Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

Laporan Analisis Studi Kasus

“THE INSTITUTIONAL ENVIRONMENT AND INSTRUCTIONAL


PRACTICE”

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Kapasitas Kelembagaan Pendidikan (B)

Dosen Pengampu: Rispa Ngindana, S.AP, M.AP.

Disusun oleh:

Ahmad Badar Jayakusuma 205030901111020

Alifah Wilda Zen Kholis 205030900111018

Axella Audy Zhazha Eka Yuniar 205030901111004

Veranika Munte 205030901111008

Program Studi Administrasi Pendidikan

Departemen Administrasi Publik

Fakultas Ilmu Administrasi

Universitas Brawijaya

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul "The Institutional Environment and
Instructional Practice” dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan
kepada Baginda Rasulullah SAW. Semoga syafaatnya mengalir kepada kita di masa depan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas akhir Mata Kuliah Kapasitas Kelembagaan
Pendidikan (B). Selain itu, makalah ini juga bertujuan menambah wawasan mengenai
lingkungan institusional dan praktik instruksional.

Penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Ibu Rispa Ngindana,


S.AP, M.AP. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Kapasitas Kelembagaan Pendidikan (B).
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap kritik dan saran yang membangun agar dapat
lebih baik kedepannya.

Malang, 20 Juni 2023

Tim Penulis
DAFTAR ISI

COVER...............................................................................................................................

KATA PENGANTAR.......................................................................................................

DAFTAR ISI......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................


1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................................

BAB II TINJAUAN TEORITIS.......................................................................................

2.1 Konsep The Institutional Environment (Lingkungan Institusional)..............................


2.2 Konsep Instructional Practice (Praktik Instruksional)...................................................
2.3 Hubungan antara Lingkungan Institusional dan Praktik Instruksional..........................
2.4 Dampak Lingkungan Institusional yang Mendukung Praktik Instruksional yang Efektif
2.5 Strategi untuk meningkatkan Lingkungan Institusional dan Praktik Instruksional.......

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN....................................................................

3.1 Studi Kasus dan Pembahasan........................................................................................

BAB IV PENUTUP............................................................................................................

4.1 Kesimpulan....................................................................................................................
4.2 Saran..............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................

LAMPIRAN.......................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Institutional Environment dan Instructional Practice adalah dua komponen penting


dalam sistem pendidikan yang berperan dalam membentuk pengalaman belajar yang efektif
bagi siswa. Institutional Environment mencakup berbagai faktor yang menciptakan konteks
pendidikan, sedangkan Instructional Practice melibatkan strategi dan metode pengajaran
yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Memahami hubungan antara kedua
aspek ini dapat memberikan wawasan yang berharga untuk meningkatkan kualitas pendidikan
secara keseluruhan (Hattie, (2012).

Institutional Environment mencakup semua faktor yang mempengaruhi kegiatan


belajar mengajar di sebuah lembaga pendidikan. Hal ini mencakup kebijakan pendidikan,
struktur kurikulum, sumber daya fisik, dan budaya sekolah. Kebijakan pendidikan
mempengaruhi tujuan dan arah pendidikan di lembaga tersebut. Hal ini mencakup keputusan
tentang kurikulum, metode pengajaran, dan standar pembelajaran yang harus dicapai oleh
siswa. Sebagai contoh, suatu lembaga pendidikan yang menerapkan pendekatan berpusat
pada siswa mungkin akan memiliki kebijakan yang mendorong partisipasi aktif siswa dalam
proses pembelajaran.

Struktur kurikulum dan standar pendidikan juga merupakan bagian penting dari
Institutional Environment. Kurikulum mengatur apa yang diajarkan di kelas dan bagaimana
materi tersebut disajikan. Standar pendidikan menentukan tingkat pencapaian yang
diharapkan oleh siswa dalam berbagai aspek pembelajaran. Dengan memiliki kurikulum yang
terstruktur dengan baik dan standar yang jelas, lembaga pendidikan dapat memberikan arahan
yang jelas kepada guru dalam mengajar siswa.

Sumber daya fisik seperti bangunan sekolah, fasilitas laboratorium, perpustakaan, dan
teknologi juga berkontribusi terhadap Institutional Environment. Keberadaan sumber daya
yang memadai dapat menciptakan lingkungan yang nyaman dan memfasilitasi pembelajaran
yang efektif. Misalnya, akses ke peralatan teknologi modern dapat meningkatkan interaksi
dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (Hammond, L. (2017)

Budaya sekolah juga merupakan bagian penting dari Institutional Environment.


Budaya sekolah mencakup norma dan nilai-nilai yang diterapkan di lembaga tersebut. Hal ini
mencakup hubungan antara guru dan siswa, pengelolaan disiplin, dan kerjasama antar siswa.
Budaya sekolah yang positif dan inklusif menciptakan lingkungan yang mendukung
keberhasilan siswa. Misalnya, budaya sekolah yang mendorong kolaborasi dan penghargaan
terhadap perbedaan dapat memfasilitasi pembelajaran yang saling mendukung antara siswa
(Fullan, & Hargreaves, (2012).

Terdapat pula kebijakan dan tata kelola yang menjadi bagian dari Institutional
Environment. Kebijakan dan tata kelola mengatur proses pengambilan keputusan,
pengelolaan sumber daya, dan pertanggungjawaban dalam lembaga pendidikan. Keberadaan
kebijakan yang efektif dan tata kelola yang baik dapat memberikan landasan yang kokoh bagi
pelaksanaan Instructional Practice yang Efektif (OECD., 2018). Keberadaan kebijakan yang
jelas dan tata kelola yang transparan dapat memastikan bahwa sumber daya dialokasikan
dengan baik, proses pengajaran dievaluasi secara sistematis, dan akuntabilitas terhadap hasil
belajar siswa terjamin.

Instructional Practice, di sisi lain, merujuk pada metode, strategi, dan teknik yang
digunakan oleh guru dalam mengajar siswa. Hal ini mencakup penerapan pendekatan
pengajaran, strategi diferensiasi, penggunaan teknologi, penilaian dan umpan balik, dan
kolaborasi dalam proses pembelajaran. Pendekatan pengajaran yang efektif dapat mencakup
metode berbasis masalah, diskusi kelompok, dan pembelajaran aktif yang mendorong
partisipasi dan pemahaman yang mendalam.

Strategi diferensiasi memungkinkan guru untuk menyesuaikan pendekatan pengajaran


dan materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan keberagaman siswa. Dengan
mengakomodasi gaya belajar, tingkat kemampuan, dan minat siswa, guru dapat menciptakan
lingkungan yang inklusif dan mendukung perkembangan individu. Integrasi teknologi dalam
Instructional Practice juga menjadi faktor penting. Penggunaan alat dan sumber daya
teknologi dapat memperkaya pengalaman belajar siswa, meningkatkan keterlibatan, dan
memfasilitasi akses ke informasi yang lebih luas. Teknologi juga dapat digunakan untuk
mendukung diferensiasi, penilaian, dan umpan balik yang efektif.

Penilaian dan umpan balik berperan penting dalam Instructional Practice. Melalui
penilaian yang terencana dan terstruktur, guru dapat memantau kemajuan siswa,
mengidentifikasi kesulitan, dan mengukur pencapaian pembelajaran. Umpan balik yang tepat
waktu dan konstruktif memungkinkan siswa untuk memperbaiki pemahaman mereka dan
meningkatkan kinerja mereka.

Kolaborasi dan komunikasi juga penting dalam Instructional Practice. Guru dapat
bekerja sama dengan sesama guru, staf sekolah, dan ahli pendidikan lainnya untuk berbagi
pengetahuan, pengalaman, dan sumber daya. Kolaborasi ini menciptakan lingkungan yang
mendukung pengembangan profesional dan memfasilitasi pertukaran ide dan praktik terbaik

Dalam kesimpulan, lingkungan institusional dan praktik pengajaran adalah dua


elemen yang saling terkait yang sangat mempengaruhi kualitas dan efektivitas pendidikan.
Lingkungan institusional, yang mencakup kebijakan, tata kelola, sumber daya, dan sistem
dukungan, memberikan dasar dan kerangka kerja untuk praktik pengajaran yang efektif.
Pendanaan yang memadai, infrastruktur, dan sistem dukungan berkontribusi untuk
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa dan memberdayakan guru untuk
berkembang dalam peran pengajaran mereka.

Praktik pengajaran, di sisi lain, melibatkan pemilihan dan implementasi strategi


pengajaran yang tepat, diferensiasi, penilaian, integrasi teknologi, dan menciptakan
lingkungan belajar yang kolaboratif dan inklusif. Praktik pengajaran yang efektif mendorong
keterlibatan siswa, pemikiran kritis, dan pencapaian akademik (Tomlinson, 2017).

Hubungan antara lingkungan institusional dan praktik pengajaran adalah dinamis dan
saling mempengaruhi. Lingkungan institusional yang dirancang dengan baik dan mendukung
praktik pengajaran yang efektif menghasilkan peningkatan hasil siswa dan kualitas
pendidikan secara keseluruhan. Sebaliknya, praktik pengajaran berbasis bukti dapat
mempengaruhi dan membentuk lingkungan institusional dengan mendorong kebijakan dan
alokasi sumber daya yang sesuai dengan kepentingan terbaik siswa (Fullan & Hargreaves,
2012).

Untuk memastikan perbaikan berkelanjutan dalam pendidikan, penting bagi para


pengambil kebijakan, administrator, dan pendidik untuk memahami dan mengatasi interaksi
antara lingkungan institusional dan praktik pengajaran. Kolaborasi antara para pemangku
kepentingan sangat penting dalam menciptakan dan melaksanakan kebijakan yang
mendukung praktik pengajaran yang efektif dan meningkatkan lingkungan institusional
(Leithwood, et al.,. 2004).

Dengan mengacu pada penelitian dan praktik berbasis bukti, lembaga pendidikan
dapat menciptakan lingkungan positif dan memberdayakan yang mendorong pertumbuhan
siswa, mendorong pengembangan profesional guru, dan mempersiapkan peserta didik untuk
berhasil dalam dunia yang terus berkembang (Darling, 2017). Melalui pendekatan yang
seimbang dan menyeluruh terhadap lingkungan institusional dan praktik pengajaran, kita
dapat berusaha untuk mencapai keunggulan pendidikan dan membekali siswa dengan
keterampilan dan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk berhasil di abad ke-21 (Sahlberg
& Boce , 2019).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep dari lingkungan institusional dan praktik instruksional?


2. Bagaimana hubungan antara lingkungan institusional dan praktik instruksional?
3. Apa dampak dari lingkungan institusional dan praktik instruksional?
4. Bagaimana strategi untuk meningkatkan lingkungan institusional dan praktik
instruksional?
5. Bagaimana implementasi dari lingkungan Institusional yang mendukung praktik
instruksional?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Memahami konsep Lingkungan Institusional dan Praktik Instruksional


2. Menjelaskan Hubungan antara Lingkungan Institusional dan Praktik Instruksional
3. Menjelaskan Dampak Lingkungan Institusional yang Mendukung Praktik
Instruksional yang Efektif.
4. Menjelaskan Strategi untuk Meningkatkan Lingkungan Institusional dan Praktik
Instruksional.
5. Menjelaskan implementasi dari lingkungan Institusional yang mendukung praktik
instruksional (Studi Kasus: Implementasi kerjasama Sekolah Dengan Industri dalam
Praktek kerja Lapangan).
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep The Institutional Environment (Lingkungan Institusional)

A. Social Constructivism

Berawal dari seorang guru bahasa inggris yaitu Mrs. Smith yang kesulitan dengan
cara mengajar siswanya di Shakespeare. Dahulu murid-murid malas untuk membaca dan
terus mengeluh kesulitan dengan belajar bahasa. Akhirnya Mrs. Smith mengambil langkah
lain agar siswanya tersebut bisa aktif lagi yaitu dengan pendekatan Social Constructionsm. Ia
pun membagi kelas menjadi kelompok, Mrs smith ingin muridnya-muridnya lebih aktif lagi
dan saling bekerja sama dalam mempelajari materi tersebut mulai dari membaca,
menginterpretasi, dan kemudian menerjemahkannya kemudian dijelaskan ke depan murid
lainnya, begitulah cara bekerja social learning process (Barnett, 2019).

Dalam Barnett (2019) dijelaskan oleh Derry, McMahon menyatakan bahwa Social
Constructivism menekankan pada pentingnya kultur/budaya dan konteks dalam memahami
apa yang terjadi di masyarakat dan membangun pengetahuan berdasarkan pemahaman
tersebut. perspektif ini terkait erat dengan banyak teori kontemporer, terutama teori
perkembangan oleh Vygotsky dan Bruner, dan teori kognitif sosial oleh Bandura.

Dalam teori Konstruktivisme sosial didasarkan oleh asumsi khusus tentang realitas,
pengetahuan, dan pembelajaran. Beberapa premis penting yang perlu diperhatikan yaitu:
Realitas: percaya bahwa realitas dibangun atas aktivitas manusia , dan anggota masyarakat
bersama-sama menciptakan sifat-sifat dunia (penelitian oleh Kukla, 2000). Pengetahuan:
bahwa pengetahuan juga merupakan produksi manusia dna dibangun secara sosial budaya
(penelitian ini dilakukan oleh Ernest, 1999, Gredler, 1997; Pratt & Floden, 1994),; dan
manusia menciptakan makna melalui interaksi mereka satu sama lain dan dengan lingkungan
tempat mereka tinggal. Belajar:memandang belajar sebagai proses sosial, pembelajaran akan
bermakna apabila manusia individu terlibat dalam kegiatan sosial, (Barnett, 2019).

Dalam pembelajaran Beberapa konstruktivis sosial membahas dua aspek konteks


sosial yang sangat mempengaruhi sifat dan tingkat pembelajaran (Gredler, 1997; Wertch,
1991) dalam (Barnett, 2019). Perkembangan sejarah diwariskan oleh peserta didik sebagai
anggota budaya tertentu. Sistem simbol, seperti bahasa, logika, dan sistem matematika,
dipelajari sepanjang hidup pelajar. Sistem simbol ini mendikte bagaimana dan apa yang
dipelajari. Selanjutnya Sifat interaksi sosial pelajar dengan anggota masyarakat yang
berpengetahuan adalah penting. Tanpa interaksi sosial dengan orang lain yang lebih
berpengetahuan, tidak mungkin memperoleh makna sosial dari sistem simbol penting dan
belajar bagaimana menggunakannya. Anak kecil mengembangkan kemampuan berpikir
mereka dengan berinteraksi dengan orang dewasa (Barnett, 2019).
Menurut Gredler penerapan Konstruksi sosial dalam pembelajaran penting bagi
peserta didik dalam lingkungan belajar mereka, menurutnya terdapat empat perspektif umum
bagaimana pembelajaran dalam konteks Konstruktivisme sosial: 1) Cognitive tools
perspective : Perspektif alat kognitif berfokus pada pembelajaran keterampilan dan strategi
kognitif. Siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran sosial yang melibatkan metode berbasis
proyek langsung dan pemanfaatannya alat kognitif berbasis disiplin (Gredler, 1997; Prawat &
Folden, 1994). Bersama-sama mereka menghasilkan sebuah produk dan, sebagai kelompok,
memaksakan makna padanya melalui proses pembelajaran sosial. 2) Cognitive tools
perspective: Konstruktivisme sosial berbasis ide menetapkan prioritas pendidikan pada
konsep-konsep penting dalam berbagai disiplin ilmu (misalnya hubungan bagian-keseluruhan
dalam matematika, fotosintesis dalam sains, dan sudut pandang dalam sastra, Gredler, 1997,
Prawat, 1995; Prawat & Folden, 1994). "Gagasan besar" ini memperluas visi pembelajar dan
menjadi landasan penting bagi pemikiran peserta didik dan konstruksi makna sosial (Gredler,
1997). 3) Pragmatic or emergent approach: konstruktivis sosial dengan perspektif ini
menegaskan bahwa penerapan konstruktivisme sosial dalam kelas harus muncul sebagai
kebutuhan (Gredler, 1997). Pendukungnya berpendapat bahwa pengetahuan, makna, dan
pemahaman tentang dunia dapat dibahas di kelas dari kedua pandangan pembelajar individu
dan pandangan kolektif dari seluruh kelas (Gredler, 1997). 4) Transactional or situated
cognitive perspectives : Perspektif ini berfokus pada hubungan antara manusia dan
lingkungannya. Manusia adalah sebuah bagian dari lingkungan yang dibangun (termasuk
hubungan sosial); lingkungan pada gilirannya salah satunya karakteristik yang membentuk
individu (Bredo, 1994; Gredler, 1997). Ketika pikiran beroperasi, pemiliknya berinteraksi
dengan lingkungan. Oleh karena itu, jika lingkungan dan hubungan sosial di antara perubahan
anggota kelompok, tugas masing-masing individu juga berubah (Bredo, 1994; Gredler, 1997).
Belajar dengan demikian tidak boleh dilakukan secara terpisah dari lingkungan , (Jha & Devi,
2014).

B. Situated Learning

Teori pembelajaran terletak mengklaim bahwa setiap ide dan tindakan manusia adalah
generalisasi, disesuaikan dengan lingkungan yang sedang berlangsung, karena apa yang
orang lihat dan apa yang mereka lakukan muncul bersamaan. Dari perspektif ini, berpikir
adalah keterampilan fisik. Pembelajaran terletak adalah studi tentang bagaimana pengetahuan
manusia berkembang di jalannya kegiatan, dan terutama bagaimana orang membuat dan
menginterpretasikan deskripsi (representasi) dari apa yang mereka lakukan. Pengenalan ini
memberikan perspektif sejarah pembelajaran terletak, termasuk karya Dewey, Bartlett,
Vygotsky, dan Ryle, (Clancey, 1995).

Teori pembelajaran menekankan bahwa pengetahuan bukanlah suatu benda atau


rangkaian deskripsi atau kumpulan fakta dan aturan. Tapi peta itu bukan wilayah:
Pengetahuan manusia tidak seperti prosedur dan jaringan semantik dalam program komputer.
Pengetahuan manusia harus dipandang sebagai kapasitas untuk mengkoordinasikan dan
mengurutkan perilaku, untuk beradaptasi dinamis terhadap perubahan keadaan (Clancey,
1995).
Model dari teori ini berasal dari gagasan bahwa pengetahuan merupakan
kontekstualisasi keadaan dan pengaruh fundamental oleh aktivitas, konteks, dan
kultur/budaya (Brown, et al., 1989), pengetahuan sebagai sebuah situasi penting dalam
mempengaruhi pemahaman pembelajaran dan juga desain dari pengalaman dan aktivitas
instructional. Adapun komponen kunci dalam model teori ini adalah: cerita, refleksi,
Cognitive apprenticeship, kolaborasi, mentoring, praktis yang berulang, artikulasi dari skill
belajar dan teknologi (McLellan, 1996).

C. Organizational Culture

Budaya organisasi menjadi pondasi terbentuknya sebuah organisasi, dikarenakan


budaya organisasi adalah jati dirinya sebuah organisasi. Ada beberapa pendapat tentang
pengertian budaya organisasi, pendapat yang paling populer yaitu budaya organisasi adalah
pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal. Dapat dipahami bahwa
organisasi didirikan untuk menyelesaikan suatu masalah. Sebuah pendidikan biasanya
memiliki sebuah organisasi. Organisasi dalam pendidikan memiliki peran-peran yang dapat
membantu penunjangan kualitas pendidikan. Diantara peran-peran tersebut salah satunya
yaitu membantu peranan pengajar dalam meningkatkan kualitas SDM bagi para pelajar.
Organisasi adalah komponen penting dalam kehidupan, terutama dalam lingkup pendidikan.
Maka dari itu, patut disyukuri dengan adanya sebuah organisasi dalam kehidupan. Tanpa
organisasi, mungkin umat manusia akan kesulitan dalam menyelesaikan suatu permasalahan
(Syafriani & Ramadhani, 2023).

Istilah budaya dapat diartikan sebagai totalitas berperilaku, kesenian, kepercayaan,


kelembagaan, dan segala hal dari hasil pemikiran manusia yang mencirikan kondisi dan pola
suatu masyarakat yang sama-sama ditransmisikan (Amin, 2018).

Organizational Culture/ budaya organisasi didefinisikan sebagai perangkat sistem


nilai (values); keyakinan (beliefs); asumsi; dan norma anggota dalam suatu organisasi sebagai
pedoman perilaku dan pemecahan masalah organisasinya. Dalam budaya organisasi terjadi
asosiasi nilai nilai dan internalisasi pada diri para anggota. Budaya organisasi juga diartikan
sebagai kekuatan sosial yang tak nampak dalam menggerakan suatu organisasi dalam
melakukan aktivitasnya. Budaya organisasi yang kuat akan mendukung tujuan-tujuan
lembaga dan begitupun sebaliknya (Edy & Media, 2019).

Keith Davis dan John Newstrom bahwa: ”organizational culture is the set of
assumptions, beliefs, values, and norms that is shared among its members” Dikatakan bahwa
budaya organisasi adalah sejumlah asumsi, kepercayaan, nilai dan norma yang berlaku di
antara para anggota. budaya organisasi merupakan filosofi dasar organisasi yang memuat
keyakinan, norma-norma, dan nilai-nilai bersama yang menjadi karakteristik inti tentang cara
melakukan sesuatu dalam organisasi. Keyakinan, norma-norma, dan nilai-nilai tersebut
menjadi pegangan semua SDM (sumber daya manusia) dalam organisasi dalam
melaksanakan kinerjanya (Amin, 2018).
Menurut Nelson dan Quick budaya organisasi mempunyai empat fungsi dasar, yaitu
perasaan identitas dan menambah komitmen organisasi, alat pengorganisasian anggota,
menguatkan nilai-nilai dalam organisasi, dan mekanisme kontrol atas perilaku budaya yang
kuat meletakkan kepercayaan, tingkah laku, dan cara melakukan sesuatu tanpa perlu
dipertanyakan lagi. Dengan demikian, fungsi budaya organisasi adalah sebagai perekat sosial
dalam mempersatukan anggota dalam mencapai tujuan organisasi yang berguna untuk
ketentuan nilai-nilai yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para semua elemen. Hal
tersebut dapat berfungsi pula sebagai kontrol atas perilaku semua elemen (Alimin, 2021).

Selain fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas, budaya organisasi juga berfungsi
untuk: 1) Memberikan identitas organisasi kepada anggotanya; 2) Memudahkan komitmen
kolektif; 3) Mempromosikan stabilitas sistem sosial; 4) Membentuk perilaku dengan
membantu manager dengan merasakan keberadaannya (Linda Ramadhanty, 2017).

Budaya organisasi juga menjadi pondasi terbentuknya sebuah organisasi, dikarenakan


budaya organisasi adalah jati dirinya sebuah organisasi. Ada beberapa pendapat tentang
pengertian budaya organisasi, pendapat yang paling populer yaitu budaya organisasi adalah
pokok penyelesaian masalah- masalah eksternal dan internal. Dapat dipahami bahwa
organisasi didirikan untuk menyelesaikan suatu masalah. Sebuah pendidikan biasanya
memiliki sebuah organisasi. Organisasi dalam pendidikan memiliki peran-peran yang dapat
membantu penunjangan kualitas pendidikan. Diantara peran-peran tersebut salah satunya
yaitu membantu peranan pengajar dalam meningkatkan kualitas SDM bagi para pelajar.
Organisasi adalah komponen penting dalam kehidupan, terutama dalam lingkup pendidikan
(Syafriani & Ramadhani, 2023).

2.2 Konsep Instructional Practice (Praktik Instruksional)

A. Instructional Leadership

Sebagai pemimpin instruksional, kepala sekolah memantau dan mengevaluasi kinerja


instruksional guru berdasarkan visi dan tujuan sekolah dan memberi mereka umpan balik
untuk meningkatkan teknik dan strategi instruksional mereka (Bridges, 1967 dalam (Liu et
al., 2021)), sambil mendukung kolaborasi antara guru dan menyediakan sumber daya untuk
pelatihan profesional. Mereka menunjukkan bahwa pemimpin instruksional mengembangkan
tujuan sekolah dan mengkomunikasikan tujuan ini dengan staf, mengkoordinasikan
kurikulum, mengawasi instruksi kelas, memantau kemajuan siswa, memberi penghargaan
pada pengajaran yang efektif dan siswa yang berhasil, melindungi waktu instruksional,
menjaga visibilitas, dan memberi guru peluang pengembangan profesional (Liu et al., 2021).

Perhatikan bahwa banyak penelitian awal tentang kepemimpinan instruksional


diambil dari studi tentang sekolah dasar perkotaan yang melayani anak-anak miskin. Ini
adalah deskripsi kepala sekolah yang entah bagaimana berhasil mengubah sekolah mereka.
Mereka cenderung sangat direktif dalam gaya kepemimpinan mereka, menggunakan
kepemimpinan sebagai penggerak untuk menggerakkan sekolah ke arah yang lebih produktif.
Dengan demikian, para pemimpin instruksional dipandang sebagai minoritas kecil dari kepala
sekolah yang entah bagaimana berhasil mengatasi tekanan yang mendorong kepala sekolah
jauh dari fokus pada pengajaran dan pembelajaran (Leithwood & Massey, 2010).

Pemimpin instruksional berorientasi pada tujuan. Mereka memimpin dalam


mendefinisikan arah yang jelas untuk sekolah mereka dan memotivasi orang lain untuk
memberikan usaha mereka menuju prestasi. Di sekolah-sekolah yang secara instruksional
efektif melayani siswa yang kurang berprestasi, arah ini terutama berfokus pada peningkatan
hasil akademik siswa. Yang terpenting, para pemimpin instruksional mampu menyelaraskan
misi akademik sekolah dengan strategi dan tindakan. Dengan demikian, pemimpin
instruksional tidak hanya berfokus pada memimpin, tetapi juga pada pengelolaan (Leithwood
& Massey, 2010).

Menurut Hallinger, 2008; Hallinger & Murphy, 1985 dalam (Leithwood & Massey,
2010) bahwa kepemimpinan instruksional memiliki prinsip yang didefinisikan sebagai
“Defining the School’s Mission, Managing the Instructional Program, and Promoting a
Positive School Learning Climate” yang artinya “Mendefinisikan Misi Sekolah, Mengelola
Program Instruksional, dan Mempromosikan Iklim Belajar Sekolah yang Positif”.

Selanjutnya, dimensi kedua dalam Mengelola Program Instruksional berfokus pada


koordinasi dan kontrol instruksi dan kurikulum. Dimensi ini menggabungkan tiga fungsi
kepemimpinan (atau yang mungkin disebut manajemen): Mengawasi dan Mengevaluasi
Instruksi, Mengkoordinasikan Kurikulum, dan Memantau Kemajuan Siswa. Dalam model
kepemimpinan instruksional ini, mengelola program instruksional mengharuskan kepala
sekolah terlibat secara mendalam dalam merangsang, mengawasi, dan memantau proses
belajar mengajar di sekolah. Tentunya, fungsi tersebut menuntut kepala sekolah memiliki
keahlian dalam proses belajar mengajar, serta komitmen terhadap kemajuan sekolah. Dimensi
inilah yang mengharuskan kepala sekolah untuk menjadi “hip-deep” dalam program
instruksional sekolah (Bossert et al., 1982; Cuban, 1984; Dwyer, 1986; Edmonds, 1979;
Marshall, 1996) dalam (Leithwood & Massey, 2010).

Sekolah yang efektif secara instruksional mengembangkan budaya perbaikan terus-


menerus dalam penghargaan mana untuk siswa dan staf yang selaras dengan tujuan dan
praktik (Barth, 1990; Glasman, 1984; Hallinger & Murphy, 1986; Heck et al., 1990;
Leithwood & Montgomery, 1982; Mortimore, 1993; Purkey & Smith, 1983) dalam
(Leithwood & Massey, 2010). Kepala sekolah sangat terlihat di kampus dan bahkan di ruang
kelas. Model utama nilai dan praktek yang menciptakan iklim dan mendukung perbaikan
terus-menerus dari pengajaran dan pembelajaran (Dwyer, 1986; Hallinger & Murphy, 1986)
dalam (Leithwood & Massey, 2010).

B. Kebijakan Pendidikan

Salah satu indikator keberhasilan sebuah lembaga pendidikan dalam proses


pencapaian tujuan yang telah disepakati sangat tergantung oleh fungsi pemimpin dalam
menentukan kebijakan maupun dalam mengambil sebuah keputusan (Fitrah, 2017 dalam
(Hayati et al., 2021)). Kebijakan dan pengambilan keputusan merupakan dua hal yang saling
berhubungan dan berkaitan satu sama lainnya. Kebijakan lebih menekankan kepada teori
sedangkan pengambilan keputusan berhubungan dengan praktek. Sebuah keputusan yang
tidak dilandasi oleh teori dalam tindakan pengambilan keputusan akan mampu mengurangi
nilai keilmiahan pengambilan tindakan keputusan tersebut. Sedangkan sebuah kebijakan yang
tidak didasari oleh pengambilan keputusan akan sulit untuk untuk mewujudkannya (Hayati et
al., 2021).

Kebijakan berasal dari kata bijak yang artinya mahir, pandai, menggunakan akal
(Muksin, 2019). Namun dari kata kebijakan dapat diartikan sebagai rangkaian garis besar
yang terdiri dari asas dan konsep dalam melaksanakan proses kepemimpinan (Munawar,
2017). Dari pengertian tersebut terdapat dua poin utama yang perlu dikaji yaitu sebuah
keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak harus didasarkan dengan pertimbangan yang
logis disaat proses pengambilan keputusannya. Selain itu pengambilan keputusan akan
menghasilkan sebuah maupun beberapa keputusan yang menjadi landasan pekerjaan dalam
sebuah organisasi. Maka dari hal tersebut dapat didefinisikan bahwa kebijakan dalam
pendidikan merupakan keseluruhan dari proses maupun hasil pengorganisasian langkah
strategis yang dituangkan kedalam visi dan misi pendidikan yang bertujuan untuk mencapai
tujuan pendidikan dalam jangka waktu yang telah disepakati (Hayati et al., 2021).

C. School Effectiveness and Improvement

Idealnya, penelitian keefektifan sekolah dan peningkatan sekolah mungkin memiliki


hubungan dengan nilai lebih untuk keduanya. Pada kenyataannya, hubungan ini seringkali
merepotkan. Beberapa masalah dapat dikaitkan dengan perbedaan intrinsik antara efektivitas
dan perbaikan, seperti misi yang berbeda. Namun, analisis situasi saat ini dalam keefektifan
dan perbaikan menunjukkan bahwa ada banyak kemungkinan di semua tahap studi penelitian
dan proyek perbaikan untuk hubungan yang lebih bermanfaat. Dalam artikel ini, hubungan
yang lebih kuat antara efektivitas dan peningkatan dianjurkan. Tautan semacam itu dapat
dicapai dengan proses aplikasi dan rekonstruksi pengetahuan yang dipandu dengan lebih baik
selama penelitian dan peningkatan efektivitas. Proses ini, diilustrasikan oleh beberapa proyek
sukses yang telah dimulai baru-baru ini, dijelaskan di bawah judul interaktivitas
berkelanjutan (Creemers & Reezigt, 1997).

Efektivitas sekolah telah menyebabkan perubahan besar dalam kebijakan pendidikan


di banyak negara dengan menekankan akuntabilitas sekolah dan tanggung jawab pendidik
untuk menyediakan semua anak kemungkinan untuk berprestasi tinggi, sehingga
meningkatkan kebutuhan untuk perbaikan sekolah (Mortimore, 1991 dalam (Creemers &
Reezigt, 1997)). Efektivitas sekolah menunjukkan perlunya peningkatan sekolah khususnya
dengan berfokus pada faktor sekolah yang dapat diubah (Murphy, 1992). Proyek peningkatan
sekolah diperlukan untuk mengetahui bagaimana sekolah dapat menjadi lebih efektif. Proyek-
proyek ini sering dianggap menerapkan faktor sekolah yang efektif dalam praktik pendidikan
dan dalam melakukan ini, dapat menghasilkan umpan balik yang berguna untuk efektivitas
sekolah. Perbaikan sekolah mungkin menunjuk pada konsep efektifitas yang tidak akurat,
seperti gagasan linearitas atau satu dimensi. Selain itu, peningkatan sekolah dapat
memberikan lebih banyak wawasan tentang strategi untuk mengubah sekolah dengan sukses
ke arah efektivitas (Creemers & Reezigt, 1997).

Fullan (1991 dalam Creemers & Reezigt, 1997) ) menyatakan bahwa efektivitas
sekolah "sebagian besar berfokus pada tujuan pendidikan yang sempit, dan penelitian itu
sendiri hampir tidak memberitahu kita tentang bagaimana sekolah yang efektif menjadi
seperti itu dan jika tetap efektif" (hal. 22). Stoll dan Fink (1992) dalam (Creemers & Reezigt,
1997)) berpendapat bahwa efektivitas sekolah seharusnya lebih memperjelas bagaimana
sekolah dapat menjadi efektif. Menurut Mortimore (1991), banyak upaya perbaikan yang
gagal karena hasil penelitian tidak diterjemahkan secara memadai ke dalam pedoman praktik
pendidikan. Perubahan terkadang dipaksakan ke sekolah, dan ketika hasilnya mengecewakan,
kepala sekolah dan guru disalahkan. Teddlie dan Roberts (1993) dalam (Creemers & Reezigt,
1997)) mengemukakan bahwa perwakilan efektivitas dan peningkatan tidak bekerja sama
secara otomatis, tetapi cenderung melihat satu sama lain sebagai pesaing.

2.3 Hubungan antara Lingkungan Institusional dan Praktik Instruksional

A. Pengaruh Lingkungan Institusional Terhadap Praktik Instruksional

Teori institusional mengatakan bahwa perusahaan merupakan entitas terbuka yang


sangat ditentukan oleh lingkungan institusinya. Lingkungan Institusional dibedakan menjadi
lingkungan institusional lemah dan lingkungan institusional kuat. Chan et al. (2010)
menemukan bahwa dibandingkan dengan auditor lokal di lingkungan institusional yang kuat,
auditor lokal yang berada di lingkungan institusional yang lemah lebih mungkin untuk
mengeluarkan pendapat wajar tanpa pengecualian untuk perusahaan tersebut.

Lingkungan Institusional diduga berpengaruh terhadap praktik instruksional. Jika


BUMN berada pada lingkungan institusional lemah, artinya lingkungan hukumnya juga akan
lemah, maka perusahaan akan leluasa memilih praktik mana yang lebih mudah memberikan
pengaruh tanpa pengecualian. Sebaliknya, BUMN yang berada pada lingkungan institusional
kuat, artinya lingkungan hukumnya juga akan kuat, sehingga akan mempersempit ruang
gerak BUMN untuk memilih praktik mana yang berpeluang akan menguntungkan perusahaan
dengan memberikan pengaruh tanpa pengecualian.

B. Peran Lingkungan Fisik Dalam Praktik Instruksional

Peran lingkungan fisik dalam praktik instruksional dapat memberikan suatu bagian di
dalam dinas atau bagian dan staf tenaga pengajar secara individual di dalam membuat
rancangan (desain) dan pemilihan options (pilihan) yang akan meningkatkan efektivitas dan
efisiensi proses pembelajaran. Hal ini meliputi: perencanaan kurikulum, identifikasi pilihan
instruksional, seleksi peralatan dan bahan, menghitung perkiraan biaya, lokakarya staf tenaga
pengajar tentang pengembangan sistem instruksional, perencanaan program, prosedur
evaluasi, dan revisi program.

Pentingnya peran lingkungan fisik dalam praktik instruksional tak bisa dipungkiri
lagi. Akan tetapi, sumber-sumber yang ada di satuan institusi selama ini, umumnya belum
dimanfaatkan dan dikelola secara maksimal untuk tujuan praktik instruksional. Padahal,
berbagai sumber tersebut hanya akan berdaya guna jika sudah dikelola dan difungsikan
secara maksimal dan terorganisir.

C. Pengaruh Budaya Institusi Terhadap Praktik Instruksional

Pengaruh budaya suatu institusi terhadap praktik instruksional memiliki banyak faktor
dalam mencapai tingkat ketercapaian, pengaruh itu dapat berupa pengaruh intern maupun
pengaruh ekstern. Banyaknya pengaruh-pengaruh tersebut maka dampak yang diberikan pun
juga akan bervariatif, hal itu tergantung pada pengaruh yang diberikan terhadap praktik
instruksional. Menurut Suyadi Prawirosentono (1999: 27-32) pengaruh budaya institusi yang
terhadap praktik instruksional antara lain:

1. Efektivitas dan efisiensi. Efektivitas adalah ukuran yang ditujukan oleh kenyataan
bahwa tujuan orang tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang
direncanakan. Efisiensi berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan
dalam upaya mencapai tujuan. Apabila jumlah yang dikeluarkan terlalu besar, maka
dapat dikatakan tidak efisiensi.
2. Otoritas dan tanggung jawab. Authority (otoritas) adalah sifat dari suatu komunikasi
atau perintah dalam suatu kegiatan organisasi formal yang dimiliki (diterima) oleh
peserta organisasi kepada para anggota organisasi lain untuk melakukan suatu
kegiatan kerja sesuai dengan kontribusinya. Otoritas juga dapat bermaksud wewenang
yang dimiliki seseorang untuk memerintah orang lain (bawahan) untuk melaksanakan
tugas yang dibebankan kepada masing-masing bawahan dalam suatu organisasi.
Wewenang tersebut mempunyai batas-batas tentang apa yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan.
3. Disiplin, meliputi disiplin waktu, disiplin kerja, dan taat pada peraturan yang berlaku.
4. Inisiatif dan kreativitas, adalah kemampuan memberdayakan daya pikir untuk
menyelesaikan pekerjaan kantor, kreatifitas dalam bentuk ide untuk merencanakan
sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi

2.4 Dampak Lingkungan Institusional yang Mendukung Praktik Instruksional yang


Efektif

A. Lingkungan yang Mendukung Kolaborasi

Lingkungan yang dapat dikatakan mendukung suatu kolaborasi memiliki faktor


pendukung proses collaborative yakni :

1. Struktur Sosial

Faktor struktur sosial menjadi salah satu yang mempengaruhi proses


kolaborasi. Pada struktur sosial terpacu hubungan antar stakeholder dalam proses
kolaborasi. Struktur sosial ini sendiri berkaitan tentang struktur perencanaan, struktur
tugas dan fungsi stakeholder sehingga menjelaskan hubungan kolaborasi. Setiap
stakeholder telah mengetahui akan tugas dan fungsinya dalam proses kolaborasi.
Maka dengan begitu akan menumbuhkan sikap kesadaran stakeholder terhadap
tugasnya. Membangun sikap sadar akan tugasnya meningkatkan kinerja dalam proses
kolaborasi tidak hanya sekedar melaksanakan tugas tetapi juga memperhatikan hasil
maksimal dalam pekerjaannya.

2. Kepentingan Pemerintah

Faktor kepentingan pemerintah sangat berkaitan dengan kepentingan politik


antar stakeholder yang berkolaborasi. Salah satu bentuk kepentingan pemerintah
adalah dengan adanya pembuatan kebijakan. Dengan adanya suatu kebijakan,
diharapkan semakin menumbuhkan kepedulian dalam melestarikan dan meningkatkan
kualitas kolaborasi.

B. Fasilitas Pembelajaran yang Memadai

Fasilitas pembelajaran adalah semua yang diperlukan dalam proses belajar mengajar
baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak agar pencapaian tujuan pendidikan dapat
berjalan dengan lancar, teratur, efektif dan efisien.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa fasilitas pembelajaran yang


memadai memiliki suatu perlengkapan belajar yang langsung maupun tidak langsung yang
dapat digunakan guru untuk memudahkan, melancarkan dan menunjang dalam kegiatan
belajar siswa. Dengan adanya fasilitas pembelajaran yang sudah memadai, akan
mempengaruhi kreativitas seorang guru pula dalam proses pembelajaran sehingga tercipta
pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan.

C. Kebijakan yang Mendorong Inovasi Dalam Instruksi

Penerapan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 terkait e-government merupakan


sebuah inovasi dalam reformasi birokrasi di Indonesia yang menghendaki adanya perubahan
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel berbasis
elektronik. Perubahan ini sebenarnya memberikan peluang yang sangat besar terhadap
partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan melalui penyaluran aspirasi terkait
pelaksanaan pemerintahan. Selain itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
turut membuka peluang untuk mengakses, mengelola dan memanfaatkan informasi dalam
volume yang besar dengan cepat dan akurat (Widodo, 2019: 160).

Fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa implementasi e-government


di Indonesia sudah meningkat secara kuantitatif, tetapi secara kualitas masih belum
sebanding, sehingga masih terjadi perbedaan antara tujuan yang ingin dicapai oleh
Pemerintah dan hasil yang didapatkan dari penerapan e-government ini sendiri (Sari &
Isnaeni, 2019: 86). Selain itu, kegagalan dalam pelaksanaan e-government diakibatkan oleh
kesalahan dalam perubahan manajemen, yakni Pemerintah tidak memandang objek e-
government (pemerintah/ pemerintah daerah) mempunyai kondisi yang unik sehingga hanya
menerapkan model e-government yang umum (Sulistiyani & Susanto, 2018: 40-41). Jika
Pemerintah menginginkan kesuksesan pelaksanaan e-government sampai pada tingkat daerah
Pemerintah harus mampu mengakomodasi kondisi kekhasan tiap-tiap daerah tersebut dengan
memberikan peluang bagi pemerintah daerah melakukan inovasi dalam penerapan e-
government.

D. Partisipasi Siswa dan Komunitas Sekolah

Partisipasi siswa dan komunitas sekolah memiliki banyak bentuk, mulai dari yang
berupa keikutsertaan langsung dalam suatu program maupun partisipasi secara tidak
langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam membuat
suatu kebijakan (Asri Lubis, 2009).

Usaha menggerakkan partisipasi siswa dan komunitas sekolah merupakan suatu


keharusan dalam pelaksanaan suatu program. Partisipasi tersebut dapat dibangkitkan melalui
upaya-upaya sebagai berikut (Kusnaedi, 1995: 48-49) :

1. Menggunakan prinsip pertukaran dasar, yaitu pendekatan timbal balik manfaat yang
diterima langsung oleh masyarakat.
2. Memberikan bimbingan dan kepercayaan pada masyarakat melalui lembaga
kemasyarakatan dengan memperhatikan kondisi sosial sehingga motivasi masyarakat
semakin kuat untuk berpartisipasi.
3. Kegiatan atau program yang dilakukan harus bersifat dan berfungsi sebagai stimulan
yang mampu meningkatkan partisipasi dan swadaya masyarakat.
4. Rancangan program kegiatan harus sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat
sehingga memudahkan masyarakat untuk melibatkan diri.
5. Menyelaraskan program-program yang akan dilaksanakan dengan aspirasi yang
berkembang di masyarakat.
6. Melibatkan masyarakat dalam membuat suatu rencana dan keputusan.

2.5 Strategi untuk Meningkatkan Lingkungan Institusional dan Praktik Instruksional

A. Pengembangan Kebijakan yang Responsif

Melalui dukungan kebijakan INPRES No.9 Tahun 2000, yang kemudian diikuti oleh
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003, dan Surat Edaran Bersama
tentang Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG) Melalui Perencanaan dan Penganggaran,
telah meletakkan dasar melalui penetapan. Pengarusutamaan sebagai strategi untuk mencapai
kesetaraan dan keadilan dalam lingkungan institusional, dan keharusan percepatan dalam
praktik instruksional melalui perencanaan dan penganggaran yang berbentuk strategi.

Faktanya, di dapati pelaksanaan kebijakan-kebijakan pengarusutamaan lingkungan


institusional dan praktik instruksional bidang pendidikan di atas, masih ditemui banyak
kendala. Berbagai persoalan kesenjangan kebijakan di bidang pendidikan belumlah menjadi
isu dan masalah pokok serta menjadi opsi utama dalam perumusan kebijakan dan program
pembangunan pendidikan, sehingga hasil kebijakan belum mengarah pada terwujudnya
kesetaraan dan keadilan dalam lingkungan institusional sebagaimana yang diharuskan dan
diharapkan.
B. Peningkatan Sumber Daya Pendidikan

Otonomi pendidikan tentunya berkaitan dengan upaya peningkatan mutu, yang sangat
erat kaitannya dengan kebijakan (policy), komitmen, dan prioritas dari pengembangan
lembaga ke depan. Dalam hal ini, masalah kultur dan iklim, serta rasa optimisme menjadi
masalah lain yang juga harus dibangun agar peningkatan mutu lembaga dan sumber daya
manusia dapat lebih meningkat dan berkembang. Meningkatnya kecerdasan dan kemampuan
sumber daya manusia diikuti dengan permasalahan-permasalahan pendidikan yang semakin
kompleks. Berbagai permasalahan pendidikan yang perlu mendapatkan perhatian serius
diantaranya: pertama, peranan pendidikan dalam pembangunan nasional dalam masyarakat
yang serba terbuka menuntut adanya reformasi pendidikan nasional; kedua, pentingnya
manajemen pendidikan agar dapat dibangun sistem pendidikan nasional yang kuat dan
dinamis menuju kualitas output yang bermutu tinggi; ketiga, kemajuan teknologi informasi
yang mempengaruhi proses pendidikan dalam masyarakat ilmu (knowledge society); dan
keempat, otonomi daerah yang menuntut penyelenggaraan pendidikan nasional yang
memenuhi kebutuhan pembangunan daerah sebagai dasar pembangunan nasional dan kerja
sama regional.

Peningkatan mutu lembaga dan sumber daya manusia di era otonomi pendidikan ini
dapat dilakukan melalui pendekatan makro dan mikro. Pendekatan makro dapat
dikembangkan melalui penataan sistem birokrasi, adanya transparansi (keterbukaan),
pemberdayaan SDM dosen, dan staf (karyawan) dengan keunggulan kompetitif, optimalisasi
jaringan, profesionalitas administrasi dan manajemen, penataan mutu input, proses, dan
output, menjalin hubungan sinergis dengan stakeholder (pemerintah, swasta, dan
pemerintah), mencari sumber-sumber termasuk sumber pembiayaan untuk memajukan
lembaga. Sedangkan pendekatan mikro dapat dilakukan melalui penataan mutu dosen dan
pengembangan pendidikan yang berkarakter. Selain itu, untuk meningkatkan mutu lembaga,
juga diupayakan untuk mengembangkan jurusan-jurusan baru yang relevan dengan
kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja, serta relevan dengan kebutuhan pengembangan
lembaga.

C. Penguatan Kepemimpinan dan Manajemen

Dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan, pimpinan melakukan tugas-
tugasnya dibantu oleh pimpinan yang lain bersama dengan pegawainya. Keberhasilan
pimpinan melaksanakan tugasnya akan dipengaruhi oleh kontribusi pihak lain. Artinya
kinerja pimpinan akan dipengaruhi oleh kinerja individu, jika kinerja individu baik akan
mempengaruhi kinerja pimpinan dan kinerja organisasi. Untuk mengetahui kinerja organisasi
perlu dilakukan pengukuran (Robbins, Stephen P. 1994).

Sebagaimana diamanatkan dalam Permen No. 16 Tahun 2009 ini bahwa pendidik
perlu dievaluasi kinerjanya, dalam hal ini hasil pelaksanaan tugasnya berdasarkan
kemampuannya dalam menerapkan semua kompetensi pengetahuan dan keterampilan yang
dimilikinya untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Hal ini disebabkan karena
kinerja pendidik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menciptakan proses
pembelajaran yang bermutu dan efektif yang bermuara pada terciptanya lulusan (output)
berupa peserta didik yang memiliki daya intelektual yang tinggi, mandiri, demokratis,
bertanggung jawab dan memiliki kompetensi spiritual dan sosial yang tinggi.

Kepemimpinan yang berorientasi mutu menjadi prasyarat untuk mewujudkan tujuan


sekolah.Kemampuan memimpin ini meliputi kemampuan kepala sekolah untuk bekerja
dengan atau melalui staf administratif dan tenaga akademisnya (Danim, 2012).Oleh karena
itu seorang kepala sekolah seharusnya memahami dengan benar visi lembaga yang
dipimpinnya, mampu membudayakan kerja secara bermutu dan dapat memberdayakan
seluruh potensi yang ada untuk mendukung program pencapaian mutu sekolah

D. Pelibatan Aktif Siswa, Guru, dan Orang Tua

Model program pelibatan orangtua pada satuan pendidikan menengah atas berbasis
talent mapping ini mendasarkan pada asumsi bahwa setiap anak memiliki keunikan
kecerdasan masing-masing. Keunikan kecerdasan tersebut harus ditemukan melalui berbagai
tes dan pengamatan kebiasaan dan perilaku anak oleh orangtua dan guru sehingga dapat
dipetakan gaya belajar dan kecenderungan kecerdasan jamak anak. Pemetaan gaya belajar
dan kecenderungan kecerdasan anak dilakukan pertama kali melalui tes gaya belajar dan
kuesioner kecerdasan jamak. Tes gaya belajar adalah tes yang diberikan kepada anak untuk
mengetahui apakah modalitas belajar anak adalah pembelajar visual, atau pembelajar auditori
atau pembelajar kinestetis, atau kombinasi seimbang dari auditori, visual dan kinestetis.

Berdasarkan keunikan kecerdasan anak yang diperoleh melalui tes gaya belajar dan
kuesioner kecerdasan jamak, kemudian diperkuat dengan hasil pengamatan kebiasaan dan
perilaku sehari-hari di rumah dan di sekolah, orang tua menyesuaikan fasilitasi belajar anak,
pemilihan jurusan sma dan hingga ke perguruan tinggi serta kerjasama dengan
unsur/kelompok masyarakat yang dapat memfasilitasi bakat dan minat anak dengan
bekerjasama dengan guru di satuan pendidikan.

Bagi guru, keunikan gaya belajar dan kecerdasan anak menjadi pertimbangan dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran serta fasilitasi sekolah dalam pembinaan
kelompok ekstrakurikuler terhadap berbagai bidang kekhususan sesuai keminatan anak dan
kerjasama dengan unsur/kelompok di masyarakat. Pelibatan orangtua dalam berbagai bentuk,
kegiatan dan waktu di satuan pendidikan membahas dan mengevaluasi pendampingan proses
belajar anak oleh guru dan orangtua. Kerjasama guru dan orang tua diwujudkan dalam bentuk
jalinan komunikasi yang timbal balik dan saling menghargai yang berdampak pada
tumbuhkembangnya karakter dan budaya prestasi anak.
BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

(Studi Kasus: Implementasi kerjasama Sekolah Dengan Industri dalam Praktek kerja
Lapangan)

Studi Kasus: Contoh Implementasi Lingkungan Institusional yang Mendukung Praktik


Instruksional

A. Deskripsi studi kasus

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga pendidikan yang bertujuan


untuk menghasilkan lulusan yang terampil dan kompeten dalam mempersiapkan mereka
untuk bekerja. Pandangan yang sama juga dinyatakan oleh Amrozi & Mukhadis (2011),
bahwa SMK bertujuan untuk mengenbangkan keterampilan, kebiasaan kerja, pemahaman,
sikap dan pengetahuan siswa agar mereka siap memasuki dunia kerja. Namun, data dari
Badan Pusat Statistik (BPS,2018) menunjukkan bahwa masih banyak lulusan SMK yang
tidak bekerja atau tidak diterima di DUnia Usaha/Dunia Industri (DU/DI), dan hal ini menjadi
kontradiktif dengan uraian sebelumnya. Menurut jatmoko (2013) satu dari enam lulusan
SMK masuk dalam kategori menganggur. Kolmos & Holgaard (2018) menekankan bahwa
terdapat kesenjangan keterampilan antara pendidikan dan pekerjaan menurut Organisasi
Profesional dan Internasional.

Adanya ketidaksesuaian antara kondisi di lapangan dengan tujuan yang tertuang


dalam undang-undang menunjukkan bahwa lulusan SMK belum memenuhi standar yang
dibutuhkan oleh dunia kerja. Ketidaksiapan lulusan ini secara tidak langsung berdampak
negatif pada industri. Industri harus menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan tambahan
untuk mempersiapkan tenaga kerja sebelum mereka dapat bekerja. Hal ini mengakibatkan
industri harus mengalokasikan anggaran tambahan di samping anggaran internal. Oleh karena
itu, penting untuk memberikan perhatian serius terhadap kualitas pendidikan dan relevansi
kelulusan dengan kebutuhan konsumen. Dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas, kerja sama dengan industri terkait perlu dilakukan.
Implementasi Praktek Kerja Industri melalui Jalinan Kerjasama Antara Sekolah
Dengan Industri di SMK P melibatkan beberapa tahapan, termasuk perencanaan,
pembimbingan, dan penilaian. Namun, terdapat beberapa temuan dan masalah yang
mempengaruhi implementasi praktik instruksional tersebut.

Dalam tahap perencanaan, pemilihan kompetensi belum terlaksana dengan baik


karena masalah komunikasi antara sekolah dan industri, serta keberanian sekolah dalam
memberikan arahan kepada industri mengenai kebutuhan pembelajaran. Penetapan industri
sebagai tempat praktek kerja didasarkan pada kerjasama lama tanpa mempertimbangkan
kesesuaian kompetensi yang diperlukan.

Penyusunan program praktek kerja melibatkan kerjasama dengan industri dalam hal
waktu pelaksanaan, tetapi tidak terdapat kerjasama dalam menentukan topik-topik
pembelajaran atau pekerjaan yang akan dilakukan. Pembekalan kepada siswa hanya
dilakukan oleh pihak sekolah tanpa melibatkan industri, sehingga siswa tidak mendapatkan
informasi tentang proses penilaian yang akan dilakukan oleh pembimbing.

Penentuan pembimbing tidak mengikuti ketentuan khusus mengenai kesesuaian


kompetensi antara pembimbing dan yang dibimbing. Kerjasama antara sekolah dan industri
terjadi dalam penyusunan jurnal, namun format jurnal yang disediakan sekolah tidak
mencantumkan target pembelajaran di industri.

Kegiatan monitoring dilakukan melalui komunikasi antara pembimbing sekolah dan


pembimbing industri, tetapi terdapat perbedaan dalam prosedur yang dilakukan, sehingga
hasil monitoring tidak maksimal. Kerjasama antara sekolah dan industri juga terjadi dalam
pembuatan dokumentasi portofolio, namun format yang disediakan sekolah tidak mencakup
isi yang sesuai dengan realita di industri.

Proses penilaian melibatkan kerjasama antara sekolah dan industri, namun temuan
menunjukkan bahwa pembimbing industri memberikan kebebasan kepada siswa dalam
mengisi format nilai sendiri, tanpa penekanan agar sesuai dengan kinerja sebenarnya.
Pemberian sertifikat hasil praktek kerja melibatkan kerjasama antara sekolah dan industri,
namun sertifikat tersebut hanya mencantumkan nilai yang didapatkan di industri, tanpa
mencerminkan keseluruhan penilaian.

Secara keseluruhan, terdapat beberapa kerjasama antara sekolah dan industri dalam
implementasi Praktek Kerja Industri di SMK P. Namun, masih terdapat beberapa masalah
dan temuan yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan dan evaluasi
praktek instruksional di lapangan.

B. Analisis faktor-faktor lingkungan institusional yang mendukung praktik instruksional

Analisis faktor-faktor lingkungan institusional yang mendukung praktik instruksional


akan membantu dalam memahami bagaimana aspek-aspek tertentu dari lingkungan sekolah
atau institusi pendidikan dapat mempengaruhi kualitas dan efektivitas praktik instruksional.
Berikut adalah analisis faktor-faktor lingkungan institusional yang mendukung praktik
instruksional:

1. Kebijakan dan regulasi: Kebijakan dan regulasi yang mendukung praktik


instruksional yang baik sangat penting. Kebijakan yang jelas dan komprehensif,
seperti kurikulum yang relevan, standar pembelajaran yang terukur, dan pedoman
evaluasi yang objektif, akan memberikan arah dan panduan bagi guru dalam
merancang dan melaksanakan pembelajaran yang efektif.
2. Kepemimpinan yang kuat: Kepemimpinan yang efektif sangat berperan dalam
menciptakan lingkungan yang mendukung praktik instruksional. Pemimpin sekolah
atau institusi pendidikan harus memiliki visi yang jelas tentang pendidikan yang
berkualitas, kemampuan untuk menginspirasi dan memotivasi guru, serta
keterampilan dalam membangun budaya kolaboratif yang mendorong pertumbuhan
profesional dan inovasi dalam pembelajaran.
3. Sumber daya yang memadai: Ketersediaan sumber daya yang memadai, seperti
fasilitas yang lengkap, perangkat teknologi, dan bahan ajar yang relevan, akan
memberikan dukungan praktis bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran yang
efektif. Sumber daya yang memadai juga mencakup dukungan administratif dan
keuangan yang cukup untuk mendukung pengembangan dan pelaksanaan program
instruksional.
4. Budaya sekolah yang inklusif dan kolaboratif: Budaya sekolah yang inklusif dan
kolaboratif sangat penting dalam mendukung praktik instruksional yang efektif.
Lingkungan yang mendorong kerja tim, kolaborasi antara guru, dan partisipasi siswa
dalam pembelajaran akan menciptakan suasana yang kondusif bagi pertumbuhan dan
keberhasilan siswa.
5. Dukungan dan pengembangan profesional: Institusi pendidikan yang memberikan
dukungan dan peluang pengembangan profesional kepada guru akan memperkuat
praktik instruksional. Dukungan tersebut dapat berupa pelatihan berkala, program
mentoring, kesempatan untuk berkolaborasi dengan rekan sejawat, dan akses terhadap
sumber daya dan informasi terkini dalam bidang pendidikan.
6. Keterlibatan orang tua dan masyarakat: Keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam
pendidikan sangat penting untuk mendukung praktik instruksional yang efektif.
Komunikasi yang terbuka dan kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat
akan menciptakan lingkungan yang positif dan memberikan dukungan yang konsisten
bagi pembelajaran siswa di sekolah dan di rumah.

Analisis faktor-faktor lingkungan institusional ini menyoroti pentingnya kebijakan,


kepemimpinan, sumber daya, budaya sekolah, dukungan profesional, dan keterlibatan orang
tua dan

C. Hasil dan implikasi studi kasus

Dalam implementasi di lapangan kerjasama antara sekolah dengan industri melalui


program prakerin dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu : perencanaan, pembimbingan
dan penilaian. Dari tahapan tersebut terdapat sub-indikator dari masing-masing yaitu (1)
perencanaan terdapat pemilihan kompetensi, penetapan DUDI, penyusunan program,
pembekalan, dan penetapan pembimbing. (2) pembimbingan terdapat penyusunan jurnal,
monitoring, dan dokumentasi portofolio. (3) penilaian terdapat penilaian pembimbing,
sertifikat, dan pelaporan nilai.

Berikut ini penjelasan dari masing-masing tahapan:

1) Perencanaan.
● Pemilihan kompetensi belum terlaksana karena terdapat berbagai masalah
yaitu sekolah sudah berupaya mengundang pihak industri untuk membahas
terkait pelaksanaan prakerin namun DUDI tidak pernah menghadiri dengan
asumsi mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan, kurangnya komunikasi
antara sekolah dengan industri dan ketidak beranian sekolah dalam
memberikan arahan kepada industri dalam kebutuhan pembelajaran sesuai
pemilihan kompetensi.
● Penetapan industri sebagai tempat prakerin hanya berlandaskan kerjasama
lama, tidak ada tolok ukur kompetensi apa yang nantinya akan dipelajari
peserta didik di industri dan terdapat temuan pada penetapan industri yang
kurang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
● Penyusunan program prakerin terdapat kerjasama dengan industri seperti
urutan waktu pelaksanaan. Namun terkait dengan program seperti topik-topik
pembelajaran atau pekerjaan tidak ada kerjasama karena sekolah yang tidak
berani terlalu menuntut ke pihak industri. Sekolah takut bila industri tidak mau
bekerjasama lagi untuk kedepannya.
● Dalam proses pembekalan tidak terdapat kerjasama antara sekolah dengan
industri. Artinya pada saat proses pembekalan hanya pihak sekolah yang
memberikan wawasan terkait alur pelaksanaan prakerin dan di dalam
penyampaian tersebut tidak terdapat penyampaian proses penilaian yang
dilakukan pembimbing, karena peserta didik sangat memerlukan informasi
tersebut agar nantinya dapat dipelajari dan sebagai tolok ukur kemampuannya.
● Dalam penentuan pembimbing, sekolah tidak ada ketentuan khusus seperti
kesesuaian kompetensi antara pembimbing dan yang dibimbing. Hal yang
serupa juga terdapat pada penetapan pembimbing industri, dengan ketidak
adanya aturan khusus untuk menjadi pembimbing. Akan tetapi apabila industri
memiliki struktur organisasi atau manajemen seperti kepala bengkel maka
kepala bengkel tersebut yang biasanya dijadikan pembimbing.
2) Pembimbingan
● Dalam penyusunan jurnal terdapat kerjasama antara sekolah dengan industri
seperti sekolah yang telah menyediakan bentuk format yang nantinya dapat
diisi oleh siswa dan pembimbing industri yang memastikan akan
keterlaksanaannya. Di sisi lain bentuk format yang disediakan sekolah tidak
terdapat target-target pembelajaran di industri yang artinya hanya format atau
tabel kosong.
● Kegiatan monitoring sendiri dilakukan dengan bekerjasama antara sekolah
dengan industri. kerjasama tersebut seperti komunikasi antara pembimbing
sekolah dengan pembimbing industri dalam hal apa yang memang perlu
disampaikan terkait monitoring. Dalam kegiatan ini terdapat keteralihan
proses atau prosedur-prosedur yang dilakukan dengan harapan pemaksimalan
hasil monitoring.
● Dalam dokumentasi portofolio terdapat kerjasama antara sekolah dengan
industri dalam pembuatan seperti sekolah yang memberikan pemahaman
tentang proses pembuatan dokumen dan industri yang memastikan
keterlaksanaan serta melihat kesesuaian isi dengan realita yang didapatkan di
industri.

3) Penilaian
● Proses pelaksanaan penilaian terdapat kerjasama antara sekolah dengan
industri seperti sekolah yang telah menyediakan bentuk formatnya dan industri
sebagai penilai. Namun pada saat proses penilaian terdapat temuan bahwa
pembimbing industri memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk dapat
mengisi format nilai sendiri dan pada saat pengisiannya pembimbing
menuturkan kepada peserta didik untuk tidak melebihkan atau mengurangi
artinya sesuai apa yang dirasa oleh siswa tersebut.
● Dalam pemberian sertifikat hasil pelaksanaan prakerin terdapat kerjasama
antara sekolah dengan industri seperti sekolah yang menyediakan bentuk
sertifikat dengan isi nilai yang didapatkan di industri dan industri yang
memberikan tanda seperti stempel industri. Dengan kata lain pemberian
sertifikat hasil prakerin telah diberikan.

Kerjasama Sekolah Dengan Industri dalam Perencanaan Praktek Kerja Lapangan

Kerjasama sekolah dengan industri dalam perencanaan terbagi menjadi lima sub-
indikator antara lain pemilihan kompetensi, penetapan DUDI, penyusunan program prakerin,
pembekalan peserta, penetapan pembimbing. Pemilihan kompetensi merupakan proses
analisis kompetensi dasar dan topik pembelajaran atau pekerjaan dari mata pelajaran pada
kompetensi keahlian, yang kemudian mematikannya berdasarkan kemungkinan atau peluang
dilaksanakannya pembelajaran topik-topik tersebut di masing-masing industri yang menjadi
institusi pasangan. Oleh karena itu, kerjasama antara sekolah dengan industri merupakan
upaya dalam meningkatkan produktivitas dengan wujud penyiapan lulusan yang berkualitas
secara kompetensi (Imam 2014). Pelaksanaan penetapan DUDI dapat berjalan dengan baik
apabila perencanaan dalam pemilihan kompetensi sudah berjalan semestinya. Dalam
menentukan industri setidaknya terdapat beberapa kriteria seperti perusahaan yang memiliki
badan hukum yang jelas (legal), menerapkan peraturan yang melindungi tenaga kerja,
menerapkan kontrak yang jelas dan menjamin keselamatan kerja (Sukardi & Hargiyarto,
2007). Sekolah dalam menentukan DUDI sebagai institusi pasangan tidak ada tolok ukur
kompetensi dasar sehingga berdampak pada ketidak sesuaian penetapan DUDI.
Pembekalan peserta prakerin di lakukan terhadap peserta yang akan melaksanakan
praktek kerja industri. Pembekalan tersebut dimaksudkan untuk memberikan pemahaman
tentang kegiatan belajar yang harus dilakukan di industri. Di SMK P pembekalan praktek
kerja Lapangan telah dilaksanakan. Penetapan pembimbing prakerin terdiri dari pembimbing
sekolah dan pembimbing industri. Pembimbing dari pihak sekolah adalah guru yang
bertanggung jawab terhadap pembelajaran kompetensi yang pembelajarannya dilaksanakan di
institusi pasangan, dan pembimbing industri yang sekaligus instruktur yang mengarahkan
peserta prakerin dalam menentukan pekerjaan di institusi pasangan. Proses penetapan
pembimbing di SMK P pada pembimbing sekolah dilakukan dengan lebih memprioritaskan
jarak tempuh antara tempat prakerin dengan rumah pembimbing dari sekolah, tanpa melihat
kesesuaian kompetensi. Dengan melihat jarak tempuh tersebut dimaksudkan agar dapat
memudahkan pembimbing dalam pelaksanaannya.

Kerjasama Sekolah dengan Industri dalam Pembimbingan Praktek Kerja Industri

Kerjasama sekolah dengan industri dalam pembimbingan terbagi menjadi tiga sub-indikator
yaitu penyusunan jurnal prakerin, monitoring prakerin, dan dokumentasi portofolio. Selama
melakukan kegiatan pembelajaran di institusi pasangan peserta prakerin wajib menyusun
jurnal kegiatan prakerin. Pada dasarnya pembuatan jurnal ini dibuat selengkap mungkin
sesuai dengan topik topic pembelajaran atau jenis pekerjaan dan tugas yang telah diberikan
pembimbing industri serta dilengkapi catatan-catatan kejadian penting selama kegiatan
prakerin. kegiatan tersebut tentunya sangat bergantung pada pembimbing industri maupun
sekolah. Penyusunan jurnal yang ada di SMK P terdapat kerjasama antara sekolah dengan
industri dalam bentuk sekolah yang menyediakan format kosong atau kolom yang dapat diisi
sesuai pekerjaan serta tempat tanda tangan pembimbing industri. Proses pembimbingannya
sendiri telah dilakukan sekolah sejak awal saat pelaksanaan pembekalan dan pada saat
prakerin atau pada waktu pengisian jurnal, pembimbingan tersebut dilakukan oleh industri
dengan cara memantau kepastian pekerjaan yang dituliskan siswa di buku jurnal serta
menandatanganinya.

Monitoring sendiri dimaksudkan untuk mendapatkan umpan balik guna meningkatkan


mutu pelaksanaan prakerin. pada SMK P tidak terdapat kerjasama. Pada SMK P pelaksanaan
monitoring telah dilakukan pembimbing dari sekolah dengan waktu pelaksanaan yang tidak
menentu tergantung kebutuhan atau adanya masalah yang dihadapi siswa saat pelaksanaan
prakerin. Terdapat kerjasama sekolah dengan industri dalam pembuatan dokumentasi
portofolio dengan sekolah yang telah memberikan arahan dalam pembuatan dan industri yang
memastikan kesesuaian isi dokumen tersebut.

Kerjasama Sekolah dengan Industri dalam Penilaian Praktek Kerja Industri

Kerjasama sekolah dengan industri dalam penilaian terbagi menjadi tiga sub-indikator
yaitu penilaian pembimbing, sertifikat industry, dan pelaporan nilai. Menurut Konggres
tentang Technical and Vocational Education and Training mengatakan bahwa sekolah
menengah kejuruan harus memiliki strategi khusus antara lain memiliki 4 aspek yaitu 1)
kebutuhan analisis, 2) seleksi dan urutan kompetensi, 3) pengembangan instruksional dan 4)
evaluasi pembelajaran, yang akan menjadi bekal dalam meniti karir.

Penilaian yang ada di SMK P terdapat kerjasama dalam proses penilaian antara
sekolah dengan industri.Bentuk kerjasamanya adalah dengan pembuatan indikator penilaian
yang dibuat sekolah dan pelaksanaan penilaiannya dilakukan oleh industri atau pembimbing
yang mewakili industry.

Pada proses pelaksanaan penilaian yang dilakukan pembimbing industri dari SMK P
terdapat proses penilaian yang tidak baik. Dikatakan tidak baik karena proses penilaian
tersebut yang seharusnya dilakukan pembimbing industri namun dalam pelaksanaannya siswa
sendiri yang melakukan penilaian, meskipun dari hasil nilai tersebut diawasi oleh
pembimbing industri. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 03/M-IND/PER/1?2017
tentang pedoman pembinaan dan pengembangan sekolah menengah kejuruan berbasis
kompetensi yang link and match dengan industri pada pasal 10 ayat 4 menyatakan bahwa
perusahan industri dan perusahaan kawasan industri memberikan sertifikat kepada peserta
didik dan guru bidang studi produktif yang telah menyelesaikan prakerin atau pemagangan
industri. Pemberian sertifikat juga diatur oleh peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 36
tahun 2016 bahwasanya diwajibkan pemberian sertifikat sesuai dengan standar yang
ditentukan industri dan apabila peserta prakerin tidak memenuhi standar kompetensi
pemberian sertifikat maka dapat diberikan keterangan telah mengikuti prakerin atau
pemagangan. Dari hasil temuan peneliti bahwasanya di SMK P terdapat kerjasama dalam
pembuatan sertifikat. Kerjasama yang ada di SMK P terdapat pembuatan sertifikat yang
disediakan pihak sekolah dan nilai serta tanda atau stempel yang disediakan pihak industry.

Pelaporan nilai adalah predikat nilai prakerin yang merupakan kombinasi dari nilai
keterampilan, pengetahuan dan sikap dengan formula yang ditetapkan oleh satuan
pendidikan. Dari hasil nilai yang di dapat saat pelaksanaan prakerin maka diintegrasikan
dalam nilai mata pelajaran.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Lingkungan institusional dan praktik pengajaran adalah dua elemen yang saling
terkait yang sangat mempengaruhi kualitas dan efektivitas pendidikan. Hubungan antara
lingkungan institusional dan praktik pengajaran adalah dinamis dan saling mempengaruhi.
Peran lingkungan fisik dalam praktik instruksional meliputi perencanaan kurikulum,
identifikasi pilihan instruksional, seleksi peralatan dan bahan, menghitung perkiraan biaya,
lokakarya staf tenaga pengajar tentang pengembangan sistem instruksional, perencanaan
program, prosedur evaluasi, dan revisi program. Pengaruh budaya institusi yang terhadap
praktik instruksional antara lain efektivitas dan efisiensi, otoritas dan tanggung jawab,
disiplin, inisiatif dan kreativitas. Berdasarkan studi kasus mengenai kerjasama sekolah SMK
dengan industri dalam praktek kerja lapangan adanya ketidaksesuaian antara kondisi di
lapangan dengan tujuan yang tertuang dalam undang-undang menunjukkan bahwa lulusan
SMK belum memenuhi standar yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Faktor-faktor lingkungan
institusional yang mendukung praktik instruksional yaitu Kebijakan dan regulasi,
Kepemimpinan yang kuat, Sumber daya yang memadai, Budaya sekolah yang inklusif dan
kolaboratif, Dukungan dan pengembangan profesional, dan Keterlibatan orang tua dan
masyarakat. Kerjasama antara sekolah dengan industri melalui program prakerin dilakukan
dengan beberapa tahapan, yaitu (1) perencanaan terdapat pemilihan kompetensi, penetapan
DUDI, penyusunan program, pembekalan, dan penetapan pembimbing. (2) pembimbingan
terdapat penyusunan jurnal, monitoring, dan dokumentasi portofolio. (3) penilaian terdapat
penilaian pembimbing, sertifikat, dan pelaporan nilai.

4.2 Rekomendasi
Untuk sekolah SMK P dalam penyampaian materi terhadap peserta pada saat
pembekalan harus dilakukan oleh guru sekolah yang dianggap bisa atau berkompeten dalam
isi materi tersebut. Serta dalam penetapan pembimbing harus dipilih dan dilatih. Dengan
dipilih dan dilatihnya pembimbing maka akan sangat berdampak pada pencapaian prakerin.
Pembimbing sekolah dengan pembimbing industri harus bekerja sama secara kontinu untuk
membahas pelaksanaan pembimbingan saat pelaksanaan prakerin. Hal tersebut dilakukan
agar sekolah dalam pembentukan kompetensi siswa dapat menghasilkan kualitas lulusan yang
sesuai dengan kebutuhan industri.

DAFTAR PUSTAKA

Darling-Hammond, L. (2017). Teacher Education around the World: What Can We Learn
from International Practice? European Journal of Teacher Education, 40(3), 291-309.

Fullan, M., & Hargreaves, A. (2012). Professional Capital: Transforming Teaching in Every
School. Teachers College Press.
Hattie, J. (2012). Visible Learning for Teachers: Maximizing Impact on Learning. Routledge.
Leithwood, K., Seashore Louis, K., Anderson, S., & Wahlstrom, K. (2004). How Leadership
Influences Student Learning. The Wallace Foundation.
OECD. (2018). The Future of Education and Skills: Education 2030. OECD Publishing.
Sahlberg, P., & Boce, M. (2019). The Institutional Environment of Schools and the Quality of
Instruction. In D. Wyse, N. Selwyn, & E. Smith (Eds.), The BERA/SAGE Handbook
of Educational Research (pp. 303-318). SAGE Publications.
Tomlinson, C. A. (2017). How to Differentiate Instruction in Academically Diverse
Classrooms. ASCD.
Sahlberg, P., & Boce, M. (2019). The Institutional Environment of Schools and the Quality of
Instruction. In D. Wyse, N. Selwyn, & E. Smith (Eds.), The BERA/SAGE Handbook
of Educational Research (pp. 303-318). SAGE Publications.
Darling-Hammond, L. (2017). Teacher Education around the World: What Can We Learn
from International Practice? European Journal of Teacher Education, 40(3), 291-309.
Alimin, “Pengaruh Organisasi Dalam Menciptakan Sumber Daya Manusia Yang Produktif Di
Lingkungan Sekolah”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam Vol. 19 No. 1, 2021, h. 56.
Amin. (2018). Mutu Lembaga Pendidikan Islam. Al-Tanzim Jurnal Manejemen Pendidikan
Islam, 2.
Barnett, M. (2019). 12. Social constructivism. The Globalization of World Politics, 2006,
192–206. https://doi.org/10.1093/hepl/9780198825548.003.0012
Clancey, W. . (1995). A Tutorial on Situated Learning. Proceedings of the International
Conference on Computers and Education, 49–70.
http://methodenpool.uni-koeln.de/situierteslernen/clancey_situated_learning.PDF
Creemers, B. P. M., & Reezigt, G. J. (1997). School Effectiveness and School Improvement:
Sustaining Links. School Effectiveness and School Improvement, 8(4), 396–429.
https://doi.org/10.1080/0924345970080402
Hayati, F., Zulvira, R., & Gistituati, N. (2021). Lembaga pendidikan : kebijakan dan
pengambilan keputusan. 6(1), 100–104.
Jha, A. K., & Devi, R. (2014). Social epistemology and social constructivist pedagogy for
school reforms. Pedagogy of Learning, 2(1), 12–18.
http://pedagogyoflearning.com/wp-content/uploads/2015/06/2-April-2014-Social-
Epistemology-and-Social-Constructivist-by-Arbind-K.-Jha-and-Ritika-Devi.pdf
Kukla, A. (2000). Social Constructivism and the Philosophy of Science. New York:
Routledge.
Leithwood, K., & Massey, L. (2010). Developing Leadership to Improve Student Outcomes.
In Developing Successful Leadership. https://doi.org/10.1007/978-90-481-9106-2_6
Linda Ramadhanty, Tujuan dan Manfaat Organisasi Pendidikan, diakses dari
http://lindaramadhanty2801.blogspot.com/2017/06/tujuan-dan-manfaat-organisasi,
pada tanggal 27 Februari 2022
Liu, Y., Bellibaş, M. Ş., & Gümüş, S. (2021). The Effect of Instructional Leadership and
Distributed Leadership on Teacher Self-efficacy and Job Satisfaction: Mediating
Roles of Supportive School Culture and Teacher Collaboration. Educational
Management Administration and Leadership, 49(3), 430–453.
https://doi.org/10.1177/1741143220910438
McLellan, H. (1996). Situated Learning Perspectives. Educational Technology Publications.
https://books.google.co.id/books?id=QGxqnQoOyIsC
Muksin, M. (2019). Perubahan Status Kelembagaan Perguruan Tinggi Agama Islam: Studi
Perubahan Iain menjadi UIN dan STAIN menjadi IAIN. Jurnal Kelola: Jurnal Ilmu
Sosial, 2(2), 70-84.
Munawar, H. (2017). Pengaruh Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Agama Islam
terhadap Koordinasi Penyuluh dengan Pengawas Pendidikan Agama Islam untuk
Mewujudkan Efektivitas Program Pendidikan Agama Islam. Jurnal Pendidikan
UNIGA, 11(1), 18-25.
Prof. Dr. H. Edy Sutrisno, M. S., & Media, P. (2019). Budaya Organisasi. Prenada Media.
https://books.google.co.id/books?id=pd6VDwAAQBAJ
Syafriani, Y., & Ramadhani, S. (2023). Budaya Organisasi dan Dampak Organisasi terhadap
Lembaga Pendidikan. Masaliq, 3(1), 77–85.
https://doi.org/10.58578/masaliq.v3i1.790
Amrozi, & Mukhadis, A. (2011). Kesesuaian sarana prasarana, kompetensi guru, manajemen,
dan proses praktikum prodi keahlian teknik otomotif smk ditinjau dari standar
peraturan pemerintah ri nomor 19 tahun 2005. TEKNOLOGI DAN KEJURUAN,
34(1).
Jatmoko, D. (2013). Relevansi Kurikulum SMK Kompetensi Keahlian Teknik Kendaraan
Ringan Terhadap Kebutuhan Dunia Industri di Kabupaten Sleman. Jurnal Pendidikan
Vokasi, 3(1).
Kolmos, A., & Holgaard, J. E. (2018). Employability in Engineering Education: Are
Engineering Students Ready for Work. Philosophy of Engineering and Technology,
32, 499-518.
Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 29 tahun 1990 tentang pendidikan menengah,
(1990).

LAMPIRAN

Lampiran Ahmad Badar Jayakusuma

No. Hari dan Jam Mulai Aktivitas Bukti Pendukung


Tanggal – Selesai

1. Kamis, 15 10.00 WIB – Membuat draft dan


Juni 2023 12.00 WIB sistematika
penugasan analisis
studi kasus serta
pembahasan
mengenai tema yang
akan dipilih.
No. Hari dan Jam Mulai Aktivitas Bukti Pendukung
Tanggal – Selesai

2. Minggu, 18 15.00 WIB – Melakukan diskusi


Juni 2023 17.00 WIB lebih lanjut terkait
penugasan analisis
studi kasus dan
pembagian job
description masing-
masing anggota
kelompok.

3. Kamis, 22 19.00 WIB – Mulai running


Juni 2023 21.00 WIB pengerjaan terkait
penugasan analisis
studi kasus yakni
melalui google docs
yang di share dan
dapat dikerjakan
oleh seluruh anggota
kelompok.

4. Sabtu, 24 13.00 WIB – Mengerjakan lebih


Juni 2023 15.00 WIB lanjut penugasan
analisis studi kasus
pada bagian tinjauan
teoritis dan
merapihkan sedikit
template google
docs kelompok.

5. Minggu, 25 14.00 WIB – Melakukan finalisasi


Juni 2023 16.00 WIB penugasan analisis
studi kasus yaitu
menambahkan ide
dan jawaban pada
Bab III Pembahasan
dan Bab IV Penutup.
Lampiran Alifah Wilda Zen Kholis
No.
Hari, Jam Aktivitas Bukti dukung (ss
Tanggal Mulai – pekerjaan/foto kegiatan )
Jam
selesai

1 Jumat, 14.00- Secara Individu


9/6/2023 15.30 menyusun kerangka
pembahasan dan
melakukan peng-
kajian terhadap teori-
teori rujukan

2 Senin 11.00 – Secara individu


13.00 mengkaji opsi tiap-
tiap materi topik
untuk dilihat mana
yang akan dipilih
sebagai fokus topik
kajian
No.
Hari, Jam Aktivitas Bukti dukung (ss
Tanggal Mulai – pekerjaan/foto kegiatan )
Jam
selesai

3 Selasa 10.30 – Secara individual


13.20 mengkaji dan
menentukan topik
yang dipilih untuk
bahan studi
14.30 –
15.30

4 Rabu 09.20 – Menyusun kajian teori


11.00 bab 2 tentang topik
Institution &
Instructional Practice

5 19.00 – menyusun bab 2


20.30 pembahasan teori
Lampiran Axella Audy Zhazha Eka Yuniar

No Hari Jam mulai - Aktivitas Bukti Pendukung


Tanggal jam selesai (SS /foto kegiatan )

1. Rabu, 14 09.17 - 10.00 Melakukan diskusi


Juni 2023 untuk membahas
topik yang akan
dibahas dan dipilih
oleh kelompok

2. Senin, 19 18.30 - 20.00 Secara Individu


Juni 2023 mencari informasi
atau materi terkait
topik yang dipilih
3. Kamis, 22 19.00 - 21.00 Secara individu
juni 2023 melakukan
pengerjaan
mengenai topik
yang dibahas,
analisis dan
pembahasan pada
BAB III

4. Minggu, 15.00 - 17.00 Melakukan


25 Juni pengerjaan lebih
2023 lanjut pada BAB III
terkait analisis dan
pembahasan

5. Senin. 26 18.30 - 19.00 Melakukan diskusi


Juni 2023 lebih lanjut terkait
pengerjaan makalah

Lampiran Veranika Munte


No.
Hari, Jam Mulai Aktivitas Bukti Pendukung (Screenshot
Tanggal – Jam pekerjaan/foto kegiatan )
selesai

1 Jumat, 10.40-12.30 Melakukan diskusi


12/6/2023 kelompok terkait
topik yang akan
dipilih

2 Senin 18.00 – Secara individu


19.30 mencari informasi
19/6/2023 materi yang
berhubungan
dengan topik yang
dipilih kelompok.

3 Kamis 14.30 – Secara individual


15.30 mengkaji terkait
22/06/2023 studi kasus yang
berkaitan dengan
topik yang dipilih

4 Sabtu 09.20 – Menyusun bab 3


11.00 analisis dan
24/06/2023 pembahasan terkait
topik yang dibahas
dengan studi kasus
yang dipilih.

5 Senin 18.30 – Bersama kelompok


19.00 melakukan
26/6/2023 peninjauan Kembali
terkait topik yang
dipilih.

Grup Koordinasi Kelompok

Anda mungkin juga menyukai