OLEH:
1. HUSNAWATI (E1M016028)
2.
PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2018
KARAKTERISTIK, MODEL-MODEL, DAN PENDEKATAN EVALUASI
PEMBELAJARAN
Dalam proses evaluasi pembelajaran atau dalam proses asesmen dan evaluasi hasil
belajar, guru sering menggunakan instrumen tertentu, baik test maupun non-test (observasi,
interview, skala sikap, kuesioner, dan lain-lain). Instrumen ini memiliki suatu fungsi dan
peranan yang sangat penting dalam rangka mengetahui efektifitas proses pembelajaran di
sekolah. Untuk mengingatkan bagaimana pentingnya suatu instrumen evaluasi dari aktifitas
pembelajaran, maka suatu instrumen haruslah memiliki kondisi tertentu dan juga dapat
menunjukkan karakteristik instrumen tersebut. Pada penggunaan praktis di sekolah, guru
seringmembuat instrumen tanpa mengikuti aturan-aturan berikut.
Evaluasi sangat berguna untuk meningkatkan kualitas sistem pembelajaran. Telah
dijelaskan sebelumnya posisi dan pentingnya evaluasi dalam pembelajaran, baik dari sudut
pandang tujuan maupun fungsinya atau dari sudut pandang sistem pembelajaran itu sendiri.
Evaluasi tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran, sebab efektifitas pembelajaran hanya
dapat diketahui melalui evaluasi. Dengan kata lain, melalui evaluasi semua komponen
pembelajaran dapat diketahui apakah berfungsi dengan baik atau tidak. Guru dapat
mengetahui tingkat kemampuan siswa; dalam kelompok atau secara personal. Guru dapat
juga melihat beberapa kemajuan hasil belajar siswa, baik dalam ranah kognitif, afektif,
maupun psikomotorik. Akhirnya, guru akan memperoleh gambaran tentang efektifitas proses
pembelajaran.
Pemahaman akan instrumen ini menjadi penting sebab di dalam praktek-praktek
evaluasi dan asesmen, umumnya, guru selalu melakukannya berdasarkan proses pengukuran.
Dalam pengukuran, tentu saja harus terdapat instrumen, apakah dalam bentuk test atau non-
test. Harus diakui, ada instrumen yang baik dan buruk. Suatu instrumen yang baik adalah
instrumen yang dapat mengisi kondisi-kondisi atau aturan-aturan tertentu, yang dapat
memberikan data yang akurat yang mengacu pada fungsinya dan hanya mengukur sikap
sampel tertentu. Karakteristik instrumen evaluasi yang baik adalah valid, reliabel, relevan,
representatif, praktis, diskriminitatif, spesifik, dan proporsional.
a. Valid
Suatu instrumen dikatakan valid jika instrumen tersebut benar-benar mengukur apa
yang akan diukur dengan tepat. Sebagai contoh, instrumen untuk subjek sosial, maka
instrumen tersebut harus benar-benar mengukur kemampuan siswa dalam subjek tersebut
dan hanya pada subjek tersebut. Tidak dapat dicampur dengan subjek lain. Sama seperti
ketika instrumen tersebut digunakan untuk meng-ases metode, media, kinerja guru, dan
komponen-komponen lainnya. Validitas instrumen evaluasi dapat dipandang dari berbagai
sudut, misalnya sebagai validitas prediktif, validitas concurrent, validitas isi, validitas
konstruksi, dan lain-lain.
Alat ukur di katakan valid apabila alat ukur itu dapat dengan tepat mengukur apa yang
hendak di ukur. Dengan kata lain validitas berkaitan dnegan “ketepatan” dengan alat ukur.
Tes sebagai salah satu alat ukur hasil belajar dapat di katakan valid apabila tes itu dapat
tepat mewngukur hasil belajar yang hendak di ukur. Dengan tes yang valid akan
menghasilkan data hasil belajar yang valid pula.
Contoh:
Untuk mengukur tingkat partisipasi siswa dalam proses pembelajaran, bukan di ukur
melalui skor nilai yang di peroleh pada waktu ulangan, tetapi di lihat melalui:
- Kehadiran
- Terpusatnya perhatian
- Ketepaan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan guru dalam arti relevan pada
permasalahannya.
Nilai yang di peroleh pada waktu ulangan, bukan menggambarkan partisipasi, tetapi
menggambarkan prestasi belajar.
Untuk tes hasil belajar, aspek validitas yang paling penting adalah validitas isi.Yang
di maksud dengan validitas isi adalah ukuran yang menunjukan sejauh mana skor dalam
tes berhubungan dengan penguasaan peserta tes dalam bidang studi yang di uji melalui
perangkat tes tersebut.
Untuk mengetahui tingkat validitas isi tes, di perlukan adanaya penilaian ahli yang
menguasai bidang studi tersebut.Jadi bersifat analisis kualitatif.Orang yang tidak
menguasai isi bidang studi yang di tes tentu saja tidak dapat melakukan penilaian tentang
tes isi tes.
b. Reliabel
Suatu instrumen dikatakan reliabel jika instrumen tersebut memiliki hasil yang konsisten.
Sebagai contoh, seorang guru mengembangkan instrumen test yang akan diberikan kepada
sekelompok siswa dan kemudian diberikan lagi pada waktu yang berbeda, dan
kenyataannya, diperoleh hasil yang sama atau mendekati, sehingga instrumen tersebut
dapat dikatakan memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi.
c. Objektivitas
Objektif berarti tidak adanya unsur pribadi yang memengaruhinya.Lawan dari objektif
adalah subjektif, artinya terdapat uunsur pribadi yang masuk memengaruhi.Sebuah tes di
katakan memiliki objektivitas apabila dalam melaksanakan tes tidak ada faktor subjektif
yang memengaruhi terutama dalam sistem skoringnya.
Ada dua faktor yang memengaruhi subjektivitas dari suatu tes, yaitu bentuk tes dan
penilai.
1) Bentuk tes uraian akan memberi banyak kemungkinan kepada penilai untuk
memberikan penilaian menurut caranya sendiri. Dengan demikian maka hasil dari
seorang siswa yang mengerjakan soal dari sebuah tes ,akan memperoleh skor yang
berbeda apabila di nilai oleh dua orang. Itulah sebabnya pada waktu sekarang ini ada
kecenderungan penggunaan tes objektif di brerbagai bidang. Untuk menghindari
masuknya unsur subjektivitas dari penilai, maka sistem skoringnya dapat di lakukan
dengan sebaik-baiknya, antara lain dengan membuat pedoman skoring terlebih
dahulu.
2) Subjektivitas dari penilai akan dapat masuk secara lebih leluasa terutama bentuk tes
uraian. Faktor-faktor yang memengaruhi subjektivitas penilai antara lain : kesan
penilai terhadap siswa (hallo effect), bentuk tulisan, gaya bahasa yang di gunakan
peserta tes, waktu mengadakan penilaiann, kelelahan dan sebagainya.
Untuk menghindari atau mengurangi masuknya unsur subjektivitas dalam penilaian maka
penilaian harus di laksanakan:
(a) Secara kontinu (terus menerus) sehingga akan di peroleh gambaran yang lebih jelas
tentangkeadaan siswa. Tes yang di adakan secara on the spot dan hanya
satu kali (on shoot) atau dua kali, tidak akan memberikan hasil yang objektif tentang
keadaan siswa. Kalau misalnya ada seorang anak yang sebetulnya pandai, tetapi pada
waktu guru ,mengadakan tes dia sedang dalam kondisi yang jelek. Hal ini tidak
menggambarkan kemampuan anak yang sebenarnya.
(b) Secara komprehensif (menyeluruh) yaitu mencakup keseluruhan materi, mencakup
berbagai aspek berpikir (ingatan, pemahaman, analisis, aplikasi dan sebagainya), dan
melalui berbagai cara yaitu tes tertulis, tes lisan, tes perbuatan,pengamatan dan
sebagainya.
d. Relevan
Artinya, instrumen harus cocok dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan
indikator yang ditentukan. Dalam hubungannya dengan asesmen hasil belajar, instrumen
haruslah cocok dengan domain hasil belajar, seperti domain kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Jangan pernah menginginkan mengukur domain kognitif menggunakan
instrumen non-test. Hal ini tidak relevan.
e. Representatif
Mempunyai arti materi instrumen haruslah benar-benar merepresentasikan keseluruhan
silabus sebagai referensi untuk memilih materi test. Guru juga harus memberi perhatian
kepada proses pemilihan materi; materi mana yang aplikatif dan yang tidak; materi mana
yang penting dan yang tidak penting.
f. Praktis
Artinya, mudah digunakan. Jika instrumen dalam kondisi yang baik dan lengkap tetapi
sulit digunakan, artinya instrumen tersebut tidak praktis. Kepraktisan tidak hanya
dipandang dari tehnik susunan instrumen, tetapi juga dari pengguna lainnya.
Tes yang praktis adalah tes meliputi:
a. Mudah di laksanakan, artinya tidak menuntut peralatan yang banyak dan memberi
kebebasan kepada siswa untuk mengerjakan terlebih dahulu bagian yang di anggap
mudah oleh siswa.
b. Mudah pemeriksaannya, artinya bahwa tes itu di lengkapi dengan kunci jawaban
maupun pedoman skoringnya. Untuk soal bentuk objektif, pemeriksaan akan lebih
mudah di lakukan jika dimkerjakan oleh siswa dalam lembar jawaban.
c. Di lengkapi dengan petunjuk-petunjuk sehingga dapat di berikan oleh orang lain.
g. Diskriminatif
Artinya, instrumen harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat menunjukkan bahkan
perbedaan yang paling kecil. Semakin baik suatu instrumen, semakin dapat menunjukkan
perbedaan secara tepat. Untuk mengetahui apakah suatu instrumen cukup diskriminatif
atau tidak, biasanya dilakukan satu test indeks diskriminasi instrumen.
h. Spesifik
Artinya, suatu instrumen disusun dan secara spesifik digunakan untuk objek yang sedang
dievaluasi. Jika instrumen menggunakan test, maka jawaban test tidak boleh menimbulkan
ambivalensi atau spekulasi
i. Proporsional
Artinya, suatu instrumen harus memiliki tingkat kesulitan yang proporsional, misalnya,
sulit, sedang, dan mudah. Seperti halnya bila kita menentukan jenis instrumen, apakah test
atau non-test.
j. Ekonomis
Yang di maksud ekonomis di sini adalah bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak
membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak dan waktu yang lama.
Pada prinsipnya evaluasi tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran, karena keefektifan
pembelajaran hanya dapat diketahui melalui evaluasi. Dengan kata lain, melalui evaluasi
semua komponen pembelajaran dapat diketahui apakah dapat berfungsi sebagaimana
mestinya atau tidak.Guru dapat mengetahui tingkat kemampuan peserta didik, baik secara
kelompok maupun perseorangan.
Dalam buku Succesful Teaching karangan J.Mursell yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh J. Mursell dan S.Nasution (1997 : 23) dikemukakan bahwa ciri-ciri evaluasi
yang baik adalah “evaluasi dan hasil langsung, evaluasi dan transfer, dan evaluasi langsung
dari proses belajar”.
3. Model-model Evaluasi
Pada tahun 1949, Tyler mengembangkan model kotak hitam. Setelah waktu tersebut,
tidak ada model lain yang muncul. Lebihdari 10 tahun, orang-orang yang melakukan evaluasi
hanya menggunakan model evaluasi tersebut. Hal ini kemungkinan karena evaluasi tidak
menjadi studi yang spesifik. Pada saat itu, orang-orang belajar evaluasi dari perspektif
psikometrik dengan fokus utama pada test dan pengukuran. Evaluasi dilaksanakan lebih
kepada dimensi hasil, belum kepada dimensi lain. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
evaluasi dilakukan orang-orang yang “terbentuk” dalam test dan pengukuran. Studi tentang
evaluasi belum menarik perhatian orang-orang sebab evaluasi memiliki sedikit nilai praktis.
Sekitar tahun 1960an studi tentang evaluasi dimulai secara independen menjadi satu program
studi di universitas.
Kemudian, sekitar tahun 1972, model evaluasi mulai dikembangkan. Sebagai contoh,
Taylor dan Cowley sukses mengumpulkan berbagai ide/pemikiran tentang model evaluasi
dan dipublikasikan dalam buku. Model evaluasi yang dikembangkan digunakan lebih sebagai
pendekatan positifisme yang berakar pada teori psikometrik. Dalam model tersebut, atmosfir
test dan pengukuran masih tetap sangat kuat, walaupun tidak identik dengan evaluasi.
Penggunaan rancangan eksperimen seperti yang dinyatakan oleh Campbell dan Stanley
(1963) menjadi karakter utama dari model evaluasi. Pengembangan model evaluasi tersebut
di tahun 1970an dimulai dengan munculnya pandangan lain dari para ahli. Pandangan lain
tersebut didasarkan pada paradigma phenomenology yang menunjukkan banyak model
evaluasi.
Dari sekian banyak model evaluasi yang telah diberikan, test dan pengukuran tidak
menentukan posisi lagi. Penggunaannya hanya untuk tujuan tertentu, bukan menjadi
kewajiban lagi, seperti ketika model pertama ditampilkan. Test dan pengukuran tidak menjadi
parameter kualitas dari suatu studi tentang evaluasi yang dilaksanakan. Pengembangan lain
yang menarik dalam model evaluasi ini adalah timbulnya usaha mengambil sikap ekliktik
dalam penggunaan pendekatan positifisme atau phenomenology yang disebut oleh Patton
(1980) sebagai paradigma pilihan.
Dalam mempelajari evaluasi, terdapat banyak model evaluasi dengan format atau
sistematik yang berbeda, walaupun terdapat beberapa format dan sistematik yang sama.
Sebagai contoh, Said Hamid Hasan (1988) mengelompokkan model evaluasi ke dalam dua
kelompok, yaitu (1) model evaluasi kuantitatif, melibatkan model Tyler, model teori Taylor
dan Maguire, model sistem pendekatan Alkin, model Countenance Stake, model CIPP, dan
model mikroekonomi. (2) model evaluasi kualitatif, melibatkan model studi kasus, model
iluminatif, dan model responsif.
Nana Sudjana dan R. Ibrahim (2007:234) mengelompokkan evaluasi ke dalam empat
model utama, yaitu “pengukuran, keselarasan, sistem pendidikan, dan iluminasi”
Sementara itu, Kaufman dan Thomas dalam Suharsini Arikunto dan Cepi Safrudin AJ
(2007) membedakan model evaluasi ke dalam delapan pengertian, yaitu:
1. Model evaluasi berorientasi tujuan yang dikembangkan oleh Tyler
2. Model orientasi tujuan yang dikembangkan oleh Scriven
3. Model evaluasi formatif – sumatif yang dikembangkan oleh Michael Scriven
4. Model evaluasi countenance yang dikembangkan oleh Stake
5. Model evaluasi responsif yang dikembangkan oleh Stake
6. Model evaluasi CSE – UCLA, menekankan pada “kapan” evaluasi dilaksanakan
7. Model evaluasi CIPP dikembangkan oleh Stufflebeam
8. Model discrevancy dikembangkan oleh Provus.
Dalam studi tentang evaluasi banyak sekali dijumpai model-model evaluasi dengan format
atau sistematika yang berbeda, sekalipun dalam beberapa model ada juga yang sama.
Misalnya saja, Said Hamid Hasan (2009), mengelompokkan model pendekatan evaluasi
sebagai berikut:
1. Model Evaluasi Kuantitatif
Evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan
data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme.Sehingga model-
model evaluasi kuantitatif yang ada menekankan peran penting metodologi kuantitatif dan
penggunaan tes. Ciri berikutnya dari model-model kuantitatif adalah tidak digunakannya
pendekatan proses dalam mengembangkan criteria evaluasi. Adapun diantara model-model
evaluasi kurikulum yang terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah sebagai
berikut:
a. Model Black Box Tyler
Model evaluasi Tyler di bangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada
tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peseta
didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah
melaksanakan kurikulum tersebut.
Berdasar pada dua prinsip ini maka Tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi
kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil belajar.
Prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut:
1). Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Tujuan kurikulum yang
dimaksud disini adalah model tujuan behavioral.Dan model ini di Indonesia sudah
dikembangkan sejak kurikulum 1975.Adapun untuk kurikulum KTSP saat ini maka
harus mengembangkan tujuan behavioral ini jika berkenaan dengan model kurikulum
berbasis kompetensi.
2). Menentukan situasi dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk
memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan. Dari langkah ini
diharapkan evaluator memberikan perhatian dengan seksama supaya proses
pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil belajar yang dirancang kurikulum.
3).Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk megukur tingkah laku peserta
didik. Alat evaluasi ini dapat berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara
dan sebagainya.Adapun instrument evaluasi ini harus teruji validitas dan
reliabilitasnya. Inilah tiga prosedur dalam evaluasi model Tyler.
Kelemahan dari model Tyler ini adalah tidak sejalan dengan pendidikan karena focus
pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk
dari proses belajar. Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan
komponen penting dari kurikulum.
Adapun kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator dapat
memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil
belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi focus evaluasi.
e. Model CIPP
Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketuai oleh Stufflebeam.
Sehingga sesuai dengan namanya, model CIPP ini memiliki empat jenis evaluasi yaitu:
Evaluasi Context (konteks), Evaluasi Input (masukan), Evaluasi Process (proses), dan
Evaluasi Product (hasil). Keempat jenis evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Evaluasi Context, Tujuan utama dari evaluasi context adalah untuk mengetahui
kekuatandan kelemahan evaluan. Evaluator mengidentifikasi berbagai factor guru,
peserta didik, manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran komite
sekolah, masyarakat dan factor lain yang mungkin berpengaruh terhadap kurikulum.
2) Evaluasi Input; Evaluasi ini penting karena untuk pemberian pertimbangan terhadap
keberhasilan pelaksnaan kurikulum. Evaluator menentukan tingkat kemanfaatan
berbagai factor yang dikaji dalam konteks pelaksanaan kurikulum. Pertimbangan
mengenai ini menjadi dasar bagi evaluator untuk menentukan apakah perlu ada revisi
atau pergantian kurikulum.
3) Evaluasi proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan dari suatu inovasi kurikulum.
Evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai keterlaksanaan implementasi
kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan proses implementasi. Evaluator harus
merekam berbagai pengaruh variable input terhadap proses.
4) Product Adapun tujuan utama dari evaluasi hasil adalah untuk menentukan sejauh
mana kurikulum yang diimplementasikan tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan
kelompok yang menggunakannya. Evaluator mengumpulkan berbagai macam
informasi mengenai hasil belajar, membandingkannya dengan standard dan
mengambil keputusan mengenai status kurikulum (direvisi, diganti atau dilanjutkan).
f. Model Ekonomi
Mikro Model ekonomi mikro adalah model yang menggunakan pendekatan
kuantitatif.Sebagaimana model kuantitatif lainnya, maka model ekonomi mikro ini focus
pada hasil (hasil dari pekerjaan, hasil belajar dan hasil yang diperkirakan).
Adapun pertanyaan besar dalam ekonomi mikro adalah apakah hasil belajar yang
diperoleh peserta didik adalah sesuai dengan dana yang dikeluarkan?
Model dilingkungan ekonomi mikro ada empat, adapun yang tepat digunakan dalam
evaluasi kurikulum adalah model cost effectiveness.
Dalam model cost effectiveness ini seseorang evaluator harus dapat
membandingkan dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang digunakan
untuk masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap program.
Perbandingan hasil ini akan memberikan masukan bagi pembuat keputusan mengenai
program mana yang lebih menguntungkan dilihat dari hubungan antara dana dan hasil.
Dalam mengukur hasil di gunakan instrument yang sudah di
standarisasi.Pengunaan instrument standar penting karena dengan demikian perbandingan
antara biaya dan hasil dapat dilakukan secara berimbang.
b. Model Iluminatif
Model ini mendasarkan dirinya pada paradigma antropologi social.Model ini juga
memberikan perhatian tidak hanya pada kelas dimana suatu inovasi kurikulum
dilaksanakan.Jika model pengukuran dan keselarasan lebih berorientasi pada evaluasi
kuantitatif-terstruktur, model ini lebih menekankan evaluasi terbuka (open-ended).
Aktifitas evaluasi dihubungkan dengan pembelajaran milieu, dalam hubungannya dengan
sekolah sebagai materi dan psikososial, lingkungan, dimana guru dan siswa dapat
berinteraksi satu sama lain.Tujuan evaluasi adalah untuk mempelajari pelaksanaan sistem
pembelajaran secara tepat dan hati-hati, faktor-faktor yang mempengaruhinya, kelebihan
dan kekurangan sistem, dan pengaruh sistem terhadap pengalaman belajar siswa. Hasil
evaluasi lebih beratribut deskriptif dan interpretatif, bukan pengukuran dan
prediksi.Evaluasi berfungsi sebagai input untuk mengambil keputusan dalam rangka
menepatkan dan menyempurnakan sistem pembelajaran yang sedang berkembang.
Objek dari evaluasi melingkupi latar belakang dan perkembangan sistem
pembelajaran, proses pelaksanaan sistem pembelajaran, hasil belajar siswa, kesulitan
dihadapkan sejak perencanaan hingga pelaksanaan, termasuk efek samping dari sistem
pembelajaran itu sendiri. Pendekatan yang digunakan lebih mirip dengan pendekatan yang
diaplikasikan dalam sosial-antropologi, psikiatri, dan bidang-bidang sosiologi. Cara-cara
yang digunakan tidak beratribut standar, tetapi fleksibel dan selektif. Berdasarkan pada
tujuan dan pendekatan evaluasi ini, terdapat tiga fase evaluasi yang harus dilalui, seperti
mengobservasi, inkuiri lanjutan, dan mencari penjelasan.
Dasar konsep yang digunakan model ini adalah:
1) System intruksi
System intruksional disini diartikan sebagai catalog, perpekstus, dan laporan-laporan
kependidikan yang secara khusus berisi berbagai macam rencana dan pernyataan yang
resmi berhubungan dengan pengaturan suatu pengajaran.KTSP sebagai hasil
pengembangan standar isi dan standar kompetensi lulusan di suatu satuan pendidikan
adalah suatu system instruksi.
2). Lingkungan belajar
Lingkungan belajar ialah lingkungan social-psikologis dan materi dimana guru dan
peserta didik berinteraksi.
Kegiatan pelaksanaannya, model evaluasi iluminatif memiliki tiga langkah kegiatan,
antara lain:
1) Observasi
Dalam observasi evaluator dapat mengamati langsung apa yang sedang terjadi disuatu
satuan pendidikan. Evaluator dapat melakukan studi dokumen, wawancara,
penyebaran kuesioner, dan melakukan tes untuk mengumpulkan informasi yang
diperlukan.Isu pokok, kecenderungan, serta persoalan yang teridentifikasi merupakan
pedoman bagi evaluator untuk masuk kedalam langkah berikutnya.
2) Inkuiri lanjutan
Dalam tahap inkuiri lanjutan ini evaluator tidak berpegang teguh terhadap temuannya
dalam langkah pertama.Kegiatan evaluator dalam tahap ini adalah memantapkan isu,
kecenderungan, serta persoalan-persoalan yang ada sampai suatu titik dimana
evaluator menarik kesimpulan bahwa tidak ada lagi persoalan baru yang muncul.
3) Usahan Penjelasan
4) Dalam langkah memberikan penjelasan ini evaluator harus dapat menemukan prinsip-
prinsip umum yang mendasari kurikulum disatuan pendidikan tersebut.
c. Model Responsif
Model responsif sangat menekankan terutama sekali pada kedudukan-kedudukan,
pertanyaan-pertanyaan, dan masalah-masalah yang ditemui oleh perhatian para pendengar
yang berbeda oleh di bawah program evaluasi.
Menurut Scriven (Guba dan Lincoln (1981), model evaluasi responsif memungkinkan
mengambil dua orientasi mayor (utama) yang mana saling melengkapi satu sama lain:
1) Pembatasan terhadap kegunaan atau manfaat yang benar-benar ada yang sedang
dievaluasi.
Sama seperti model iluminatif, model ini juga menekankan pada pendekatan kualitatif-
naturalistik. Evaluasi tidak sama dengan pengukuran tetapi pemberian makna atau
deskripsi suatu kenyataan dari berbagai perspektif orang-orang yang terlibat, tertarik dan
berhubungan dengan program pembelajaran. Tujuan evaluasi adalah untuk memahami
semua komponen program pembelajaran melalui berbagai pandangan yang berbeda.
Menurut pendekatan yang digunakan umumnya mengandalkan pada observasi langsung
dan tidak langsung dengan interpretasi data yang mengesankan. Langkah-langkah aktifitas
evaluasimelibatkan observasi, merekam hasil interview, pengumpulan data, pemeriksaan
pemahaman awal siswa, dan perkembangan rancangan atau model. Berdasarkan pada
langkah-langkah tersebut, evaluator mencoba responsif terhadap orang-orang terkait hasil
evaluasi. Hal yang penting dalam model responsif adalah pengumpulan data dan sintesis.
Kelebihan model ini adalah sensitif terhadap berbagai pandangan dan mampu
mengakomodasi pendapat yang ambigu dan yangtidak fokus, sementara kelemahannya:(a)
pembuat keputusan sulit menentukan prioritas atau menyederhanakan informasi, (b) tidak
mungkin menerima semua pandangan dari berbagai kelompok, (c) memerlukan waktu dan
energi. Evaluator harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang diobservasi.
4. Pendekatan Evaluasi
Pendekatan adalah sudut pandang dari seseorang untuk mempelajari sesuatu. Selanjutnya,
pendekatan evaluasi adalah merupakan sudut pandang dari seseorang untuk mencerna atau
untuk mempelajari evaluasi. Dari sudut pandang komponen pembelajaran, pendekatan
evaluasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu evaluasi berbasis kriteria dan evaluasi berbasis
norma. Ada dua jenis pendekatan yaitu:
a) Pendekatan Tradisional
Pendekatan ini berorientasi pada praktek evaluasi yang telah lama dilaksanakan di
sekolah yang bertujuan untuk mengembangkan aspek intelektual siswa. Aspek
pengembangan sikap dan keterampilan kurang mendapat perhatian yang serius. Dengan
kata lain, siswa hanya diminta memahami subjek pembelajaran. Aktifitas evaluasi juga
lebih berfokus pada komponen produk semata, sementara komponen proses cenderung
diabaikan. Hasil analisis dari Spencer memberi gambaran bagaimana pentingnya evaluasi.
Dia menyatakan sejumlah konten pendidikan yang dapat dianggap sebagai dasar
pertimbangan untuk merumuskan tujuan pendidikan secara komprehensif dan kemudian
menjadi acuan dalam pembuatan rencana evaluasi. Faktanya, banyak guru mengalami
kesulitan untuk mengembangkan sistem evaluasi di sekolah sebab bertentangan dengan
tradisi. Sebagai contoh, terdapat tradisi bahwa target passing grade dari tiap sekolah
harus diatas 95% sama seperti untuk passing class. Ada juga tradisi bahwa untuk subjek
tertentu dari pembelajaran, skore siswa dalam buku rapor harus minimum 6.
Sesungguhnya, kebijakan evaluasi menekankan pada kualitas target, yaitu keterkaitan dan
kebermaknaan dengan pendidikan siswa.
b) Pendekatan Sistem
Sistem merupakan totalitas dari banyak komponen yang salinberhubungan dan saling
tergantung antara satu komponen dengan komponen lainnya. Jika pendekatan sistem
terkait dengan evaluasi, maka diskusi lebih berfokus pada komponen evaluasi, melibatkan
kebutuhan dan fisibilitas komponen, input komponen, proses komponen, dan produk
komponen. Dalam bahasa Stufflebeam secara singkat dikatakan CIPP adalah konteks,
input, proses, dan produk. Komponen-komponen tersebut menjadi dasar pertimbangan
dalam sistematika evaluasi pembelajaran. Berbeda dari pendekatan tradisional yang hanya
menyentuh komponen produkyaitu perubahan sikap apa yang sedang dialami siswa
setelah siswa mengikuti proses pembelajaran. Pendekatan ini tentu tidak salah, tetapi
hanya tidak sistematis. Faktanya, hasil belajar tidak pernah muncul tanpa proses, dan
proses tidak bisa berlangsung tanpa input dan guru yang melaksanakan pembelajaran.
Lebih lanjut, akan dinyatakan tentang pendekatan evaluasi yang digunakan untuk
menginterpretasikan hasil evaluasi. Dalam literatur modern tentang evaluasi, terdapat dua
pendekatan yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan hasil evaluasi, yaitu :
a. Criterion-referenced evaluation
Pendekatan ini sering dikatakan sebagai absolute norm assessment. Jika seorang guru
ingin menggunakan pendekatan ini, artinya guru tersebut harus membandingkan hasil
yang diperoleh oleh siswa dengan suatu kriteria tertentu, yang secara absolut telah
ditentukan oleh guru. Guru juga dapat menggunakan langkah-langkah tertentu dalam
mengaplikasikancriterion-referenced evaluation misalnya untuk menentukan skore ideal,
menemukan standar rata-rata dan standar deviasi, kemudian menggunakan nilai konversi
skala acuan. Evaluasi ini cocok digunakan dalam evaluasi informatif yang berfungsi
untuk memperbaiki proses pembelajaran. Umumnya, seorang guru yang menggunakan
criterion-referenced evaluation dapat menyusun skore acuan konversi menjadi skore
standar sebelum aktifitas evaluasi dimulai. Oleh karena itu, hasil pengukuran dari waktu
ke waktu dalam kelompok yang sama atau berbeda dapat dijaga homogenitasnya.
Criterion-referenced evaluationdapat menggambarkan hasil belajar siswa secara objektif
jika alat yang digunakan adalah alat standar.
b. Norm-referenced evaluation
norm-referenced evaluation. Artinya, setelah memperoleh skore mentah dari tiap siswa,
maka langkah berikutnya adalah mengkonversi skore mentah menjadi nilai dengan
menggunakan pendekatan tertentu.Salah satu perbedaan antara criterion-referenced
evaluation dan norm-referenced evaluationadalah pada penggunaan referensi pengukuran
hasil/skore sebagai perbandingan. Pendekatan ini membandingkan skore dari tiap-tiap
siswa dengan teman sekelas. Arti dari nilai dalam bentuk angka atau kualifikasi yang
memiliki atribut relatif. Hal itu berarti jika konversi skore acuan telah disusun untuk satu
kelompok, sehingga acuan tersebut hanya untuk kelompok itu dan tidak untuk kelompok
lain, sebab distribusi skore dari siswa telah berbeda.
KESIMPULAN
Dalam proses evaluasi pembelajaran atau dalam proses asesmen dan hasil belajar, guru
sering menggunakan instrumen tertentu, apakah test atau non-test. Suatu instrumen harus
memiliki kondisi tertentu dan juga dapat menunjukkan karakteristik instrumen. Suatu
instrumen yang baik adalah instrumen dengan kondisi baik atau dengan aturan tertentu, dapat
memberikan data yang akurat mengacu pada fungsinya dan hanya mengukur sampel dengan
sifat tertentu. Karakteristik suatu instrumen evaluasi yang baik adalah valid, dapat
diandalkan, relevan, representatif, praktis, diskriminatif, spesifik, dan proporsional.
Terdapat tiga cara di dalam evaluasi, yaitu: (1) evaluasi dan hasil langsung, (2) evaluasi
dan transfer, (3) evaluasi langsung proses pembelajaran. Dalam mempelajari evaluasi,
terdapat banyak model evaluasi dengan format atau sistematika yang berbeda, bahkan ada
beberapa dengan format atau sistematika yang sama.
Said Hamid Hasan (1988) mengelompokkan model evaluasi sebagai berikut.
1. Model evaluasi kuantitatif, antara lain model Tyler, model teoritis Taylor dan
Maguire,model sistem pendekatan Alkin, model countenance Stake, model CIPP, dan model
mikroekonomi.
2. Model evaluasi kualitatif, meliputi studi kasus, model iluminatif, dan model responsif.
Sementara itu, Kaufman dan Thomas dalam Suharsini Arikunto dan Cepi Safrudin AJ (2007)
membedakan model evaluasi ke dalam delapan kelompok.
Model evaluasi lahir karena keberadaan penjelasan yang berkesinambungan yang dihasilkan
dari pengembangan pengukuran dan kemauan manusia mengaplikasikan prinsip-prinsip
evaluasi pada suatu cakupan yang lebih abstrak termasuk pada bidang pendidikan, sikap, dan
seni.
DAFTAR PUSTAKA
Wahidumurni, Mustikawan, A., Ridho, A., 2010. Evaluasi Pembelajaran, Kompetensi dan
Praktek, Penerbit Nuha Litera, Jogjakarta