Anda di halaman 1dari 116

BALANCED SCORECARD

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Akuntansi Manajemen
Strategis yang diampu oleh Ibu Dr. Dian Imanina Burhany, SE., M.Si

Disusun Oleh:

Kelompok 1

Amanda Mariana Putri 215154002

Ariyati Hidayah 215154003

Azky Dewi Fauzy Mardiyah 215154004

Chusniawati 215154005

Claudia Mutiara Mina Azzahra 215154006

Riedha Fildza Azrya Noor 215154022

Salwaa Nabillah Rihhadattul’aisy 215154026

D4 AKUNTANSI
JURUSAN AKUNTANSI
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin dan kuasaNya-lah kami
bisa menyelesaikan makalah Akuntansi Manajemen ini, yakni berupa makalah dengan judul
“Balanced Scorecard”.
Dalam penyusunan makalah ini kami mengalami berbagai hambatan, namun hambatan
itu bisa kami lalui karena pertolongan Allah dan berbagai pihak lainnya. Oleh karena itu, kami
ucapkan terima kasih kepada segala pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih dari jauh dari sempurna, baik
materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya dengan segala
kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh
karenanya, kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran
dan usul guna penyempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Bandung, 23 Februari 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................................ 2
BAB 2 PEMBAHASAN.................................................................................................................. 3
2.1 Konsep Balanced Scorecard ........................................................................................... 3
2.1.1 Definisi Balanced Scorecard ................................................................................. 3
2.1.2 Karakteristik Balanced Scorecard ........................................................................ 4
2.2 Keunggulan dan Kelemahan Balanced Scorecard .......................................................... 5
2.2.1 Keunggulan BSC ................................................................................................... 5
2.2.2 Kelemahan BSC .................................................................................................... 6
2.3 Perspektif dan Key Performance Indicator (KPI) dalam Balanced Scorecard ................ 7
2.3.1 Perspektif dalam Balanced Scorecard ................................................................. 7
2.3.2 Key Performance Indicator (KPI) dalam Balanced Scorecard ............................ 14
2.4 Implementasi BSC dan Manfaat ................................................................................... 20
2.4.1 Implementasi BSC .............................................................................................. 20
2.4.2 Manfaat .............................................................................................................. 22
2.5 Studi Kasus: Implementasi Balanced Scorecard .......................................................... 22
BAB 3 PENUTUP ....................................................................................................................... 29
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 29
3.2 Saran............................................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 30

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.3.1.1 Categories of Innovation................................................................................ 11
Gambar 2.4.1.1 Strategic Decision Making.............................................................................. 21
Gambar 2.5.1 Mekanisme Penilaian Kinerja Departemen RSUD Dr. Zainoel .......................... 23
Gambar 2.5.2 Data Analisis Perspektif Keuangan RSUD Dr. Zainoel ....................................... 24
Gambar 2.5.3 Data Analisis Perspektif Bisnis Internal RSUD Dr. Zainoel ................................ 25
Gambar 2.5.4 Data Analisis Perspektif Pelanggan RSUD Dr. Zainoel ...................................... 26
Gambar 2.5.5 Data Perspektif Pertumbuhan & Pembelajaran (Skor Kepuasan Karwayan) ... 27
Gambar 2.5.6 Data Perspektif Pertumbuhan & Pembelajaran (Pelatihan Karyawan) ............ 27
Gambar 2.5.7 Data Analisis Kinerja BSC Departmen ............................................................... 28

iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.3.4.1 Performance Indicator Perspektif Finansial (Keuangan) .................................. 16
Tabel 2.3.4.2 Performance Indicator Perspektif Pelanggan ................................................... 16
Tabel 2.3.4.3 Performance Indicator Perspektif Internal Proses Bisnis.................................. 17
Tabel 2.3.4.4 Performance Indicator Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan ............... 18
Tabel 2.3.4.5 KPI Perspektif Perspektif Finansial (Keuangan) ................................................ 18
Tabel 2.3.4.6 KPI Perspektif Pelanggan ................................................................................... 18
Tabel 2.3.4.7 KPI Perspektif Internal Proses Bisnis ................................................................. 19
Tabel 2.3.4.8 KPI Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan ............................................... 20

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi saat ini nampaknya mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan perusahaan dengan teknologi yang ada. Dengan
berkembangnya teknologi ini, lingkungan persaingan dalam perekonomian menjadi
semakin ketat. Akibatnya, kebutuhan akan informasi menjadi sangat penting, dan
lingkungan persaingan ekonomi tradisional akan berubah dari persaingan teknologi dan
industri menjadi persaingan informasi. Persaingan informasi ini penting karena informasi
yang dihasilkan tentang setiap aktivitas yang dilakukan suatu perusahaan memberikan
data dan penjelasan atas aktivitas yang dilakukan, yang menjadi dasar pengambilan
keputusan. Informasi yang mempengaruhi kehidupan dan aktivitas seluruh perusahaan.
Membuat keputusan yang lebih baik berdasarkan informasi yang akurat, relevan, dan
terkini.
Disamping pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang dimiliki oleh
perusahaan masih banyak manajer-manajer perusahaan yang menjalankan usahanya
dengan sistem manajemen yang seakan-akan berorientasi pada masa yang lalu
(backward) dan belum berorientasi pada masa depan (forward). Sistem yang lebih
menitikberatkan pada aspek keterukuran objek yang menimbulkan biaya ini tampak dari
adanya pengambilan keputusan yang didasarkan pada informasi-informasi yang dibuat
berdasarkan laporan-laporan historis secara periodik. Sistem manajemen yang
dilaksanakan oleh banyak perusahaan sekarang ini lebih memfokuskan pada kinerja
keuangan yang diukur secara periodik dimana indikator-indikator yang terpenting adalah
biaya-biaya yang dikeluarkan.
Bertentangan dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang dimiliki
oleh perusahaan, masih banyak pemilik bisnis yang hanya fokus pada masa lalu (melihat
ke belakang) dan tidak melihat ke masa depan. Sistem ini berfokus pada aspek terukur
dari objek yang menghasilkan biaya dan mengakui adanya pengambilan keputusan yang
terinformasi berdasarkan pelaporan historis reguler. Sistem manajemen yang diterapkan
banyak perusahaan saat ini berfokus pada kinerja keuangan, diukur secara berkala,
dengan biaya yang dikeluarkan sebagai indikator terpenting.
Balanced Scorecard (BSC) pertama kali dipopulerkan Kaplan dan Norton. Dimulai pada
awal 1980-an, mereka melakukan serangkaian penelitian di berbagai perusahaan
manufaktur dan jasa di AS. Dari penelitian tersebut, Kaplan dan Norton menyadari bahwa
manusia umumnya menolak keteraturan dan lebih menyukai kebebasan dalam bekerja,
sehingga penekanan selalu mereka berikan untuk mengingatkan bahwa jika kinerja
manusia dimonitor untuk tujuan penilaian, pengukuran kinerja akan menjadi bumerang
dalam mencapai tujuan organisasi. Sebaliknya, tujuan dari inisiatif pengukuran kinerja
adalah untuk menyelaraskan seluruh aktivitas organisasi dengan visi dan misinya. Dari
asumsi ini juga diperoleh kesimpulan penting, bahwa komunikasi memegang peranan
penting dalam tahap implementasi, agar seluruh anggota organisasi menyadari apa tujuan
organisasi dan sampai di mana mereka berada saat ini dalam perjalanan panjang
mencapai tujuan tersebut. Beberapa frase seperti “you cannot manage what you cannot
measure” dan “measurement is to communicate, not to control” kemudian menjadi
populer mengiringi pemahaman ini (Kaplan & Norton, 1992).

1
Argumen yang melandasi berkembangnya BSC adalah terjadinya pergeseran dari era
industri ke era informasi yang menyebabkan pertukaran informasi berlangsung dengan
cepat. Konsep Balanced Scorecard ini dikembangkan untuk melengkapi pengukuran
kinerja finansial (atau dikenal dengan pengukuran kinerja tradisional) dan sebagai alat
yang cukup penting bagi organisasi perusahaan untuk merefleksikan pemikiran baru
dalam era competitiveness dan efektivitas organisasi. Konsep ini memperkenalkan suatu
sistem pengukuran kinerja perusahaan dengan menggunakan kriteria-kriteria tertentu.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran umum mengenai Balanced Scorecard?
2. Apa saja keunggulan dan kelemahan Balanced Scorecard ?
3. Bagaimana perspektif dan Key Performance Indicator (KPI) dalam Balanced
Scorecard?
4. Apa saja implementasi dari penggunaan Balanced Scorecard?
5. Bagaimana Implementasi Balanced Scorecard dalam studi kasus Implementasi di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Zainoel Abidin?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini, antara lain:
1. Mengetahui gambaran umum mengenai Balanced Scorecard.
2. Mengetahui keunggulan dan kelemahan Balanced Scorecard.
3. Mengetahui bagaimana perspektif dan Key Performance Indicator (KPI) dalam Balance
Scorecard.
4. Mengetahui implementasi dalam Balanced Scorecard.
5. Memberikan penjelasan gambaran umum praktek penggunaan metode BSC dalam
studi kasus Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Zainoel Abidin dengan empat perspektif
yang ada di Balanced Scorecard yaitu keuangan, bisnis internal, pelanggan dan
pertumbuhan dan pembelajaran.

2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Balanced Scorecard
2.1.1 Definisi Balanced Scorecard
Balanced Scorecard merupakan suatu sistem manajemen strategi (strategy
based responsibility accounting system) yang menjelaskan mengenai misi serta
strategi dari suatu perusahaan ke dalam tujuan operasional dan tolak ukur kinerja
perusahaan tersebut. “Scorecard” sendiri memiliki makna kartu skor. Maksudnya yaitu
kartu skor yang akan digunakan dalam merencanakan skor yang diwujudkan pada
masa yang akan datang. Sedangkan “Balanced” memiliki makna berimbang, yang
artinya dalam mengukur kinerja seseorang atau suatu organisasi harus diukur secara
seimbang dari dua sudut pandang seperti keuangan dan non keuangan, jangka
panjang dan jangka pendek, intern dan ekstern.
Konsep Balanced Scorecard berkembang sejalan dengan perkembangan
pengimplementasian konsep tersebut. Balanced Scorecard terdiri dari dua kata: (1)
kartu skor (Scorecard) dan (2) berimbang (balanced). Pada tahap awal eksperimennya,
Balanced Scorecard merupakan kartu skor yang digunakan untuk mencatat skor hasil
kinerja eksekutif. Melalui kartu skor, skor yang hendak diwujudkan eksekutif di masa
depan dibandingkan dengan hasil kinerja sesungguhnya. Hasil perbandingan ini
digunakan untuk melakukan evaluasi atas kinerja eksekutif. Kata berimbang
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kinerja eksekutif diukur secara berimbang
dari dua perspektif: keuangan dan nonkeuangan, jangka pendek dan jangka panjang,
intern dan ekstern. Oleh karena eksekutif akan dinilai kinerja mereka berdasarkan
kartu skor yang dirumuskan secara berimbang, eksekutif diharapkan akan
memusatkan perhatian dan usaha mereka pada ukuran kinerja akan memusatkan
perhatian dan usaha mereka pada ukuran kinerja non keuangan dan ukuran jangka
panjang (Mulyadi, 2007 : 3)
Dalam perkembangan selanjutnya, Balanced Scorecard tidak hanya berkaitan
dengan kartu yang dipakai untuk mencatat skor eksekutif. Balanced Scorecard lebih
dimanfaatkan sebagai alat yang efektif untuk perencanaan strategik, yaitu sebagai alat
untuk menerjemahkan misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar, dan strategi
organisasi ke dalam rencana tindakan (action plans) yang komprehensif, koheren,
terukur, dan berimbang. Kekuatan sesungguhnya Balanced Scorecard bukan terletak
pada kemampuannya sebagai pengukur kinerja eksekutif, namun justru pada
kemampuannya sebagai alat perencanaan strategik. Robert s. Kaplan dan David P.
Norton membuat pernyataan pada tahun 1995 tentang kekuatan sesungguhnya
Balanced Scorecard seperti berikut ini: Namun, kekuatan sesungguhnya Balanced
Scorecard diubah dari suatu sistem pengukuran kinerja menjadi sistem manajemen.
Pada tahun yang sama, kedua pencipta Balanced Scorecard tersebut menegaskan
kembali tentang perkembangan peran Balanced Scorecard yang tidak lagi sekadar
sistem pengukuran kinerja yang telah disempurnakan melalui pernyataan mereka
berikut ini: Balanced Scorecard telah berubah dari suatu sistem pengukuran kinerja
yang telah disempurnakan menjadi inti sistem manajemen (Mulyadi, 2007: 9).
Balanced Scorecard tidak lagi mempunyai arti harfiah (tersurat) sebagai
pengukur kinerja, namun telah mempunyai makna yang tersirat sebagai kerangka
berpikir (framework of thinking) dalam pengembangan peta strategi. Pada hakikatnya

3
tujuan utama pengelolaan perusahaan adalah untuk menjadikan perusahaan sebagai
institusi pelipat ganda kekayaan. Oleh karena itu, proses pengelolaan diarahkan untuk
menghasilkan kinerja keuangan luar biasa berkesinambungan (perspektif keuangan).
Untuk mencapai sasaran keuangan tersebut, pengelolaan diarahkan untuk
menghasilkan produk dan jasa yang mampu menenangkan pilihan customer
(perspektif pelanggan). Untuk berkemampuan memenangkan pilihan pelanggan di
pasar yang menjadi target perusahaan, pengelolaan diharapkan untuk membangun
kompetensi inti yang mengungguli pesaing. Oleh karena itu, proses pengelolaan
diarahkan untuk membangun keunggulan proses (excellent processes) yang
dimanfaatkan untuk menghasilkan produk dan jasa (perspektif proses bisnis internal)
dan membangun keberdayaan sumber daya manusia melalui pembangunan modal
manusia modal informasi dan modal organisasi (perspektif proses pembelajaran dan
pertumbuhan).
Konsep Balanced Scorecard diperkenalkan pertama kali oleh Robert S. Kaplan
dan David P. Norton tepatnya pada Januari-Februari tahun 1992 melalui artikel yang
diterbitkan oleh Harvard Business Review. Konsep ini terfokus pada 3 hal, yaitu :
1. Mengidentifikasi visi dan misi organisasi atau perusahaan
2. Mengidentifikasi strategi untuk mencapai misi tersebut
3. Menganalisis kinerja organisasi atau perusahan dari perspektif tertentu,
sebagai upaya dalam menentukan gagasan untuk mengetahui bagaimana hasil
akhir yang diperoleh
Balanced Scorecard menjadi acuan untuk menilai kinerja manajemen strategis
sebuah perusahaan, seperti mengidentifikasi dan meningkatkan berbagai aspek baik
secara internal maupun eksternal. Balanced Scorecard juga memiliki beberapa fungsi
utama, antara lain untuk :
1. Melakukan komunikasi mengenai target yang ingin perusahaan capai
2. Menciptakan strategi untuk menyesuaikan tugas dan pekerajaan untuk setiap
divisi
3. Menentukan prioritas pada proyek, produk, hingga layanan perusahaan
4. Mengukur dan memanatau perkembangan dan kemajuan dari strategi yang
telah dilaksanakan
Hasil data yang diperoleh dari Balanced Scorecard dapat menjadi sarana untuk
menentukan keputusan bisnis yang lebih baik bagi perusahaan di masa depan.

2.1.2 Karakteristik Balanced Scorecard


Balanced Scorecard memiliki empat karakteristik, yaitu sebagai berikut
(Mulyadi, 2007):
1. Komprehensif
Balanced Scorecard memperluas perspektif yang dicakup dalam pengukuran
kinerja, dari yang sebelumnya hanya terbatas pada perspektif pelanggan,
perspektif proses bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan. Perluasan perspektif ini menghasilkan manfaat bagi perusahaan,
yaitu menjanjikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka panjang,
serta membantu perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks.
2. Koheren
Balanced Scorecard mewajibkan personel untuk membangun hubungan sebab
akibat diantara berbagai sasaran strategis yang dihasilkan dalam perencanaan

4
strategis. Setiap sasaran yang ditetapkan dalam perspektif non keuangan harus
memiliki hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
3. Seimbang
Keseimbangan diantara keempat perspektif dalam Balanced Scorecard yang
dihasilkan oleh sistem perencanaan strategis, sangat penting untuk
menghasilkan kinerja keuangan yang berjangka panjang. Bobot keempat
perspektif dalam Balanced Scorecard adalah seimbang, dimana perspektif yang
satu tidak melebihi perspektif yang lain.
4. Terukur
Balanced Scorecard mengukur sasaran strategis yang sulit untuk diukur. Sasaran
strategik di perspektif pelanggan, proses bisnis internal. serta pembelajaran dan
pertumbuhan merupakan sasaran yang tidak muda terukur, namun dalam
Balanced Scorecard ketiga perspektif non keuangan tersebut ditentukan
ukurannya sehingga dapat diwujudkan untuk mengukur kinerja perusahaan.

2.2 Keunggulan dan Kelemahan Balanced Scorecard


2.2.1 Keunggulan BSC
Penelitian Khozein (2012) yang bertajuk Balanced Scorecard Should be an
Attention in Organizations telah membuktikan bahwa organisasi yang menggunakan
pendekatan dengan BSC cenderung berkinerja lebih baik dibandingkan organisasi yang
tidak memiliki pendekatan manajemen kinerja strategis. Menurut Suci R.M.
Koesoemowidjojo (2017:25) keunggulan Balanced Scorecard adalah sebagai berikut:
1. Balanced Scorecard memiliki banyak keunggulan yang tidak dimiliki oleh sistem
strategi manajemen tradisional, yang hanya mengukur kinerja organisasi pada
bidang keuangan dan fokus pada pengukuran kinerja pada hal-hal yang
tangible, oleh karena itu Balanced Scorecard menjawab kebutuhan untuk
mengukur kinerja organisasi secara keseluruhan dengan mengukur kinerja
organisasi dari 4 perspektif, yaitu bidang keuangan, pelanggan, proses bisnis
internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.
2. Balanced Scorecard mempunyai kemampuan untuk menciptakan rencana
strategis yang memiliki karakteristik komprehensif, koheren, seimbang serta
terukur. Empat karakteristik tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a) Komprehensif: Balanced Scorecard memperluas perspektif yang tercakup
dalam perencanaan strategis, mulai dari yang sebelumnya hanya terbatas
pada perspektif keuangan, hingga ketiga perspektif yang lain seperti
pelanggan, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Strategi yang
ditetapkan pada setiap perspektif akan memperluas cakupan operasional
perusahaan dalam mencapai visi dan misi. Perspektif komprehensif atas
sasaran strategis tersebut menjadi jawaban yang tepat bagi perusahaan
dalam menghadapi lingkungan bisnis yang kompleks.
b) Koheren: Balanced Scorecard mengharuskan karyawan untuk membangun
hubungan sebab-akibat antara berbagai tujuan strategis yang diperkenalkan
dalam perencanaan strategis. Setiap tujuan strategis yang ditetapkan dalam
perspektif non-keuangan harus mempunyai hubungan sebab-akibat dengan
tujuan keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

5
Kekoherenan antara strategi dan tujuan dari berbagai perspektif akan
menghasilkan peningkatan kinerja keuangan yang sangat dibutuhkan oleh
perusahaan yang sudah ada.
c) Keseimbangan: Keseimbangan tujuan strategis yang diciptakan oleh sistem
perencanaan strategis penting dalam menghasilkan kinerja keuangan
berkelanjutan.
d) Terukur: yaitu tujuan strategis yang dihasilkan oleh sistem perencanaan
strategis menjanjikan pencapaian berbagai tujuan strategis yang dihasilkan
oleh sistem. Balanced Scorecard mengukur tujuan-tujuan strategis yang
sulit diukur.
3. Informasi manajemen yang lebih baik, pendekatan Balanced Scorecard
membantu organisasi merancang indikator kinerja utama untuk mengukur hal-
hal yang penting bagi perusahaan. Penelitian dari Bernard Marr menunjukkan
bahwa perusahaan yang menggunakan Balanced Scorecard cenderung
memberikan hasil yang lebih baik dalam hal kualitas informasi manajemen dan
pengambilan keputusan yang lebih baik.
4. Penyelarasan organisasi yang lebih baik, Balanced Scorecard membantu
perusahaan menyelaraskan struktur organisasinya dengan tujuan strategis
yang telah ditetapkan. Untuk melaksanakan rencana dengan baik, organisasi
harus memastikan bahwa semua unit bisnis dan fungsi pendukung bekerja
pada tujuan yang sama. Penerapan Balanced Scorecard pada seluruh unit akan
membantu perusahaan mencapai keselarasan strategis dengan kegiatan
operasionalnya.

2.2.2 Kelemahan BSC


Menurut Suci R.M. Koesoemowidjojo (2017:25), kelemahan Balanced
Scorecard adalah sebagai berikut:
1. Balanced Scorecard tidak dapat memberikan dan menentukan bagaimana
mengembangkan suatu sistem kompensasi sebagai tindak lanjut suatu
penilaian kinerja yang dilakukan organisasi.
2. Membutuhkan biaya yang cukup besar serta tenaga ahli yang berkualifikasi
untuk melakukan penilaian kinerja sesuai dengan bidang penilaian kinerja.
3. Tidak semua organisasi cocok menerapkan Balanced Scorecard karena dalam
memberlakukan penilaian kinerja ini terdapat empat perspektif (keuangan,
pelanggan, bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan) yang mempunyai
hubungan sebab akibat sehingga organisasi perlu mempunyai kemampuan
memberikan umpan balik informasi pelaksanaan penilaian organisasi.
4. Standar baku atas hasil penilaian kinerja organisasi dengan metode Balanced
Scorecard belum tersedia sehingga setiap organisasi hanya dapat meraba-raba
dan memberikan standar pengukuran sendiri atas penilaian kinerja yang
dilakukan.
5. Berfokus pada hasil keuangan, Manajer mempunyai peran penting sebagai
orang yang bertanggung jawab atas kinerja keuangan sehingga harus memiliki
tingkat perhatian tertentu terhadap aspek finansial perusahaan dibandingkan
aspek lainnya.

6
2.3 Perspektif dan Key Performance Indicator (KPI) dalam Balanced Scorecard
Untuk mencapai keunggulan kompetitif dan mempertahankan pelanggan, organisasi
harus inovatif untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berubah. Dengan hal itu,
maka inovatif akan menciptakan kepuasan pelanggan dan memperkuat posisi keuangan
organisasi. Sehingga, organisasi harus mengembangkan strategi yang baik untuk
mempertahankan posisi keuangan yang kuat. Evans (2005) menyebutkan bahwa strategi
dapat digambarkan dan disajikan dengan sangat baik, tetapi masalahnya adalah bahwa
strategi tidak dikomunikasikan dengan baik kepada orang-orang yang terlibat dalam
proses eksekusi. Charan & Colvin (1999) menunjukkan bahwa meskipun eksekusi strategi
adalah urusan semua orang dalam organisasi, hasil akhirnya adalah strategi dieksekusi
dengan buruk di banyak organisasi.

2.3.1 Perspektif dalam Balanced Scorecard


Perspektif dalam Balanced Scorecard terbagi ke dalam empat perspektif, yaitu
diantaranya:
1. Perspektif Keuangan
Perspektif keuangan memperhatikan indikator keuangan seperti pendapatan,
laba bersih, dan laba atas modal. Perspektif tersebut menggambarkan apakah
organisasi dapat mencapai tujuan keuangannya dan meningkatkan nilai
tambah kepada pemegang saham (stakeholder). Perspektif keuangan
mempunyai tiga tema strategis yaitu pertumbuhan pendapatan, penurunan
biaya, dan pemanfaat aset. Ketiga tema tersebut adalah blok bangunan untuk
pengembangan tujuan dan ukuran operasional khusus.
a) Pertumbuhan pendapatan
Beberapa kemungkinan sasaran terkait dengan pertumbuhan pendapatan.
Kemungkinan ini mencakup: meningkatkan jumlah produk baru,
menciptakan aplikasi baru untuk produk yang sudah ada, meningkatkan
pelanggan dan memasarkan produk baru dan menerapkan strategi
penetapan harga baru.
Misalnya, metrik yang mungkin untuk daftar sasaran di atas (dalam urutan
yang tercantum) adalah persentase pendapatan dari produk baru,
persentase pendapatan dari pelanggan dan segmen pasar baru, dan margin
keuntungan produk atau keuntungan pelanggan.
b) Penurunan biaya
Mengurangi biaya per unit produk, per pelanggan, atau per saluran
distribusi adalah contoh tujuan pengurangan biaya. Untuk tujuan ini,
keakuratan alokasi biaya memainkan peran penting, penetapan biaya
berdasarkan aktivitas dapat memainkan peran pengukuran yang penting,
terutama untuk biaya komersial dan administrasi biasanya tidak dibebankan
pada objek biaya seperti pelanggan dan saluran distribusi.
c) Penggunaan asset
Meningkatkan pemanfaatan aset adalah tujuan utama. Ukuran keuangan
seperti laba atas investasi dan nilai tambah ekonomi digunakan. Karena
pentingnya laba atas investasi dan nilai tambah ekonomi.

7
Menurut Kaplan dan Norton (1996) Balanced Scorecard tetap
mempertahankan ukuran finansial sebagai suatu ringkasan penting kinerja
manajerial dan bisnis. Laporan keuangan yang terdiri dari neraca, laporan
laba rugi, laporan perubahan modal/ekuitas, dan laporan arus kas tetap
memegang peranan penting dimana informasi yang disediakan bersifat
kuantitatif sehingga dapat selalu mengingatkan manajer untuk mengadakan
tindakan perbaikan di sektor - sektor yang penting.
Analisis rasio keuangan berasal dari unsur - unsur laporan keuangan yang
dapat bersifat informatif atau memberikan gambaran baik buruknya
kesehatan atau kondisi keuangan suatu perusahaan, yang kemudian dapat
digunakan untuk mengevaluasi kinerja keuangan dan berbagai rasio
keuangan proses pengembalian. Di bawah ini adalah jenis - jenis rasio:
1) Rasio Likuiditas
● Rasio Lancar (Current Ratio)
Digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
menutupi atau melunasi kewajiban jangka pendeknya dengan
aset lancar perusahaan.
Current Ratio = Aktiva Lancar / Hutang Lancar x 100%

● Rasio Cepat (Quick Ratio)


Digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
menutupi atau melunasi kewajiban lancarnya dengan
menggunakan aset lancar tanpa menyertakan nilai persediaan.
Quick Ratio = Kas + Efek + Piutang / Hutang Lancar x 100%

● Rasio Kas (Cash Ratio)


Digunakan untuk membandingkan aset lancar dalam bentuk kas
dan setara kas dengan kewajiban lancar. Yang dimaksud dengan
aset likuid yang setara dengan uang tunai adalah aset yang
dapat dengan mudah dan segera diubah menjadi uang tunai.
Cash Ratio = Kas + Efek / Hutang Lancar

2) Rasio Profitabilitas
● Margin Laba Kotor (Gross Profit Margin)
Membandingkan laba kotor dengan penjualan. Semakin tinggi
persentase atau rasionya maka semakin baik posisi keuangan
perusahaan.
Gross Profit Margin = Penjualan Netto - HPP / Penjualan
Neto x 100%

● Rasio Laba Bersih (Net Profit Margin)


Ukuran keuntungan dikurangi seluruh biaya dan pengeluaran,
kecuali bunga dan pajak, dibagi dengan pendapatan.
Net Profit Margin = EAT (Earning After Tax / Laba Bersih
Setelah Pajak) / Penjualan Neto x 100%

● Rasio Laba Operasi (Operating Income Ratio)

8
Untuk menghitung pendapatan laba operasi sebelum bunga dan
pajak dari penjualan.
Operating Income Ratio = Penjualan Netto - HPP - (EBIT) /
Penjualan Neto x 100%

● Return On Investment (ROI)


Untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
laba terhadap investasi yang telah dikeluarkan.
Return On Investment = Laba Setelah Pajak / Investasi x
100%

● Return On Assets (ROA)


Untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
laba dengan semua aktiva atau aset yang dimilikinya.
Return On Assets = Laba sebelum bunga dan pajak / Total
Aset x 100%

3) Rasio Solvabilitas
● Rasio Hutang Terhadap Aktiva (Total Debt to Asset Ratio)
Untuk mengukur persentase besarnya dana yang berasal dari
hutang, baik hutang jangka pendek maupun jangka panjang.
Semakin rendah rasio artinya semakin baik bagi keuangan
perusahaan, karena keamanan dananya semakin baik.
Debt to Assets Ratio = Total Hutang / Total Aktiva x 100%

● Rasio Hutang Terhadap Ekuitas (Total Debt to Equity Ratio)


Untuk mengukur hutang yang dimiliki dengan modal sendiri.
Semakin kecil rasio ini maka akan semakin baik bagi perusahaan.
Lebih bagus apabila besarnya hutang tidak melebihi modal
perusahaan itu sendiri.
Total Debt to Equity Ratio = Total Hutang / Modal x 100%

4) Rasio Aktivitas
● Rasio Perputaran Piutang (Accounts Receivable Turnover)
Untuk mengukur efektivitas pengelolaan piutang. Maka,
semakin tinggi perputarannya maka semakin baik untuk
perusahaan.
Accounts Receivable Turnover = Penjualan / Piutang Rata -
Rata x 100%

● Rasio Perputaran Persediaan (Inventory Turnover Ratio)


Untuk menggambarkan likuiditas perusahaan. Maka, semakin
tinggi rasio perputaran persediaan maka semakin baik pula
pengelolaan persediaannya.
Inventory Turnover Ratio = Harga pokok penjualan /
Persediaan x 100%

9
● Rasio Perputaran Aktiva Tetap (Fixed Asset Turnover)
Untuk melihat sejauh mana perusahaan dapat menghasilkan
penjualan dengan aktiva tetap yang dimiliki. Maka, semakin
besar rasio maka semakin baik bagi perusahaan.
Fixed Asset Turnover = Penjualan / Aktiva Tetap x 100%

● Rasio Perputaran Total Aktiva (Total Asset Turnover)


Untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan
seluruh aktiva terhadap penjualan yang dihasilkan. Semakin
besar angka yang dihasilkan maka semakin bagus.
Total Asset Turnover = Penjualan / Totak Aktiva x 100%

2. Perspektif Proses Bisnis Internal


Proses adalah cara untuk menciptakan nilai bagi pelanggan dan pemegang
saham. Proses - proses ini memungkinkan perusahaan untuk mencapai tujuan
yang diharapkan oleh pemegang saham dan mencapai keunggulan dalam
layanan pelanggan.
Berikut adalah tiga langkah yang dapat diambil oleh bisnis untuk memahami
perspektif masing - masing departemen internal bisnis:
a) Proses Inovasi
Tujuan dari proses inovasi adalah untuk meningkatkan jumlah produk baru,
meningkatkan proporsi pendapatan dari produk yang sudah ada dan
mengurangi waktu untuk mengembangkan produk baru, meningkatkan
proporsi pendapatan dari produk yang sudah ada dan mengurangi waktu
yang dibutuhkan untuk mengembangkan produk baru. Metrik yang relevan
sebenarnya adalah produk yang baru dikembangkan versus produk yang
dirancang, persentase pendapatan dari produk yang dimiliki dan panjang
siklus pengembangan (waktu ke pasar). Berikut adalah empat bentuk dasar
kategori dari inovasi. Perusahaan dapat menekankan salah satu dari
kategori tersebut atau melakukan semuanya.

10
Gambar 2.3.1.1 Categories of Innovation

Catatan:
1) Kuadran 1: Improving Core Businesses
Berfokus pada penambahan inovasi yang dapat dikembangkan
dengan cepat dan tidak mahal. Penambahan inovas ini berupa line
extensions (produk baru dalam kategori yang sama dengan produk
perusahaan yang telah ada) dan horizontal growth strategy
(memasuki pasar atau wilayah geografis baru).
2) Kuadran 2: Exploiting Strategic Advantages
Berfokus pada pengambilan merek dan jaringan produk yang sudah
ada dan menargetkan kepada pelanggan dan pasar baru, tanpa
memerlukan perubahan besar pada kemampuan bisnis yang sudah
dimiliki. Ini berarti bisnis bergerak keluar dari lingkup strategi
perusahaan yang sekarang dan memanfaatkan kapabilitas melalui
diversifikasi yang terkonsentrasi.
3) Kuadran 3: Developing New Capabilities
Berfokus pada pendalaman kepuasan pelanggan dan loyalitas merek
atau macam produk dengan menambah kapabilitas baru perusahaan
tanpa melakukan perubahan besar dalam lingkup strategi.
Perusahaan mungkin mengembangkan teknologi, bakat, atau bisnis
baru.
4) Kuadran 4: Creating Revolutionary Change
Berfokus pada inovasi radikal yang melebihi macam produk dan
merek yang dimiliki perusahaan saat ini untuk membuat perubahan
yang mendasar dalam lingkup strategi maupun kapabilitasnya.

b) Proses Operasional
Ada tiga tujuan proses bisnis yang hampir selalu disebutkan dan ditekankan:
meningkatkan kualitas proses, meningkatkan efisiensi proses, dan
mengurangi waktu pemrosesan. Contoh ukuran kualitas proses adalah biaya

11
kualitas, hasil (output baik/input baik), dan persentase unit cacat (output
baik/total output).
c) Waktu Siklus dan Velositas
Waktu siklus dan kecepatan adalah dua ukuran operasional daya tanggap.
Waktu siklus adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk menghasilkan
satu unit output sejak bahan baku diterima hingga produk dikirim ke gudang
produksi. Jadi, waktu siklus adalah waktu yang diperlukan untuk
menghasilkan suatu produk (waktu/satuan produk yang dihasilkan). Dari
waktu produksi teoritis yang tersedia selama periode waktu tertentu (dalam
menit), standar biaya nilai tambah per menit dapat dihitung dengan cara:
Biaya Standar Per Menit = Biaya konversi sel / Menit yang tersedia untuk
memperoleh biaya konversi per unit, biaya standar per unit ini dikalikan
dengan waktu siklus aktual yang digunakan untuk memproduksi unit selama
periode tersebut.
● Efisiensi Siklus Manufaktur (MCE).
Ukuran operasional berdasarkan waktu yang lain menghitung efisiensi
siklus manufaktur (MCE) sebagai berikut:
MCE = Waktu proses / (waktu proses+waktu inspeksi+waktu
penantian)

Dimana waktu pemrosesan adalah waktu yang digunakan untuk


mengubah bahan mentah menjadi produk jadi. Waktu pengendalian,
pengangkutan, waktu tunggu dan penyimpanan yang efektif adalah
waktu tanpa nilai tambah apabila laju laju MCE naik ke I, maka waktu
pemrosesan telah dikurangi sehingga waktu respons pesanan
pelanggan meningkat. Rasio ini juga dapat digunakan oleh perusahaan
jasa, namun mungkin pada departemen yang berbeda, karena setiap
pelanggan umumnya tidak memiliki toleransi yang tinggi terhadap
waktu pengiriman yang lama.
● Kualitas
Program peningkatan kualitas keseluruhan yang dilaksanakan oleh
masing-masing perusahaan sebenarnya memerlukan langkah-langkah
seperti tingkat produk cacat, pengerjaan ulang, jumlah pengembalian,
dll. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas, pengukuran juga harus
dilakukan pada setiap tahapan sebelum produk berhasil diproduksi
atau jasa dilakukan.
● Biaya
Biaya memainkan peran penting dalam semua bidang bisnis, termasuk
proses operasional. Sangat penting bagi manajer untuk mengurangi
biaya tanpa mengurangi kualitas produk atau jasa, sesuai dengan
strategi dan tujuan perusahaan.
d) Proses Pelayanan Pasca Penjualan
Meningkatkan kualitas, meningkatkan efisiensi dan mengurangi waktu
pemrosesan juga merupakan tujuan yang diperlukan dalam proses layanan
purna jual.

12
3. Perspektif Pelanggan
Perspektif pelanggan adalah perspektif kedua yang digunakan pada
Balanced Scorecard dan berkaitan erat dengan cara perusahaan melayani
pelanggan. Dalam hal ini, setiap pelanggan harus diperlakukan dengan layak
sehingga pelanggan bisa mendapatkan rasa puas atas pelayanan yang diberikan
oleh perusahaan.
Adanya pelayanan yang baik akan membantu meningkatkan loyalitas
konsumen kepada perusahaan. Sebaliknya, jika perusahaan memberikan
pelayanan yang buruk, pasti konsumen mencari perusahaan lain yang memiliki
sistem atau pelayanan yang lebih baik. Menurut Kaplan dan Norton (2000:60)
perusahaan diharapkan mampu membuat suatu segmentasi pasar dan
ditentukan target pasarnya yang paling mungkin untuk dijadikan sasaran sesuai
dengan kemampuan sumber daya dan rencana jangka panjang perusahaan.
Dalam perspektif pelanggan terdapat 2 kelompok perusahaan yaitu Customer
Core Measurement dan Customer Value Propositions. Customer Core
Measurement memiliki beberapa komponen pengukuran, yaitu:
1) Market Share (pangsa pasar); Pengukuran ini mencerminkan bagian yang
dikuasai perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada, meliputi jumlah
pelanggan, jumlah penjualan dan volume unit penjualan.
2) Customer Retention (retensi pelanggan); Mengukur tingkat di mana
perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan konsumen.
3) Customer Acquisition (akuisisi pelanggan); Mengukur tingkat dimana suatu
unit bisnis mampu menarik pelanggan baru atau memenangkan bisnis baru.
4) Customer Satisfaction (kepuasan pelanggan); Menaksir tingkat kepuasan
pelanggan terkait dengan kriteria kinerja spesifik dalam value proposition.
5) Customer Profitability (profitabilitas pelanggan); mengukur keuntungan
yang diperoleh perusahaan dari penjualan produk/jasa kepada konsumen.
Sedangkan Customer Value Propositions merupakan pemicu kinerja yang
terdapat pada core value proposition yang didasarkan pada atribut sebagai
berikut:
1) Product / Service Attributes
Meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga, dan kualitas. Pelanggan
memiliki preferensi yang berbeda-beda atas produk yang ditawarkan. Ada
yang mengutamakan fungsi dari produk, kualitas, atau harga yang murah.
Perusahaan harus mengidentifikasikan apa yang diinginkan pelanggan atas
produk yang ditawarkan. Selanjutnya pengukuran kinerja ditetapkan
berdasarkan hal tersebut.
2) Konsumen Relationship
Menyangkut perasaan pelanggan terhadap proses pembelian produk yang
ditawarkan perusahaan. Perasaan konsumen ini sangat dipengaruhi oleh
responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap pelanggan berkaitan
dengan masalah waktu penyampaian. Waktu merupakan komponen yang
penting dalam persaingan perusahaan.
3) Image dan Reputasi
Menggambarkan faktor-faktor intangible yang menarik seorang konsumen
untuk berhubungan dengan perusahaan. Membangun image dan reputas

13
juga dapat dilakukan melalui iklan dan menjaga kualitas seperti yang
dijanjikan.

4. Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran


Dimensi pembelajaran dan pengembangan merupakan sumber kompetensi
yang membantu mencapai atau mencapai tujuan ketiga dimensi lainnya.
Perspektif ini memiliki tiga tujuan utama, yaitu:
1) Meningkatkan kapabilitas pegawai,
2) Meningkatkan 13 motivasi, pemberdayaan dan penyelarasan, dan
3) Meningkatkan kapabilitas sistem informasi.
dijelaskan sebagai berikut:
1) Kapasitas pekerja. Tiga ukuran hasil utama kinerja karyawan adalah
kepuasan karyawan, pergantian karyawan, dan produktivitas karyawan
(misalnya, pendapatan per karyawan).
2) Motivasi, pemberdayaan, dan koneksi. Karyawan tidak hanya harus memilik
keterampilan yang diperlukan tetapi juga memiliki kebebasan, motivasi dan
inisiatif untuk menggunakan keterampilan ini secara efektif.
3) Informasi kapasitas sistem. Meningkatkan kapasitas sistem informasi
berarti memberikan informasi yang lebih akurat dan tepat waktu kepada
karyawan sehingga mereka dapat meningkatkan proses dan menerapkan
proses baru secara efektif.

2.3.2 Key Performance Indicator (KPI) dalam Balanced Scorecard


Menurut Banerjee dan Biotik (2012), KPI adalah terukur, indikator kuantitatif
yang digunakan untuk menilai kinerja organisasi untuk mencapai tujuannya. KPI juga
digunakan untuk mengidentifikasi tujuan yang terukur, dan merujuk pada dukungan
untuk tren dan keputusan.
Key Performance Indicator (KPI) adalah ukuran berskala dan kuantitatif yang
digunakan untuk mengevaluasi kinerja organisasi dalam tujuan mencapai target
organisasi. KPI juga digunakan untuk menentukan objektif yang terukur, melihat tren,
dan mendukung pengambilan keputusan.
KPI sederhananya adalah suatu benchmarking dan merupakan bagian dari
Balanced Scorecard. Benchmarking merupakan teknik pengukuran hasil kerja.
Beberapa pengukuran hasil kerja kemudian dibandingkan dan dipilih bagian yang
terbaik untuk meningkatkan performa suatu perusahaan. Benchmarking pada
akhirnya menjadi salah satu cara efektif dalam suatu manajemen perusahaan. Dalam
sistem Balanced Scorecard, KPI biasanya dioptimalkan pada perspektif internal bisnis.
Dalam pelaksanaan Balanced Scorecard, dibutuhkan indikator-indikator untuk
mengukur keberhasilan mencapai tujuan. Empat perspektif yang diharapkan bisa
menggerakkan pemahaman tradisional terhadap sebatas keuntungan. Finansial
membutuhkan KPI untuk melakukan penilaian yang bersifat kuantitatif. KPI bisa
dikatakan lebih fokus dibandingkan Balanced Scorecard. Jika Balanced Scorecard
bersifat fleksibel dengan mengarahkan fokus pada beberapa tinjauan, maka KPI hanya
akan mengukur pada fokus-fokus tertentu.
Dengan pengertian lain, KPI atau Key Performance Indicator merupakan alat
untuk memantau sampai di mana kemajuan implementasi strategi perusahaan. KPI
akan melihat perbedaan antara realisasi dengan harapan, KPI akan memantau

14
efektifitas implementasi strategi perusahaan. KPI juga akan memantau seberapa
efisien biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan strategi perusahaan.
Perusahaan yang menggunakan KPI memiliki tujuan untuk mengukur
keberhasilan mereka dalam mencapai tujuan mereka. Dalam penerapannya, KPI
memiliki ciri-ciri yang dapat dilihat sebagai berikut:
1) Ukuran yang sering digunakan (Regular measurements)
2) Ukuran Non-financial
3) Ukuran yang diketahui oleh manajemen
4) Semua pihak dalam organisasi sudah mengerti dan memahami KPI
5) Tanggung jawab kepada tim dan individu
6) Memiliki efek yang sangat signifikan dan komprehensif
7) Memiliki efek yang lebih positif

Dalam praktiknya yang diperankan oleh perusahaan memiliki 2 jenis KPI yang
bisa digunakan, seperti berikut ini:
1. Key Performance Indicator Financial
KPI financial adalah bentuk indikator kinerja terpenting yang terkait dengan semua
hal tentang keuangan. Contoh KPI keuangan ini adalah sebagai berikut:
a) KPI laba kotor, KPI yang mengukur jumlah uang yang tersisa dari pendapatan
setelah dikurangi harga pokok penjualan (HPP).
b) KPI laba bersih, KPI yang mengukur jumlah sisa pendapatan setelah dikurangi
harga pokok penjualan dan biaya operasional lainnya seperti beban bunga dan
pajak.
c) KPI margin laba kotor, KPI yang mengukur nilai persentase yang diperoleh
dengan membagi laba kotor dengan penjualan.
d) KPI margin laba bersih, KPI yang mengukur nilai persentase yang diperoleh
dengan membagi laba bersih berdasarkan pendapatan.
e) KPI rasio lancar, KPI yang mengukur kinerja keuangan dari saldo kas dengan
membagi aset lancar dengan kewajiban lancar.
Indikator ini memperkirakan seberapa baik perusahaan akan bertahan jika
terjadi resesi mendadak.

2. Key Performance Indicator Non-Financial


KPI Non-Financial adalah jenis KPI yang bentuknya tidak secara langsung dapat
memengaruhi keuangan suatu perusahaan. Contoh KPI Non-Financial yang
biasanya ada di perusahaan adalah:
a) Manpower Turnover tentang perputaran tenaga kerja.
b) Customer Satisfaction Metrics tentang matriks kepuasan pelanggan.
c) Repeat Customer to New Customer Ratio tentang rasio pelanggan berulang
terhadap pelanggan baru.
d) Market Share tentang pangsa pasar.

Untuk mencapai sasaran strategi, maka diperlukan indikator yang akan


menjadi acuan pelaksanaan atau program aksi. Setiap Sasaran strategi memiliki
beberapa performance indicator. Adapun performance indicator yang ditetapkan
untuk sasaran strategi perusahaan Airplane Systm adalah sebagai berikut:

15
Sasaran Performance Indicator

Meningkatkan Tingkat Persentase Pengembalian


Pengembalian
Investasi Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
laporan keuangan

Meningkatkan Jumlah sales revenue per kategori produk (produk lama dan
Pendapatan baru)

Persentase penurunan biaya operasi

Persentase pertumbuhan profit

Tingkat profit margin

Tingkat profitabilitas per kategori produk


Tabel 2.3.4.1 Performance Indicator Perspektif Finansial (Keuangan)

Sasaran Performance Indicator

Peningkatkan Tingkat persepsi pelanggan atas nilai merk (brand value)


Kepuasan
Pelanggan Tingkat kepuasan pelanggan (customer satisfaction)

Penetrasi Pasar Rata-rata jumlah pelanggan tetap yang telah diakreditasi


untuk setiap kategori barang yang dibeli

Tingkat agresivitas pemasaran produk di pasar yang sudah


ada

Frekuensi Pembelian

Pengembangan Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai break even produk


Pasar Baru baru

Tingkat permintaan produk dalam kurun waktu tertentu

Profit yang diperoleh dari penjualan produk baru dalam


kurun waktu tertentu
Tabel 2.3.4.2 Performance Indicator Perspektif Pelanggan

Sasaran Performance Indicator

Kualitas Produk Tingkat kualitas barang yang dibeli dibanding harga

Kualitas pelayanan Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi


permintaan pasar/user

16
Persentase kesesuaian proses pembelian barang dengan SOP

Volume Produksi Frekuensi produk baru yang di-launch ke pasar dalam kurun
waktu tertentu

Persentase kesesuaian antara peramalan permintaan barang


dengan permintaan riil

Jumlah produk baru yang dikembangkan dibanding dengan


kompetitor

Inovasi Persentase ide/gagasan produk baru yang direalisasikan


menjadi kenyataan

Waktu yang dibutuhkan untuk meluncurkan produk baru


sejak dari pemunculan ide/gagasan produk hingga produk
akhir siap pasar
Tabel 2.3.4.3 Performance Indicator Perspektif Internal Proses Bisnis

Sasaran Performance Indicator

Penyelarasan Persentase kinerja karyawan yang telah menyusun rencana


Tujuan Personal pengembangan individual sesuai dengan pedoman
Kualitas SDM

Persentase karyawan yang melakukan proses development


coaching pasca kegiatan pelatihan

Jumlah on job training yang dilaksanakan dalam kurun waktu


tertentu

Jumlah modul pelatihan yang diselesaikan

Sistem Informasi Frekuensi kerusakan sistem aplikasi komputer

Rata-rata waktu pelayanan pelanggan yang bisa dihemat


setelah proses otomatisasi dengan sistem IT

Persentase karyawan yang telah terkoneksi dengan intranet

Jumlah visitor yang mengunjungi website perusahaan dalam


sebulan

Kepuasan SDM Indeks kepuasan karyawan

17
Frekuensi turn over pegawai dalam kurun waktu tertentu

Produktivitas SDM Jumlah sales revenue per karyawan (baik karyawan permanen
maupun kontrak

Profit per karyawan


Tabel 2.3.4.4 Performance Indicator Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan

Dari beberapa Performance Indicator yang terdapat pada sasaran strategi


dipilih 1 indikator yang menjadi acuan pencapaian setiap sasaran yang telah dibuat.
Adapun penentuan KPI untuk setiap Sasaran Strategi adalah sebagai berikut:

Sasaran Strategi KPI Target 2013 Inisiatif

Meningkatkan Tingkat kepuasan ROI dapat mencapai -


pengembalian pelanggan 30%, ROE 80%
investasi (customer
satisfaction)

Meningkatkan Persentase Pertumbuhan profit -


pendapatan pertumbuhan profit mencapai 80%
Tabel 2.3.4.5 KPI Perspektif Perspektif Finansial (Keuangan)

Sasaran Strategi KPI Target 2013 Inisiatif

Kepuasan Tingkat kepuasan 75% Melakukan fgd


pelanggan pelanggan dengan
(customer pelanggan tetap
satisfaction) (wholesale dan
reseller)

Penetrasi pasar Tingkat agresivitas Pembelian produk Program


pemasaran produk meningkat sampai penjualan
di pasar yang sudah 75% untuk setiap referensi
ada reseller dan
wholesale

Pengembangan Tingkat permintaan Pertumbuhan pasar Pull marketing


pasar baru produk dalam kurun baru mencapai 70% dan program
waktu tertentu di seluruh indonesia target
marketing
Tabel 2.3.4.6 KPI Perspektif Pelanggan

18
Sasaran Strategi KPI Target 2013 Inisiatif

Peningkatan Tingkat kualitas Retur Reject 2%, -


kualitas produk barang yang dibeli Retur Buyer 5%
dibanding harga

Peningkatan Rata-rata waktu Permintaan dapat Penetapan


kualitas yang dibutuhkan diselesaikan dalam waktu baku
pelayanan untuk memenuhi waktu 6 hari kerja penyelesaian
permintaan produk
pasar/pelanggan

Peningkatan Frekuensi produk Launching produk Program


volume produksi baru yang di-launch baru setiap 1 bulan kompetisi desain
ke pasar dalam sekali
kurun waktu
tertentu

Pengembangan Waktu yang 1 Bulan Survei pasar


inovasi dibutuhkan untuk
meluncurkan produk
baru sejak dari
pemunculan
ide/gagasan produk
hingga produk akhir
siap dipasarkan
Tabel 2.3.4.7 KPI Perspektif Internal Proses Bisnis

Sasaran Strategi KPI Target 2013 Inisiatif

Penyelarasan Persentase Meningkat 75% Program


tujuan personal karyawan yang telah sosialisasi SOP
menyusun rencana perusahaan
pengembangan kepada
individu sesuai karyawan
dengan pedoman

Kualitas SDM Jumlah on job Training dilakukan Penilaian


training yang setiap 1 bulan sekali kemampuan
dilaksanakan dalam SDM yang ada
kurun waktu
tertentu

Sistem informasi Jumlah pembeli Meningkat 75% Program upload


online melalui produk baru
website perusahaan secara kontinu
dalam kurun waktu

19
tertentu

Kepuasan SDM Frekuensi turn over 5% Program bonus


pegawai dalam untuk capaian
kurun waktu target tertentu
tertentu

Produktivitas Profit per karyawan Meningkat 25% Bangun profil


SDM kompetensi
Tabel 2.3.4.8 KPI Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan

2.4 Implementasi BSC dan Manfaat


2.4.1 Implementasi BSC
Setelah membangun Balanced Scorecard maka langkah selanjutnya adalah
mengimplementasikan apa yang telah dibangun atau disusun. Langkah pertama dalam
mengimplementasikan Balanced Scorecard adalah team yang telah disusun
melakukan identifikasi data yang diperlukan untuk mengimplementasikan balanced
Scorecard. Selanjutnya menentukan teknologi informasi yang digunakan untuk
memudahkan proses mengkomunikasikan balanced Scorecard. Implementasi dari
Balanced Scorecard tidak bisa langsung dilakukan pada setiap unit organisasi secara
bersamaan, tetapi harus dilakukan secara bertahap.
Langkah kedua adalah membangun Scorecard secara menyeluruh. Pada
awalnya Balanced Scorecard dibuat pada tingkat organisasi, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam Balanced Scorecard unit–unit dalam organisasi,
diterjemahkan lagi ke dalam Balanced Scorecard departemen, dan yang terakhir
adalah Balanced Scorecard tim atau individu. Pada tahapan ini tim yang terbentuk
mengkomunikasikan inisiatif strategis dan ukuran yang dibutuhkan untuk setiap
perspektif kepada manajer dari masing-masing unit organisasi. Selanjutnya manager
dari setiap unit organisasi berpartisipasi dalam menentukan ukuran dari setiap proses
yang dilakukan oleh unitnya. Pada tahapan ini terjadi pertukaran informasi dari tim
pusat kepada manajer unit dan sebaliknya.
Langkah ketiga adalah menggunakan data Scorecard untuk evaluasi dan
peningkatan. Pada tahapan ini terjadi arus informasi dari setiap tim atau individu
kepada departemen, yang oleh departemen dilanjutkan ke unit organisasi, yang
akhirnya semua informasi dikumpulkan pada tingkat organisasi.
Pengumpulan data bisa dilakukan dengan cara melihat catatan manual, melalui
survey menggunakan email, interview terhadap individu atau tim, dan melalui
database. Setelah data-data tersebut terkumpul maka eksekutif melakukan analisa
dan evaluasi atas data tersebut. Dari analisa dan evaluasi ini diputuskan bagaimana
merevisi strategi, inisiatif, apa yang menjadi ukurannya dan bagaimana mengukurnya
terlihat pada gambar.

20
Gambar 2.4.1.1 Strategic Decision Making

Konsep BSC mulai sukses diterapkan pada beberapa organisasi swasta di


Amerika Serikat dan kemudian berhasil diterapkan di banyak perusahaan di seluruh
dunia seperti Rockwater Inc., AT&T Canada Long Distance, Siemens AG, BMW
Financial Services, Daimler Chrysler, Bank of Tokyo Mitsubishi, Philips Electronics, dan
lainnya. Sementara di pemerintahan Indonesia, yang pertama pertama kali
menerapkan konsep BSC adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan hal ini
merupakan terobosan besar. Pada tahun 2008, Kemenkeu Kemenkeu menerapkan
menerapkan konsep BSC secara bertahap yaitu dimulai pada level atas (belum sampai
pada level unit organisasi terkecil). Penerapan BSC sampai pada unit organisasi terkecil
(secara koheren) baru dimulai pada tahun 2011.
Berbagai sektor usaha telah menerapkan BSC, termasuk sektor perbankan.
Berikut adalah beberapa penilitian mengenai penerapan BSC sebagai tinjauan pustaka
Al-Najjar (2012):
1) Pandy (2005), melaporkan hasil eksperimen di mana sekelompok manajer
senior sebuah bank besar mengembangkan BSC yang dibuat untuk bank
mereka. Eksperimen ini menunjukkan bahwa pencapaian tujuan strategis
sangat didorong oleh perbaikan proses internal dan bahwa variabel non
keuangan melebihi variabel keuangan.
2) Harold (2006) menerapkan BSC untuk mengembangkan pengukuran kinerja
yang komprehensif dan sebagai alat manajemen untuk teknologi informasi di
sektor perbankan di India. Harold juga mengklarifikasi bagaimana BSC dapat
berguna dalam efektivitas teknologi bank komersial di India untuk menjamin
manajemen kinerja yang lebih baik.
3) Huang dan Lin (2006) meneliti sistem kinerja lima bank komersial di Cina.
Melalui investigasi dan evaluasi sistem kinerja bank sampel saat ini, Huang dan
Lin dapat merancang sistem evaluasi kinerja baru berdasarkan BSC.
4) Zhang dan Li (2009) percaya bahwa manajemen kinerja merupakan aspek
penting dari manajemen bisnis perbankan. Dalam studi mereka, mereka
mengusulkan BSC sebagai alat untuk meningkatkan kinerja bank komersial di
Cina.
5) Ahmad dkk. (2011) melakukan penelitian di mana mereka mensurvei sampel

21
27 bank di Pakistan untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang digunakan
oleh bank sampel untuk mengevaluasi kinerja mereka menurut empat
perspektif BSC. Semua bank yang disurvei menggunakan ukuran yang sesuai
dengan pendekatan BSC untuk mengevaluasi kinerja mereka, namun,
signifikansi ukuran bervariasi di antara sampel yang dipelajari
6) Fakhri dkk. (2011) melakukan survei pada 55 bank sampel di Libya. Studi
tersebut melaporkan bahwa sebagian besar bank menempatkan penekanan
mereka pada ukuran keuangan sebagai langkah pertama untuk mengevaluasi
kinerja, namun, banyak bank yang disurvei cenderung menerapkan ukuran
terkait pelanggan dan non keuangan lainnya.
7) Bernroider dkk. (2003) mencoba menggunakan pendekatan BSC sebagai alat
untuk IT-Controlling strategis dalam konteks pengembangan e-Business di dua
perusahaan produsen minuman di Austria. Manajemen kedua perusahaan
menganggap hasil studi memadai untuk mengawasi lingkungan e-Business dan
tujuan strategis terkait.
8) Zaman (2004) mensurvei 50 perusahaan Australia teratas. Hasil survei
mengungkapkan bahwa hanya 33% perusahaan yang menggunakan BSC dan
25% berencana untuk menerapkannya di masa depan. Zaman berpendapat
bahwa perusahaan Australia berada di tepi mengadopsi postur strategis atau
niat untuk menerapkan BSC dalam waktu dekat.
9) Dalam studinya, Yek dkk. (2007) BSC dapat diadopsi sebagai sistem manajemen
kualitas dan kinerja yang efektif di lembaga VET (Vocational Educational
Training) dengan adaptasi yang sesuai.
10) Al Sawalqa dkk. (2011) menganalisis penerapan Balanced Scorecard di antara
perusahaan industri di Yordania. Penulis mensurvei 168 perusahaan tentang
tingkat penerapan BSC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 35,1%
perusahaan yang disurvei menerapkan BSC, sedangkan 30%
mempertimbangkan atau menerapkan pendekatan BSC.

2.4.2 Manfaat
Penggunaan Balanced Scorecard memberikan manfaat bagi organisasi antara
lain meningkatkan komunikasi antar individu dalam organisasi, manajemen dapat
fokus pada proses organisasi secara keseluruhan, membawa setiap unit dalam
organisasi kearah yang sama yaitu melayani masyarakat, memotivasi pekerja,
meningkatkan sistem penghargaan, dan meningkatkan kepuasan pekerja.
Ketidakmampuan organisasi dalam memilih dan menggunakan ukuran kinerja yang
tepat, ketidakmampuan sistem informasi organisasi yang ada untuk menyediakan data
yang diminta, kurangnya dukungan dan komitmen dari manajemen, dan pekerja
kurang mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan, merupakan beberapa
kendala yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan balanced Scorecard.

2.5 Studi Kasus: Implementasi Balanced Scorecard


Penggunaan Balanced Scorecard sebagai salah satu metode untuk melakukan
penilaian kinerja memang lebih umum terjadi pada perusahaan bisnis yang memproduksi
barang. Namun dapat juga diterapkan pada rumah sakit yang menjalankan usaha
penyedia layanan, misalnya Rumah Sakit Umum Daerah Dr Zainoel Abidin sebagai salah

22
satu rumah sakit umum kelas A milik pemerintah provinsi Aceh mempunyai program yang
memberikan nilai tambah bagi pelanggan, pegawai, dan masyarakat serta mendukung
pertumbuhan perekonomian daerah dan nasional. Untuk mengetahui keberhasilan
program yang dijalankannya, perlu dilakukan penilaian terhadap kinerja program
tersebut. Penilaian kinerja yang dilakukan terhadap bagian-bagian di RSUD Dr Zainoel
Abidin masih terfokus pada penilaian keberhasilan suatu program berdasarkan aspek
keuangan dan pelayanan. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem penilaian kinerja yang
mampu mengukur kinerja secara lebih akurat dan komprehensif dan salah satu pilihannya
adalah dengan menerapkan Balanced Scorecard.
Analisis data dalam analisis Balanced Scorecard untuk melakukan penilaian kinerja
pada departemen di RS Dr. Zainoel Abidin dilakukan melalui identifikasi empat perspektif
yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan departemen di RS Dr. Zainoel Abidin. Apabila keempat
perspektif yang diukur menghasilkan skor yang baik, berarti kinerja departemen di RSUP
Dr Zainoel Abidin baik. Mekanisme penilaian kinerja departemen di RSUD Dr Zainoel
Abidin disajikan pada gambar 2.5.1.

Gambar 2.5.1 Mekanisme Penilaian Kinerja Departemen RSUD Dr. Zainoel

1) Perspektif Keuangan
Menunjukan kemampuan bagian-bagian di RS Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
dalam mencapai kondisi keuangan. Dalam analisis keuangan ini dilakukan dengan
menggunakan rasio ekonomi, efisien, dan efektivitas dengan menggunakan intrumen
value for money atau 3E yang dikembangkan oleh Mardiasmo (2002). Hasilnya
disajikan pada Gambar 2.5.2.

23
Seperti terlihat pada Gambar 2.5.2, rata-rata terjadi peningkatan bertahap pada
ketiga perspektif keuangan di seluruh poliklinik antara tahun 2014 dan 2015. Dari segi
keekonomian, sebagian besar poliklinik mencapai target keekonomian (rasio tahun
2014 = 75,57 dan tahun 2015 = 76,28). Dari 28 poliklinik, hanya poliklinik bedah
jantung yang tidak mencapai target ekonomi (rasio tahun 2014 = 114,09 dan tahun
2015 = 122,70). Sedangkan untuk rasio efisiensi dan efektivitas, terdapat 12 poliklinik
yang terbukti positif efisien dan efektif (rasio > 100), yaitu poliklinik gigi dan mulut,
rawat inap talasemia, rawat inap anak, rawat inap saraf, rawat inap jantung dan paru,
ruang ICU, Bangsal ICCU, bangsal PICU, bangsal NICU, bangsal pelayanan VIP dan ruang
operasional poliklinik.

Gambar 2.5.2 Data Analisis Perspektif Keuangan RSUD Dr. Zainoel

2) Perspektif bisnis internal


Perspektif bisnis internal mengacu pada kemampuan departemen di Rumah Sakit
Dr Zainoel Abidin Banda Aceh dalam melaksanakan aktivitas kerja sesuai rencana.
Proses bisnis internal yang dianalisis meliputi peningkatan/penurunan jumlah
kunjungan rawat jalan dan rawat inap dan hasilnya disajikan pada Gambar 2.5.3.
Berdasarkan informasi yang disajikan pada Gambar 2.5.3, diketahui bahwa dari 28
departemen rumah sakit, terdapat peningkatan yang signifikan antara target
kunjungan dengan kunjungan aktual di sebagian besar departemen.

24
Gambar 2.5.3 Data Analisis Perspektif Bisnis Internal RSUD Dr. Zainoel

3) Perspektif pelanggan
Perspektif pelanggan ada hubungannya dengan kemampuan rumah sakit dalam
menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat yang
menggunakan jasanya. Dalam penelitian ini dilakukan terhadap indeks kepuasan
pasien. Hasilnya disajikan pada Gambar 2.5.4.
Berdasarkan informasi yang disajikan pada tabel III diketahui bahwa dari 28 rumah
sakit departemen, 20 diantaranya (71,4 persen) dianggap telah memberikan layanan
yang memuaskan menurut pasien dan 8 departemen sisanya (28,6 persen) belum,
yaitu, poliklinik penyakit dalam dan endokrin, poliklinik kardiologi, poliklinik
pendengaran dan THT poliklinik, poliklinik gigi dan mulut, bangsal bedah jantung,
bangsal rawat inap thalassemia, bangsal rawat inap anak dan bangsal NICU.

25
Gambar 2.5.4 Data Analisis Perspektif Pelanggan RSUD Dr. Zainoel

4) Perspektif pertumbuhan dan pembelajaran


Perspektif pertumbuhan dan pembelajaran merupakan upaya yang dilakukan
manajemen rumah sakit untuk meningkatkan kualitas kinerja sumber daya manusia.
Dalam kegiatan ini yang dianalisis adalah kepuasan karyawan dan frekuensi
pendidikan dan pelatihan yang dimaksudkan mengembangkan sumber daya manusia
dibidang kesehatan dan pemanfaatan teknologi. Hasil dari pengukuran kepuasan
karyawan disajikan pada Gambar 2.5.5.
Terlihat pada Gambar 2.5.5 rata-rata terjadi peningkatan pegawai skor kepuasan
sebesar ,8 (yaitu 85, menjadi 89,1). Namun kepuasan karyawan skor ditujuh poliklinik
secara bertahap menurun yaitu penyakit kulit dan seksual poliklinik ( dari 87,5 menjadi
86,5) , poliklinik endoskopi (dari 87,5 menjadi 86,5), poliklinik gigi dan poliklinik mulut
(dari 72,4 menjadi 70,4), bangsal bedah jantung (dari 87,5 menjadi 84,5), klinik
bersalin bangsal (dari 75,4 menjadi 72,4), bangsal rawat inap anak (dari 96,3 menjadi
90,7) dan bangsal ICU (dari 96,3 menjadi 87,5).
Peneliti memperoleh informasi tentang akses pelatihan yang diikuti karyawan
masing-masing tahun untuk masing-masing departemen dari data sekunder berupa
laporan tahunan rumah sakit untuk 2015 seperti terlihat pada Gambar 2.5.6.
Gambar 2.5.6 menyajikan data persentase pegawai departemen rumah sakit
memiliki akses pelatihan pada tahun 2015, dimana terdapat 19 departemen dengan
mean lebih tinggi dari 82,2 persen dan 9 departemen yang meannya lebih rendah dari
mean rumah sakit yaitu oleh 72 persen.

26
Gambar 2.5.5 Data Perspektif Pertumbuhan & Pembelajaran (Skor Kepuasan
Karwayan)

Gambar 2.5.6 Data Perspektif Pertumbuhan & Pembelajaran (Pengukuran Akses


Pelatihan Karyawan)

5) Kinerja berdasarkan Balanced Scorecard


Penentuan hasil kinerja menggunakan pendekatan Balanced Scorecard dilakukan
dengan menggunakan analsis yang datanya dapat dihitung dengan mengukur kinerja
dari setiap perspektif. Setelah data diolah, diberikan skor untuk menentukan apakah
data tersebut benar atau tidak kinerja seluruh aspek perusahaan baik, sedang, atau
buruk, hasilnya adalah disajikan pada Gambar 2.5.7.
Pada Gambar 2.5.7 menggambarkan kinerja departemen rumah sakit
berdasarkan kinerja penilaian menggunakan pendekatan Balanced Scorecard, dimana

27
kinerja secara kesluruhan termasuk di dalamnya kategori baik dengan mean sebesar
0,88 karena total skor lebih tinggi dari 0,50, kinerja bagian rawat jalan masuk dalam
kategori baik. Namun, ada beberapa departmen yang kinerjanya menurut Balanced
Scorecard lebih rendah dibandingkan sarana rumah sakit yaitu poliklinik penyakit
dalam dan endokrin, poliklinik kebidanan, poliklinik anak, poliklinik neurologi,
poliklinik kardiologi, poliklinik mata, pendengaran dan poliklinik THT, poliklinik paru
bangsal bedah pria, bangsal bersalin, bangsal rawat inap jantung dan paru serta
bangsal mata/THT.

Gambar 2.5.7 Data Analisis Kinerja BSC Departmen

Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan hasil


evaluasi kinerja dengan Balanced Scorecard baik ditinjau dari segi keaungan, bisnis
intenal, pelanggan, serta pelatihan dan pembelajaran, RS Zainoel Abidin telah
melakukan pekerjaannya dengan baik dan kinerja departemennya telah memberika
hasil yang diharapkan dan dicapai rumah sakit.

28
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Balanced Scorecard memberikan informasi yang akurat dan tepat bagi pelaksanaan
visi dan misi perusahaan melalui strategi yang dipilihnya. Dalam konsep Balanced
Scorecard pencapaian visi perusahaan memadukan empat perspektif bisnis, yaitu
perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, serta
perspektif pertumbuhan dan pembelajaran sehingga menghasilkan pengukuran kinerja
lebih menyeluruh serta terinci.
BSC adalah perspektif yang sangat fleksibel diterapkan perusahaan yang tidak hanya
sekedar mengukur aspek finansial semata namun ingin mengetahui parameter
pendukung kesuksesan finansial organisasi dimasa datang, sehingga sustainabilitas
organisasi dapat lebih terjamin. Penerapan Balanced Scorecard dilihat Berdasarkan uraian
yang telah dijelaskan diatas, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
1) Pengukuran pada perspektif keuangan, diperoleh hasil bahwa kinerja perusahaan
dapat dikatakan cukup baik, meskipun terjadi penurunan dari tahun sebelumnya.
2) Pengukuran pada perspektif pelanggan yaitu kepuasan pelanggan, menunjukkan
bahwa perusahaan mempunyai kinerja yang baik.
3) Pengukuran pada perspektif bisnis internal yang meliputi inovasi juga
menunjukkan kinerja yang baik.
4) Pengukuran pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran yaitu kepuasan
karyawan menunjukkan bahwa kepuasan karyawan sudah dapat dikatakan baik.

3.2 Saran
Pengembangan Balanced Scorecard (BSC) perlu di sesuaikan dengan kondisi yang ada
di perusahaan atau organisasi yang ada hal ini perlu dilakukan agar penerapan Balanced
Scorecard (BSC) bisa berjalan dengan lancar dan nanti bisa menguntunkan perusahaan
serta adanya penghematan dalam pemakaian sumber daya alam yang ada.

29
DAFTAR PUSTAKA
Adesti, A. A., Jonathan, R., & Solihin, D. (2019). Keunggulan dan Kelemahan Balanced
Scorecard. Analisis Pengukuran Kinerja Dengan Balanced Scorecard Pada CV.
Retrieved from tipsserbaserbi.blogspot.com.
Al-Najjar, S. M. (2012). Designing a Balanced Scorecard to Measure a Bank's Performance: A
Case Study. International Journal of Business Administration, 44-53.
Anitasari, N. (2021, Desember 9). Balanced Scorecard: Pengertian, Konsep, Perspektif dan
Contohnya. Diambil kembali dari zahiraccounting.com:
https://zahiraccounting.com/id/blog/apa-itu-balanced-scorecard/
Burhany, D. I., Novianty, I., & dan Suwondo, S. (2021). Pengukuran Kinerja Lingkungan dengan
Sustainability Balanced Scorecard: Seimbang, Komprehensif, dan Strategis. Jurnal
Riset Akuntansi dan Keuangan Vol.9 No.1, 149-164.
Kaplan, R. S. (2000). Balance Scorecard : Menerapkan Strategi Menjadi Aksi, Terjemahan:
Pasla Yosi Peter R. Jakarta: Erlangga.
Kelebihan Balanced Scorecard. (2023, Februari 28). Retrieved from samahitawirotama.com:
https://samahitawirotama.com/kelebihan-balanced-scorecard/
Khozein, A. (2012). Balanced Scorecard Should be Attention in Organizations. International
Journal of Research in Management.
Koesoemowidjojo, R. S. (2017). Balanced Scorecard: Model Pengukuran Kinerja Organisasi
dengan Empat Perspektif. Jakarta: Raih Asa Sukses.
Martunis, A., Dalimunthe, R., Amalia, K., Syahputra, H., Adam, M., & Masyudi. (2019).
Adaptation of the balanced scorecard model to measure performance of the
departments at Dr Zainoel Abidin Regional General Hospital, Banda Aceh. Balanced
Scorecard Model, 365-378.
Merdeka, R. M. (2021, September 23). Balanced Scorecard: Pengertian, Perspektif,
Karakteristik, dan Manfaatnya Untuk Perusahaan. Retrieved from greatdayhr.com:
https://greatdayhr.com/id-id/blog/balanced-scorecard/
Mulyadi. (2007). Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen. Jakarta: Salemba
Empat.
R.H.N, I. (2004). Implementasi Balanced Scorecard Pada Organisasi Publik. 106-122.
Rasio Keuangan: Pengertian, Jenis, Manfaat, dan Perhitungannya. (2023, April 27). Retrieved
from bfi.co.id: https://www.bfi.co.id/id/blog/rasio-keuangan-pengertian-jenis-
manfaat-dan-perhitungannya
Riadi, M. (2018, Februari 20). Pengertian, Karakteristik dan Perspektif Balanced Scorecard.
Retrieved from kajianpustaka.com:
https://www.kajianpustaka.com/2018/02/pengertian-karakteristik-dan-perspektif-
balanced-scorecard.html
Susilowati, H. (2022, Januari 14). Perspektif Balance Scorecard Sebagai Tolak Ukur Kinerja.
Retrieved from stiestekom.ac.id: https://stiestekom.ac.id/berita/perspektif-balance-
scorecard-sebagai-tolak-ukur-kinerja/2022-01-14

30
VALUE CHAIN ANALYSIS (VCA)
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Akuntansi Manajemen
Strategis yang diampu oleh :

Ibu Dr. Dian Imanina Burhany S.E., M.Si

Disusun oleh

Dafa Listyo Muzakki 215154007


Erni Mutiara Islami 215154008
Lutfi Asiah Azhari 215154014
Ruri Almira Natania 215154024
Shelma Az Zahra 215154027
Wanda Ma’rifatulloh 215154030

PROGRAM STUDI D4-AKUNTANSI


JURUSAN AKUNTANSI
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam juga kami sampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia.

Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok dalam mata kuliah Akuntansi
Manajemen Strategis, dengan judul "Value Chain Analysis (VCA)". Kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dian Imanina Burhany selaku pengampu
mata kuliah Akuntansi Manajemen Strategis yang telah memberikan kesempatan
kepada kami untuk mendalami topik yang penting dalam konteks value chain
analysis.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah


ini, untuk itu penulis mengharapkan saran dan masukan yang bersifat
membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis dan
pembaca.

Bandung, 29 Februari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................................ ii


DAFTAR ISI...................................................................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................ 1
1.3 Tujuan................................................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................................... 3
2.1 Definisi Value Chain Analysis (VCA) ........................................................................................... 3
2.2 Tujuan dan Manfaat Value Chain Analysis .............................................................................. 3
2.3 Perbedaan Value Chain dengan Value Added ........................................................................ 4
2.4 Keunggulan dan Kelemahan Value Chain Analysis ............................................................... 5
2.5 Value Chain Framework ................................................................................................................. 7
2.6 Strategi Value Chain Analysis untuk Keunggulan Kompetitif Perusahaan ................... 8
2.7 Langkah-langkah menggunakan Value Chain Analysis untuk menemukan
kebutuhan strategis pelanggan ........................................................................................................12
2.8 Studi Kasus: Implementasi Value Chain Analysis untuk menemukan kebutuhan
strategis pelanggan ...............................................................................................................................14
BAB III PENUTUP .........................................................................................................................................21
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................................................21
3.2 Saran ...................................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................................22

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Value Chain Framework ......................................................................... 7
Gambar 2 Value Chain menurut Maher dan Selto .................................................. 8
Gambar 3 Value Chain industri minyak ................................................................. 15
Gambar 4 Value Chain perusahaan Walmart........................................................ 16
Gambar 5 Value Chain yang menunjukkan strategi perusahaan Nike ................. 18
Gambar 6 Strategis Value Chain perusahaan Chevron ......................................... 20
Gambar 7 Strategis perusahaan global Chevron................................................... 20

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Primary Activity Perusahaan Walmart ..................................................... 17
Tabel 2 Supprot Activity Perusahaan Walmart ..................................................... 17

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam persaingan bisnis yang semakin ketat, pemahaman proses bisnis
menjadi sangat penting bagi perusahaan untuk mempertahankan dan
meningkatkan daya saingnya. Salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk
memahami proses bisnis adalah value chain analysis (analisis rantai nilai).
Value chain analysis merupakan pendekatan sistematis yang digunakan untuk
menganalisis aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh suatu perusahaan, mulai dari
pengadaan bahan baku hingga pemasaran produk akhir kepada pelanggan.
Analisis ini membagi aktivitas menjadi dua kategori utama, yaitu aktivitas primer
(primary activity) dan aktivitas pendukung (support activity), yang secara bersama-
sama menciptakan nilai tambah bagi produk atau layanan yang ditawarkan oleh
perusahaan.
Dengan melakukan value chain analysis, perusahaan dapat mengidentifikasi
dimana letak keunggulan kompetitifnya, memahami sumber-sumber biaya dan
nilai tambah, serta mengevaluasi potensi untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas operasional. Dengan demikian, pemahaman terhadap value chain
analysis menjadi sangat penting bagi manajer untuk mengambil keputusan
strategis yang tepat guna memperkuat posisi perusahaan diantara para pesaing.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang
diajukan dalam makalah ini adalah:
1. Apa definisi value chain analysis?
2. Apa tujuan dan manfaat dari value chain analysis?
3. Apa perbedaan antara value chain dan value added?
4. Apa keunggulan dan kelemahan dari value chain analysis?
5. Apa itu value chain framework?
6. Apa strategi value chain analysis untuk keunggulan kompetitif
perusahaan?
7. Bagaimana langkah-langkah value chain analysis untuk menemukan
kebutuhan strategis pelanggan?
8. Bagaimana implementasi dari value chain analysis untuk menemukan
kebutuhan strategis pelanggan?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari makalah ini adalah sebagai
berikut:

1
1. Mengetahui apa definisi value chain analysis
2. Mengetahui apa tujuan serta manfaat dari value chain analysis
3. Mengetahui perbedaan antara value chain dan value added
4. Mengetahui keunggulan dan kekurangan dari value chain analysis
5. Mengetahui value chain framework
6. Mengetahui bagaimana strategi value chain analysis untuk keunggulan
Kompetitif perusahaan
7. Mengetahui langkah-langkah value chain analysis untuk menemukan
kebutuhan strategis pelanggan
8. Mengetahui implementasi dari value chain analysis untuk menemukan
kebutuhan strategis pelanggan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Value Chain Analysis (VCA)

Konsep value chain atau rantai nilai merupakan bagian dari strategic cost
management atau manajemen biaya strategik yang merupakan pengembangan
akuntansi manajemen tradisional. Dalam akuntansi manajemen tradisional, yang
menjadi fokus dari aktivitas perusahaan hanya aktivitas internal atau aktivitas yang
terjadi di dalam perusahaan. Dengan kata lain, akuntansi manajemen tradisional
mengambil perspektif value added yang dimulai dengan pembayaran kepada
pemasok (aktivitas pembelian) dan berakhir dengan pembebanan kepada
pelanggan (aktivitas penjualan). Sasarannya hanya sekedar menciptakan value
added di antara pembelian dan penjualan.

Pearce dan Robinson (2013:152) mengungkapkan bahwa istilah rantai nilai


(value chain) menggambarkan cara untuk memandang suatu perusahaan sebagai
rantai aktivitas yang mengubah input menjadi output yang bernilai bagi pelanggan.
Dasar rantai nilai adalah kerjasama dan hubungan berkesinambungan antara
semua aktivitas baik aktivitas di dalam maupun di luar perusahaan.

Porter (1985) menjelaskan bahwa Analisis value-chain merupakan alat analisis


stratejik yang digunakan untuk memahami secara lebih baik terhadap keunggulan
kompetitif, untuk mengidentifikasi dimana value pelanggan dapat ditingkatkan
atau penurunan biaya, dan untuk memahami secara lebih baik hubungan
perusahaan dengan pemasok/supplier, pelanggan, dan perusahaan lain dalam
industri.

2.2 Tujuan dan Manfaat Value Chain Analysis


Tujuan dari Value Chain Analysis adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap
value chain di mana perusahaan dapat meningkatkan value untuk pelanggan atau
untuk menurunkan biaya. Penurunan biaya atau peningkatan nilai tambah (Value
added) dapat membuat perusahaan lebih kompetitif.

Value Chain Analysis memiliki beberapa manfaat yang dapat membantu bisnis
sebagai berikut.
1) Peningkatan efisiensi
Dapat membuat bisnis lebih efisien dengan menunjukan dimana bisnis dapat
menghemat uang.
2) Membantu perencanaan strategis

3
Analisis ini membantu perusahaan merencanakan masa depan karena
menunjukan area mana yang akan menghasilkan nilai paling besar bagi
perusahaan.
3) Menciptakan atau meningkatkan keunggulan kompetitif
Karena memungkinkan perbandingan di bidang tertentu, analisis ini membantu
mengungkap perbedaan kinerja antara perusahaan dan pesaingnya.
4) Ekspresi nilai tambah khusus perusahaan
Analisis ini dapat menunjukan dimana nilai tambah perusahaan dan dimana
kehilangan uang, memungkinkan pembuat keputusan untuk mengukur bagian
paling berharga dari proses tersebut.

2.3 Perbedaan Value Chain dengan Value Added


Dalam akuntansi manajemen tradisional, yang menjadi fokus dari aktivitas
perusahaan hanya aktivitas internal atau aktivitas yang terjadi di dalam
perusahaan. Dengan kata lain, akuntansi manajemen tradisional mengambil
perspektif value added yang konsepnya adalah menekankan pada penambahan
nilai produk selama proses didalam perusahaan dimulai dengan pembayaran
kepada pemasok (aktivitas pembelian) dan berakhir dengan pembebanan kepada
pelanggan (aktivitas penjualan). Sasarannya hanya sekedar menciptakan value
added di antara pembelian dan penjualan.
Semua biaya non-value added akan dihilangkan dan perusahaan fokus pada
hal-hal yang mempunyai nilai pada produk. Konsep ini mengakibatkan kerugian
bagi perusahaan karena analisisnya terlalu lambat dimulai, analisis dimulai saat
bahan baku dibeli dan tidak memperhatikan saat pembentukan nilai yang terjadi
pada aktivitas yang dilakukan pemasok bahan baku tersebut; dan terlalu cepat
selesai, analisis berakhir saat produk selesai diproses dan mengabaikan proses
distribusi produk ke tangan pelanggan dan penanganan setelah itu (Shank dan
Govindarajan, 1992). Hal ini mengakibatkan perusahaan kehilangan kesempatan
(missed opportunities) untuk mengeksplorasi hubungannya dengan pemasok dan
pelanggan untuk memantapkan posisinya dalam persaingan pasar.
Konsep value chain memberikan perspektif letak perusahaan dalam rantai
nilai industri. Konsep value chain lebih luas dibandingkan value added dan dapat
dikatakan value added merupakan bagian dari value chain.
Definisi value chain yang dikemukakan oleh Hansen dan Mowen (1997:355)
yaitu “the linked set of value-creating activities from basic raw materials to the
disposal of the finished product by end-use customers.” Dengan maksud yang
sama, Hilton, Maher dan Selto (2000:12) mendefinisikan value chain sebagai: “a
set of linked operations or processes that begins with obtaining resources and ends
with providing products or services that customers value.”
Bagi perusahaan, value diukur dari revenue yang diterimanya sedangkan bagi
pelanggan value adalah kepuasan yang dirasakannya. Perusahaan dikatakan
mencapai profit jika value yang diterimanya dari pelanggan melebihi biaya
produksi yang telah dikeluarkannya. Di sisi lain, pelanggan dikatakan puas jika

4
manfaat yang dirasakannya dari barang atau jasa melebihi value yang
dibayarkannya kepada perusahaan.
Hubungan yang baik dengan pemasok dapat memberikan keuntungan bagi
perusahaan dalam hal peningkatan/perbaikan kualitas bahan baku. Sedangkan
hubungan dengan pelanggan dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan
dalam loyalitas pelanggan terhadap produk perusahaan. Dilain pihak Analisis
Value Chain merupakan analisis aktivitas-aktivitas yang menghasilkan nilai, baik
yang berasal dari dalam dan luar perusahaan.
Perbaikan value melalui hubungan dengan pemasok pada mata rantai supply
atau procurement misalnya dapat diilustrasikan dengan sebuah perusahaan
produsen snack yang bahan bakunya adalah cokelat. Jika perusahaan
menggunakan perspektif value added maka tahap awal dari aktivitas perusahaan
adalah membeli bahan baku coklat dalam bentuk batangan dari pemasok. Namun
jika menggunakan perspektif value chain perusahaan dapat meminta kepada
pemasok agar bahan baku dikirimkan dalam bentuk cairan coklat di dalam mobil
tangki sehingga perusahaan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk
menghancurkan batangan coklat sebelum mengolahnya menjadi snack. Di sisi lain,
pemasok juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mencetak dan membungkus
batangan coklat sebelum dipasok ke perusahaan. Intinya, kedua belah pihak
mendapatkan keuntungan dengan meminimalkan biaya dari pengadaan bahan
baku tersebut.
Hubungan dengan pelanggan juga sama pentingnya dengan hubungan
dengan pemasok dalam perspektif value chain. Hubungan dengan pelanggan tidak
dihentikan di titik penjualan namun harus dieksploitasi dengan menciptakan atau
memperbaiki value dalam mata rantai marketing, distribution, dan customer
service. Penciptaan dan perbaikan value dalam hubungan dengan pelanggan
dilakukan melalui perancangan produk yang dapat meminimalisasi post-purchase
cost pelanggan sehingga biaya yang mereka keluarkan sejak pemilikan produk
sampai dengan produk itu tidak dapat digunakan lagi (yang dibebankan ke produk)
dapat ditekan serendah mungkin. Ini erat kaitannya dengan konsep life cycle
costing yaitu konsep yang memasukkan semua biaya yang dikeluarkan untuk
sebuah produk – sejak produk diterima sampai dibuang/dihabiskan oleh
pelanggan – sebagai bagian dari biaya produk. Semakin rendah life cycle costing
maka semakin tinggi customer value.

2.4 Keunggulan dan Kelemahan Value Chain Analysis


Value chain analysis adalah alat yang berguna dan dapat memberikan
manfaat dan keuntungan bagi perusahaan dalam beberapa cara berikut ini.
1) Value chain analysis adalah pendekatan sistematis untuk menganalisis
proses bisnis individu
Perusahaan melakukan berbagai aktivitas yang saling berhubungan untuk
menghasilkan barang dan jasa bagi konsumen. Analisis rantai nilai

5
mengkaji setiap aktivitas dalam proses tertentu, yang dapat membantu
para pemimpin perusahaan memahami cara meningkatkan operasi.
2) Value chain analysis didasarkan pada wawasan objektif dan berbasis data
Value chain analysis menggunakan data berkualitas tinggi untuk
memberikan wawasan tentang proses bisnis saat ini. Pendekatan ini
menjadikan analisis rantai nilai sebagai sumber yang obyektif ketika
mencoba menemukan cara terbaik bagi organisasi untuk mengurangi biaya
dan membedakan penawaran bisnisnya.
3) Value chain analysis dapat membantu meningkatkan manufaktur dan
pengembangan produk
Meskipun Perusahaan-perusahaan di berbagai industri dapat melakukan
analisis ini tetapi proses ini sangat cocok untuk organisasi manufaktur.

Value chain analysis memang memiliki beberapa kelemahan jika


melakukannya tanpa memahami konteks lebih lanjut seperti berikut ini.
1) Value chain analysis mungkin kehilangan beberapa peluang perbaikan
Salah satu kelebihan analisis rantai nilai – fokusnya pada proses individual
juga berpotensi menjadi kelemahan. Dengan hanya berfokus pada proses
bisnis tertentu, para pemimpin perusahaan mungkin kehilangan peluang
potensial di tempat lain.
Menggabungkan value chain analysis dengan jenis analisis bisnis lainnya
sangat penting untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai
risiko dan peluang. Kegagalan melakukan hal ini dapat menyebabkan
hubungan dalam Perusahaan atau antar mitra bisnis menjadi beban
analisis.
2) Value chain analysis mungkin tidak dapat berjalan dengan baik jika
dilakukan dengan pihak ketiga
Analisis rantai nilai bergantung pada akses terhadap data, pola pikir
perbaikan berkelanjutan, dan komitmen terhadap perubahan. Para
pemimpin perusahaan mungkin telah mencapai dukungan internal, namun
mengamankan dukungan dari pemangku kepentingan eksternal, seperti
vendor dan mitra, bisa jadi lebih sulit.
Pemimpin perusahaan harus memiliki hubungan yang kuat dengan pemilik
bagian lain rantai pasokan untuk dapat meyakinkan mereka agar
berkomitmen terhadap perbaikan. Idealnya, perjanjian pihak ketiga dapat
membantu dalam hal ini.
3) Value chain analysis mungkin tidak berhasil untuk Perusahaan berbasis
jasa
Meskipun analisis rantai nilai bekerja dengan baik untuk operasi berbasis
produk, strategi ini lebih sulit diterapkan pada perusahaan berbasis jasa
karena jenis organisasi tersebut didasarkan pada cara karyawan
berinteraksi dengan konsumen, yang biasanya mencakup banyak sekali
variasi.

6
Strategi yang berfokus pada perjalanan pelanggan dan perangkat yang
menangkap data tentang pengalaman pelanggan mungkin memberikan
hasil yang lebih baik bagi perusahaan berbasis layanan dibandingkan
analisis rantai nilai.

2.5 Value Chain Framework


Hansen dan Mowen (1997:356) mendefinisikan value chain framework
sebagai: “a compelling approach to understanding a firm’s strategically important
activities.” Jadi value chain framework pada dasarnya merupakan gambaran
semua aktivitas yang dilaksanakan oleh perusahaan yang saling berinteraksi satu
sama lain dalam rangka penciptaan value bagi pelanggan yang pada akhirnya akan
mendatangkan profit margin bagi perusahaan. Setiap perusahaan pasti memiliki
rangkaian aktivitas yang berbeda satu sama lain, namun Porter dalam Wheelen
dan Hunger (2002:86) memberikan suatu model value chain framework
perusahaan manufaktur secara umum seperti digambarkan berikut ini:

Gambar 1 Value Chain Framework

Dari kerangka tersebut terlihat bahwa rangkaian aktivitas yang terdapat


dalam value chain suatu perusahaan dapat dibagi atas primary activities atau
aktivitas utama dan support activities atau aktivitas pendukung. Primary activities
meliputi aktivitas-aktivitas yang berkaitan secara langsung dengan proses
penciptaan value bagi pelanggan yang terdiri atas inbound logistic, operations,
outbound logistic, marketing and sales, dan service. Sedangkan support activities
meliputi aktivitas-aktivitas yang berfungsi sebagai pendukung agar primary
activities dapat berjalan dengan lancar yang terdiri atas firm infrastructure, human
resource management, technology development, dan procurement.

7
Secara sederhana, Maher dan Selto menggambarkan value chain sebagai
suatu rantai (chain) yang mata rantainya adalah berbagai aktivitas (seperti
research and development, design, supply, production, marketing, distribution,
dan customer service) yang saling berkaitan satu sama lain untuk menghasilkan
value seperti digambarkan berikut ini:

Gambar 2 Value Chain menurut Maher dan Selto

2.6 Strategi Value Chain Analysis untuk Keunggulan Kompetitif Perusahaan


Analisis value chain merupakan analisis aktivitas-aktivitas yang menghasilkan
nilai, baik yang berasal dari dalam dan luar perusahaan. Konsep value chain
memberikan perspektif letak perusahaan dalam rantai nilai industri. Analisis value
chain membantu perusahaan untuk memahami rantai nilai yang membentuk
produk tersebut. Nilai yang berawal dari bahan mentah sampai dengan
penanganan produk setelah dijual kepada konsumen. Perusahaan harus mampu
mengenali posisinya pada rantai nilai yang membentuk produk atau jasa tersebut.
Hal ini sangat penting untuk mengidentifikasi kesempatan dari persaingan.
Setelah mengidentifikasi posisinya, maka perusahaan mengenali aktivitas-
aktivitas yang membentuk nilai tersebut. Aktivitas-aktivitas tersebut dikaji untuk
mengidentifikasi apakah memberikan nilai bagi produk atau tidak. Jika aktivitas
tersebut memberikan nilai, maka akan terus digunakan dan diperbaiki untuk
memaksimalkan nilai. Sebaliknya, jika aktivitas tersebut tidak memberikan nilai
tambah maka harus dihapus.
Perusahaan dapat menggunakan ABC sistem untuk menganalisis aktivitas.
ABC mengidentifikasi cost driver pada masing-masing aktivitas tersebut. ABC
menerapkan pembebanan biaya ke produk berdasarkan pemakaian sumber daya
yang disebabkan oleh aktivitas tersebut. Metode ini mampu mengalokasikan biaya
kepada produk secara lebih baik dibandingkan sistem akuntansi tradisional
(cooper, dan Kaplan, 1992). Informasi yang diberikan akan membantu manajer
dalam mengambil keputusan yang lebih baik.
Jadi, value chain analysis dapat dijelaskan sebagai suatu cara untuk
mengidentifikasi dan memahami aktivitas internal dan eksternal perusahaan
secara strategis dan keterkaitannya satu sama lain agar perusahaan dapat
menghitung biaya aktivitas dan berupaya mencapai biaya yang lebih rendah

8
dibandingkan pesaing (jika menggunakan cost leadership strategy) atau
menentukan di mata rantai atau aktivitas mana saja perusahaan dapat
menciptakan value yang melebihi pesaingnya (jika menggunakan differentiation
strategy).

Porter dalam Suwarsono Muhammad (2002:90) menguraikan langkah-


langkah yang harus dilakukan dalam value chain analysis sebagai berikut:
1) Identifikasi Value Chain Perusahaan
Langkah ini dilakukan dengan melakukan benchmarking terhadap aktivitas-
aktivitas perusahaan lain dalam industri yang sama kemudian menetapkan
aktivitas-aktivitas perusahaan sendiri, yang meliputi aktivitas utama
(primary activities) dan aktivitas penunjang (support activities). Intinya
adalah bahwa dengan melakukan serangkaian aktivitas tersebut maka
perusahaan dapat menghasilkan sebuah produk yang bernilai bagi
pelanggan.
2) Tentukan keterkaitan (linkages) dari berbagai aktivitas dalam value chain
tersebut
Langkah ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suatu aktivitas
terhadap aktivitas lainnya dalam hal biaya, proses dan kinerja. Untuk itu
perusahaan harus mengidentifikasi biaya, pemicu biaya (costs drivers),
proses dan kinerja pada setiap aktivitas dan keterkaitannya satu sama lain.
Dengan mengetahui pengaruh dan keterkaitan ini dengan jelas dan pasti
maka dapat dilakukan koordinasi antar aktivitas untuk selanjutnya
dilakukan optimalisasi biaya (cost) dan nilai (value) produk.
3) Kembangkan keunggulan kompetitif yang tahan lama (sustainable
competitive advantage)
Keunggulan kompetitif yang tahan lama dapat dicapai dengan cara
mengontrol biaya agar selalu berada di bawah biaya pesaing, jika
perusahaan menerapkan cost leadership strategy. Aktivitas yang berbiaya
tinggi harus dipertimbangkan untuk dikurangi biayanya atau di-outsource
jika ada pemasok yang dapat menyediakannya dengan biaya yang rendah.
Sementara itu, jika perusahaan menerapkan differentiation strategy maka
faktor proseslah yang harus diperhatikan. Semua proses dalam aktivitas
harus diarahkan untuk menciptakan value yang unik dan melebihi pesaing,
sehingga jika ada aktivitas yang tidak dapat melakukan prosesnya dengan
baik harus dilakukan perbaikan, konfigurasi kembali value chain atau
meng-outsource aktivitas tersebut.

Dess dan Lumpkin (2003:73) memberikan gambaran faktor-faktor keunggulan


yang harus dipertimbangkan oleh perusahaan dalam setiap mata rantai dalam
value chain agar dapat menciptakan keunggulan kompetitif sebagai berikut:

1) Primary Activities
a. Inbound Logistics

9
Meliputi penerimaan, penyimpanan dan distribusi bahan baku. Faktor-
faktor yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif adalah: lokasi
fasilitas distribusi yang dapat meminimalkan waktu pengiriman bahan
baku, bahan baku yang berkualitas dan sistem pengendalian persediaan
yang baik, sistem yang dapat mengurangi waktu untuk mengirim “retur” ke
pemasok serta tata letak dan desain gudang yang dapat meningkatkan
efisiensi kedatangan bahan baku.
b. Operations
Meliputi semua aktivitas yang berhubungan dengan transformasi input
atau bahan baku menjadi produk akhir seperti produksi, pengepakan,
perakitan dan pengujian. Faktor-faktor yang dapat menciptakan
keunggulan kompetitif adalah: operasi pabrik yang efisien yang dapat
meminimalkan biaya, otomatisasi pabrikasi dalam tingkat yang layak,
sistem quality control atas proses produksi yang dapat mengurangi biaya
dan meningkatkan kualitas produk serta tata letak pabrik dan arus kerja
yang efisien.
c. Outbound Logistics
Berhubungan dengan pengumpulan, penyimpanan dan distribusi produk
(barang atau jasa) kepada pembeli yang meliputi penyimpanan persediaan,
penanganan persediaan, pengelolaan pesanan, penjadwalan dan
pengiriman. Faktor-faktor yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif
adalah: proses pengiriman yang efektif yang memungkinakan penerimaan
oleh pelanggan yang cepat/tepat waktu dan meminimalkan kerusakan,
proses penyimpanan barang jadi yang efisien, pengiriman barang dalam
jumlah besar untuk meminimalkan biaya pengiriman serta peralatan untuk
penanganan persediaan yang berkualitas.
d. Marketing and Sales
Berhubungan dengan pembelian produk oleh pemakai akhir dan upaya
mempengaruhi mereka untuk melakukan pembelian yang meliputi
periklanan, promosi, penjatahan, pemilihan tenaga penjualan, pemilihan
saluran distribusi dan penentuan harga. Faktor-faktor yang dapat
menciptakan keunggulan kompetitif adalah: tenaga penjualan yang
bermotivasi tinggi dan kompeten, pendekatan yang inovatif dalam promosi
dan periklanan, pemilihan saluran distribusi yang terbaik, identifikasi yang
tepat terhadap segmen dan kebutuhan pelanggan serta strategi harga yang
efektif.
e. Services
Meliputi semua aktivitas yang berhubungan dengan penyediaan jasa atau
pelayanan untuk meningkatkan dan mempertahankan nilai produk seperti
pemasangan, perbaikan, pelatihan, penyediaan suku cadang dan
penyesuaian produk. Faktor-faktor yang dapat menciptakan keunggulan
kompetitif adalah: penggunaan prosedur yang efektif untuk
mengumpulkan feedback dan informasi dari pelanggan, respon yang cepat

10
atas kebutuhan dan keluhan pelanggan, kemampuan untuk mengganti
produk yang dikeluhkan pelanggan, personalia pelayanan yang berkualitas
dan terlatih serta kebijakan garansi yang tepat.

2) Support Activities
a. Firm Infrastructure
Terdiri atas sejumlah aktivitas yang meliputi manajemen umum,
perencanaan, keuangan, akuntansi, hukum, hubungan dengan pemerintah
dan sistem informasi. Faktor-faktor yang dapat menciptakan keunggulan
kompetitif adalah: sistem perencanaan yang efektif yang dapat mencapai
sasaran dan tujuan perusahaan, kemampuan manajemen puncak untuk
mengantisipasi dan bertindak berdasarkan kecenderungan dan kondisi
kunci lingkungan bisnis, kemampuan untuk memperoleh pendanaan yang
berbiaya rendah untuk pengeluaran modal dan modal kerja, hubungan
yang baik dengan berbagai stakeholders, kemampuan untuk
mengkoordinasi dan mengintegrasikan semua aktivitas perusahaan serta
visi yang tinggi untuk menanamkan budaya, reputasi dan nilai perusahaan.
b. Human Resource Management
Terdiri atas aktivitas pencarian, penerimaan, pelatihan, pengembangan
dan pemberian kompensasi kepada semua personalia perusahaan. Faktor-
faktor yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif adalah: mekanisme
yang efektif dalam penerimaan, pengembangan dan mempertahankan
karyawan, hubungan yang berkualitas dengan serikat pekerja, lingkungan
kerja yang berkualitas yang dapat memaksimalkan kinerja dan
meminimalkan ketidakhadiran karyawan serta program imbalan dan
insentif yang dapat memotivasi semua karyawan.
c. Technology Development
Technology development ada pada setiap mata rantai atau aktivitas dalam
value chain, baik dalam primary activities maupun support activities.
Faktor-faktor yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif adalah:
aktivitas penelitian dan pengembangan yang efektif untuk menunjang
proses dan produk, hubungan kerjasama yang positif antara bagian
penelitian dan pengembangan dengan bagian lain, fasilitas dan
perlengkapan yang baik dan optimal, budaya yang mendorong kreativitas
dan inovasi serta kualifikasi personalia yang profesional dan cemerlang.
d. Procurement
Terkait dengan aktivitas pembelian apapun yang digunakan di dalam value
chain perusahaan yang meliputi pembelian bahan baku, perlengkapan dan
aktiva tetap seperti mesin, peralatan produksi, peralatan kantor dan
bangunan. Faktor-faktor yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif
adalah: perolehan bahan baku yang berkualitas dan cepat serta
meminimalkan biaya perolehannya, pengembangan hubungan kerjasama
yang saling menguntungkan dengan pemasok, analisis dan pemilihan

11
sumber pembelian alternatif untuk meminimalkan ketergantungan pada
satu pemasok serta kemampuan untuk memilih sewa/leasing yang tepat
jika pembelian dianggap kurang menguntungkan.

2.7 Langkah-langkah menggunakan Value Chain Analysis untuk menemukan


kebutuhan strategis pelanggan
Melakukan analisis terhadap pelanggan sangat penting untuk dilakukan,
hal ini dapat sangat membantu perusahaan untuk mengidentifikasi peluang bisnis
baru yang bernilai tinggi. Hal ini juga dapat memperkuat hubungan dengan
pelanggan serta memperjelas penggunaan strategi yang akan perusahaan
terapkan baik berupa strategi diferensiasi ataupun strategi berbiaya rendah.
Berikut ini adalah langkah-langkah menggunakan value chain analysis untuk
menemukan kebutuhan pelanggan:

Langkah 1 : Meninjau Value Chain Analysis

Didalam sebuah perusahaan, Value Chain Analysis didefinisikan dengan


dua cara yaitu Value Chain Internal dan Value Chain Eksternal. Value Chain Internal
menggambarkan berbagai tahapan untuk memberikan nilai tambah ke dalam
suatu produk mulai dari pada saat pembelian dan pendistribusian bahan,
penjualan serta pelayanan produk akhir. Sedangkan, Value Chain Eksternal terdiri
dari proses hulu/pemasok dan hilir/distribusi yang menggambarkan tahapan
penambahan nilai suatu produk dari bahan mentah hingga produk sampai ke
konsumen. Dalam meninjau Value Chain Analysis perusahaan perlu
mempertimbangkan beberapa hal, seperti :
- Pengalihdayaan, yaitu proses yang melibatkan pengalihan fungsi utama
atau pendukung tertentu dalam value chain internal ke value chain
eksternal.
- Integrasi Vertikal, yaitu proses yang melibatkan kendali atas satu atau lebih
tahapan dalam value chain eksternal dan menjadikannya sebagai value
chain internal.
- Ekspansi Horizontal, yaitu proses dimana lini produk ditambah atau saluran
distribusi dipeluas, termasuk perluasan geografis.
- Aliansi Strategis dengan Pemasok, yaitu proses pengelolaan pemasok
eksternal secara lebih dekat seolah-olah mereka adalah bagian dari value
chain internal perusahaan, namun tanpa benar-benar memilikinya.
Misalnya, sistem Kaizen Toyota dimana perusahaan berlokasi sangat dekat
dengan pemasok eksternal sehingga mereka bisa menerima segala macam
bantuan dan pelatihan dari Toyota untuk memastikan produksi lancar dan
efisien.

Langkah 2 : Mengidentifikasi Value Chain Analysis

12
Dalam langkah ini perusahaan akan mengidentifikasi dan memilih value
chain yang tepat untuk diterapkan dalam perusahaan mereka baik value chain
internal maupun eksternal. Pemilihan ini bertujuan agar perusahaan dapat
menerapkan value chain yang paling tepat dan sesuai yang bisa menambah nilai
produk mereka di mata pelanggan.
Untuk value chain internal, perusahaan perlu mengidentifikasi strategi
yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Dalam value chain internal
perusahaan memilih untuk menggunakan strategi diferensiasi atau kah strategi
biaya terendah dalam memproduksi produknya termasuk kedalam nya adalah
pemilihan cara dalam pemrosesan bahan baku hingga distribusi serta fungsi
pendukung seperti penelitian dan pengembangan sumber daya manusia. Cara
dalam produksi produk ini harus disesuaikan dengan strategi yang sudah dipilih
perusahaan agar produk bisa bertambah nilainya.
Untuk value chain eksternal, perusahaan perlu mengidentifikasi
bagaimana peran mereka baik dimata pemasok maupun dimata pelanggan. Hal ini
dilakukan agar perusahaan bisa merumuskan value chain yang mencakup
kepentingan semua pihak yang terlibat dalam perusahaan. Karena pihak eksternal
perusahaan merupakan salah satu faktor penting dalam tahap penambahan nilai
produk yang signifikan. Jika memungkinkan, perusahaan dapat meminta umpan
balik dari pihak eksternal tersebut terhadap value chain yang diterapkan dalam
perusahaan agar value chain bisa diperbaiki secara berkala.

Langkah 3 : Menyimpulkan Strategis Bisnis Pelanggan

Bahkan pemasok atau perusahaan yang sudah lama sekalipun mempunyai


kesulitan dalam membedakan aktivitas pelanggan yang penting dari aktivitas yang
terkadang mendesak namun pada akhirnya tidak strategis. Oleh karena itu,
memahami strategis bisnis pelanggan sangatlah penting.
Value Chain Analysis membantu pemasok membedakan antara aktivitas
pelanggan yang secara langsung mendukung strategi kompetitifnya dengan
operasi biasa. Artinya adalah aktivitas yang dapat membantu untuk meningkatkan
kemampuan utama perusahaan. Misalnya operasional rutin seperti penagihan
pelanggan atau layanan fleet kendaraan perusahaan harus dilakukan dengan baik.
Fleet adalah sekumpulan kendaraan atau armada yang dimiliki oleh sebuah
perusahaan seperti mobil penumpang, hingga truk pengiriman. Namun, tidak
keduanya dapat memberikan keunggulan kompetitif hanya aktivitas dan proyek
strategis penagihan pelangganlah yang menawarkan potensi keuntungan di masa
depan dan menarik perhatian manajemen senior pelanggan perusahaan. Sehingga
layanan fleet kendaraan tidak memberikan peluang bagi perusahaan untuk
memperoleh sumber pendapatan dan keuntungan baru. Jadi, dengan mendukung
aktivitas strategis, penyedia layanan B2B dapat memperoleh pekerjaan dengan
margin tinggi seperti yang diharapkan, pekerjaan yang menghasilkan keuntungan
tertinggi, dan pekerjaan yang harus selalu menjadi prioritas perusahaan.

13
Langkah 4 : Menemukan Kebutuhan Strategis Pelanggan

Aktivitas strategis adalah aktivitas yang harus dilaksanakan perusahaan


untuk mewujudkan strategi atau strategis. Dalam aktivitas bisnis, seseorang perlu
menyiapkan apa yang disebut dengan strategi. Sedangkan langkah-langkah atau
proses yang dilakukan dalam menerapkan strategi disebut strategis. Setiap
strategi memiliki serangkaian aktivitas. Jika terdapat suatu perusahaan yang
mengalami kesulitan untuk melakukan suatu aktivitas, maka calon pemasok dilatih
untuk melihatnya sebagai “kebutuhan” atau dengan kata lain peluang. Namun,
pemasok perlu membedakan antara operasi yang sulit dan yang bersifat strategis.
Misalnya, strategi dalam berinovasi memerlukan sistem untuk menghasilkan ide
dan memilih ide terbaik, memperkirakan biaya, rekayasa, penelitian dan
pengembangan, konstruksi dan pengujian prototipe, serta pengujian penerimaan
pasar. Industri farmasi bergantung pada banyak tidaknya penyedia layanan B2B
untuk mendukung program pengembangan obat baru ada tahap formulasi obat
(R&D) dan juga penyedia layanan B2B yang mengembangkan sistem baru untuk
mempercepat persetujuan. Value Chain Analysis mengidentifikasi keduanya
sebagai fungsi strategis.

Langkah 5 : Menjadikan Value Chain Analysis sebagai kemampuan strategis


Departemen Pemasaran

Departemen pemasaran merupakan salah satu bagian dari perusahaan


yang sangat memerlukan penerapan value chain analysis terutama dalam
hubungannya dengan pelanggan. Karena dengan menerapkan value chain analysis
sebagai kemampuan strategisnya departemen pemasaran dapat melakukan tugas
nya dengan lebih terarah. Misalnya saat mereka akan memasarkan produknya
mereka tidak perlu bingung dalam menentukan pangsa pasar dan cara
mempromosikannya karena hal tersebut sudah dianalisis terlebih dahulu dalam
value chain analysis.

2.8 Studi Kasus: Implementasi Value Chain Analysis untuk menemukan


kebutuhan strategis pelanggan
1. Meninjau Value Chain Analysis
Implementasi meninjau value chain dapat ditemukan contohnya di industri
minyak (Lihat Gambar Exhibit 1). Value Chain eksternal di industri minyak memiliki
hampir 30 elemen penting, dimulai dengan pencarian minyak (at the upstream
end) dan termasuk produksi lapangan (field production), transportasi
(transportation) untuk jalur pipa dan supertanker, pengilangan (refining) dan
pemrosesan (processing), dan terakhir, pompa bensin konsumen/consumer gas
stations (at the downstream end). Secara internal, value chain industri minyak
memproses berbagai macam produk seperti minyak/pelumas, bensin, gas,
pembangkit listrik/listrik. Perusahaan yang dianggap sebagai perusahaan minyak

14
besar yang terintegrasi berpartisipasi dalam sejumlah besar elemen value chain
eksternal dan internal.

Gambar 3 Value Chain industri minyak

2. Mengidentifikasi Value Chain Analysis


Para ahli strategi menggunakan konsep Porter untuk mempertimbangkan
operasi value chain di luar batas perusahaan. Sebagai contoh yaitu bagaimana
pemasok Walmart dapat belajar untuk meningkatkan nilainya setelah melakukan
tes proses diagnostik. Tujuan dari membangun value chain internal dan eksternal
adalah untuk memahami Walmart dengan cukup baik sehingga mampu
membedakan kepentingan strateginya yang implisit dan eksplisit. Untuk mencapai
tahap ini yaitu dengan cara menambahkan lebih banyak detail, nuansa dan
pemahaman yang lebih banyak waktu, melibatkan wawancara dengan eksekutif
Walmart dan mengamati lebih dekat bagaimana perusahaan beroperasi. Gambar
di bawah menggambarkan value chain Walmart.

15
Gambar 4 Value Chain perusahaan Walmart

Analisis yang lebih detail terhadap value chain Walmart adalah:

Aktivitas Utama (Primary Activities)

No Aktivitas Value Chain Aktivitas Perusahaan

1 Inbound Logistic Pencarian produk baru dan suppliers

2 Operations Pembelian produk baru dan


pemeriksaan produk baru dari supplier

3 Outbound Logistic Distribusi produk baru dari gudang ke


toko lalu mengisi kembali rak-rak
dengan produk baru

4 Marketing and Sales Memasang iklan untuk membawa


pelanggan ke toko

5 Service POS (Point of Sale) System, dimana


para pelanggan yang membeli di toko
membayar di mesin kasir; Menyambut
setiap pelanggan di toko; Membantu
pelanggan menemukan apa yang

16
mereka cari dan membawa barang
dagangan ke mobil pelanggan
Tabel 1 Primary Activity Perusahaan Walmart

Aktivitas Pendukung (Support Activities)

No Aktivitas Value Chain Aktivitas Perusahaan

1 Firm Infrastructure Menyusun strategi, merencanakan,


mengatur, dan mencari cara untuk
menghadapi ancaman dan pesaing

2 Human Resource Management Mempekerjakan karyawan di seluruh


dunia, mengoordinasikan tunjangan,
dan merancang program pelatihan

3 Real Estate (Procurement) Menemukan dan membuka lokasi toko


baru di seluruh dunia dan
menempatkan gudang di lokasi terbaik;
Mengkoordinasikan ekspansi dengan
pembelian

4 Technology and IT Systems Mengintegrasikan harga menggunakan


(Technology Development) barcode, biaya, vendor, dan penjualan
untuk meminimalkan biaya dan
memaksimalkan keuntungan di seluruh
dunia; Menggunakan teknologi logistik
untuk mempercepat dan
meningkatkan keamanan barang.
Tabel 2 Supprot Activity Perusahaan Walmart

Hal yang membuat Walmart hebat terletak pada Value Chain internalnya.
Perusahaan Walmart memimpin sebagai perusahaan berbiaya rendah dan
beroperasi pada skala yang jauh lebih besar daripada pesaingnya. Ini terus
berkembang secara internasional. Kegiatan strategisnya mencakup (1) Penerapan
sistem dan teknologi secara agresif yang membantu mengurangi penyusutan dan
biaya internal (2) Hubungan dengan pemasok dan skala ekonomi besar yang
dicapai melalui tawar-menawar yang ketat dan pembelian dalam jumlah besar,
dan (3) Meningkatkan pengalaman pelanggannya di toko.

3. Menyimpulkan strategi bisnis pelanggan


Fluor Corporation adalah perusahaan teknik dan konstruksi global yang
menyediakan fasilitas modal besar untuk sejumlah klien di banyak industri vertikal.
Dengan 2.000 proyek yang sedang dibangun dan mempekerjakan 40.000 pekerja

17
di lebih dari 50 negara setiap saat, Fluor beroperasi di seluruh wilayah geografis di
dunia dan di seluruh bagian rantai pasokan pelanggannya, memberikan layanan
teknik dan manajemen konstruksi. Pertanyaannya mengenai dimana Fluor harus
memusatkan sumber dayanya untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang paling
mendesak yang bisa saja menjadi sangat rumit. Untuk merasionalisasi proses ini,
Fluor harus menentukan proyek pelanggan mana yang memenuhi kebutuhan
strategis terbesar pelanggannya dan berpotensi memiliki margin terbesar.
Beberapa informasi tentang strategi pelanggan adalah:
1. Pemasaran melalui brosur dan iklan, media komunikasi dan situs web
pemasaran yang mengungkapkan produk baru
2. Laporan tahunan menjelaskan inisiatif strategis internal selain pergerakan
pergerakan penentuan posisi pasar
3. Literatur akademis penuh dengan pembedahan terhadap perusahaan dan
industri yang sukses secara strategis seperti Harvard Business School
4. Banyak perusahaan mempublikasikan rencana strategisnya kepada pihak
yang berkepentingan
5. Konsultan yang memiliki spesialisasi dalam intelijen kompetitif
6. Percakapan tatap muka dengan pelanggan

4. Menemukan kebutuhan strategis pelanggan


Penggunaan value chain sebagai alat analisis strategis dilakukan oleh
perusahaan Nike yang menetapkan keputusan untuk melakukan outsourcing
produksi dan perakitan sepatu atletik. Pada tahun 1980-an, perusahaan Nike
mengetahui bahwa manufaktur menjadi komoditas yang dapat dialihdayakan
dengan biaya lebih rendah sekaligus kualitas yang lebih baik dibandingkan Nike
yang menggunakan sumber daya internal. Perusahaan menyadari yang menjadi
kompetensi inti adalah untuk mengembangkan produk dan pemasaran, sehingga
manajemen mengembangkan perusahaan melalui strategi perancangan produk
inovatif yang memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berkembang.

Gambar 5 Value Chain yang menunjukkan strategi perusahaan Nike

18
Value chain pada gambar Exhibit 5 menunjukkan gambaran sederhana
mengenai industri sepatu atletik Nike, yang hanya memiliki dan mengendalikan
dua elemen. Elemen tersebut adalah pengembangan produk dan toko ritel
bermerk. Keduanya memenuhi tujuan strategis perusahaan, dimana dengan
memiliki dan mengoperasikan toko retail bermerk maka perusahaan memperoleh
umpan balik berharga langsung dari pelanggan, yang mendorong pengembangan
produk baru. Bagi penyedia layanan B2B yang ingin berbisnis dengan perusahaan
Nike, hal tersebut menunjukkan bahwa beberapa peluang yang paling
menguntungkan adalah mendukung pengembangan produk baru (teknologi
desain dan material sepatu), arsitektur toko bermerk, dan pemilihan lokasi toko.

5. Menjadikan Value Chain Analysis sebagai kemampuan strategis departemen


pemasaran
Perusahaan di bidang teknik ataupun konstruksi telah mengembangkan
setidaknya dua pendekatan agar dapat bersaing dalam komoditas industri mereka:

1. Penyaringan dan selektivitas proyek


Tidak semua proyek menghasilkan peluang yang sama, sehingga
penyedia layanan harus mampu memilah dan memilih proyek berdasarkan
proyeksi margin, bukan proyeksi pendapatan. Perusahaan harus
mengincar proyek-proyek yang membangun kekuatan dan kompetensi inti,
proyek-proyek dimana perusahaan dapat menerapkan pelayanan terbaik
bagi pelanggan.
Hal ini dilakukan dengan terlebih dahulu melayani komoditas kerja milik
pelanggan lalu kemudian mengejar peluang strategis pelanggan, seperti
yang digunakan dalam contoh perusahaan Fluor.

2. Menjadi partner strategi bisnis pilihan pelanggan


Praktik ini menempatkan penyedia jasa bisnis sangat dekat dengan
pelanggan, sehingga menjadi posisi yang sangat menguntungkan ketika
peluang strategis mulai muncul. Hal ini juga menghasilkan banyak peluang
penawaran sumber tunggal atau penawaran nonkompetitif dan,
berpotensi, menghasilkan margin yang lebih tinggi.

Value Chain Analysis dikombinasikan dengan informasi lainnya adalah cara yang
berguna untuk menemukan area kebutuhan strategis pelanggan B2B dan
karenanya menciptakan bisnis baru yang tidak hanya akan mendapatkan audiens
yang terbuka, namun juga mendapatkan margin besar. Dari sudut pandang
perusahaan Chevron, menyelesaikan proyek-proyek paling mendesak dalam
waktu singkat bukan hanya berarti perusahaan bersedia membayar mahal untuk
mencapai hasil tersebut, namun juga memperkuat hubungannya dengan
perusahaan Fluor. Sebagai klien Chevron puas, dan Value Chain Analysis
perusahaan Fluor yang berkelanjutan meningkatkan kemungkinan bahwa Chevron
suatu hari nanti akan menjadi partner strategis.

19
Gambar 6 Strategis Value Chain perusahaan Chevron

Gambar 7 Strategis perusahaan global Chevron

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Value chain analysis merupakan cara untuk memahami aktivitas
perusahaan secara strategis dan menambah nilai perusahaan di hadapan
pelanggan dan pemasok, yang dapat menjadi alat bantu strategis untuk
menciptakan keunggulan kompetitif perusahaan. Value chain analysis juga bisa
disebut sebagai sebuah alat analisis internal yang digunakan perusahaan untuk
melakukan perumusan strategi yang bertujuan untuk mengidentifikasi
tahapan-tahapan value chain agar perusahaan dapat meningkatkan value
untuk pelanggan atau untuk menurunkan biaya. VCA sendiri memiliki kelebihan
dan kekurangannya, kelebihannya yaitu membantu perusahaan untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi sumber efisiensi biaya, baik positif maupun
negatif yang dapat menguntungkan perusahaan. VCA memiliki kekurangan
yang signifikan seperti kehilangan target, kesulitan dalam pengembangan
rantai, biaya implementasi tinggi dan mempertahankan proses nya yang cukup
sulit.

3.2 Saran
Value Chain Analysis (VCA) sangat penting dipelajari karena tujuan, fungsi,
dan manfaaatnya. Selain itu, Value Chain Analysis bukan hanya untuk industri
manufaktur saja teteapi dapat diterapkan ke dalam segala bentuk jenis usaha.
Oleh karena itu, perlu adanya pengenalan lebih lanjut mengenai Value Chain
Analysis bagi masyarakat, perusahaan menengah, maupun perusahaan besar
untuk membantu mencapai keunggulan kompetitif.

21
DAFTAR PUSTAKA
Anggi. (2021, December 23). Apa itu Analisis Value Chain. From accurate.id:
https://accurate.id/marketing-manajemen/apa-itu-analisis-value-chain/

Burhany, D. I., & Dahtiah, N. (2005). VALUE CHAIN ANALYSIS SEBAGAI


ALAT BANTU STRATEGIS DALAM MENCIPTAKAN
KEUNGGULAN KOMPETITIF PERUSAHAAN. INFAK Jurnal
Informasi Akuntansi dan Keuangan, 145-153.

Crain, D. W., & Abraham, S. (2008). Menggunakan Analisis Rantai Nilai untuk
Menemukan Kebutuhan Strategis Pelanggan. In STRATEGI &
KEPEMIMPINAN (pp. 29-39). Emerald Group Publishing Limited.

David W. Crain, S. A. (2008). Strategy & Leadership Using Value-Chain Analysis


to Discover Customer's Strategic Needs. Emerald Insight, 29-38.

Dian Imanina Burhany, N. D. (2005). VALUE CHAIN ANALYSIS SEBAGAI


ALAT BANTU STRATEGIS DALAM MENCIPTAKAN
KEUNGGULAN KOMPETITIF PERUSAHAAN. INFAK Jurnal
Akuntansi dan Keuangan, 145-153.

Widarsono, A. (2011). STRATEGIC VALUE CHAIN ANALYSIS.

Widarsono, A. (n.d.). STRATEGIC VALUE CHAIN ANALYSIS.

22
MAKALAH

STRATEGIC COST MANAGEMENT

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Manajemen Strategis yang di
ampu oleh :
Dr. Dian Imanina Burhany,SE.,M.Si

Disusun oleh : Kelompok 2

Ai Rina Stefani 215154001


Muhammad Raihan Habibuddin 215154016
Nazla Humaira Rizkita 215154018
Salsa Bilah 215154025
Yang Tasya Yopi Arista 215154031
Zahra Bunga Lestari 215154032

PROGRAM STUDI D-4 AKUNTANSI


JURUSAN AKUNTANSI
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat illahi yang telah menganugerahkan


kekuatan dan kesehatan lahir dan batin. Atas izin dan karunia-Nya, penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Strategic Cost Management”. Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah semata-mata untuk memenuhi tugas mata kuliah
Akuntansi Manajemen strategis.
Makalah ini mungkin tidak akan sempurna tanpa adanya bantuan dari
beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih sebesar-
besarnya kepada pihak yang juga ikut membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun. Semoga manfaat
ini memberi manfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Bandung, Februari 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................i


DAFTAR ISI .........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 3
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 3
1.3 Tujuan ..................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 5
2.1 Definisi SCM ............................................................................................................ 5
2.2 Tujuan SCM ............................................................................................................. 5
2.3 Peran dan Manfaat SCM ......................................................................................... 6
2.3.1 Peran SCM ....................................................................................................... 6
2.3.2 Manfaat SCM ................................................................................................... 6
2.4 Ruang Lingkup SCM ................................................................................................ 7
2.5 Analisis Rantai Nilai................................................................................................. 7
2.5.1 Definisi Analisis Rantai Nilai............................................................................. 7
2.5.2 Kerangka Rantai Nilai, Keterikatan dan Aktivitas ............................................ 8
2.5.3 Klasifikasi Aktivitas Dalam Analisis Strategis ................................................... 8
2.5.4 Penerapan Analisis Rantai Nilai ....................................................................... 9
2.6 Analisis Posisi Strategis ......................................................................................... 13
2.6.1 Definisi Analisis Posisi Strategis ..................................................................... 13
2.6.2 Strategis Untuk Meningkatkan Nilai Pelanggan ............................................ 14
2.7 Analisis Faktor Biaya ............................................................................................. 14
2.7.1 Definisi Faktor Biaya ...................................................................................... 14
2.7.2 Kategori Faktor Biaya..................................................................................... 15
2.8 Implementasi (Studi Kasus) ................................................................................. 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................................. 24
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 24
3.2 Saran ..................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dalam dunia bisnis global saat ini, banyak perusahaan menghadapi kesulitan
bersaing karena pendekatan yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
Sebagai contoh, penggunaan metode evaluasi seperti Net Present Value (NPV)
cenderung hanya fokus pada keuntungan finansial jangka pendek, sementara
masalah biaya yang sulit ditelusuri, seperti peningkatan kualitas, sering diabaikan.

Proses evaluasi proposal pengeluaran dalam perusahaan umumnya


melibatkan empat langkah yang mencakup identifikasi proposal penggunaan biaya,
analisis kuantitatif terhadap arus kas inkremental, masalah kualitatif yang tidak
bisa dimasukkan ke dalam perhitungan kuantitatif, dan pembuatan keputusan.
Namun, seringkali langkah-langkah ini lebih memperhatikan aspek kuantitatif
daripada kualitatif, dan keputusan akhir seringkali didasarkan pada analisis
kuantitatif semata.

Meskipun metode kuantitatif seperti NPV umum digunakan, mereka sering


tidak memperhitungkan keberagaman masalah bisnis secara menyeluruh. Hal ini
menimbulkan tantangan bagi departemen analisis untuk membuat keputusan yang
mempertimbangkan masalah strategis secara lebih eksplisit dan formal,
sebagaimana halnya dalam evaluasi arus kas konvensional. Salah satu pendekatan
yang dapat dilakukan untuk mengatasi tantangan ini adalah melalui penerapan
Strategic Cost Management.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi Strategic Cost Management
2. Apakah tujuan Strategic Cost Management?
3. Apakah peran dan manfaat Strategic Cost Management?
4. Apa sajakah ruang lingkup Strategic Cost Management?
5. Bagaimana analisis rantai nilai?
6. Bagaimana analisis posisi strategis?
7. Bagaimana analisis faktor biaya?
8. Seperti apakah implementasi Strategic Cost Management?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Strategic Cost Management.
2. Untuk mengetahui tujuan dari Strategic Cost Management.
3. Untuk mengetahui peran dan manfaat Strategic Cost Management.
4. Untuk mengetahui ruang lingkup pada Strategic Cost Management
5. Untuk mengetahui seperti apa analisis rantai nilai.

3
6. Untuk mengetahui seperti apa analisis posisi strategis.
7. Untuk mengetahui seperti apa analisis faktor biaya.
8. Untuk mengetahui pengimplementasian pada Strategic Cost Management.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi SCM


Strategic Cost Management atau biasa dikenal sebagai SCM, secara harfiah
dalam Bahasa Indonesia merupakan Manajemen Strategis Biaya. Yang dimana kerap
kali didefinisikan sebagai penggunaan teknik manajemen biaya untuk mengembangkan
posisi suatu perusahaan yang memandang biaya secara strategis dan mengurangi
biaya.
Sedangkan SCM menurut Cadez dan Guilding pada tahun 2008, SCM ini disebut
juga sebagai strategi dan biaya serta data yang berorientasi pada pasar untuk
mengedepankan dan mengembangkan strategi yang dapat menyediakan competitive
advantage secara berkelanjutan. Dimana competitive advantage itu sendiri adalah
kemampuan yang diperoleh melalui karakteristik dan sumber daya suatu perusahaan
untuk memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan lain pada industri
yang sama.
Namun SCM juga dapat dijelaskan sebagai seperangkat sistem manajemen
biaya yang digunakan untuk memberikan keunggulan finansial, yang didalamnya
membahas manajemen biaya secara efektif, analisis biaya termasuk daya saing sejalan
dengan strategi kepemimpinan biaya atau diferensiasi produk, mempertimbangkan
aktivitas dalam estimasi biaya produk, juga distribusi biaya melalui aktivitas
pengukuran berdasarkan kegiatan.
Adapun definisi lain dari SCM yang terdapat dalam buku Hansen, Manajemen
Biaya Strategis ini adalah penggunaan data biaya untuk mengembangkan dan
mengidentifikasi strategi unggul yang menghasilkan keunggulan kompetitif
berkelanjutan.

2.2 Tujuan SCM


Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan SCM itu sendiri, selanjutnya
juga perlu mengetahui apa tujuan dari penerapan sistem atau teknik SCM pada
perusahaan, berikut adalah beberapa tujuan penerapan SCM :
1) Untuk mengidentifikasi Strategi Unggul. Maksudnya dengan menerapkan SCM
ini diharapkan perusahaan dapat melakukan pengidentifikasian strategi unggul
yang dimiliki internal perusahaannya itu sendiri. Sehingga hasil identifikasi
tersebut akan menghasilkan keunggulan kompetitif di pasar ataupun industri
pesaing sejenis.
2) Untuk mengurangi biaya. Dimana dengan menerapkan SCM ini, diharapkan
pula dapat memungkinkan perusahaan untuk menawarkan harga yang lebih
kompetitif di pasaran. Karena dalam prosesnya, penerapan SCM ini dapat
mengurangi biaya

5
3) Untuk mengubah pandangan biaya agar tidak selalu sebagai beban. Secara
harfiah mungkin biaya itu sendiri memang sejalan dengan beban perusahaan.
Namun diharapkan dengan adanya SCM ini dapat mengubah pandangan
tersebut. Contohnya, dalam pengeluaran untuk menghasilkan inovasi baru atau
meningkatkan kualitas produk ataupun layanan konsumen, maka dengan
pemahaman SCM yang baik, pengeluaran (biaya) tersebut tidak akan dianggap
sebagai beban, melainkan investasi yang akan membuahkan hasil jangka
panjang atau berkelanjutan

2.3 Peran dan Manfaat SCM


2.3.1 Peran SCM
Strategic Cost Management (SCM) adalah suatu pendekatan untuk
mengelola biaya secara strategis guna mencapai keunggulan kompetitif dan
memberikan nilai tambah jangka panjang bagi organisasi. Berikut adalah
beberapa peran kunci dari Strategic Cost Management:
− Pengidentifikasian dan Analisis Biaya: SCM melibatkan pengidentifikasian,
pengukuran, dan analisis biaya dalam seluruh nilai rantai produk atau
jasa. Ini membantu organisasi memahami elemen biaya utama dan
memfokuskan upaya pada area yang paling mempengaruhi profitabilitas.
− Diferensiasi Produk dan Layanan: SCM memungkinkan organisasi untuk
memahami aspek nilai yang diinginkan oleh pelanggan dan fokus pada
pengelolaan biaya terkait dengan aspek tersebut. Dengan begitu,
perusahaan dapat menciptakan produk atau layanan yang memiliki nilai
tambah yang diinginkan pelanggan dengan biaya yang terkendali.
− Pengelolaan Rantai Pasokan: Dalam konteks rantai pasokan, SCM
membantu dalam memilih pemasok yang efisien, mengoptimalkan proses
produksi, dan meningkatkan efisiensi distribusi. Ini membantu
mengurangi biaya secara keseluruhan dalam rantai pasokan.
− Inovasi Proses dan Teknologi: SCM mendorong organisasi untuk mencari
inovasi dalam proses operasional dan menerapkan teknologi baru untuk
meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya produksi.
− Penentuan Harga yang Kompetitif: Dengan memahami biaya secara
menyeluruh, SCM membantu organisasi menentukan harga produk atau
layanan yang kompetitif. Ini memungkinkan perusahaan untuk
memenangkan pangsa pasar dengan mempertahankan profitabilitas.
− Perencanaan Strategis: SCM memberikan landasan untuk perencanaan
strategis jangka panjang dengan memahami bagaimana perubahan dalam
struktur biaya dapat memengaruhi kinerja dan profitabilitas di masa
depan. Ini membantu organisasi menghadapi tantangan pasar dan
perubahan kondisi ekonomi.

2.3.2 Manfaat SCM


trategic Cost Management (SCM) memiliki sejumlah manfaat yang
dapat membantu perusahaan/organisasi mencapai tujuan bisnisnya secara
efektif. Beberapa manfaat utama SCM meliputi:

6
− Keunggulan Kompetitif: SCM membantu organisasi dalam
mengidentifikasi dan mengelola biaya secara strategis, memungkinkan
mereka untuk menawarkan produk atau layanan dengan harga yang
lebih kompetitif dibandingkan pesaing. Ini dapat menjadi sumber
keunggulan kompetitif yang signifikan di pasar.
− Profitabilitas yang Lebih Tinggi: Dengan fokus pada mengurangi biaya
yang tidak memberikan nilai tambah, SCM dapat meningkatkan
profitabilitas perusahaan. Ini mencakup identifikasi dan pengelolaan
biaya yang tidak perlu atau tidak efisien.
− Penentuan Harga yang Optimal: SCM membantu organisasi untuk
menentukan harga produk atau layanan mereka berdasarkan
pemahaman yang mendalam terhadap struktur biaya. Dengan
demikian, organisasi dapat menetapkan harga yang mencerminkan nilai
produk dan masih memenuhi ekspektasi pelanggan.

2.4 Ruang Lingkup SCM


Ruang lingkup Strategic Cost Management (SCM) melibatkan berbagai kegiatan
dan strategi yang bertujuan untuk mengelola biaya organisasi secara efektif dan
strategis. Berikut adalah beberapa elemen kunci dalam ruang lingkup SCM:
1. Identifikasi dan Analisis Biaya:
a. Mengidentifikasi dan memahami semua elemen biaya yang terkait
dengan proses bisnis.
b. Menganalisis biaya untuk menentukan bagaimana mereka
mempengaruhi profitabilitas dan keunggulan kompetitif.
2. Perencanaan dan Pengendalian Biaya:
a. Merencanakan kebijakan biaya untuk mencapai tujuan organisasi.
b. Menerapkan kontrol biaya yang efektif untuk memastikan bahwa
biaya tetap sesuai dengan anggaran dan tujuan.
3. Pemilihan Pemasok dan Negosiasi Kontrak:
a. Memilih pemasok dengan cermat berdasarkan kriteria kualitas,
harga, dan keandalan.
b. Melakukan negosiasi kontrak yang menguntungkan untuk
memastikan harga yang kompetitif dan persyaratan yang sesuai.

2.5 Analisis Rantai Nilai


2.5.1 Definisi Analisis Rantai Nilai
Fokus rantai nilai adalah upaya manajemen biaya dalam lingkup SCM,
manajemen biaya yang efektif memerlukan analisis yang komprehensif dari
lingkungan luar suatu perusahaan. Fokus dari analisis rantai nilai adalah
penciptaan nilai dan tujuan dari analisis ini adalah untuk mempertimbangkan
peristiwa dari perspektif eksternal dan untuk membagi rantai nilai ke dalam
aktivitas masing-masing yang terkait dengan faktor-faktor dari pemasok hingga
pengguna akhir dan menganalisis unit-unit tersebut untuk memberikan hasil
yang efektif. Analisis rantai nilai ini digunakan untuk mengurangi biaya dengan

7
cara melakukan kegiatan untuk menghasilkan produk yang akan dianalisis
sebagai kegiatan yang menambah nilai dan yang tidak menambah nilai.
Sehingga, dari kegiatan yangtidak menambah nilai tersebut dapat dihindari dan
dihilangkan agar biaya dapat dikurangi.
2.5.2 Kerangka Rantai Nilai, Keterikatan dan Aktivitas
a. Rantai nilai industri adalah rangkaian aktivitas penciptaan nilai yang terkait
dari bahan baku dasar hingga pembuatan produk jadi oleh pelanggan
pengguna akhir.
b. Dasar dari kerangka rantai nilai adalah pengakuan bahwa ada hubungan
yang kompleks dan hubungan timbal balik diantara aktivitas baik di dalam
maupun di luar perusahaan.

2.5.3 Klasifikasi Aktivitas Dalam Analisis Strategis


a. Aktivitas Organisasi
− Aktivitas struktural adalah aktivitas yang menentukan struktur ekonomi
yang mendasari organisasi.
− Aktivitas Eksekusi adalah aktivitas yang mendefinisikan proses dan
kapabilitas dari organisasi dan dengan demikian secara langsung
berhubungan dengan kemampuan organisasi untuk melaksanakan
dengan sukses.

b. Aktivitas Operasional

Aktivitas operasional adalah kegiatan sehari-hari yang dilakukan sebagai


hasil dari struktur dan proses yang dipilih oleh organisasi. Contohnya
aktivitas menerima dan memeriksa suku cadang yang masuk, memindahkan
material, mengirim produk, menguji produk baru, menservis produk, dan
menyiapkan peralatan.

8
2.5.4 Penerapan Analisis Rantai Nilai
1. Memanfaatkan Hubungan Internal
Manajemen biaya strategis yang baik mengamanatkan pertimbangan
bagian dari rantai nilai di mana perusahaan berpartisipasi (disebut rantai
nilai internal/internal value chain). Kegiatan sebelum dan sesudah produksi
harus diidentifikasi dan keterkaitannya diakui dan dieksploitasi.
Memanfaatkan keterkaitan internal berarti bahwa hubungan antara
aktivitas dinilai dan digunakan untuk mengurangi biaya dan meningkatkan
nilai. Misalnya, aktivitas desain dan pengembangan produk terjadi sebelum
produksi dan terkait dengan aktivitas produksi. Cara produk dirancang
mempengaruhi biaya produksi. Bagaimana biaya produksi dipengaruhi
membutuhkan pengetahuan tentang pemicu biaya. Dengan demikian,
mengetahui pemicu biaya kegiatan sangat penting untuk memahami dan
memanfaatkan keterkaitan.

2. Memanfaatkan Hubungan Pemasok

9
Setiap perusahaan juga termasuk dalam rantai nilai yang lebih luas
(disebut rantai nilai industri/industrial value chain). Sistem rantai nilai juga
mencakup aktivitas rantai nilai yang dilakukan oleh pemasok dan pembeli.
Memanfaatkan keterkaitan eksternal berarti mengelola keterkaitan
tersebut sehingga baik perusahaan maupun pihak eksternal menerima
peningkatan keuntungan.
Pemasok memberikan masukan dan, sebagai konsekuensinya, dapat
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemosisian strategis pengguna.
Misalnya, asumsikan bahwa perusahaan mengadopsi pendekatan
pengendalian kualitas total (total quality control) untuk membedakan dan
mengurangi biaya kualitas secara keseluruhan. Kontrol kualitas total (Total
quality control) adalah pendekatan untuk mengelola kualitas yang
menuntut produksi produk bebas cacat.
a. Mengelola Biaya Pengadaan
Untuk menghindari melemahnya posisi strategisnya, perusahaan
harus hati-hati memilih pemasoknya. Untuk mendorong manajer
pembelian memilih pemasok yang kualitas, keandalan, dan kinerja
pengirimannya dapat diterima, dua persyaratan penting telah
diidentifikasi:
Pertama, pandangan yang lebih luas tentang biaya komponen
diperlukan. Berarti bahwa biaya yang terkait dengan kualitas,
keandalan, dan pengiriman terlambat ditambahkan ke biaya
pembelian. Manajer pembelian kemudian diminta untuk
mengevaluasi pemasok berdasarkan total biaya, bukan hanya harga
pembelian. Kedua, biaya pemasok dibebankan ke produk dengan
menggunakan hubungan sebab akibat
b. Penetapan Biaya Pemasok Berdasarkan Aktivitas
Asumsikan bahwa manajer pembelian menggunakan dua
pemasok, Fielding Electronics dan Oro Limited sebagai pemasok dua
komponen elektronik: Komponen X1Z dan Komponen Y2Z. Manajer
pembelian lebih suka menggunakan Fielding karena menyediakan
komponen dengan harga lebih rendah; namun, Oro juga digunakan
untuk memastikan pasokan komponen yang andal. Sekarang
pertimbangkan dua aktivitas: pengerjaan ulang produk dan
percepatan produk.
− Pengerjaan ulang produk terjadi karena kegagalan
komponen atau kegagalan proses.
− Percepatan produk terjadi karena keterlambatan pengiriman
komponen atau kegagalan proses.
− Kegagalan komponen dan keterlambatan pengiriman
disebabkan oleh pemasok.
− Biaya kegagalan proses disebabkan oleh proses internal.
− Biaya pengerjaan ulang yang disebabkan oleh kegagalan
komponen dibebankan ke pemasok dengan menggunakan

10
jumlah komponen yang gagal sebagai penggerak/pemicu
biaya.
− Biaya percepatan yang disebabkan oleh keterlambatan
pengiriman dibebankan dengan menggunakan jumlah
keterlambatan pengiriman sebagai pengemudi.

11
Dari sini diketahui bahwa ternyata biaya keseluruhan per
unit dari pemasok fielding electronics lebih mahal daripada
oro limited, padahal harga beli dari Fielding lebih rendah
daripada harga beli komponen dari oro. Hal ini karena biaya
pengerjaan ulang dan percepatan produk untuk pemasok
Fielding itu lebih tinggi. Maka, jika manajer pembelian
disajikan data lengkap semua biaya seperti ini, maka
pilihannya jelas, yaitu memilih Oro Limited sebagai pemasok
yang lebih baik, karena menyediakan produk berkualitas
lebih tinggi secara tepat waktu dan dengan biaya
keseluruhan yang lebih rendah per unit.

3. Memanfaatkan Hubungan Pelanggan

Pelanggan juga dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap posisi


strategis perusahaan. Memilih segmen pemasaran, merupakan salah satu
elemen utama yang menentukan posisi strategis. Jika terjadi kesalahan
segmen maka akan terjadi kerusakan jangka panjang terhadap profitabilitas
perusahaan yang mungkin jauh lebih besar daripada manfaat jangka
pendek dari penjualan pesanan khusus.
a. Mengelola Biaya Layanan Pelanggan

Tujuan utama untuk penetapan biaya strategis adalah


identifikasi sumber kemampuan laba perusahaan. Dalam sistem
penetapan biaya berbasis fungsional, biaya penjualan dan umum
dan administrasi biasanya diperlakukan sebagai biaya periode dan,
jika dibebankan kepada pelanggan, biasanya dibebankan secara
proporsional dengan pendapatan yang dihasilkan. Untuk
mendorong tindakan yang memperkuat posisi strategis, biaya

12
terkait pelanggan harus dibebankan kepada pelanggan
menggunakan penetapan biaya berdasarkan aktivitas (sistem ABC).
b. Penentuan biaya yang berhubungan dengan pelanggan secara
akurat memungkinkan perusahaan untuk menggolongkan pelanggan
menjadi pelanggan yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan.

Pengidentifikasian pelanggan sebagai menguntungkan atau tidak


menguntungkan, tindakan tersebut dapat digunakan untuk
memperkuat posisi strategis perusahaan. Untuk pelanggan yang
menguntungkan, organisasi dapat melakukan upaya untuk
meningkatkan kepuasan dengan menawarkan tingkat layanan yang
lebih tinggi, harga yang lebih rendah, layanan baru, atau kombinasi
dari ketiganya. Untuk pelanggan yang tidak menguntungkan,
organisasi dapat mencoba memberikan layanan pelanggan secara
lebih efisien (sehingga menurunkan biaya layanan), menaikkan
harga untuk mencerminkan biaya sumber daya yang dikonsumsi,
mendorong pelanggan yang tidak menguntungkan untuk pergi
(dengan mengurangi upaya penjualan ke segmen ini), atau beberapa
kombinasi dari tiga tindakan.
c. Penetapan Biaya Pelanggan Berbasis Aktivitas (ABC Costing)

Metode perhitungan biaya dengan mengacu pada aktivitas yang


dilakukan untuk menghasilkan suatu biaya. Mengidentifikasi pemicu
biaya yang tepat (jumlah pesanan yang diproses) mengungkapkan
hubungan antara aktivitas pengisian pesanan dan perilaku
pelanggan.
2.6 Analisis Posisi Strategis
2.6.1 Definisi Analisis Posisi Strategis
Analisis posisi strategis merupakan ruang lingkup analisis yang dilakukan
untuk menciptakan nilai pelanggan yang lebih baik dengan biaya yang sama
atau bahkan lebih rendah dari nilai yang ditawarkan oleh pesaing lain. Peran
analisis biaya dalam SCM berbeda tergantung pada metode yang digunakan
oleh perusahaan untuk bersaing. Keunggulan kompetitif dapat dicapai jika
suatu perusahaan meningkatkan kinerja kegiatannya yang menambah nilai
dalam hal efektivitas biaya dibandingkan dengan pesaingnya.
Suatu perusahaan dapat mempertahankan keunggulan kompetitifnya
selama perusahaan tersebut melakukan aktivitas tersebut dengan cara yang
lebih murah dan lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya Pilihan tersebut
ditentukan oleh situasi biaya untuk suatu kelompok produk.
Analisis ini dilakukan berdasarkan pada pemenuhan harapan pelanggan
secara berbeda dari pesaing lain, lalu menetapkan harga yang lebih tinggi

13
namun tetap diterima oleh pelanggan, dan memperoleh pengembalian di atas
standar di sektor.
2.6.2 Strategis Untuk Meningkatkan Nilai Pelanggan
Terdapat 3 strategi untuk meningkatkan nilai pelanggan guna mencapai
suatu keunggulan dalam bersaing yaitu :
a. Cost Leadership (Kepemimpinan Biaya)

Cost leadership merupakan salah satu strategi dalam menganalisis posisi


strategis. Kepemimpinan biaya dapat dicapai melalui pendekatan seperti skala
ekonomi dalam produksi, efek kurva pembelajaran, pengendalian biaya yang
ketat, atau minimalisasi biaya di berbagai bidang seperti penelitian dan
pengembangan, layanan, tenaga penjualan, atau periklanan. Tujuannya adalah
memberikan nilai pelanggan yang lebih baik/efektif dengan dengan menekan
biaya produksi, dan tercipta biaya yang lebih rendah daripada biaya yang
ditawarkan oleh pesaing.
b. Differentiation (Diferensiasi)

Differentiation merupakan strategi dengan tujuan meningkatkan nilai


pelanggan dengan meningkatkan apa yang akan diterima oleh pelanggan
(realisasi pelanggan). Fokus utama dalam srategi ini adalah membedakan
produk yang di tawarkan unit bisnis yang di anggap unik oleh pelanggan .
Keunggulan bersaing diciptakan dengan memberikan sesuatu kepada
pelanggan yang tidak didapatkan jika memilih produk pesaing. Misalnya
menciptakan karakteristik produk yang berbeda dari pesaingnya, namun tidak
merubah fungsi/tujuan produk tersebut. Perbedaan yang diciptakan meliputi
perbedaan fungsional, estetika, atau gaya produk.
c. Focussing (Fokus)

Focussing merupakan strategi yang dilakukan dengan memilih atau


menentukan segmen/pasar pelanggan untuk bersaing dan fokus pada segmen
tersebut. Setelah memilih pasar dan pelanggan yang tampak menarik
selanjutnya mengembangkan kapabilitas dengan maksimal untuk melayani
segmen sasaran. Strategi fokus mengakui bahwa tidak semua segmen (misalnya,
pelanggan dan wilayah geografis) adalah sama. Mengingat kapabilitas,
kapabilitas potensial organisasi, dan beberapa segmen lebih menarik daripada
yang lain.
2.7 Analisis Faktor Biaya
2.7.1 Definisi Faktor Biaya
Analisis faktor biaya merupakan bagian integral dari ruang lingkup
Strategic Cost Management (Manajemen Biaya Strategis). Strategic Cost
Management adalah pendekatan yang digunakan oleh organisasi untuk
mengelola biaya mereka dengan cara yang mendukung pencapaian tujuan
strategis dan menciptakan nilai tambah untuk pelanggan. Analisis faktor biaya

14
memiliki peran yang signifikan dalam pengelolaan biaya secara efisien dan
efektif.
Biaya muncul karena berbagai faktor yang saling terkait satu sama lain
dalam berbagai cara. Dalam SCM, biaya merupakan faktor yang tidak banyak
mencerminkan kekayaan strukturnya. Sehingga faktor biaya Merupakan bagian
dari ruang lingkup strategic cost management dengan memilih diantara 2
kategori yang ada yaitu struktural dan operasional sesuai dengan pendekatan
yang diinginkan oleh perusahaan tersebut
2.7.2 Kategori Faktor Biaya
Faktor biaya dalam SCM dikategorikan dalam dua kelompok yaitu faktor
struktural dan operasional.
Faktor biaya struktural dihasilkan dari pilihan yang dibuat oleh suatu
perusahaan sesuai dengan dengan situasi ekonominya. Pilihan tersebut
ditentukan oleh situasi biaya untuk suatu kelompok produk. Faktor biaya
struktural tidak mempengaruhi kinerja.
Faktor biaya operasional adalah faktor yang menentukan situasi biaya
suatu perusahaan dan didasarkan pada keterampilan untuk mengelola dan
mengoperasikan suatu perusahaan dengan Baik. Faktor biaya operasional bisa
ditingkatkan skalanya atau dapat menjadi skala, sedangkan factor biaya
struktural tidak mengskalakan kinerjanya.
2.8 Implementasi (Studi Kasus)
Toko Mesin Mavis
Kasus ini didasarkan pada toko pandai besi di West Virginia yang salah satu
produknya adalah mata bor untuk penambangan minyak pada tahun 1980, di tengah
krisis minyak tahun 1973 dan 1979. Pemimpin dari Toko Mavis, Tom Mavis, ingin
memperbaharui fasilitas pabriknya di Salem yang memproduksi bagian mesin besi
untuk penambangan minyak dan gas di daerah sekitarnya. Salah satu pelanggan
utamanya adalah Buckeye yang membeli mata bor dan penggantian bagian mesin
khusus untuk operasinya. Mavis dan Buckeye memiliki kontrak tahunan mengenai hal
ini. Pada tahun 1978 dan 1979, kebutuhannya adalah 8.400 mata bor per tahun karena
aktivitas penambangan Buckeye sangat sibuk dengan ratusan sumur penambangan.
Perjanjian mereka mencakup empat mesin bubut manual untuk Buckeye. Setiap
bubutan dioperasikan oleh tenaga ahli; dan Mavis mempertimbangkan untuk
mengganti mesin bubut dengan yang otomatis agar bisa mengurangi tenaga kerja
sehingga hanya butuh satu operator yang paham otomatisasi komputer.
4 mesin bubut manual tersebut berumur 3 tahun dengan biaya total $590,000.
Bersamaan, mesin dapat memproduksi 8,400 mata bor dalam 2 shift, 5 hari seminggu.
Umur ekonomisnya dalam basis 2 shift, 5 hari seminggu, adalah 15 tahun. Estimasi nilai
sisa dari setiap mesin adalah $5,000. Akumulasi depresiasi 4 mesin $114,000. Uang
untuk pembelian mesin sebagian terdiri atas pinjaman bank unsecured 10% yang
masih belum dibayar sekitar $180,000. Estimasi nilai jual mesin manual $240,000
setelah biaya tambahan. Kerugian dari penjualan mesin bisa mengurangi pajak, yang

15
hasilnya penghematan pajak 46% dari kerugian. Sementara itu, mesin otomatis hanya
membutuhkan satu operator untuk memproduksi seperti 4 mesin manual di atas.
Tidak ada harga katalog karena pembuatannya khusus. Estimasi biaya yang akan
dikeluarkan adalah $680,000 termasuk pengiriman dan instalasi. Umur ekonomis 15
tahun. Dengan menggunakan 12 tahun sisa umur mesin yang sekarang, maka estimasi
nilai sisa adalah 10% biaya. Mesin bubut manual pertama kali dikenalkan pada 1975
pada harga $750,000. Harga diperkirakan akan terus menurun dalam beberapa tahun
ke depan. Penurunan harga ini kontras dengan inflasi pasa jasa produk minyak sebesar
18% pada 1978 dan 1979.
Studi yang disiapkan oleh seorang akuntan untuk pengambilan keputusan
menunjukkan informasi sebagai berikut:
a. Tarif direct labor untuk pengoperasian mesin bubut adalah $10/jam termasuk
kompensasi.
b. Tarif gaji operator tidak akan berubah dengan bergantinya mesin.
c. Mesin baru akan mengurangi penggunaan lantai, yang akan menghemat alokasi
pengeluaran untuk penggunaan lantai sebesar $15,000 per tahun, meskipun
bentuk pabrik agak aneh dan space kosong tidak akan digunakan.
d. Biaya lain-lain untuk perlengkapan, pemeliharaan, dan daya tenaga akan
berkurang sebesar $20,000 per tahun jika menggunakan mesin otomatis.
e. Harga beli mesin merupakan objek pajak investasi 10% yang tidak akan
mengurangi nilai buku penyusutan.

Maka pertanyaan utama yang muncul adalah haruskah Mavis tetap


menggunakan empat peralatan mesin yang diisi dengan tangan atau beralih ke mesin
otomatis, versi awal dari mesin bubut yang dikontrol secara numerik (NC) ?
Penyelesaian :
Sisi Perspektif NPV (Net Present Value)

16
Ada beberapa elemen masalah yang biasanya dapat ditelusuri dalam NPV ini,
diantaranya
a. Mengukur arus kas tambahan secara bertahap
b. Umur projek (12-15 tahun di kasus
c. Biaya alokasi ruang yang tidak relevan (tidak ada perbedaan arus kas)
d. Aturan pendanaan khusus yang tidak relevan untuk proyek (10% dan 14%
pinjaman bank)
e. Pengurangan pajak dengan beban penyusutan
f. Nilai beli mesin lama sebagai penutup investasi bersih
g. Penghilangan pajak dari pembuangan mesin
h. Kredit pajak investasi
i. Pemilihan tarif diskon untuk perhitungan NPV. Karena merupakan keputusan
ya/tidak, maka NPV isomorfis dengan IRR. Maka, IRR metrik ekonomi akan
dipakai.

Tabel 2 yang meringkas analisis kuantitatif untuk proyek tersebut menunjukkan


bahwa imbal hasil dari proyek sangatlah sehat sebesar 32%, bahkan ketika

17
mengabaikan efek dari inflasi penghematan tenaga kerja di masa depan. Jika ditinjau
sebagai langkah pengurangan biaya, maka projek sangat menarik. keuangan yang
menarik. Contohnya:
a. Perbandingan tarif tenaga kerja antara 8 orang yang sekarang dan 2 orang di
masa depan?
b. Apakah biaya pemeliharaan akan benar-benar turun dengan mesin baru yang
kompleks?
c. Bagaimana efek penggantian mesin pada hubungan kita dan Buckeye?
d. Bagaimana efeknya pada kualitas produk?

Namun, bagaimanapun juga, masalah seperti ini akan dilihat oleh literatur
konvensional sebagai contoh penggunaan konsep present value dan analisis arus kas
untuk mengidentifikasi peluang investasi yang baik bagi Toko Mesin Mavis.
Peninjauan Permasalah Secara Lebih Mendalam
Ada cukup informasi yang disajikan untuk mendukung interpretasi yang
berbeda dari pilihan yang dihadapi Tom Mavis. Masalah besar yang tidak memiliki
alasan yang meyakinkan adalah dimasukkannya nilai sisa dari tukar tambah mesin-
mesin lama, yaitu $348.600 untuk harga mesin $680.000 ($240,000 tunai + $108,000
pajak yang dihemat). Analisis arus kas diferensial melihat nilai $348.000 ini untuk
investasi kas bersih yang diperlukan jelas relevan dengan analisis. Namun, bagaimana
jika Mavis menggunakan mesin bubut manual lama yang disusutkan penuh yang tidak
memiliki nilai sisa dan tidak ada penghematan pajak? Investasi bersih yang dibutuhkan
adalah $612.000, bukan $263.400. Juga, arus masuk tahunan setelah pajak akan naik
menjadi $101.700 karena penyusutan tambahan yang lebih tinggi ($144,800 x Gambar
2 6 Ringkasan Analisis Kuantitatif 12 0,54 = $78,200 + $612,000/12 x 0,46 = $23,500).
Sekarang, IRR proyek dipotong menjadi 12%+ bukannya 32%+. Artinya, 60% daya tarik
proyek berasal dari fakta bahwa bisnis memiliki empat mesin bekas yang bernilai relatif
tinggi untuk ditukar dengan yang baru.
Empat rumusan masalah berikut akan menghasilkan perhitungan IRR yang
sangat berbeda:
1. Tukarkan empat mesin bubut manual bekas dengan satu mesin bubut otomatis
baru
2. Simpan mesin bubut manual untuk keperluan lain, tetapi beli mesin bubut
otomatis baru untuk bisnis mata bor Buckeye.
3. Bandingkan empat mesin bubut manual baru versus satu mesin bubut otomatis
baru untuk bisnis Buckeye
4. Bandingkan empat mesin bubut manual bekas, yang dibeli di pasar peralatan
bekas (biaya = $240.000) versus satu mesin bubut otomatis baru untuk bisnis
Buckeye.

Ada aspek lain dari kasus yang membentuk konteks bisnis yang lebih luas untuk
mengevaluasi proposal investasi. Misalnya, dapat disimpulkan bahwa Mavis adalah
bisnis yang dikelola dengan sangat konservatif :

18
− Kepemilikan tunai sama dengan 10% dari penjualan (biaya tunai 41 hari di
tangan)
− Hutang jangka panjang hanya 8% dari ekuitas
− Kepemilikan tunai melebihi hutang jangka panjang;
− Investasi persediaan yang besar—hanya 1,9 putaran (191 hari persediaan aktif
di tangan)
− Tidak ada hutang modal kerja jangka pendek.

Terlepas dari pengembalian nyata yang tinggi dari investasi yang diusulkan, ada
beberapa masalah yang dapat mengganggu manajer konservatif:
1. Hilangnya fleksibilitas manufaktur
2. Peningkatan risiko dari waktu henti
3. Perubahan penekanan pada pekerjaan 'menjual'
4. Pengurangan tenaga kerja secara paksa
5. Dampak negatif pada hasil keuangan yang dilaporkan
6. Mengapa sekarang dan bukan 3 tahun yang lalu

Masalah kualitatif ini dapat dianggap sebagai 'konteks strategis' untuk


mengevaluasi proposal investasi. Mavis harus menyeimbangkan pengembalian
finansial yang diharapkan, berdasarkan perspektif ekonomi proyek, terhadap
perubahan posisi strategis dan kemampuan strategisnya seperti yang digambarkan
pada gambar berikut :

Pilihan ini merupakan keputusan 'strategis' bagi Tom Mavis. Mungkin


perusahaan memang membutuhkan penilaian ulang strategis, mengingat ROE yang
rendah dan neraca yang tidak dikelola dengan baik:
1. Akumulasi inventaris berlebih (1,9 perputaran inventaris versus kelas dunia
angka 15 atau lebih);
2. Utilisasi aset pabrik yang rendah (rasio penjualan terhadap aset properti bersih
sebesar 1,25 jauh di bawah norma industri);

19
3. Kurangnya pemanfaatan utang, menurut teori leverage keuangan modern,
dengan mempertimbangkan pengurangan pajak penuh atas bunga di AS

Tapi, penataan kembali strategis harus ditangani secara langsung, bukan secara
tidak langsung dengan kedok proposal yang menyamar sebagai langkah taktis
penghematan biaya. Isu strategis utama di sini adalah memutuskan mana yang lebih
penting untuk masa depan Mavis Machine Shop :
− Mengikuti perkembangan teknologi mutakhir dalam peralatan mesin—mesin
NC
− Tetap menggunakan mesin 'berteknologi lebih rendah' tetapi tenaga kerja
terampil yang lebih tinggi untuk pekerjaan pemesinan khusus, dengan lebih
banyak fleksibilitas.

Dalam konteks kasus ini, mesin NC kurang fleksibel karena melakukan empat
fungsi pemesinan sekaligus. Biasanya, ketika fungsionalitas tidak menjadi masalah,
mesin NC jauh lebih fleksibel daripada mesin manual karena penghapusan virtual
waktu set-up dan re-tooling yang mahal. Haruskah Tom Mavis mulai bereksperimen
dengan mesin NC, mengurangi tenaga kerjanya dan berfokus pada pekerjaan
pemesinan yang lebih kompleks? Atau, haruskah dia bertahan dengan mesin
manualnya yang tidak terlalu rumit dan kadernya yang terdiri dari ahli mesin dan
pembuat alat, mencari ceruk dalam pekerjaan pemesinan khusus yang padat karya? Ini
adalah pilihan yang sangat nyata untuk toko mesin pesanan pekerjaan kecil pada tahun
1980.
Namun, zaman (1980) tentu saja kondusif untuk mendapatkan hasil yang luar
biasa tinggi di toko mesin kecil seperti miliknya. Ledakan dalam bisnis pengeboran
minyak di West Virginia berarti margin besar bagi pemasok ke industri pengeboran.
Meskipun harga perlengkapan dan peralatan pengeboran naik 18% per tahun, para
pengebor ingin membayar harga yang lebih tinggi karena pendapatan minyak
meningkat lebih cepat. Mungkin ini adalah waktu yang tepat bagi Tom Mavis untuk
pindah ke kelas atas, secara teknologi, dan mengurangi ketergantungannya pada biaya
tenaga kerja yang pasti akan terus meningkat seiring dengan booming ekonomi minyak.
Mengubah strateginya sekarang mungkin merupakan ide terbaik untuknya
Sisi Perspektif SCM
Perspektif SCM, pertama kali diusulkan oleh Shank (1989), melibatkan tiga
tema/komponen utama yang diambil dari literatur manajemen strategis:
1. Value chain analysis (analisis rantai nilai)
2. Cost driver analysis (analisis pemicu biaya)
3. Competitive advantage analysis (analisis keunggulan kompetitif)

Masing-masing merupakan komponen penting dari analisis SCM, tetapi analisis


yang baik harus melibatkan ketiganya.
1. Value Chain Analysis

20
Pada SCM, mengelola biaya yang efektif membutuhkan fokus yang luas
tidak hanya dari internal namun juga dari luar perusahaan. Rantai nilai
dikemukakan pertama kali oleh Porter (1985). Rantai Nilai adalah rangkaian
aktivitas penciptaan nilai yang terkait dari bahan baku dasar hingga pemasok
komponen, hingga produk penggunaan akhir yang dikirimkan ke konsumen.
Analisis rantai nilai dikontraskan dengan analisis nilai tambah, yang dimulai dengan
pembayaran kepada pemasok (pembelian) dan berhenti dengan membebankan
biaya kepada pelanggan (penjualan), sambil berfokus pada memaksimalkan
perbedaan, nilai tambah (penjualan dikurangi pembelian) bagi perusahaan. Namun
analisis nilai tambah ini mulai terlambat dan berhenti dengan cepat karena
mengabaikan keterkaitan antara hulu dan hilir dari rantai nilai (pandangan terlalu
sempit).
Bagi Mavis, mesin NC (versi awal dari mesin bubut yang dikontrol secara
numerik) pada dasarnya mengikat perusahaan lebih dekat dengan pelanggan
utamanya (Buckeye Drilling). Kecuali Mavis siap untuk melepaskan Buckeye dan
mencari pelanggan lain yang membutuhkan suku cadang yang memerlukan empat
operasi pemesinan terkait, itu akan menjadi lebih bergantung pada pesanan
Buckeye. Dengan demikian, kemungkinan besar Buckeye akan mendapatkan
sebagian dari penghematan biaya melalui harga jual yang lebih rendah.
Singkatnya, perspektif rantai nilai dengan jelas menunjukkan bahwa Mavis
kehilangan kekuatan pembeli dan kekuatan penjual sebagai akibat dari investasi
baru. Perusahaan menjadi lebih tergantung baik ke atas maupun ke bawah rantai
nilainya.
2. Cost Driver Analysis

Dalam akuntansi manajemen konvensional, hanya ada satu pemicu biaya.


Perubahan biaya unit sebagian besar dilihat sebagai fungsi dari perubahan volume.
Contoh konsep akuntansi manajemen yang bergantung pada volume sebagai
penggerak biaya termasuk biaya tetap versus biaya variabel, biaya rata- rata versus
biaya marginal, analisis CVP (Cost-Volume-Profit), analisis BEP (Break Even Point),
anggaran fleksibel, dan margin kontribusi, dan lainnya. Dalam hal ini, SCM lebih
sedikit mengacu pada model sederhana ekonomi mikro dasar dan lebih banyak lagi
pada model ekonomi organisasi industri yang lebih kaya.
Ada driver biaya 'struktural' yang berhubungan dengan pilihan strategis
eksplisit perusahaan mengenai struktur ekonomi seperti skala, kompleksitas lini
produk, ruang lingkup operasi (integrasi vertikal), atau pengalaman (belajar).
Investasi teknologi juga mewakili pilihan struktural tentang bagaimana cara
bersaing.
Ada juga penggerak biaya 'eksekutif' yang merupakan penentu utama posisi
biaya perusahaan dan bergantung pada kemampuannya untuk berhasil
mengeksekusi dalam struktur ekonomi yang dipilihnya. Sementara pemicu biaya
struktural tidak diukur secara monoton dengan kinerja, pemicu biaya eksekusi

21
biasanya demikian. Artinya, untuk setiap penggerak struktural lebih banyak tidak
selalu lebih baik.
Ada potensi disekonomis skala dan cakupan vertikal, serta potensi ekonomi.
Lini produk yang lebih kompleks belum tentu lebih baik atau lebih buruk daripada
lini produk yang kurang kompleks. Terlalu banyak pengalaman bisa sama buruknya
dengan terlalu sedikit dalam lingkungan yang dinamis
Sebaliknya, untuk setiap driver eksekusi, lebih banyak hampir selalu
lebih baik. Itu daftar driver eksekusi yang berpotensi penting mencakup :
− Keterlibatan tenaga kerja (manajemen partisipatif)
− Komitmen tenaga kerja untuk perbaikan terus-menerus (kaizen)
− Kepatuhan terhadap konsep Total Quality Management
− Pemanfaatan kapasitas efektif (mengingat pilihan skala di pabrik konstruksi
− Efisiensi tata letak aliran produksi
− Efektivitas desain atau formulasi produk
− Memanfaatkan hubungan dengan pemasok dan pelanggan di sepanjang nilai
rantai

Meskipun mungkin tidak selalu benar bahwa tingkat yang lebih tinggi untuk
faktor-faktor eksekusi ini meningkatkan posisi biaya, contoh-contoh disekonomis jauh
lebih jarang daripada pemicu struktural. Dari penggerak struktural, skala tidak terbukti
sangat penting dalam konteks ini.
Skala efisiensi minimum untuk job shop cukup kecil. Ini adalah industri dari
banyak pemain kecil. Lingkup vertikal juga tidak menghasilkan ekonomi dalam konteks
ini. Faktanya, karena job shop kecil menghindari tingkat upah dan praktik kerja di
perusahaan besar, sebenarnya ada disekonomis dari ruang lingkup vertikal. Belajar,
bagaimanapun, adalah pendorong biaya utama dengan mesin konvensional. Pekerja
mempelajari pekerjaan dengan sangat lambat dan perputaran tenaga kerja yang tinggi
menghasilkan kerugian biaya yang signifikan. Pembelajaran adalah masalah yang
sangat penting dengan mesin konvensional karena perputaran tenaga kerja yang tinggi
dapat menghancurkan banyak manfaat dari ceruk khusus.
3. Competitive Advantage Analysis

Dalam SCM, memahami bagaimana perusahaan dapat bersaingan sama


pentingnya dengan analisis biaya seperti memahami rantai nilai dan pemicu biaya.
Sebagaimana dibahas oleh Porter (1980), pilihan dasar tentang bagaimana bersaing
adalah antara kepemimpinan biaya dan diferensiasi.
a. Biaya Rendah (Low Cost)
Fokus utama dari strategi ini adalah mencapai biaya rendah terhadap
pesaing. Kepemimpinan biaya dapat dicapai melalui pendekatan seperti
skala ekonomi dalam produksi, efek kurva pembelajaran, pengendalian
biaya yang ketat, atau minimalisasi biaya di bidang-bidang seperti R&D,
layanan, tenaga penjualan, atau periklanan. Contoh perusahaan yang telah

22
mengikuti strategi ini meliputi: Texas Instruments dalam ics elektron
konsumen, Emerson Electric di motor listrik, Hyundai di mobil, Briggs &
Stratton di mesin bensin, Black & Decker di peralatan mesin, dan
Commodore di mesin bisnis
b. Diferensiasi

Fokus utama dari strategi ini adalah membedakan produk yang


ditawarkan, menciptakan sesuatu yang dianggap unik oleh pelanggan.
Pendekatan untuk diferensiasi produk meliputi: loyalitas merek (Coca-Cola
dalam minuman ringan), layanan pelanggan yang unggul (Nordstrom dalam
ritel), jaringan dealer (Caterpillar dalam peralatan konstruksi), desain
produk dan fitur produk (Hewlett Packard dalam instrumen), dan teknologi
produk (Coleman dalam peralatan berkemah).
Perusahaan yang dibahas oleh Shark ini menjelaskan terkait pengaruh
manajemen biaya terhadap perusahaan tersebut. Dan pemikirannya saat ini
menganggap bahwa posisi biaya dan diferensiasi lebih baik saling melengkapi daripada
strategi bersaing karena persaingan bersifat dinamis seiring dengan perubahan kondisi
bisnis. Namun, kompetitif dalam analisis biaya masih sama pentingnya untuk saat ini.
Untuk Mavis karena merupakan perusahaan kecil, maka sangat tidak mungkin
untuk mencapai keunggulan biaya untuk bisnis volume tinggi. Kepemimpinan biaya
kemungkinan besar akan dimenangkan oleh perusahaan yang besar yang beralih dari
kerangka kerja toko kerja ke manufaktur batch untuk produk volume yang lebih tinggi.
Trik untuk Mavis adalah bersaing di ceruk kecil dimana fitur khusus, kualitas
tinggi, dan perputaran cepat (terkait dengan pemanfaatan aset tetap rendah, sebagai
kebijakan) mendominasi proses pilihan pembeli. Dalam konteks ini, memperdagangkan
keahlian tenaga kerja untuk biaya yang lebih rendah (tetapi juga fleksibilitas yang lebih
rendah) dari mesin bubut otomatis empat keadaan tampaknya jelas tidak bijaksana.
Dengan demikian, argumen pemosisian kompetitif di sini tampaknya memperkuat
argumen rantai nilai dalam mendukung pembelajaran sebagai penggerak biaya yang
lebih penting untuk Mavis daripada teknologi NC.
Kesimpulannya adalah bahwa pandangan SCM memang menyajikan visi yang
jelas tentang dampak dari investasi yang diusulkan pada posisi Mavis di pasarnya.
Berbeda dengan kesimpulan positif dari perspektif ekonomi proyek, dan
kesimpulan ambivalen dari diskusi umum tentang isu-isu strategis, perspektif SCM jelas
menunjukkan respon negative.

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
SCM adalah metode yang berorientasi pada perencanaan dan pengendalian
aktivitas perusahaan dan menganalisis penjual, pembeli, dan pesaing dalam rantai nilai.
SCM juga bisa diartikan sebagai sistem manajemen biaya yang digunakan untuk
menyediakan keunggulan kompetitif dan keuangan, yang didalamnya membahas
manajemen biaya yang efektif, pertimbangan faktor eksternal, biaya kepemimpinan
dan diferensiasi, estimasi biaya, dan distribusi biaya oleh berdasarkan aktivitas. SCM
bertujuan untuk memperkuat posisi strategis suatu perusahaan dengan cara
mengurangi biaya agar dapat bersaing secara kompetitif.
SCM ditunjang oleh tiga aspek, yakni value chain analysis, cost driver analysis,
dan competitive advantage analysis. Apabila salah satu dari tiga aspek ini tidak
terpenuhi, maka implementasi SCM belum sempurna dan harus diperbaiki kembali.
Implementasi pada perusahaan Mavis belum begitu sempurna, karena Mavis akan
kehilangan kekuatan pelanggan dan kekuatan penjual apabila ditinjau dari perspektif
value chain analysis. Selain itu, Mavis juga belum mengoptimalkan cost driver yang ada
diperusahaan tersebut, baik penggerak struktural maupun penggerak eksekutifnya.
Mavis juga belum bisa mendapatkan keunggulan kompetitif karena Mavis merupakan
perusahaan kecil yang memiliki potensi yang kecil untuk mencapai keunggulan biaya
untuk volume bisnis yang tinggi. Kesimpulannya adalah bahwa pandangan SCM
memang menyajikan visi yang jelas tentang dampak dari investasi yang diusulkan pada
posisi Mavis di pasarnya. Berbeda dengan kesimpulan positif dari perspektif ekonomi
proyek, dan kesimpulan ambivalen dari diskusi umum tentang isu-isu strategis,
perspektif SCM jelas menunjukkan respon negative.
Penerapan SCM dibutuhkan strategi yang kuat agar tetap dapat bertahan
dengan loyalitas supplier dan customer serta persaingan yang dapat menimbulkan
keunggulan. Selain itu, dengan bantuan SCM, perusahaan dapat mengidentifikasi
sumber kemampuan laba perusahaan dengan mudah. Strategi yang dapat diterapkan
dalam implementasi adalah dengan meningkatkan partisipasi internal, menjaga
hubungan baik dengan pemasok, dan menjaga loyalitas pelanggan dengan
memberikan berbagai fasilitas yang mampu diberikan oleh Perusahaan
3.2 Saran
Perlu adanya studi lebih lanjut mengenai SCM ini karena belum banyak
perusahaanyang dapat mengimplementasikan SCM. Selain itu, para ahli juga
seharusnya banyak mensosialisasikan manfaat dari SCM sehingga perusahaan-
perusahaan dapat mengetahui pentingnya SCM dan dapat mengimplementasikan SCM
di perusahaan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Apak, S., Erol, M., Elagoz, I., & Atmaca, M. (2012). The Use of Contemporary
Developments in Cost Accounting. Procedia - Social and Behavioral Sciences .
Hansen, D. R., Mowen, M. M., & Guan, L. (2005). Cost Management: Accounting &
Control, 6th Edition. Canada: Nelson Education,Ltd.
Kumar, A., & Nagpal, S. (2011). Strategic Cost Management, Traditional Cost
Management, Cost drivers. Jorunal of Business and Retail Management Research.
Shank, J. K. (1996). Analysing technology investments—from NPV to Strategic Cost
Management.
Hansen, Mowen, Guan (2009). Cost Management Accounting & Control

25
ACTIVITY BASED MANAGEMENT
MAKALAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Akuntansi Manajemen
Strategis yang diampu oleh:

Dr. Dian Imanina Burhany, SE., M.Si

Disusun Oleh:

KELOMPOK 4 3 AC A
Anggota:
1 Firdaus Syahid A 215150409
2 Humaira Khalisha 215154011
3 Isma Nurtriyani 215154013
4 Ratu Bella C 215154018
5 Rencani Audi F 215154019
6 Sinta Nur I 215154028

PROGRAM STUDI D4 AKUNTANSI

JURUSAN AKUNTANSI

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG


2024
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. karena berkat rahmat dan rida-
nya Penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Activity Based Management”
dengan lancar dan tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini tidak terlepas dari segala kesulitan yang
menyertai namun hal tersebut tidak menjadi kendala besar karena berkat dukungan dan kerja
sama terutama responden yang bersedia untuk memberikan pengetahuannya terhadap
penelitian yang telah diselesaikan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis, oleh karena itu penulis mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat membangun untuk makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Bandung, 3 Maret 2024


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
1.3 Tujuan .......................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................. 2
2.1 Hubungan Activity Based Costing & Activity Based Management ............................. 2
2.2 Analisis Nilai Proses ..................................................................................................... 3
2.2.1 Analisis Penggerak (Driver Analysis): Mendefinisikan Akar Penyebab ................ 3
2.2.2 Analisis Aktivitas (Activity Analysis): Mengidentifikasi dan Menilai Nilai Konten
4
2.3 Ukuran Kinerja Keuangan Terhadap Efisiensi Kegiatan .............................................. 6
2.3.1 Reporting Value-Added and Non-Value-Added Costs ......................................... 6
2.3.2 Trend Reporting of Non-Value-Added Costs ....................................................... 8
2.3.3 Peran Standar Kaizen (Kaizen Standard Setting) ................................................. 9
2.3.4 Benchmarking .................................................................................................... 10
2.3.5 Activity Flexible Budgeting ................................................................................. 12
2.3.6 Activity Capacity Management .......................................................................... 14
2.4 Activity Based Management ..................................................................................... 15
2.4.1 Pengertian .......................................................................................................... 15
2.4.2 Dimensi Activity Based Management ................................................................ 16
2.4.3 Implementasi Activity Based Management ....................................................... 16
2.5 Activity Based Management dan Akuntansi Pertanggungjawaban .......................... 18
2.6 Studi Kasus (Implementasi) ....................................................................................... 20
2.6.1 Implementasi Pada PT. Pesona Arnos Betom Gresik......................................... 20
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 24
3.1 Simpulan .................................................................................................................... 24
3.2 Saran .......................................................................................................................... 24

ii
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan perkembangan dunia bisnis yang semakin kompleks dan kompetitif,
penting bagi perusahaan untuk memahami secara mendalam bagaimana setiap aktivitas yang
dilakukan mempengaruhi kinerja keseluruhan perusahaan.
Akuntansi aktivitas merupakan faktor penting untuk mengoperasionalkan perbaikan
berkelanjutan. Proses adalah sumber dari banyak peluang perbaikan yang ada dalam suatu
organisasi. Proses terdiri dari aktivitas yang dihubungkan untuk melakukan tujuan tertentu.
Memperbaiki proses berarti memperbaiki cara kegiatan dilakukan. Dengan demikian,
pengelolaan aktivitas, bukan biaya, adalah kunci keberhasilan pengendalian bagi perusahaan
yang beroperasi dalam lingkungan perbaikan berkelanjutan. Kesadaran bahwa aktivitas
sangat penting untuk meningkatkan penetapan biaya produk dan pengendalian yang efektif
telah memunculkan pandangan baru tentang proses bisnis yang disebut manajemen berbasis
aktivitas. ABM menawarkan kerangka kerja yang sistematis untuk menganalisis aktivitas-
aktivitas ini, mengidentifikasi yang bernilai tambah dan yang tidak bernilai tambah, serta
merancang strategi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
Dengan demikian, dalam konteks lingkungan bisnis yang dinamis saat ini, Activity Based
Management menjadi alat yang penting bagi perusahaan untuk mencapai keunggulan
kompetitif dan menjaga keberlanjutan bisnisnya. Dengan memahami aktivitas-aktivitas yang
menjadi dasar dari nilai tambah, perusahaan dapat mengoptimalkan kinerja operasionalnya
dan mencapai tujuan jangka panjangnya dengan lebih baik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa perbedaan antara activity-based management dan activity-based costing?
2. Apa definisi dari process value analysis?
3. Apa ukuran kinerja keuangan terhadap efisiensi kegiatan?
4. Bagaimana permasalahan implementasi yang terkait dengan sistem activity-based
management?
5. Mengapa activity-based management merupakan salah satu dari bentuk akuntansi
pertanggungjawaban?
6. Apa perbedaan antara activity-based management dengan akuntansi
pertanggungjawaban berbasis keuangan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui perbedaan antara activity-based management dan activity-
based costing
2. Untuk mengetahui definisi dari process value analysis
3. Untuk mengetahui ukuran kinerja keuangan terhadap efisiensi kegiatan
4. Untuk mengetahui permasalahan implementasi yang terkait dengan sistem activity-
based management
5. Untuk mengetahui mengapa activity-based management merupakan salah satu dari
bentuk akuntansi pertanggungjawaban
6. Untuk mengetahui perbedaan antara activity-based management dengan akuntansi
pertanggungjawaban berbasis keuangan

1
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Activity Based Costing & Activity Based Management


Activity-Based Costing (ABC) dan Activity-Based Management (ABM) adalah dua konsep
terkait yang sering digunakan dalam manajemen biaya dan pengambilan keputusan. Berikut
adalah hubungan antara keduanya:
1. ABC sebagai Dasar ABM: ABC digunakan sebagai dasar untuk implementasi ABM. ABC
memberikan informasi tentang biaya kegiatan yang diperlukan untuk menghasilkan
produk atau layanan tertentu. ABM kemudian menggunakan informasi ini untuk
mengelola kegiatan dengan lebih efisien dan efektif.
2. Identifikasi dan Prioritasi Aktivitas: ABC membantu dalam mengidentifikasi dan
memprioritaskan aktivitas yang berkontribusi pada biaya produksi atau pelayanan.
ABM kemudian menggunakan informasi ini untuk fokus pada aktivitas-aktivitas yang
paling penting dan mencari cara untuk meningkatkan efisiensi mereka.
3. Analisis Biaya dan Kinerja: ABC membantu dalam menganalisis biaya dari sudut
pandang aktivitas, sehingga memungkinkan manajer untuk memahami dengan lebih
baik biaya-biaya yang terkait dengan berbagai kegiatan. ABM menggunakan informasi
ini untuk mengevaluasi kinerja berbagai aktivitas dan mengidentifikasi area-area di
mana peningkatan efisiensi dapat dicapai.
4. Pengambilan Keputusan Berbasis Aktivitas: ABC dan ABM bekerja bersama-sama
untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis aktivitas. Informasi yang
dihasilkan oleh ABC digunakan oleh ABM untuk mengidentifikasi peluang
penghematan biaya, meningkatkan kinerja, dan mengoptimalkan alokasi sumber
daya.
Akuntansi aktivitas merupakan faktor penting untuk mengoperasionalkan perbaikan
berkelanjutan. Proses adalah sumber dari banyak peluang perbaikan yang ada dalam suatu
organisasi. Proses terdiri dari aktivitas yang dihubungkan untuk melakukan tujuan tertentu.
Memperbaiki proses berarti memperbaiki cara kegiatan dilakukan. Dengan demikian,
pengelolaan aktivitas, bukan biaya, adalah kunci keberhasilan pengendalian bagi perusahaan
yang beroperasi dalam lingkungan perbaikan berkelanjutan. Kesadaran bahwa aktivitas
sangat penting untuk meningkatkan penetapan biaya produk dan pengendalian yang efektif
telah memunculkan pandangan baru tentang proses bisnis yang disebut manajemen berbasis
aktivitas.
Activity Based Management Adalah pendekatan terpadu dan menyeluruh yang
memfokuskan perhatian manajemen pada aktivitas dengan tujuan meningkatkan nilai
pelanggan dan meningkatkan keuntungan yang dicapai dengan memberikan nilai tersebut.
Penetapan biaya berdasarkan aktivitas (ABC) adalah sumber informasi utama untuk
manajemen berbasis aktivitas. Model manajemen berbasis aktivitas mempunyai dua dimensi:
a. Dimensi Biaya, memberikan informasi biaya tentang sumber daya, aktivitas, dan objek
biaya yang menjadi perhatian seperti produk, pelanggan, pemasok, dan saluran
distribusi. Bertujuan meningkatkan keakuratan pembebanan biaya.
b. Dimensi Proses, memberikan informasi tentang aktivitas apa yang dilakukan, mengapa
aktivitas tersebut dilakukan, dan seberapa baik aktivitas tersebut dilakukan. Bertujuan
pengurangan biaya. Dimensi inilah yang memberikan kemampuan untuk terlibat dan
mengukur perbaikan berkelanjutan.

2
Untuk memahami bagaimana pandangan proses terhubung dengan perbaikan
berkelanjutan, diperlukan pemahaman yang lebih eksplisit tentang analisis nilai proses.

2.2 Analisis Nilai Proses


Analisis nilai proses (Process Value Analysis/PVA) merupakan hal mendasar dalam
akuntansi pertanggungjawaban berbasis aktivitas, berfokus pada akuntabilitas aktivitas
dibandingkan biaya, dan menekankan maksimalisasi kinerja seluruh sistem dibandingkan
kinerja individu. Analisis nilai proses menggerakkan manajemen aktivitas dari landasan
konseptual ke landasan operasional.analisis nilai proses berkaitan dengan :

2.2.1 Analisis Penggerak (Driver Analysis): Mendefinisikan Akar Penyebab


Analisis penggerak (Driver Analysis) adalah upaya yang dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang merupakan akar penyebab biaya aktivitas. Misalnya,
suatu analisis mungkin mengungkapkan bahwa penyebab utama pengolahan dan
pembuangan limbah beracun adalah desain produk. Setelah akar permasalahan diketahui,
barulah tindakan dapat diambil untuk meningkatkan aktivitas tersebut. Misal, membuat
desain produk baru dapat mengurangi atau menghilangkan biaya pengolahan dan
pembuangan limbah beracun.
Seringkali, beberapa aktivitas mempunyai akar penyebab yang sama. Misalnya, biaya
pemeriksaan komponen yang masuk (ukuran keluaran = jumlah jam pemeriksaan) dan
pemesanan ulang (ukuran keluaran = jumlah pemesanan ulang) keduanya mungkin
disebabkan oleh buruknya kualitas komponen yang dibeli. Dengan bekerja sama dengan
pemasok yang dipilih secara cermat untuk membantu mereka meningkatkan kualitas produk,
kedua aktivitas tersebut dapat ditingkatkan.
Biasanya, akar permasalahan diidentifikasi dengan menanyakan satu atau lebih
pertanyaan “mengapa”. Contoh: Mengapa kita memeriksa komponen yang masuk? Jawab:
Karena ada yang mungkin cacat. Mengapa beberapa komponen yang dibeli rusak? Jawaban:
Karena pemasok kami tidak menyediakan komponen yang dapat diandalkan. Ketika jawaban
atas pertanyaan mengapa diperoleh, maka jawaban atas pertanyaan “bagaimana” dapat
diperoleh Contoh: Bagaimana cara kita meningkatkan kualitas komponen yang masuk?
Jawaban: Dengan memilih (atau mengembangkan) pemasok yang menyediakan komponen
dengan kualitas lebih tinggi.Pertanyaan mengapa mengidentifikasi akar permasalahan, dan
pertanyaan bagaimana memungkinkan manajemen mengidentifikasi cara untuk melakukan
perbaikan.

3
2.2.2 Analisis Aktivitas (Activity Analysis): Mengidentifikasi dan Menilai Nilai Konten
Analisis aktivitas adalah proses mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan mengevaluasi
aktivitas yang dilakukan organisasi. Analisis aktivitas harus melakukan empat penilaian atau
penentuan: (1) aktivitas apa yang dilakukan, (2) berapa banyak orang yang melakukan
aktivitas, (3) waktu dan sumber daya yang diperlukan untuk melakukan aktivitas, dan (4) nilai
aktivitas bagi organisasi, termasuk rekomendasi untuk memilih dan mempertahankan
aktivitas yang hanya memberi nilai tambah. Langkah 1-3, sangat penting dalam pembebanan
biaya. Langkah 4, Menentukan isi aktivitas yang bernilai tambah, berkaitan dengan
pengurangan biaya daripada pembebanan biaya. Oleh karena itu, hal ini dapat dianggap
sebagai bagian terpenting dari analisis aktivitas. Aktivitas dapat diklasifikasikan sebagai
bernilai tambah atau tidak bernilai tambah.
1. Aktivitas yang bernilai tambah
Ini adalah aktivitas yang diperlukan untuk tetap bertahan dalam bisnis, Aktivitas yang
bernilai tambah berkontribusi terhadap nilai pelanggan atau membantu memenuhi
kebutuhan organisasi, atau keduanya. Aktivitas yang sesuai dengan mandat hukum
mempunyai nilai tambah karena aktivitas tersebut ada untuk memenuhi kebutuhan
organisasi dan memungkinkan bisnis untuk terus beroperasi. Contoh aktivitas yang
diamanatkan mencakup aktivitas yang diperlukan untuk mematuhi persyaratan
pelaporan SEC dan persyaratan pengarsipan IRS. Aktivitas lainnya di perusahaan bersifat
diskresi. Suatu aktivitas diskresi harus diklasifikasikan sebagai aktivitas bernilai tambah
jika memenuhi ketiga kondisi berikut:
a. aktivitas tersebut menghasilkan perubahan keadaan,
b. perubahan keadaan tersebut tidak dapat dicapai oleh aktivitas-aktivitas
sebelumnya, dan
c. aktivitas tersebut memungkinkan dilakukannya aktivitas lain.
Di luar pedoman ini, menentukan apakah suatu kegiatan diskresi mempunyai nilai
tambah atau tidak lebih merupakan suatu seni daripada ilmu pengetahuan dan sangat
bergantung pada penilaian subjektif. Setelah aktivitas yang bernilai tambah
teridentifikasi, kita dapat menentukan biaya yang bernilai tambah. Biaya nilai tambah
adalah biaya untuk melakukan aktivitas yang bernilai tambah dengan efisiensi sempurna.
2. Aktivitas yang tidak bernilai tambah
Aktivitas yang tidak bernilai tambah kali merupakan aktivitas yang gagal
menghasilkan perubahan atau aktivitas yang mereplikasi pekerjaan pertama kali karena
idak dilakukan dengan benar. Memeriksa cetakan lilin, misalnya, merupakan aktivitas
yang tidak mempunyai nilai tambah. Inspeksi adalah aktivitas pendeteksian keadaan,
bukan aktivitas perubahan keadaan. (Ini memberi tahu kita keadaan cetakannya—
apakah bentuknya benar atau tidak.) Aktivitas pembuatan kembali cetakan yang gagal
dalam pemeriksaan. Pengecoran ulang ini dirancang untuk membawa cetakan dari
kondisi tidak sesuai ke kondisi sesuai. Dengan demikian, terjadi perubahan keadaan.
Namun aktivitas tersebut tidak memberikan nilai tambah karena aktivitas tersebut
mengulangi pekerjaan.
Biaya tidak bernilai tambah adalah biaya yang disebabkan oleh aktivitas yang tidak
bernilai tambah atau tidak efisiennya kinerja aktivitas yang bernilai tambah. Karena
meningkatnya persaingan, banyak perusahaan berusaha menghilangkan aktivitas yang
tidak bernilai tambah dan bagian yang tidak penting dari aktivitas yang bernilai tambah
karena aktivitas tersebut menambah biaya yang tidak perlu dan menghambat kinerja.
Oleh karena itu, analisis aktivitas berupaya untuk mengidentifikasi dan pada akhirnya
4
menghilangkan semua aktivitas yang tidak perlu dan, secara bersamaan, meningkatkan
efisiensi aktivitas yang diperlukan. Meningkatkan efisiensi aktivitas yang tidak
memberikan nilai tambah bukanlah strategi jangka panjang yang baik. Aktivitas yang
tidak memberikan nilai tambah dapat terjadi dimana saja dalam organisasi. Dalam
operasi manufaktur, ada lima aktivitas utama yang sering dianggap boros dan tidak perlu:
a. Penjadwalan. Suatu aktivitas yang menggunakan waktu dan sumber daya untuk
menentukan kapan produk yang berbeda mempunyai akses ke proses (atau kapan
dan berapa banyak pengaturan yang harus dilakukan) dan berapa banyak yang
akan diproduksi.
b. Bergerak. Suatu aktivitas yang menggunakan waktu dan sumber daya untuk
memindahkan material, cth: memindahkan barang jadi dari stu departemen ke
departemen lain
c. Menunggu
d. Memeriksa. Suatu aktivitas yang menghabiskan waktu dan sumber daya untuk
memastikan bahwa produk memenui spesifikasi
e. Menyimpan. Suatu aktivitas yang menggunakan waktu dan sumber daya saat
suatu barang atau material diadakan dalam inventaris
Tantangan analisis aktivitas adalah menemukan cara untuk menghasilkan barang
tanpa menggunakan salah satu aktivitas tersebut.
3. Pengurangan biaya melalui manajemen aktivitas
Kondisi persaingan mengharuskan perusahaan mengirimkan produk yang diinginkan
pelanggan, tepat waktu, dan dengan biaya serendah mungkin. Ini berarti perusahaan
harus terus mengupayakan perbaikan biaya. Penetapan biaya Kaizen ditandai dengan
perbaikan yang konstan dan bertahap terhadap proses dan produk yang ada. Manajemen
aktivitas adalah bagian mendasar dari penetapan biaya kaizen. Manajemen aktivitas
dapat mengurangi biaya dalam empat cara
a. Activity Elimination berfokus pada penghapusan aktivitas yang tidak bernilai
tambah. Misalnya, aktivitas percepatan produksi terkadang diperlukan untuk
memastikan kebutuhan pelanggan terpenuhi. Namun aktivitas ini diperlukan
hanya karena kegagalan perusahaan dalam berproduksi secara efisien. Dengan
meningkatkan waktu siklus, perusahaan pada akhirnya dapat menghilangkan
kebutuhan akan percepatan. Pengurangan biaya kemudian menyusul.
b. Activity Selection melibatkan pemilihan di antara berbagai rangkaian aktivitas
yang disebabkan oleh strategi yang bersaing. Strategi yang berbeda menyebabkan
aktivitas yang berbeda. Dalam kerangka biaya kaizen, desain ulang produk dan
proses yang ada dapat menghasilkan rangkaian aktivitas yang berbeda dan
berbiaya lebih rendah.
c. Activity reduction mengurangi waktu dan sumber daya yang dibutuhkan oleh
suatu aktivitas. Ditujukan terutama pada peningkatan efisiensi aktivitas2 yang
diperlukan, Misalnya, dengan meningkatkan kualitas produk, keluhan pelanggan
akan berkurang dan akibatnya permintaan untuk menangani keluhan pelanggan
akan berkurang.

5
d. Activity sharing meningkatkan efisiensi aktivitas yang diperlukan dengan
menggunakan skala ekonomi. Misalnya, suatu produk baru dapat dirancang
menggunakan komponen yang sudah digunakan oleh produk lain. Dengan
menggunakan komponen-komponen yang sudah ada, maka aktivitas-aktivitas
yang terkait dengan komponen-komponen tersebut sudah ada, dan perusahaan
menghindari terciptanya serangkaian aktivitas yang benar-benar baru.

4. Menilai Kinerja Aktivitas


Pengukuran kinerja aktivitas dirancang untuk menilai seberapa baik suatu aktivitas
dilakukan dan hasil yang dicapai. Ukuran kinerja kegiatan bersifat finansial dan non-
finansial dan berpusat pada tiga dimensi utama:
a. efisiensi, berkaitan dengan hubungan output dan input kegiatan. Misalnya,
efisiensi kegiatan ditingkatkan dengan menghasilkan output kegiatan yang sama
dengan input yang lebih sedikit
b. kualitas, berkaitan dengan melakukan aktivitas dengan benar pada saat pertama
kali dilakukan. Jika output aktivitas cacat, maka aktivitas tersebut mungkin perlu
diulangi, sehingga menyebabkan biaya yang tidak diperlukan dan penurunan
efisiensi
c. waktu, Waktu yang lebih lama biasanya berarti lebih banyak konsumsi sumber
daya dan berkurangnya kemampuan untuk menanggapi permintaan pelanggan.

2.3 Ukuran Kinerja Keuangan Terhadap Efisiensi Kegiatan


Penilaian kinerja aktivitas perlulah mengungkapkan Tingkat efisiensi periode saat ini dan
juga potensi untuk meningkatkan efisiensi. Baik ukuran finansial maupun non finansial
digunakan untuk mengungkapkan kinerja masa lalu dan memberi sinyal potensi
keuntungan di masa depan dalam hal efisiensi. Ukuran finansial atau financial measures
haruslah memberikan informasi spesifik tentang dampak dari nilai mata uang dari perubahan
kinerja aktivitas. Dengan demikian, ukuran keuangan harus mengindikasikan
penghematan potensial dan aktual. Financial Measures Of Activity Efficiency mencakup:
1. value-added and non-value-added activity costs,
2. trends in activity costs,
3. kaizen standard setting,
4. benchmarking,
5. activity flexible budgeting, and
6. activity capacity management.

2.3.1 Reporting Value-Added and Non-Value-Added Costs


Meningkatkan efisiensi kegiatan dapat dilakukan salah satunya dengan mengurangi
biaya-biaya yang tidak bernilai tambah atau Non-Value-Added Costs. Dapat diklasifikasikan
bahwa aktivitas menjadi dua, yaitu aktivitas yang bernilai tambah dan aktivitas tidak bernilai
tambah.
Aktivitas bernilai tambah adalah aktivitas-aktivitas yang diharuskan untuk
melaksanakan bisnis atau menciptakan nilai yang dapat memuaskan bagi para konsumennya
(Supriyono, 1999; 377) Menurut Hansen dan Mowen (2006; 489), 17 aktivitas bernilai tambah
adalah aktivitas-aktivitas yang diperlukan untuk dipertahankan dalam bisnis. Aktivitas ini
6
harus terus dipertahankan oleh perusahaan, karena aktivitas inilah yang menjadikan suatu
produk atau jasa lebih kompetitif di pasar. Jika aktivitas bernilai tambah dieliminasi, akan
mengurangi nilai yang akan didapat oleh konsumen, sehingga konsumen tidak lagi membeli
atau mengkonsumsi produk atau jasa perusahaan tersebut. Dengan kata lain, perusahaan
tersebut akan mengalami kekalahan persaingan di dalam pasar. Aktivitas bernilai tambah
menimbulkan biaya aktivitas bernilai tambah, yaitu biaya yang digunakan untuk
melaksanakan aktivitas-aktivitas bernilai tambah.
Menurut Supriyono (2003; 377), aktivitas tidak bernilai tambah adalah aktivitas-
aktivitas yang tidak perlu atau aktivitas-aktivitas yang perlu namun tidak efisien dan dapat
disempurnakan. Sedangkan menurut Hansen dan Mowen (2006; 490), aktivitas tidak bernilai
tambah adalah semua aktivitas selain aktivitas yang sangat penting untuk dipertahankan
dalam bisnis, sehingga dianggap sebagai aktivitas yang tidak diperlukan. Berdasarkan
beberapa definisi aktivitas tidak bernilai tambah tersebut, tentunya perusahaan akan
berusaha untuk mengeliminasi aktivitas tidak bernilai tambah, karena hanya menambah
biaya yang tidak berguna dan menghalangi kinerja perusahaan.
Perusahaan harus mengidentifikasi dan secara formal melaporkan biaya yang bernilai
tambah dan tidak bernilai tambah dari setiap aktivitas. Menyoroti biaya yang tidak bernilai
tambah akan mengungkapkan besarnya pemborosan yang dialami perusahaan saat ini,
sehingga memberikan beberapa informasi tentang potensi perbaikan. Melacak biaya-biaya
ini dari waktu ke waktu memungkinkan para manajer untuk menilai efektivitas program
manajemen aktivitas mereka.
Perusahaan mengelompokkan aktivitas kedalam aktivitas bernilai tambah dan
kedalam aktivitas tidak bernilai tambah, dengan tujuan untuk dapat meminimumkan biaya
yang terjadi akibat aktivitas tidak bernilai tambah, dengan cara mengeliminasi aktivitas
tersebut. Aktivitas tidak bernilai tambah yang tidak dieliminasi akan menyebabkan
meningkatnya biaya produksi perusahaan. Aktivitas tidak bernilai tambah menimbulkan biaya
aktivitas tidak bernilai tambah, yaitu biaya yang timbul karena adanya aktivitas yang tidak
bernilai tambah.
The value added standard mengharuskan penghapusan seluruh aktivitas yang tidak
memberikan nilai tambah. The value added standard nilai tambah ini juga menyerukan
penghapusan seluruh inefisiensi kegiatan-kegiatan yang diperlukan namun dilakukan secara
tidak efisien. Oleh karena itu, aktivitas yang bernilai tambah juga memiliki tingkat output yang
optimal. Oleh karena itu, The valueadded standard mengidentifikasi keluaran aktivitas yang
optimal
Dengan membandingkan actual activity costs dengan value-added activity costs,
manajemen dapat menilai tingkat inefisiensi aktivitas dan potensi perbaikan. Untuk
mengidentifikasi dan menghitung biaya yang bernilai tambah dan biaya yang tidak bernilai
tambah, ukuran output untuk setiap aktivitas harus ditentukan sehingga kuantitas standar
(SQ) untuk setiap kegiatan juga dapat ditentukan. Value added cost danValue added cost
dapat dihitung. Rumus-rumus ini disajikan pada exhibit 12-2

7
Untuk menerapkan formula tersebut, maka dibawah ini ada pertimbangan empat
kegiatan produksi berikut untuk perusahaan manufaktur, membeli bahan,
mencetak, memeriksa cetakan, dan menggiling cetakan yang tidak sempurna. Pembelian
dan pencetakan adalah kegiatan yang diperlukan; inspeksi dan penggilingan tidak
diperlukan. Data berikut berhubungan dengan empat aktivitas:

Perhatikan bahwa standar nilai tambah (SQ) untuk Inspecting dan Grinding
memerlukan penghapusan dikarenakan 0. Idealnya, tidak boleh ada cetakan yang rusak;
dengan meningkatkan kualitas, mengubah proses produksi, dan sebagainya, inspeksi dan
penggilingan pada akhirnya dapat dihilangkan. Tabel selanjutnya mengklasifikasikan biaya
untuk empat kegiatan sebagai nilai tambah atau tidak bernilai tambah. Dalam hal ini,
biaya nilai tambah ditambah dan biaya yang tidak bernilai tambah sama dengan biaya
aktual. Laporan biaya dalam tabel diatas memungkinkan manajer untuk melihat biaya
yang tidak bernilai tambah; sebagai konsekuensinya, ini menekankan peluang untuk
perbaikan. Dengan mendesain ulang produk dan mengurangi jumlah komponen yang
dibutuhkan, waktu pembelian dapat dikurangi. Dengan meningkatkan proses
pencetakan dan keterampilan tenaga kerja, manajemen dapat mengurangi tuntutan
untuk waktu pencetakan, inspeksi, dan penggilingan.

2.3.2 Trend Reporting of Non-Value-Added Costs


Agar para manajer dapat selalu mengurangi, menghilangkan, memilih aktivitas
yang tidak bernilai tambah dari waktu ke waktu maka perlu informasi apakah biaya
aktivitas yang telah terjadi mencerminkan hal tersebut. Salah satu informasi yang dapat
menjawab pertanyaan itu adalah dengan membandingkan biaya aktivitas dari tahun ke tahun
untuk dapat dilihat perkembangannya. Trend Reporting merupakan laporan kinerja yang
membandingkan jumlah biaya tidak bernilai tambah dari waktu ke waktu dengan tahun
sebelumnya. Dengan laporan ini dapat dilihat Perhatikan bahwa standar nilai tambah (SQ)
untuk pemeriksaan dan penggilingan bagaimana hasil tindakan yang telah dilakukan
manajer untuk mengurangi dan mengeliminasi biaya aktivitas yang tidak bernilai
tambah. Trend Reporting menunjukan hasil dari perbaikan yang sudah dilakukan manajer
untuk memperbaiki proses pelaksanaan suatu aktivitas

8
Asumsikan, misalnya, bahwa pada awal tahun 2010, proses produksi dan pencetakan
didesain ulang dan karyawan bagian pencetakan dilatih mengenai teknik kerja baru. Tujuan
dari inisiatif ini adalah untuk meningkatkan kinerja kegiatan. Exhibit 12-4 memberikan
laporan biaya yang membandingkan biaya non-nilai tambah pada tahun 2010 dengan biaya
yang terjadi pada tahun 2009. Biaya tahun 2010 diasumsikan tetapi akan dihitung dengan cara
yang sama seperti yang ditunjukkan pada tahun 2009. Kami berasumsi bahwa SQ adalah sama
untuk kedua tahun tersebut.

Laporan tren mengungkapkan bahwa lebih dari separuh biaya tidak bernilai tambah
telah dihilangkan. Masih banyak ruang untuk perbaikan, namun peningkatan aktivitas sejauh
ini telah berhasil. Namun, melaporkan biaya-biaya yang tidak memberikan nilai tambah tidak
hanya mengungkapkan pengurangan tetapi juga menunjukkan di mana pengurangan
tersebut terjadi. Hal ini memberikan manajer informasi mengenai seberapa besar potensi
pengurangan biaya yang masih ada.

2.3.3 Peran Standar Kaizen (Kaizen Standard Setting)


Menurut Imai (1997) istilah kaizen dalam bahasa Jepang berarti perbaikan. Kaizen
merupakan perbaikan berkelanjutan yang melibatkan semua orang baik manajer maupun
karyawan. Kaizen adalah filosofi bisnis yang berfokus pada perbaikan terus-menerus dan
perubahan menjadi lebih baik. Dalam konteks biaya, Kaizen dapat membantu mengurangi
biaya dengan menghilangkan pemborosan dan meningkatkan efisiensi, dan kualitas.
Konsep Kaizen berorientasi pada proses, sedangkan jika dibandingkan dengan cara
berpikir negara-negara Barat, lebih cenderung tentang pembaharuan yang berorientasi pada
hasil [Chakraborty, 2013]. Kaizen lebih menekankan pada prosesnya sehingga menghasilkan
sistem manajemen yang mendukung orang-orang untuk melakukan usaha perbaikan.
Sistem kaizen costing menjadi lebih efektif bila sasaran pengurangan biaya telah
ditetapkan. Sasaran ini dapat mencakup berbagai aspek, seperti mengurangi biaya produksi,
menghilangkan pemborosan, atau meningkatkan efisiensi dengan menghilangkan langkah-
langkah yang tidak memberikan nilai tambah. Dengan ditetapkannya sasaran, perusahaan
dapat fokus hanya pada area yang memerlukan perbaikan. Dengan sasaran yang jelas,
Perusahaan dapat mengukur keberhasilan implementasi kaizen costing.
Kaizen costing lebih memfokuskan pada proses produksi dan bertujuan mengeliminasi
aktivitas yang tidak bernilai tambah yang terjadi pada proses produksi. Kaizen costing
menentukan strategi perusahaan untuk mengurangi biaya produksi. Oleh karena itu, fokus
dan pelaksanaan kaizen costing setiap perusahaan berbeda– beda misalnya dengan
melakukan pengurangan tenaga kerja atau dengan pengendalian bahan baku dan sebagainya.

9
Penetapan biaya Kaizen berfokus pada pengurangan biaya yang terkait dengan produk
dan proses yang sudah ada dalam perusahaan. Terdapat dua siklus utama dalam
pengendalian proses pengurangan biaya, yaitu : (1) Siklus kaizen, atau perbaikan terus-
menerus, dan (2) siklus pemeliharaan.

Siklus Kaizen ditentukan oleh urutan Plan-Do-Check-Act. Tahap Plan dimulai saat
perusahaan menekankan pengurangan biaya yang tidak memberikan nilai tambah, dan
jumlah perbaikan yang direncanakan untuk periode mendatang. Diasumsikan perbaikan yang
direncanakan tadi dapat dicapai. Lalu, Tindakan diambil untuk melaksanakan perbaikan yang
direncanakan (yaitu tahap Do). Selanjutnya ke tahap check, yaitu membandingkan hasil aktual
(misalnya biaya) dengan standar kaizen untuk memberikan ukuran tingkat perbaikan yang
dicapai. Setelah mendapatkan hasil, dilakukan tahap terakhir, yaitu act. Dengan menetapkan
hasil baru ini sebagai standar minimum untuk kinerja masa depan. Yang secara bersamaan
memulai siklus pemeliharaan dan pencarian peluang peningkatan tambahan.
Di siklus pemeliharaan ini, mengikuti urutan tradisional Establish-Do-Check-Act.
Standar ditetapkan berdasarkan hasil sebelumnya. Selanjutnya, tindakan diambil (yaitu tahap
Do) dan hasilnya diperiksa untuk memastikan bahwa kinerja sesuai dengan tingkat baru ini
(tahap check). Jika tidak, maka tindakan perbaikan diambil untuk memulihkan kinerja (tahap
act).
Kaizen costing mempunyai tujuan yang sama dengan activity-based management,
yaitu mengurangi beban produksi dengan memperbaiki proses produksi. Pelaksanaan kaizen
costing yang didukung activity-based management mampu menetapkan rancangan solusi
terhadap aktivitas apa yang perlu dilakukan pengurangan, bagaimana caranya, dan
bagaimana evaluasinya.

2.3.4 Benchmarking
Benchmarking adalah proses pengukuran secara berkesinambungan dan
membandingkan satu atau lebih bisnis proses perusahaan dengan perusahaan yang terbaik
di proses bisnis tersebut, untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu perusahaan
untuk mengidentifikasi dan mengimplementasikan peningkatan proses bisnis (Andersen,
1996).
Benchmarking menggunakan praktik terbaik yang ditemukan di dalam dan di luar
organisasi sebagai standar untuk mengevaluasi dan meningkatkan kinerja aktivitas. Tujuan

10
dari benchmarking adalah untuk menjadi yang terbaik dalam melakukan aktivitas dan proses.
(dengan demikian, benchmarking merupakan metodologi manajemen aktivitas yang penting)
karena membantu organisasi memahami praktik terbaik dan mengadopsi perubahan yang
dapat meningkatkan kinerja mereka.
Benchmarking berperan penting dalam mengoptimalkan proses kaizen (dengan
membandingkan praktik dan kinerja dengan organisasi lain yang telah berhasil menerapkan
kaizen) dan manajemen berbasis aktivitas dengan memberikan wawasan dari luar organisasi.
Dan dapat digunakan sebagai mekanisme pencarian untuk mengidentifikasi peluang
perbaikan. Karena Benchmarking memungkinkan perusahaan untuk mencari praktik terbaik
dari organisasi lain. Dengan membandingkan praktik dan kinerja, perusahaan dapat
mengidentifikasi peluang perbaikan dan mengadopsi strategi yang lebih efektif.
a. Benchmarking Internal
Benchmarking internal adalah suatu kegiatan yang melibatkan membandingkan
kegiatan atau proses yang sama dalam suatu perusahaan. Biasanya, kegiatan ini
dilakukan pada perusahaan yang memiliki anak perusahaan atau cabang agar setiap
perusahaan di dalamnya memiliki standarisasi yang sama dengan induk perusahaan.
Benchmarking internal menghasilkan perbandingan dengan presisi yang sangat tinggi
bila semua data yang relevan dikumpulkan dari sumber yang sama. Kelebihan
Benchmarking Internal : Pertama, sejumlah besar informasi sering kali tersedia dan
dapat dibagikan ke seluruh organisasi. Kedua, pengurangan biaya secara langsung
sering kali dapat direalisasikan. Ketiga, standar internal terbaik yang tersebar di
seluruh organisasi menjadi tolok ukur perbandingan terhadap mitra benchmarking
eksternal. Adapun kelemahannya, yaitu; bahwa kesempatan untuk mendapatkan
kinerja kelas dunia di dalam organisasi sendiri akan kurang berhasil bila dibandingkan
dengan jika mencari alternative pasangan dari luar. Namun bagaimana juga
benchmarking internal seringkali mampu mengarah kepada perubahan yang cepat
dan nyata dalam hasilnya. Benchmarking mempunyai efek lebih lanjut yaitu
menyamakan perbedaan yang ada dalam kinerja antar cabang. Bukan saja kinerja
seluruh perusahaan tertingkatkan, tetapi juga menekan variasi antar operasi yang
sejenis.
b. Benchmarking Eksternal
Benchmarking eksternal adalah suatu metode yang melibatkan membandingkan
kinerja dan praktik bisnis suatu perusahaan dengan perusahaan lain di luar organisasi
tersebut. Tujuannya adalah untuk memahami bagaimana perusahaan berdiri dalam
industri dan untuk menentukan cara agar perusahaan dapat membedakan diri dari
pesaing.
Tiga jenis benchmarking eksternal :
1. Benchmarking kompetitif : Jenis benchmarking eksternal ini melibatkan
perbandingan kinerja dan praktik bisnis suatu perusahaan dengan perusahaan lain
di luar perusahaan tersebut. Masalah utama dengan benchmarking kompetitif
adalah sangat sulitnya memperoleh informasi selain informasi yang tersedia di
domain publik.
2. Benchmarking fungsional : Melibatkan perbandingan dengan perusahaan-
perusahaan yang berada di industri yang sama tetapi tidak bersaing di pasar yang
sama.

11
3. Benchmarking generik : melibatkan perbandingan fungsionalitas kerja suatu
perusahaan dengan rata-rata industri. Dalam hal ini, kita fokus pada perbandingan
kinerja dan fungsi kerja antara perusahaan dan pesaing di industri yang sama.
Tujuannya adalah untuk mengetahui posisi perusahaan dalam industri dan
memastikan bahwa perusahaan berada pada tingkat kinerja yang sesuai dengan
rata-rata industri.

2.3.5 Activity Flexible Budgeting


Kemampuan untuk mengidentifikasi perubahan biaya aktivitas seiring perubahan
keluaran aktivitas memungkinkan manajer untuk merencanakan dan memantau peningkatan
aktivitas dengan lebih hati-hati. Activity Flexible Budgeting adalah prediksi berapa biaya
aktivitas yang akan terjadi ketika output aktivitas berubah. Analisis varians dalam suatu
kerangka kegiatan memungkinkan perbaikan pelaporan kinerja anggaran tradisional. Ini juga
meningkatan kemampuan untuk mengelola aktivitas.
Gambar 12-6 menyajikan anggaran fleksibel berbasis fungsional berdasarkan jam
tenaga kerja langsung. Namun, jika biaya bervariasi terhadap lebih dari satu pengemudi dan
pengemudi tidak mempunyai korelasi yang tinggi dengan jam kerja langsung, maka perkiraan
biaya dapat

menyesuaikan.
Solusinya tentu saja dengan membuat formula anggaran fleksibel untuk lebih dari satu
pengemudi. Prosedur estimasi biaya (metode tinggi-rendah, metode kuadrat terkecil, dan
sebagainya) dapat digunakan untuk memperkirakan dan memvalidasi rumus biaya untuk
setiap aktivitas. Pada prinsipnya, komponen biaya variabel untuk setiap aktivitas harus sesuai
dengan sumber daya yang diperoleh sesuai kebutuhan (sumber daya fleksibel), dan
komponen biaya tetap harus sesuai dengan sumber daya yang diperoleh sebelum
penggunaan (sumber daya yang berkomitmen). Pendekatan multi-rumus ini memungkinkan
manajer untuk memprediksi dengan lebih akurat berapa biaya yang seharusnya dikeluarkan
untuk berbagai tingkat penggunaan aktivitas, sebagaimana diukur dengan ukuran output
aktivitas. Biaya-biaya ini kemudian dapat dibandingkan dengan biaya sebenarnya untuk
membantu menilai kinerja anggaran. Gambar 12-7 menggambarkan anggaran fleksibel suatu
kegiatan. Perhatikan bahwa jumlah yang dianggarkan untuk bahan langsung dan tenaga kerja
langsung sama dengan yang dilaporkan pada Gambar 12-6; mereka menggunakan ukuran
keluaran aktivitas yang sama. Jumlah yang dianggarkan untuk item-item lainnya berbeda
secara signifikan dari jumlah tradisional karena ukuran keluaran kegiatan berbeda.

12
Asumsikan bahwa tingkat aktivitas pertama untuk setiap pengemudi pada Gambar 12-
7 sesuai dengan tingkat penggunaan aktivitas sebenarnya. Gambar 12-8 membandingkan
biaya yang dianggarkan untuk tingkat penggunaan aktivitas aktual dengan biaya aktual. Satu
item tepat sasaran, dan enam item lainnya tercampur. Hasil bersihnya adalah varian yang
menguntungkan sebesar $21.500.
Laporan kinerja pada Gambar 12-8 membandingkan total biaya yang dianggarkan
untuk tingkat aktivitas aktual dengan total biaya aktual untuk setiap aktivitas. Dimungkinkan
juga untuk membandingkan biaya aktivitas tetap aktual dengan biaya aktivitas tetap yang
dianggarkan, dan variabel aktual biaya aktivitas dengan biaya variabel yang dianggarkan.
Misalnya, asumsikan bahwa biaya inspeksi tetap sebenarnya adalah $82.000 (karena
penyesuaian gaji tengah tahun, yang mencerminkan perjanjian serikat pekerja yang lebih
menguntungkan daripada yang diantisipasi) dan bahwa biaya inspeksi variabel aktual adalah
$43.500.

13
Varians anggaran variabel dan anggaran tetap untuk aktivitas inspeksi dihitung
sebagai berikut:

Dengan memecah setiap varians menjadi komponen tetap dan variabel, akan
memberikan lebih banyak wawasan mengenai sumber variasi dalam pengeluaran yang
direncanakan dan aktual. Anggaran aktivitas juga memberikan informasi berharga tentang
penggunaan kapasitas.

2.3.6 Activity Capacity Management


Kapasitas aktivitas adalah berapa kali suatu aktivitas dapat dilakukan. Penggerak
aktivitas mengukur kapasitas aktivitas. Misalnya, pertimbangkan pemeriksaan barang jadi
sebagai suatu aktivitas.
Beberapa pertanyaan berkaitan dengan kapasitas kegiatan dan biayanya. Pertama,
berapa kapasitas aktivitasnya? Jawaban atas pertanyaan ini memberikan kemampuan untuk
mengukur jumlah perbaikan yang mungkin dilakukan. Kedua, seberapa besar kapasitas yang
diperoleh sebenarnya terpakai? Jawaban atas pertanyaan ini menandakan biaya yang tidak
produktif dan, pada saat yang sama, merupakan peluang untuk pengurangan kapasitas dan
penghematan biaya. Pemeriksaan varians volume aktivitas dan varians kapasitas yang tidak
terpakai membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Gambar 12-9 mengilustrasikan perhitungan varians volume aktivitas dan varians
kapasitas yang tidak terpakai. Varians volume aktivitas adalah selisih biaya antara tingkat
aktivitas aktual yang diperoleh (kapasitas praktis, AQ) dan nilai tambah standar kuantitas
aktivitas yang seharusnya digunakan (SQ). Dengan asumsi bahwa inspeksi adalah aktivitas
tidak bernilai tambah, SQ = 0 adalah standar nilai tambah. Varians volume dalam kerangka ini
memiliki interpretasi ekonomi yang berguna: ini adalah biaya aktivitas inspeksi yang tidak
memberikan nilai tambah.
Ini mengukur jumlah perbaikan yang mungkin dilakukan melalui analisis dan
pengelolaan kegiatan ($120.000, dalam contoh ini). Namun, karena pasokan aktivitas yang

14
dimaksud (inspeksi) harus diperoleh dalam satu blok (satu inspektur dalam satu waktu), maka
penting juga untuk mengukur permintaan aktivitas saat ini (penggunaan aktual).

Ketika pasokan melebihi permintaan dalam jumlah yang cukup besar, manajemen
dapat mengambil tindakan untuk mengurangi kuantitas aktivitas yang disediakan. Dengan
demikian, varians kapasitas yang tidak terpakai, selisih biaya antara ketersediaan aktivitas
(AQ) dan penggunaan aktivitas (AU), merupakan informasi penting yang harus diberikan
kepada manajemen. Tujuannya adalah untuk mengurangi permintaan aktivitas hingga varians
kapasitas yang tidak terpakai sama dengan varians volume. Mengapa? Karena varians volume
merupakan biaya yang tidak bernilai tambah dan varians aktivitas yang tidak terpakai
mengukur kemajuan yang dicapai dalam mengurangi biaya yang tidak bernilai tambah
tersebut. Perhitungan varians kapasitas yang tidak terpakai juga diilustrasikan pada Gambar
12-9. Perhatikan bahwa kapasitas yang tidak terpakai adalah 20 batch senilai $40.000.
Asumsikan bahwa kapasitas yang tidak terpakai ini ada karena manajemen telah terlibat
dalam program peningkatan kualitas yang telah mengurangi kebutuhan untuk memeriksa
batch produk tertentu. Perbedaan antara persediaan sumber daya inspeksi dan
penggunaannya akan berdampak pada rencana pengeluaran di masa depan (pengurangan
aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah dianggap menguntungkan).
Peningkatan aktivitas dapat menciptakan kapasitas yang tidak terpakai, namun
manajer harus bersedia dan mampu mengambil keputusan sulit untuk mengurangi
pengeluaran sumber daya pada sumber daya yang berlebihan untuk mendapatkan potensi
peningkatan keuntungan. Keuntungan dapat ditingkatkan dengan mengurangi pengeluaran
sumber daya atau dengan mentransfer sumber daya ke aktivitas lain yang akan menghasilkan
lebih banyak pendapatan.

2.4 Activity Based Management


2.4.1 Pengertian
Dalam buku Hansen & Mowen dijelaskan bahwa Activity Based Management (ABM)
adalah suatu pendekatan di seluruh sistem dan terintegrasi, yangmemfokuskan perhatian
manajemen pada berbagai aktivitas, dengan tujuanmeningkatkan nilai untuk pelanggan dan
laba sebagai hasilnya.
Menurut Mulyadi, Activity Based Management(ABM) adalah pendekatanmanajemen
yang memusatkan pengelolaan pada aktivitas dengan tujuan untuk melakukanimprovement
berkelanjutan terhadapvalueyang dihasilkan bagicustomer , dan laba yang dihasilkan dari
penyedia value tersebut.
15
Sehingga dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Activity Based
Management(ABM) merupakan pengelolaan sumber daya dan aktivitasuntuk memperbaiki
nilai produk atau jasa bagi pelanggan serta meningkatkan nilaiyang diterima oleh pelanggan
dan untuk meningkatkan laba demi mencapaisasaran kerja dan tujuan organisasi melalui
proses perbaikan secara terus-menerus.

2.4.2 Dimensi Activity Based Management


1. Dimensi Biaya
Dimensi biaya memberikan informasi biaya dari sumber daya (resources),aktivitas
(activity), produk dan pelanggan (customer). Dimensi biaya mencerminkan kebutuhan
organisasi untuk menelusuri sumber-sumber padaaktivitas-aktivitas dan akhirnya
membebankannya pada objek-objek untuk menganalisa keputusan-keputusan
penting suatu organissasi.
2. Dimensi proses
Memberikan informasi tentang aktivitas-aktivitas apa sajayang dilakukan, mengapa
aktivitas dilakukan, dan bagaimana pelaksanaannya. Dimensi ini ingin mengetahui
kinerja setiap aktivitas yang dilakukan perusahaan dan bertujuan untuk mengurangi
biaya. Dimensi ini menunjukkaninformasi tentangcontinoues improvement yang
dilakukan Perusahaan.

2.4.3 Implementasi Activity Based Management


Activity Based Management(ABM) merupakan sebuah sistem yang komprehensif dari
sistem Activity Based Costing(ABC). Activity Based Management(ABM)dipandang sebagai
sistem informasi yang bertujuan untuk memperbaiki pengambilan keputusan dengan
menginformasikan biaya yang akurat danmengurangi biaya dengan mendorong serta
mendukung berbagai usaha perbaikansecara berkelanjutan.

16
Dari model implementasi diatas menunjukkan bahwa tujuan ABM secarakeseluruhan
adalah untuk meningkatkan profitabilitas perusahaan. Tujuan inidapat dicapai dengan
mengidentifikasi dan menyeleksi berbagai peluang untuk perbaikan serta menggunakan
informasi akurat untuk membuat keputusan yang lebih baik.
Selain itu, tujuan dari ABM di dalam implementasinya juga dikemukan oleh Supriyono,
yang mana beliau mengemukan tujuan ABM, sebagai berikut:
a. Mengukur kinerja keuangan dan pengoperasian (non-keuangan) organisasi
danaktivitasnya.
b. Menentukan biaya-biaya dan profitabilitas yang benar untuk setiap tipe
produk dan jasa.
c. Mengidentifikasi aktivitas-aktivitas dan mengendalikannya.
d. Mengelompokkan aktivitas bernilai tambah dan tidak bernilai tambah.
e. Mengefisienkan aktivitas bernilai tambah dan mengeliminasi aktivitas tidak
bernilai tambah.
f. Menilai penciptaan rangkaian nilai tambah untuk memenuhi kebutuhan
dankepuasan konsumen
1. Langkah-Langkah Activity Based Managemen t(ABM) Menurut Supriyono, langkah-
langkah yang perlu dilakukan dalam penerapan ABM, yaitu:
a. Mengidentifikasi aktivitas-aktivitas;
b. Membedakan antara aktivitas yang bernilai tambah dengan aktivitas yangtidak
bernilai tambah untuk produk dan jasa tertentu;
c. Menelusuri arus produk atau jasa melalui aktivitas yang terjadi;

17
d. Membebankan nilai-nilai waktu dan biaya pada setiap aktivitas;
e. Menentukan keterkaitan antara aktivitas-aktivitas dan fungsi-fungsi dan
lintasfungsi;
f. Membuat arus produk dan jasa lebih efisien;
g. Mengurangi atau meniadakan aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah;
h. Menganalisa dua atau lebih aktivitas yang saling berhubungan untuk
menentukantrade offdiantara aktivitas tersebut agar mengarah pada
pengurangan biaya;
i. Menyempurnakan berkesinambungan
2. Keberhasilan dan Kegagalan Implementasi ABM
a. Keberhasilan Implementasi ABM
- Budaya Organisasi
Budaya organisasi mencerminkan kerangka berfikir dari
karyawantermasuk prilaku nilai dan keyakinan yang dianut oleh karyawan.
Budayaorganisasi menunjukkan keterlibatan, kerja sama seperti partisipasi
yangtinggi dari seluruh karyawan.
- Dukungan dan Komitmen Manajemen Puncak
Penerapan suatu sistem manajemen biaya yang baru seperti ABM danABC
membutuhan waktu dan sumber daya, oleh karena itu dukungan dan
peran dari manajemen puncak sangat diperlukan untuk keberhasilan
penerapannya.
- Perubahan Proses
Perubahan bisa terjadi apabila diterapkannya suatu proses yang
sudahdirancang untuk menghasilkan perubahan tersebut. Perbaikan dari
prosesyang sudah ada sangat mendukung keberhasilan penerapannya.
Elemen-elemen dari proses diantaranya adalah daftar dari aktivitas,
sekumpulantujuan dan tindakan lanjutan.
- Pelatihan Berkelanjutan
Memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengikuti
pelatihanserta meningkatkan keahlian mereka terhadap lingkungan kerja
yang cepat berubah sangatlah penting. Keberhasilan penerapan dari
programmanajemen biaya yang baru membutuhkan keahlian, peran serta
kerjasama dari karyawan suatu organisasi.
b. Kegagalan Implementasi ABM
- Kurangnya dukungan dari manajemen Tingkat atas
- Adanya penolakan dari manajer terhadap sebuah perubahan

2.5 Activity Based Management dan Akuntansi Pertanggungjawaban


Activity Based Management (ABM) dan Akuntansi Pertanggungjawaban Akuntansi
pertanggungjawaban adalah alat fundamental untuk pengendalianmanajemen dan
ditentukan melalui empat elemen penting, yaitu:
a. pemberiantanggung jawab,
b. pembuatan ukuran kinerja ataubenchmarking ,
c. pengevaluasian kinerja, dan
d. pemberian penghargaan.

18
Tujuan dari akuntansi pertanggungjawaban adalah untuk memengaruhi perilaku
dalam cara tertentusehingga kegiatan perusahaan akan disesuaikan untuk mencapai tujuan
bersama.Dalam perkembangannya, ada perubahan dalam sistem akuntansi
pertanggungjawaban, yang terdiri dari: (1) berdasarkan fungsional (keuangan), (2)aktivitas,
dan (3) strategi.
Sistem Akuntansi pertanggungjawaban berdasarkan keuangan memberikantanggung
jawab pada berbagai unit perusahaan dan menyatakan berbagai ukurankinerja dalam bentuk
keuangan.
Sedangkan, sistem akuntansi pertanggungjawaban berdasarkan aktivitas merupakan
suatu sistem akuntansiyang dikembangkan oleh perusahaan yang beroperasi dalam
lingkungan yangmengalami perbaikan berkelanjutan.
Untuk mempermudah dalam membedakanantara sistem akuntansi berdasarkan
keuangan dengan berdasarkan aktivitas, akandisajikan perbedaanya melalui empat elemen
penting berikut :
a. Pemberian tanggung jawab

Pertanggungjawaban berdasarkan keuangan dipusatkan pada unit perusahaan(misalnya:


pabrik, department, atau lini produksi). Segala jenis unitfungsional diberikan tanggung
jawabnya kepada individu. Tanggung jawabini didefinisikan dalam bentuk keuangan yang
penekanannya adalah untuk pencapaian hasil keuangan yang optimal pada tingkat lokal
(contoh: tingkatunit perusahaan). Pertanggungjawaban berdasarkan aktivitas dipusatkan
pada proses atauaktivitasnya. Dengan tanggung jawab lebih ditekankan kepada tim
sertaoptimalisasi sistem dilakukan secara keseluruhan. Dengan tanggung jawabkeuangan
tetap menjadi hal utama untuk mencapai hasil keuangan yang optimal.
b. Penetapan Ukuran Kerja

Setelah tanggung jawab ditetapkan, ukuran kinerja harus diidentifikasi dan standar harus
ditetapkan agar berfungsi sebagaibenchmarkinguntuk ukuran kinerja. Anggaran dan
perhitungan biaya standar adalah tahap penting dalam aktivitasbencmarkinguntuk sistem
berdasarkan keuangan dengan ukuran kinerja bersifat objektif dan relative stabil
sepanjang tahun. Sedangkan pada sistem berdasarkan proses, ukuran kinerja lebih

19
berorientasi pada proses serta standar ukuran kerja dapat berubah (dinamis). Yang
manastandar optimal itu dibutuhkan untuk pencapaian target utama.
c. Evaluasi Kinerja

Dalam kerangka kerja berdasarkan keuangan, kinerja diukur denganmembandingkan


berbagai hasil sesungguhnya dengan hasil yangdianggarkan. Serta kinerja keuangan lebih
ditekankan untuk mencapai hasilkeuangan yang optimal. Sedangkan, kerangka kerja yang
berdasarkan aktivitas lebih berkaitan dengankinerja daripada perspektif keuangan.
Adanya pengurangan waktu dan pengurangan biaya diharapkan mampu memberikan
hasil yang tetap berkualitas tinggi kepada pelanggan.
d. Pemberian Penghargaan

Dari kedua sistem ini, instrument keuangan relatif sama (gaji, bonus, pembagian laba dan
promosi) dalam memberikan penghargaan atas kinerjayang telah dilakukan secara baik.
Namun, dalam sistem yang berdasarkan aktivitas, pemberian penghargaan inirelatif lebih sulit
dikarenakan penghargaan ini diberikan secara berkelompok/tim. Lain halnya dengan sistem
berdasarkan keuangan, dimana tanggung jawabdiberikan kepada masing-masing individu.
Sehingga dalam pemberian penghargaannya relatif lebih mudah karena setiap penghargaan
yangdiberikan akan diterima oleh individu terkait yang kinerjanya optimal

2.6 Studi Kasus (Implementasi)


2.6.1 Implementasi Pada PT. Pesona Arnos Betom Gresik
PT. Pesona Arnos Beton Gresik bergerak di bidang perdagangan umum, terutama
menyediakan material bangunan dan konstruksi untuk memenuhi tuntutan pembangunan
berkelanjutan. Tempat PT. Pesona Arnos Beton Gresik hanya memiliki satu lokasi yang
digunakan sebagai kantor dan tempat proses produksi produk yang dijualnya.
PT. Pesona Arnos Beton Gresik sebelumnya adalah CV yang memproduksi paving dan
beton, yang kemudian dijual ke luar kota dan sebagian di kota sendiri. PT. Pesona Arnos Beton
Gresik memiliki dua plan mesin pecah batu, dan abu batu asli digunakan untuk membuat
paving berkualitas tinggi.
1. Biaya Produksi

20
Berikut adalah tabel biaya produksi pada PT. Pesona Arnos Beton Gresik.

2. Mengidentifikasi Aktivitas Produksi

3. Analisis Pemicu Biaya


Pemicu biaya adalah komponen yang mengubah output berdasarkan aktivitas
yang menyebabkan perubahan biaya. Tujuannya adalah untuk menciptakan perbedaan
aktivitas yang menghasilkan biaya penyimpanan atau pengadaan.
Beberapa kategori pemicu biaya adalah sebagai berikut:
1. Biaya Penjualan:
a. Biaya Pengiriman Produk
b. Biaya Tenaga Kerja
2. Biaya Umum:
a. Biaya Gaji
b. Biaya Listrik
c. Biaya Perbaikan Mesin
d. Biaya Penyusutan

21
4. Pembebanan Biaya Produksi

5. Analisis Aktivitas
Menurut konsep Activity Based Management, aktivitas yang tidak menambah nilai
akan dieleminasikan. Aktivitas yang tidak menghasilkan nilai tambah dibagi menjadi dua
kategori. Yang pertama adalah aktivitas yang tidak dapat ditiadakan, dan yang kedua adalah
aktivitas yang tidak menghasilkan nilai tambahan (value added) bagi perusahaan, tetapi
aktivitas ini diperlukan dalam proses produksi meskipun memberikan nilai yang kecil. Aktivitas
yang dapat ditiadakan berdampak besar pada nilai tambahan perusahaan dan harus
dihilangkan.
Aktivitas non value added dan bisa dihilangkan yaitu:
1. Penyimpanan Produk
2. Perbaikan Mesin Paving Blok
Aktivitas yang non value added namun tidak dapat dihialngkan yaitu:
1. Pencampuran Warna
2. Pemeliharaan Mesin

6. Pengukuran Kinerja

22
Tabel tersebut menunjukkan biaya value added dan non value added pada setiap
aktivitas PT. Pesona Arnos Beton Gresik. Dalam hal ini, pengelola harus mengelola kegiatan
yang tidak memiliki nilai tambah agar produksi lebih efisien dan efektif.

7. Efisiensi Biaya
Biaya-biaya:
1. Biaya sebelum eliminasi = Rp 2.349.600.000
2. Biaya setelah eliminasi = Rp 1.117.860.000
3. Biaya tidak bernilai tambah = Rp 440.400.000

Dari hasil di atas diperlihatkan bahwa metode ABM ini benar dapat memberikan
peningkatan pada efisiensi biaya di PT. Pesona Arnos Beton Gresik sejumlah 21%. Dengan
melalui eliminasi kegiatan dengan cara mengurangi atau menghilangkan aktivitas yang tidak
mempunyai nilai tambah.

23
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
Activity Based Management (ABM) merupakan pendekatan terintegrasi dalam
pengelolaan sumber daya dan aktivitas perusahaan dengan fokus pada peningkatan nilai
produk atau jasa bagi pelanggan serta laba perusahaan. Melalui identifikasi aktivitas,
pemisahan aktivitas bernilai tambah dan tidak bernilai tambah, serta analisis yang
berkelanjutan, ABM memungkinkan perusahaan untuk mengoptimalkan proses secara
efisien. Dukungan budaya organisasi, manajemen puncak, perubahan proses, dan pelatihan
karyawan menjadi kunci keberhasilan implementasi ABM.
Dimensi biaya dan proses merupakan landasan bagi pengelolaan yang efektif dalam
ABM, memberikan informasi yang diperlukan untuk mengidentifikasi sumber daya, aktivitas,
dan kinerja perusahaan. Langkah-langkah implementasi ABM, seperti identifikasi aktivitas,
penentuan nilai-nilai waktu dan biaya, serta pengelompokkan aktivitas, menjadi penting
untuk memperbaiki proses secara berkesinambungan. Keberhasilan implementasi ABM
ditentukan oleh dukungan manajemen, perubahan proses yang efektif, dan pelatihan
karyawan.
Dengan memanfaatkan konsep ABM dan keterkaitannya dengan akuntansi
pertanggungjawaban, perusahaan dapat meningkatkan kinerja, mengoptimalkan
pengambilan keputusan, dan mencapai tujuan bisnis secara efisien dan berkelanjutan. Sistem
pengelolaan yang terintegrasi, didukung oleh budaya organisasi yang kuat dan dukungan
manajemen yang berkelanjutan, akan membawa perusahaan menuju kesuksesan jangka
panjang dalam lingkungan bisnis yang dinamis.
3.2 Saran
Perlu untuk mempertimbangkan penerapan Activity Based Management (ABM)
sebagai pendekatan manajemen yang komprehensif. Langkah-langkah awal termasuk
mengidentifikasi aktivitas yang memberikan nilai tambah bagi pelanggan dan memisahkan
aktivitas yang tidak bernilai tambah. Dukungan manajemen puncak dan pelatihan
berkelanjutan bagi karyawan juga sangat penting. Selain itu, penting untuk memahami
dimensi biaya dan proses dalam ABM serta melaksanakan langkah-langkah implementasi
secara sistematis dan berkesinambungan. Dukungan manajemen puncak diperlukan dalam
mendorong perubahan proses yang diperlukan untuk implementasi ABM yang efektif.
Terakhir, integrasi ABM dengan sistem akuntansi pertanggungjawaban perlu diperkuat untuk
meningkatkan kinerja dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Kolaborasi antar
departemen dan transparansi dalam pengelolaan biaya dan aktivitas juga perlu ditingkatkan.
Dengan demikian, penerapan ABM dapat menjadi landasan yang kuat bagi perusahaan dalam
menghadapi tantangan bisnis yang kompleks.

24
DAFTAR PUSTAKA

Hansen, Don R., Maryanne M. Mowen. (2006). Cost Management: Accounting and
Control. Fifth Edition. South Western College Publishing, Australia

Fernanda, Y. Fefi, Putri Y. (2018). Seminar Akuntansi Manajemen: Activity Based


Management. Padang

Universitas Atma Jaya (2016). Activity Based Management, Jakarta Selatan

Tri. Desi, R. Ani, Anggraini. (2019). Implementasi Kaizen Dalam Meningkatkan Kinerja (Studi
Kasus Perusahaan Manufaktur Di Tangerang) Jurnal Ecodemica, Vol. 3, No. 2 September 2019

D. Dinah, D. Lely. (2019). Penerapan Kaizen Costing Dengan Menggunakan Activity Based
Management Untuk Mengurangi Biaya Produksi Pada Pabrik Susu X

Eke Wince. (2018). Benchmarking dalam Manajemen Sebuah Perpustakaan. Benchmarking


dalam Manajemen Sebuah Perpustakaan Vol 2, No 1

Ayu, Y. S., & Nugroho, M. (2023). Analisis Penerapan Metode Activity Based Manegement
Untuk Meningkatkan Efisiensi Biaya Produksi Pada PT. Pesona Arnos Beton Gresik. Journal of
Student Research (JSR), Volume 1, No. 2, 122-137.

Kaplan, R.S., & Cooper, R. (1998). Cost & Effect: Using Integrated Cost Systems to Drive
Profitability and Performance. Boston: Harvard Business Press.

25

Anda mungkin juga menyukai