Anda di halaman 1dari 13

Ad-Dakhil Bi Al-Ma’tsur

Muhammad Abidtsar Maulana Syarif (2204026153)


Dewi Masithoh (2204026178)
@siswa.walisongo.ac.id
Mar’atul Qonitah (2204026004)
@siswa.walisongo.ac.id
Siti Nur Hidayah (2204026023)
@siswa.walisongo.ac.id
Progam Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakullltas Ushuluddin dan Humaniora
Universitas Islam Negri Walisongo Semarang

Abstrak : Tafsir Al-Qur'an merupakan hasil interpretasi yang dipengaruhi oleh akal dan pemikiran
manusia. Dalam sejarahnya, praktik tafsir telah mengalami penyelewengan yang disebut dengan
istilah "Ad-Dakhil" atau infiltrasi. Penyelewengan ini sering kali terjadi karena pengaruh
subjektivitas, fanatisme, dan kesalahan dalam penafsiran. Ad-Dakhil, secara bahasa, merujuk pada
"penyakit", "aib", "cacat", atau "tamuan" dalam interpretasi Al-Qur'an. Secara istilah, Ad-Dakhil
dalam tafsir mengacu pada tafsir yang tidak memiliki dasar atau sumber agama yang kuat, seperti
hadis-hadis yang lemah atau palsu, riwayat Israilliyat (narrasi Yahudi-Nasrani), atau pendapat-
pendapat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Artikel ini memaparkan berbagai jenis Ad-Dakhil
Bi Al-Ma’tsur, antara lain hadis Maudhu' (palsu), hadis Dha'if (lemah), dan riwayat Israilliyat.
Pemalsuan riwayat, baik yang dinisbatkan kepada sahabat atau tabi'in, juga menjadi contoh nyata
Ad-Dakhil. Misalnya, hadis-hadis yang disusun dengan cara menyalahgunakan nama sahabat atau
menyandarkan pada tabi'in yang tidak valid. Selain itu, artikel ini membahas dampak Ad-Dakhil
dalam pemahaman Al-Qur'an. Penggunaan riwayat palsu atau lemah dapat mengancam akidah umat
Islam, merusak citra Islam, dan mengurangi kepercayaan pada otoritas Islam, seperti ulama salaf.
Contoh dampaknya adalah penafsiran yang menyimpang dari teks asli Al-Qur'an atau penekanan
pada hal-hal yang tidak relevan dengan ajaran Islam. Dengan memahami konsep Ad-Dakhil dalam
tafsir Al-Qur'an, diharapkan para mufassir (penafsir) dapat lebih berhati-hati dalam menggunakan
sumber-sumber interpretasi, serta memastikan keabsahan dan kesesuaian dengan ajaran Islam yang
autentik. Penelitian lebih lanjut mengenai Ad-Dakhil juga diperlukan untuk menjaga kemurnian dan
kesahihan pemahaman terhadap Al-Qur'an sebagai pedoman utama umat Islam.
Kata kunci : Ad-Dakhil Bi Al-Ma’tsur, Infiltrasi, Israilliyat

1
Abstrack : Tafsir of the Qur'an is the result of interpretation influenced by human reason and
thought. Historically, the practice of tafsir has been subjected to a distortion called "Ad-Dakhil" or
infiltration. This distortion often occurs due to the influence of subjectivity, fanaticism, and errors
in interpretation. Ad-Dakhil, linguistically, refers to "disease", "disgrace", "defect", or "appearance"
in the interpretation of the Qur'ān. Ad-Dakhil in tafsir refers to interpretations that do not have a
strong religious basis or source, such as weak or false traditions, Israilliyat (Jewish-Nasrani
narrations), or opinions that are contrary to the teachings of Islam. This article describes the
different types of Ad-Dakhil Bi Al-Ma'tsur, including Maudhu' (false) traditions, Dha'if (weak)
traditions, and Israilliyat narrations. The falsification of narrations whether attributed to the
Companions or the Taabi'in is also a clear example of Ad-Dakhil. For example, traditions are
fabricated by misusing the names of the Companions or attributing them to invalid Taabi'in. In
addition, this article discusses the impact of Ad-Dakhil on Qur'anic understanding. The use of false
or weak narrations can threaten the faith of Muslims, damage the image of Islam, and reduce trust
in Islamic authorities, such as the salaf scholars. Examples of its impact are interpretations that
deviate from the original text of the Qur'an or emphasis on matters that are irrelevant to Islamic
teachings. By understanding the concept of Ad-Dakhil in Qur'anic interpretation, it is hoped that
mufassirs (interpreters) can be more careful in using sources of interpretation, as well as ensuring
validity and conformity with authentic Islamic teachings. Further research on Ad-Dakhil is also
needed to maintain the purity and validity of understanding the Qur'an as the main guide for
Muslims.
Keyword : Ad-Dakhil Bi Al-Ma'tsur, Infiltration, Israilliyat

PENDAHULUAN

Tafsir adalah produk dari akal dan pemikiran manusia. sepanjang tafsir ini adalah produk
dari manusia, hal ini tidak lepas dari kekurangan atapun penyelewengan (ihtiraf). di antaranya
bentuk penyelewengan (ihtiraf) adalah dimasukkannya data-data yang tidak valid ke dalam
pembahasan tafsir al-qur'an yang kemudian disebut al-dakhil (infiltrasi). menurut abdul wahhab
fayed, praktek infiltrasi atau disebut al-dakhil tidak saja terjadi di era kontemporer, tapi secara
genealogis sudah terjadi sejak masa-masa klasik seiring dengan penyebaran islam ke berbagai
penjuru dunia1. Hal ini kita dapat menjumpai dalam beberapa karya tafsir klasik maupun modern.
dengan adanya sitem, orientasi dan metode penafsiran yang tidal sesuai (incompatible).

1
1 Tafsir disebut dengan hasil pemikiran karena semua produk penafsiran (baik yang terkategori tafsir bi al-
ma’tsur, bi al-ra’yi maupun bi al-isyârah) tidak ada yang steril dari kontribusi akal/ijtihad penulisnya. 2 Baca
2
Pada era sahabat sendiri sudah terjadi penyelewengan tafsir, contohnya adalah penafsiran
Qudamah ibn Mazh’un Al-Khathi’ (w.36 H) terhadap Q.S Al-Maidah [5];93. Qudamah
menganggap khamr boleh dikonsumsi dengan 2 syarat, ialah pelakunya memiliki keimanan dan
rajin beramal sholeh, bertakwa dan berbuat Kebajikan secara terus menerus. Belakangan terungkap
bahwa penafsiran Qudamah atas ayat di atas, itu dilakukan dalam rangka menjustifikasi kegiatan
pesta khamr yang kerap ia lakukan ketika menjadi amir (gubernur) di daerah bahrayn pada era
khalifah Umar bin Khattab. Penyelewang pemafsiran ini terus berlangsung pada masa tabi’in, tabi’
tabi’in, generasi pertengahan sampai sekarang. Menurut pernyataan Hasan Hanafi (1.1935 M)
bahwa setiap penafsiran, baik yang menggunakan pendekatan rasional (bi al-‘aql) maupun riwayat
(bi’al-naql), selalu berangkat dari kepentingan, tidak ada penafsiran yang sepenuhnya objektif,
absolut dan universal. Untuk mengendalikan subjektifitas dan kepentingan mufasir tersebut. Itu
artinya, penafsiran dapat didekatkan kepada titik objektifitasnya dengan menggunakan metode dan
pendekatan ilmiah.2

PEMBAHASAN

Pengertian Ad-Dakhil

Ad-Dakhil secara bahasa berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk dari fi’il tsulasi
mujarrad dengan wazan fa’ila yaf’alu fa’lan wa fa’alan, sehingga apabila lafadz Ad-Dakhil
mengikuti wazan tersebut menjadi dakhila yadkhulu dakhlan wa dakhalan, yaitu penyakit, aib,
cacat, tamu dan kata serapan.

Ad-Dakhil secara istilah menurut Ibrahim Abdurrahaman Khalifah, yaitu:

‫الفاس الرأي قليل من ماكان او القبول خالف علي ولكن أوثبت نقله يثبت ولم التفسير من نقل ما‬

“Penafsiran Al-Qur’an dengan ma’tsur yang tidak shahih, penafsiran Al-Qur’an dengan ma’tsur
yang shahih tetapi tidak memenuhi syarat-syarat penerimaan atau penafsiran Al-Qur’an dengan
pemikiran (ra’yu) yang salah.”

Ad-Dakhil dalam tafsir merupakan tafsir yang tidak memiliki dasar dan sumber-sumber
agama dengan penegertian bahwa ada unsur-unsur yang menyelinap dan sengaja dimasukkan ke
dalam Al-Qur’an Ketika keadaan umat islam lalai dan terlena, sehingga tanpa disadari masuklah
pengaruh-pengaruh tertentu ke dalam penafsiran.

selengkapnya pada Abdul Wahhab Fayed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Matba’ah al-Hadharah al-
‘Arabiyah, 1978), Juz I, h. 102-108.
2
6 Hasan Hanafi, Islam in the Modern World: Religion, Ideology and Development, (Kairo: Anglo-Egyptian
Bookshop, 1995), Vol I, h. 184. Lihat juga Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an
Menurut Hasan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002), h. 168.
3
Menurut ulama lainnya, Abdul Wahab al-Najar yaitu:

‫الدخيل ف مجال التفسير هو‬

‫ما نسب كذبا إلى الرسول صلى هللا عليه وسلم أوإلى صحابي أو تابعي ولكن هذه الرواية فقد شروط القبول‬

“Al-dakhīl dalam disiplin ilmu Tafsīr adalah suatu interpretasi palsu yang dinisbatkan kepada
Rasulullah Saw., Sahabat, Tabi’īn atau interpretasi yang bersumber dari suatu riwayat sahih namun
tidak memenuhi syarat penerimaan. Selain itu juga ada interpretasi yang bersumber dari pemikiran
rusak dan tidak memenuhi persyaratanpersyaratan tersebut.”

Jadi, dapat dilihat dari definisi diatas bahwa ad-Dakhil dalam tafsir ada tiga yaitu, tafsir al-Qur’an
dengan ma’tsur yang tidak mencapai kualifikasi shahih : pertama, Hadis yang tidak mencapai
kualifikasi shahih : Ialah seluruh varian dari hadis dla’if. Kedua, tafsir al-Qur’an dengan ma’tsur
shahih namun tidak memenuhi syarat-syarat penerimaan Tafsir tersebut : yaitu hadis yang
dijadikan basis tafsir yang dari perspektif sanadnya bisa saja shahih, namun matanya tidak layak
untuk dijadikan tafsir al-Qur’an. Ketiga, tafsir al-Qur’an dengan pemikiran yang rusak atau logika
yang salah.

Ad-Dakhil Bi Al-Ma’tsur

Dalam kitab Al-dakhil bil Ma’tsur terbagi menjadi 7 macam, yaitu:

1. Hadits Maudhu’
Hadits maudhu’, secara Bahasa berasal dari isim maf’ul wadha’a asy-syai’a , yakni
menurunkan sesuatu atau menjatuhkannya (menjatuhkan derajatnya). Adapun secara istilah
adalah hadits palsu atau dusta yang diciptakan atau dibuat-buat yang yang dinisbahkan kepada
Rasulullah saw, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.3 Dengan demikian, terdapat dua
indikator dalam pembuatan hadits maudhu’, yaitu:
a. Dari segi sanad, yaitu: pertama, perawi yang dikenal pembohong (al-kadhib) meriwayatkan
suatu hadits secara mandiri dan tidak didukung oleh Riwayat lain dari perawi yang tsiqah
(terpecaya). Kedua, pengakuan perawi sendiri, bahwa ia telah memalsukan hadits. Ketiga,
perawi meriwayatkan sebuah hadits dari seorang yang dipastikan tidak pernah ditemuinya,
sebab sang guru sudah tiada jauh sebelum perawi itu lahir. Keempat, dari sisi psikologis
diketahui bahwa si perawi berkata bohong dan mengada-ada. 4

3
As’ad Kamran,”Musthalahul Hadits panduan lengkap dan belajar dasar-dasar ilmu hadits”, Pustaka al-
kautsar, Jakarta timur, cet. 1, 2022, hal. 118-119.
4
Ulinnuha Muhammad, “Rekrontuksi Metodologi Kritik Tafsir; Studi Buku Ad-Dakhil karya fayed (1936-1999
M)”, Jakarta, 2015, hal. 137.
4
b. Dari segi matan, yaitu: Pertama, terdapat ambiguitis dalam matan hadits, baik dari sisi redaksi
maupun makna. Kedua, isi hadits bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits dan kesepakatan
mayoritas ulama’. Ketiga, matan bertentangan dengan rasionalitas akal. Keempat, terdapat
kontradiksi antara matan dengan fakta sejarah. Kelima, matan hadits terlalu hiperbolis dan
membesar-besarkan persoalan yang aslinya sederhana. Keenam, matan hadits berisi tentang
keutamaan ahlul bait sementara perawinya berasal dari kelopok syi’ah dan rafidah.
Salah satu sahabat yang menjadi sasaran terhadap pemalsuan pendapat dalam penafsiran Al-
Qur’an, yaitu Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib, sebab mereka adalah sahabat yang memang yang
paling banyak berinteraksi dengan penafsiran Al-Qur’an nabi yang mengetahui dan sadar akan
adanya percampuran riwayat shahih dan tidak shahih dalam hadits-hadits nabi, atsar yang
diterimanya. Dengan demikian ulama yang banyak mengetahui dan sadar akan adanya percampuran
riwayat sahih dan yang tidak sahih dalam hadis-hadis nabi dan athar sahabat, benar-benar berhati-
hati untuk menerimanya dari kalangan ulama lain, bahkan harus menyaring dan menelusuri status
hadis atau atsar yang diterimanya. 5

Contoh: Kisah gharaniq, Riwayat tentang tentang pernikahan Rasulullah SAW dengan
Zaynab bint Jahsh (w. 20 H), beberapa hadits tentang fada’il al-suwar (keutamaan surat-surat Al-
Qur’an) dan riwayat tentang kemuliaan ‘Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H). Beberapa contoh diatas
dilatarbelakangi oleh faktor subjektivitas dan fanatisme yang berlebihan.6

Riwayat yang dikutip al-Zamakhsari Ketika menafsirkan Qs. Al-Ahzab (33): 37. Pada suatu
Ketika, Rasulullah SAW berkunjung ke rumah Zayd ibn Harithah (w. 8 h) namun Zayd tidak ada di
rumah. Rasul hanya mendapati istri Zayd (Zainab bint Jash). ketika melihatnya, Rasul pun
terkesima dan jatuh cinta kepada Zaynab, seraya berkata:”Subhanallah Muqallibalqulub”.
Mendengar ucapan Rasul seperti itu, Zaynab pun menyampaikannya kepada sang suami. Zayd
menyimak cerita sang istri, Zayd memahami bahwa Rasul menyukai istrinya. Setelah peristiwa itu,
Zayd enggan dan bahkan cintanya kepada Zaynab semakin memudar. Kemudian ia datang kepada
Rasul dan berkata: “Wahai Rasulullah, saya akan menceraikan istriku.” Rasul berkata:”Ada apa
denganmu? Apa yang terjadi dengan istrimu?” Zayd menjawab:”Tidak apa-apa, dia adalah wanita
yang sangat baik, tapi dia angkuh kepadku karena kedudukannya.”Rasul pun berkata:”Jangan
ceraikan istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” Setelah itu, Zayd pun tetap menceraikannya
istrinya. Setelah masa iddah, Rasul kemudian memerintahkan Zayd melamarkan Zaynab untuk
dirinya. Zayd pun pergi ke rumah Zaynab dan berkata:”Wahai Zaynab, Rasul melamarmu.”
Mendengar itu Zaynab bergembira seraya berkata kepada Zayd:”Saya belum bisa memutuskan apa-

5
Muhammad Husaen Al-Zahabi,”Al-Tafsir wa Al-Mufassirun“, Kairo, Dar al-Hadits; 2005, 01, hal. 140
6
Ibid, hal. 139
5
apa sebelum bermunajat kepada Allah .” Zaynab lantas pergi ke tempat shalatnya untuk berdoa dan
turunlah ayat “wa zawwajnāka-hā” (Dan kami menikahkan kamu wahai Muhammad dengannya).
Lalu Rasul pun menikahi Zaynab dan menggaulinya.”7

2. Hadits Dha’if
Mahmud At-thohan mendefinisikan hadits dhoif merupakan hadits yang lemah, yakni hadits
yang tidak memiliki sifat hasan, karena hilangnya satu syarat maupun lebih. Secara garis besar,
hadits dhoif berbagai macamnya, tergantung seberapa lemah dan cacatnya para perawi.8
Diantaranya ada yang dha’if, dha’if jiddan, dan munkar. Namun, yang masuk dalam ad-dakhil ialah
hadits dhoif yang disebabkan oleh sanad yang tidak adil. Karena, faktor ketepercayaan seorang
perawi adalah hal yang amat esensial dalam penentuan nilai sebuah hadits.

3. Israilliyat
Israilliyat adalah sebuah Riwayat berasal dari orang yahudi dan nashrani. Adapun menurut
Ad-Dhahabi, ialah semua kebudayaan yang berasal dari yahudi dan nashrani. Kebudayaan yahudi
berpangkal dari kitab taurat, sedangkan kebudayaan nashrani berasal dari kitab injil.

Menafsirkan Al-Qur’an dengan israilliyat telah mendapatkan legalitas dari Al-Qur’an


maupun sunnah, sebagaiamana dalilnya:

َ‫س ۡلنَا قَ ۡبلَكَ ِإ َّل ِر َجاّل نُّوحِ ی ِإلَ ۡي ِه ۡم فَسۡ ـَٔلُوا أَ ۡه َل ٱلذ ِۡك ِر ِإن ُكنت ُ ۡم َّل تَعۡ لَ ُمون‬
َ ‫َو َما أ َ ۡر‬

“Tidaklah kami mengutus sebelum kamu kecuali para laki-laki yang kami berikan wahyu
kepada mereka, maka bertanyalah kepada Ahli Zikr jika kalian tidak mengetahui.” (Qs. Al-
Anbiya’:7)

Ahli Dzikr dalam ayat tersebut, As-Suyuthi berpendapat ia adalah taurat dan injil. Menurut
Ibn ‘abbas, ialah Ahli Taurat (Yahudi). Sedangkan menurut Al-Baidhawi, ialah bertanya kepada
ahlul kitab agar memberikan penjelasan.

Adapun hadits yang menganjurkan periwayatan dengan israiliyyat ialah hadits Riwayat Abu
Dawud:

‫وحدثوا عن بني إسرائيل وّل حرج‬


“Riwayatkanlah hadits tentang Bani Israil, dan tidak apa-apa”.

7
Lihat Al-Zamakhsyari, Al-kashshaf, juz 2, 213.
8
As’ad Kamran,”Musthalahul Hadits panduan lengkap dan belajar dasar-dasar ilmu hadits”, Pustaka al-
kautsar, Jakarta timur, cet. 1, 2022, hal. 78-79.
6
‫اّلل َو َما أ ُ ْن ِز َل ِإلَ ْينَا َو َما أ ُ ْن ِز َل ِإلَ ْي ُك ْم‬ ِ ‫ص ِدقُوا أَ ْه َل ْال ِكتَا‬
ِ َ ‫آ َمنَا ِب‬: ‫ َوقُولُوا‬،‫ب َوّلَ تُك َِذبُوهُ ْم‬ َ ُ ‫ّلَ ت‬
“Janganlah kalian membernakan ahlul kitab, dan jangan pula mendustakannya.”

Demikian, dapat disimpulkan dari dalil diatas bahwa tidak semua israiliyyat dijadikan
sebagai penafsiran Al-Quran. Israiliyyat yang layak dijadikan penafsiran tergolong dalam Ashil
Naqli,. Sedangkan israiliyyat yang tidak layak dijadikan penafsiran tergolong Ad-Dakhil Naqli.9

Adapun pembagian israiliyyat terbagi menjadi tiga, yaitu:

➢ Israiliyyat yang tidak bertentangan dengan ajaran islam, Al-Qur’an, hadits. Contoh: Dalam
Riwayat Imam Bukhori dari Atha’ bin Yasar, berkata: ceritakan padauk tentang gambaran
Rasulullah dalam kitab taurat. Abdullah bin Umar menjawab:”Demi tuhan, dia dijelaskan dalam
Al-Qur’an:”Hai nabi, sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan dan pelindung bagi orang-orang arab, kamu adalah hamba-ku,
rasul-ku, dan aku menamaimu Al-Mutawakkil (orang yang bertawakkal tinggi). Engkau bukan
orang yang berperangai buruk, juga bukan berwatak keras dan bukan orang yang sakkhob
(orang yang cerewet, berteriak keras-keras) di pasar.” Dan beliau tidak membalas kejahatan
dengan kejahatan serupa akan tetapi, beliau memaafkan dan mengampuninya, dan Allah tidak
akan mewafatkan beliau sampai beliau meluruskan millah-nya yang bengkok, hingga manusia
mengucapkan La Illaha Illallah, sehingga dengannya beliau dapat membukakan mata yang buta,
telinga yang tuli dan hati yang lalai.” Ata’ berkata:”Lalu aku menemui Ka’ab dan bertanya
kepadanya tentang hal itu, namun mereka tidak berbeda pendapat satu kata pun. Namun Ka’ab
berkata dengan bahasanya:”Hati yang tertutup, telinga yang tuli, dan mata yang umum.”
➢ Israiliyyat yang bertentangan dengan ajaan islam, Al-Qur’an, sunnah. Contoh:Riwayat yang
menyatakan bahwa tuhan selesai mencipta, dia beristirahat pada hari ketujuh, yang mengingat
bahwa tuhan sedang sedih karena perbuatan manusia di bumi, dan dia menyesali dalam hatinya
banyaknya dosa manusia, dan seperti yang disebutkan tentang Nuh yang meminum khamr, dia
mabuk dan telanjang, dan apa yang diriwayatkan mengenai kisah nabi Luth, bahwa ia berzina
dengan kedua putrinya, lalu mereka mengandung dan melahirkan anak. Demikian, dapat dilihat
dari contoh bahwa tidak bisa diterima oleh akal dan sangat bertentangan dengan aqidah dan
islam.10
➢ Israiliyyat yang tidak bertentangan dengan ajaran islam, Al-Qur’an, maupun hadits, akan tetapi
ia hanya dapat dijadikan sebuah pengetahuan (maskut ‘anh). Contoh: kisah tentang nama

9
10
Ad-Dakhil Fi Tafsir, jami’ al-huquq mahfudzah li jami’ah al-madinah al-alamiyah, 2009, hal. 31-32.
7
seorang laki-laki yang melewati sebuah desa yang kosong dari singgahsananya, dan tentang
jumlah orang-orang yang dihidupkan kembali oleh Isa putra Maryam, atas izin Allah, beserta
nama-namanya, Atau tentang jenis makanan yang ada di meja nabi Isa # Atau tentang sebagian
al-Baqarah yang digunakan untuk memukul orang bani Israil yang terbunuh, Sebagaimana Allah
Swt berfirman: “‫ض َها‬ ۡ ‫( ”فَقُ ۡلنَا‬Qs. Al-Baqarah: 73).11
ِ ۡ‫ٱض ِربُوهُ ِببَع‬
Menurut Adz-Zahabi, dampak negatif al-dakhil dari penggunaan israiliyyat, diantaranya:

1. Mengancam akidah umat Islam dengan potensi penyerupaan terhadap Allah dan pengurangan
Ismah para nabi dan rasul dari dosa. Misalnya, israiliyyat yang menyinggung kisah
penghancuran kaum Luth, yang seolah-olah menyiratkan bahwa Allah datang bersama dua
malaikat dalam bentuk tiga orang laki-laki saat menemui Nabi Luth, padahal yang benar adalah
Allah mengutus tiga malaikat dalam bentuk manusia.
2. Merusak citra Islam dengan menyebarkan gambaran bahwa agama ini dipenuhi dengan khurafat
dan kebohongan yang tidak berdasar. Contohnya, kisah tentang Nabi Adam yang memiliki
kepala sampai awan atau langit, dan menangis hingga air matanya seperti lautan ketika turun ke
bumi, sehingga kapal bisa berlayar di antara air matanya.
3. Mengurangi kepercayaan pada ulama salaf, termasuk sahabat dan tabi'in, yang seharusnya
dianggap sebagai sumber otoritatif dalam agama. Beberapa orang bahkan menganggap mereka
telah menipu Islam dan umatnya. Di antara ulama salaf yang dianggap demikian adalah Wahab
bin Munabih, Abdullah Bin Salam, dan lainnya
4. Memalingkan perhatian manusia dari tujuan yang sebenarnya terkandung dalam ayat-ayat Al-
Qur'an. Contohnya, membahas rupa anjing Ashabul Kahfi, nama anjingnya, materi dari tongkat
Nabi Musa, nama anak yang dibunuh oleh Nabi Khaidir, dan ukuran kapal Nabi Nuh, yang
semuanya tidak memberikan manfaat bagi umat Islam.12

4. Riwayat yang dinisbatkan kepada sahabat dengan cara dusta yang tidak ada ketetapannya (tidak
valid)
Salah satu kesalahan dalam meriwayatkan hadis yang disandarkan dengan para
sahabat terjadi karena mereka menerima dan meneruskan riwayat tanpa memeriksa dulu apakah
riwayat itu memang dari Rasulullah SAW. atau hanya dari ucapan seseorang.
Al-Imam ibn al-Jauzy, seperti yang dikutip oleh al-Adlabi, menyatakan bahwa pada awal
periode Islam, beberapa Sahabat menerima Hadits dari sesama Sahabat tanpa mencantumkan
periwayatnya, hanya dengan menyampaikan: "Rasulullah bersabda...", hal ini dilakukan tanpa
menyebutkan nama perantara Hadits karena mereka mempercayai integritas dan kejujuran
11
Ibid, hal. 33
12
1 Nuruddin „Itr, Ulumul, 266. 32 Mahmud Tahhan, Taisir, 39. 33 Nuruddin „Itr, Ulumul, 270.
8
periwayatnya tanpa adanya keraguan.
Contoh nyata yang terdapat dalam riwayat Abu Hurairah dan Ibnu Abbas mengenai ayat ‫وأنذر‬
‫عشيرتك األقربين‬, "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." Kisah ini
terjadi di Makkah pada awal masa Islam. Pada saat itu, Abu Hurairah masih belum memeluk
Islam, dan Ibnu Abbas masih terlalu muda untuk terlibat. Meskipun demikian, Ibnu Umar juga
mengisahkan kisah tentang Rasulullah SAW berhenti di sumur Badr, meskipun ia tidak
menyasikan pada saat kejadian tersebut. Hal ini mencerminkan fenomena umum dalam riwayat
Hadits di mana sering terjadi kesalahan. Oleh karena itu, banyak riwayat yang berasal dari
generasi tabi'in, di mana mereka hanya mengatakan: "Rasulullah saw. Bersabda...", tanpa
menyebutkan secara spesifik siapa sahabat yang meriwayatkan Hadits tersebut kepada mereka.
kemudian ada lagi salah satu contoh ad-dakhil yang terkait dengan menyalahgunakan nama
sahabat dengan cara berdusta dalam riwayat palsu adalah cerita yang diriwayatkan oleh Anas
bin Malik tentang kegembiraan Rasulullah SAW ketika turunnya surat Al-Tin. Sahabat-sahabat
ingin menanyakan penafsiran tentang surat Al-Tin kepada Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas
menafsirkan bahwa (‫ )التين‬merujuk kepada negeri Sham, (‫ )والزيتون‬merujuk kepada negeri
Palestina, (‫ )وطورسينين‬merujuk kepada tempat dimana Allah berbicara dengan Nabi Musa AS,
(‫ )وهذا البلد األمين‬merujuk kepada Makkah, (‫ )لقد خلقنا اإلنسان فى أحسن تقويم‬merujuk kepada
Muhammad SAW, (‫ )ثم رددناه أسفل سافلين‬merujuk kepada penyembah tuhan Lata dan Uzza, ( ‫إال الذين‬
‫ )آمنوا وعملوا الصالحات‬merujuk kepada Abu Bakar dan Umar, (‫ )فلهم أجر غير ممنون‬merujuk kepada
Usman bin Affan, (‫ ) فما يكذ بك بعد بالدين‬merujuk kepada Ali bin Abi Thalib, dan ( ‫أليس هللا بأحكم‬
‫ )الحاكمين‬menyatakan bahwa Allah telah mengutus seorang nabi dan menjadikan Muhammad
sebagai hamba yang bertakwa. Dalam sanadnya, hadis ini mengandung nama Muhammad bin
Banan al-Thaqafi, yang dikenal sebagai pemalsu hadis.

5. Riwayat yang dinisbatkan kepada tabiin yang tidak ada ketetapannya (tidak valid). Seperti
menafsirkan Al-Qur’an dengan hadits mursal yang palsu atau memakai hadits mursal yang
matannya dho’if.

Meriwayatkan melalui jalur yang berbeda dengan perawi yang berbeda, atau mengambil
ucapan dari seorang sahabat, atau bahkan mengutip pandangan mayoritas ulama tanpa
mencantumkan sumbernya merupakan praktik yang tidak diperbolehkan dalam Hadis Mursal. Hal
ini dikarenakan praktik tersebut melibatkan penyampaian dari tabi'in lain yang ke ‘adalah-nya
dipertanyakan. Menurut Ibnu Hajar, ini disebabkan oleh adanya kelemahan dalam ke ‘adalah-nya
dari sahabat atau tabi'in yang tercantum dalam Hadis Mursal tersebut. Dengan cara ini,
menyampaikan Hadis melalui jalur yang berbeda menyebabkan ketidakjelasan mengenai keabsahan

9
hadits tersebut.
Ad-dakhil dalam riwayat yang dinisbatkan kepada tabi’in dengan cara dusta bisa ditemukan dalam
tafsir yang membahas cerita-cerita tentang nabi, penciptaan makhluk awal, Ya'juj dan Ma'juj,
kondisi dingin air di sumur-sumur saat musim panas, dan keganasan panas saat musim dingin.
Banyak riwayat terkait dengan cerita-cerita tersebut yang tidak menyebutkan sanadnya, sehingga
sulit untuk meneliti dan mengevaluasi status perawinya dalam kitab-kitab Jarh Wa Ta’dil.
Sebagai contoh, salah satu ad-dakhil dalam riwayat yang disandarkan kepada Tabi'in adalah Hadis
yang berhubungan dengan firman Allah dalam surat Al-A'raf ayat ke-12.

ٍ ‫قَا َل َما َمنَ َعكَ ا َ اال ت َ ْس ُجدَ اِذْ ا َ َم ْرت ُ َۗكَ قَا َل اَن َ۠ا َخي ٌْر ِ ِّم ْن ُۚهُ َخلَ ْقتَنِ ْي مِ ْن نا‬
‫ار او َخلَ ْقت َهٗ مِ ْن طِ ي ٍْن‬

Artinya : Dia (Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud
ketika Aku menyuruhmu?” Ia (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau
menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Hadis yang terkait dengan ayat tersebut diriwayatkan oleh Abu al-'Abbas al-Manshury
Ahmad Ibn Muhammad Ibn Shalih, yang meriwayatkannya kepada 'Ali RA. Dalam riwayat marfu',
disebutkan: "Yang pertama kali melakukan analogi adalah Iblis, oleh karena itu, janganlah kalian
melakukan analogi." Hadis ini dianggap palsu dalam hal penisbatannya kepada Rasulullah SAW,
dan al-Dhahaby juga memberikan penilaian serupa. Namun, Hadis tersebut memiliki kebenaran,
jika disandarkan dengan Ibnu Sirin dan al-Hasan al-Basry. Al-Darimy meriwayatkan dari Ibnu
Sirin, yang mengatakan: "Yang pertama kali melakukan analogi adalah Iblis. Matahari dan Bulan
tidak akan dijadikan sebagai tuhan, kecuali melalui berbagai analogi." Al-Darimy juga
meriwayatkan dari al-Hasan al-Basry, yang kemudian membaca ayat :
“Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku
menyuruhmu?" Iblis menjawab: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api
sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” Setelah ayat tersebut dibaca al-Hasan al-Basry
mengungkapkan, "Iblis membandingkan satu hal dengan yang lain. Dialah yang pertama kali
melakukannya."13

6. Pendapat sahabat yang bertentangan dengan al-qur’an, Sunnah atau dengan akal dan
pertentangannya kontras sehingga tidak dapat dikompromikan.

Contoh-contoh pendapat sahabat dan tabi’in palsu dalam penafsiran :

Mujiborohman,” AD-DAKHIL DAALAM RA’YI DAN MATSUR”, Jurnal pemikiran, Pendidikan, Penelitian
13

Ke-Islaman, Vol. 6, 2020


10
a.) Pemalsuan Pendapat Sahabat dalam tafsir Tanwiru al-Miqbas Min Tafsiri Ibni Abbas
‫عن عبد هللا بن المبارك قال حدثنا علي بن إسحاق السمرقندي عن محمد بن مروان عن الكلبي عن أبي صالح عن ابن عباس‬
‫الم )يقول ألف هللا ّلم جبريل ميم محمد ويقال ألف آّلؤه ّلم لطفه ميم ملكه ويقال ألف ابتداء اسمه هللا ّلم‬: ( ‫في قوله تعالى‬
‫ابتداء اسمه لطيف ميم ابتداء اسمه مجيد ويقال أنا هللا أعلم ويقال قسم أقسم به‬

Syekh Salih Ali Syekh berkomentar tentang tafsir Ibn Abbas, “Riwayat yang ada dalam
tafsir ini mayoritas dari satu jalan, yaitu dari jalan al-Sudi kecil (al-Sudi al-Saghir) dari al-Kalbi,
keduanya telah dituduh pembohong dan ahli pemalsu hadis. Maka jalan ini adalah rentetan hadis
yang paling buruk. Sedangkan rentetan riwayat yang paling sahih ialah rentetan riwayat yang lewat
Ali bin Abi Thalhah dari Ibn Abbas. Rentetan inilah yang diambil oleh imam Bukhari dalam kitab
sahihnya”. Sedang ibnu Abbas tidak pernah menafsirkan ayat ‫( الم‬dari surat al-Baqarah)

b.) Pendapat sahabat dalam Ibni Kathir dan Ruhu al-ma’ani Ayat Qur’an
‫ّللا قَدْ اَ َحاط بِ ُك ِِّل‬ َ ‫ع ٰلى ُك ِِّل‬
َ ٰ ‫ش ْيءٍ قَ ِدي ٌْر ەۙ اوا َ ان‬ َ ٰ ‫ض مِ ثْلَ ُه َۗ ان يَتَن اَز ُل ْاالَ ْم ُر بَ ْينَ ُه ان ِلت َ ْعلَ ُم ْْٓوا ا َ ان‬
َ ‫ّللا‬ ِ ‫ت اومِ نَ ْاالَ ْر‬
ٍ ‫سمٰ ٰو‬ َ َ‫ي َخلَق‬
َ ‫س ْب َع‬ ْ ‫ّللاُ الا ِذ‬
ٰ َ
‫ش ْيءٍ ع ِْل ًما‬ َ ࣖ
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan
sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS. Al-Thalaq)

Abu Hayyan mengomentari hadis tersebut, “Ini adalah hadis yang tidak diragukan lagi
kepalsuannya, hadis ini sebagian dari riwayat al-Waqidi yang terkenal banyak kebohongannya”.
Meskipun demikian Al-Alusi mengomentari pernyataan Abu Hayyan, dengan berkata, “Tafsir yang
sempat dinisbatkan kepada Ibn Abbas tersebut sebetulnya tidak ada masalah di segi maknanya,
karena masih masuk akal dan tidak melanggar syari‟at.

7. Pendapat Tabi’in yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah atau dengan akal dan
pertentangannya kontras sehingga tidap dapat dikompromikan.

KESIMPULAN

Dalam pemahaman dan penafsiran Al-Qur'an, konsep Ad-Dakhil Bi Al-Ma’tsur memainkan


peran penting sebagai penanda terhadap penyelewengan atau infiltrasi dalam interpretasi Al-Qur'an.
Ad-Dakhil mengacu pada interpretasi yang tidak memiliki dasar yang kuat atau sumber agama yang
valid, yang seringkali disebabkan oleh pengaruh subjektivitas, fanatisme, atau kesalahan dalam
penafsiran. Jenis-jenis Ad-Dakhil Bi Al-Ma’tsur seperti hadis Maudhu' (palsu), hadis Dha'if
(lemah), dan riwayat Israilliyat mengilustrasikan variasi dalam penyelewengan tersebut. Dampak
dari Ad-Dakhil dalam pemahaman Al-Qur'an sangatlah signifikan. Penggunaan sumber-sumber

11
yang tidak valid dapat mengancam akidah umat Islam, merusak citra Islam, dan mengurangi
kepercayaan pada otoritas Islam, seperti ulama salaf. Contohnya, penafsiran yang menyimpang dari
teks asli Al-Qur'an atau penekanan pada hal-hal yang tidak relevan dengan ajaran Islam dapat
merusak pemahaman umat Islam secara keseluruhan. Untuk mengatasi Ad-Dakhil dalam tafsir Al-
Qur'an, diperlukan pendekatan yang hati-hati dan ilmiah dalam menggunakan sumber-sumber
interpretasi. Para mufassir (penafsir) harus memastikan keabsahan sumber-sumber yang digunakan
serta memastikan kesesuaian dengan ajaran Islam yang autentik. Selain itu, penelitian lebih lanjut
mengenai Ad-Dakhil diperlukan untuk menjaga kemurnian dan kesahihan pemahaman terhadap Al-
Qur'an sebagai pedoman utama umat Islam. Dengan demikian, pemahaman yang mendalam tentang
Ad-Dakhil dalam tafsir Al-Qur'an dapat membantu umat Islam dalam memperkuat landasan
pemahaman agama mereka, serta mencegah penyelewengan dan penyalahgunaan dalam interpretasi
Al-Qur'an yang dapat membahayakan keimanan dan identitas Islam secara keseluruhan

DAFTAR PUSTAKA

Hasan Hanafi, Islam in the Modern World: Religion, Ideology and Development, (Kairo:
Anglo-Egyptian Bookshop, 1995), Vol I, h. 184. Lihat juga Ilham B. Saenong,
Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan
Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002), h. 168.
1 Nuruddin „Itr, Ulumul, 266. 32 Mahmud Tahhan, Taisir, 39. 33 Nuruddin „Itr,
Ulumul, 270.
Mujiborohman,” AD-DAKHIL DAALAM RA’YI DAN MATSUR”, Jurnal pemikiran,
Pendidikan, Penelitian Ke-Islaman, Vol. 6, 2020
Syasi Muhammad, Li Ruhimat, “Ashil dan Dakhil dalam Tafsir Bi al-Ma’tsur karya
Imam al-Suyuthi”, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020
Ibrahim ‘Abd al-Rahman Muhammad Khalîfah. Guru Besar dan mantan Ketua Prodi
Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. 4 Ibrahim ‘Abd
al-Rahman Muhammad Khalifah, (selanjutnya disebut Ibrahim Khalifah), al-
Dakhîl fî al-Tafsîr, (Kairo: Universitas Al-Azhar, 1996), h. 11 dan 118-122. 5
Model-model penafsiran yang terpengaruh dengan latarbelakang keilmuan
mendapat kritik tajam dari Amin alKhuli. Sebab penafsiran semacam itu tidak
mampu mengetengahkan Al-Qur’an secara objektif dan universal. Karena itu ia
menawarkan konsep kritik penafsiran dengan pendekatan literary criticism. Lihat
Amin al-Khuli, al-Tafsîr: Ma‘âlim Hayâtih, Manhajuhu al-Yawm, (Kairo: Dâr al-
Ma’rifah, 1962), h. 40-46.
Lihat Al-Zamakhsyari, Al-kashshaf, juz 2, 213.
12
Kamran As’ad,”Musthalahul Hadits panduan lengkap dan belajar dasar-dasar ilmu
hadits”, Pustaka al-kautsar, Jakarta timur, cet. 1, 2022.
Ad-Dakhil Fi Tafsir, jami’ al-huquq mahfudzah li jami’ah al-madinah al-alamiyah, 2009.
Muhammad Husaen Al-Zahabi,”Al-Tafsir wa Al-Mufassirun“, Kairo, Dar al-Hadits;
2005, 01, hal. 140.
Ulinnuha Muhammad, “Rekrontuksi Metodologi Kritik Tafsir”; Studi Buku Ad-Dakhil
karya fayed (1936-1999 M)”, Jakarta, 2015

13

Anda mungkin juga menyukai