Makalah - Kapasitas Kelembagaan
Makalah - Kapasitas Kelembagaan
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Kapasitas Kelembagaan Pendidikan (B)
Disusun oleh:
Universitas Brawijaya
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul "The Institutional Environment and
Instructional Practice” dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan
kepada Baginda Rasulullah SAW. Semoga syafaatnya mengalir kepada kita di masa depan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas akhir Mata Kuliah Kapasitas Kelembagaan
Pendidikan (B). Selain itu, makalah ini juga bertujuan menambah wawasan mengenai
lingkungan institusional dan praktik instruksional.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
COVER...............................................................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB IV PENUTUP............................................................................................................
4.1 Kesimpulan....................................................................................................................
4.2 Saran..............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
LAMPIRAN.......................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Struktur kurikulum dan standar pendidikan juga merupakan bagian penting dari
Institutional Environment. Kurikulum mengatur apa yang diajarkan di kelas dan bagaimana
materi tersebut disajikan. Standar pendidikan menentukan tingkat pencapaian yang
diharapkan oleh siswa dalam berbagai aspek pembelajaran. Dengan memiliki kurikulum yang
terstruktur dengan baik dan standar yang jelas, lembaga pendidikan dapat memberikan arahan
yang jelas kepada guru dalam mengajar siswa.
Sumber daya fisik seperti bangunan sekolah, fasilitas laboratorium, perpustakaan, dan
teknologi juga berkontribusi terhadap Institutional Environment. Keberadaan sumber daya
yang memadai dapat menciptakan lingkungan yang nyaman dan memfasilitasi pembelajaran
yang efektif. Misalnya, akses ke peralatan teknologi modern dapat meningkatkan interaksi
dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (Hammond, L. (2017)
Terdapat pula kebijakan dan tata kelola yang menjadi bagian dari Institutional
Environment. Kebijakan dan tata kelola mengatur proses pengambilan keputusan,
pengelolaan sumber daya, dan pertanggungjawaban dalam lembaga pendidikan. Keberadaan
kebijakan yang efektif dan tata kelola yang baik dapat memberikan landasan yang kokoh bagi
pelaksanaan Instructional Practice yang Efektif (OECD., 2018). Keberadaan kebijakan yang
jelas dan tata kelola yang transparan dapat memastikan bahwa sumber daya dialokasikan
dengan baik, proses pengajaran dievaluasi secara sistematis, dan akuntabilitas terhadap hasil
belajar siswa terjamin.
Instructional Practice, di sisi lain, merujuk pada metode, strategi, dan teknik yang
digunakan oleh guru dalam mengajar siswa. Hal ini mencakup penerapan pendekatan
pengajaran, strategi diferensiasi, penggunaan teknologi, penilaian dan umpan balik, dan
kolaborasi dalam proses pembelajaran. Pendekatan pengajaran yang efektif dapat mencakup
metode berbasis masalah, diskusi kelompok, dan pembelajaran aktif yang mendorong
partisipasi dan pemahaman yang mendalam.
Penilaian dan umpan balik berperan penting dalam Instructional Practice. Melalui
penilaian yang terencana dan terstruktur, guru dapat memantau kemajuan siswa,
mengidentifikasi kesulitan, dan mengukur pencapaian pembelajaran. Umpan balik yang tepat
waktu dan konstruktif memungkinkan siswa untuk memperbaiki pemahaman mereka dan
meningkatkan kinerja mereka.
Kolaborasi dan komunikasi juga penting dalam Instructional Practice. Guru dapat
bekerja sama dengan sesama guru, staf sekolah, dan ahli pendidikan lainnya untuk berbagi
pengetahuan, pengalaman, dan sumber daya. Kolaborasi ini menciptakan lingkungan yang
mendukung pengembangan profesional dan memfasilitasi pertukaran ide dan praktik terbaik
Hubungan antara lingkungan institusional dan praktik pengajaran adalah dinamis dan
saling mempengaruhi. Lingkungan institusional yang dirancang dengan baik dan mendukung
praktik pengajaran yang efektif menghasilkan peningkatan hasil siswa dan kualitas
pendidikan secara keseluruhan. Sebaliknya, praktik pengajaran berbasis bukti dapat
mempengaruhi dan membentuk lingkungan institusional dengan mendorong kebijakan dan
alokasi sumber daya yang sesuai dengan kepentingan terbaik siswa (Fullan & Hargreaves,
2012).
Dengan mengacu pada penelitian dan praktik berbasis bukti, lembaga pendidikan
dapat menciptakan lingkungan positif dan memberdayakan yang mendorong pertumbuhan
siswa, mendorong pengembangan profesional guru, dan mempersiapkan peserta didik untuk
berhasil dalam dunia yang terus berkembang (Darling, 2017). Melalui pendekatan yang
seimbang dan menyeluruh terhadap lingkungan institusional dan praktik pengajaran, kita
dapat berusaha untuk mencapai keunggulan pendidikan dan membekali siswa dengan
keterampilan dan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk berhasil di abad ke-21 (Sahlberg
& Boce , 2019).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
TINJAUAN TEORITIS
A. Social Constructivism
Berawal dari seorang guru bahasa inggris yaitu Mrs. Smith yang kesulitan dengan
cara mengajar siswanya di Shakespeare. Dahulu murid-murid malas untuk membaca dan
terus mengeluh kesulitan dengan belajar bahasa. Akhirnya Mrs. Smith mengambil langkah
lain agar siswanya tersebut bisa aktif lagi yaitu dengan pendekatan Social Constructionsm. Ia
pun membagi kelas menjadi kelompok, Mrs smith ingin muridnya-muridnya lebih aktif lagi
dan saling bekerja sama dalam mempelajari materi tersebut mulai dari membaca,
menginterpretasi, dan kemudian menerjemahkannya kemudian dijelaskan ke depan murid
lainnya, begitulah cara bekerja social learning process (Barnett, 2019).
Dalam Barnett (2019) dijelaskan oleh Derry, McMahon menyatakan bahwa Social
Constructivism menekankan pada pentingnya kultur/budaya dan konteks dalam memahami
apa yang terjadi di masyarakat dan membangun pengetahuan berdasarkan pemahaman
tersebut. perspektif ini terkait erat dengan banyak teori kontemporer, terutama teori
perkembangan oleh Vygotsky dan Bruner, dan teori kognitif sosial oleh Bandura.
Dalam teori Konstruktivisme sosial didasarkan oleh asumsi khusus tentang realitas,
pengetahuan, dan pembelajaran. Beberapa premis penting yang perlu diperhatikan yaitu:
Realitas: percaya bahwa realitas dibangun atas aktivitas manusia , dan anggota masyarakat
bersama-sama menciptakan sifat-sifat dunia (penelitian oleh Kukla, 2000). Pengetahuan:
bahwa pengetahuan juga merupakan produksi manusia dna dibangun secara sosial budaya
(penelitian ini dilakukan oleh Ernest, 1999, Gredler, 1997; Pratt & Floden, 1994),; dan
manusia menciptakan makna melalui interaksi mereka satu sama lain dan dengan lingkungan
tempat mereka tinggal. Belajar:memandang belajar sebagai proses sosial, pembelajaran akan
bermakna apabila manusia individu terlibat dalam kegiatan sosial, (Barnett, 2019).
B. Situated Learning
Teori pembelajaran terletak mengklaim bahwa setiap ide dan tindakan manusia adalah
generalisasi, disesuaikan dengan lingkungan yang sedang berlangsung, karena apa yang
orang lihat dan apa yang mereka lakukan muncul bersamaan. Dari perspektif ini, berpikir
adalah keterampilan fisik. Pembelajaran terletak adalah studi tentang bagaimana pengetahuan
manusia berkembang di jalannya kegiatan, dan terutama bagaimana orang membuat dan
menginterpretasikan deskripsi (representasi) dari apa yang mereka lakukan. Pengenalan ini
memberikan perspektif sejarah pembelajaran terletak, termasuk karya Dewey, Bartlett,
Vygotsky, dan Ryle, (Clancey, 1995).
C. Organizational Culture
Keith Davis dan John Newstrom bahwa: ”organizational culture is the set of
assumptions, beliefs, values, and norms that is shared among its members” Dikatakan bahwa
budaya organisasi adalah sejumlah asumsi, kepercayaan, nilai dan norma yang berlaku di
antara para anggota. budaya organisasi merupakan filosofi dasar organisasi yang memuat
keyakinan, norma-norma, dan nilai-nilai bersama yang menjadi karakteristik inti tentang cara
melakukan sesuatu dalam organisasi. Keyakinan, norma-norma, dan nilai-nilai tersebut
menjadi pegangan semua SDM (sumber daya manusia) dalam organisasi dalam
melaksanakan kinerjanya (Amin, 2018).
Menurut Nelson dan Quick budaya organisasi mempunyai empat fungsi dasar, yaitu
perasaan identitas dan menambah komitmen organisasi, alat pengorganisasian anggota,
menguatkan nilai-nilai dalam organisasi, dan mekanisme kontrol atas perilaku budaya yang
kuat meletakkan kepercayaan, tingkah laku, dan cara melakukan sesuatu tanpa perlu
dipertanyakan lagi. Dengan demikian, fungsi budaya organisasi adalah sebagai perekat sosial
dalam mempersatukan anggota dalam mencapai tujuan organisasi yang berguna untuk
ketentuan nilai-nilai yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para semua elemen. Hal
tersebut dapat berfungsi pula sebagai kontrol atas perilaku semua elemen (Alimin, 2021).
Selain fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas, budaya organisasi juga berfungsi
untuk: 1) Memberikan identitas organisasi kepada anggotanya; 2) Memudahkan komitmen
kolektif; 3) Mempromosikan stabilitas sistem sosial; 4) Membentuk perilaku dengan
membantu manager dengan merasakan keberadaannya (Linda Ramadhanty, 2017).
A. Instructional Leadership
Menurut Hallinger, 2008; Hallinger & Murphy, 1985 dalam (Leithwood & Massey,
2010) bahwa kepemimpinan instruksional memiliki prinsip yang didefinisikan sebagai
“Defining the School’s Mission, Managing the Instructional Program, and Promoting a
Positive School Learning Climate” yang artinya “Mendefinisikan Misi Sekolah, Mengelola
Program Instruksional, dan Mempromosikan Iklim Belajar Sekolah yang Positif”.
B. Kebijakan Pendidikan
Kebijakan berasal dari kata bijak yang artinya mahir, pandai, menggunakan akal
(Muksin, 2019). Namun dari kata kebijakan dapat diartikan sebagai rangkaian garis besar
yang terdiri dari asas dan konsep dalam melaksanakan proses kepemimpinan (Munawar,
2017). Dari pengertian tersebut terdapat dua poin utama yang perlu dikaji yaitu sebuah
keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak harus didasarkan dengan pertimbangan yang
logis disaat proses pengambilan keputusannya. Selain itu pengambilan keputusan akan
menghasilkan sebuah maupun beberapa keputusan yang menjadi landasan pekerjaan dalam
sebuah organisasi. Maka dari hal tersebut dapat didefinisikan bahwa kebijakan dalam
pendidikan merupakan keseluruhan dari proses maupun hasil pengorganisasian langkah
strategis yang dituangkan kedalam visi dan misi pendidikan yang bertujuan untuk mencapai
tujuan pendidikan dalam jangka waktu yang telah disepakati (Hayati et al., 2021).
Fullan (1991 dalam Creemers & Reezigt, 1997) ) menyatakan bahwa efektivitas
sekolah "sebagian besar berfokus pada tujuan pendidikan yang sempit, dan penelitian itu
sendiri hampir tidak memberitahu kita tentang bagaimana sekolah yang efektif menjadi
seperti itu dan jika tetap efektif" (hal. 22). Stoll dan Fink (1992) dalam (Creemers & Reezigt,
1997)) berpendapat bahwa efektivitas sekolah seharusnya lebih memperjelas bagaimana
sekolah dapat menjadi efektif. Menurut Mortimore (1991), banyak upaya perbaikan yang
gagal karena hasil penelitian tidak diterjemahkan secara memadai ke dalam pedoman praktik
pendidikan. Perubahan terkadang dipaksakan ke sekolah, dan ketika hasilnya mengecewakan,
kepala sekolah dan guru disalahkan. Teddlie dan Roberts (1993) dalam (Creemers & Reezigt,
1997)) mengemukakan bahwa perwakilan efektivitas dan peningkatan tidak bekerja sama
secara otomatis, tetapi cenderung melihat satu sama lain sebagai pesaing.
Peran lingkungan fisik dalam praktik instruksional dapat memberikan suatu bagian di
dalam dinas atau bagian dan staf tenaga pengajar secara individual di dalam membuat
rancangan (desain) dan pemilihan options (pilihan) yang akan meningkatkan efektivitas dan
efisiensi proses pembelajaran. Hal ini meliputi: perencanaan kurikulum, identifikasi pilihan
instruksional, seleksi peralatan dan bahan, menghitung perkiraan biaya, lokakarya staf tenaga
pengajar tentang pengembangan sistem instruksional, perencanaan program, prosedur
evaluasi, dan revisi program.
Pentingnya peran lingkungan fisik dalam praktik instruksional tak bisa dipungkiri
lagi. Akan tetapi, sumber-sumber yang ada di satuan institusi selama ini, umumnya belum
dimanfaatkan dan dikelola secara maksimal untuk tujuan praktik instruksional. Padahal,
berbagai sumber tersebut hanya akan berdaya guna jika sudah dikelola dan difungsikan
secara maksimal dan terorganisir.
Pengaruh budaya suatu institusi terhadap praktik instruksional memiliki banyak faktor
dalam mencapai tingkat ketercapaian, pengaruh itu dapat berupa pengaruh intern maupun
pengaruh ekstern. Banyaknya pengaruh-pengaruh tersebut maka dampak yang diberikan pun
juga akan bervariatif, hal itu tergantung pada pengaruh yang diberikan terhadap praktik
instruksional. Menurut Suyadi Prawirosentono (1999: 27-32) pengaruh budaya institusi yang
terhadap praktik instruksional antara lain:
1. Efektivitas dan efisiensi. Efektivitas adalah ukuran yang ditujukan oleh kenyataan
bahwa tujuan orang tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang
direncanakan. Efisiensi berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan
dalam upaya mencapai tujuan. Apabila jumlah yang dikeluarkan terlalu besar, maka
dapat dikatakan tidak efisiensi.
2. Otoritas dan tanggung jawab. Authority (otoritas) adalah sifat dari suatu komunikasi
atau perintah dalam suatu kegiatan organisasi formal yang dimiliki (diterima) oleh
peserta organisasi kepada para anggota organisasi lain untuk melakukan suatu
kegiatan kerja sesuai dengan kontribusinya. Otoritas juga dapat bermaksud wewenang
yang dimiliki seseorang untuk memerintah orang lain (bawahan) untuk melaksanakan
tugas yang dibebankan kepada masing-masing bawahan dalam suatu organisasi.
Wewenang tersebut mempunyai batas-batas tentang apa yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan.
3. Disiplin, meliputi disiplin waktu, disiplin kerja, dan taat pada peraturan yang berlaku.
4. Inisiatif dan kreativitas, adalah kemampuan memberdayakan daya pikir untuk
menyelesaikan pekerjaan kantor, kreatifitas dalam bentuk ide untuk merencanakan
sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi
1. Struktur Sosial
2. Kepentingan Pemerintah
Fasilitas pembelajaran adalah semua yang diperlukan dalam proses belajar mengajar
baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak agar pencapaian tujuan pendidikan dapat
berjalan dengan lancar, teratur, efektif dan efisien.
Partisipasi siswa dan komunitas sekolah memiliki banyak bentuk, mulai dari yang
berupa keikutsertaan langsung dalam suatu program maupun partisipasi secara tidak
langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam membuat
suatu kebijakan (Asri Lubis, 2009).
1. Menggunakan prinsip pertukaran dasar, yaitu pendekatan timbal balik manfaat yang
diterima langsung oleh masyarakat.
2. Memberikan bimbingan dan kepercayaan pada masyarakat melalui lembaga
kemasyarakatan dengan memperhatikan kondisi sosial sehingga motivasi masyarakat
semakin kuat untuk berpartisipasi.
3. Kegiatan atau program yang dilakukan harus bersifat dan berfungsi sebagai stimulan
yang mampu meningkatkan partisipasi dan swadaya masyarakat.
4. Rancangan program kegiatan harus sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat
sehingga memudahkan masyarakat untuk melibatkan diri.
5. Menyelaraskan program-program yang akan dilaksanakan dengan aspirasi yang
berkembang di masyarakat.
6. Melibatkan masyarakat dalam membuat suatu rencana dan keputusan.
Melalui dukungan kebijakan INPRES No.9 Tahun 2000, yang kemudian diikuti oleh
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003, dan Surat Edaran Bersama
tentang Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG) Melalui Perencanaan dan Penganggaran,
telah meletakkan dasar melalui penetapan. Pengarusutamaan sebagai strategi untuk mencapai
kesetaraan dan keadilan dalam lingkungan institusional, dan keharusan percepatan dalam
praktik instruksional melalui perencanaan dan penganggaran yang berbentuk strategi.
Otonomi pendidikan tentunya berkaitan dengan upaya peningkatan mutu, yang sangat
erat kaitannya dengan kebijakan (policy), komitmen, dan prioritas dari pengembangan
lembaga ke depan. Dalam hal ini, masalah kultur dan iklim, serta rasa optimisme menjadi
masalah lain yang juga harus dibangun agar peningkatan mutu lembaga dan sumber daya
manusia dapat lebih meningkat dan berkembang. Meningkatnya kecerdasan dan kemampuan
sumber daya manusia diikuti dengan permasalahan-permasalahan pendidikan yang semakin
kompleks. Berbagai permasalahan pendidikan yang perlu mendapatkan perhatian serius
diantaranya: pertama, peranan pendidikan dalam pembangunan nasional dalam masyarakat
yang serba terbuka menuntut adanya reformasi pendidikan nasional; kedua, pentingnya
manajemen pendidikan agar dapat dibangun sistem pendidikan nasional yang kuat dan
dinamis menuju kualitas output yang bermutu tinggi; ketiga, kemajuan teknologi informasi
yang mempengaruhi proses pendidikan dalam masyarakat ilmu (knowledge society); dan
keempat, otonomi daerah yang menuntut penyelenggaraan pendidikan nasional yang
memenuhi kebutuhan pembangunan daerah sebagai dasar pembangunan nasional dan kerja
sama regional.
Peningkatan mutu lembaga dan sumber daya manusia di era otonomi pendidikan ini
dapat dilakukan melalui pendekatan makro dan mikro. Pendekatan makro dapat
dikembangkan melalui penataan sistem birokrasi, adanya transparansi (keterbukaan),
pemberdayaan SDM dosen, dan staf (karyawan) dengan keunggulan kompetitif, optimalisasi
jaringan, profesionalitas administrasi dan manajemen, penataan mutu input, proses, dan
output, menjalin hubungan sinergis dengan stakeholder (pemerintah, swasta, dan
pemerintah), mencari sumber-sumber termasuk sumber pembiayaan untuk memajukan
lembaga. Sedangkan pendekatan mikro dapat dilakukan melalui penataan mutu dosen dan
pengembangan pendidikan yang berkarakter. Selain itu, untuk meningkatkan mutu lembaga,
juga diupayakan untuk mengembangkan jurusan-jurusan baru yang relevan dengan
kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja, serta relevan dengan kebutuhan pengembangan
lembaga.
Dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan, pimpinan melakukan tugas-
tugasnya dibantu oleh pimpinan yang lain bersama dengan pegawainya. Keberhasilan
pimpinan melaksanakan tugasnya akan dipengaruhi oleh kontribusi pihak lain. Artinya
kinerja pimpinan akan dipengaruhi oleh kinerja individu, jika kinerja individu baik akan
mempengaruhi kinerja pimpinan dan kinerja organisasi. Untuk mengetahui kinerja organisasi
perlu dilakukan pengukuran (Robbins, Stephen P. 1994).
Sebagaimana diamanatkan dalam Permen No. 16 Tahun 2009 ini bahwa pendidik
perlu dievaluasi kinerjanya, dalam hal ini hasil pelaksanaan tugasnya berdasarkan
kemampuannya dalam menerapkan semua kompetensi pengetahuan dan keterampilan yang
dimilikinya untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Hal ini disebabkan karena
kinerja pendidik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menciptakan proses
pembelajaran yang bermutu dan efektif yang bermuara pada terciptanya lulusan (output)
berupa peserta didik yang memiliki daya intelektual yang tinggi, mandiri, demokratis,
bertanggung jawab dan memiliki kompetensi spiritual dan sosial yang tinggi.
Model program pelibatan orangtua pada satuan pendidikan menengah atas berbasis
talent mapping ini mendasarkan pada asumsi bahwa setiap anak memiliki keunikan
kecerdasan masing-masing. Keunikan kecerdasan tersebut harus ditemukan melalui berbagai
tes dan pengamatan kebiasaan dan perilaku anak oleh orangtua dan guru sehingga dapat
dipetakan gaya belajar dan kecenderungan kecerdasan jamak anak. Pemetaan gaya belajar
dan kecenderungan kecerdasan anak dilakukan pertama kali melalui tes gaya belajar dan
kuesioner kecerdasan jamak. Tes gaya belajar adalah tes yang diberikan kepada anak untuk
mengetahui apakah modalitas belajar anak adalah pembelajar visual, atau pembelajar auditori
atau pembelajar kinestetis, atau kombinasi seimbang dari auditori, visual dan kinestetis.
Berdasarkan keunikan kecerdasan anak yang diperoleh melalui tes gaya belajar dan
kuesioner kecerdasan jamak, kemudian diperkuat dengan hasil pengamatan kebiasaan dan
perilaku sehari-hari di rumah dan di sekolah, orang tua menyesuaikan fasilitasi belajar anak,
pemilihan jurusan sma dan hingga ke perguruan tinggi serta kerjasama dengan
unsur/kelompok masyarakat yang dapat memfasilitasi bakat dan minat anak dengan
bekerjasama dengan guru di satuan pendidikan.
Bagi guru, keunikan gaya belajar dan kecerdasan anak menjadi pertimbangan dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran serta fasilitasi sekolah dalam pembinaan
kelompok ekstrakurikuler terhadap berbagai bidang kekhususan sesuai keminatan anak dan
kerjasama dengan unsur/kelompok di masyarakat. Pelibatan orangtua dalam berbagai bentuk,
kegiatan dan waktu di satuan pendidikan membahas dan mengevaluasi pendampingan proses
belajar anak oleh guru dan orangtua. Kerjasama guru dan orang tua diwujudkan dalam bentuk
jalinan komunikasi yang timbal balik dan saling menghargai yang berdampak pada
tumbuhkembangnya karakter dan budaya prestasi anak.
BAB III
(Studi Kasus: Implementasi kerjasama Sekolah Dengan Industri dalam Praktek kerja
Lapangan)
Penyusunan program praktek kerja melibatkan kerjasama dengan industri dalam hal
waktu pelaksanaan, tetapi tidak terdapat kerjasama dalam menentukan topik-topik
pembelajaran atau pekerjaan yang akan dilakukan. Pembekalan kepada siswa hanya
dilakukan oleh pihak sekolah tanpa melibatkan industri, sehingga siswa tidak mendapatkan
informasi tentang proses penilaian yang akan dilakukan oleh pembimbing.
Proses penilaian melibatkan kerjasama antara sekolah dan industri, namun temuan
menunjukkan bahwa pembimbing industri memberikan kebebasan kepada siswa dalam
mengisi format nilai sendiri, tanpa penekanan agar sesuai dengan kinerja sebenarnya.
Pemberian sertifikat hasil praktek kerja melibatkan kerjasama antara sekolah dan industri,
namun sertifikat tersebut hanya mencantumkan nilai yang didapatkan di industri, tanpa
mencerminkan keseluruhan penilaian.
Secara keseluruhan, terdapat beberapa kerjasama antara sekolah dan industri dalam
implementasi Praktek Kerja Industri di SMK P. Namun, masih terdapat beberapa masalah
dan temuan yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan dan evaluasi
praktek instruksional di lapangan.
1) Perencanaan.
● Pemilihan kompetensi belum terlaksana karena terdapat berbagai masalah
yaitu sekolah sudah berupaya mengundang pihak industri untuk membahas
terkait pelaksanaan prakerin namun DUDI tidak pernah menghadiri dengan
asumsi mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan, kurangnya komunikasi
antara sekolah dengan industri dan ketidak beranian sekolah dalam
memberikan arahan kepada industri dalam kebutuhan pembelajaran sesuai
pemilihan kompetensi.
● Penetapan industri sebagai tempat prakerin hanya berlandaskan kerjasama
lama, tidak ada tolok ukur kompetensi apa yang nantinya akan dipelajari
peserta didik di industri dan terdapat temuan pada penetapan industri yang
kurang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
● Penyusunan program prakerin terdapat kerjasama dengan industri seperti
urutan waktu pelaksanaan. Namun terkait dengan program seperti topik-topik
pembelajaran atau pekerjaan tidak ada kerjasama karena sekolah yang tidak
berani terlalu menuntut ke pihak industri. Sekolah takut bila industri tidak mau
bekerjasama lagi untuk kedepannya.
● Dalam proses pembekalan tidak terdapat kerjasama antara sekolah dengan
industri. Artinya pada saat proses pembekalan hanya pihak sekolah yang
memberikan wawasan terkait alur pelaksanaan prakerin dan di dalam
penyampaian tersebut tidak terdapat penyampaian proses penilaian yang
dilakukan pembimbing, karena peserta didik sangat memerlukan informasi
tersebut agar nantinya dapat dipelajari dan sebagai tolok ukur kemampuannya.
● Dalam penentuan pembimbing, sekolah tidak ada ketentuan khusus seperti
kesesuaian kompetensi antara pembimbing dan yang dibimbing. Hal yang
serupa juga terdapat pada penetapan pembimbing industri, dengan ketidak
adanya aturan khusus untuk menjadi pembimbing. Akan tetapi apabila industri
memiliki struktur organisasi atau manajemen seperti kepala bengkel maka
kepala bengkel tersebut yang biasanya dijadikan pembimbing.
2) Pembimbingan
● Dalam penyusunan jurnal terdapat kerjasama antara sekolah dengan industri
seperti sekolah yang telah menyediakan bentuk format yang nantinya dapat
diisi oleh siswa dan pembimbing industri yang memastikan akan
keterlaksanaannya. Di sisi lain bentuk format yang disediakan sekolah tidak
terdapat target-target pembelajaran di industri yang artinya hanya format atau
tabel kosong.
● Kegiatan monitoring sendiri dilakukan dengan bekerjasama antara sekolah
dengan industri. kerjasama tersebut seperti komunikasi antara pembimbing
sekolah dengan pembimbing industri dalam hal apa yang memang perlu
disampaikan terkait monitoring. Dalam kegiatan ini terdapat keteralihan
proses atau prosedur-prosedur yang dilakukan dengan harapan pemaksimalan
hasil monitoring.
● Dalam dokumentasi portofolio terdapat kerjasama antara sekolah dengan
industri dalam pembuatan seperti sekolah yang memberikan pemahaman
tentang proses pembuatan dokumen dan industri yang memastikan
keterlaksanaan serta melihat kesesuaian isi dengan realita yang didapatkan di
industri.
3) Penilaian
● Proses pelaksanaan penilaian terdapat kerjasama antara sekolah dengan
industri seperti sekolah yang telah menyediakan bentuk formatnya dan industri
sebagai penilai. Namun pada saat proses penilaian terdapat temuan bahwa
pembimbing industri memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk dapat
mengisi format nilai sendiri dan pada saat pengisiannya pembimbing
menuturkan kepada peserta didik untuk tidak melebihkan atau mengurangi
artinya sesuai apa yang dirasa oleh siswa tersebut.
● Dalam pemberian sertifikat hasil pelaksanaan prakerin terdapat kerjasama
antara sekolah dengan industri seperti sekolah yang menyediakan bentuk
sertifikat dengan isi nilai yang didapatkan di industri dan industri yang
memberikan tanda seperti stempel industri. Dengan kata lain pemberian
sertifikat hasil prakerin telah diberikan.
Kerjasama sekolah dengan industri dalam perencanaan terbagi menjadi lima sub-
indikator antara lain pemilihan kompetensi, penetapan DUDI, penyusunan program prakerin,
pembekalan peserta, penetapan pembimbing. Pemilihan kompetensi merupakan proses
analisis kompetensi dasar dan topik pembelajaran atau pekerjaan dari mata pelajaran pada
kompetensi keahlian, yang kemudian mematikannya berdasarkan kemungkinan atau peluang
dilaksanakannya pembelajaran topik-topik tersebut di masing-masing industri yang menjadi
institusi pasangan. Oleh karena itu, kerjasama antara sekolah dengan industri merupakan
upaya dalam meningkatkan produktivitas dengan wujud penyiapan lulusan yang berkualitas
secara kompetensi (Imam 2014). Pelaksanaan penetapan DUDI dapat berjalan dengan baik
apabila perencanaan dalam pemilihan kompetensi sudah berjalan semestinya. Dalam
menentukan industri setidaknya terdapat beberapa kriteria seperti perusahaan yang memiliki
badan hukum yang jelas (legal), menerapkan peraturan yang melindungi tenaga kerja,
menerapkan kontrak yang jelas dan menjamin keselamatan kerja (Sukardi & Hargiyarto,
2007). Sekolah dalam menentukan DUDI sebagai institusi pasangan tidak ada tolok ukur
kompetensi dasar sehingga berdampak pada ketidak sesuaian penetapan DUDI.
Pembekalan peserta prakerin di lakukan terhadap peserta yang akan melaksanakan
praktek kerja industri. Pembekalan tersebut dimaksudkan untuk memberikan pemahaman
tentang kegiatan belajar yang harus dilakukan di industri. Di SMK P pembekalan praktek
kerja Lapangan telah dilaksanakan. Penetapan pembimbing prakerin terdiri dari pembimbing
sekolah dan pembimbing industri. Pembimbing dari pihak sekolah adalah guru yang
bertanggung jawab terhadap pembelajaran kompetensi yang pembelajarannya dilaksanakan di
institusi pasangan, dan pembimbing industri yang sekaligus instruktur yang mengarahkan
peserta prakerin dalam menentukan pekerjaan di institusi pasangan. Proses penetapan
pembimbing di SMK P pada pembimbing sekolah dilakukan dengan lebih memprioritaskan
jarak tempuh antara tempat prakerin dengan rumah pembimbing dari sekolah, tanpa melihat
kesesuaian kompetensi. Dengan melihat jarak tempuh tersebut dimaksudkan agar dapat
memudahkan pembimbing dalam pelaksanaannya.
Kerjasama sekolah dengan industri dalam pembimbingan terbagi menjadi tiga sub-indikator
yaitu penyusunan jurnal prakerin, monitoring prakerin, dan dokumentasi portofolio. Selama
melakukan kegiatan pembelajaran di institusi pasangan peserta prakerin wajib menyusun
jurnal kegiatan prakerin. Pada dasarnya pembuatan jurnal ini dibuat selengkap mungkin
sesuai dengan topik topic pembelajaran atau jenis pekerjaan dan tugas yang telah diberikan
pembimbing industri serta dilengkapi catatan-catatan kejadian penting selama kegiatan
prakerin. kegiatan tersebut tentunya sangat bergantung pada pembimbing industri maupun
sekolah. Penyusunan jurnal yang ada di SMK P terdapat kerjasama antara sekolah dengan
industri dalam bentuk sekolah yang menyediakan format kosong atau kolom yang dapat diisi
sesuai pekerjaan serta tempat tanda tangan pembimbing industri. Proses pembimbingannya
sendiri telah dilakukan sekolah sejak awal saat pelaksanaan pembekalan dan pada saat
prakerin atau pada waktu pengisian jurnal, pembimbingan tersebut dilakukan oleh industri
dengan cara memantau kepastian pekerjaan yang dituliskan siswa di buku jurnal serta
menandatanganinya.
Kerjasama sekolah dengan industri dalam penilaian terbagi menjadi tiga sub-indikator
yaitu penilaian pembimbing, sertifikat industry, dan pelaporan nilai. Menurut Konggres
tentang Technical and Vocational Education and Training mengatakan bahwa sekolah
menengah kejuruan harus memiliki strategi khusus antara lain memiliki 4 aspek yaitu 1)
kebutuhan analisis, 2) seleksi dan urutan kompetensi, 3) pengembangan instruksional dan 4)
evaluasi pembelajaran, yang akan menjadi bekal dalam meniti karir.
Penilaian yang ada di SMK P terdapat kerjasama dalam proses penilaian antara
sekolah dengan industri.Bentuk kerjasamanya adalah dengan pembuatan indikator penilaian
yang dibuat sekolah dan pelaksanaan penilaiannya dilakukan oleh industri atau pembimbing
yang mewakili industry.
Pada proses pelaksanaan penilaian yang dilakukan pembimbing industri dari SMK P
terdapat proses penilaian yang tidak baik. Dikatakan tidak baik karena proses penilaian
tersebut yang seharusnya dilakukan pembimbing industri namun dalam pelaksanaannya siswa
sendiri yang melakukan penilaian, meskipun dari hasil nilai tersebut diawasi oleh
pembimbing industri. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 03/M-IND/PER/1?2017
tentang pedoman pembinaan dan pengembangan sekolah menengah kejuruan berbasis
kompetensi yang link and match dengan industri pada pasal 10 ayat 4 menyatakan bahwa
perusahan industri dan perusahaan kawasan industri memberikan sertifikat kepada peserta
didik dan guru bidang studi produktif yang telah menyelesaikan prakerin atau pemagangan
industri. Pemberian sertifikat juga diatur oleh peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 36
tahun 2016 bahwasanya diwajibkan pemberian sertifikat sesuai dengan standar yang
ditentukan industri dan apabila peserta prakerin tidak memenuhi standar kompetensi
pemberian sertifikat maka dapat diberikan keterangan telah mengikuti prakerin atau
pemagangan. Dari hasil temuan peneliti bahwasanya di SMK P terdapat kerjasama dalam
pembuatan sertifikat. Kerjasama yang ada di SMK P terdapat pembuatan sertifikat yang
disediakan pihak sekolah dan nilai serta tanda atau stempel yang disediakan pihak industry.
Pelaporan nilai adalah predikat nilai prakerin yang merupakan kombinasi dari nilai
keterampilan, pengetahuan dan sikap dengan formula yang ditetapkan oleh satuan
pendidikan. Dari hasil nilai yang di dapat saat pelaksanaan prakerin maka diintegrasikan
dalam nilai mata pelajaran.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Lingkungan institusional dan praktik pengajaran adalah dua elemen yang saling
terkait yang sangat mempengaruhi kualitas dan efektivitas pendidikan. Hubungan antara
lingkungan institusional dan praktik pengajaran adalah dinamis dan saling mempengaruhi.
Peran lingkungan fisik dalam praktik instruksional meliputi perencanaan kurikulum,
identifikasi pilihan instruksional, seleksi peralatan dan bahan, menghitung perkiraan biaya,
lokakarya staf tenaga pengajar tentang pengembangan sistem instruksional, perencanaan
program, prosedur evaluasi, dan revisi program. Pengaruh budaya institusi yang terhadap
praktik instruksional antara lain efektivitas dan efisiensi, otoritas dan tanggung jawab,
disiplin, inisiatif dan kreativitas. Berdasarkan studi kasus mengenai kerjasama sekolah SMK
dengan industri dalam praktek kerja lapangan adanya ketidaksesuaian antara kondisi di
lapangan dengan tujuan yang tertuang dalam undang-undang menunjukkan bahwa lulusan
SMK belum memenuhi standar yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Faktor-faktor lingkungan
institusional yang mendukung praktik instruksional yaitu Kebijakan dan regulasi,
Kepemimpinan yang kuat, Sumber daya yang memadai, Budaya sekolah yang inklusif dan
kolaboratif, Dukungan dan pengembangan profesional, dan Keterlibatan orang tua dan
masyarakat. Kerjasama antara sekolah dengan industri melalui program prakerin dilakukan
dengan beberapa tahapan, yaitu (1) perencanaan terdapat pemilihan kompetensi, penetapan
DUDI, penyusunan program, pembekalan, dan penetapan pembimbing. (2) pembimbingan
terdapat penyusunan jurnal, monitoring, dan dokumentasi portofolio. (3) penilaian terdapat
penilaian pembimbing, sertifikat, dan pelaporan nilai.
4.2 Rekomendasi
Untuk sekolah SMK P dalam penyampaian materi terhadap peserta pada saat
pembekalan harus dilakukan oleh guru sekolah yang dianggap bisa atau berkompeten dalam
isi materi tersebut. Serta dalam penetapan pembimbing harus dipilih dan dilatih. Dengan
dipilih dan dilatihnya pembimbing maka akan sangat berdampak pada pencapaian prakerin.
Pembimbing sekolah dengan pembimbing industri harus bekerja sama secara kontinu untuk
membahas pelaksanaan pembimbingan saat pelaksanaan prakerin. Hal tersebut dilakukan
agar sekolah dalam pembentukan kompetensi siswa dapat menghasilkan kualitas lulusan yang
sesuai dengan kebutuhan industri.
DAFTAR PUSTAKA
Darling-Hammond, L. (2017). Teacher Education around the World: What Can We Learn
from International Practice? European Journal of Teacher Education, 40(3), 291-309.
Fullan, M., & Hargreaves, A. (2012). Professional Capital: Transforming Teaching in Every
School. Teachers College Press.
Hattie, J. (2012). Visible Learning for Teachers: Maximizing Impact on Learning. Routledge.
Leithwood, K., Seashore Louis, K., Anderson, S., & Wahlstrom, K. (2004). How Leadership
Influences Student Learning. The Wallace Foundation.
OECD. (2018). The Future of Education and Skills: Education 2030. OECD Publishing.
Sahlberg, P., & Boce, M. (2019). The Institutional Environment of Schools and the Quality of
Instruction. In D. Wyse, N. Selwyn, & E. Smith (Eds.), The BERA/SAGE Handbook
of Educational Research (pp. 303-318). SAGE Publications.
Tomlinson, C. A. (2017). How to Differentiate Instruction in Academically Diverse
Classrooms. ASCD.
Sahlberg, P., & Boce, M. (2019). The Institutional Environment of Schools and the Quality of
Instruction. In D. Wyse, N. Selwyn, & E. Smith (Eds.), The BERA/SAGE Handbook
of Educational Research (pp. 303-318). SAGE Publications.
Darling-Hammond, L. (2017). Teacher Education around the World: What Can We Learn
from International Practice? European Journal of Teacher Education, 40(3), 291-309.
Alimin, “Pengaruh Organisasi Dalam Menciptakan Sumber Daya Manusia Yang Produktif Di
Lingkungan Sekolah”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam Vol. 19 No. 1, 2021, h. 56.
Amin. (2018). Mutu Lembaga Pendidikan Islam. Al-Tanzim Jurnal Manejemen Pendidikan
Islam, 2.
Barnett, M. (2019). 12. Social constructivism. The Globalization of World Politics, 2006,
192–206. https://doi.org/10.1093/hepl/9780198825548.003.0012
Clancey, W. . (1995). A Tutorial on Situated Learning. Proceedings of the International
Conference on Computers and Education, 49–70.
http://methodenpool.uni-koeln.de/situierteslernen/clancey_situated_learning.PDF
Creemers, B. P. M., & Reezigt, G. J. (1997). School Effectiveness and School Improvement:
Sustaining Links. School Effectiveness and School Improvement, 8(4), 396–429.
https://doi.org/10.1080/0924345970080402
Hayati, F., Zulvira, R., & Gistituati, N. (2021). Lembaga pendidikan : kebijakan dan
pengambilan keputusan. 6(1), 100–104.
Jha, A. K., & Devi, R. (2014). Social epistemology and social constructivist pedagogy for
school reforms. Pedagogy of Learning, 2(1), 12–18.
http://pedagogyoflearning.com/wp-content/uploads/2015/06/2-April-2014-Social-
Epistemology-and-Social-Constructivist-by-Arbind-K.-Jha-and-Ritika-Devi.pdf
Kukla, A. (2000). Social Constructivism and the Philosophy of Science. New York:
Routledge.
Leithwood, K., & Massey, L. (2010). Developing Leadership to Improve Student Outcomes.
In Developing Successful Leadership. https://doi.org/10.1007/978-90-481-9106-2_6
Linda Ramadhanty, Tujuan dan Manfaat Organisasi Pendidikan, diakses dari
http://lindaramadhanty2801.blogspot.com/2017/06/tujuan-dan-manfaat-organisasi,
pada tanggal 27 Februari 2022
Liu, Y., Bellibaş, M. Ş., & Gümüş, S. (2021). The Effect of Instructional Leadership and
Distributed Leadership on Teacher Self-efficacy and Job Satisfaction: Mediating
Roles of Supportive School Culture and Teacher Collaboration. Educational
Management Administration and Leadership, 49(3), 430–453.
https://doi.org/10.1177/1741143220910438
McLellan, H. (1996). Situated Learning Perspectives. Educational Technology Publications.
https://books.google.co.id/books?id=QGxqnQoOyIsC
Muksin, M. (2019). Perubahan Status Kelembagaan Perguruan Tinggi Agama Islam: Studi
Perubahan Iain menjadi UIN dan STAIN menjadi IAIN. Jurnal Kelola: Jurnal Ilmu
Sosial, 2(2), 70-84.
Munawar, H. (2017). Pengaruh Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Agama Islam
terhadap Koordinasi Penyuluh dengan Pengawas Pendidikan Agama Islam untuk
Mewujudkan Efektivitas Program Pendidikan Agama Islam. Jurnal Pendidikan
UNIGA, 11(1), 18-25.
Prof. Dr. H. Edy Sutrisno, M. S., & Media, P. (2019). Budaya Organisasi. Prenada Media.
https://books.google.co.id/books?id=pd6VDwAAQBAJ
Syafriani, Y., & Ramadhani, S. (2023). Budaya Organisasi dan Dampak Organisasi terhadap
Lembaga Pendidikan. Masaliq, 3(1), 77–85.
https://doi.org/10.58578/masaliq.v3i1.790
Amrozi, & Mukhadis, A. (2011). Kesesuaian sarana prasarana, kompetensi guru, manajemen,
dan proses praktikum prodi keahlian teknik otomotif smk ditinjau dari standar
peraturan pemerintah ri nomor 19 tahun 2005. TEKNOLOGI DAN KEJURUAN,
34(1).
Jatmoko, D. (2013). Relevansi Kurikulum SMK Kompetensi Keahlian Teknik Kendaraan
Ringan Terhadap Kebutuhan Dunia Industri di Kabupaten Sleman. Jurnal Pendidikan
Vokasi, 3(1).
Kolmos, A., & Holgaard, J. E. (2018). Employability in Engineering Education: Are
Engineering Students Ready for Work. Philosophy of Engineering and Technology,
32, 499-518.
Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 29 tahun 1990 tentang pendidikan menengah,
(1990).
LAMPIRAN