Anda di halaman 1dari 6

EVALUASI PEMBELAJARAN DI SD

(Membuat Ulasan)

DI SUSUN OLEH :

SYAHARANI SUMARTIN
NIM:220407562050

KELAS 32 E

Dosen Pengampu Matakuliah : Dr.Sudarto.,M.Pd

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2024
Tugas kuliah pertemuan 9

Buat ulasan tentang

1. Pedoman penskoran
Pedoman penskoran adalah panduan yang digunakan untuk menentukan cara
atau kriteria dalam memberikan nilai atau skor pada suatu tes, tugas, atau evaluasi.
Pedoman penskoran ini penting untuk memastikan bahwa penilaian dilakukan secara
obyektif dan konsisten. Dengan adanya pedoman penskoran, setiap orang yang melakukan
penilaian akan memiliki panduan yang jelas tentang apa yang harus dinilai dan bagaimana
cara memberikan skor yang tepat.
Pedoman penskoran biasanya mencakup kriteria-kriteria penilaian yang
spesifik, bobot atau pentingnya setiap kriteria, serta contoh jawaban yang memperlihatkan
tingkatan skor yang berbeda. Dengan adanya pedoman penskoran yang baik, proses
penilaian akan menjadi lebih transparan dan adil bagi semua pihak yang terlibat. Selain
itu, pedoman penskoran juga membantu meningkatkan kualitas penilaian dan mengurangi
potensi bias subjektif dari penilai.
Dalam konteks pendidikan, pedoman penskoran sangat penting dalam menilai
kinerja siswa, ujian, tugas, proyek, dan berbagai bentuk evaluasi lainnya. Dengan
mengikuti pedoman penskoran yang telah ditetapkan, proses penilaian akan menjadi lebih
akurat dan dapat diandalkan sebagai dasar pengambilan keputusan terkait prestasi siswa
atau peserta ujian. Oleh karena itu, pengembangan pedoman penskoran yang baik dan
relevan merupakan langkah penting dalam memastikan validitas dan reliabilitas dari
proses penilaian.
Selain itu, pedoman penskoran juga membantu mengurangi potensi bias
subjektif dari penilai. Dengan mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan secara jelas,
penilai dapat meminimalkan interpretasi pribadi dan mengikuti standar evaluasi yang telah
ditetapkan. Hal ini akan meningkatkan validitas dan reliabilitas dari proses penilaian,
sehingga keputusan yang diambil berdasarkan hasil penilaian akan lebih dapat dipercaya.
Pengembangan pedoman penskoran yang baik melibatkan proses yang cermat
dan terstruktur, termasuk validasi oleh pakar, revisi berkelanjutan sesuai dengan feedback,
dan penyusunan kriteria yang relevan dengan tujuan penilaian. Dengan adanya pedoman
penskoran yang komprehensif, proses penilaian akan menjadi lebih transparan, adil, dan
dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, penting bagi setiap lembaga atau
organisasi yang melakukan penilaian untuk memiliki pedoman penskoran yang jelas dan
terukur guna memastikan keberhasilan dan keadilan dalam proses evaluasi.

2. Tingkat kesukaran dan daya beda soal lengkap dengan rumus rumusnya dan
contohnya
Tingkat kesulitan dan daya beda soal merupakan konsep penting dalam
pengembangan tes atau ujian untuk mengukur seberapa sulit atau mudah soal tersebut bagi
peserta ujian. Tingkat kesulitan mengacu pada seberapa sulitnya soal tersebut, sedangkan
daya beda mengukur seberapa baik soal tersebut dalam membedakan antara peserta yang
memiliki tingkat kemampuan yang berbeda. Kedua konsep ini memainkan peran kunci
dalam memastikan validitas dan keandalan dari suatu tes atau ujian.

Rumus-rumus yang umum digunakan untuk menghitung tingkat kesulitan dan daya beda
soal adalah sebagai berikut:
1. Tingkat Kesulitan (Difficulty Index):
➢ Rumus: Jumlah peserta yang menjawab benar / Jumlah total peserta
➢ Contoh: Jika terdapat 100 peserta dan 60 peserta menjawab benar soal
tertentu, maka tingkat kesulitan soal tersebut adalah 60/100 = 0.6 atau 60%
2. Daya Beda (Discrimination Index):
➢ Rumus: (Persentase peserta yang di atas 27% skor tertinggi pada soal
tertentu) - (Persentase peserta yang di bawah 27% skor tertinggi pada soal
tersebut)
➢ Contoh: Jika terdapat 100 peserta dan 30 peserta di antara 27% skor tertinggi
menjawab benar soal tersebut, dan hanya 5 peserta di bawah 27% skor
tertinggi yang menjawab benar, maka daya beda soal tersebut adalah (30/100)
- (5/100) = 0.25

Tingkat kesulitan yang ideal untuk suatu soal biasanya berkisar antara 0.2
hingga 0.8, di mana nilai 0.5 dianggap sebagai tingkat kesulitan yang optimal. Sementara
itu, daya beda yang baik biasanya berada dalam rentang 0.2 hingga 0.4, di mana nilai
positif menunjukkan bahwa peserta yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi
cenderung menjawab benar, sedangkan nilai negatif menunjukkan sebaliknya.
Dengan memperhatikan dan menghitung tingkat kesulitan dan daya beda soal
secara cermat, pembuat tes atau ujian dapat memastikan bahwa soal-soal yang disajikan
dapat memberikan informasi yang akurat dan berguna tentang kemampuan peserta. Oleh
karena itu, pemahaman yang baik tentang konsep ini serta penggunaan rumus-rumus yang
tepat sangat penting dalam pengembangan dan analisis tes atau ujian.

3. Validitas soal lengkap dengan rumus rumusnya dan contohnya


Validitas soal adalah sejauh mana suatu tes atau ujian benar-benar mengukur apa
yang seharusnya diukur. Validitas merupakan salah satu aspek penting dalam
pengembangan instrumen evaluasi untuk memastikan bahwa hasil yang diperoleh dari tes
atau ujian tersebut dapat diandalkan dan relevan dengan tujuan evaluasi yang ditetapkan.
Validitas soal dapat mengukur sejauh mana soal tersebut benar-benar mencerminkan
kemampuan atau konsep yang ingin diukur.

Terdapat beberapa jenis validitas soal yang umum digunakan, antara lain:
1. Validitas Konten: Validitas yang mengukur sejauh mana soal-soal dalam tes
benar-benar mencerminkan materi atau konsep yang seharusnya diukur.
2. Validitas Konstruksi: Validitas yang mengukur sejauh mana soal-soal dalam
tes dapat membedakan antara peserta yang memiliki tingkat kemampuan yang
berbeda.
3. Validitas Kriteria: Validitas yang mengukur sejauh mana hasil tes berkorelasi
dengan kriteria eksternal yang relevan.
Rumus-rumus yang umum digunakan untuk menghitung validitas soal adalah sebagai
berikut:
1. Validitas Korelasi: Mengukur hubungan antara skor pada tes dengan variabel
lain yang relevan.
2. Validitas Item: Mengukur sejauh mana soal dapat membedakan antara peserta
yang memiliki kemampuan yang berbeda.
3. Validitas Faktor: Mengukur sejauh mana soal-soal dalam tes mencerminkan
faktor atau dimensi yang seharusnya diukur.

Contoh penerapan validitas soal adalah dengan melakukan analisis korelasi


antara skor pada tes matematika dengan skor tes kemampuan berpikir kritis. Jika terdapat
hubungan yang signifikan antara kedua tes tersebut, maka hal tersebut menunjukkan
validitas konstruksi dari tes matematika.
Dengan memperhatikan dan mengukur validitas soal secara cermat, pembuat tes
atau ujian dapat memastikan bahwa instrumen evaluasi yang mereka gunakan dapat
memberikan informasi yang akurat dan relevan tentang kemampuan peserta. Oleh karena
itu, pemahaman yang baik tentang konsep validitas soal serta penggunaan rumus-rumus
yang tepat sangat penting dalam pengembangan, analisis, dan interpretasi hasil tes atau
ujian.

4. Reliabilitas soal lengkap dengan rumus rumusnya dan contohnya


Reliabilitas soal mengacu pada sejauh mana suatu tes atau ujian konsisten dan
dapat diandalkan dalam mengukur kemampuan atau konstruk yang diuji. Reliabilitas
menjadi faktor penting dalam pengembangan instrumen evaluasi karena menunjukkan
seberapa baik instrumen tersebut dalam memberikan hasil yang konsisten jika diulang
penggunaannya. Dengan kata lain, reliabilitas soal mengukur sejauh mana hasil tes atau
ujian dapat diandalkan dan dapat dipercaya.

Terdapat beberapa jenis reliabilitas yang umum digunakan, antara lain:


1. Reliabilitas Test-Retest: Mengukur konsistensi hasil tes ketika diulang pada
waktu yang berbeda.
2. Reliabilitas Parallel Forms: Mengukur konsistensi hasil tes yang menggunakan
dua versi tes yang setara.
3. Reliabilitas Internal Consistency: Mengukur konsistensi antara item-item
dalam tes.
Rumus-rumus yang umum digunakan untuk menghitung reliabilitas soal adalah sebagai
berikut:
1. Koefisien Korelasi Pearson: Digunakan untuk mengukur korelasi antara skor tes
pada saat pertama dan skor tes pada saat kedua.
2. Koefisien Alpha Cronbach: Digunakan untuk mengukur konsistensi internal
antara item-item dalam tes.
3. Split-Half Reliability: Digunakan untuk membagi tes menjadi dua bagian dan
mengukur konsistensi antara kedua bagian tersebut.

Contoh penerapan reliabilitas soal adalah dengan melakukan uji reliabilitas test-
retest pada tes kognitif. Peserta diuji pada dua waktu yang berbeda dengan tes yang sama
untuk melihat sejauh mana skor mereka konsisten antara dua waktu pengujian.
Dengan memperhatikan dan mengukur reliabilitas soal secara cermat, pembuat
tes atau ujian dapat memastikan bahwa instrumen evaluasi yang mereka gunakan
memberikan hasil yang konsisten dan dapat diandalkan. Oleh karena itu, pemahaman yang
baik tentang konsep reliabilitas soal serta penggunaan rumus-rumus yang tepat sangat
penting dalam pengembangan, analisis, dan interpretasi hasil tes atau ujian.

Anda mungkin juga menyukai