Anda di halaman 1dari 7

SMA ERENOS

Jl. Palapa RT 03 RW 18, Kel.


Dibuat oleh Mengetahui,
Serua, Kec. Ciputat, ULANGAN HARIAN KE –
Kepala Sekolah
Kota Tangerang Selatan. (021)
74636076
Mata No. SK :
Sejarah Indonesia
Pelajaran KD

Hari / Perkembangan Politik


15 Agustus 2023 Materi di Indonesia
Tanggal

Dra. Sovia
Nama Prima Caesar, Nainggolan,
Kelas : XII IPA dan IPS
Siswa B.Ed., S.Pd M.Pd.

Waktu 90 menit No. Absen KKM TARGET NILAI


Petunjuk Soal dan Jawaban. 73 95
1. Baca dengan teliti soalnya. Pastikan bahwa Anda memahami instruksi
dan pertanyaan yang diajukan. NILAI TTOT
2. Kerjakan soal tersebut dengan hati-hati dan teliti. Pastikan bahwa
Anda memberikan jawaban yang tepat dan sesuai dengan pertanyaan
yang diajukan.

A. Jawablah soal-soal di bawah ini dengan tepat !


1. Pada masa awal kemerdekaan, pernah terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidensial ke
parlementer. Apa yang menjadi latar belakang perubahan tersebut ?
2. Pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959) terdapat sejumlah kabinet yang dipimpin oleh perdana
menteri. Tuliskan tokoh yang pernah menjabat sebagai perdana menteri dan kebijakan yang
diterapkannya ?
3. Apakah yang menjadi penyebab sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi Liberal ?
4. Apakah yang dimaksud dengan demokrasi terpimpin ?
5. Mengapa demokrasi terpimpin mengalami kegagalan ?

Rubrik Penilaian UH
No Pembahasannya Skor
1 Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, terdapat
perubahan sistem pemerintahan dari presidensial ke
parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1950
dan dikaitkan dengan latar belakang politik dan
keadaan nasional saat itu. Ada beberapa faktor utama 15
yang mempengaruhi perubahan sistem pemerintahan
tersebut:

Pembentukan Konstituante: Setelah kemerdekaan


Indonesia pada tahun 1945, terbentuklah Badan 10
Konstituante yang bertugas merumuskan konstitusi
negara. Dalam proses pembentukan konstitusi, terjadi
perdebatan yang intens antara kelompok nasionalis dan
kelompok Islam. Kelompok Islam mendukung sistem
parlementer yang lebih mirip dengan sistem
pemerintahan di negara-negara Muslim, sementara
kelompok nasionalis cenderung mendukung sistem
presidensial yang lebih sesuai dengan tradisi politik
Indonesia sebelumnya.

Pengaruh Sistem Kolonial Belanda: Sistem


parlementer merupakan warisan dari masa kolonial
Belanda di Indonesia. Di bawah pemerintahan kolonial
Belanda, terbentuklah Dewan Perwakilan Rakyat
(Volksraad) yang merupakan lembaga legislatif
dengan sistem parlementer. Sistem ini telah berfungsi
di Indonesia selama beberapa dekade, sehingga ide
sistem parlementer masih kuat di kalangan beberapa
politisi Indonesia pada masa itu.

Krisis Politik dan Keuangan: Setelah kemerdekaan,


Indonesia mengalami masa-masa sulit dengan
tantangan politik, keuangan, dan keamanan yang
kompleks. Terjadi krisis politik dan ketidakstabilan
pemerintahan yang sering kali menyebabkan
pergantian kabinet. Sistem parlementer dianggap lebih
fleksibel dalam menangani situasi tersebut, di mana
pemerintahan dapat dengan cepat dibentuk ulang
melalui pemilihan umum atau mosi tidak percaya
terhadap kabinet.

Pengaruh Politik Internasional: Pada periode ini,


politik dunia sedang mengalami perubahan signifikan.
Sistem parlementer telah berhasil diimplementasikan
di berbagai negara Eropa dan beberapa negara di Asia,
seperti India dan Pakistan. Hal ini mungkin
memberikan inspirasi dan pengaruh terhadap beberapa
pemimpin Indonesia untuk mencoba sistem
pemerintahan parlementer.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut,


pada tahun 1950, Konstituante memutuskan untuk
mengadopsi sistem pemerintahan parlementer dalam
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun,
pada tahun 1959, sistem ini diubah kembali menjadi
sistem presidensial melalui Konstitusi Republik
Indonesia yang baru, yang memberikan lebih banyak
kekuasaan kepada presiden.
2 Berikut adalah beberapa tokoh yang pernah menjabat
sebagai Perdana Menteri dan kebijakan yang mereka
terapkan: 10

Mohammad Hatta (1950-1951):

Kebijakan Ekonomi: Menerapkan kebijakan ekonomi


nasionalis dengan fokus pada pengembangan sektor
ekonomi yang dikuasai oleh pemerintah, seperti
industri dan perbankan.
Kebijakan Politik: Mengusulkan Undang-Undang 10
Dasar 1950 yang menetapkan sistem pemerintahan
parlementer di Indonesia.
Kebijakan Luar Negeri: Memprioritaskan politik luar
negeri yang bebas dan aktif dengan menjalin hubungan
diplomatik dengan negara-negara Asia dan Afrika.
Wilopo (1952):

Kebijakan Ekonomi: Mengimplementasikan Rencana


Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama yang
berfokus pada pembangunan infrastruktur dan sektor
industri.
Kebijakan Politik: Mempertahankan sistem
pemerintahan parlementer dan menekankan
pentingnya demokrasi.
Kebijakan Luar Negeri: Mempertahankan kebijakan
luar negeri yang bebas dan aktif dengan menjalin
hubungan diplomatik dengan negara-negara non-blok.
Burhanuddin Harahap (1954-1955):

Kebijakan Ekonomi: Mengadopsi Kebijakan Ekonomi


Terbuka untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dengan memperluas perdagangan internasional.
Kebijakan Politik: Mempertahankan sistem
pemerintahan parlementer dan melanjutkan upaya
pemulihan stabilitas politik pasca-Konfrontasi dengan
Belanda.
Kebijakan Luar Negeri: Fokus pada pemulihan
hubungan dengan Belanda dan memperkuat diplomasi
di tingkat internasional.
Ali Sastroamidjojo (1956-1957):

Kebijakan Ekonomi: Melanjutkan Rencana


Pembangunan Lima Tahun (Repelita) kedua dengan
penekanan pada industrialisasi dan diversifikasi
ekonomi.
Kebijakan Politik: Menekankan pentingnya stabilitas
politik dan mengatasi ketegangan antara partai politik
yang berbeda.
Kebijakan Luar Negeri: Mengutamakan diplomasi
untuk memperkuat posisi Indonesia di dunia dan
menghadapi konflik-konflik regional, seperti
Konfrontasi dengan Malaysia.
Djuanda Kartawidjaja (1957-1959):

Kebijakan Ekonomi: Mengutamakan pembangunan


daerah dan pemerataan pembangunan melalui
kebijakan Desentralisasi.
Kebijakan Politik: Mendorong persatuan nasional dan
penegakan hukum di seluruh Indonesia.
Kebijakan Luar Negeri: Menegaskan politik luar
negeri Indonesia yang bebas dan aktif serta dukungan
terhadap gerakan kemerdekaan di Asia dan Afrika.
Setiap Perdana Menteri memiliki kebijakan dan
pendekatan yang berbeda dalam menghadapi tantangan
politik, ekonomi, dan luar negeri pada masa itu.
Kebijakan yang dijabarkan di atas hanya beberapa
contoh dari berbagai keputusan dan langkah-langkah
yang mereka lakukan selama masa Demokrasi Liberal.
3
Pergantian kabinet yang sering terjadi pada masa
Demokrasi Liberal di Indonesia (1950-1959) 30
disebabkan oleh beberapa faktor utama:

Sistem Pemerintahan Parlementer: Pada masa


Demokrasi Liberal, Indonesia menganut sistem
pemerintahan parlementer di mana kabinet
bertanggung jawab kepada parlemen. Pergantian
kabinet dapat terjadi jika kabinet kehilangan dukungan
mayoritas di parlemen, baik melalui mosi tidak
percaya atau pengunduran diri perdana menteri.

Ketidakstabilan Politik: Indonesia menghadapi


tantangan politik yang kompleks pada masa itu. Partai-
partai politik yang beragam bersaing untuk
mendapatkan kekuasaan dan mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Aliansi politik yang rapuh dan perpecahan
internal dalam partai sering kali menyebabkan konflik
dan pergantian kabinet.

Ketegangan Etnis dan Ideologi: Indonesia pada masa


itu juga menghadapi ketegangan etnis dan ideologi
yang dapat mempengaruhi stabilitas politik. Perbedaan
pandangan politik dan kepentingan etnis tertentu
kadang-kadang memicu konflik politik yang berujung
pada pergantian kabinet.

Konflik Regional dan Nasional: Masa Demokrasi


Liberal juga ditandai dengan beberapa konflik baik di
tingkat regional maupun nasional. Konflik seperti
Konfrontasi dengan Malaysia dan pemberontakan di
berbagai daerah mengganggu stabilitas politik dan
dapat memicu pergantian kabinet.

Kebijakan Ekonomi dan Sosial yang Kontroversial:


Implementasi kebijakan ekonomi dan sosial yang
kontroversial, seperti nasionalisasi perusahaan asing,
pembahagiaan tanah, dan kebijakan pendidikan, juga
dapat menyebabkan perpecahan dan konflik di dalam
kabinet, memicu pergantian kabinet.

Faktor-faktor di atas mencerminkan kompleksitas


politik dan sosial Indonesia pada masa Demokrasi
Liberal. Ketidakstabilan politik dan beragamnya
kepentingan politik, etnis, dan ideologi berperan dalam
pergantian kabinet yang sering terjadi.
Demokrasi Terpimpin memiliki beberapa ciri khas:
4
Kepemimpinan Tunggal: Pada sistem Demokrasi
Terpimpin, Soekarno berperan sebagai pemimpin 25
tunggal yang memiliki kekuasaan yang sangat besar. Ia
dianggap sebagai "Pemimpin Besar Revolusi" dan
diakui sebagai figur sentral dalam pembuatan
keputusan politik.

Pembagian Nasionalis dan Anti-Imperialis: Demokrasi


Terpimpin menekankan pentingnya nasionalisme dan
anti-imperialisme dalam kebijakan nasional. Soekarno
menganjurkan pemulihan ekonomi yang berdasarkan
prinsip-prinsip sosialis, penolakan terhadap campur
tangan asing, dan mengedepankan persatuan dalam
rangka melawan kekuatan imperialis.

Konsep Konsultasi dan Musyawarah: Demokrasi


Terpimpin menekankan pentingnya konsultasi dan
musyawarah dalam pembuatan keputusan politik.
Keputusan-keputusan penting diambil melalui
musyawarah antara pemimpin-pemimpin nasional,
baik dalam partai politik maupun organisasi massa.

Demokrasi Fungsional: Soekarno mengemukakan


konsep demokrasi fungsional, di mana demokrasi
dianggap tidak hanya melibatkan partai politik, tetapi
juga melibatkan berbagai kelompok sosial, seperti
kelompok petani, buruh, dan intelektual. Konsep ini
bertujuan untuk mewujudkan partisipasi aktif seluruh
lapisan masyarakat dalam pengambilan keputusan
politik.

Nasionalisasi dan Penataran: Pada masa Demokrasi


Terpimpin, dilakukan nasionalisasi perusahaan-
perusahaan asing dan pendidikan nasionalis yang lebih
fokus pada pembentukan karakter dan semangat
nasional.
5
Konsentrasi Kekuasaan: Dalam Demokrasi
Terpimpin, kekuasaan yang terpusat pada Soekarno
sebagai pemimpin tunggal menyebabkan kurangnya 15
keseimbangan kekuasaan. Hal ini mengarah pada
penyalahgunaan kekuasaan dan pengambilan
keputusan yang otoriter. Ketika kekuasaan terpusat
pada satu individu, tidak ada mekanisme yang efektif
untuk membatasi dan mengawasi penggunaan
kekuasaan.
10

Pembatasan Kebebasan Politik: Demokrasi Terpimpin


memberlakukan pembatasan terhadap kebebasan
politik dan kebebasan berpendapat. Media dan oposisi
politik dibatasi, partai politik dibubarkan, dan
kebebasan berpendapat direndahkan. Hal ini
menghambat partisipasi politik dan menyebabkan
penurunan pluralisme dan diskusi yang konstruktif.

Kurangnya Akuntabilitas: Kurangnya mekanisme


akuntabilitas dan transparansi dalam pengambilan
keputusan politik memungkinkan terjadinya tindakan
korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Tanpa kontrol dan pengawasan yang memadai,
keputusan-keputusan yang diambil tidak selalu
berdasarkan kepentingan publik, tetapi lebih pada
kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Ketegangan dan Konflik: Meskipun konsep Demokrasi
Terpimpin mengedepankan musyawarah dan
konsultasi, tetapi dalam praktiknya, sistem ini
menghasilkan ketegangan politik yang tinggi.
Perbedaan pandangan politik, etnis, dan ideologi tidak
selalu dapat diakomodasi dengan baik, sehingga
memicu konflik dan ketidakstabilan politik.
Kegagalan Ekonomi: Di bawah Demokrasi Terpimpin,
kebijakan ekonomi nasionalis yang diterapkan, seperti
nasionalisasi perusahaan asing, mengakibatkan
kemunduran ekonomi. Investasi asing berkurang,
produksi menurun, dan inflasi meningkat. Kegagalan
dalam mengelola ekonomi berdampak negatif pada
kehidupan masyarakat, memperburuk ketidakstabilan
politik.

Anda mungkin juga menyukai