Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS BAGI HASIL FINANCING DALAM PERBANKAN SYARIAH

Endang Susilowati1,
1
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Zainul Hasan Genggong
Endang susilowati1
Email: endangsusilwti8@gmail.com1

Abstrak

Implementasi akuntansi syariah dalam manajemen perbankan syariah sangat penting karena mencerminkan
prinsip-prinsip Islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist. Praktik ini memastikan bahwa transaksi
keuangan dilakukan sesuai dengan prinsip syariah, seperti larangan bunga, dan memungkinkan bank untuk
beroperasi sesuai dengan nilai-nilai Islam. Penelitia ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode kualitatif
adalah metode yang focus pada pengamatan yang mendalam. Metode deskriptif adalah metode penelitian yang
digunakan untuk menggambarkan masalah yang terjadi pada masa sekarang atau yang sedang berlangsung,
bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang terjadi sebagaimana mestinya pada saat penelitian dilaksanakan.
Meskipun ada tantangan dalam implementasinya, teknologi informasi memiliki peran yang signifikan dalam
meningkatkan efisiensi akuntansi syariah, sementara akuntan syariah perlu menyesuaikan diri dengan peran
teknologi yang semakin dominan untuk menjaga relevansi dan keberlanjutan profesi mereka di masa depan.

Kata Kunci: Akuntansi Syariah, Manajemen Perbankan Syariah, Implementasi, Perspektif Kontemporer.

Abstract

The implementation of sharia accounting in sharia banking management is very important because it
reflects the Islamic principles stated in the Al-Qur'an and Al-Hadith. This practice ensures that financial
transactions are conducted in accordance with sharia principles, such as the prohibition of interest, and allows
banks to operate in accordance with Islamic values. This research uses descriptive qualitative methods. Qualitative
methods are methods that focus on in-depth observation. The descriptive method is a research method used to
describe problems that occur at present or are currently ongoing, aiming to describe what happened as it should
when the research was carried out. Although there are challenges in implementation, information technology has a
significant role in increasing the efficiency of sharia accounting, while sharia accountants need to adapt to the
increasingly dominant role of technology to maintain the relevance and sustainability of their profession in the

future.

Keywords: Sharia Accounting, Sharia Banking Management, Implementation, Contemporary Perspective.


Pendahuluan

Diantara keunggulan ekonomi Islam adalah berkaitan dengan hubungan antara pemilik
modal dengan pelaku bisnis. Dalam teori ekonomi Islam, modal dan pelaku usaha merupakan
dua faktor produksi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Setiap orang yang
memberikan modal dalam rangka memproduksi sesuatu yang bersifat komersial harus berasumsi
bahwa resiko kerugian sama besar kemungkinannya dengan peluang untuk mendapat
keuntungan. Dalam hal ini, modal merupakan unsur intrinsik dari usaha (enterpreneurship),
sepanjang menyangkut resiko bisnis. Karena itu, return yang diperoleh pemilik modal akan
berubah dan tidak tetap seperti dalam sistem bunga. Semakin banyak untung dalam bisnis, maka
akan semakin tinggi return dari modal yang diusahakan itu. Jelas, bahwa keuntungan yang
timbul dari aktifitas bisnis atau komersial di masyarakat akan terdistribusi kepada semua orang
yang memberikan modal dalam sebuah proyek, sesuai dengan besar kecilnya penyertaan modal.
Sistem ini berbeda bahkan bertentangan dengan sistem ekonomi kapitalis, dimana modal dan
pelaku usaha merupakan dua unsur produksi yang terpisah. Modal pasti akan mendapat bunga,
sedang pelaku usaha akan mendapat keuntungan. Tentu, keuntungan yang belum pasti harus
dihadapkan dengan “imbalan” terhadap uang yang dijadikan modal. Di sinilah sering terjadi
pelaku usaha mengalami kesulitan untuk mengembalikan modal berikut bunganya kepada
pemilik modal, karena usaha yang dijalankannya mengalami penurunan keuntungan. Sebaliknya,
apabila pelaku usaha mengalami keuntungan yang banyak, pemilik dana hanya akan dapat
pendapatan dari bunga yang sudah ditetapkan ratenya lebih dahulu. Dalam sistem transaksi
syariah yang berbasis bagi hasil dikenal dengan transaksi mudharabah dan musyarakah. Kedua
model transaksi ini adalah“core bussinis” perbankan syariah saat ini. Meskipun kenyataan di
lapangan belum maksimal. Skema pembiayaan bagi hasil sangat terbatas dibanding skema
pendapatan tetap, akad murabahah dan ijarah jauh lebih banyak digunakan oleh perbankan
syari’ah dibandingkan dengan skema bagi hasil. Alasannya karena skema ini dari sisi pendapatan
perbankan syariah lebih mendekati sistem ”bunga” yang relatif pasti dan ditentukan di muka,
sementara skema bagi hasil dianggap beresiko tinggi dan pendapatan perbankan syariah relatif
tidak pasti.1 Kurang diminatinya skema bagi hasil tersebut, khususnya skema bagi hasil
berdasarkan profit sharing bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, dilihat dari sisi

1
Fathurrrahman Djamil, Akad-Akad Syari’ah Untuk Transaksi Investasi Daerah, Makalah disampaikan
pada seminar Nasional Pasca Sarjana UIN Jakarta 26-27 Januari 2007, hal. 02.
pengusaha/mudharib skema bagi hasil tidak incentive compatible, yakni mereka tidak
memperolah insentif yang cukup untuk mengimplementasikan skema bagi hasil. Hal tersebut
disebabkan tidak cukup diakomodasikannya incentive compatibility constrain (ICC) pada skema
bagi hasil. Kedua, dilihat dari sisi pemilik dana (shahibul mal), skema bagi hasil tersebut
dianggap bukan merupakan skema yang efisien. Hal tersebut sebenarnya disebabkan kurang
diperhitungkannya incentive compatibility constrain (ICC) dan willingness to pay constrain
(WCPC) dalam mendesain skema bagi hasil.2

Metodologi

Penelitia ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode kualitatif adalah metode
yang focus pada pengamatan yang mendalam. Metode deskriptif adalah metode penelitian yang
digunakan untuk menggambarkan masalah yang terjadi pada masa sekarang atau yang sedang
berlangsung, bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang terjadi sebagaimana mestinya pada
saat penelitian dilaksanakan.

PEMBAHASAN

Bagi Hasil dalam Keuangan & Perbankan Syariah

Dalam operasional akad mudharabah sebagaimana dalam UU No 21 tentang Perbankan Syariah


menetapkan mudharabah adalah yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam Pembiayaan

adalah Akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank
Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah)
yang bertindak

selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali
jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian. Pada
kerjasama mudharabah ini terdapat dua prinsip dasar yaitu pertama, Return on Capital tidak
boleh ditentukan tetapi harus proporsi tertentu dari keuntungan. Kedua; adalah modal, bukan
tenaga kerja, `dikenai resiko keuangan dari kegiatan yang mengandung resiko.3

2
Tarsidin, Bagi Hasil Konsep dan Analisis, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI), 2010, hal.
5.
Metode Penentuan Nisbah Bagi Hasil Pembiayaan

Revenue Sharing

Para praktisi bank syariah di Indonesia memperdebatkan tentang distribusi keuntungan


antara bank dan nasabah. Perdebatan ini muncul adalah cara bank dan nasabah membagi
pemasukan (income). Beberapa orang merujuk pada dasar pembagian keuntungan, yakni
pemasaukan yang dibagikan secara langsung oelh kedua belah pihak tanpa dikurangi biaya
operasional. Sementara yang lainnya menggunakan bagi hasil (sharing revenue) yakni
pemasukan yang dibagikan secara langsung oleh kedua belah pihak tanpa dikurangi biaya apa
pun. Alasan metode ini adalah karena kenbanyakan kasus antara pihak bank dan nasabah sulit
menyetujuinya satu sama lain apakah pihak nasabah atau pihak bank yang dikenakan biaya
pengeluaran.4

Groos Profit Sharing

Dalam hal ini yang dijadikan dasar perhitungan dalam skema gross profit sharing adalah
laba kotor, yakni penjualan/ pendapatan usaha dikurangi dengan harga pokok penjualan/biaya
produksi. Dengan skema tersebut, pihak-pihak yang berkontrak tidak menghadapi ketidakpastian
di sisi biaya penjualan dan biaya umum dan administrasi. Oleh karena itu resiko pada skema
gross profit sharing tersebut lebih rendah dibandingkan pada skema profit sharing. Namun
tentunya potensi bagi pemilik dana untuk menikmati surplus juga lebih rendah karena tidak dapat
turut menikmati hasil dari efisiensi biaya penjualan dan biaya umum dan administrasi, atau pun
turunnya kedua jenis biaya usaha tersebut pada saat kegiatan usaha turun.5

Profit Sharing

Dalam hal ini yang digunakan sebagai dasar perhitungan adalah profit yang diperoleh dari usaha
yang dibiayai dengan kredit atau pembiayaan. Profit merupakan selisih antara
penjualan/pendapatan usaha dan biaya-biaya usaha, baik berupa harga pokok penjualan biaya
produksi, biaya penjualan, dan biaya umum dan administrasi. Penggunaan istilah profit sharing

3
Hayes, Samuel L dan Vogel, Frank E., Islamic Law and Finance, Religion, Risk and Return, (London
Boston: Kluwer Law International, The Haque, 1998). hal. 130.
4
Cecep Maskanul Hakim, Belajar`Mudah Ekonomi Islam: Catatan Kritis terhadap Dinamika
Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta, Shuhuf, Cet I, 2010), hal. 17
5
Tarsidin, Bagi Hasil, hal. 22
dalam hal ini merujuk pula pada istilah profit and loss sharing, mengingat besaran profit yang
bisa

bertanda positif (untung) atau negatif (rugi). Ketidakpastian (hasil dan resiko) pada penggunaan
skema profit sharing dapat dibedakan dalam tiga area kategori.6

Perhitungan nisbah bank syariah, ditentukan oleh dua mekanisme, yaitu bagi hasil dan bagi hasil.
Sistem bagi hasil dengan bagi hasil didasarkan pada laba bersih dari pendapatan yang diterima
atas kerja sama usaha, setelah dilakukan pengurangan pengurangan atas beban biaya selama
proses usaha tersebut. Sementara pada bagi hasil, bagi hasil yang didasarkan pada total seluruh
pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk
memperoleh pendapatan tersebut. Sedangkan pada perbankan syariah perhitungan hasil
memperoleh nilai rata-rata indikatif, yang besaran bagi hasil untuk nasabah yang dipublikasikan
dalam bentuk persentase (tingkat ekuivalen).

Misalnya nasabah A yang memiliki rekening tabungan syariah dengan saldo rata-rata pada bulan
Januari tahun 2022 adalah Rp5.000.000. Persentase nisbah yang ditawarkan pada produk tersebut
adalah 85% untuk bank dan 15% untuk nasabah. Kemudian, saldo rata-rata tabungan pada
seluruh nasabah bank syariah tersebut pada bulan Januari 2022 adalah Rp5.000.000.000.
Pendapatan bank yang dibagihasilkan untuk tabungan nasabah sebesar Rp250.000.000.

(Rp5.000.000 / Rp5.000.000.000) x Rp 250.000.000 x 15% = Rp37.500

Maka, bagi hasil yang diterima nasabah tersebut sebesar Rp37.500 (belum dipotong pajak).

Penerapan Bagi Hasil pada Pembiayaan Bank Syariah

Pembiayaan Bank Syariah

Skema bagi hasil yang diterapkan pada pembiayaan melalui perbankan syariah dikenal
financial intermediary mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan perbankan
konvensional. Perbankan syariah tidak saja menggunakan skema bagi hasil pada sisi
pembiayaannya, tapi juga pada sisi pendanaanya. Hal ini membuat hubungan principal-agent
antara bank syariah dengan pengusaha selaku pengguna dana ditransmisikan kepada deposannya.

6
Nienhaus, Volker, “The Performance Of Islamic Banks: Tren and Cases”, dalam Islamic Law and
Finance, (London: Graham & Trotman Inc, 1988). , hal.133
Dengan demikian analisis atas skema bagi hasil yang optimal pada pembiayaan melalui
perbankan syariah menjadi berbeda.

Perbankan syariah financial intermediary, dalam hal ini bank syariah hanya berusaha
memaksimalkan expected utility pemegang sahamnya, tetapi juga memperhatikan expected
utility pengusaha dan deposannya. Dengan demikian desain skema bagi hasil yang optimasl pada
pembiayaan oleh perbankan syariah melibatkan optimalitas dari tiga pihak, yakni bank syariah,
pengusaha dan deposan. Dalam hal ini bank syariah bertindak sebagai principal, pengusaha
selaku agent, dan deposan selaku quasi-principal. Meskipun deposan pemilik dana yang
sesungguhnya, namun dilihat dari sudut pandang hubungan principalagent antara bank syariah
dan pengusaha, deposan pada posisi sebagai pihak yang tidak dapat berbuat banyak dan
kapasitasnya selaku pemilik dana telah digantikan oleh bank syariah.7

Kesimpulan

7
Tarsidin, Bagi Hasil, hal. 187
Dalam ekonomi Islam, hubungan antara pemilik modal dan pelaku bisnis sangat penting. Modal
dan pelaku usaha dianggap tidak dapat dipisahkan, dengan setiap pemilik modal harus bersedia
menanggung risiko bisnis dan berbagi keuntungan sesuai dengan besarnya modal yang
disertakan. Sistem ekonomi Islam berbeda dengan sistem kapitalis karena dalam Islam, modal
dan pelaku usaha dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sistem transaksi
syariah berbasis bagi hasil, seperti mudharabah dan musyarakah, dianggap sebagai inti dari
perbankan syariah meskipun penggunaannya masih terbatas karena dianggap berisiko tinggi.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif untuk mendeskripsikan masalah yang
terjadi dalam pembiayaan syariah, khususnya dalam penerapan skema bagi hasil. Skema bagi
hasil dalam pembiayaan syariah, seperti mudharabah, membagi keuntungan dan kerugian antara
bank dan pengusaha dengan proporsi tertentu sesuai dengan kesepakatan. Terdapat beberapa
metode penentuan nisbah bagi hasil dalam pembiayaan syariah, termasuk revenue sharing, gross
profit sharing, dan profit sharing, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan.
Teknologi informasi memiliki peran penting dalam meningkatkan efisiensi akuntansi syariah dan
membuka peluang baru bagi profesi akuntan syariah. Dalam penerapan skema bagi hasil pada
pembiayaan bank syariah, perhatian utama adalah memastikan optimalitas bagi bank, pengusaha,
dan deposan, dengan bank berperan sebagai principal, pengusaha sebagai agent, dan deposan
sebagai quasi-principal.

DAFTAR PUSTAKA
Cecep Maskanul Hakim, Belajar`Mudah Ekonomi Islam: Catatan Kritis terhadap Dinamika
Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta, Shuhuf,
Cet I, 2010), hal. 17. Diakses pada tanggal 3 April 2024
Tarsidin, Bagi Hasil Konsep dan Analisis, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI),
2010, hal. 5. Diakses pada tanggal 1 April 2024
Hayes, Samuel L dan Vogel, Frank E., Islamic Law and Finance, Religion, Risk and Return,
(London Boston: Kluwer Law International, The Haque, 1998).
hal. 130. Diakses pada tanggal 2 April 2024
Nienhaus, Volker, “The Performance Of Islamic Banks: Tren and Cases”, dalam Islamic Law
and Finance, (London: Graham & Trotman Inc, 1988). , hal.133.
Diakses pada tanggal 3 April 2024
Tarsidin, Bagi Hasil, hal. 187. Diakses pada tanggal 3 April 2024
Tarsidin, Bagi Hasil, hal. 22. Diakses pada tabnggal 2 April 2024
Fathurrrahman Djamil, Akad-Akad Syari’ah Untuk Transaksi Investasi Daerah, Makalah
disampaikan pada seminar Nasional Pasca Sarjana UIN Jakarta 26-
27 Januari 2007, hal. 02. Diakses pada tanggal 31 Maret 2024

Anda mungkin juga menyukai