Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

ECOLOGY OF TEACHING
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Anak, Keluarga, dan
Maysrakat
Dosen Pengampu:
Dr. Puji Yanti Fauziah, S.Pd., M.Pd

Disusun oleh:
Dita Salsavira Cahaya Ningrum (23012050025)
Zhuldiz Anay (23012050037)
Kelas B

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,


DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN & PSIKOLOGI
S3 PENDIDIKAN DASAR
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
limpahan rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah kami
dengan judul “Ecology Of Teaching” dengan tepat waktu dan tanpa halangan suatu
apapun.
Kami sebagai penyusun menyadari bahwa dengan bantuan sejumlah pihak
kami dapat menyelesaikan makalah ini, maka pada kesempatan ini kami ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa;
2. Dosen mata kuliah Kajian Anak, Keluarga, dan Maysrakat Bapak Dr. Puji
Yanti Fauziah, S.Pd., M.Pd. yang telah memberikan banyak panduan bagi
penyusunan makalah ini; dan
3. Teman-teman Kelas B Tahun 2023 Doktoral Pendidikan Dasar UNY yang
telah ikut berpartisipasi dalam penyajian makalah ini.
Kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua
pihak sehingga dapat menambah wawasan dan sebagai evaluasi diri dalam
penyusunan makalah kami selanjutnya. Kami juga berharap semoga makalah kami
dapat memberikan informasi kepada pembaca serta dapat dijadikan referensi
bacaan dalam Ecology Of Teaching.

Yogyakarta, 18 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3
A. Peran Guru sebagai Agen Sosialisasi ...................................................................... 3
B. Karakteristik Guru dan Pembelajaran Siswa........................................................... 6
C. Student characteristics and Teacher Interaction .................................................... 14
D. Macrosystem Influences on Teaching................................................................... 25
E. Mesosystem Influences on Teaching .................................................................... 28
BAB III............................................................................................................................. 29
PENUTUP........................................................................................................................ 29
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 29
B. Saran ..................................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 32

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ecology of teaching adalah suatu pendekatan pendidikan yang mengacu
pada hubungan manusia dengan lingkungan dan cara pengajaran yang mengacu
pada konsep ekologi. Ini merupakan upaya untuk meningkatkan kemahiran dan
pendidikan yang berkaitan dengan lingkungan, baik itu lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial. Ecology of teaching mencakup pendidikan tentang peranan
manusia dalam mengelola lingkungan, serta mengenal dan menghargai
kepentingan lingkungan untuk kehidupan manusia. Ini juga meliputi pendidikan
tentang konsep ekologi, serta penggunaan sumber daya alam yang terbaik dan
efisien. Pendidikan ini juga mencakup penggunaan teknologi dan media yang
efektif dalam pengajaran dan pembelajaran, serta pendekatan pembelajaran yang
berkaitan dengan lingkungan, seperti penggunaan lingkungan sekolah sebagai
sumber belajar dan pengalaman praktis.
Ecology of teaching juga mencakup pendidikan tentang kepentingan
ekologi dalam kehidupan sehari-hari, seperti penggunaan bahan bakar alternatif,
pengurangan penggunaan sumber daya alam, dan pengurangan dampak negatif
terhadap lingkungan. Ini juga meliputi pendidikan tentang konsep ekologi dalam
kehidupan sehari-hari, seperti penggunaan bahan bakar alternatif, pengurangan
penggunaan sumber daya alam, dan pengurangan dampak negatif terhadap
lingkungan. Pendidikan ini juga mencakup penggunaan pendidikan yang efektif
dan efisien, seperti pendidikan yang bermakna, pendidikan yang terintegrasi, dan
pendidikan yang terbasis pada pemahaman dan pengalaman siswa. Ini juga
meliputi pendidikan yang mengacu pada kepentingan ekologi dalam kehidupan
sehari-hari, seperti penggunaan bahan bakar alternatif, pengurangan penggunaan
sumber daya alam, dan pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran guru sebagai agen sosialisasi?
2. Bagaimana karakteristik guru dan interaksi guru?
3. Bagaimana karakteristik siswa dan interaksi guru?
4. Bagaimana pengaruh sistem makro pada pengajaran?
5. Bagaimana pengaruh sistem mikro terhadap pengajaran?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui peran guru sebagai agen sosialisasi
2. Untuk mengetahui karakteristik guru dan interaksi guru
3. Untuk mengetahui karakteristik siswa dan interaksi guru
4. Untuk mengetahui pengaruh sistem makro pada pengajaran
5. Untuk mengetahui pengaruh sistem makro pada pengajaran

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peran Guru sebagai Agen Sosialisasi


Lembaga pendidikan memiliki peran dalam pengembangan potensi-potensi
siswa salah satunya melalui sekolah. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk
masyarakat dalam menjalani kehidupan baik secara individual maupun sosial
(Siahaan et al., 2023; Yuliana et al., 2023). Sekolah sebagai suatu organisasi
kerja yang terdiri dari beberapa kelas sehingga dalam menjalankan peranannya
maka diperlukan tenaga ahli dalam bidang mengajar seperti guru (Salmiah et al.,
2021; Suryana & Iskandar, 2023). Guru merupakan tongkat estafet dalam
pelaksanaan proses pendidikan, dimana guru memiliki peranan penting untuk
membantu siswa dalam meraih tujuan kehidupan atau cita-cita bagi siswa
(Aviatin et al., 2023; Fitriani et al., 2022). Dengan demikian, guru seyogyanya
memiliki perilaku dan kemampuan dalam melaksanakan tugasnya secara baik
dan professional. Banyak kompetensi yang harus dikuasai oleh guru salah
satunya adalah dengan mencipatakan lingkungan sosial kelas yang efektif
khusus bagi siswa sekolah dasar (Aditiya & Fatonah, 2022; Al-Kansa et al.,
2023).
Lingkungan sosial kelas merupakan salah satu komponen yang ada pada
proses pembelajaran dimana guru menjadi pemangku kepentingan dalam
mengatur, mengelola, memimpin, dan melaksanakan suatu pembelajaran
(Trianah & Sahertian, 2020). Pada pengertian ini dapat dikaitkan dengan
pengelolaan kelas dan hal ini berbeda dengan pengelolaan pembelajaran (Ayu et
al., 2023; Khotimah & Sukartono, 2022; Wirda et al., 2022). Jika pengelolaan
pembelajaran menekankan pada kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi, sedangkan pengelolaan kelas ini lebih berkaitan dengan upaya-upaya
menciptakan dan mempertahankan kondisi optimal saat siswa berada di
lingkungan kelas. Adapun hal-hal ini juga mencakup bagaimana interaksi guru
dengan siswa dan interaksi siswa dengan siswa, selain daripada itu penetapan
norma-norma dan aturan di dalam kelas (Meri & Mustika, 2022).

3
Sebagai guru maka bukan hanya memikirkan bagaimana perencanaan
pembelajaran yang berkualitas, namun juga memikirkan bagaimana suatu iklim
dalam lingkungan sosial di kelas dapat diupayakan dengan efektif dan efesien.
Guru perlu mempelajari tentang bagaimana aturan dan tradisi yang membawa
suatu kebiasaan di dalam kelas (Manullang et al., 2023; Suciadrianti et al., 2023).
Hal ini akan sangat penting di pelajari manakala terkadang siswa mengalami
kegagalan dalam memahami apa yang dipelajarinya dari seorang guru, pengaruh
pada sistem penilaian yang diberlakukan, dan implementasi materi pada
kehidupan nyata bagi siswa (Adnyana & Yudaparmita, 2022; Khasanah et al.,
2023). Oleh sebab itu, lingkungan sosial kelas dapat dibentuk dengan adanya
interaksi yang baik antara guru dengan siswa ataupun siswa dengan siswa. Guru
dengan siswa saling bekerjasama untuk beradaptasi pada pembaharuan yang ada
untuk menuntut adanya aturan-aturan di dalam kelas sehingga menjadi sebuah
kebiasaan positif dan memberikan kebermanfaatan bagi siswa saat melakukan
interaksi sosial di masyarakat (Gampu et al., 2022; Isnaeni & Ningsih, 2021).
Pada beberapa kasus, sswa diminta untuk mengingat kembali pendidikan
mereka di sekolah dasar, menengah, dan menengah atas serta mengingat
karakteristik guru terbaik dan terburuk mereka. Walaupun kata-katanya berbeda-
beda, guru yang “terbaik” selalu menarik, kompeten, penuh perhatian, memberi
semangat, dan fleksibel, namun memiliki standar yang menuntut: guru yang
“terburuk” adalah guru yang membosankan, tidak kompeten, menjaga jarak,
merendahkan, dan kaku dengan standar yang tidak fleksibel. atau tidak konsisten
dengan standar yang longgar. Setelah mengeksplorasi alasan-alasan pilihan
siswa, pesannya menjadi cukup jelas: Guru yang "terbaik" membuat siswanya
ingin belajar dan memperkuat upaya mereka, sementara "guru yang paling buruk
membuat siswanya tidak tertarik".
Pada survei informal saya tentang guru yang baik berhubungan dengan
penelitian formal tentang teladan yang efektif. Menurut Albert Bandura (1986,
1989), model yang ditiru anak-anak dianggap hangat dan memiliki prestise,
kendali atas sumber daya, dan berpotensi memperkuat atau menghukum
perilaku. Penelitian selanjutnya mengkonfirmasi hal ini. Siswa kelas dasar

4
melaporkan bahwa guru yang baik adalah guru yang penuh perhatian, responsif,
dan merangsang (Berns, 2013).
Peran guru sebagai agen sosialisasi memiliki hubungan reksional dengan
siswa dan dampaknya terhadap pembelajaran, siswa datang ke sekolah dengan
kombinasi unik antara latar belakang keluarga dan budaya, gaya belajar,
kemampuan, motif, dan minat. Guru juga datang ke sekolah dengan membawa
kombinasi unik dari latar belakang keluarga dan budaya serta kemampuan dan
karakteristik tertentu, seperti gaya mengajar, cara manajemen, dan harapan.
Interaksi siswa-guru terjadi di lingkungan kelas yang dapat meningkatkan atau
mengurangi pembelajaran.
Pengaruh sosialisasi sekolah yang paling kuat terletak pada mereka yang
menerjemahkan tujuan program menjadi tindakan, yaitu para guru (Berns,
2013). Guru menyediakan lingkungan untuk belajar anak. Mereka memahami
kebutuhan, minat, dan kemampuan anak serta dapat merasakan empati terhadap
ketakutan anak akan kegagalan. Guru dapat mendorong anak-anak untuk
bereksplorasi, memuaskan keingintahuan alami mereka, dan menyukai
pembelajaran sehingga sangat menyukainya sehingga menjadi bagian dari hidup
mereka selamanya. Guru juga memainkan peran utama dalam membantu anak-
anak belajar menghadapi posisi otoritas untuk bekerja sama dengan orang lain,
untuk mengatasi masalah, dan untuk mencapai kompetensi. Guru bertanggung
jawab memilih materi yang relevan bagi pelajar, mengelola dinamika kelompok
di kelas, dan berinteraksi secara individu dengan setiap anak (Berns, 2013).
Lebih khusus lagi, guru yang efektif:
1) Atur lingkungan kelas untuk menyediakan waktu dan kesempatan
untuk belajar. Melibatkan siswa dalam merencanakan kegiatan
belajar yang memotivasi.
2) Komunikasikan harapan yang tinggi terhadap keberhasilan siswa.
3) Menyesuaikan kegiatan pembelajaran dengan kebutuhan dan
kemampuan siswa.
4) Pastikan keberhasilan siswa dengan memberikan bimbingan dan
dukungan seiring kemajuan mereka melalui kurikulum.

5
Hubungan guru-murid membentuk pengalaman sosial yang berbeda bagi
setiap anak dan, oleh karena itu, mengarah pada hasil perkembangan yang
berbeda. Salah satu penjelasannya berkaitan dengan persepsi, sebuah konstruksi
biologis yang melibatkan interpretasi rangsangan oleh otak. Faktor-faktor seperti
kedewasaan, perhatian, pengalaman masa lalu, dan emosi mempengaruhi cara
siswa memandang sesuatu, peristiwa, dan interaksi. Persepsi seorang guru, dan
konsekuensi penyajian informasi, juga berpengaruh dalam pembelajaran siswa.

B. Karakteristik Guru dan Pembelajaran Siswa


Guru yang berusaha bekerja sama dengan setiap anak dan memahami
dinamika kelompok akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang
sukses dan bermanfaat. Penelitian menemukan bahwa guru yang sukses atau
efektif adalah mereka yang hangat, antusias, dan murah hati dalam memuji, serta
memiliki status yang tinggi. Selain itu, guru yang sukses berkomunikasi dengan
baik dan responsif terhadap siswa. Sebaliknya, guru yang gagal atau tidak efektif
bersifat menyendiri, kritis, dan negatif. Mereka cenderung berkomunikasi
dengan cara yang sulit dipahami siswa dan tidak tanggap terhadap kebutuhan
siswa. Guru yang hangat dan ramah dalam hubungan mereka dengan anak- anak
cenderung mendorong perilaku yang menyenangkan daripada agresif dan
konstruktif, sikap teliti terhadap tugas sekolah (Berns, 2013).
Ketika guru berkomunikasi dengan anak, pembelajaran dipengaruhi; ketika
guru mengajukan pertanyaan, verbalisasi diperoleh dari anak. Misalnya, gaya
verbal guru terbukti berdampak pada perkembangan keterampilan bahasa pada
anak-anak prasekolah (Smith, 2001). Guru yang menggunakan deskripsi verbal
yang luas dan mendorong anak untuk berkomunikasi satu sama lain berdampak
pada peningkatan keterampilan verbal siswanya. Ditemukan juga bahwa guru
yang menggunakan penguatan (pujian verbal, senyuman, sentuhan) dapat
mendorong pembelajaran tugas-tugas tertentu.
Hubungan guru-anak merupakan faktor penting dalam keberhasilan
sekolah. Sampel anak taman kanak-kanak hingga kelas delapan yang memiliki
hubungan negatif dengan guru sejak dini, ditandai dengan konflik dan

6
ketergantungan, memiliki hasil akademik dan perilaku yang buruk (Berns,
2013).
a) Guru sebagai Pemimpin
Guru adalah panutan dalam pembelajaran dan perilaku. Dampak
guru terhadap sosialisasi dan keberhasilan dalam memotivasi belajar siswa
dijelaskan oleh penelitian klasik Bandura dan Walters (1963) tentang
modeling yang telah disebutkan sebelumnya: “Model yang rews Ang,
prestise atau kompeten, yang mempunyai status tinggi, dan yang
mempunyai kendali sumber daya yang lebih bermanfaat lebih mudah ditiru
dibandingkan model yang tidak memiliki kualitas ini".
Siswa yang meneladani gurunya akan mengambil perilaku dan sikap
halus tentang pembelajaran. Oleh karena itu, pengaruh terpenting terhadap
prestasi siswa adalah guru yang kompeten. Lebih khusus lagi, guru yang
kompeten adalah guru yang berkomitmen untuk bekerja, merupakan
manajer kelas yang efektif, merupakan teladan positif yang dapat
diidentifikasi oleh siswa, antusias dan hangat, terus berupaya untuk
perbaikan diri dalam mengajar, memiliki keterampilan dalam hubungan
antar manusia, dan dapat menyesuaikan keterampilannya dengan konteks
tertentu.
Guru mengarahkan, membimbing, dan memberi contoh kepada
siswa, mereka adalah pemimpin. Guru menggunakan gaya kepemimpinan
yang berbeda untuk mencapai tujuan mereka. Demokratis, dan laissez-faire
(kebijakan membiarkan orang berbuat sesukanya, permisif) pada tiga
kelompok anak laki-laki berusia 10 tahun. Anak laki-laki tersebut
ditugaskan secara acak ke salah satu dari tiga kelompok rekreasi sepulang
sekolah yang terlibat dalam kegiatan kerajinan tangan. Kelompok tersebut
dipimpin oleh tiga orang dewasa yang berperilaku berbeda. Dalam situasi
otoriter, pemimpin menentukan kebijakan kelompok, memberikan arahan
langkah demi langkah, mendiktekan tugas khusus setiap anak laki-laki,
menugaskan anak untuk bekerja satu sama lain, bersikap subyektif dalam
memuji pekerjaan anak, dan menjauhi kelompok tersebut. partisipasi

7
kelompok. Dalam situasi demokrasi, pemimpin mengizinkan anak laki-laki
untuk berpartisipasi dalam menetapkan kebijakan kelompok, memberi anak
laki-laki gambaran umum tentang kebijakan kelompok langkah-langkah
yang terlibat dalam proyek, menyarankan prosedur alternatif, mengizinkan
mereka bekerja dengan siapa pun yang mereka inginkan, mengevaluasi
mereka secara adil dan obyektif, dan mencoba menjadi anggota kelompok.
Dalam situasi laissez-faire, pemimpin memberikan kebebasan penuh
kepada kelompok untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan,
memberikan materi atau informasi hanya jika diminta, dan menahan diri
untuk tidak mengomentari pekerjaan anak laki-laki.
Gaya kepemimpinan terbukti mempunyai pengaruh yang pasti
terhadap interaksi dalam masing-masing kelompok. Anak laki-laki yang
berada dalam situasi otoriter menunjukkan agresi yang jauh lebih besar
terhadap satu sama lain dan jauh lebih tidak puas dibandingkan anak laki-
laki yang berada dalam kondisi demokratis. Mereka juga menghasilkan
karya lebih banyak dibandingkan dua kelompok lainnya. Anak laki-laki
dalam kelompok demokratis menunjukkan lebih sedikit rasa permusuhan,
lebih banyak kesenangan, dan terus bekerja bahkan ketika pemimpinnya
meninggalkan ruangan, hal ini tidak berlaku pada dua kelompok lainnya.
Terakhir, kelompok laissez- faire hanya mencapai sedikit pencapaian; anak
laki-laki sering kali merasa bosan dan menghabiskan banyak waktu untuk
"bermain-main".
Seorang guru yang jelas-jelas merupakan pemimpin dan otoritas
serta yang mengarahkan kelas ke arah tujuan tertentu (pengajaran langsung)
akan meningkatkan prestasi. Dalam lingkungan belajar ini, sedikit
penekanan ditempatkan pada diskusi, ide-ide siswa, pembelajaran
penemuan, atau jenis pengajaran tidak langsung lainnya. UU NCLB dengan
standarisasi dan kriteria penilaiannya menyebabkan banyak guru
merumuskan kembali gaya mengajarnya.
Siswa lebih menyukai pengajaran tidak langsung. Guru yang efektif
adalah guru yang menjadi mitra siswa dalam pembelajaran; mereka dapat

8
memotivasi siswa untuk merasa ingin tahu dengan mengajukan pertanyaan
yang sesuai. Misalnya, daripada memberi ceramah dan meminta siswa
membuat catatan, guru mengajukan pertanyaan dan menyarankan topik
untuk dijelajahi; siswa menemukan jawaban dengan melakukan penelitian.
Peran kepemimpinan guru sebagai mentor yang memandu
partisipasi. Misalnya, ketika seorang guru menunjukkan kepada seorang
anak bagaimana agar lebih sukses dalam mengerjakan soal-soal matematika
(penjumlahan, pengurangan) dengan menuliskan angka-angka dalam kotak
pada kertas grafik, guru tidak hanya membimbing partisipasi anak tetapi
juga memberikan mendukung untuk sukses dari satu tingkat ke tingkat
berikutnya. Ini dikenal sebagai "perancah", seperti yang mungkin Anda lihat
pada bangunan yang sedang dibangun. Dengan demikian, guru
memfasilitasi kapasitas anak untuk mencapai potensi maksimalnya. Lev
Vygotsky (1978) menyebut ruang antara apa yang dapat dilakukan
pembelajar secara mandiri dan apa yang dapat dilakukannya sambil
berpartisipasi dengan orang lain yang lebih berkemampuan sebagai zona
perkembangan proksimal (ZPD). Guru yang efektif adalah guru yang peka
terhadap zona perkembangan siswa dan memberikan aktivitas mandiri dan
kolaboratif yang sesuai untuk meningkatkan pembelajaran.
b) Guru sebagai Manajer
Ruang kelas seringkali dapat mensimulasikan dunia nyata, namun
sulit untuk merealisasikannya. Dengan demikian, guru sebaiknya
melaksanakan pembelajaran kontekstual yang melibatkan aktivitas yang
sesuai dengan keseharian siswa. Namun demikian, pembelajaran secara
kontekstual ini tentu akan membutuhkan pendalaman terstruktur dari setiap
mata pelajaran sehingga faktanya masih banyak guru yang hanya berfokus
pada sumber, bahan, dan media ajar yang telah tersedia (Dwinata et al.,
2022).
Dalam pemahaman ini, maka kompromi menjadi suatu hal yang
penting saat memberikan pembelajaran kontekstual bagi siswa. Karena pada
dasarnya setiap siswa memiliki keunikan dan peminatan yang berbeda pada

9
setiap pelajaran yang diajarkan sehingga guru juga tidak bisa memaksakan
kehendak hanya karena ingin merealisasikan suatu pelajaran (Zuleni, 2023).
Sebagai contoh, dalam mata pelajaran IPS guru menghendaki siswa untuk
mengamati segala suatu peristiwa sejarah yang telah terjadi melalui
kunjungan ke museum. Bagi sebagian siswa pembelajaran tersebut akan
sangat menyenangkan untuk dipelajari namun pada sebagian lainnya siswa
akan menganggap kegiatan tersebut membosankan. Dengan demkian, hal
ini akan menimbulkan permasalahan dalam pembelajaran. Oleh karena itu,
tidak mudah untuk mentransfer pembelajaran di kelas ke lingkungan di luar
kelas.
Pelajaran-pelajaran yang saat ini diajarkan kepada siswa masih
terlalu sulit dan kurang merelevansi dengan kehidupan nyata siswa. Oleh
sebab itu, siswa hanya mampu mengingat pembelajaran di kelas saja
selebihnya ia akan lupa cara mengaplikasikannya (Nurmahanani, 2023;
Sari, 2023). Dengan demikian, guru dapat menyiapkan alternative lain
untuk menkonkretkan dunia nyata ke dalam ruang kelas adalah dengan
menyediakan dan menggunakan bahan atau media ajar yang di praktikkan
ke dalam proses pembelajaran. Mengajak siswa untuk belajar di luar kelas
untuk menciptakan suasana dan pengalaman baru bagi siswa.
Pandangan siswa terhadap proses pembelajaran yang diberikan guru
akan mempengaruhi sistematika lingkungan sosial kelas. Hal ini disebabkan
adanya dua factor yang mempengaruhinya yaitu, kepedulian dan
kompetensi guru terhadap siswa. Dalam kompetensi, siswa menghargai
guru yang berpengetahuan luas, antusias terhadap mata pelajaran, termapil
dalam menjelaskan sesuatu dan mampu menyesuaikan diri secara fleksibel
(Fox, 2005). Dengan demikian, siswa menyukai guru yang memiliki proses
pembelajaran menyenangkan dan menarik, hal ini dikarenakan siswa
sekolah dasar berada pada tahapan operasional konkret sehingga perlu
adanya aktivitas yang melibatkan siswa dalam suatu pelajaran yang juga
berbantuan bahan dan media ajar relevan dengan siswa.

10
Pada aspek kepedulian, siswa menghargai guru yang adil, penuh
perhatian, dan yang menghargai individu (Fox, 2005). Siswa memerlukan
perhatian guru di dalam kelas, sehingga siswa sangat menyukai guru yang
membantu mereka dalam kesulitan belajar, meluangkan waktu untuk
mengenal mereka secara individu dan peduli pada komunikasi dengan siswa
saat berada di luar atau di dalam kelas. Guru dianjurkan tegas namun tetap
baik hati dan mampu membawa suasana di kelas. Artinya, jika guru senang
mengajak siswa bercanda akan membawa pendekatan secara psikologis
dengan siswa sehingga siswa merasa aman dan nyaman di dalam kelas.
Siswa akan memberikan pujian pada guru yang menurut mereka
menghormati siswa, memiliki waktu untuk mereka, dan mengajar dengan
baik dan menyenangkan. Ruang kelas adalah tempat yang ramai dan penting
bagi guru memperhatikan tiap individu sehingga siswa akan merasa nyaman
duduk di kelas sehingga siswa tidak merasa beban dalam belajar.
Namun demikian, terdapat fakta lain bahwa jika siswa menganggap
seorang guru yang menerapkan pendisiplinan lemah maka mereka kurang
memberikan rasa hormat kepada guru atau terlihat menganggap enteng
dengan proses pembelajaran yang dilakukan guru. Hal ini tentu menjadi
kesenjangan bagi guru sehingga guru juga diperlukan tegas dan disiplin
dalam aturan yang telah disetujui di lingkungan sosial kelas. Selain daripada
itu, siswa juga berpandangan bahwa segala suatu hal dalam kegiatan
pembelajaran merupakan tanggung jawab guru bukan tanggung jawab
antara guru dan siswa. Hal ini tentu menjadi suatu konsentrasi yang perlu
dibenahi dimana guru dapat membangun lingkungan sosial di kelas dengan
efektif dan efesien (Chasanah & Ningsih, 2023).
Terdapat beberapa implikasi yang paling penting untuk diterapkan
guru, yaitu: 1) guru harus menjelaskan sejelas mungkin kepada siswa
tentang tujuan dari setiap tugas yang diberikan dan guru harus menjelaskan
tujuan pembelajaran, 2) memberikan penilaian yang tepat dan akurat
terhadap hasil pekerjaan siswa, 3) melakukan pengelolaan kelas dengan
menggunakan aturan dan rutinitas yang sesuai dengan norma-norma yang

11
berlaku, 4) lakukan pengamatan dan rutinitas yang dilakukan semua siswa
dengan ini maka guru dapat menjaga ketertiban kelas secara efektif, 5) jika
terdapat perubahan, maka guru harus menjelaskan dan memperkenalkan
rutinitas baru secara rinci dan mendetaiil dan mulai mempraktikkan secara
perlahan agar siswa juga mudah beradaptasi, 6) bagi guru jangan
mengharapkan bahwa siswa akan dengan cepatnya mengalami peningkatan
intelektual (Fox, 2005).
Ada perbedaan cara siswa dalam menyikap respon dukungan guru,
hal ini berkaitan dengan perbedaan gender dimana anak laki-laki pada
umumnya cenderung mengaitkan keberhasilan belajarnya merupakan hasil
usaha mereka sendiri dan menyalahkan guru untuk setiap kegagalannya
(Novanto et al., 2023). Namun demikian, anak perempuan cenderung
menyalahkan diri sendiri untuk hasil yang buruk dan membandingkan
keberhasilan dengan teman sebaya atau standar pembelajaran yang baik.
Oleh karena itu, anak perempuan secara umum kurang berdaya dalam
menghadapi kesulitan, sedangkan anak laki-laki perlu belajar bertanggung
atas perhatian dan pekerjaan mereka yang kurang baik.
Guru yang memiliki banyak beban kerja akan menghadapi beberapa
konsekuensi, salah satunya adalah guru kurang memfokuskan pengajaran di
kelas sehingga guru kurang ada waktu untuk mendengarkan permasalahan
dan melakukan sesuatu yang efektif untuk siswa sehingga jika terdapat
permasalahan di kelas seperti perundungan antar siswa, maka sebaiknya
guru memberikan perhatian dan waktu yang lebih untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Dengan demikian, siswa di dalam lingkungan sosial
kelasnya sangat membutuhkan pengendalian kelas yang diatur langsung
oleh gurunya dan memahami psikososial dari tiap individu siswa sehingga
siswa yang mengalami kesulitan emosional atau kesulitan belajar akan
merasa terfasilitasi oleh guru.
Gaya mengajar Pak Grazer menjadi motivasi bahwa dialah
sebenarnya orang yang mendorong saya untuk menulis. Sebaliknya, Pak
Moore meredam keinginan saya untuk terus belajar sains. kemudahan?

12
teknik manajemen kelas dan konsekuensi pembelajaran siswa. Penelitian
klasiknya menunjukkan bahwa kunci keberhasilan pengelolaan terletak
pada tindakan preventif, bukan konsekuensial. Perbedaan antara manajer
kelas yang sukses dan gagal terletak pada perencanaan dan persiapan
pengajaran, sehingga kurangnya perhatian dan kebosanan dapat dicegah.
Kounin menemukan bahwa kurangnya perhatian dan perilaku buruk
siswa sering kali dikaitkan dengan masalah diskontinuitas dalam
pembelajaran, yang pada gilirannya terkait dengan persiapan guru yang
tidak memadai. Misalnya, seorang guru yang sedang memberikan instruksi
tentang cara membuat laporan buku dan berhenti untuk mencari beberapa
buku yang sesuai di lemari kemungkinan besar telah kehilangan perhatian
siswa pada saat buku tersebut ditemukan. Sebaliknya, jika seorang guru
memajang buku-buku teladan di atas meja ketika instruksi laporan buku
sedang diberikan, kemungkinan besar ketidak-hati-hatian dapat dicegah.
Pernahkah Anda mempunyai guru yang mempunyai "mata di
belakang kepala"? Guru seperti ini sepertinya mengetahui apa yang
dilakukan siswanya tanpa melihat dan oleh karena itu cepat bereaksi
terhadap potensi masalah. Kounin menyebut perilaku guru seperti ini
sebagai "kebersamaan". Guru yang “with it” merespon dengan segera
terhadap suatu kejadian daripada menunggu, menyelesaikan masalah-
masalah kecil sebelum menjadi masalah besar, tidak bereaksi berlebihan
terhadap suatu kejadian, dan memusatkan perhatian secara akurat pada
individu-individu yang terlibat dalam kejadian tersebut daripada
menyalahkan seseorang secara salah. Ketika siswa menyadari bahwa
gurunya mengetahui apa yang sedang terjadi, kecil kemungkinannya
mereka untuk terlibat dalam perilaku tidak produktif.
Ruang kelas yang dikelola dengan baik tampaknya berjalan dengan
sendirinya, dengan guru menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
mengajar daripada menangani masalah perilaku. Selama peninjauan
rekaman video kelas mereka, guru yang merupakan manajer efektif sering
merujuk pada tindakan preventif dan antisipatif yang telah mereka ambil

13
untuk menghindari masalah kelas, misalnya mendorong pengaturan diri
siswa (Berns, 2013).
Karakteristik lain dari manajer kelas yang sukses adalah
kemampuan untuk "tumpang tindih" yaitu, menangani lebih dari satu
aktivitas pada saat yang bersamaan (Berns, 2013). Misalnya, saat bekerja
dengan sekelompok siswa di salah satu sudut ruangan, seorang guru
memberikan pernyataan motivasi yang tepat kepada anak yang sedang
berkeliaran, tidak terlibat dalam suatu kegiatan. Selain itu, peralihan dari
satu aktivitas ke aktivitas berikutnya berjalan mulus, tidak mengganggu.

C. Student characteristics and Teacher Interaction


Teacher-student interaction is considered to be bidirectional, where the
teacher detects reactions of students, whereas students react behaviorally or
cognitively to teacher responses. The relationship is built officially because the
teacher acts detached, since the teacher should keep being objective towards
children. Teachers must follow curriculum aims and should mind learners’
cultural diversity. This specific relationship has such significant factors as
gender, cultural background, socioeconomic status, learning styles and disability
issues.
Gender. Research shows that unaware of their attitude, teachers tend to treat
children unequally. Some studies show that boys have more interactions with
teachers, rather than girls. There is a phenomenon of girls being successful
during primary classes and they are passive in high school. Another case which
shows that young men short-change K-12. Only 40% of boys are studying in
college, as compared to young women who comprise 60% of the enrollment to
colleges. In addition to this, the school activities are mostly passive which is
considered to be appropriate for girls rather than for boys. In these cases the
teacher must be more skillful in involving both boys and girls in school activities.
Culture. Every child comes to school with his/her cultural background and
the role of the teacher is to acculturate the child, minding his/her background. In
the United States there are plenty of diverse cultural groups. There are Spanish-

14
speaking Latinos, African Americans, Native Americans, Asians and other
ethnic minority groups. There were cases when misunderstandings occurred
because of cultural unawareness. Teacher should be sensitive in culture aspect,
in order to teach children to be sensitive to each others’ culture and traditions.
There is a good example when an Indian child’s hair smelled coconut oil,
children started to call him a “ garbage head”, the teacher organized several
activities to discover coconut oil in different shampoos, mousses, conditioners
and gels. After children discussed all different oils, herbs that people put on hair,
they realized that their hair smell different and coconut was only one of the
smells. The role of teacher sensitivity in promoting tolerance and respect for
differences among children was also discussed. It provides an example where a
teacher addresses a derogatory comment made towards a kindergarten boy from
India, who was called "garbage head" because of the smell of coconut oil in his
hair.
The teacher plans activities to help the children understand that different
people use different products on their hair and that coconut oil is just one of
many options. It is also highlighting the importance of understanding diversity
in microcultures (minority groups) by examining the microculture (majority
group). It explains that major political and social institutions in the United States
have roots in Western European traditions, and the American microculture
reflects White European Protestant influences. In addition, it is described that
the values and characteristics of the American microculture, including an
emphasis on active mastery, the work ethic, achieved status, assertiveness,
fairness, interest in the external world, emphasis on change, rationalism, peer
relationships, individual personality, objective relationships, and principles of
right and wrong.
Additionally, the passage explores how these values are exemplified in
young children's behavior, such as their tendency to view nature as something to
conquer and their encouragement to be actively engaged rather than bored.The
passage acknowledges that the degree to which individuals in the United States
align with the values of the macroculture depends on their microculture

15
(minority group) and their interaction with formal societal institutions.It also
discusses some generalities about microcultures, including their orientation
towards the extended family, fostering of sharing and group ownership,
humility, learning through observation and patience, ascribed status, present-
time orientation, and differences in socialization backgrounds compared to the
dominant macroculture. The passage concludes by emphasizing the need to
consider different cultural orientations, particularly the individualistic and
collectivistic continuum, in education. It provides an example illustrating
individualistic and collectivistic responses to a situation involving a student
needing help with a task at the end of the school day.
The passage discusses the socialization contrasts between home and the
classroom and how understanding these differences can enable equitable
teaching. It highlights that diverse cultures have different perspectives on
objects/people, possessions, achievement, and social roles, and children are
socialized according to their family's cultural heritage. In terms of
objects/people, children in individualistic cultures learn to use physical objects
for independence, while children in collectivistic cultures rely more on
interaction with others for amusement and assistance. This communication style
may pose challenges for collectivistic children in a school setting that
emphasizes verbal instructions, so demonstrating and working alongside them
can be more effective. Regarding possessions, collectivistic cultures emphasize
sharing and considering personal items as family property, whereas
individualistic cultures prioritize personal ownership. In a school setting, where
individual work and organization are emphasized, children from communal
backgrounds may struggle. Teachers can incorporate cooperative activities to
accommodate these children and allow them to contribute. In terms of
achievement, individualistic cultures emphasize individual accomplishment and
competition, while collectivistic cultures emphasize group affiliation and
cooperation. Teachers should consider how praise and recognition in front of the
group may affect children from collectivistic cultures who value group harmony
and saving face.Regarding social roles, collectivistic cultures respect

16
hierarchical authority roles and may discourage children from expressing
opinions or asking questions. In contrast, individualistic cultures promote
egalitarian principles and the right to voice opinions. Collectivistic cultures also
tend to have more rigid gender roles. Teachers can structure learning activities
using group structures and leaders to foster collaboration and provide
opportunities for children to experience being group leaders.
The impact of socioeconomic status (SES) on school readiness and
academic achievement is crucial. SES refers to a family's social position and
access to economic and social resources. Researchers typically use indicators
such as occupation, income, and parental education to measure SES. Four
components of SES and their influence on children's achievement is Firstly,
children from low-income families tend to score lower on standardized tests
compared to those from families with average incomes. This is attributed to the
more stimulating learning environment and resources available to higher-income
families. Secondly, children whose parents have higher levels of education
perform better on cognitive and academic tests than children of less educated
parents. Teachers often have expectations for achievement based on students'
socioeconomic status, which can contribute to stereotypes and differential
treatment. The third component is family structure, with single-parent families
often having fewer resources. Children living with single mothers are more
likely to experience poverty and face constraints that limit their access to
supportive and stimulating environments. Children raised by single parents may
have lower social and academic well-being. The fourth component is the
neighborhood in which children grow up. Children in high-poverty urban
communities may face various challenges such as violence, lack of positive role
models, limited institutional resources, and negative peer influences.
The lack of preparedness for school among low-SES children impacts the
teacher-student relationship. Low-SES families often lack the physical and
emotional resources needed for educational support, such as books and
educational trips. The cycle of low SES can perpetuate itself as parents may not
have received adequate education and lack knowledge of educational activities

17
to provide for their children. The passage also mentions classism, which refers
to the differential treatment of people based on their class background.
Socioeconomic class, determined by income, education, occupation, and
power, affects how individuals live, think, act, and are perceived by others.
Class-related differences can influence access to resources, such as car repairs
or healthcare, and impact success in navigating school projects. One
consequence of classism in schools is that students from lower socioeconomic
backgrounds are more likely to be assigned to low-ability groups early on, which
can limit their educational trajectory. The concept of learning styles and how
children have different preferences for learning, as well as teachers having
different teaching preferences. The author shares their own learning preferences,
such as enjoying lectures and organization but disliking group work and
laboratory assignments. Their daughter, on the other hand, prefers group work
and creative writing but dislikes analytical tasks and lab work. The passage
emphasizes that student learning styles and teacher teaching styles are
bidirectional and can influence each other. It acknowledges that some children
may learn more effectively through observation, modeling, and apprenticeship
rather than verbal instruction, which is the predominant teaching method in
American schools.
The example of Joan learning to prepare salmon illustrates the effectiveness
of gradual involvement and contextual understanding in the learning process.
Researchers suggest that children develop their learning or cognitive styles based
on the socialization they receive in their families and peer groups. Structured
families, with defined roles, specific routines, and formal group organization,
are associated with an analytical cognitive style. In contrast, less structured
families, with shared roles and flexible routines, are more likely to foster a
relational cognitive style. The passage discusses different aspects related to
learning styles and their connection to socialization and family values. It
highlights the differences between collectively oriented families and
individually oriented families in terms of their children's orientation toward
persons or objects.

18
Children from collectively oriented families tend to be more focused on
feelings, personal interaction, and nonverbal communication. They often engage
in conversations that traverse various topics rather than following a linear
sequence. In contrast, children from individually oriented families learn to focus
on objects and have more opportunities to manipulate things and discover their
properties and relationships. These experiences with objects prepare them for
school, which also emphasizes an object-oriented approach through books,
computers, and learning centers. It is also discussed that the concepts of field
dependence and field independence in learning styles. Field-dependent learners
have a holistic, social approach and perceive things in the context of the whole.
They work well in groups. On the other hand, field-independent learners have
an analytical and logical approach and relate well to impersonal, abstract
information independent of the context. The passage suggests that socialization
methods influence learning styles. Field-dependent learning styles are associated
with socialization methods like demonstration, observation, and apprenticeship,
where adults demonstrate tasks and provide guidance. In contrast, field-
independent learning styles are associated with direct verbal communication,
instructions, feedback, rewards, and punishment. Furthermore, the passage
mentions the importance of family values in shaping children's attitudes towards
learning. Families that value effort, hard work, and group identity tend to
socialize children to be high achievers. In contrast, families that emphasize
hierarchical roles may discourage children from participating in class
discussions, sharing ideas, or working on group projects.
Disability. Before 1975, children with disabilities were not allowed to
attend public school in most states. However, legislation has been passed to
ensure that all children have the right to a free and equitable education. The
presence of a disability has led to modifications in the teaching environment,
including individualized instruction based on the child's abilities, adaptation of
the curriculum to different learning styles, collaboration with professionals to
provide necessary services, and peer tutoring. The Individuals with Disabilities
Education Act (IDEA) mandates that children with disabilities be placed in the

19
"least restrictive environment" and requires the development of an
individualized education program (IEP) annually. The IEP involves input from
the child, parent, teacher, evaluating professional, and school personnel. It
specifies educational goals, teaching methods, support services, and assessment
measures. The No Child Left Behind Act (NCLB) also provides modifications
for children with disabilities. Identification and assessment of disabilities can
occur at birth for certain conditions, while others may not be apparent until later,
such as learning disabilities. Teachers in preschool programs play a crucial role
in observing and recording behaviors that may indicate potential disabilities.
Various assessment techniques, such as anecdotal records, checklists, time
samples, and measurements of behavior, can be used to assess children.
Assessment is meaningful when followed by appropriate services. These
services can include medical interventions, special education programs, and
social work or counseling. Involving the family is essential in designing
programs to meet the needs of children with disabilities. Parent-professional
relationships should consider the individual needs and preferences of parents.
Legislation, such as the Americans with Disabilities Act (ADA), ensures equal
opportunities and access for individuals with disabilities. It prohibits
discrimination in employment, transportation, public accommodations, and
telecommunications. Reasonable accommodations must be made according to
the specific disability, such as providing accessible telecommunications services
or making facilities physically accessible.
The concept of risk and resilience in the context of child development is
discussed in this academic passage. Risk refers to the vulnerability or
endangerment that can lead to negative developmental outcomes in children.
Such outcomes include school dropout, substance abuse, violence, teenage
pregnancy, unemployment, and suicide. Risk factors can be categorized as
genetic, prenatal, perinatal, and environmental, all of which contribute to the
likelihood of negative outcomes. Children at risk often come from families that
lack social support networks, experience unemployment, exhibit depression,
engage in substance abuse, have poor marital relations, or practice domestic

20
abuse. On the other hand, resilience refers to the ability to withstand and recover
from crises or persistent challenges. Resilient children, despite growing up in
difficult or traumatic environments, are more likely to have close friendships,
come from families with supportive marriages, achieve higher levels of
education, and acquire vocational skills.
The study by psychologist Emmy Werner in Hawaii over 40 years ago
exemplifies the potential for resilience in children at risk. Despite coming from
chronically poor, alcoholic, and abusive families, approximately one-third of the
children studied grew up to be emotionally healthy and competent adults.
Several factors contribute to the resilience of these children. They possess a
sense of autonomy and personal responsibility, establish positive relationships
with others, and most importantly, form strong bonds with adult caregivers or
mentors. These substitute parents and positive relationships act as buffers against
negative developmental outcomes. These buffers have a more significant impact
on the life course of children growing up under adverse conditions compared to
specific risk factors or stressful life events. They transcend ethnic, social class,
geographical, and historical boundaries, offering a more optimistic perspective
than focusing solely on the negative consequences of perinatal trauma,
caregiving deficits, and chronic poverty. The implications of this research are
profound, suggesting that parents, schools, community services, and other
entities can collaborate to create a socially nourishing environment that helps
children develop into healthy and contributing adults. Schools, in particular,
have the potential to provide optimal socialization experiences and foster
resilience in children. The Comer model, implemented in numerous schools
across the United States, emphasizes the importance of good relationships in
promoting healthy development and learning. When families actively engage
with schools, their children experience various positive outcomes, including
better grades and test scores, higher graduation rates, increased likelihood of
pursuing higher education, improved behavior, and greater achievement
orientation. It is also highlighted that the challenges faced by poor children, who
are at higher risk for negative developmental outcomes. Poverty places these

21
children at a disadvantage, not only in terms of their standard of living but also
due to factors such as both parents working outside the home, reliance on
inadequate childcare, limited access to healthcare and proper nutrition,
inadequate housing, and unsafe communities.
Poor neighborhoods and schools, as described by Jonathan Kozol, often
suffer from poor conditions, proximity to hazardous environments, and high
levels of crime and drug use. The lack of community support for schools, driven
by economic and value-related factors, further impacts the teacher-student
relationship in poor communities. Insufficient funding for school improvements,
limited resources, and larger class sizes are common issues in these schools.
Teachers also face the challenge of motivating students to achieve in the face of
learned helplessness, which is the belief that one's efforts have no impact on
outcomes. This belief, prevalent among poor families, creates additional
obstacles in terms of academic achievement and career prospects, leading to
delinquency and dropout rates.
The impact of families and substance abuse on children is a topic of concern
in academic research. Substance abuse within families has consistently been
associated with poor parenting and dysfunctional family dynamics. Addicted
parents often prioritize their relationship with drugs over their relationship with
their children (National Center on Addiction and Substance Abuse [CASA],
1998). Children who are exposed to prenatal substance abuse, such as drugs or
alcohol, are considered a vulnerable group. Commonly abused substances
include crack cocaine, heroin, marijuana, tranquilizers, and stimulants. These
substance-exposed infants often exhibit symptoms such as low birth weight,
sleeping and eating disorders, and increased irritability. They not only
experience physical and health problems but also psychological and behavioral
issues (National Institute on Drug Abuse [NIDA], 2010; Tyler, 1992).
A recent study by Bergin and McCullough (2010) examined the
characteristics of infants born to 41 low-income mothers who had used alcohol,
cocaine, and other substances during pregnancy. These infants were compared
to a control group of infants who were matched based on factors like birth

22
weight, which increase the risk of developmental problems, but were not
exposed to drugs prenatally. The researchers assessed the quality of attachment
between the mothers and their babies at 12 months, as well as the mothers'
sensitivity and involvement through video-recorded interactions. The study
found that mothers who displayed sensitivity to their babies' signals and engaged
in social interaction had infants with healthier attachment development. The
researchers concluded that sensitive and loving care can mitigate some of the
challenges faced by prenatally exposed infants. It is important for parents to
continue providing involved care and support their children's learning both at
home and in school. However, the long-term effects of prenatal drug exposure
remain uncertain due to intervening variables such as socioeconomic status,
parental care, and support from others. Another group of children at risk for
negative developmental outcomes are those whose parents abuse alcohol.
The American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP,
2002d) reports that one in five adult Americans grew up with an alcoholic parent.
Alcoholism is a chronic, progressive, and potentially fatal disease characterized
by excessive tolerance for alcohol, physical dependency, and organ changes
resulting from alcohol consumption. Alcohol consumption during pregnancy can
lead to abnormalities in the developing fetus. It interferes with nutrient delivery,
impairs fetal oxygen supply, and disrupts protein synthesis (AACAP, 2006d).
Fetal alcohol syndrome (FAS) is a specific cluster of abnormalities observed in
babies exposed to heavy alcohol abuse prenatally. It is characterized by prenatal
and postnatal growth retardation and facial abnormalities, such as small head
circumference, widely spaced eyes, short eyelid openings, a small upturned nose,
and a thin upper lip. Most children with FAS experience mental retardation,
making it the leading preventable cause of mental retardation. Warnings about
possible birth defects are now required on alcoholic beverages and in
establishments that serve alcohol. These children may also exhibit behavior
problems, physical defects, and other health issues (Aaronson & MacNee, 1989).
Growing up in an alcoholic family has particularly challenging
consequences for young children and adolescents. Alcoholism disrupts the

23
socialization process, affecting values, morals, attitudes, behavior, gender roles,
self-control, and self-concept. The effects of alcoholism on children depend on
various factors such as age, gender, relationship with the drinking and
nondrinking parents, and relationships with other family members or social
networks. Children of alcoholic parents are prone to psychological difficulties,
including learning disabilities, anxiety, attempted and completed suicides, eating
disorders, and compulsive achieving. These problems often go unnoticed as
these children tend to adopt coping behaviors that seek approval and conform to
social norms. They may excel academically, avoid conflict, and keep their
struggles hidden. However, their adaptation to the chaotic and inconsistent
environment of an alcohol-abusing family often leads to issues such as
difficulties in trust, an excessive need for control, an overwhelming sense of
responsibility, denial of feelings, low self-esteem, depression, social isolation,
guilt, and challenges in maintaining satisfying relationships. These problems can
persist into adulthood (Brown & Newman, 2010; Tubman, 1993; Woititz, 1990).
Children in alcoholic families often experience shame, embarrassment, anger,
and guilt. They may feel ashamed to invite friends over and hesitate to seek help.
They may direct anger towards the alcoholic parent for their drinking and
towards the nonalcoholic parent for lack of support and protection. In some
cases, children may even blame themselves for causing their parent's drinking
(AACAP, 2002d).
Although children of alcoholic parents may try to hide the problem,
teachers, friends, relatives, or other caring adults may sense that something is
wrong. Certain behaviors may serve as indicators of a problem, such as academic
failure, truancy, withdrawal from classmates, delinquent behavior, physical
complaints, substance abuse, aggression, risk-taking behaviors, depression, and
suicidal thoughts or behavior (AACAP, 2002d). Interventions and support
systems are crucial in addressing the needs of children affected by substance
abuse in their families. Early intervention programs, such as home visitation
programs and parent training, can help improve parenting skills, enhance parent-
child relationships, and mitigate the negative effects of substance abuse on

24
children. These programs focus on promoting the child's well-being, providing
guidance and support to parents, and connecting families with necessary
resources (National Institute on Drug Abuse [NIDA], 2010).
In addition, counseling and therapy can be beneficial for children who have
been exposed to substance abuse. Individual therapy, group therapy, or family
therapy can provide a safe space for children to express their feelings, develop
coping strategies, and receive support. Support groups specifically designed for
children from substance-abusing families can also be helpful, as they provide an
opportunity to connect with peers who share similar experiences and challenges.
Schools also play a vital role in supporting children affected by substance abuse.
Teachers and school staff can receive training to recognize signs of substance
abuse and provide appropriate support to students. School counselors can offer
counseling services and refer students to external resources when needed.
Creating a supportive and nonjudgmental environment within the school can
help reduce the stigma associated with substance abuse and encourage children
to seek help. It is important to note that every child's situation is unique, and
interventions should be tailored to meet their specific needs. Ongoing research
and collaboration between healthcare professionals, educators, policymakers,
and community organizations are essential to develop effective strategies for
supporting children affected by substance abuse in their families.

D. Macrosystem Influences on Teaching


In the realm of teaching, the macrosystem influences encompass the
philosophical and theoretical foundations of teaching and learning, changes in
these foundations over time, the impact of school administration on classroom
and curriculum contexts, as well as policies and procedures related to
accountability for academic achievement, which involve standardization and
individuation. The philosophies of teaching and learning can be categorized into
two main approaches: learner-directed and teacher-directed. Learner-directed
philosophies prioritize expanding an individual's knowledge through learner-

25
centered approaches, while teacher-directed philosophies emphasize the
systematic presentation of new knowledge by the teacher.
The roots of learner-directed teaching can be traced back to Socrates, who
believed in eliciting knowledge through questioning, and Rousseau, who
focused on the child's development rather than specific subjects. In contrast,
teacher-directed teaching has its roots in B.F. Skinner's behaviorist method,
which emphasizes conditioning and reinforcement, and Plato's belief that the
content of the curriculum is crucial for education. Teacher-directed learning
environments typically aim to develop specific thinking processes in students,
such as information recall, relating new information to prior knowledge, and
understanding. Common methods employed in these environments include
lecturing, tutoring, and guidance. On the other hand, learner-directed learning
environments prioritize activities, skills, and collaborative discussions as means
of constructing knowledge. Inquiry, scaffolding, research, and collaboration are
commonly used methods in such environments.
Classroom contexts play a significant role in shaping a child's development
and socialization. Different educational programs, with varying degrees of
emphasis on teacher and student responsibility for learning, influence the child's
development and socialization in distinct ways. Studies have shown that students
in traditional, teacher-directed classrooms tend to perform better academically,
possibly due to standardized tests aligning more closely with teacher-directed
goals. However, students in learner-directed classrooms have shown greater
interest in schoolwork and learning, while those in teacher-directed classrooms
may exhibit signs of alienation from school. The experiences children have in
various educational programs lead to the emergence of different patterns of
competence. Social competence thrives in instructional settings that encourage
student interaction and collaboration, while academic competence flourishes in
environments where students are motivated and rewarded for achieving the
teacher's educational goals.
The success of learning environments depends on the knowledge and
experiences of the teacher, the learner, and the relationship between them. The

26
overarching goals of all curricula should aim to develop adaptive learners,
effective information users, collaborative workers, and informed citizens. To
foster desired socialization outcomes, instructional settings can be structured
into different goal structures: cooperative, competitive, and individualized.
Cooperative goal structures promote positive interpersonal relationships, trust,
and acceptance among students working together towards shared goals.
Competitive goal structures promote comparison and achievement motivation,
while individualized goal structures emphasize student-teacher interaction and
individual responsibility. Each goal structure promotes a distinct pattern of
interaction among students. An example of the application of a cooperative goal
structure is the "jigsaw-puzzle method," where students in a newly integrated
classroom are divided into small groups and given tasks that require cooperation
and information sharing.
This approach has been associated with higher achievement, decreased
social insults, improved self-esteem, and more positive attitudes toward school.
Cooperative goal structures have also been successfully adapted to include
students with disabilities and those from diverse ethnic backgrounds, preparing
them for collaborative work environments. The way teachers manage the
classroom environment, including room arrangement, activity planning,
behavior observation, and group organization, significantly influences the
socialization processes occurring within the classroom.
The No Child Left Behind Act of 2001 introduced accountability measures
in education, making schools and teachers responsible for student learning
outcomes. This was driven by factors such as increasing costs, poor student
performance in the business world, global competitiveness, and the desire to
maintain leadership in science and technology. The Act mandated annual testing
in reading, writing, math, and science from elementary through high school. One
of its goals was to ensure that all students are taught by highly qualified teachers,
requiring teachers to have a bachelor's degree, state certification, and subject-
matter competence in core academic subjects. The Act differentiates between

27
elementary school teachers and middle/high school teachers, with varying
options for demonstrating subject-matter competency.
In California, for example, self-contained elementary school teachers must
show competence in the subjects taught in the elementary curriculum. Middle
and high school teachers must pass competency exams in the subjects they teach.
While accountability and continuous improvement are emphasized,
accommodations are provided for diverse students with English language
limitations and disabilities. Critics argue that the focus on standardized test
scores as a measure of school readiness and academic achievement may overlook
the influence of factors like poverty and family circumstances. Some states and
school districts, such as San Francisco and South Carolina, have developed
alternative approaches to assessing school readiness. These approaches consider
multiple dimensions of readiness, including self-care and motor skills, social
expression, self-regulation, and kindergarten academics. Developmentally
appropriate assessment methods, such as authentic assessments based on real-
life tasks and portfolios of children's work, are advocated by organizations like
the National Association for the Education of Young Children.

E. Mesosystem Influences on Teaching


Mesosystem influences on teaching encompass the impact of community
support and family involvement. Community support can manifest through
financial contributions, such as donations and grants to school programs.
Additionally, communities can provide service-oriented support by making
professional resources accessible to teachers. They can also extend the learning
environment by arranging for guest speakers to visit classrooms or facilitating
class field trips. On the other hand, family involvement and collaboration with
teachers play a crucial role in education, with particular significance prior to a
child's formal schooling. During this period, families contribute to preparing
children for school and fostering the appropriate attitudes towards future
learning. Moreover, families continue to support school goals throughout a
child's educational journey.

28
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Guru merupakan agen sosialisasi yang signifikan karena mereka
menerjemahkan tujuan kurikulum sekolah menjadi tindakan. Guru yang efektif
adalah guru yang hangat, antusias, dan murah hati dalam memberikan pujian,
serta mempunyai status yang tinggi. Guru memainkan peran kepemimpinan
yang besar dalam membantu anak-anak belajar menghadapi posisi otoritas,
bekerja sama dengan orang lain, mengatasi masalah, dan mencapai kompetensi.
Tipe pemimpin antara lain otoriter, demokratis, dan laissez-faire (permisif).
Struktur tujuan pengelolaan kelas (kooperatif, individual, kompetitif)
mempunyai efek sosialisasi yang berbeda.
Harapan guru terhadap anak sering kali memengaruhi interaksi mereka
dengan anak, dan akibatnya, kinerja anak. Guru perlu menyadari tanggapan
mereka terhadap gender, terhadap anak-anak dari kelompok budaya yang
beragam (orientasi individualistis dan kolektivistik), terhadap anak-anak dari
berbagai kelas sosial dan agama, terhadap anak-anak penyandang disabilitas,
dan terhadap mereka yang berisiko mengalami hasil perkembangan negatif.
karena kemiskinan, penyalahgunaan zat, atau kekerasan dalam keluarga.
Budaya makro AS yang biasanya didefinisikan sebagai Protestan Anglo-
Saxon Kulit Putih—umumnya menganut nilai- nilai tertentu. Sejauh mana
individu Amerika menganut nilai- nilai umum bergantung, sebagian, pada
budaya mikro atau kelompok minoritas di mana individu tersebut menjadi
anggotanya. Kelompok budaya yang beragam dapat diklasifikasikan
berdasarkan posisi terbaik mereka dalam suatu kontinum orientasi individualistis
versus kolektivistik,
Gaya belajar, atau kognitif, adalah aspek sosialisasi yang mempunyai
implikasi terhadap pendidikan. Dua jenisnya adalah gaya kognitif analitis, gaya
kognitif yang tidak bergantung pada apa pun, dan gaya kognitif relasional yang
bergantung pada lapangan.

29
Anak-anak penyandang disabilitas dimungkinkan untuk memperoleh hasil
perkembangan yang positif melalui undang-undang. Undang- Undang Individu
Penyandang Disabilitas (IDEA) mensyaratkan bahwa program pendidikan
individual (IEP) ditulis setiap tahun, dengan menetapkan tujuan, metode, dan
sumber daya/layanan pendidikan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
anak. Anak-anak yang berisiko mengalami dampak perkembangan negatif,
seperti anak- anak dari keluarga yang mengalami kemiskinan, penyalahgunaan
obat-obatan terlarang, dan/atau kekerasan dalam rumah tangga, memerlukan
bantuan khusus dukungan dari guru dan orang dewasa lainnya untuk
memungkinkan ketahanan dan motivasi berprestasi.
Pengaruh makrosistem terhadap pengajaran mencakup filosofi kurikulum,
serta kebijakan akuntabilitas dan standardisasi. Filosofi pengajaran dan
pembelajaran berkisar dari program yang diarahkan oleh guru hingga program
yang diarahkan oleh siswa dan berbagai kombinasinya. Lingkungan pendidikan
(tradisional) yang diarahkan oleh guru biasanya menganut filosofi bahwa fungsi
sekolah adalah untuk memberikan pengetahuan faktual dasar dan melestarikan
warisan budaya Amerika. Lingkungan pendidikan yang diarahkan oleh peserta
didik (modern) menganut filosofi bahwa fungsi sekolah adalah untuk
mengembangkan anak secara keseluruhan, secara fisik, sosial, dan emosional
serta kognitif. Kurikulum muncul dari minat dan kemampuan anak dan
dikonstruksi sesuai dengan itu.
Hasil sosialisasi berbeda-beda tergantung situasi. Anak-anak yang berada di
lingkungan tradisional (diarahkan oleh guru) mempunyai kinerja yang lebih baik
dalam tugas-tugas akademis dan lebih sering “menjalankan tugas” dibandingkan
anak-anak yang berada di lingkungan modern (diarahkan oleh siswa). Anak-
anak di lingkungan modern cenderung memiliki sikap yang lebih positif
terhadap sekolah, lebih terlibat dalam pekerjaan kooperatif, dan menunjukkan
otonomi yang lebih besar dibandingkan anak-anak di lingkungan tradisional.
NCLB mewajibkan sekolah dan guru untuk bertanggung jawab terhadap
pembelajaran siswa. Untuk menerima dana publik, sekolah menyelenggarakan

30
ujian penilaian standar dan siswa harus memenuhi standar kemahiran dalam
mata pelajaran dasar untuk nilai mereka. Guru harus memenuhi kriteria mutu.
“Kesiapan sekolah” meliputi faktor kesehatan, gizi, dan sosial/emosional.
Keluarga dapat memungkinkan anak-anak untuk siap dengan mengasuh,
berkomunikasi, mendorong pembelajaran, dan terlibat di sekolah. Sekolah dapat
mengaktifkan “kesiapan” dengan melakukan individualisasi kurikulum,
menyediakan kegiatan yang sesuai dengan perkembangan, dan menggunakan
penilaian otentik daripada mengandalkan tes standar. Hubungan mesosistem
antara guru, keluarga, dan masyarakat memainkan peran penting dalam
melaksanakan tujuan pendidikan yang terpenting, yaitu bahwa semua anak akan
datang ke sekolah dalam keadaan “siap untuk belajar”.

B. Saran
Demikian pembahasan materi mengenai inovasi peningkatan mutu sekolah
dasar yang telah disusun. Pada penulisan makalah ini masih banyak memerlukan
masukan dari berbagai pihak yang relevan dengan materi yang di bahas sehingga
menambah wawasan yang mendalam.

31
DAFTAR PUSTAKA
Aditiya, N., & Fatonah, S. (2022). Upaya Mengembangkan Kompetensi Guru
Penggerak di Sekolah Dasar Pada Kurikulum Merdeka Belajar. Jurnal
Pendidikan Dan Kebudayaan, 13(2), 108–116.

Adnyana, K. S., & Yudaparmita, G. N. A. (2022). Pengaruh Implementasi


Pendekatan Keterampilan Proses Terhadap Hasil Belajar IPS di SD
Kecamatan Sukasada. Edukasi: Jurnal Pendidikan Dasar, 3(1), 1.
https://doi.org/10.55115/edukasi.v3i1.2300

Al-Kansa, B. B., Agustini, S., & Pertiwi, P. I. (2023). Pengaruh Penataan Tempat
Duduk Terhadap Keefektifan Belajar Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan
Dan Konseling, 5(1), 683–687.

Aviatin, R., Robandi, B., & Komalasari, Y. (2023). Keteladanan Guru Dalam
Membentuk Kedisiplinan Peserta Didik. Jurnal Pendidikan Indonesia, 12(1),
260–264. https://ejournal.iaingorontalo.ac.id/index.php/edu/article/view/583

Ayu, Y. F., Pribadi, C. A., & Yantoro, Y. (2023). Meningkatkan Belajar Peserta
Didik melalui Pengelolaan Kelas. JIIP - Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 6(7),
4784–4788. https://doi.org/10.54371/jiip.v6i7.2355

Berns, R. M. (2013). Child, Family, School, Community: Socialization and Support,


Ninth Edition. Wadsworth.

Chasanah, M., & Ningsih, T. (2023). Analisis Empat Kompetensi Guru dalam
Mengembangkan Pembelajaran IPS di MI Ma’arif NU Penaruban. Jurnal
Kependidikan, 11(1), 105–117. https://doi.org/10.24090/jk.v11i1.8440

Dwinata, A., As’ari, A. R., Sa’dijah, C., Abdullah, A. H., & Pratiwi, E. Y. R. (2022).
The Development of Food Production Teaching Materials for Class III
Elementary School Students. Jurnal Pendidikan : Teori, Penelitian, Dan
Pengembangan, 7(10), 436–444.
http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/article/view/15732%0Ahttp://journal.
um.ac.id/index.php/jptpp/article/download/15732/6739

32
Fitriani, A., Kartini, A., Maulani, M., & Prihantini. (2022). Peran Guru dan Strategi
Pembelajaran dalam Memenuhi Kompetensi Siswa Abad 21. Jurnal
Pendidikan Tambusai, 6(2), 16491–16498.
https://jptam.org/index.php/jptam/article/view/5056

Fox, R. (2005). Teaching and Learning.

Gampu, G., Pinontoan, M., & Sumilat, J. M. (2022). Peran Lingkungan Sekolah
Terhadap Pembentukan Karakter Disiplin dan Tanggung Jawab Siswa.
Edukatif : Jurnal Ilmu Pendidikan, 4(4), 5124–5130.
https://doi.org/10.31004/edukatif.v4i4.3090

Isnaeni, Y., & Ningsih, T. (2021). Pembentukan Karakter Peduli Sosial Melaui
Pembelajaran IPS. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan), 5(3), 662–672.
https://doi.org/10.36312/jisip.v5i3.2255

Khasanah, F. N., Inayah, H., Hajar, S., & Bahrodin, A. (2023). Peran Guru Kelas
Dalam Peningkatan Potensi Diri Peserta Didik. Al-Adawat, 02(01), 47–57.

Khotimah, A. K., & Sukartono, S. (2022). Strategi Guru dalam Pengelolaan Kelas
pada Pembelajaran Tematik di Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu, 6(3), 4794–
4801. https://doi.org/10.31004/basicedu.v6i3.2940

Manullang, E., Sijabat, O. P., & Pasaribu, E. (2023). Pengaruh Lingkungan Sekolah
Terhadap Pembentukan Karakter Siswa Pada Mata Pelajaran IPS Kelas IV.
Jukesda: Jurnal Keguruan Sekolah Dasar, 04(01), 1–8.

Meri, E. G., & Mustika, D. (2022). Peran Guru dalam Pembelajaran di Kelas V
Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dan Konseling, 4(4), 200–208.
https://core.ac.uk/download/pdf/322599509.pdf

Novanto, Y. S., Djudin, T., T, A. Y., Basith, A., & Murdani, E. (2023). Kemampuan
Pemahaman Konsep Ipa Pada Siswa Sekolah Dasar Berdasarkan Gender.
JPDI (Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia), 8(1), 43.
https://doi.org/10.26737/jpdi.v8i1.4260

33
Nurmahanani, I. (2023). Analisis Literasi Multimodal Buku Cerita Anak
Bergambar Sebagai Upaya Pemilihan Bahan Ajar Membaca Permulaan
Siswa Sekolah Dasar. 4, 541–546.

Salmiah, M., Rusman, ِa. A., & Abidin, Z. (2021). Konsep Dasar Pengelolaan Kelas
dalam Tinjauan Psikologi Manajemen. ITQAN: Jurnal Ilmu-Ilmu
Kependidikan, 13(1), 41–60. https://doi.org/10.47766/itqan.v13i1.185

Sari, R. K. (2023). Pengembangan Komik Digital Bahasa Tidung Sebagai Media


Pembelajaran Literasi di SD Muhammadiyah 3 Al-Hilal Tarakan. AKSARA:
Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal, 9(02), 1249–1260.

Siahaan, A., Anggara, A. B., Ramadani, I., Mtd, N. P., & Rozzaqiyah, Z. (2023).
Meningkatkan Mutu Pendidikan melalui Manajemen Peserta Didik. Jurnal
Pendidikan Dan Konseling, 5(1), 3645–3651.

Suciadrianti, Iskandar, A. M., Qalby, M. N. A., & Fatimah, W. (2023). Pengaruh


Lingkungan Sosial Sekolah Terhadap Minat Belajar Siswa Sd Inpres Borong
Jambu Ii Kota Makassar. Bina Gogik, 10(1), 69–76.

Suryana, C., & Iskandar, S. (2023). Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam


Menerapkan Konsep Merdeka Belajar di Sekolah Dasar. JURNAL
BASICEDU, 6(4), 7317–7326. https://doi.org/10.37304/eej.v5i1.8256

Trianah, & Sahertian, P. (2020). Lingkungan Keluarga, Lingkungan Sosial dan


Pergaulan Teman Sebaya terhadap Hasil Belajar. Jurnal Penelitian Dan
Pendidikan IPS, 14(1), 7–14. https://doi.org/10.21067/jppi.v14i1.4765

Wirda, A., Simbolon, P. J., Neli, N., & Yantoro, Y. (2022). Pengelolaan Kelas
dalam Proses Pembelajaran di Sekolah Dasar. Edukatif : Jurnal Ilmu
Pendidikan, 4(6), 7721–7727. https://doi.org/10.31004/edukatif.v4i6.4149

Yuliana, C., Hanim, Z., Huda, M. S., & Yamin, M. (2023). Sumber Daya Lembaga
Dalam Praktek Dunia Pendidikan. Journal on Education, 6(1), 2285–2294.
https://doi.org/10.31004/joe.v6i1.3241

34
Zuleni, E. (2023). The Effect of Contextual Teaching and Learning and Motivation
Against the Understanding of Adzkia University Students In the Course of
Basic Concepts of Elementary Biology. 7(1), 123–130.

35

Anda mungkin juga menyukai