Pemilu 2024 - Menyuarakan Nasib PRT
Pemilu 2024 - Menyuarakan Nasib PRT
Siti Khodijah (23 tahun), perempuan muda asal Pemalang, Jawa Tengah, yang
mengadu nasib sebagai pekerja rumah tangga (PRT), harus bertemu nasib pahit.
Nasib Siti Khodijah hanya satu kepingan cerita dari ribuan kasus kekerasan yang
dialami oleh PRT di Indonesia. Berdasarkan data JALA PRT, dalam rentang waktu
2018-2023 terdapat 2.641 kasus kekerasan kepada PRT. Mayoritas kasus
berupa kekerasan psikis, fisik, dan ekonomi dalam situasi kerja.
Sayang seribu kali sayang, dari empat kali debat Capres dan Cawapres yang
sudah berlangsung, nasib PRT tidak mendapat sorotan dan perhatian.
Satu-satunya momentum saat kampanye Pilpres ini yang sempat menangkap isu
perlindungan PRT adalah acara Desak Anies pada 18 Januari 2024. Saat itu,
seorang mahasiswi pemberani, Adinda Yovita Widiasti, mempertanyakan isu PRT
kepada Capres nomor urut 01, Anies Baswedan.
Di Indonesia, menurut data JALA PRT, ada 4,2 juta warga negara yang bekerja
sebagai PRT. Sebanyak 84,27 persen diantaranya adalah perempuan.
Meski menampung banyak tenaga kerja, jumlahnya hampir setara dengan jumlah
penduduk Provinsi Bali, tetapi pekerja rumah tangga seperti bekerja di zona gelap
(dark zone) yang tanpa regulasi dan perlindungan.
Rata-rata gaji PRT di Indonesia masih jauh di bawah upah minimum pekerja. Di
Jakarta, tepatnya di daerah Kebagusan, Jakarta Selatan, rata-rata gaji PRT tidak
menginap masih di bawah Rp 1 juta. Di Pematangsiantar, kampung halaman saya,
gaji PRT masih berkisar Rp 600-900 ribu.
Selain gaji, PRT juga merupakan jenis pekerjaan yang rentan dieksploitasi karena
jobdesk-nya tidak jelas dan relasi kerja yang sangat timpang. Sudah bukan
rahasia, PRT yang menginap kadang bekerja hingga nyaris 24 jam.
Ada beberapa hal yang membuat posisi PRT sangat rentan mengalami
diskriminasi dan eksploitasi. Pertama, PRT dianggap bukan pekerja, sehingga
dikesampingkan dari UU Ketenagakerjaan. Akibatnya, relasi pekerja dengan
majikan tidak diatur oleh UU Ketenagakerjaan. Ini yang membuat PRT tidak
mendapat hak layaknya pekerja formal, seperti upah minimum, hak cuti, jam kerja
tetap, hak beristirahat setelah 4 jam bekerja, jaminan sosial, perlindungan
keselamatan kerja, dan lain-lain.
Jadi, kerja PRT adalah salah satu penyangga penting sistem kapitalisme saat ini,
yang seharusnya dihargai dan dibayar dengan layak.
Ketiga, ruang kerja PRT sebagai pekerja domestik di dalam rumah majikan,
kadang tertutup, dan dibatasi ruang geraknya. Masalahnya, ada banyak anggapan
bahwa urusan domestik adalah urusan internal rumah tangga (privat). Sering
terjadi, tindakan kekerasan dalam rumah tangga, termasuk terhadap PRT, sering
tidak diintervensi oleh warga karena anggapan tersebut.
Salah satu cara untuk memulai untuk mengubah paradigma terhadap PRT
sekaligus memberi mereka payung hukum agar hak-haknya bisa terlindungi
adalah mendesakkan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
(PPRT).
RUU PPRT sudah diperjuangkan untuk menjadi UU sejak 2004. Namun, hingga
kini RUU yang sangat penting bagi perlindungan PRT ini belum disahkan. Artinya,
RUU ini sudah 20 tahun dan sudah melewati 3 kali pemilu, tetapi masih mangkrak
di meja DPR.
Namun, Pilpres dan Pemilu tetap akan jalan terus. Pertanyaannya, dalam situasi
yang minim kandidat perempuan di Pilpres maupun Pileg, bagaimana
memastikan isu-isu perempuan dan PRT tetap menjadi isu yang penting.
Taktik politik ini, sekalipun tidak menjadi kontestan pemilu layaknya parpol, tetapi
bisa mendorong isu-isu perempuan ke panggung elektoral. Meminjam Anne
Phillips, jika belum berhasil menghadirkan orang/identitas, maka seminimal
mungkin menghadirkan pandangan atau gagasannya.
Semoga, dalam gelap perjuangan politik ini, kita bisa menghadirkan secercah
cahaya harapan. Amien.