Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

UPAYA BANDING DALAM HUKUM ACARA PIDANA


Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Acara Pidana

Dosen Pengampu Diane Prihastuty S.H, M.H

Disusun Oleh:
Muhammad Fijri N 41033300221060

PRODI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Tak
lupa kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Upaya Banding Dalam Hukum Acara Pidana.

Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat diterima dan dapat memberikan
manfaat maupun inspirasi terhadap semua pembaca.

Penulis

Bandung, November 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................1

DAFTAR ISI................................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................6
A. UPAYA HUKUM BIASA................................................................................................6
1. Ketentuan Mengajukan Banding......................................................................................7
2. Syarat-syarat dan Tata Cara Banding...............................................................................8
3. Tata cara mengajukan banding.........................................................................................8

BAB III PENUTUP..................................................................................................................14


KESIMPULAN...................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya Hukum merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk menerima
ataupun tidak menerima putusan pengadilan. Pengaturan tentang upaya hukum diatur
di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimuat pada Pasal 1
angka 12 KUHAP, yang menentukan: Upaya hukum adalah hak terdakwa atau
penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan berupa perlawanan atau
banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Terhadap
putusan hakim yang mengandung pemidanaan, maka hakim wajib memberitahukan
kepada terdakwa akan hak-haknya. Oleh karena itu, baik terdakwa maupun penuntut
umum dapat menggunakan upaya hukum apabila putusan hakim yang menjatuhkan
pidana kurang memuaskan. KUHAP membagi upaya hukum menjadi 2 (dua) macam
upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum
biasa terdiri dari upaya hukum banding dan upaya hukum kasasi. Sedangkan upaya
hukum luar biasa terdiri dari upaya hukum pemeriksaan tingkat kasasi demi
kepentingan umum dan upaya hukum peninjauan kembali.
Upaya hukum luar biasa bertujuan menemukan keadilan dan kebenaran
materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi waktu atau ketentuan formalitas untuk
pengajuan upaya hukum luar biasa seperti peninjauan kembali karena sangat
dimungkinkan adanya novum yang substansial baru ditemukan yang pada saat
sebelumnya belum ditemukan.
Keadaan inilah yang kemudian menimbulkan terjadinya ketidak adilan
sehingga dilakukannya peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap dengan tujuan menemukan keadilan dan kebenaran materiil.
Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa yang diberikan kepada para pihak
yang mencari keadilan. Peninjauan kembali dilakukan terhadap putusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang diajukan
oleh terpidana atau ahli warisnya kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum.

1
Upaya hukum luar biasa mengenai peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 263 Ayat (1)
KUHAP yaitu, Bahwa: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Agung dengan memperhatikan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP”

Pasal 263 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah menyatakan secara tegas mengenai pihak
yang berhak mengajukan peninjauan kembali, yaitu terpidana, atau ahli warisnya.

Merujuk pada mekanisme hukum acara pidana dimana dalam ketentuan Pasal 1 angka
(12) KUHAP yang menyatakan: “Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum
untuk tidak menerima putusan pengadilan berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau
hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Dalam ketentuan lain yaitu dalam ketentuan
Pasal 263 yang dinyatakan “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana dan ahli
warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.
Serta keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01.PW.07.03 tahun 1982
tentang pedoman pelaksanaan hukum acara pidana dengan jelas dinyatakan bahwa
pelaksanaan atas hak peninjauan kembali hanya ditujukan kepada terpidana atau ahli
warisnya dalam ketentuan- ketentuan itu disebut sebagai “pemohon” merujuk terhadap
ketentuan Pasal 264 (1), 264 (4), 265 (2), 263 (3), 265 (4), 266 (2) huruf a, 266 (2) huruf b,
dan 268 (2). Dari pasal-pasal tersebut jika ditafsirkan maka akan sangat jelas makna dari
peninjauan kembali itu adalah merupakan hak terpidana atau ahli waarisnya bukan hak dari
jaksa sebagai penuntut umum.

Berdasarkan Pasal 263 UU No. 8 Tahun 1981, bahwa:

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum


tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan
kembali kepada Mahkamah agung.
2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar : a. apabila terdapat
keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
2
penuntut

3
umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan
pidana yang lebih ringan; b. apabila dalam putusan terdapat pernyataan
bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar
dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah
bertentangan satu dengan yang lain; c. apabila putusan itu dengan jelas
memperlihakan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap
suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila didalam putusan
tersebut suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan
tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Dalam prakteknya peninjauan
kembali terkadang diajukan oleh Penuntut Umum bukan terdakwa atau
ahli warisnya, Peninjauan kembali oleh Penuntut Umum dalam perkara
pidana merupakan paradoks yang terjadi dalam sistem hukum pidana,
dimana praktek hukum tersebut bertentangan dengan norma hukum
sebagaimana diatur dalam KUHAP.

Praktik hukum ini merupakan suatu kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling) yang
dalam implementasinya merupakan suatu cara yang melanggar atau menerobos aturan-aturan
hukum itu sendiri dalam hal ini adalah aturan dalam hukum acara pidana. Peninjauan kembali
oleh jaksa tentu sangat tidak menguntungkan bagi terpidana dan ahli warisnya, dan hal
tersebut tentu saja melanggar hak asasi terpidana dan ahli warisnya.

Pasal 263 KUHAP yang mengatur tentang upaya hukum luar biasa yang dinamakan
peninjauan kembali (PK) beberapa kali dalam pelaksanaanya menimbulkan kontroversial.
Karena dalam kenyaataannya masih ada beberapa pakar, praktisi dan pengamat hukum yang
berpendapat bahwa yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya Pasal 263
Ayat (1) KUHAP, sedangkan jaksa penuntut umum justru bertindak untuk dan atas nama
negara dan secara sekaligus mewakili korban kejahatan dianggap tidak berhak mengajukan
upaya hukum peninjauan kembali.

Berdaasarkan bunyi Pasal 263 Ayat (1) dan (2) KUHAP, secara tersurat memang
dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan PK adalah terpidana dan ahli warisnya. Akan
tetapi berdasarkan Pasal 263 Ayat (3) KUHAP ternyata selain terpidana atau ahliwarisnya
masih ada pihak lain yang dapat megajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) yaitu
pihak lain,
4
didalam pasal tersebut memang tidak disebutkan secara eksplisit akan tetapi pihak lain
tersebut tidak lain adalah jaksa penuntut umum, terhadap suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang dalam putusan tersebut terdakwanya tidak dijatuhi
hukum/putusan pidana meskipun terdakwanya telah terbukti atau bersalah, oleh karena itu
dalam hal ini jaksa penuntut umum memiliki hak mengajukan PK, terpidana sudah
dinyatakan bersalah namun tetap tidak dihukum. Dalam praktik peradilan pidana di
indonesia, Peninjauan Kembali beberapa kali diajukan oleh penuntut umum hal ini
dikarenakan dalam Pasal 263 Ayat
(1) KUHAP tidak mengatur larangan mengenai Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan
peninjauan kembali. Di dalam beberapa putusan Mahkamah Agung diperbolehkan bagi jaksa
penuntut umum mengajukan peninjauan kembali dikarenakan adanya bukti baru (novum),
adanya putusan bebas atau lepas, dan di dalam putusan telah berkekuatan hukum tetap tidak
terdapat putusan pemidanaan padahal terbukti adanya suatu perbuatan pidana.

Peninjauan Kembali (PK) harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil
sebagaimana yang telah ditentukan dalam KUHAP. Syarat-syarat formil untuk mengajukan
PK terdapat dalam Pasal 262 Ayat (2) jo Pasal 264 Ayat (1) dan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP,
yang menentukan:

a. Adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap


b. Putusan pengadilan tersebut memuat pemidanaan, artinya bukan putusan bebas
(vrisjpraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum.
c. Diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.
d. Diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkara tersebut dalam
tingkat pertama
e. Terpidana atau ahli warisnya, belum pernah mengajukan peninjauan kembali.

Syarat materiil yang menjadi dasar atau alasan pengajuan PK di dalam Pasal 263 Ayat (2)
KUHAP, yang menentukan:

a. Adanya novum yaitu bukti atau keadaan baru yang belum pernah diajukan dalam
pemeriksaan perkara.
b. Adanya dua atau lebih putusan pengadilan yang saling bertentangan.
c. Adanya kekeliruan atau kekhilafan hakim secara nyata.

Dewasa ini diberikan juga ruang kepada jaksa penuntut umum untuk mengajukan
peninjauan kembali. Berdasarkan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa pihak-pihak

5
yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Bahwa jaksa

6
penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali, sebabnya undang-
undang tidak memberi hak kepada penuntut umum karena upaya hukum ini bertujuan untuk
melindungi kepentingan terpidana.

Berdasarkan Pasal 23 Ayat (1) KUHAP tentunya Jaksa Penuntut Umum tidak berhak
mengajukan peninjauan kembali, namun berdasarkan Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan:
“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak
yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila
terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”.

7
BAB II
PEMBAHASAN
A. UPAYA HUKUM BIASA

Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk memperoleh
putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang
dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaransecara yuridis, karena
putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat
memihak. Agar kekeliruan dan kekilafan itu dapatdiperbaiki, maka demi tegaknya
kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakimitu dimungkinkan untuk diperiksa ulang.
Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan
melaksanakan upaya hukum.

Upaya hukum merupakan Upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki
kekeliruan dalam suatu putusan (Krisna Harahap, 2003: 114-115). Upaya hukum
merupakan hak terdakwa yang dapat dipergunakan apabilasiterdakwa merasa tidak puas
atas putusan yang diberikan oleh pengadilan. Karena upaya hukum ini merupakan hak,
jadi hak tersebut bisa saja dipergunakandan bisa juga siterdakwa tidak menggunakan hak
tersebut. Akan tetapi, bila hak untuk mengajukan upaya hukum tersebut dipergunakan
oleh siterdakwa, maka pengadilan wajib menerimanya. Hal ini dapat dilihat dalam
KUHAP padarumusan pasal 67 yang menyatakan: “terdakwa atau penuntut umum berhak
untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap
putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalahkurang
tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan acara cepat” KUHAP
membedakan upaya

8
hukum kepada dua macam, Upaya hukum biasadan upaya hukum luar biasa (istimewa).
Upaya hukum biasa terdiri dari dua bagian, bagian kesatu tentang pemeriksaan tingkat
banding, dan bagian keduaadalah pemeriksaan kasasi. Sedangkan uapaya hukum luar
biasa adalah peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap

Upaya hukum biasa terdiri dari:

1. Banding

Banding yaitu salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu pihak atau
kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak
mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan negeri kepada
Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri di mana putusan tersebut dijatuhkan.

Pengajuan banding dapat diajukan sehingga putusan terhadap Pengadilan Negeri belum dapat
dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga
belum dapat dieksekusi kecuali pada putusan Uitvoerbaar Bij Voorraad.
Dasar hukum banding diatur dalam Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 HIR (untuk Jawa dan
Madura) kemudian Pasal 199 sampai dengan Pasal 205 Rbg (untuk luar Jawa dan Madura),
serta Pasal 3 Jo. Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1951 UU Darurat No. 1 Tahun 1951.
Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU
No. 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.

1. Ketentuan Mengajukan Banding

Siapa yang berhak mengajukan banding? Pihak terdakwa atau penuntut umum berhak
mengajukan banding asalkan memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Pengajuan banding
dapat dilakukan dalam tenggat waktu tertentu. Menurut Pasal 233 ayat (2) KUHAP,
pengajuan banding dapat diterima 7 (tujuh) hari setelah putusan pengadilan atau vonis.
Apabila dalam kurun waktu 7 hari setelah vonis tidak mengajukan banding, maka terdakwa
atau penuntut umum dianggap telah menerima putusan. Selain itu, menurut Pasal 67
KUHAP, terdakwa atau penuntut umum tidak dapat mengajukan banding terhadap: Putusan
bebas Putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum Putusan pengadilan dalam acara cepat

9
2. Syarat-syarat dan Tata Cara Banding
Syarat-syarat ataupun ketentuan-ketentuan banding Upaya hukum banding diajukan
denga ketentuan-ketentuan sebagai brikut sebagaimana diatur dalam pasal 188 sampai dengan
194 HIR dan UU No 20 Tahun 1947 tentang Pegadilan Peradilan Ulangan.
a. Diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah dijatuhkan putusan atau
menerima pemberitahuan putusan atau menerima pemberitahuan putusan perkara
diperiksa dengan tanpa biaya atau prodeo.
b. Permohonan banding dapat diajukan dengan cara lisan maupun tertulis.
c. Permohonan banding dapat diajukan oleh yang bersangkutan atau diwakilkan dengan
kuasa khusus untuk mengajukan banding.
d. Banding diajukan kepada Panitera pengadilan yang menjatuhkan putusan.
e. Permohonan banding harus disertai dengan membayar ongkosbiaya perkara,
permohonan banding yang tidak disertai membayar ongkos perkara tidak dapat
diterima.
f. Terhadap putusan verstek tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
g. Terhadap putusan dimintakan banding bersama-sama putusan akhir.

3. Tata cara mengajukan banding


Dalam mengajukan banding terdapat tata cara yang harus dilakukan antara lain sebagai
berikut:
a. Setelah permohonan diajukan dan membayar biaya perkara, panitera meregister
perkara dan membuat akta banding (pasal 10 ayat (1);
b. Permohonan banding diberitahukan kepada pihak lawan (pasal 10 ayat (2);
c. Panitera menyampaikan inzage kepada para pihak dengan tujuan agar mempelajari
berkas perkara dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah menerima
pemberitahuan inzage (pasal 11). Inzage merupakan hak para pihak boleh digunakan;
d. Permohonan banding mengajukan memori banding kepada Ketua Pengadilan Tinggi
Agama melalui Ketua Pengadilan Agama yang mejatuhkan putusan. Menyampaikan
memori banding bukan merupakan kewajiban;
e. Memori banding diberitahukan kepada pihak lawan untukdipelajari dan membuat
kontra memori banding untuk diserahkan kepada panitera pengadilan;
f. Pengadilan menerima kontra memori banding dan memberitahukan kepada
permohonan banding;

10
g. Dalam 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding seluruh berkas perkara di
bendel dan dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama (pasal 11 ayat 2). dalam praktik
pengiriman berkas ke Pengadilan Tinggi Agama lebih dari 30 (tiga puluh) hari;
h. Permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu sebelumputusan banding
dijatuhkan.
1. Alasan dan Akibat serta Wewenang Banding
a. Alasan Permintaan Banding
Undang-undang tidak merinci alasan yang dapat dipergunakan terdakwa atau penuntut umum
untuk mengajukan permintaan banding. Berbeda dengan permintaan kasasi, Pasal 253 ayat 1
merinci alasan yang dapat dikemukakan oleh pemohon kasasi. Atas landasan itu, alasan
pokok permintaan pemeriksaan tingkat banding atas putusan pengadilan tingkat pertama
pemohon tidak setuju dan keberatan atas putusan yang dijatuhkan dan alasan keberatan dan
ketidaksetujuan atas putusan itu, dapat diinformasi atau dikemukakan sebagi berikut:
a) Dapat dikemukakan pemohon secara umum
b) Dapat dikemukakan secara terperinci, Permintaan banding dapat ditujukan
terhadap hal tertentu.
b. Akibat Permintaan Banding
Permintaan banding yang diajukan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, dapat
menimbulkan beberapa akibat hukum yaitu;
a) Putusan menjadi mentah kembali Inilah akibat hukum yang pertama, permintaan
banding mengakibatkan putusan menjadi mentah. Seolah-olah putusan itu tidak
mempunyai arti apa-apa lagi. Formal putusan itu tetap ada, tetapi nilai putusan itu
lenyap dengan adanya permintaan banding.
b) Segala sesuatu beralih menjadi tanggung jawab yuridis Dengan adanya permintaan
banding, segala sesutu yang berhubungan dengan perkara tersebut beralih menjadi
tanggug jawab yuridis. Pengadilan Tinggi sebagai pengdilan tingkat banding.
c) Putusan yang didbanding tidak mempunyai daya eksekusi. Akibat lain yang timbul
karena permintaan banding, menyebabkan hilang eksekusi putusan, karena dengan
adanyapermintaan banding putusan menjadi mentah kembali.
c. Kewenangan Tingkat Banding
Bertitik tolak dari kedua landasan diatas, wewenang pengadilan tingkat banding memeriksa
putusan pengadilan tingkat pertama sebagi berikut:

11
a) Menjadi Seluruh Pemeriksaan dan Putusan PengadilanTingkat Pertama Pengadilan
tingkat tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dalam melaksanakan fungsi
sebagai pengadilan tingkat banding.
b) Berwenang Meninjau Segala Segi Pemeriksaan dan Putusan Oleh karena
wewenang pemeriksaan tingkat banding memeriksa ulang perkara secara
keseluruhan dan dia berwenang meninjau dan menilai segala sesuatu yang
berhubungan dengan pemeriksaan dan putusan.
c) Memeriksa Ulang Perkara Secara Keseluruhan Seandainya pengajuan banding
terhadap hal tertentu saja misalnya permintaan banding hanya ditujukan terhadap
hukuman atau barang bukti saja, sama sekali tidak dapat menyampingkan
wewenang pengadilan tingkat banding untuk memeriksa tingkat perkara secara
keseluruhan.
2. Putusan yang dapat dan tidak dapat dibanding
Secara formal ada dua jenis upaya hukum yang dapat diajukan atau diperiksa oleh
pengadilan tinggi sebagai instansi pengadilan tingkat banding. Hal ini perlu dijelaskan untuk
mengetahui garis yang tegas antara dua upaya hukum tersebut. Dengan uraian singkat yang
menginventarisin upaya perlawanan kiranya dapat memahami dan membedakan antara
perlawanan dengan upaya banding.
1) Putusan pengadilan tingkat pertama yang dapat disbanding Prinsip semua putusan
akhir pengadilan dapat diajukan permintaan banding, akan tetapi pada prinsip ini ada
pengecualian dan pengecualian itu di tgaskan dalam pasal 67.
2) Putusan pengadilan tingkat pertama yang tak dapat dibanding
a. Putusan bebas atau vrijspraak
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau putusan Onslag van rechts
vervolging
c. Putusan acara cepat
3) Hubungan putusan bebas dengan banding dan kasasi Putusan bebas yang diambilnya
tidak dapat diuji oleh instansi manapun, apalagi dalam kondisi sekarang hal seperti ini
merangsang para hakim tingkat pertama untuk bertindak menyalahgunakan
wewenang, sebab sekali perkara itu diputus bebas, sudah final tidak dapat diuji serta
diubah lagi.
4) Hubungan banding dan kasasi dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum
Masalah putusan lepas dari segala tuntutan hukum, tidak serumit permasalahan
putusan bebas. Landasan ini melihat hubungan putusan lepas dari segala tuntutan

12
hukum dengan permintaan banding dan kasasi adalah berdasar pasal 67 dan pasal 244
KUHAP

13
a. Hubungan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dengan banding
b. Hubungan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dengan kasasi
5) Tata Cara Penolakan Dan Penerimaan Banding Permintaan banding yang diajukan ke
Pengadilan Tinggi baik oleh terdakwa maupun penuntut umum dilakukan melalui
“panitera” Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama.
Panitera yang melayani permintaan banding. Sudah tentu, panitera meneliti segala
persyaratan yang ditentukan undang-undang, karena ada kemungkinan permintaan
yang diajukan tidak memenuhi syarat yang dibenarkan undang-undang. Terhadap
permintaan banding yang tidak memenuhi syarat, panitera “dilarang” menerimanya.
Ini di tegaskan dalam penjelasan Pasal 233 ayat (2). Sedang terhadap permintaan
banding yang memenuhi persyaratan, panitera harus menerima dan melayani.
Penolakan Permintaan Banding Sesuai dengan penjelasan Pasal 233 ayat (2), panitera
“dilarang” menerima permintaan banding yang tidak memenuhi persyaratan yang di tentukan
undang-undang. Pengertian larangan, tidak lain dari pada “penolakan” atas permintaan
banding tersebut. Syarat-syarat permintaan banding yang tidak sah serta tata cara penolakan
banding yang tidak memenuhi syarat:
1) Permintaan Banding yang Tidak Memenuhi Syarat Permintaan banding yang
dianggap tidak memenuhi syarat undang- undang adalah:
a. Diajukan terhadap putusan yang tidak dapat dibanding. Di ajukan terhadap putusan
yang tidak dapat dibanding, merupakan permintaan yang “tidak sah” dan “tidak
memenuhi persyaratan” undang-undang. Permintaan banding yang diajukan terhadap
putusan yang tidak dapat dibanding, panitera “dilarang” menerimanya dan harus
menolaknya. Tentang putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dapat
diperkenankan undang-undang untuk dimintakan banding:
i. Putusan bebas,
ii. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dan
iii. Putusan acara cepat.
b. Permintaan banding diajukan setelah tenggang waktu yang ditentukan berakhir.
Faktor kedua yang bisa mengakibatkan permintaan banding tidak memenuhi syarat
yang sah, apabila pengajuan permintaan dilakukan setelah “lewat tenggang” waktu
yang ditentukan pada pasal 233 ayat (2). Berdasarkan ketentuan pasal 233 ayat (2),
tenggang waktu mengajukan permintaan banding:
i. Dalam waktu 7 hari sesudah dijatuhkan putusan, atau

14
ii. Dalam waktu 7 hari setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa
yang tidak hadir pada saat putusan dijatuhkan.
2) Tata Cara Penolakan Banding Tata cara penolakan permintaan dilakukan panitera
sebagai berikut:
a. Panitera membuat “akta penolakan” permohonan banding. Penolakan harus di
tuangkan panitera dalam bentuk surat akta penolakan permohonan banding, tidak
cukup dilakukan dengan lisan;
b. Akta penolakan ditandatangani oleh panitera dan pemohon;
c. Serta dilakukan dan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d. Berkas perkara tidak dikirimkan ke Pengadilan Tinggi. Dengan tata cara penolakan
yang demikian ada buktinya, dan sekaligus memberi kepastian hukum tentang
penolakan serta merupakan upaya pembinaan tata administratif peradilan yanglebih
dapat dipertanggungjawabkan.
 Penerimaan Permintaan Banding
 Permohonan Banding Memenuhi Syarat
Mengenai hal ini dapat dipedomani ketentuan pasal 233 ayat (2) dan penjelasannya.
Berpedoman kepada ketentuan tersebut, permohonan banding yang dianggap memenuhi
syarat, tiada lain daripada kebalikan dari permohonan banding yang tidak memenuhi
persyaratan, dengan rincian sebagai berikut:
1. Permohonan diajukan atau disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri yang
memutus perkara tersebut. Sekalipun permintaan banding diajukan ke Pengadilan
Tinggi, namun permohonan dilakukan oleh pemohon “melalui” panitera
Pengadilan Negeri yang memutus perkara, tidak dapat langsung diajukan ke
Pengadilan Tinggi.
2. Permohonan banding diajukan terhadap putusan yang dapat diminta banding.
Tentang putusan perkara yang dapat diminta banding sudah dijelaskan yakni
ditujukan terhadap putusan perkara:
i. Putusan pemidanaan dalam perkara biasa dan singkat,
ii. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima dalam acara biasa dan
acar singkat,
iii. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapatditerima dalam acara biasa dan
acara singkat,
iv. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum dalam acara biasa dan
acara singkat,

15
v. Putusan perampasan kemerdekaan terdakwa dalam acara cepat,

16
vi. Putusan Praperadilan mengenai tidak sah penghentian penyidikan dan
penghentian penuntutan.
Terhadap putusan-putusan perkara yang demikian permintaan banding dapat diajukan.
Sedang terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan acara cepat
tidak diperkenankan mengajukan permintaan banding.
Permintaan diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan.
i. Diajukan dalam waktu 7 hari sesudah putusan dijatuhkan bagi terdakwa yang hadir pada
saat putusan dijauhkan
ii. Dalam waktu 7 hari setelah putusan diberhentikan bagi terdakwa yang tidak hadir pada
saat putusan dijatuhkan.

17
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Banding dalam hukum acara pidana adalah bahwa upaya banding merupakan suatu
mekanisme yang diberikan kepada pihak yang merasa tidak puas dengan putusan pengadilan
untuk mengajukan permohonan agar putusan tersebut dapat diperiksa ulang oleh instansi
yang lebih tinggi. Proses pengikatan memiliki prosedur yang harus diikuti sesuai dengan
ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, dan hasil dari upaya pengikatan dapat berupa
pemutusan, pengubahan, atau penghapusan eksekusi pengadilan tingkat pertama serta Proses
upaya banding yang melibatkan persyaratan dan tata cara tertentu sesuai dengan peraturan
hukum yang berlaku, dan hasilnya dapat berupa pengesahan, pembatalan, atau perubahan
keputusan pengadilan sebelumnya

18
DAFTAR PUSTAKA
Darmini Roza dan Laurensius Arliman S Peran Pemerintah Daerah Di Dalam Melindungi
Hak Anak Di Indonesia, Masalah-Masalah Hukum, Volume 47, Nomor 1, 2018.
Laurensius Arliman S, Isdal Veri, Gustiwarni, Elfitrayenti, Ade Sakurawati, Yasri, Pengaruh
Karakteristik Individu, Perlindungan Hak Perempuan Terhadap Kualitas Pelayanan Komnas
Perempuan Dengan Kompetensi Sumber Daya Manusia Sebagai Variabel Mediasi, Jurnal Menara
Ekonomi: Penelitian dan Kajian Ilmiah Bidang Ekonomi, Volume 6, Nomor 2, 2020.
Laurensius Arliman S, Pendidikan Kewarganegaraan, Deepublish, Yogyakarta, 2020.
Laurensius Arliman S, Makna Keuangan Negara Dalam Pasal Pasal 23 E Undang Undang Dasar
1945, Jurnal Lex Librum, Volume 6, Nomor 2 Juni 2020, http://dx.doi.org/10.46839/lljih.v6i2.151.

19
Laurensius Arliman S, Kedudukan Lembaga Negara Independen Di Indonesia Untuk
Mencapai Tujuan Negara Hukum, Kertha Semaya Journal Ilmu Hukum, Volume 8, Nomor 7, 2020.
Laurensius Arliman S, Pelaksanaan Assesment Oleh Polres Kepulauan Mentawai Sebagai
Bentuk Pelaksanaan Rehabilitasi Bagi Pecandu Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, Jurnal
Muhakkamah, Volume 5, Nomor 1, 2020.
Laurensius Arliman S, Aswandi Aswandi, Firgi Nurdiansyah, Laxmy Defilah, Nova Sari
Yudistia, Ni Putu Eka, Viona Putri, Zakia Zakia, Ernita Arief, Prinsip, Mekanisme Dan Bentuk
Pelayanan Informasi Kepada Publik Oleh Direktorat Jenderal Pajak, Volume 17, No Nomor, 2020.
Larensius Arliman S, Koordinasi PT. Pegadaian (Persero) Dengan Direktorat Reserse
Narkoba Polda Sumbar Dalam Penimbangan Barang Bukti Penyalahgunaan Narkotika, UIR Law
Review, Volume 4, Nomor 2, 2020, https://doi.org/10.25299/uirlrev.2020.vol4(1).3779.
Laurensius Arliman S, Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan Pada Revolusi 4.0,
Ensiklopedia Sosial Review, Volume 2, Nomor 3, 2020. Muhammad Afif dan Laurensius Arliman S,
Protection Of Children's Rights Of The Islamic And Constitutional Law Perspective Of The Republic
Of Indonesia, Proceeding: Internasional Conference On Humanity, Law And Sharia (Ichlash),
Volume 1, Nomor 2, 2020
Otong Rosadi dan Laurensius Arliman S, Urgensi Pengaturan Badan Pembinaan Idelogi
Pancasila Berdasarkan Undang-Undang Sebagai State Auxiliary Bodies yang Merawat Pancasila
dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Prosiding Konferensi Nasional Hak Asasi Manusia,
Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19:
Tantangan untuk Keilmuan Hukum dan Sosial Volume 1, Universitas Pancasila, Jakarta, 2020

20

Anda mungkin juga menyukai