
tidak diberikan karena dapat menghambat agregasi dan fungsi trombosit. Pemberian transfusi
TC berulang dapat menyebabkan aloimunisasi terhadap HLA sehingga terjadi refrakter.
Refrakter ditandai dengan tidak adanya peningkatan trombosit meskipun telah dilakukan
transfusi. Dosis yang diberikan pada perdarahan akibat trombositopenia aalah 1 unit/kgBB.
Pada orang dewasa biasanya dipelrukan 5-7 unit. Satu kantung trombosit yang berasal dari
darah lengkap diperkirakan mampu menaikkan trombosit 9-11 ribu/uL. Perhitungan
peningkatan trombosit dapat dihitung dengan rumus,6

Gambar 5. Rumus Perhitungan Peningkatan Trombosit6


Keberhasilan transfusi trombosit dapat dipantau dengan menghitung jumlah trombosit
(CCI) 1 jam pasca transfusi dengan parameter CCI > 7.5-10 x 109/L atau CCI > 4.5 x 109/L
dalam 18-24 jam pasca transfusi.6
3.6 Leukemia Limfoblastik Akut (AML)

10
Leukemia limfoblastik akut (AML) merupakan keganasan dari sel-sel mieloid. AML
yang tidak segera diobati dapat berakibat kematian dalam waktu minggu hingga bulan setelah
diagnosis. Di negara maju seperti Amerika, prevalensi AML berada pada angka 32% dari
total seluruh kasus leukemia. AML lebih umum dijumpai pada pasien dewasa dengan risiko
semakin meningkat secara eksponensial diatas usia 30 tahun. Insidensi AML pada pasien usia
30 tahun adalah 1.8%, pada usia 50 tahun 2.7%, sementara pada usia >65 tahun berkisar
13.7%.7
Sebagian besar kasus AML tidak diketahui etiologinya. Penelitian menunjukkan
beberapa faktor predisposisi yang dapat menyebabkan seorang mengalami AML diantaranya
penggunaan benzene, radiasi ionic, trisomi kromosom 21 (down syndrome), sindrom Bloom,
anemia Fanconi, peggunaan kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat (terutama
ankylating agent atau topoisomerase II inhibitor). AML yang dicetuskan akibat terapi
cenderung memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan AML pada umumnya. 7
Patogenesis AML secara umum adalah adanya blockade maturitas yang menyebabkan
diferensiasi sel-sel myeloid terhenti pada sel blast. Sel blast menjadi terakumulasi di sumsum
tulang dan menyebabkan gangguan hematopoiesis normal sehingga menimbulkan sindrom
kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan sitopenia (anemia, leukopenia dan
trombositopenia). Anemia menyebabkan pasien mudah lelah dan sesak nafas,
trombositopenia menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sementara leukopenia menyebabkan
pasien rentan terkena infeksi oportunis. 7
Tanda dan gejala utama AML adalah rasa lelah, perdarahan, dan infeksi. Perdarahan
muncul dalam bentuk purpura aau petekiae yang umumnya dijumpai pada ekstremitas bawah.
Selain itu, perdarahan juga dapat muncul dalam bentuk epistaksis, perdarahan gusi dan retina.
Perdarahan berat jarang terjadi keculi ada penyakit komorbid seperti DIC. Infeksi yang
umum terjadi berada di daerah tenggorokan, paru-paru, kulit, serta daerah perirectal. Pada
sekitar 50% kasus AML ditemukan leukositosis. Leukositosis yang sangat tinggi (> 100
ribu/mm3) dapat menyebabkan leukostasis, yakni gumpalan leukosit yang dapat menyumbat
aliran pembuluh darah vena ataupun arteri sehingga menyebabkan keluhan sesak nafas, nyeri
dada, priaprismus, hiperurisemia, serta hipoglikemia. Infiltrasi sel blast dapat menimbulkan
leukemia kutis, kloroma, dan infiltrasi kearah meninges. 7
Diagnosis AML ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, morfologi sel, dan pengecatan
sitokimia. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, AML
diklasifikasikan menjadi 8 subtipe yakni M0-M7. Klasifikasi ini dikenal dengan sebutan

11
Klasifikasi FAB (French American British). Pengecatan sitokima yang digunakan adalah
sudab black (SBB) dan mieloperoksidase (MPO). 7

Gambar 6. Klasifikasi FAB pada AML7


Apabila memungkinkan terapi AML akan ditargetkan untuk tujuan kuratif. Tujuan
kuratif berpeluang besar dapat dicapai apabila usia <60 tahun, tanda komorbiditas berat, serta
mmeiliki profil sitogetik yang favorable. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang
maksimal, dilakukan skrining awal untuk mendeteks adanya kemungkinan infeksi serta
ganguanfungsi jantung. pda pasien dengan leukosit pra-terapi yang sanga tinggi (>100
ribu/mm3), dapat dilakukan tindakan leukoparesis emergensi untuk menghindari leukositosis
dan sindrom tumor lisis. Pengobatan pasien AML terdiri dari dua fase, yakni fase induksi da
fase konsolidasi. Fase induksi adalah reigme kemoterapi intensif dengan tujuan eradikasi sel-
sel leukemik sehingga remisi komplit tercapai. AML dikatakan remisi komplit apabila sel
blast <5%. 7
Terapi standar untuk kemoterapi induksi AML adalah terapi standar 7+3 sitarabin
100mg/m2 diberikan dengan infus kontinu selama 7 hari serta daunorubisin 45-60mg/m2/iv.

12
Gambar 7. Kemoterapi pada AML7
3.7 Tuberculosis
Tuberculosis paru merupakan infeksi paru yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis. Pada pendekatan untuk tuberculosis biasanya didapatkan hasil dari anamnesis
berupa demam subfebril, batuk (dapat ditemukan batuk darah), nyeri dada, sesak nafas,
malaise, penurunan berat badan, keringt malam, serta kontak penderita TB. Dari pemeriksaan
fisik bisa didapatkan suhu demam, konjugtiva anemis, berat badan berkurang, auskultasi
nafas bronkial, dapat disertai dengan ronki basah/kasar/nyaring. Pada kasus tuberculosis
dengan infiltrate yang diliptui penebalan pleura, suara nafas yang timbul adalah vesikuler
melemah. Pada kasus tuberculosis dengan kavitas besar dapat ditemukan perkusi hipersonor
ertimpani, serta suara amphorik. 8
Pemeriksaan tambahan yang dapat mendukung diagnosis tuberculosis antara lain LED
meningkat, mikrobiologis, BTA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS, kultur
mycobacterium tuberculosis positif, foto toraks PA ± lateral (dengan hasil menunjukkan
adanya infiltrate, pembesaran KGB hilus/paratrakeal, milier, atelectasis, eusi pleura,
kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, dan atau destroyed lung), imunoserologis, uji tuberculin,
PCR-TB dari sputum, serta pemeriksaan adenosine deaminase pada tuberculosis (di cairan
pleura, pericardial, dan peritoneal). Kriteria positif uji tuberculin ditunjukkan oleh Gambar 8.
Sementara, kriteria positif untuk pemeriksaan adenosine deaminase adalah apabila ditemukan
1000U/L untuk pleural TB, 92u/L untuk peritoneal dan 90U/L untuk efusi pericardial. 8

13
Gambar 8. Kriteria positif untuk uji tuberculin8
Pada pasien tuberculosis, tatalaksana yang diajurkan berupa suportif dan
medikamentosa. Tatalaksana suportif berupa istirahat, berhenti merokok, menghindari polusi,
nutrisi, vitamin, serta tatalaksana komorbiditas. Sementara tatalaksana medikamentosa
berupa obat OAT dengan kategori sebagai berikut: 8

1. Kategori 1: yang termasuk dalam kategori 1 adalah pasien baru yang belum pernah
mendapat terapi OAT atau pernah mendapat OAT sebelumnya selama <1 bulan. Pada
kategori 1, regimen terapi berupa 2HRZE/4HR.pada pasien baru yang diketahui
resisten isoniazid atau berada di lingkungan dengan resistensi isoniazid yang tinggi,
maka regimen pemberian menjadi 2HRZE/4HRE
2. Kategori 2: yang termasuk dalam kategori 2 adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapat terapi OAT. Untuk pasien yang masuk dalam kategori 2, tahapan yang
harus dilakukan adalah,
a. Kultur dan penentuan resistensi OAT atau drug susceptibility test (DST)
b. Apabila hasil DST belum tersedia, maka akan diberikan
2HRZES/1HRZE/5HRE pada,
i. Pasien dengan gagal terapi (sputum BTA atau kultur tetap positif pada
akhir bulan ke-5 pengobatan)
ii. Pasien yang putus berobat (pasien dengan putus berobat >2 bulan
berturut-turut)
iii. Pasien yang kambuh
c. Apabila hasil DST telah keluar, maka pengobatan disesuaikan menggunakan
antibiotik spesifik pathogen
3. Pada beberapa kasus, dapat diindikasikan penggunaan kortikosteroid. Seperti pada
kasus, 8
a. Meningitis TB
b. TB milier dnegan atau tanpa meningitis
14
c. TB dengan pleuritis eksudativa
d. TB dengan pericarditis konstriktiva
e. Manifestasi klinis insufisiensi adrenal karena TB

Adapun dosis untuk masing-masing obat TB beserta efek sampingnya dirangkum oleh
Gambar 9.

Gambar 9. Obat dan dosis OAT8

3.8 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang


dicirikan dengan hiperglikemia kronik. DM terjadi sebagai akibat kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau keduanya. Klasifikasi DM ditunjukkan oleh Gambar 10. 9

15
Gambar 10. Klasifikasi DM9
Pada DM, pendekatan diagnosis yang dapat dilakukan ditunjukkan oleh Gambar 11.
Diagnosis DM didasarkan terhadap kriteria,
1. Gejala klasik DM (polidipsi, polifagi, poliuri) ditambah dengan pengukuran glukosa
plasma sewaktu ≥ 200mg/dL. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Gejala klasik DM ditambah dengan glukosa plasma puasa ≥ 126mg/dL. Puasa pada
pemeriksaan ini didefinisikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
sebelum pemeriksaan dilakukan
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 220mg/dL. TTGO dilakukan menggunakan
standar WHO, yakn penggunaan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa
anhidrat yang dilarutkan di dalam air. 9

16
Gambar 11. Alur algoritma diagnosis DM
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam penegakkan diagnosis DM
diantaranya glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial, HbA1c, profil lipid pada keadaan
puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida), kreatinin serum, albuminuria, urinalisis
(keton, sedimen, dan protein), elektrokardiogram, serta foto rontgen x-ray. 9

3.9 Dispepsia Fungsional


Dispepsia fungsional didefinisikan sebagai kumpulan gejala yang berasal dari
gastroduodenum. Gejala dyspepsia dapat berupa nyeri epigastrum, rasa terbakar, rasa penuh
setelah makan, perasaan cepat kenyang, rasa kembung pada abdomen atas, mual, muntah, dan
berdahak. 10
Berdasarkan kriteria Roma III, dyspepsia fungsional didefinsiikan sebagai adanya satu
atau lebih dari: 10
 Rasa penuh setelah makan
 Perasaan cepat kenyang
 Nyeri ulu hati
 Rasa terbakar di ulu hati
 Tidak ditemukan kelainan truktural lain yang dapat menjelaskan keluhan

17
 Keluhan berlangsung ≥ 3 bulan terus menerus atau dimulai sejak 6 bulan sebelum
diagnosis ditegakkan
Secara umum, dyspepsia dibedakan menjadi dua kategori yakni postprandial distress
syndrome, dan epigastric pain syndrome. Etiologi dyspepsia fungsional bersifat
multifaktorial, seperti keterlambatana pengosongan lambung, hipersensitif aferen visera
terhadap zat asam dan lemak, status inflamasi ringan, predisposisi genetik, serta adanya
rangsang psikis atau emosi. 10
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan dyspepsia fungsional
diantaranya pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, leukosit, gula darah, faal ginjal, tes fungsi
hati, urin lengkap, darah samar feses, dan pemeriksaan lain untuk menyingkirkan
kemungkinan diagnosis banding), EKG, radiologi (foto lambung dan duodenum dengan
kontras), endoskopi bagian atas, serta pemeriksaan helicobacter pylori. 10
Sebelum melakukan diagnosis dyspepsia, hal pertama yang perlu dilakukan adalah
mengidentifikasi ada tidaknya tanda “alarm”. Tanda alarm antara lain, 10
1. Penurunan berat badan
2. Disfagia yang progresif
3. Muntah berulang atau menetap
4. Perdarahan saluran cerna
5. Anemia
6. Demam
7. Mempunyai riwayat keluarga menderita kanker lambung
8. Dyspepsia pertama kali dirasakan pada kasus keganasan
9. Usia >45 tahun atau >50 tahun (pada populasi dengan prevalensi rendah)
Adapun algoritma untuk mendiagnosis dyspepsia fungsional ditunjukkan oleh Gambar 12.

Gambar 11. Algoritma diagnosis dyspepsia fungsional10


18
Tatalaksana yang dapat diberikan diantaranya: 10
1. Psikoterapi suportif atau piskoterapi perilaku
2. Pengaturan diet untuk mencegah pencetus gejala
3. Apabila dyspepsia simptomatik, dapat diberikan antasida, antagonis H2, penghambat
pompa proton (PPI), dan obat prokinetic (metoklopramid, domperidone, cisapride)
4. Dapat diberikan anti cemas atau anti depresan apabila ada ansietas atau depresi
5. Eradikasi helocibacter pylori apabila terbukti ada infeksi
6. Obat relaksan fundus gaster (nitrat, sildenafil, dan sumatriptan)

19
BAB IV
PENGELOLAAN KASUS
4.1 Anemia Gravis ec menorrhagia dan AML
Pada kasus ini, pasien diketahui memiliki anemia karena gejala lemas dan pucat
dengan onset kemunculan gejala berbarengan dengan menorrhagia. Gejala ini didukung
dengan temuan konjungtiva pucat, takikardi, takipnea, kulit pucat, serta mukosa mulut pucat
pada pemeriksaan fisik dan hasil uji laboratorium yang menunjukkan Hb rendah (4.9 g/dL),
hematokrit rendah (14.6%), eritrosit rendah (1.8 juta/uL) MCV rendah (81.1 fl), MCH normal
(27.2pg). Pemeriksaan ini menunjukkan kesan anemia gravis dengan tipe anemia mikrositik
normokrom. Anemia diduga berasal dari perdarahan akut (menorrhagia) yang apabila
disesuaikan dengan teori, akan menghasilkan anemia dengan tipe normositik normokrom.
Namun, pada kasus ditemukan bahwa anemia yang terjadi bersifat mikrositik normokrom.
Mikrositik yang terjadi tidak jauh terdeviasi dari ukuran normal sehingga dapat dianggap
tidak bermakna dan tetap dikategorikan sebagai anemia normositik normokrom. Awitan
anemia yang akut juga mendukung bahwa anemia pada pasien disebabkan oleh proses
perdarahan akut. Selain perdarahan akut akibat menorrhagia, anemia yang terjadi pada pasien
juga diduga erat kaitannya dengan AML yang pasien idap. Sesuai dengan teori, derajat
anemia yang berat dapat disebabkan oleh leukemia akut disamping akibat perdarahan akut.
Kondisi anemia normositik normokrom perlu ditegakkan dengan pemeriksaan
lanjutan berupa hitung retikulosit. Hitung retikulosit dapat menegakkan apakah anemia yang
terjadi bersumber dari suatu proses autoimun, alterasi haemoglobin, perdarahan akut, atau
akibat produksi yang menurun di sumsum tulang.
Penanganan kasus ini dilakukan dengan pemberian transfusi PRC karena saat ini
pasien berada dalam kondisi anemia gravis. Selama, saat, dan sebelum PRC dilakukan,
kondisi pasien harus diobservasi secara berkala melalui pemeriksaan tanda vital. Selama
pemberian PRC, kondisi pasien juga harus dimonitor berkala untuk melihat ada tidaknya
reaksi transfusi yang dapat membahayakan. Keberhasilan proses transfusi kemudian dapat
dievaluasi baik secara klinis maupun secara laboratorium melalui pemeriksaan DPL ulang.
4.2 Trombositopenia ec AML
. Pada kasus ini, pasien diketahui mengalami menorrhagia yang diduga erat kaitannya
dengan kondisi trombositopenia akibat AML yang pasien idap. Dugaan tersebut didukung
oleh hasil pemeriksaan fisik yang menemukan adanya tiga bintik blood clot pada mukosa
mulut kiri bawah dekat gigi molar III pasien yang mengindikasikan adanya perdarahan
1
mukosa spontan minimal yang tidak disadari oleh pasien. Dugaan juga semakin diperkuat
dengan adanya hasil lab yang mengindikasikan trombositopenia dengan jumlah trombosit 26
ribu U/L.
Penanganan kasus trombositopenia dapat dilakukan dengan transfusi TC, mengingat
pasien memenuhi indikasi untuk pemberian transfusi TC yakni kadar trombosit <50 ribu/uL
yang disertai dengan perdarahan aktif (menorrhagia). Transfusi TC yang akan diberikan
sebanyak 6 unit sesuai dengan rumus pemberian transfusi TC yakni 1 unit/kgBB. Selama
pemberian transfusi, keadaan pasien harus dimonitor ketat untuk melihat ada tidaknya reaksi
transfusi yang dapat membahayakan. Keberhasilan transfusi kemudian dievaluasi melalui
pemeriksaan DPL ulang serta perbaikan klinis tanda perdarahan.
4.3 AML-M1
Pada pasien ini, diketahui pasien telah didiagnosis dengan AML-M1 3 bulan SMRS
akibat adanya gejala bintik merah dan lebam tanpa trauma, keringat banyak saat malam hari,
penurunan berat badan drastic tanpa perubahan pola makan, hasil lab leukosit tinggi, serta
hasil BMP menyatakan AML-M1. Diagnosis tersebut sesuai dengan teori dimana tanda dan
gejala utama AML berupa rasa lelah dan perdarahan. Diagnosis AML-M1 didukung dengan
adanya tanda-tanda bisitopenia pada pemeriksaan fisik berupa konjungtiva pucat, kulit pucat,
mukosa bibir dan mulut pucat, serta tanda perdarahan spontan minimal pada mukosa mulut
berupa tiga titik blood clot yang tidak disadari pasien. Diagnosis juga semakin didukung
dengan hasil pemeriksaan penunjang yang menunjukkan Hb rendah (4.9g/dL), hematokrit
rendah (14.6%), eritrosit rendah (1.8 juta/uL), trombosit rendah (26 ribu/uL), leukosit sangat
tinggi (106.01/uL), blas 88%.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan kepada pasien adala pemberian regimen
standar 7+3 karena secara teori pasien masuk ke dalam kategori favorable. Pasien memiliki
usia < 60 tahun (usia pasien 36 tahun), tidak memiliki komorbiditas, serta memiliki profil
sitogenetik yang favorable. Oleh karena itu, terapi yang akan diberikan adalah terapi standar
7+3: kemoterapi induksi dengan sitarabin 100mg/m3 diberikan secara infus kontinu selama 7
hari dan danorubisin 45-60mg/m2/hari iv selama 3 hari. Meskipun demikian, terapi baru akan
dilakukan ketika kondisi klinis pasien sudah stabil.
4.4 Tuberculosis dd/ pneumonia
Pada pasien didapatkan riwayat batuk kronik selama 3 bulan SMRS yang disertai
dengan dahak berwarna fluktuatif kuning, hijau, berdarah, dan bening. Pasien juga memiliki
riwayat penurunan berat badan dan keringat malam. Dari pemeriksaan fisik didapatkan suara
nafas vesikuler di kedua lapang paru tanpa ronki ataupun wheezing. Pada pemeriksaan
2
penunjang didapatkan hasil infiltrate di lapangan tengah paru kiri. Secara teori, terdapat
beberapa gejala pada pasien yang sesuai dengan gejala tuberculosis yakni adanya batuk
kronik dengan dahak yang beberapa kali terdapat bercak darah, keringat malam, serta
penurunan berat badan. Namun riwayat kontak TB tidak diketahui dan beberapa gejala TB
memiliki kesamaan dengan gejala yang muncul pada AML sehingga penegakkan diagnosis
untuk tuberculosis belum kuat. Pada pemeriksaan fisik pasien juga tidak ditemukan adanya
kelainan yang mendukung kearah diagnosis TB seperti auskultasi nafas bronkial, dapat
disertai dengan ronki basah/kasar/nyaring, perkusi hipersonor atau suara amphorik. Infiltrat
pada paru juga belum spesifik untuk mendiagnosis TB karena infiltrat juga dapat ditemukan
pada penyakit paru lain seperti pneumonia.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan untuk menegakkan
tuberculosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan yang dianjurkan antara lain
induksi sputum, pewarnaan BTA, serta GeneXpert. Penatalaksanaan baru akan dilakukan
setelah diagnosis pasti telah ditegakkan.
4.5 Hiperglikemia susp DM tipe 2
Pada pasien tidak ditemukan adanya gejala khas untuk DM seperti polidipsi, poliuri
dan polifagi, namun dari hasil GDS didapatkan tinggi (224mg/dL). Sesuai dengan algoritma
penegakkan diagnosis DM, pada pasien tanpa gejala DM dengan kadar GDS ≥ 200mgdL,
perlu dilakukan pemeriksaan GDS atau GDP ulang atau dengan pemeriksaan HbAIc.
Penatalaksanaan DM baru akan dilakukan apabila diagnosis DM telah ditegakkan.
4.6 Dispepsia Fungsional
Pada pasien, ditemukan gejala-gejala yang mengarah ke dyspepsia fungsional seperti
nyeri ulu hati yang telah berlangsung ≥ 3 bulan. Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan nyeri
tekan epigastrium sehingga kecurigaan mengarah pada dyspepsia fungsional jenis epigastric
pain syndrome. Pada pasien didapatkan beberapa tanda alarm seperti penurunan berat badan,
muntah berulang atau menetap, anemia, demam, serta dyspepsia pertama kali dirasakan pada
kasus keganasan. Oleh karena itu, berdasarkan algoritma penentuan dyspepsia fungsional,
pemeriksaan lanjutan yang disarankan berupa endoskopi untuk mengeksklusi penyebab
organik dari dyspepsia. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan untuk
mencari etiologi seperti H. pylori yang salah satunya dapat diperiksa melalui urea breath test.
Untuk penatalaksaan saat ini, pasien dapat diberikan PPI berupa omeprazole 1x20mg PO
untuk mengurangi gejala dyspepsia yang dirasakannya.

3
4
REFERENSI
1. Da Silva RM, Machado CA. Clinical evaluation of the paleness: agreement between
observers and comparison with hemoglobin levels. Rev Bras Hematol Hemoter. 2010;
32(6): 444-8
2. Cohen O, Brian D, Leonard P. Pallor. Br J Med. 2015; 76(10): C146-9s
3. Bakta, I Made. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Dalam: Setiati S, Alwi I,
Simandibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p.2575-81.
4. J. S. Barkley,K. L. Kendrick, K. Codling, S. Muslimatun, andH. Pach´on. Anaemia
prevalence over time in Indonesia: estimates from the 1997, 2000, and 2008 Indonesia
Family Life Surveys. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, vol. 24, no. 3, pp.
452–455, 2015.
5. Djoerban, Zubairi. Dasar-dasar Transfusi. Dalam: Setiati S, Alwi I, Simandibrata M,
Setiyohadi B, Syam AF, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing; 2014. p. 2839-43
6. Haroen, Harlinda. Darah dan Komponen: Komposisi, Indikasi dan Cara Pemberian.
Dalam: Setiati S, Alwi I, Simandibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, et al. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 2844-4.
7. Kurnianda J. Leukemia Mieloblastik Akut. Dalam: Setiati S, Alwi I, Simandibrata M,
Setiyohadi B, Syam AF, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing; 2014. p. 2671-7
8. Tuberkulosis Paru. Dalam: Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Thapary DL.
Penatalaksanaan di bidang ilmu penyakit dalam. Edisi ke 1. Jakarta: Interna
Publishing; 2015.p. 794-801
9. Diabetes Melitus. Dalam: Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Thapary DL.
Penatalaksanaan di bidang ilmu penyakit dalam. Edisi ke 1. Jakarta: Interna
Publishing; 2015.p. 47-59
10. Dispepsia Fungsional. Dalam: Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Thapary DL.
Penatalaksanaan di bidang ilmu penyakit dalam. Edisi ke 1. Jakarta: Interna
Publishing; 2015.p. 680-4

Anda mungkin juga menyukai