Anda di halaman 1dari 159

LAPORAN KASUS LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERASI ORIF FRAKTUR

CRURIS SENISTRA 1/3 PROKSIMAL PADATN. I

DI RSUD TEMANGGUNG

KTI

Disusun untuk memenuhi sebagai syarat mata kuliah Tugas Akhir

Pada Program Studi D III Keperawatan Magelang

OLEH

Ulya Hilmawati
P17420512038

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN MAGELANG


JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK
KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
MEI, 2015
LAPORAN KASUS LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATANPOSTOPERASI ORIF FRAKTUR

CRURIS SENISTRA 1/3 PROKSIMALPADATN. I

DI RSUD TEMANGGUNG

KTI

Disusun untuk memenuhi sebagai syarat mata kuliah Tugas Akhir

Pada Program Studi D III Keperawatan Magelang

OLEH

Ulya Hilmawati

P17420512038

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN MAGELANG


JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK
KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
MEI, 2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat

dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan kasus“Asuhan

Keperawatan Post Operasi ORIF FrakturCruris Sinistra 1/3 ProksimalPadaTn.I di

RSUD Temanggung”.Laporan kasusasuhan keperawatanini disusun untuk

memenuhi syarat mata kulian tugas akhir pada program studi DIII Keperawatan

Magelang.

Dalam penyusunan Laporan kasusasuhan keperawatan ini penulis menyadari tidak

terlepas dari bantuan berbagai pihak, berkat bimbingan dan petunjuk serta

dorongan dari berbagai pihak sehingga “Asuhan Keperawatan Post Operasi ORIF

Fraktur Cruris Sinistra 1/3 Proksimal Pada Tn. I di RSUD Temanggung” ini dapat

selesai tepat pada waktunya.Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima

kasih kepada yang terhormat :

1. Bapak Budi Ekanto,S.Kp.,M.Sc. selaku ketua jurusan program studi

keperawatan Poltekkes Semarang

2. Ibu Hermani Tri Redjeki,S.Kep,Ns,M.Kes. selaku kepala Program Studi D-III

Keperawatan Magelang

3. Bapak Sunarko, S.Pd, M.Med.Ed. selaku dosen pembimbing dalam pembuatan

tugas akhir ini


4. Orang tua tercinta dan terkasih (M. Daiman dan Ngimroatul Ngajizah)serta

kakek dan nenek (Jarodin dan Surjiwati), yang telah memberikan doa dan

semangat dalam perkuliahan serta dalam menyelesaikan tugas akhir ini

5. Adik-adik tersayang (Muhammad yusvika, Putri Septin M, Naiadita viviana)

atas semangat dan doanya

6. Sahabat dan teman sejati yang senantiasa bersama berjuang dalam susah dan

senang untuk mencapai kesuksesan

7. Teman-teman seperjuangan (Arjuna 1 & 2) dan semua pihak yang tidak dapat

disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan

tugas akhir ini.

Penulis menyadari bahwa Laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.

Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat

membangun sebagai masukan untuk melengkapi dan memperbaiki laporan ini.

Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat memberikan kontribusi

bagi kemajuan profesi keperawatan.

Magelang, 20 MEI 2015

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul ------------------------------------------------------------- i

Lembar Pernyataan Tulisan --------------------------------------------- ii

Lembar Persetujuan Bimbingan --------------------------------------- iii

Lembar Pengesahan ------------------------------------------------------- iv

Kata Pengantar ------------------------------------------------------------- v

Daftar Isi --------------------------------------------------------------------- vii

BAB I Pendahuluan ------------------------------------------------------- 1

A. Latar Belakang ------------------------------------------------- 1

B. Tujuan Penulisan ---------------------------------------------- 4

C. Manfaat Penulisan --------------------------------------------- 5

BAB II Tinjauan Pustaka ------------------------------------------------ 6

A. Konsep Fraktur ------------------------------------------------ 6

1. Definisi ----------------------------------------------------- 6

2. Etiologi ----------------------------------------------------- 6

3. Klasifikasi -------------------------------------------------- 7

4. Manifestasi Klinis ---------------------------------------- 9

5. Patofisiologi ----------------------------------------------- 11

6. Penyembuhan Tulang ------------------------------------ 12

7. Komplikasi Fraktur --------------------------------------- 15

8. Penatalaksanaan ------------------------------------------- 18

B. Asuhan Keperawatan Klien dengan Fraktur --------------- 22


1. Pengkajian ------------------------------------------------- 22

2. Diagnosa Keperawatan ----------------------------------- 30

3. Intervensi --------------------------------------------------- 36

4. Evaluasi ---------------------------------------------------- 47

Daftar Pustaka ------------------------------------------------------------- 52

Lampiran - lampiran ----------------------------------------------------- 54


DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Derajat fraktur terbuka ------------------------------------------ 114

1.2 Klasifikasi patah tulang ----------------------------------------- 115

1.3 Tipe patah tulang epifisis --------------------------------------- 115


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Klasifikasi fraktur ---------------------------------------------- 117

2.2 Proses penyembuhan tulang ---------------------------------- 117

2.3 Tahap awal ambulasi ------------------------------------------ 118

2.4 Tahap kedua ambulasi ---------------------------------------- 118

2.5 Tahap ketiga ambulasi ---------------------------------------- 118

2.6 Pathway fraktur ------------------------------------------------ 119


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit musculoskeletal saat ini telah menjadi masalah yang

banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh

dunia.Salah satu penyakit musculoskeletal adalah patah tulang atau

fraktur. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau

patahnya tulang yang utuh yang biasanya disebabkan oleh trauma atau

rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma

(Lukman dan Ningsih ,2009, p.26).

Fraktur lebih sering terjadi karena jatuh akibat olahraga dan

pekerjaan, atau kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada usia

lanjut prevalensi cenderung lebih banyak terjadi pada wanita

berhubungan dengan adanya osteoporosis yang terkait dengan

perubahan hormon (Lukman dan Ningsih, 2009, p. 27).

Dari 84.774 peristiwa cedera, penyebab cedera terbanyak yaitu jatuh

sebanyak 40,9 % atau 34.672 peristiwa, akibat kecelakaan sepeda

motor adalah 40,6 % atau 34.418 peristiwa, karena benda tajam atau

tumpul 7,3 % atau 6188 peristiwa (RISKESDAS, 2013).

Di seluruh dunia berdasarkan data World Health Organisation

(WHO) pada tahun 1990 terjadi 1,7 juta kasus patah tulang panggul.
Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta pada tahun 2050. Seiring

dengan semakin tingginya usia harapan hidup di Amerika, 26 juta

orang usia diatas 50 tahun menderita osteoporosis, 40% diantaranya

mengalami patah tulang karena osteoporosis. Di Asia fraktur tulang

pinggul juga merupakan masalah yang cukup banyak dalam

masyarakat, dimana 50% dari kejadian fraktur didunia terjadi di Asia

(ITS, 2010).

Menurut data dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2010, kasus patah tulang

mengalami peningkatan setiap tahun sejak 2007. Pada 2007 ada 22.815

insiden patah tulang, pada 2008 menjadi 36.947, pada 2009 menjadi

42.280 dan pada 2010 terdapat 43.003 kasus. Dari data tersebut, SIRS

menyimpulkan bahwa rata-rata angka insiden patah tulang paha atas,

tercatat sekitar 200/100.000 pada perempuan dan laki-laki di atas usia

40 tahun (Noviardi, 2012).

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menyebutkan bahwa tahun

2007 didapatkan sekitar 2.700 orang mengalami insiden fraktur, 56%

penderita mengalami kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 15%

mengalami kesembuhan dan 5% mengalami gangguan psikologis atau

depresi terhadap adanya kejadian fraktur (Febriyana, 2012).

Pada tahun 2014, berdasarkan catatan rekam medis di RSUD

temanggung, didapatkan data bahwa dari 54.095 pasien yang dirawat


selama 2014 terdapat 422 pasien fraktur . Dengan rincian 304 pasien

rawat inap, dan 118 pasien melakukan rawat jalan. Dari 422 pasien

tersebut dilakukan reduksi terbuka (ORIF) 385 pasien dan reduksi

tertutup (Gips) 37 pasien.

Penanganan segera pada klien yang dicurigai fraktur sangat

diperlukan dan penting. Apabila klien yang mengalami fraktur atau

patah tulang tidak segera ditangani dengan baik dan benar maka proses

penyembuhan tulang tersebut akan membutuhkan waktu yang lama dan

dapat mengalami abnormal. Akibatnya dapat menimbulkan kecacatan

dan bahkan meninggal dunia (Bali post, 2015). Selain itu jika dalam

proses penyembuhanya mengalami kesalahan dapat mengakibatkan

komplikasi seperti kerusakan arteri, sindrom kompartemen, fat

embolism syndrome (FES), infeksi, nekrosis avaskuler, syok,delayed

union, non union, dan mal union (Muttaqin, 2008, p. 76-79).

Sehingga pada klien yang mengalami fraktur sebaiknya dilakukan

pertolongan secara medis yaitu dengan pemeriksaan radiologi seperti

foto rontgen dan CT-scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging)

untuk menentukan jenis dan kedudukan frakmen fraktur. Ketika sudah

diketahui adanya pecahan tulang dan jenis patah tulang maka dokter

akan segera menangani masalah sesuai prosedur dan tindakan

medissehingga proses penyembuhan tulang akibat fraktur dapat

tertangani dengan baik dan tidak menimbulkan komplikasi. Selain itu


perawat sebaiknya dengan pengetahuan yang baik dan metode asuhan

keperawatan yang optimal dapat mengantisipasi terjadinya komplikasi

pada klien yang mengalami fraktur serta mengurangi dampak resiko

yang mungkin timbul pada klien.

Melihat data di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat

laporan dengan judul “ Asuhan Keperawatan PostOperasi Fraktur

ORIF Cruris Sinistra 1/3 Proksimal pada Tn. I di RSUD Kabupaten

Temanggung”.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan asuhan keperawatan ini adalah

untuk menerapkan asuhan keperawatanoperasi fraktur cruris pada

pada Tn.I di Rumah Sakit Umum Daerah Temanggung. Setelah

melakukan asuhan keperawatan penulis mampu mengetahui /

mengidentifikasi cara memberi asuhan keperawatan pada klien

dengan post operasi ORIF fraktur cruris

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penulisan asuhan keperawatan ini

diantaranya penulis mampu :

a. Melakukan pengkajian pada klien dengan post operasi

ORIFfraktur cruris

b. Menganalisa data hasil pengkajian


c. Membuat rumusan diagnosa keperawatan

d. Membuat intervention atau perencanaan sesuai dengan masalah

keperawatan yang muncul pada klien dengan post operasi ORIF

fraktur cruris

e. Melakukan implementation atau tindakan keperawatan sesuai

dengan keadaan klien postoperasi ORIFfraktur cruris, dan

melakukan evaluasi hasil pada klien denganpost operasi ORIF

fraktur cruris.

C. Manfaat Penulisan

Hasil dari penulisan karya ilmiah ini semoga memberkan manfaat

praktis bagi bidang keparawatan yaitu sebagai sumbang saran untuk

mengoptimalkan dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien

denganpost operasi ORIFfraktur cruris.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Fraktur

1. Definisi

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik

yang bersifat total maupun sebagian (Rasjad dalam Muttaqin, 2008,

p. 69).

Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang, biasanya disebabkan

oleh trauma atau tenaga fisik. Keadaan, sudut, tenaga, keadaan

tulang dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah

fracture yang terjadi tersebut lengkap atau tidak lengkap. Fracture

lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur

tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Price

dalam Muttaqin , 2008, p. 69).

R. Sjamsuhidajat (2004) menyatakan, “fraktur atau patah tulang

adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan / atau tulang

rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang

menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung misalnya

benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang

radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya
jatuh tertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula

atau radius distal patah” (p.840).

2. Etiologi

Menurut (Smeltzer dalam Muttaqin, 2009, p.26) fraktur

disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter

mendadak dan bahkan kontraksi otot ekstrem.

Patah tulang juga dapat disebabkan karena trauma minimal atau

tekanan ringan (fraktur patologis) seperti pada usia lanjut yang

mengidap osteoporosis, tumor, infeksi, atau penyakit lainya. Selain

itu fraktur juga bisa terjadi akibat fraktur stress yaitu peningkatan

drastis tingkat latihan pada seorang atlit atau pada permulaan

aktivitas fisik baru (Corwin, 2009, p. 298).

3. Klasifikasi

Klasifikasi fraktur berdasarkan penyebabnya (Rasjad dalam

Muttaqin, 2008, p. 70)yaitu :

a. Fraktur traumatik, terjadi karena trauma yang tiba-tiba

mengenai tulang dengan kekuatan besar dan tulang tidak

mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah.

b. Fraktur patologis, terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya

akibat kelainan patologis di dalam tulang. Terjadi pada daerah-

daerah tulang yang telah menjadi lemah karena tumor baik


primer maupun yang telah bermetastasis atau proses patologis

lainya. Menurut Price (2009, p. 314) fraktur patologis sering

terjadi pada orang tua yang mengidap osteoporosis, penderita

tumor (osteoma, osteosarkoma, osteoma osteoid, sarcoma

Ewing, kondrosarkoma atau kanker tulang rawan).

c. Fraktur stress atau fraktur kelelahan, terjadi karena adanya

trauma yang terus-menerus pada suatu tempat tertentu.

Contohnya adalah pada pekerja kuli panggul yang sering

memakai tulang bahunya untuk membawa beban, dapat

menyebabkan patah tulang bahu.

Secara umum menurut Muttaqin (2008, p.71) keadaan patah

tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Fraktur tertutup (simple fracture) adalah fraktur yang fragmen

tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak

tercemar oleh lingkungan atau tidak mempunyai hubungan

dengan dunia luar.

b. Fraktur terbuka (compound fracture) adalah fraktur yang

mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada

kulit dan jaringan lunak.

Sedangkan, patah tulang terbuka (Sjamsuhidajat (eds),

2008, p. 1040) dibagi menjadi tiga derajat, yang ditentukan oleh

berat ringanya luka dan fraktur yang terjadi.


a. Derajat 1 : laserasi luka kurang dari 1 cm. Misalnya fraktur

Sederhana, dislokasi fragmen minimal.

b. Derajat II : laserasi lebih dari 1 cm, tidak ada kerusakan

jaringan yang hebat atau avulse, ada kontaminasi, dislokasi

fragmen jelas.

c. Derajat III : luka lebar dan rusak hebat, hilangnya jaringan

disekitarnya, kontaminasi hebat. Misalnya fraktur Kominutif,

segmental, fragmen tulang ada yang hilang.

Menurut garis frakturnya patah tulang dibagi menjadi fraktur

komplet atau inkomplet (termasuk fisura dan greenstick

fracture).transversa, oblik, spiral, kompresi, simple, kominutif,

segmental, kupu-kupu, dan impaksi (termasuk impresi dan

inklavasi). Sedangkan menurut lokasi patahan di tulang, fraktur

dibagi menjadi fraktur epifisis, metafisis, dan diafisis. Tipe patah

tulang episfisis terdiri atas :

a. Tipe 1 : Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafsis,

tetapi periosteumnya masih utuh

b. Tipe II : Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafsis,

tetapi periosteumnya masih utuh

c. Tipe III : Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi

d. Tipe IV : Terdapat fragmen patahan tulang yang garis

patahnya tegak lurus cakram epifisis


e. Tipe V : Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis

yang menyebabkan kematian dari sebagian cakram tersebut.

4. Manifestasi Klinis

Menurut Smeltzer dalam buku Muttaqin, (2008) menyatakan

bahwa, “manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,

deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan

local, dan perubahan warna” (p. 30).

Sedangkan, menurut Muttaqin (2009, p. 30) :

a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen

tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur

merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk

menimalkan gerakan antar fragmen tulang.

b. Setelah terjadi fraktur, bagian yang tak dapat digunakan dan

cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa)

bukanya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen

pada fraktur pada lengan atau tungkai menyebabkan deformitas

(terlihat maupun teraba ekstremitas yang bisa diketahui dengan

membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat

berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung

pada integritas tulang tempat melekatnya otot.


c. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang

sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan

bawah tempat fraktur.

d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik

tulang dinamakan krepitus akibat gesekan antara fragmen satu

dengan lainya.

e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi

sebagai akibat trauma dn perdarahan yang mengikuti fraktur.

Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari

setelah cedera.

5. Patofisiologi

Patah tulang sering disebabkan oleh trauma, terutama pada

anak-anak dan dewasa muda. Apabila tulang melemah, patah dapat

terjadi hanya akibat trauma minimal atau tekanan ringan. Hal ini

disebut fraktur patologis. Fraktur patologis sering terjadi pada

orang tua yang mengidap osteoporosis, tumor, infeksi, atau

penyakit lain (Corwin, 2009, p. 298).

Selain itu fraktur juga bisa disebabkan karena pukulan langsung,

gaya meremuk, dan gerakan puntir mendadak (Lukman dan

Ningsih, 2009, p. 26). Fraktur stres biasanya terjadi akibat

peningkatan drastis tingkat latihan pada seorang atlit atau pada

permulaan aktivitas fisik baru. Fraktur stress biasanya terjadi pada


mereka yang menjalani olahraga daya tahan misalnya lari jarak

jauh. Sewaktu tulang patah maka sel-sel tulang mati. Perdarahan

biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak

di sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak biasanya juga mengalami

kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur. Sel-sel

darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan

aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-

sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk bekuan fibrin

(hematom fraktur) dan berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-

sel baru. Aktivitas osteoblas segera terangsang dan terbentuk

tulang-tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin

direabsorpsi dan sel-sel tulang baru secara perlahan mengalami

remodelling untuk membentuk tulang sejati. Tulang sejati

menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi.

Penyembuhan memerlukan waktu beberapa minggu sampai

beberapa bulan (kecuali pada anak lebih cepat). Penyembuhan

dapat terganggu atau terlambat apabila hematom fraktur atau kalus

rusak sebelum tulang sejati terbentuk atau abila sel-sel tulang baru

rusak selama proses kalsifikasi atau pengerasan. Patah tulang

traumatik dan cedera jaringan lunak biasanya disertai nyeri.

(Corwin, 2009, p. 298-299).

Ketika terjadi patah tulang maka salah satu pengobatanya

adalah dengan pembedahan. Setelah pembedahan klien akan


mengalami imobilisasi untuk mempertahankan fragmen tulnag

yang patah dalam posisi kesejajaran dan kembali menyatu. Pada

fraktur terbuka yang berhubungan dengan dunia luar melalui kulit

karena adanya pintu masuk kuman (port de entrée) yang

memungkinkan terjadinya kontaminasi bakteri (Muttaqin, 2008, p.

90).

6. Penyembuhan Tulang

Menurut Smeltzer (Lukman & Ningsih, 2009, p. 8) bahwa

tahapan penyembuhan tulang terdiri atas :

a. Tahap inflamasi; berlangsung beberapa hari (kurang dari lima

hari) dan akan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan

nyeri. Saat tulang mengalami cedera, terjadi perdarahan dalam

jaringan yang cedera dan pembentukan hematoma di tempat

tulang yang patah. Ujung fragmen tulang mengalami

devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera

kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar),

yang akan membesarkan daerah tersebut. Pada saat itu terjadi

inflamasi, pembengkakan dan nyeri.

b. Tahap proliferasi sel; kira-kira 5 hari hematoma akan

mengalami organisasi terbentuk benang-benang fibrin dalam

jendalan darah membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan

invasi fibroblast dan osteoblas. Fibroblas dan osteoklas


(berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan

menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks

kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrosa

dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak

pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut

dirangsang oleh gerakan yang berlebihan akan merusak struktur

kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial

elektronegatif.

c. Tahap pembentukan kalus; pertumbuhan jaringan berlanjut dan

lingkaran tulang rawan tumbuh mencapa sisi lain sampai celah

sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan

dengan jaringan fibrosa, tulang rawan, dan tulang serat matur.

Bentuk kalus dan volume dibutuhkan untuk menghubungkan

defek secara langung berhubungan dengan jumlah kerusakan

dan pergeseran tulang. Perlu waktu 3 sampai 4 minggu agar

fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan

fibrosa. Secara klinis fragmen tulang tidak bisa lagi digerakkan.

d. Tahap penulangan kalus (Osifikasi); patah tulang panjang orang

dewasa normal, penulangan memerlukan waktu 3 sampai 4

bulan. Mineral terus-menerus ditimbun sampai tulang benar-

benar telah bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap

bersifat elektronegatif.
e. Tahap menjadi tulang dewasa (Remodelling); tahap akhir

perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan

reorganisasi tulang baru ke susunan structural sebelumnya.

Remodelling memerlukan waktu 4 bulan sampai 1 tahun

bahkan lebih, bergantung pada beratnnya modifikasi tulang

yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan kasus yang melibatkanya

(apakah tulang kompak dan kanselus) stress fungsional pada

tulang. Tulang kanselus mengalami penyembuhan dan

remodeling lebih cepat daripada tulang kortikal kompak,

khususnya pada titik kontak langsung. Selama pertumbuhan

memanjang tulang, daerah metafisis mengalami remodeling

(pembentukan) dan pada saat yang bersamaan epifisis menjauhi

batang tulang secara progresif. Remodelling tulang terjadi

sebagai hasil proses antara deposisi dan resospsi osteoblastik

tulang secara bersamaan.

7. Komplikasi fraktur

Komplikasi fraktur meliputi :

a. Komplikasi awal

1) Kerusakan arteri. Pecahnya arteri kerena trauma dapat

ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT (Capillary Refill

Time) menurun, sianosis pada bagian distal, hematoma


melebar, dan dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh

tindakan darurat splinting, perubahan posisi daerah yang

sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.

2) Sindrom kompartemen. Sindrom kompartemen merupakan

komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,

tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Hal

ini disebabkan oleh edema atau perdarahan yang menekan

otot, saraf, dan pembuluh darah atau tekanan dari luar sperti

gips dan pembebatan yang terlalu kuat.

3) Fat embolism syndrome (FES). Adalah komplikasi serius

yang terjadi pada kasus fraktur tulang panjang . FES terjadi

karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning

masuk ke aliran darah dan menyebabkan kadar oksigen

dalam darah rendah. Hal tersebut ditandai dengan gangguan

pernapasan, takikardia, hipotensi, takipnea, dan demam.

4) Infeksi. Sistem pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma

pada jaringan.Pada trauma ortopedi, infeksi dimulai pada

kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Hal ini biasanya

terjadi pada kasus fraktur terbuka, tetap dapat juga karena

penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin

(ORIF dan OREF) serta plat.


5) Nekrosis avaskuler. Terjadi karena aliran darah ke tulang

rusak atau terganggu sehingga menyebabkan nekrosis

tulang. Biasanya diawali dengan adanya iskemia Volkman.

6) Syok. Terjadi karena kehilangan banyak darah dan

meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan

oksigenasi menurun. Hal ini biasanya terjadi pada fraktur.

Pada beberapa kondisi tertentu, syok neurogenik sering

terjadi pada fraktur femur karena rasa sakit yang hebat pada

klien

b. Komplikasi lama

1) Delayed union. Merupakan kegagalan fraktur

berkonsolidasi sesuai denga waktu yang dibutuhkan tulang

untuk menyambung. Hal ini terjadi karena suplai darah ke

tulang menurun. Delayed union adalah fraktur yang tidak

sembuh atau penyembuhan lambat dari keadaan normal.

2) Non union. Adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8

bulan dan tidak didapatkan konsolidasi sehingga terdapat

pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudosrtrosis dapat terjadi

tanpa infeksi, tetapi dapat juga terjadi bersama-sama

infeksi yan disebut infected pseudoarthrosis.Beberapa

jenin non union berdasarkan keadaan ujung-ujung fragmen

tulang, yaitu:

a) Hipertrofik
Ujung-ujung tulang bersifat sklerotik dan lebih besar

dari keadaan normal yang disebut gambaran elephant’s

foot.Garis fraktur tampak jelas, ruangan antartulang

diisi dengan tulang rawan dan jaringan ikat

fibrosa.Pada jenis ini vaskularisasi baik, sehingga

biasanya hanya diperlukan fiksasi yang rigid tanpa

diperlukan pemasangan bone graft.

b) Atrofik (oligotrofik)

Tidak ada tanda-tanda aktivitas selular pada ujung

fraktur.Ujung tulang lebih kecil dan bulat serta

osteoporotic dan avaskular. Pada jenis ini, di samping

dilakukan fiksasi rigid, juga diperlukan pemasangan

bone graft.

3) Mal union. Adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada

saatnya, tetapi terdapat deformitas yang berbentuk angulasi,

varus atau valgus, rotasi, pemendekan atau union secara

menyilang, misalnya pada fraktur tibia-fibula. Penyebab mal

union adalah fraktur tanpa pengobatan, pengobatan yang

tidak adekuat, reduksi, teknik yang salah pada waktu

pengobatan, imobilisasi yang tidak baik, dan osifikasi

premature pada lempeng epifisis karena adanya

trauma(Muttaqin, 2008, p.76-80).


8. Penatalaksanaan Fraktur

Ada empat prinsip penatalaksanaan fraktur menurut Lukman &

Ningsih (2009, p. 34-35), sebagai berikut :

a. Recognition

Menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian dan di

rumah sakit.Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, jenis

kekuatan yang berperan, dan deskripsi tentang peristiwa yang

terjadi oleh penderita sendiri, menentukan kemungkinan adanya

fraktur dan apakah perlu dilakukan pemeriksaan spesifik untuk

mencari adanya fraktur.

b. Reduction

Tindakan memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah

sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya.Metode

yang digunakan adalah dengan reduksi tertutup, traksi dan

reduksi terbuka (bergantung pada sifat frakturnya).

c. Retention (Imobilisasi fraktur)

Mengibobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam

posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi

penyatuan.Dapat dilakukan fiksasi secara interna (implant

logam) dan fiksasi eksterna (pembalutan, gips, bidai, traksi

kontinu, pin, dan teknik gips).


d. Rehabilitation (Mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal

mungkin)

Menurut Muttaqin (2008, p. 82), program rehabilitasi dilakukan

dengan mengoptimalkan seluruh keadaan klien pada fungsinya

agar aktivitas dapat dilakukan kembali. Bagaimana klien dapat

melanjutkan hidup dan melakukan aktivitas dengan

memaksimalkan organ lain yang tidak mengalami masalah.

Sedangkan, penatalaksanaan ambulasi dini pasca operasi

ekstremitas bawah dengan beberapa tahap. Hari pertama post

operasi klien diajarkan fleksi ekstensi kaki, kemudian dua hari

setelah post operasi jika klien tidak mengalami pusing latih

ambulasi yaitu miring kanan dan kiri. Pada hari ke tiga post operasi

ajarkan klien duduk dan setelah hari keempat latih klien untuk

berjalan dengan menggunakan alat bantu seperti kruk atau walker.

Klien akan dapat menapakkan kakinya satu bulan setelah dilakukan

operasi. Menurut Muttaqin (2008, p. 85), penatalaksanaan ambulasi

dini klien post op yaitu:

a. Sebelum pasien berdiri dan berjalan, nadi, pernafasan dan

tekanan darah pasien harus diperiksa terlebih dahulu.

b. Jika pasien merasakan nyeri, perawat harus memberikan

medikasi pereda nyeri. 20 menit sebelum berjalan, karena

penggunaan otot untuk berjalan akan menyebabkan nyeri.


c. Hari ketiga post operasi sesuai anjuran dokter, pasien diajarkan

duduk di tempat tidur, menggantungkan kakinya beberapa menit

dan melakukan nafas dalam sebelum berdiri. Tindakan ini

bertujuan untuk menghindari rasa pusing pada pasien.

d. Selanjutnya sesuai anjuran dokter pada hari ke empat post

operasi, pasien berdiri disamping tempat tidur selama beberapa

menit sampai pasien stabil. Pada awalnya pasien mungkin hanya

mampu berdiri dalam waktu yang singkat akibat hipotensi

ortostatik

e. Jika pasien dapat berjalan sendiri, perawat harus berjalan dekat

pasien sehingga dapat membantu jika pasien tergelincir atau

merasa pusing

f. Perawat dapat menggandeng lengan bawah pasien dan berjalan

bersama, Jika pasien tampak tidak mantap, tempatkan satu

lengan merangkul pinggul pasien untuk menyokong pasien pada

siku.

g. Setiap penolong harus memegang punggung lengan atas pasien

dengan satu tangan dan memegang lengan bawah dengan tangan

yang lain.

h. Bila pasien mengalami pusing dan mulai jatuh, perawat

menggenggam lengan bawah dan membantu pasien duduk di

atas lantai atau di kursi terdekat


i. Pasien diperkenankan berjalan dengan walker atau tongkat

biasanya dalam satu atau dua hari setelah

pembedahan.Sasarannya adalah berjalan secara mandiri.

j. Pasien yang mampu mentoleransi aktifitas yang lebih berat,

dapat dipindahkan ke kursi beberapa kali sehari selama waktu

singkat.

B. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Fraktur

1. Pengkajian

a. Riwayat Kesehatan

Menurut Muttaqin (2008, p. 29), dalam wawancara awal

perawat berusaha memperoleh gambaran umum status

kesehatan klien secara subjektif.

1) Identitas klien; meliputi nama, usia (penting pada klien

dengan kelainan musculoskeletal karena berhubungan

dengan status anestesi dan pemeriksaan diagnostik

tambahan), jenis kelamin, pendidikan, alamat,

pekerjaan, agama, bahasa yang dipakai, status

perkawinan, suku bangsa, tanggal dan jam masuk RS,

nomor register, diagnosa medis, dan golongan darah.

2) Riwayat penyakit sekarang; mencakup masalah klien

mulia awitan keluhan utama sampai pengkajian.

Keluhan utama nyeri dapat dikaji dengan menggunakan


metode PQRST. Selain itu perawat perlu mengetahui

apakah klien pernah mengalami trauma yang

menimbulkan gangguan musculoskeletal pada saat ini.

3) Riwayat penyakit dahulu, ditanyakan penyakit-penyakit

yang dialami sebelumnya yang berhubungan dengan

masalah klien sekarang. Seperti riwayat mengalami

fraktur, trauma, peningkatan kadar gula darah,

hipertensi, penggunaan obat-obatan (kortison yang

mempunyai efek nekrosis avaskular pada panggul), dan

riwayat operasi sebelumnya.

4) Riwayat penyakit keluarga; yaitu berkaitan dengan

kelainan genetik atau yang dapat diturunkan.

b. Pengkajian

Pola kesehatan fungsional (Doengoes, 2000), yaitu :

1) Aktifitas/ Istirahat

Keterbatasan gerak / kehilangan pada fungsi di bagian

yang direduksi.Karena timbulnya nyeri menyebabkan

keterbatasan gerak. Hal lain yang perlu dikaji adalah

bentuk aktivitas klien terutama ambulasi klien.

2) Sirkulasi

a) Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang

cedera (pulselessness), pengisian kapiler lambat,


kepucatan bagian distal, suhu kulit teraba dingin,

pucat (palor).

b) Pembangkakan jaringan atau masa hematoma pada

sisi cedera.

3) Neurosensori

a) Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot

b) Kebas/ kesemutan (paresthesia) akibat imobilisasi

c) Paralisis atau kelumpuhan

4) Nyeri / kenyamanan

a) Spasme / kram otot (setelah imobilisasi), dikaji

dengan :

P (provoking incident) : apakah ada peristiwa yang

menjadi faktor penyebab nyeri, apakah nyeri

bertambah berat bila beraktivitas (aggravation), pada

aktivitas mana nyeri bertambah (saat batuk, bersin,

berdiri, dan berjalan).

Quality of pain : seperti apa nyeri dirasakan, apakah

seperti terbakar, berdenyut, tajam, atau menusuk.

Region, radiation, relief : dimana lokasi nyeri

dirasakan.

Severity (scale) of pain : seberapa hebat rasa nyeri

yang dirasakan klien, dapat berdasarkan skala nyeri


atau gradasi dank lien menerangkan seberapa hebat

rasa sakit memengaruhi kemampuan fungsinya.

Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah

buruk pada malam hari atau siang hari.

5) Keamanan

Klien mengalami keterbatasan dalam mobilisasinya

karena imobilisasi akibat reduksi, sehingga semua bentuk

kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien

perlu banyak dibantu oleh orang lain.

6) Hubungan dan peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam

masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.

7) Persepsi dan konsep diri

Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul

ketakutan dan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya,

rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan

aktifitasnya secara secara normal dan pandangan

terhadap dirinya yang salah.

8) Sensori dan kognitif

Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian

distal fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitif

tidak mengalami gangguan. Selain itu juga timbul nyeri

akibat fraktur.
9) Nilai dan keyakinan Klien

fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama

frekuensi dan konsentrasi dalam ibadah. Hal ini

disebabkan oleh nyeri dan keterbatasan gerak yang di

alami klien.

c. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada klien dengan gangguan

musculoskeletal, Lukman & Ningsih(2009, p.13-15)

meliputi :

1) Nyeri; menurut Muttaqin (2008, p.27) pemeriksaan fisik

klien yang mengalami nyeri meliputi :

a) P (provoking incident) : apakah ada peristiwa yang

menjadi faktor penyebab nyeri, apakah nyeri

bertambah berat bila beraktivitas (aggravation), pada

aktivitas mana nyyeri bertambah (saat batuk, bersin,

berdiri, dan berjalan).

b) Quality of pain : seperti apa nyeri dirasakan, apakah

seperti terbakar, berdenyut, tajam, atau menusuk.

c) Region, radiation, relief : dimana lokasi nyeri

dirasakan.

d) Severity (scale) of pain : seberapa hebat rasa nyeri

yang dirasakan klien, dapat berdasarkan skala nyeri


atau gradasi dank lien menerangkan seberapa hebat

rasa sakit memengaruhi kemampuan fungsinya.

e) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan,

apakah buruk pada malam hari atau siang hari.

2) Skelet tubuh

Dikaji mengenai adanya deformitas dan kesejajaran.

Pemendekan tulang yang abnormal akibat tumor tulang,

pemendekan ekstremitas, amputasi, dan bagian tubuh

yang tidak dalam kesejajaran anatomis harus dicatat.

3) Tulang belakang

Kurvatura normal tulang belakang biasanya konveks

pada bagian dada dan konkaf sepanjang leher dan

pinggang.Deformitas tulang belakang yang sering

terjadi meliputi lordosis, kifosis, skoliosis.Lordosis

ditandai dengan kurvatura tulang belakang bagian

pinggang yang berlebihan, misalnya pada saat hamil,

pada lansia akibat hilangnya tulang rawan tulang

belakang.Pada kifosis ditandai dengan kenaikan

kurvatura tulang belakang bagian dada.Sering dijumpai

pada manula dengan osteoporosis, dan pada klien

gangguan neuromuscular. Sedangkan pada skoliosis

diakibatkan oleh kerusakan otot paraspinal, bsa

congenital, idiopatik (tanpa diketahui penyebabnya).


4) Sistem persendian

Menurut Smeltzer (Muttaqin, 2008, p. 14), persendian

dievaluasi dengan memeriksa rentang gerak, stabilitas,

dan adanya benjolan. Rentang gerak (range of motion)

adalah seberapa jauh sendi dapat bergerak

bebas.Rentang gerak normal siku, misalnya, adalah

lengan bawah melalui setengah lingkaran.Rentang gerak

pasif diuji ketika anggota badan rileks oleh lain yang

menggerakan sendi. Rentang gerak aktif diuji dengan

gerakan yang dikontrol oleh pasien.

5) Sistem otot

Dikaji dengan memperhatikan kemampuan seseorang

dalam mengubah posisi, kekuatan otot, dan koordinasi,

serta ukuran masing-masing otot.Kelemahan

sekelompok otot menunjukkan berbagai macam kondisi

seperti polineuropati, gangguan elektrolit (kalsium dan

kalium), poliomyelitis, dan distropi otot. Menurut

Sjamsuhidajat (2010, p. 960), kekuatan otot dibagi

menjadi 6 derajat yaitu :

a) derajat 0 : tidak ada kontraksi otot

b) derajat 1 : kontraksi otot hanya berupa perubahan

tonus otot dan tidak ada gerakan sendi


c) derajat 2 : otot hanya mampu menggerakkan

persendian tetapi tidak mampu melawan pengaruh

gravitasi

d) derajat 3 : otot dapat melawan pengaruh gravitasi

tetapi tidak kuat melawan tahanan yang diberikan

oleh pemriksa

e) derajat 4 : kekuatan otot seperti pada derajat 3 tetapi

mampu melawan tahanan yang ringan

f) derajat 5 : kekuatan otot normal.

6) Sistem berjalan

Dikaji tentang tahapan ambulasi klien.Apakah klien

sudah mampu menekuk telapak kaki, miring kanan-kiri,

duduk ataupun berjalan (berdasarkan hari atau waktu

klien melakukan ambulasinya).

7) Kulit dan sirkulasi perifer

Palpasi kulit digunakan untuk melihat adanya suhu yanh

lebih panas atau lebih dingin dari lainya dan adanya

edema.Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji

denyut nadi perifer, warna, suhu, dan waktu pengisian

kapiler.
d. Pemeriksaan Penunjang

Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan

dalam menegakkan diagnosa fraktur menurut Lukman dan

Ningsih ( 2009, p.37) yaitu :

1) Pemeriksaan rongent : menentukan lokasi atau luasnya

fraktur atau trauma, dan jenis fraktur.

2) Scan tulang, tomograf, CT-scan, atau MRI :

memperlihatkan tingkat keparahan fraktur, juga dapat

untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

3) Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan

vaskuler.

4) Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat

(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna

pada sisi fraktur atau organ jauh pada sisi trauma).

Peningkatan jumlah sel darah putih adalah proses stress

normal setelah trauma.

5) Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin

untuk klirens ginjal.

6) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada

kehilangan darah, tranfusi multilpel atau cedera hati.


2. Diagnosa

Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan post

fraktur berdasarkan patofisiologi di atas, yaitu :

a. Nyeri akut

1) Definisi : pengalaman sensori dan emosi yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang actual

dan potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti

(International Association for the Study of Pain), awitan

yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan

sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau

dapat diramalkan dan durasnya kurang dari enam bulan.

2) Batasan karakteristik

a) Subjektif : mengungkapkan secara verbal atau

melaporkan nyeri dengan isyarat

b) Objektif : posisi untuk menghindari nyeri,

perubahan tonus otot, respon autonomik (misalnya

diaphoresis, perubahan tekanan darah, pernapasan

atau nadi, dilatasi pupil), perubahan selera makan,

perilaku distraksi (misalnya mondar-mandir,

mencari orang dan atau aktivitas lain, atau aktivitas

berulang), perilaku ekspresif (gelisah, merintih,

menangis, kewaspadaan berlebihan, menghela nafas

panjang), perilaku menjaga atau sikap melindungi,


gangguan tidur (mata kuyu, menyeringai, gerakan

tidak menentu).

3) Faktor yang berhubungan

Agen-agen penyebab cedera (misalnya biologis, kimia,

fisik, dan psikologis).(Judith, Wilkinson & Ahern, 2011,

p. 530-536).

b. Hambatan mobilitas fisik

1) Definisi : Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri

dan terarah pada tubuh atau satu ekstremitas atau lebih

2) Batasan karekteristik (NOC)

a) Objektif : kesulitan membolak-balik posisi tubuh,

dispnea saat beraktivitas, keterbatasan rentang

gerak sendi, ketidakstabilan postur tubuh (saat

melakukan rutinitas aktivitas kehidupan sehari-

hari), melambatnya pergerakan, gerakan tidak

teratur atau tidak terkoordinasi.

b) Faktor yang berhubungan

Perubahan metabolisme sel, gangguan kognitif,

penurunan kekuatan / kendali / massa otot,

ketidaknyamanan, kaku sendi atau kontraktur,

hilangnya integritas struktur tulang, gangguan

musculoskeletal, nyeri, program pembatasan

pergerakan, intoleransi aktivitas dan penurunan


kekuatan dan ketahanan (Judith, Wilkinson &

Ahern, 2011, p. 472-478).

c. Kerusakan integritas jaringan

1) Definisi : kerusakan pada membrane mukosa, jaringan

kornea, integument atau subkutan.

2) Batasan karakteristik

objektif : kerusakan atau kehancuran jaringan (misalnya

kornea, membrane mukosa, integument, atau subkutan).

3) Faktor yang berhubungan

Perubahan sirkulasi, iritan kimia (ekskresi, atau sekresi

tubuh, obat), hambatan mobilitas fisik, factor mekanis

(tekanan, friksi, atau gesekan) (Judith, Wilkinson &

Ahern, 2011, p. 803-804).

d. Ancietas

1) Definisi : perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran

yang samar disertai respon autonom (sumber sering kali

tidak diketahui oleh individu); perasaan takut yang

disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.

2) Batasan karakteristik (objektif)

a) Perilaku : penurunan produktivitas, gelisah,

memandang sekilas, insomnia, kontak mata buruk,

resah, menyelidik atau tidak wasapada


b) Afektif : gelisah, kesedihan yang mendalam,

distress, ketakutan, persaan tidak adekuat, gugup,

gembira berlebihan, marah, menyesal, perasaan

takut, ketidakpastian, khawatir

c) Fisiologis : wajah tegang, peningkatan keringat,

terguncang, ketegangan meningkat, tremor, suara

bergetar

d) Parasimpatis : nyeri, penurunan TD, diare, pingsan,

keletihan, mual, gangguan tidur, kesemutan,

urgensi berkemih

e) Simpatis : anoreksia, diare, mulut kering, muka

kemerahan jantung berdebar, taikardia, kedutan

otot, kelemahan

f) Kognitif : blocking pikiran, konfusi, kesulitan

berkonsentrasi, mudah lupa, gangguan perhatian,

melamun.

3) Faktor yang berhubungan

Hubungan keluarga atau hereditas, krisis situasi dan

maturasi, stress, penyalahgunaan zat, ancaman

kematian, ancaman atau perubahan pada status (peran,

fungsi peran, lingkungan, status kesehatan, status

ekonomi, atau pola interaksi), ancaman terhadap konsep


diri, kebutuhan yang tidak terpenuhi (Judith, Wilkinson

& Ahern, 2011, p. 42-50).

e. Inefektif perfusi jaringan perifer

1) Definisi : Penurunan oksigen yang mengakibatkan

kegagalan pengantaran nutrisi ke jaringan pada tingkat

kapiler.

2) Batasan karakteristik

a) Subjektif : perubahan sensasi

b) Objektif : perubahan karakteristik kulit, nadi arteri

lemah, edema, kulit pucat, perubahan suhu kulit,

kelambatan penyembuhan, klaudikasi.

3) Faktor yang berhubungan

Perubahan kemampuan hemoglobin untuk mengikat

oksigen, masalah pertukaran, hipervolemia,

hipoventilasi, kerusakan transport oksigen melalui

membrane alveolar dan atau membrane kapiler,

gangguan aliran ateri, gangguan aliran vena,

ketidakseimbangan ventilasi dengan aliran

darah.(Judith, Wilkinson & Ahern, 2011, p. 820-824).

f. Resiko cedera

1) Definisi : Beresiko mengalami cedera sebagai akibat

dari kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan

sumber-sumber adaptif dan pertahanan individu.


2) Faktor resiko : internal (penurunan kadar hemoglobin,

disfungsi efektor, penyakit imun atau autoimun,

hipoksia jaringan), kimia ( obat-obatan misalnya

alcohol, kafein, nikotin) (Judith, Wilkinson & Ahern,

2011, p. 428-434).

g. Resiko infeksi

1) Definisi : beresiko terhadap invasi organism patogen.

2) Faktor resiko : penyakit kronis, kerusakan jaringan,

trauma, peningkatan pemajanan lingkungan terhadap

pathogen, prosedur invasive (Judith, Wilkinson &

Ahern, 2011, p. 423-427).

3. Intervensi

a. Nyeri akut

1) Hasil NOC

a) Tingkat kenyamanan : tingkat persepsi positif

terhadap kemudahan fisik dan psikologis

b) Pengendalian nyeri : tindakan individu untuk

mengendalikan nyeri

c) Tingkat nyeri : keparahan nyeri yang dapat diamati

atau dilaporkan

2) Intervensi NIC
a) Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif

meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,

frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri,

dan factor presipitasinya

b) Obsevasi isyarat non verbal ketidaknyamanan,

khususnya pada mereka yang tidak mampu

komunikasi efektif

c) Kendalikan faktor lingkungan yang dapat

memengaruhi respon klien terhadap

ketidaknyamanan (misalnya suhu ruangan,

pencahayaan, dan kegaduhan)

d) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab

nyeri, berapa lama akan berlangsung dan

ketidaknyamanan akibat prosedur

e) Informasikan kepada klien prosedur yang dapat

meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping

yang disarankan

f) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis

(misalnya hypnosis, relaksasi distraksi, terapi

bermain, terapi aktivitas, kompres hangat atau

dingin, dan masase)


g) Intruksikan kepada klien untuk menginformasikan

kepada perawat jika peredaan nyeri tidak dapat

dicapai

h) Kolaborasi dan kelola nyeri pasca bedah awal

dengan pemberian opiat yang terjadwal (misalnya,

setiap 4 jam selama 36 jam) (Judith, Wilkinson &

Ahern, 2011, p. 530-536).

b. Hambatan mobilitas fisik

1) Hasil NOC

a) Ambulasi : kemampuan untuk berjalan dari satu

tempat ke tempat lain secara mandiri dengan atau

tanpa alat bantu

b) Keseimbangan : kemampuan untuk mempertahankan

keseimbangan tubuh

c) Mobilitas : kemampuan untuk bergerak secara

bertujuan dalam lingkungan sendiri secara mandiri

dengan atau tanpa alat bantu

d) Fungsi skeletal : kemampuan tulang untuk

menyokong tubuh dan menfasilitasi pergerakan

2) Intervensi NIC

a) Aktivitas keperawatan tingkat 1


(1) Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan

kesehatan di rumah dan kebutuhan terhadap

peralatan pengobatan yang tahan lama

(2) Berikan penguatan yang positif selama aktivitas

(3) Bantu klien untuk menggunakan alas kaki anti

selip yang mendukung untuk berjalan, kruk,

kanes (tongkat), dan walker.

(4) Ajarkan klien penggunaan alat bantu mobilitas

(misalnya tongkat, walker, kruk atau kursi roda)

(5) Ajarkan dan bantu klien dalam proses berpindah

(misalnya dari tempat tidur ke kursi roda

(6) Ajarkan klien dalam mengggunakan postur

tubuh yang benar saat melakukan aktivitas

(7) Rujuk ke ahli terpai fisik untuk program latihan

b) Aktivitas keperawatan tingkat 2

(1) Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan

kesehatan

(2) Berikan penguatan positif selama aktivitas

(3) Gunakan sabuk penyokong saat memberikan

bantuan ambulasi

(4) Ajarkan dan dukung klien dalam latihan ROM

aktif atau pasif


(5) Ajarkan teknik ambulasi dan berpindah yang

aman

(6) Kolaborasi dengan terapi ahli fisik dan okupasi

c) Aktivitas keperawatan tingkat 3 dan 4

(1) Tentukan tingkat motivasi klien untuk

mempertahankan atau mengembalikan mobilitas

sendi dan otot

(2) Berikan penguatan positif selama aktivitas

(3) Berikan analgesik sebelum memulai latihan

fisik

(4) Letakkan matras atau tempat tidur terapeutik

dengan benar

(5) Letakkan posisi yang terapeutik (misalnya

hindari penempatan punting amputasi pada

posisi fleksi

(6) Atur posisi dengan kesejajaran tubuh yang benar

(7) Ubah posisi klien minimal setiap 2 jam

(8) Dukung latihan ROM aktif atau pasif jika

diperlukan

(9) Gunakan ahli terapi fisik atau okupasi (Judith,

Wilkinson & Ahern, 2011, p. 472-478).

c. Kerusakan intergritas jaringan

1) Hasil NOC
a) Integritas jaringan : kulit dan membrane mukosa :

keutuhan struktur dan fungsi fisiologis normal kulit

dan membrane mukosa

b) Penyembuhan luka : primer : tingkat regenerasi sel

dan jaringan setelah penutupan yang disengaja

c) Penyembuhan luka : sekunder : tingkat regenerasi

sel dan jaringan pada luka terbuka

2) Intervensi NIC

a) Perawatan area insisi : membersihkan, memantau,

dan meningkatkan penyembuhan luka yang

tertutup dengan jahitan, klip, atau staples

b) Perlindungan infeksi : mencegah dan mendeteksi

dini infeksi pada pasien beresiko

c) Pemeliharaan kesehatan mulut : memelihara dan

meningkatkan hygiene oral dan kesehatan gigi

pada klien yang beresiko mengalami lesi mulut dan

gigi

d) Pencegahan ulkus dekubitus : mencegah ulkus

dekubitus pada individu yang beresiko mengalami

ulkus dekubitus

e) Perawatan luka : mencegah komplikasi luka dan

meningkatkan penyembuhan luka (Judith,

Wilkinson & Ahern, 2011, p. 804-805).


d. Ansieatas

1) Hasil NOC

a) Tingkat ansietas : keparahan manifestasi

kekhawatiran, ketegangan, atau perasaan tidak

tenang yang muncul dari sumber yang tidak dapat

diidentifikasi

b) Pengendalian diri terhadap ansietas : tindakan

personal untuk menghilangakan atau mengurangi

perasaan khawatir, tegang atau perasaan tidak

tenang akibat sumber yang tidak dapat diidentifikasi.

c) Koping : tindakan personal untuk mengatasi stressor

yang membebani sumber sumber individu

2) Intervensi NIC

a) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan klien

b) Kaji faktor budaya (nisalnya konflik nilai) yang

menjadi penyebab ansietas

c) Beri dorongan kepada klien untuk mengungkapkan

perasaan secara verbal pikiran dan perasaan

d) Berikan penguatan positif kepada klien

e) Berikan teknik sentuhan dan sikap empatik secara

verbal non verbal

f) Berikan informasi kepada kelurga tentang gejala

ansietas
g) Sediakan pengalihan melalui televisi, radio,

permainan, terapi okupasi

h) Ajarkan keluarga tentang membedakan serangan

panik dan gejala penyakit fisik

i) Kolaborasi pemberian obat ansietas jika diperlukan

(Judith, Wilkinson, & Ahern, 2011, p. 42-50).

e. Inefektif perfusi jaringan perifer

1) Hasil NOC

a) Status sirkulasi : aliran darah yang tidak obstruksi

dan satu arah pada tekanan yang sesuai melalui

pembuluh darah besar sirkulasi sistemik dan

pulmonal

b) Integritas jaringan : kulit dan membran mukosa :

keutuhan structural dan fungsi fisiologis normal

kulit dan membrane mukosa

c) Perfusi jaringan : perifer : keadekuatan aliran darah

melalui pembuluh darah kecil ekstremitas untuk

mempertahankan fungsi jaringan

2) Intervensi NIC

a) Kaji ulkus statis dan gejala selulitis

b) Lakukan pengkajian komprehensif terhadap sirkulasi

perifer ( kaji nadi perifer, edema, pengisian ulang

kapiler, warna, dan suhu ekstremitas)


c) Pantau tingkat ketidaknyamanan saat melakukan

aktivitas

d) Pantau adanya parestesia : kebas, kesemutan

e) Pantau adanya troboplebitis dan thrombosis vena

profunda

f) Letakkan ekstremitas pada posisi menggantung jika

perlu

g) Elevasi ekstremitas yang terkena 20 derajat atau

lebih di atas jantung

h) Dorong latihan pergerakan sendi pasif atau aktif,

terutama pada ekstremitas bawah, saat tirah baring

i) Ajarkan klien atau keluarga untuk menghindari suhu

yang ekstrem pada ekstremitas

j) Ajarkan kepada klien pentingnya pencegahan statis

vena : tidak menyilangkan kaki, mengangkat kaki

tanpa menekuk lutut

k) Kolaborasi dalam pemberian antitrombosis atau

antukoagulan jika diperlukan (Judith, Wilkinson, &

Ahern, 2011, p. 820-824).

f. Resiko cedera

1) Hasil NOC

a) Frekuensi terjatuh : jumlah kejadian jatuh

sebelumnya (jelaskan dalam periode waktu)


b) Perilaku keamanan personal : tindakan individu

dewasa untuk mengendalikan perilaku yang

menyebabkan cedera fisik

c) Pengendalian resiko : tindakan individu untuk

mencegah , menghilangkan atau mengurangi

ancaman kesehatan yang dapat dimodifikasi

d) Lingkungan rumah yang aman : pengaturan fisik

untuk meminimalkan factor lingkungan yang dapat

menyebabkan bahaya atau cedera fisik di rumah

2) Intervensi NIC

a) Identifikasi faktor yang memengaruhi kebutuhan

keamanan (usia, keletihan, keracunan, pengobatan)

b) Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan

resiko terjatuh

c) Periksa kemungkinan klien memakai pakaian yang

terlalu ketat, mengalami luka, atau memar

d) Bantu ambulasi klien jika perlu

e) Sediakan alat bantu berjalan

f) Berikan restrain fisik untuk membatasi resiko jatuh

g) Berikan pendidikan kesehatan yang berhubungan

dengan strategi dan tindakan untuk mencegah

cedera
h) Kolaborasi dengan dokter tentang perubahan yang

terjadi pada irama jantung, intervensi untuk pola

yang mengkhawatirkan (Judith, Wilkinson &

Ahern, 2011, p. 428-434).

g. Resiko infeksi

1) Hasil NOC

a) Pengendalian resiko komunitas : penyakit menular

: tindakan komunitas untuk menghilangkan atau

menurunkan penyebaran agen infeksius yang

mengancam kesehatan masyarakat

b) Status imun : resistansi alami dan dapatan yang

bekerja tepat terhadap antigen internal maupun

eksternal

c) Keparahan infeksi : tingkat keparahan infeksi dan

gejala terkait

d) Penyembuhan luka : primer : tingkat regenerasi sel

dan jaringan setelah penutupan yang disengaja

e) Penyembuhan luka : sekunder : tingkat regenerasi

sel dan jaringan pada luka terbuka

2) Intervensi NIC

a) Pantau tanda dan gejala infeksi (misalnua suhu

tubuh, denyut jantung, suhu kulit, lesi kulit)


b) Kaji factor yang dapat meningkatkan kerentanan

terhadap infeksi

c) Pantau hasil laboratorium (hitung darah lengkap,

granulosit, protein serum, albumin)

d) Pisahkan penanganan klien yang mengalami

infeksi dan yang tidak mengalami infeksi

e) Pertahankan teknik isolasi bila diperlukan

f) Terapkan kewaspadaan universal

g) Batasi jumlah pengunjung bila diperlukan

h) Ajarkan klien dan keluarga tentang mengapa sakit

dan terapi meningkatkan resiko terhadap infeksi

i) Instruksikan keluarga untuk menjaga personal

hygiene

j) Kolaborasi dalam pemberian antibiotic(Judith,

Wilkinson & Ahern, 2011, p. 423-427).

4. Evaluasi

a. Nyeri akut

S : Klien mengatakan mampu mengendalikan nyeri

O : memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan

oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5 : tidak

pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu) :

mengenali awitan nyeri, menggunakan tindakan


pencegahan; menunjukkan tingkat nyeri yang

dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (1-5 : sangat

berat, berat, sedang, ringan, atau tidak ada) : ekspresi

nyeri pada wajah, gelisah atau ketegangan otot, durasi

episode nyeri, merintih atau menangis, gelisah (Judith,

Wilkinson, & Ahern, 2011, p. 532-533).

b. Hambatan mobilitas fisik

S : klien mengatakan dalam melakukan mobilitasnya

mengalami gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan,

atau tidak mengalami gangguan.

O : memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan oleh

indikator berikut (sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem,

berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami

gangguan) : keseimbangan, koordinasi, performa

posisi tubuh, pergerakan sendi dan otot, berjalan,

bergerak dengan mudah (Judith, Wilkinson &

Ahern, 2011, p. 475).

c. Kerusakan integritas jaringan

S : klien mengatakan kulit dan membrane mukosanya

terdapat gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau

tidak ada

O : menunjukkan integritas jaringan : kulit dan membrane

mukosa yang dibuktikan oleh indikator berikut


(sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem, berat, sedang,

ringan, atau tidak ada gangguan : suhu, elastisitas,

hidrasi, sensasi, perfusi jaringan, keutuhan kulit;

menunjukkan penyembuhan luka : primer, yang

dibuktikan oleh indikator berikut (sebutkan 1-5 : tidak

ada, sedikit, sedang, banyak, atau sangat banyak) :

penyatuan kulit, penyatuan ujung luka, pembentukan

jaringan parut; menunjukkan penyembuhan luka :

sekunder yang dibuktikan oleh indikator berikut

(sebutkan 1-5 : tidak ada, sedikit, sedang, banyak,

atau sangat banyak) : granulasi, pembentukan jaringan

parut, penyusutan luka (Judith, Wilkinson, & Ahern,

2011, p. 706).

d. Ancietas

S : klien mengatakan ansietas berkurang

O : ansietas berkurang dibuktikan oleh bukti tingkat

ansietas hanya ringan sampai sedang, dan selalu

menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas,

konsentrasi, koping; menunjukkan pengendalian diri

terhadap ansietas yang dibuktikan oleh indikator

sebagai berikut (sebutkan 1-5 : tidak pernah, jarang,

kadang-kadang, sering, atau selalu) (Judith,

Wilkinson, & Ahern, 2011, p. 47).


e. Inefektif perfusi jaringan

S : klien mengatakan ekstremitas bebas lesi

O : menunjukkan keseimbangan cairan yang dibuktikan

oleh indikator berikut (sebutkan 1-5 :gangguan

ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak ada

gangguan) : tekanan darah, nadi perifer, turgor kulit;

menunjukkan integritas jaringan kulit dan membrane

mukosa yang dibuktikan oleh indikator berikut

(sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem, berat, sedang,

ringan, atau tidak ada gangguan) : sensasi, elastisitas,

suhu, perfusi jaringan; menunjukkan perfusi jaringan

perifer yang dibuktikan oleh indikator berikut

(sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem, berat, sedang,

ringan, atau tidak ada gangguan) : warna kulit,

sensasi, integritas kulit) (Judith, Wilkinson & Ahern,

2011, p. 822).

f. Resiko cedera

S : klien mengatakan aman, lingkungan rumah nyaman

O : resiko cedera menurun yang dibuktikan oleh

keamanan personal, pengendalian resiko, dan

lingkungan rumah yang aman. Pengendalian resiko

akan diperlihatkan yang dibuktikan oleh indikator

sebagai berikut (sebutkan 1-5 : tidak pernah, jarang,


kadang-kadang, sering, atau selalu) (Judith,Wilkinson

& Ahern, 2011, p. 430).

g. Resiko infeksi

S : melaporkan tanda dan gejala infeksi serta mengikuti

prosedur skrining dan pemantauan

O : klien akan terbebas dari tanda dan gejala infeksi,

memperlihatkan hygiene personal yang adekuat

(Judith, Wilkinson, & Ahern, 2011, p. 425).


BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Biodata Klien

Pengkajian dilakukan pada hari selasa tanggal 3 maret 2015 pukul

08.00 WIB pada Tn. I di bangsal cempaka Rumah Sakit Umum Daerah

Temanggung dengan diagnosa medis post ORIF cruris sinistra 1/3

Proximal. Klien masuk pada tanggal 25 Februari 2015 pukul 21.15

WIB.

1. Identitas klien

Nama klien Tn.I, umur 29 tahun, jenis kelamin laki-laki.

Pendidikan terakhir klien SMA, agama islam. Pekerjaan klien

sebagai karyawan pabrik.Alamat klien di Kalasan, Tirtomani,

Sleman.

2. Identitas Penanggung Jawab

Nama Tn. R, usia 32 tahun, agama islam, jenis kelamin laki-laki.

Alamat di Krajan II Secang, Magelang. Hubungan dengan klien

saudara.

B. Pengkajian

1. Riwayat Keperawatan

a. Keluhan utama

Klien mengatakan nyeri kaki kiri post operasi cruris.


b. Riwayat penyakit sekarang

Pada tanggal 25 Februari 2015 klien dibawa ke UGD RSUD

Temanggung pukul 20.30 WIB dengan keluhan nyeri kaki kiri

karena terjatuh dari sepeda motor. Klien masuk ke bangsal

cempaka RSUD Temanggung pukul 21.15 WIB. Pada tanggal

26 Februari 2015 klien melakukan operasi ORIF cruris sinistra

pukul 17.00-18.30 WIB. Kemudian pada tanggal 2 maret 2015

klien melakukan operasi ORIF cruris sinistra yang kedua untuk

memperbaiki screw yang terpasang kurang tepat mulai pukul

11.00 dan selesai pukul 12.00.

c. Riwayat penyakit dahulu

Sebelumnya klien belum pernah dirawat di rumah sakit.

d. Riwayat penyakit keluarga

Di dalam anggota keluarga klien tidak ada yang mempunyai

penyakit yang berhubungan dengan tulang seperti osteoporosis

maupun asam urat.

e. Pengkajian fokus

1) Aktivitas atau istirahat yaitu klien mengalami keterbatasan

dalam rentang geraknya. Untuk mandi, makan, toileting,

ambulasi, berpakaian dibantu oleh keluarga (skala

ketergantungan 2). Sedangkan istirahat, klien mengatakan

pada malam hari sulit tidur menahan nyerinya.


2) Sirkulasi yaitu teraba dingin pada kaki kiri bagian distal,

CRT 3 detik, punggung telapak kaki tampak bengkak.

3) Neurosensori, klien mengatakan kaki bagian kiri (post op

fraktur cruris) sulit digerakkan, terkadang terasa kesemutan.

4) Nyeri atau kenyamanan, klien mengatakan nyeri post

operasi cruris di kaki kiri, nyeri terasa seperti disayat, skala

9, dan terasa terus menerus. Klien tampak menyeringai

menahan sakitnya.

5) Keamanan, klien mengatakan masih perlu dampingan dan

bantuan dalam melakukan aktivitasnya. Pada kaki kiri post

op fraktur cruris 1/3 proksimal terpasang verban elastin dan

drain pada klien.

6) Hubungan dan peran yang terjadi pada klien baik. Setiap

waktu klien selalu ditemani istri dan terkadang dijenguk

oleh teman dan saudaranya.

7) Persepsi dan konsep diri, klien tampak sedih dan menangis

ketika dijenguk orang tuanya. Klien mengatakan khawatir

sakitnya tidak kunjung sembuh dan tidak bias beraktivitas

seperti sedia kala.

8) Sensori dan kognitif, klien mengatakan bagian distal kaki

kiri daya rabanya berkurang. Ketika dicubit kurang terasa.

9) Nilai dan keyakinan pada klien terganggu, klien mengalami

keterbatasan dalam melakukan kewajibanya sebagai umat


islam yaitu solat karena rentang gerak klien yang masih

terbatas. Namun klien mengatakan tetap tidak lupa untuk

selalu berdoa kepada Allah demi kesembuhanya.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada saat pemeriksaan fisik didapatkan: tekanan darah 130/80

mmHg, nadi 98 ×/ menit, suhu 37,5 ºC, pernapasan 18 ×/ menit.

Kesadaran klien composmentis (GCS( E= 4, V=5, M= 6)= 15).

Sedangkan pada pemeriksaan fisik bagian kepala meliputi rambut

warna kehitaman, distribusi merata, dan ikal.Pada bagian mata

tampak konjungtiva warna putih kemerahan (tidak anemis), sclera

tidak ikterik, serta indera penglihatan berfungsi dengan baik.Pada

bagian hidung indera penciumanya berfungsi dengan baik, tidak

ada polip, dan kebersihan dalam hidung terjaga.Untuk bagian

telinga tampak tidak ada serumen, indera pendengaran berfungsi

dengan normal.Pada bagian mulut kebersihanya terjaga, mukosa

bibir lembab, indera pengecapan juga berfungsi dengan

baik.Sedangkan pada bagian leher tidak tampak distensi vena

jugularis maupun pembesaran kelenjar tiroid.

Pemeriksaan fisik bagian dada meliputi paru-paru dan jantung dan

tulang belakang.Ketika dilakukan inspeksi perkembangan atau

ekspansi dada simetris, palpasi paru tidak ada nyeri tekan, perkusi

paru didapatkan bunyi redup, dan auskultasi paru vesikuler. Pada

pemeriksaan jantung saat dilakukan inspeksi tidak tampak ictus


cordis pada intercosta 5, palpasi jantung teraba ictus cordis pada

intercosta 4 dan tidak teraba nyeri tekan, perkusi jantung terdengar

pekak, dan auskultasi jantung terdengar s1 s2 reguler. Sedangkan

pemeriksaan fisik bagian abdomen ketika dilakukan inspeksi tidak

tampak adanya asites, maupun distensi abdomen.Auskultasi

abdomen terdengar bising usus sebanyak 8 ×/ menit, palpasi

abdomen tidak teraba pembesaran hepar, dan perkusi abdomen

terdengar hipertimpani.Kemudian pada bagian genetalia terpasang

kateter urin.Sedangkan pada pemeriksaan fisik bagian tulang

belakang didapatkan data tidak tampak adanya lordosis, kifosis,

ataupun skoliosis.

Pemeriksaan fisik ekstremitas meliputi kekuatan otot, skelet tubuh,

sistem persendian, sistem berjalan, kulit dan sirkulasi perifer.

Kekuatan otot ekstremitas atas kanan 5/ kiri 5, pada ekstremitas

kanan atas terpasang infus RL 500 ml 20 tpm, sedangkan kekuatan

otot ekstremitas bawah kanan 5/ kiri 1, akral dingin, bagian post

operasi fraktur cruris yaitu kaki kiri terpasang elastis verban kurang

lebih 50 cm dan drain di 1/3 proksimal. Pada pemeriksan fisik

bagian skelet tubuh bagian atas tampak kesejajaran tulang,

sedangkan pada ekstremitas bawah tampak ketidaksejajaran akibat

post op ORIF cruris sinistra.Pada sistem persendian yaitu sendi

lutut didapatkan data bahwa rentang gerak klien masih dalam tahap

0. Post operasi hari pertama rentang gerak klien terbatas pada


posisi terlentang, ada kontraksi otot tapi tidak ada gerakan sendi.

Sedangkan ketika melakukan pemeriksaan fisik sistem berjalan

klien belum mampu berjalan, ambulasi klien masih dalam tahap 0.

Serta pada pemeriksaan fisik kulit dan sirkulasi perifer meliputi

pain (terasa nyeri hebat, skala 9, ekstremitas kiri bagian post op

ORIF cruris, seperti disayat, terus menerus), palor ( sedikit pucat),

paresthesia (kadang terasa kesemutan di ekstremitas kiri), paralisis

(tidak ada kelumpuhan, daya raba kaki kiri kurang maksimal),

pulslessness (denyut nadi bagian perifer teraba normal 78×/ menit,

irama regular).

3. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien meliputi

pemeriksaan rongent dan pemeriksaan laboratorium.

Pada pemeriksaan rongent X foto cruris sinistra AP/ Lat (anterior

posterior/ lateral) pada tanggal 25 Februari 2015didapatkan hasil

fraktur kominutif os tibia sinistra proximal, displaced minimal dan

os fibula tampak retak. Sedangkan pemeriksaan rongent pada

rongent X foto cruris sinistra AP/ Lat tanggal 2 maret 2015

didapatkan hasil terpasang fixasi plate dan 10 buah screw pada old

fraktur os tibiae sinistra 1/3 proksimal , terpasang drain, tak tampak

tanda-tanda OM atau dislokasi, tampak soft tissue mass region

cruris sinistra 1/3 proximal aspect lateral.


Pemeriksaan laboratorium tanggal 2 maret 2015 didapatkan hasil

bahwa hemoglobin klien bernilai 12,4 g/dl serta jumlah leukosit 6.5

x 10 3/ul.

Program terapi klien mulai hari selasa tanggal 3 maret 2015 sampai

hari jumat tanggal 6 maret 2015 yaitu injeksi ketorolac 3x50 mg,

injeksi fentanyl 1x50 mg, injeksi ceftriaxone 10 ml, obat oral asam

mefenamat 500 mg, obat oral ciprofloxacin 500 mg, dan cairan

RL 500 ml 20 tpm.

C. Perumusan Masalah

Dari pengkajian yang dilakukan pada tanggal 3 maret 2015 (08.00

WIB) didapatkan data-data sebagai berikut :

Pertama, pukul 08.30 WIB diperoleh data subjektif klien

mengatakan (P/ Palliative) nyeri post operasi fraktur cruris, (Q/

Quality) seperti disayat, (R/ Region) di kaki kiri, (S/ Scale) skala 9,

(T/ Time) nyeri terasa terus menerus; klien mengatakan malam hari

tidak bias tidur menahan nyerinya. Sedangkan data objektifnya yaitu

klien tampak menyeringai kesakitan, terpasang verban elastin dan

drain, TD= 130/ 80 mmhg, N= 98 x/ menit, perubahan tonus otot di

kaki kiri. Dari data-data tersebut muncul masalah keperawatan nyeri

akut dengan etiologi yaitu trauma jaringan.

Kedua, pukul 08.40 WIB diperoleh data subjektif yaitu klien

mengatakan tidak bisa bergerak karena kaki kiri terasa kaku dan nyeri.
Data obektifnya, yaitu klien bedrest di tempat tidur, aktivitas klien

dibantu orang lain (skala ketergantungan 2), nilai kekuatan otot

ekstremitas atas (Kanan 5/ kiri 5) dan (ekstremitas bawah kanan 5/ kiri

1). Dari data-data tersebut mucul masalah keperawatan hambatan

mobilitas fisik dengan etiologi yaitu gangguan muskuloskeletal.

Ketiga, pukul 08.45 WIB diperoleh data objektif yaitu tampak

pembengkakan pada punggung kaki, tampak pucat, CRT 3 detik

.Sedangkan data subjektif yaitu klien mengatakan bahwa kaki kirinya

terkadang terasa kesemutan dan daya raba kurang maksimal.Dari data

tersebut muncul masalah keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan

perifer dengan etiologi yaitu penurunan aliran darah vena.

Keempat, pukul 08.50 WIB diperoleh data subjektif yaitu klien

mengatakan susah tidur pada malam hari, klien mengatakan sakitnya

tidak kunjung sembuh dan tidak dapat beraktivitas seperti sedia kala.

Sedangkan data objektifnya yaitu klien tampak sedih dan menangis

ketika dijenguk orangtuanya, nampak sikap kewaspadaan ketika klien

didekati di daerah kaki kirinya.Dari data-data diatas muncul masalah

keperawatan ansietas dengan etiologi perubahan status kesehatan.

Kelima, pukul 08. 55 WIB diperoleh data objektif yaitu terpasang

elastis verban dengan panjang kurang lebih 50 cm di kaki kiri (post op

fraktur cruris 1/3 proksimal), terpasang drain di 1/3 proksimal kaki

kiri, terdapat darah dari drain sebanyak 10 cc dalam 24 jam . Dari data
tersebut muncul masalah keperawatan resiko infeksi dengan etiologi

yaitu prosedur invasif.

D. Perencanaan

1. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan

a. Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama perawatan di

rumah sakit (4x24 jam) nyeri akut dapat teratasi dengan kriteria

hasil klien mengatakan nyeri berkurang, skala nyeri menjadi

ringan 1-3, intensitas nyeri jarang, klien tampak rileks.

b. Intervensi (08.35 WIB)

1) Kaji nyeri secara komprehensif

2) Observasi respon ketidaknyamanan yang klien rasakan

3) Bantu klien mendapatkan posisi yang nyaman

4) Ajarkan tehnik relaksasi distraksi

5) Kolaborasi dan kelola nyeri pasca bedah

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal

a. Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama perawatan di

rumah sakit (4x 24 jam), hambatan mobilitas fisik akan teratasi

dengan kriteria hasil kekuatan otot ekstremitas klien normal

skala 5, klien mampu melakukan ambulasi dan aktivitas secara

mandiri atau skala ketergantungan 0, klien mampu


mempertahankan keseimbangan tubuhnya, serta mampu

memfasilitasi pergerakan dengan tulang ekstremitas bawahnya.

b. Intervensi (08.45 WIB)

1) Kaji kebutuhan pelayanan klien

2) Kaji skala kekuatan otot klien

3) Atur posisi dengan kesejajaran tubuh yang benar dan

nyaman

4) Beri penguatan positif selama aktivitas

5) Ajarkan tehnik ROM pasif dan aktif

6) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

penurunan aliran darah vena

a. Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

penurunan aliran darah vena akan teratasi dengan kriteria hasil

edema perifer tidak ada, kulit teraba hangat, sensasi normal

atau tidak ada kesemutan.

b. Intervensi (pukul 08.00 WIB)

1) Lakukan pengkajian komprehensif sirkulasi perifer

2) Tinggikan anggota badan yang terluka 30 derajat atau lebih

tinggi dari jantung

3) Lakukan perawatan luka teknik isolasi


4) Ajarkan pentingnya pencegahan statis vena

4. Ansietas berhubungan dengan perubahan pada status kesehatan

a. Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam,

ansietas akan teratasi dengan kriteria hasil tidak ada gangguan

istirahat tidur, ekspresi wajah dan bahasa tubuh menunjukkan

berkurangnya kecemasan. mengatakan secara verbal ansietas

berkurang.

b. Intervensi (08.55)

1) Kaji kecemasan yang klien rasakan

2) Beri informasi mengenai penyembuhan klien

3) Beri tehnik sentuhan dan sikap empatik

4) Kolaborasi dengan keluarga dalam pemberian penguatan

pisitif

5. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

a. Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama perawatan di

rumah sakit (3x24 jam), resiko infeksi akan teratasi dengan

kriteria hasil klien terbebas dari tanda gejala infeksi (rubor,

tumor, dolor, kalor, fungsio laesa), menunjukkan perilaku

hidup sehat.

b. Intervensi (08.50)
1) Kaji TTV

2) Kaji tanda-tanda infeksi

3) Kaji kondisi balutan luka klien

4) Pertahankan tehnik isolasi selama perawatan luka

5) Kolaborasi pemberian antibiotik

E. Pelaksanaan

1. Hari pertama (3 maret 2015)

a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan,

implementasinya yaitu (pukul 09.00 WIB) melakukan

pengkajian nyeri secara komprehensif dengan respon data

objektif yaitu klien tampak menyeringai menahan sakit,

sedangkan data subjektifnya yaitu (P= nyeri post operasi

fraktur cruris, Q= nyeri seperti disayat, R= kaki kiri bawah

lutut (cruris sinistra 1/3 proksimal), S= skala 9, T= terasa terus

menerus). Kemudian pada (pukul 09.05 WIB) mengobservasi

respon ketidaknyamanan yang klien rasakan dengan respon

data objektif yaitu klien tampak menyeringai, sedangkan data

subjektifnya adalah klien mengatakan nyeri tidak tertahankan

dan akibat nyeri yang ditimbulkan klien susah tidur. Pada

(pukul 09.10 WIB) melakukan kolaborasi pemberian drip

ketorolac 2x30 mg dan fentanyil 50 mg kedalam infus RL 500

cc 20 tetes/ menit dan (pukul 12.00) melakukan kolaborasi


pemberian obat oral asam mefenamat 1x 500 mg dengan respon

data subjektif yaitu nyeri sedikit berkurang menjadi skala 8.

Kemudian pukul pukul 18.00 melakukan kolaborasi pemberian

injeksi ketorolac 30 mg dan memberikan terapi oral asam

mefenamat 1x 500 mg dan mengganti cairan infus RL 500 ml

dengan respon data objektif tidak ada alergi, sedangkan data

subjektifnya yaitu klien mengatakan nyeri masih terasa dengan

skala 7.

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal, implementasinya yaitu pada pukul (09.00

WIB) mengkaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan klien

dengan respon data objektif yaitu dalam melakukan

aktivitasnya klien dibantu istrinya, skala kekuatan otot

ekstremitas atas kanan 5/ kiri 5 dan ekstremitas bawah kanan 5/

kiri 1, sedangkan respon data subjektifnya yaitu istri klien

mengatakan ketika makan, mandi, toileting klien dibantu

olehnya (skala ketergantungan 2). Kemudian pukul (09.05)

mengatur posisi dengan kesejajaran tubuh yang benar dengan

respon data objektifnya yaitu bagian ekstremitas kiri klien

disangga dengan bantal dan respon data subjektifnya yaitu

klien merasa nyaman dengan posisi tersebut. Pada pukul (10.00

WIB) mengajarkan tehnik ROM pasif dan aktif pada telapak

kaki klien yaitu fleksi ekstensi jari dan telapak kaki serta
abduksi adduksi jari kaki dengan respon data objektif yaitu

klien mampu melakukan ROM secara pasif pada bagian

ekstremitas kiri secara perlahan. Kemudian pukul 13.00

mengulangi latihan ROM fleksi ekstensi jari dan telapak kaki

dengan data subjektif yaitu klien mengatakan nyeri ketika

ROM kaki kirinya, sedangkan data objektinya dalam

melakukan ROM masih pasif. Pukul 14.00 WIB melakukan

kolaborasi dengan anggota keluarga klien dalam membantu

klien latihan ROM dan manfaat ROM, dengan respon data

objektif yaitu keluarga klien kooperatif dan mampu melakukan

tehnik ROM yang telah diajarkan.

c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

penurunan aliran darah vena, implementasinya yaitu pukul

(09.00) mengkaji sirkulasi perifer secara komprehensif dengan

respon data objektif yaitu kulit perifer teraba dingin, tampak

pucat, bengkak, CRT 3 detik, sedangkan data subjektifnya

klien mengatakan kaki kiri terkadang terasa kesemutan dan

nyeri bagian post op ORIF fraktur cruris. Pukul 09.15


0
meninggikan kaki kiri klien 30 dengan bantal, respon data

subjektifnya klien mengatakan nyaman, setelah 15 menit

kesemutan hilang. Kemudian pukul 09.30 mengajarkan kepada

klien untuk tidak menekuk dan menyilangkan kaki untuk

mencegah statis vena dengan respon data objektif klien


kooperatif. Pada pukul 11.00 memposisikan kaki klien lurus

tanpa diganjal bantal karena klien mengatakan kesemutan

dengan respon data objektif klien mengatakan kesemutan

berkurang. Pukul 14.00 memposisikan kembali kaki kiri klien


0
30 dengan respon data subjektif klien mengatakan tidak

kesemutan lagi dan terasa nyaman. Kemudian pukul 20.00

mengevaluasi sirkulasi perifer dengan respon data objektif

bagian perifer masih tampak pucat, teraba dingin, bengkak,

CRT 3 detik, dan data subjektifnya klien mengatakan

kesemutan berkurang.

d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan,

implementasinya yaitu pada pukul (09.10 WIB) mengkaji

kecemasan yang dirasakan klien dengan respon data objektif

yaitu klien tampak menangis ketika dijenguk orangtuanya,

sedangkan data subjektifnya yaitu klien mengatakan khawatir

sakitnya tidak kunjung sembuh dan tidak dapat beraktivitas

seperti semula, klien mengatakan susah tidur. Pukul (09.20)

melakukan kolaborasi dengan keluarga untuk selalu menemani

klien dan memberikan support dengan respon data objektif

keluarga klien kooperatif. Kemudian pukul 19.00

mengevaluasi respon kesemasan klien dengan data subjektif

yaitu klien mengatakan bisa tertidur namun sering terbangun.


e. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif,

implementasinya yaitu pukul (09.00 WIB) mengkaji mengkaji

TTV klien dengan respon data objektif yaitu TD= 130/ 80

mmhg, N= 98x/ menit, RR= 18 x/ menit, S=37,50 C, kemudian

pukul (09.05 WIB) mengkaji tanda-tanda infeksi dengan respon

data objektif yaitu tampak bengkak pada bagian distal luka

yaitu di punggung kaki, terasa nyeri, dan terjadi perubahan

fungsi. Pukul (10.00 WIB) mengkaji kondisi balutan luka

dengan respon data objektif tampak drain mengeluarkan darah

sebanyak 5 cc/ 8 jam, verban bersih tidak berbau. Dan pukul

(12.00) melakukan kolaborasi pemberian antibiotic obat oral

ciprofloxacin 500 mg dengan respon data objektif yaitu balutan

luka tidak berbau ataupun rembes. Kemudian pada pukul 18.00

melakukan kolaborasi pemberian injeksi ceftriaxone 10 ml dan

memberikan terapi oral ciprofloxacin 500 mg dengan respon

data objektif tidak ada alergi.

2. Hari kedua (tanggal 4 maret 2015)

a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan,

implementasinya yaitu (pukul 08.00 WIB) melakukan

pengkajian nyeri secara komprehensif dengan respon data

subjektifnya yaitu (P= nyeri post operasi pada kaki kiri, Q=

nyeri seperti disayat, R= kaki kiri bawah lutut, S= skala 7, T=

hilang timbul). Kemudian pada (pukul 08.15 WIB)


mengobservasi respon ketidaknyamanan yang klien rasakan

dengan respon data subjektifnya adalah klien mengatakan nyeri

tidak tertahankan pada malam hari dan akibat nyeri yang

ditimbulkan klien semalam masih susah tidur. Pada (pukul


0
08.20 WIB) memberikan posisi 30 dengan respon data

objektif yaitu klien tampak nyaman, sedangkan data

subjektifnya klien mengatakan nyaman dengan posisi tersebut.

Dan pada pukul (09.30 WIB) melakukan kolaborasi pemberian

drip ketorolac 2x30 mg kedalam infus RL 20 tetes/ menit serta

pada pukul (12.00 WIB) memberikan obat oral asam

mefenamat 1x 500 mg dengan respon data subjektif yaitu nyeri

sedikit berkurang menjadi skala 6. Pukul 15.00 melakukan

penggantian selang infus RL 500 ml karena terjadi kemacetan

dan phlebitis dengan respon data objektif infus tidak macet dan

lancar. Pada pukul 18.00 melakukan kolaborasi pemberian

injeksi ketorolac 30 mg dan memberikan terapi oral asam

mefenamat 1x500 mg dan penggantian infus RL 500 ml 20 tpm

. Kemudian pada pukul 20.00 mengevaluasi respon nyeri yang

klien rasakan dan respon data subjektifnya (P) klien

mengatakan nyeri, (Q) seperti disayat, (R) kaki kiri 1/3

proksimal, (S) skala 5, (T) terasa hilang timbul.

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal, implementasinya yaitu pada pukul (08.00


WIB) mengkaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan klien

dengan respon data subjektif yaitu istri klien mengatakan yaitu

dalam melakukan aktivitasnya klien dibantu istrinya (skala

ketergantungan 2), klien sudah mampu miring kanan dan kiri

serta duduk dengan bantuan istrinya, sedangkan data

objektifnya yaitu skala kekuatan otot ekstremitas atas kanan 5/

kiri 5 dan ekstremitas bawah kanan 5/ kiri 1, Kemudian pukul

(08.20 WIB) mengevaluasi teknik ROM yang telah diajarkan

sebelumnya dan juga mengajarkan tehnik ROM pasif dan aktif

tahap kedua yaitu abduksi adduksi kaki klien respon data

objektif yaitu klien mampu melakukan kembali ROM yang

diajarkan sebelumnya secara aktif, klien juga mampu

melakukan ROM pasif pada tahap kedua ini namun masih

terasa nyeri hebat ketika kaki kirinya melakukan ROM. Pukul

(09.00 WIB) melakukan kolaborasi dengan keluarga untuk

selalu mengingatkan dan membantu melakukan tehnik ROM

yang sudah diajarkan dengan respon data objektif yaitu istri

klien kooperatif. Pukul 14.00 mengevaluasi klien melakukan

ROM tahap 2 dengan respon data objektif klien mampu ROM

aktif tehnik ROM tahap pertama tetapi masih kesulitan dalam

melakukan ROM tahap kedua, sedangkan data subjektifnya

klien mengatakan terasa nyeri hebat ketika kakinya coba

diangkat. Kemudian pukul 20.00 melakukan kolaborasi dengan


keluarga klien dalam mengobservasi klien melakukan ROM

dengan data objektif dalam melakukan ROM tahap kedua

kurang maksimal karena terasa nyeri.

c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

penurunan aliran darah vena, implementasinya yaitu pukul

(08.00) mengkaji sirkulasi perifer secara komprehensif dengan

respon data objektif yaitu kulit perifer teraba dingin, tampak

pucat, bengkak berkurang, CRT 3 detik, sedangkan data

subjektifnya klien mengatakan kaki kiri sudah berkurang rasa


0
kesemutanya. Pukul 08.15 meninggikan kaki kiri klien 30

dengan bantal, respon data subjektifnya klien mengatakan

nyaman. Kemudian pada pukul 11.00 melakukan cek verban

yang membalut luka klien, dengan respon data subjektif klien

mengatakan verban tidak terlalu kencang dan tidak

mengganggu. Kemudian pukul 11.00 mendorong klien untuk

melakukan pergerakan sendi secara pasif dan aktif saat tirah

baring, dengan respon data objektif yaitu klien kooperatif.

Kemudian pukul 20.00 mengevaluasi sirkulasi perifer dengan

respon data objektif bagian perifer tidak tampak pucat, teraba

hangat, tidak teraba bengkak, CRT 2 detik, dan data

subjektifnya klien mengatakan sudah tidak kesemutan.

d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan,

implementasinya yaitu pada pukul (08.30 WIB) mengkaji


kecemasan yang dirasakan klien dengan respon data objektif

yaitu klien tampak masih khawatir ketika kaki kirinya dilatih

ROM atau digerakkan, sedangkan data subjektifnya yaitu klien

mengatakan tulang yang patah tidak menyambung kembali jika

digerakkan terus menerus, klien mengatakan susah tidur,

Kemudian pada pukul (08.35 WIB) memberikan informasi

tentang penyembuhan klien dengan respon data objektif yaitu

klien tenang dan kooperatif serta klien mengerti tentang

penjelasan patah tulang klien dan keefektifan latihan yang

dijalani. Kemudian pukul (08.40) mengajarkan klien ketika

susah tidur dan merasa khawatir untuk mendengarkan music.

Pukul (09.00) melakukan kolaborasi dengan keluarga untuk

selalu memberikan support dengan respon data objektif

keluarga klien kooperatif data subjektif klien mengatakan

merasa senang selalu ditemani oleh istrinya. Kemudian pukul

(19.00) mengevaluasi respon kesemasan klien dengan data

subjektif yaitu klien mengatakan bisa tertidur namun masih

tetap sering terbangun karena nyerinya, klien sudah tidak

khawatir lagi ketika dilatih ROM, klien mengatakan semangat

untuk berjuang dan berlatih demi kesembuhanya.

e. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

implementasinya yaitu pukul (09.00 WIB) mengkaji TTV klien

dengan respon data objektif yaitu TD= 120/ 90 mmhg, N= 88x/


menit, RR= 20 x/ menit, S=36,80 C, kemudian pukul (09.05

WIB) mengkaji tanda-tanda infeksi dengan respon data objektif

yaitu sudah tidak ada bengkak pada punggung kaki , tampak

nyeri dan terjadi perubahan fungsi. Pukul (09.15 WIB)

mengobservasi kondisi balutan luka dengan respon data

objektif tampak drain mengeluarkan darah sebanyak 3 cc/ 8

jam, verban bersih tidak berbau. Dan pukul (12.00 WIB)

melakukan kolaborasi pemberian injeksi ceftriaxone 10 ml dan

pemberian antibiotic oral ciprofloxacin 1x 500 mg dengan

respon data objektif yaitu balutan luka tidak berbau ataupun

rembes. Kemudian pada pukul 18.00 melakukan kolaborasi

pemberian injeksi ceftriaxone 1x10 ml dan terapi oral

ciprofloxacin 1x500 mg dengan respon data objektif tidak ada

alergi.

3. Hari ketiga (5 maret 2015)

a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan,

implementasinya yaitu (pukul 08.00 WIB) melakukan

pengkajian nyeri secara komprehensif dengan respon data

subjektifnya yaitu (P= nyeri post operasi fraktur cruris, Q=

nyeri seperti disayat, R= kaki kiri bawah lutut, S= skala 5, T=

hilang timbul). Kemudian pada (pukul 08.15 WIB)

mengobservasi respon ketidaknyamanan yang klien rasakan

dengan respon data subjektif yaitu klien mengatakan nyeri


berkurang dan klien semalam sudah dapat tidur. Pada (pukul

08.20 WIB) mengajarkan tehnik relaksasi dengan respon data

objektif yaitu klien mampu melakukan teknik relaksasi yang

diajarkan dan data subjektifnya yaitu klien mengatakan dengan

relaksasi membantu mengurangi nyeri yang dirasakan. Dan

pada pukul (12.00 WIB) melakukan kolaborasi pemberian

injeksi ketorolac 1x30 mg serta memberikan obat oral asam

mefenamat 1x 500 mg dengan respon data subjektif yaitu nyeri

berkurang menjadi skala 4. Pada pukul (18.00) melakukan

kolaborasi pemberian injeksi ketorolac 30 mg dan memberikan

terapi oral asam mefenamat 1x500 mg. Kemudian pada pukul

20.00 mengevaluasi respon nyeri yang klien rasakan dan respon

data subjektifnya (P) klien mengatakan nyeri, (Q) seperti

disayat, (R) kaki kiri, (S) skala 4, (T) terasa hilang timbul.

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal, implementasinya yaitu pada pukul (08.00

WIB) mengkaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan klien

dengan respon data objektif yaitu dalam melakukan aktivitas

(mandi, makan, dan toileting) klien dibantu istrinya atau skala

ketergantungan 2, klien sudah mampu ambulasi miring kanan

dan kiri serta duduk secara mandiri, skala kekuatan otot

ekstremitas atas kanan 5/ kiri 5 dan ekstremitas bawah kanan 5/

kiri 2, sedangkan respon data subjektifnya yaitu istri klien


mengatakan istri klien mengatakan ketika makan, mandi,

toileting klien dibantu olehnya. Kemudian pukul (08.20 WIB)

mengobservasi teknik ROM tahap satu dan kedua dengan

respon data objektif yaitu klien mampu melakukan kembali

ROM yang diajarkan pada tahap pertama namun untuk tehnik

ROM pada tahap kedua masih butuh bantuan karena terasa

nyeri ketika digerakkan atau ROM pasif. Pada pukul (10.00

WIB) melakukan kolaborasi deng mengajarkan tehnik ROM

pasif dengan ahli fisioterapi dalam melakukan ROM adduksi

abduksi, rotasi, dan fleksi ekstensi dengan respon data objektif

yaitu klien mampu melakukan latihan ROM yang diajarkan

oleh ahli fisioterapi secara pasif dan masih belum maksimal

dalam geraknya. Kemudian pukul 13.00 mengulangi latihan

ROM sesuai yang telah diajarkan ahli fisioterapi secara

bertahap dengan data subjektif yaitu klien mengatakan nyeri

ketika ROM kaki kirinya. Pukul 17.00 WIB mengobservasi

klien dalam melakukan ROM, dengan respon data objektif

yaitu klien kooperatif dalam melakukan ROM. Dan pada pukul

20.00 mengobservasi kembali latihan ROM yang telah

diajarkan dengan respon data objektif klien melakukan ROM

pasif dan kurang maksimal, sedangkan data subjektifnya klien

mengatakan ketika ROM tahap abduksi adduksi dan fleksi

ekstensi terasa nyeri sehingga tidak maksimal.


c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif,

implementasinya yaitu pukul (08.00 WIB) mengkaji mengkaji

TTV klien dengan respon data objektif yaitu TD= 130/ 80

mmhg, N= 84x/ menit, RR= 20 x/ menit, S=36,50 C, kemudian

pukul (08.10 WIB) mengkaji tanda-tanda infeksi dengan respon

data objektif yaitu sudah tidak ada bengkak pada punggung

kaki, tidak tampak adanya rubor, tumor, kalor. Pukul (08.15

WIB) melakukan perawatan luka dan melepas drain dengan

respon data objektif tampak drain sudah tidak mengeluarkan

darah, jahitan luka tampak bersih, tidak ada pus, tidak berbau,

tidak bengkak. Dan pukul (12.00 WIB) melakukan kolaborasi

pemberian injeksi ceftriaxone 10 ml dan antibiotic oral

ciprofloxacin 1x 500 mg dengan respon data objektif yaitu

balutan luka tidak berbau ataupun rembes dan bersih.

Kemudian pada pukul 17.00 injeksi ceftriaxone 10 ml dan

pukul 18.00 memberikan terapi oral ciprofloxacin 500 mg

dengan respon data objektif tidak ada alergi dan tanda-tanda

infeksi pada daerah luka post operasi.

4. Hari keempat (6 maret 2015)

a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan,

implementasinya yaitu (pukul 08.00 WIB) melakukan

pengkajian nyeri secara komprehensif dengan respon data

subjektifnya yaitu (P= nyeri post operasi post op fraktur cruris,


Q= nyeri seperti disayat, R= kaki kiri bawah lutut, S= skala 2,

T= hilang timbul). Pada (pukul 08.20 WIB) mengobservasi

kemampuan klien dalam melakukan tehnik relaksasi yang telah

diajarkan dengan respon data objektif yaitu klien mampu

melakukan teknik relaksasi yang diajarkan dan data

subjektifnya yaitu klien mengatakan ketika nyeri muncul selalu

melakukan tehnik relaksasi. Dan pada pukul (10.00 WIB)

melakukan kolaborasi pemberian injeksi ketorolac 1x30 mg

dengan respon data subjektif yaitu nyeri berkurang menjadi

skala 1.

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal, implementasinya yaitu pada pukul (09.00

WIB) mengkaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan klien

dengan respon data objektif yaitu dalam melakukan aktivitas

(mandi, makan, dan toileting) klien dibantu istrinya atau skala

ketergantungan 2, klien sudah mampu ambulasi miring kanan

dan kiri serta duduk secara mandiri skala ketergantungan 0, lalu

pukul (09.10) mengkaji skala kekuatan otot dengan respon data

objektif yaitu kekuatan otot ekstremitas atas kanan 5/ kiri 5 dan

ekstremitas bawah kanan 5/ kiri 3. Kemudian pukul (09.20

WIB) mengobservasi teknik ROM yang telah diajarkan

sebelumnya dengan respon data objektif klien mampu

melakukanya secara aktif namun rentangnya belum maksimal.


Dan pada pukul (09.30) memberi penguatan positif selama

klien melakukan latihan ROM dengan respon data objektif

klien kooperatif. Kemudian pukul (10.00 WIB) melakukan

kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk mengajarkan klien

menapak dengan kaki yang tidak cedera di samping tempat

tidur dan latihan penggunaan kruk. Dengan respon data

subjektik yaitu pada klien hari keempat belum dapat dilakukan

latihan menggantung kan kaki dan menapak karena ahli

fisioterapi mengatakan klien belum mampu dilakukan latihan

tersebut karena karena persiapan latihan berjalan menggunakan

kruk atau walker membutuhkan energi. Persiapan latihan

memastikan kekuatan otot, rentang gerak sendi, status

hemodinamik klien, hipotensi orthostatik, tingkat kesadaran.

Jika tidak ada masalah maka latihan menggunakan kruk bisa

dimulai. Dan pada klien untuk sedikit mengegeser kakinya

mengatakan nyeri hebat.Sehingga klien harus kembali ke RS

untuk dilatih penggunaan kruk dan berjalan, karena pada hari

keempat klien belum dapat mencapai kriteria untuk dilakukan

latihan kruk.

D. Evaluasi

1. Hari pertama (3 maret 2015 pukul 21.00)


a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan, evaluasi

subjektifnya adalah klien mengatakan nyeri seperti disayat,

nyeri terasa di kaki kiri tepatnya di bawah lutut, skala nyeri 7,

terasa terus menerus, intensitas nyeri sering. Sedangkan

evaluasi objektifnya yaitu klien tampak menyeringai menahan

sakit. Masalah keperawatan nyeri belum teratasi, sehingga

planningnya lanjutkan intervensi kaji nyeri secara

komprehensif, kaji respon ketidaknyamanan, berikan posisi

yang nyaman, kolaborasi pemberian analgetik. Hambatan

mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal,

evaluasi subjektifnya yaitu istri klien mengatakan ketika

makan, mandi, toileting klien dibantu olehnya. klien belum

mampu melakukan ambulasi dan aktivitas secara mandiri atau

skala ketergantungan 2, klien mampu mempertahankan

keseimbangan tubuhnya (belum mampu berdiri), serta belum

mampu memfasilitasi pergerakan dengan tulang ekstremitas

bawahnya.

b. Sehingga masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik

belum teratasi, perlu dilanjutkan intervensi yaitu kaji respon

kebutuhan pelayanan klien, ajarkan tehnik ROM, kolaborasi

dengan keluarga dalam melatih ROM.

c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer, evaluasi subjektifnya

yaitu klien mengatakan masih terasa kesemutan dengan


frekuensi jarang. Evaluasi objektifnya bagian perifer kaki kiri

masih tampak pucat dan bengkak, teraba dingin, CRT 3 detik.

Sehingga masalah keperawatan ketidakefektifan perfusi

jaringan perifer belum teratasi. Maka perlu dilanjutkan

intervensi kaji sirkulasi perifer secara komprehensif, posisikan

kaki kiri lebih tinggi 300 dan diluruskan secara bergantian.

d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan,

evaluasi subjektifnya yaitu klien mengatakan khawatir sakitnya

tidak kunjung sembuh, kemudian evaluasi objektifnya

menunjukkan gejala kecemasan yaitu raut wajah sedih dan

menahan tangis. Masalah keperawatan ansietas belum teratasi

sehingga perlu dilanjutkan intervensi yaitu kaji respon

kecemasan klien, beri penguatan positif selama aktivitas,

kolaborasi dengan keluarga dalam pemberian support.

e. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, evaluasi

subjektifnya yaitu tidak dapat terkaji, sedangkan evaluasi

objektifnya yaitu menunjukkan tanda gejala infeksi yaitu dolor

atau nyeri, dan fungsio laesa atau perubahan fungsi. Masalah

keperawatan resiko infeksi belum teratasi sehingga perlu

dilanjutkan intervensi kaji TTV, kaji tanda-tanda infeksi, kaji

balutan luka, dan kolaborasi pemberian antibiotik.

2. Hari kedua (4 maret 2015 pukul 21.00 WIB)


a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan, evaluasi

subjektifnya adalah klien mengatakan nyeri seperti disayat,

nyeri terasa di kaki kiri tepatnya di bawah lutut, skala nyeri 6,

terasa hilang timbul, intensitas nyeri berkurang, nyeri terasa

ketika digerakkan. Sedangkan evaluasi objektifnya yaitu klien

tampak menyeringai menahan sakit. Kemudian masalah

keperawatan nyeri belum teratasi, sehingga planningnya

lanjutkan intervensi kaji nyeri secara komprehensif, kaji respon

ketidaknyamanan, ajarkan tehnik relaksasi distraksi, kolaborasi

pemberian analgetik.

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal, evaluasi subjektifnya yaitu istri klien

mengatakan ketika makan, mandi, toileting klien dibantu

olehnya namun klien sudah mampu ambulasi secara mandiri.

kekuatan otot ekstremitas kiri bawah klien 3 , klien mampu

melakukan ambulasi dan aktivitas secara mandiri atau skala

ketergantungan 2,klien mampu mempertahankan keseimbangan

tubuhnya (belum mampu berdiri), serta belum mampu

memfasilitasi pergerakan dengan tulang ekstremitas bawahnya.

c. Sehingga masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik belum

teratasi, perlu dilanjutkan intervensi yaitu kaji respon

kebutuhan pelayanan klien, ajarkan tehnik ROM, kolaborasi

dengan keluarga dalam melatih ROM.


d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer, evaluasi subjektifnya

yaitu klien mengatakan sudah tidak kesemutan. Evaluasi

objektifnya bagian perifer kaki kiri tidak tampak pucat, tidak

ada edema perifer, teraba hangat, CRT 2 detik, sensasi normal,

tidak ada kesemutan. Maka masalah keperawatan ke tidak

efektifan perfusi jaringan perifer teratasi, sehingga hentikan

intervensinya.

e. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan,

evaluasi subjektifnya yaitu klien mengatakan semangat untuk

sembuh, sudah tidak merasa khawatir, sudah bisa tidur.

Kemudian evaluasi objektifnya sudah tidak menunjukkan

gejala kecemasan. Masalah keperawatan ansietas teratasi

sehingga intervensi dihentikan.

f. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

evaluasi subjektifnya yaitu tidak dapat terkaji, sedangkan

evaluasi objektifnya yaitu menunjukkan tanda gejala infeksi

yaitu dolor atau nyeri, dan fungsio laesa atau perubahan fungsi.

Masalah keperawatan resiko infeksi belum teratasi sehingga

perlu dilanjutkan intervensi kaji tanda gejala infeksi, kaji

balutan luka, lakukan perawatan luka, kolaborasi pemberian

antibiotik.

3. Hari ketiga (5 maret 2015 pukul 21.00)


a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan, evaluasi

subjektifnya adalah klien mengatakan nyeri seperti disayat,

nyeri terasa di kaki kiri tepatnya di bawah lutut, skala nyeri 4,

terasa hilang timbul, intensitas nyeri berkurang, nyeri terasa

hanya ketika digerakkan. Sedangkan evaluasi objektifnya yaitu

klien sudah tampak rileks. Kemudian masalah keperawatan

nyeri belum teratasi, sehingga planningnya lanjutkan intervensi

kaji nyeri secara komprehensif, observasi tehnik relaksasi

distraksi yang telah diajarkan, kolaborasi pemberian analgetik.

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal, evaluasi subjektifnya yaitu istri klien

mengatakan ketika makan, mandi, toileting klien dibantu

olehnya namun klien sudah mampu ambulasi secara mandiri.

kekuatan otot ekstremitas kiri bawah klien 2 , klien mampu

melakukan ambulasi dan aktivitas secara mandiri atau skala

ketergantungan 1, klien mampu mempertahankan

keseimbangan tubuhnya (belum mampu berdiri), serta belum

mampu memfasilitasi pergerakan dengan tulang ekstremitas

bawahnya.

c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, evaluasi

subjektifnya yaitu tidak dapat terkaji, sedangkan evaluasi

objektifnya yaitu tidak menunjukkan tanda gejala infeksi.


Masalah keperawatan resiko infeksi teratasi sehingga perlu

hentikan intervensi.

4. Hari keempat (6 maret 2015 pukul 11.00 WIB)

a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan, evaluasi

subjektifnya adalah klien mengatakan nyeri post op frakur

cruris seperti disayat, nyeri terasa di kaki kiri tepatnya di bawah

lutut, skala nyeri 1, terasa hilang timbul, intensitas nyeri jarang.

Sedangkan evaluasi objektifnya yaitu klien sudah tampak

rileks. Kemudian masalah keperawatan nyeri teratasi, sehingga

planningnya hentikan intervensi, klien boleh pulang oleh

dokter.

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal, evaluasi subjektifnya yaitu istri klien

mengatakan ketika makan, mandi, toileting klien dibantu

olehnya namun klien sudah mampu ambulasi secara mandiri.

kekuatan otot ekstremitas kiri bawah klien 3 , klien mampu

melakukan ambulasi dan aktivitas secara mandiri atau skala

ketergantungan 1, klien mampu mempertahankan

keseimbangan tubuhnya (belum mampu berdiri), serta belum

mampu memfasilitasi pergerakan dengan tulang ekstremitas

bawahnya.
BAB IV
PEMBAHASAN DAN SIMPULAN

A. Pembahasan

Pada bab ini akan dibahas tentang pengelolaan asuhan keperawatan

pada Tn. I dengan diagnosa medis post operasi cruris sinistra di bangsal

cempaka RSUD Temanggung. Pembahasan difokuskan pada aspek asuhan

keperawatan yang meliputi pengkajian, analisis data, diagnosis

keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi. Dalam pembahasan

ini akan diuraikan tentang kesenjangan yang ditemukan selama

melaksanakan asuhan keperawatan dari pengkajian hingga evaluasi.

1. Pengkajian

Pada tahap awal yaitu melakukan pengkajian pasien, dan keluarga

sangat kooperatif, pasien ditemani oleh istrinya.Data pengkajian

diperoleh melalui alloanamnase dan autoanamnase. Menurut Doengoes

(2000) pengkajian sirkulasi pada pasien fraktur, pasienakan mengalami

pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera, tetapi

pada Tn. I bengkak terjadi di bagian distal sisi cedera.Menurut

Sjamsuhidajat (2004) bahwa pada permulaan penyembuhan tulang

akan terjadi perdarahan di sekitar patahan tulang yang disebabkan oleh

putusnya pembuluh darah pada tulang dan periosteum atau disebut fase

hematoma. Hal terjadi di bagian distal luka karena kerusakan

pembuluh darah akibat luka incisi, cairan yang melewati membran


tidak lancar dan tidak dapat tersaring sehingga terjadi akumulasi cairan

dan timbul bengkak (Apley, 2009).Edema perifer dapat disebabkan

akibat gangguan aliran darah kembali ke jantung.dan akibat fiksasi

interna pada cedera tulang sehingga pompa otot yang berperan dalam

aliran balik mengalami kelemahan (Kneale & Davis, 2011).

Selain itu, menurut Muttaqin (2008,p.14) pada pengkajian sistem

persendian maka, perlu dikaji rentang gerak, stabilitas, dan adanya

benjolan. Namun, pada Tn.I hanya ditemukan gangguan pada rentang

gerak dan stabilitas, tidak ditemukan adanya benjolan. Hal tersebut

dapat terjadi karena menurut Sjamshidajat (2004, p.847 ) benjolan

yang terjadi di sendi bisa disebabkan karena osteomielitis akibat

kuman patologis dan infeksi. Pada Tn. I tidak terjadi infeksi.yang

menyebabkan osteomielitis.

Pada pemeriksaan diagnostik, menurut Lukman dan Ningsih

(2009) pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam menegakkan

diagnosa fraktur yaitu pemeriksaan rongent, CT-scan, arteriogram,

hitung darah lengkap, kreatinin, dan profil koagulasi.Namun pada Tn.I

pemeriksaan diagnostik yang dilakukan adalah pemeriksaan rongent

dan hitung darah lengkap (hemoglobin dan leukosit). Hasil

pemeriksaan rongent X foto cruris sinistra AP/ Lat (anterior posterior/

lateral) pada tanggal 25 Februari 2015didapatkan hasil fraktur

kominutif os tibia sinistra proximal, displaced minimal dan os fibula

tampak retak. Sedangkan pemeriksaan rongent pada rongent X foto


cruris sinistra AP/ Lat tanggal 2 maret 2015 didapatkan hasil terpasang

fixasi plate dan 10 buah screw pada old fraktur os tibiae sinistra 1/3

proksimal , terpasang drain dengan darah yang keluar 10 cc / 24 jam

(normal kurang dari 25 cc / 24 jam) , tak tampak tanda-tanda OM atau

dislokasi, tampak soft tissue mass region cruris sinistra 1/3 proximal

aspect lateral.

Hasil pemeriksaan hemoglobin Tn. I berbeda dari ukuran nilai

hemoglobin normal yaitu 12,4 g/ dl (ukuran normal 14-18 gr/dl),

sedangkan leukositnya normal yaitu 6,5 x 10 3 / ul (ukuran normal 4,5-

11 x 10 3 / ul). Menurut Kneale & Davis (2011) setiap kondisi dimana

terjadi perdarahan yang berlebihan seperti perdarahan akibat

kecelakaan, kekurangan zat besi, kekurangan vitamin B12, gangguan

sumsum tulang, dapat menyebabkan penurunan pada sel darah merah

yang akhirnya menyebabkan rendahnya kadar hemoglobin sehingga

dapat muncul gejala gangguan sirkulasi (pucat, dan perubahan warna,

CRT lebih dari 3 detik, akral dingin).

Menurut Subijakto (2011) darah terdiri dari komponen cair yang

disebut plasma dan berbagai unsur yang dibawa dalam plasma yaitu

sel-sel darah. Sel – sel darah terdiri dari eritrosit atau sel darah merah,

yaitu sel yang kaya oksigen dan juga sebagai media transport oksigen

yang biasanya tergantung pada komponen besi dalam pigmen respirasi

yaitu hemoglobin. Jadi, hemoglobin merupakan bagian dari sel darah

merah yang mengikat oksigen.Sedangkan, Leukosit yaitu sel yang


berperan dalam kekebalan dan pertahanan tubuh dan berperan penting

dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap benda-

benda asing.Hal tersebut dapat terjadi karena menurut Sjamsuhidajat

(2010, p. 962) pemeriksaan radiologi dan laboratorium digunakan

sebagai pemeriksaan penunjang sistem musculoskeletal.Pemeriksaan

radiologis dengan pembuatan foto rongent dua arah 90 derajat

didapatkan garis gambaran garis patah dengan gambaran garis patah

biasanya jelas.Sedangkan, menurut Kumala (2011) hitung darah

lengkap digunakan untuk memeriksa gangguan seperti anemia, infeksi,

dan penyakit lainya.

2. Analisis Data

Tahap yang kedua adalah analisis data, dari data hasil pengkajian

yang dilakukan pada Tn.I diperoleh data-data yang sesuai dengan teori

berdasarkan kriteria NANDA NIC NOC.

3. Diagnosis keperawatan

a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan yang disebabkan

oleh post operasi ORIF fraktur cruris

Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang actual dan

potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti (International

Association for the Study of Pain), awitan yang tiba-tiba atau

perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang

dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasnya kurang dari


enam bulan. mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri

dengan isyarat, posisi untuk menghindari nyeri, perubahan tonus

otot, respon autonomik (misalnya diaphoresis, perubahan tekanan

darah, pernapasan atau nadi, dilatasi pupil), perubahan selera

makan, perilaku distraksi (misalnya mondar-mandir, mencari orang

dan atau aktivitas lain, atau aktivitas berulang), perilaku ekspresif

(gelisah, merintih, menangis, kewaspadaan berlebihan, menghela

nafas panjang), perilaku menjaga atau sikap melindungi, gangguan

tidur (mata kuyu, menyeringai, gerakan tidak menentu) (Judith,

Wilkinson & Ahern, 2011, p. 530-536).

Terdapat masalah keperawatan nyeri akut karena sebagai

respon stress akibat pembedahan mayor atau trauma dan kerusakan

jaringan, yang memicu pelepasan histamine, prostaglandin, dan

bradikinin. Substansi tersebut bergabung dengan area reseptor

nosiseptor untuk memicu transmisi neural.Otak menafsirkan

intensitas nyeri berdasarkan jumlah impuls nyeri yang diterima

selama periode tertentu.Semakin besar impuls yang diterima

semakin besar pula intensitas nyeri yang dirasakan. Prostaglandin

dihasilkan dari pemecahan fosfolipid yang membentuk dinding sel.

Prostaglandin merupakan mediator nyeri yang paling penting

disintesis dari asam arakidonik oleh enzim siklooksigenase.

Prostaglandin membuat nosiseptor peka dan meningkatkan

pengaruh dari substansi pemicu nyeri yang lain. Sebagai bagian


dari respon inflamasi terhadap trauma, bradikinin dihasilkan dari

kininogen dalam pembuluh darah kecil dan jaringan di

sekitarnya.Bradikinin merangsang area pengikat reseptor

nosiseptor, memicu rangkaian terjadinya respon nyeri.Histamin

juga dihasilkan sebagai respon imun terhadap kerusakan jaringan.

Histamin merupakan agen inflamasi yang efektif , yang

menyebabkan pembengkakan dengan menimbulkan edema dan

mempertahankan produk sisa secara local. Pada kadar tinggi ,

histamine menimbulkan sensasi nyeri yang hebat ( Kneale &

Davis, 2011, p. 165).

Dampak yang paling berat dari masalah nyeri akut pada

pasien dengan post operasi ORIF fraktur cruris meliputi

peningkatan ansietas, rasa takut atau ansietas, tidak bisa tidur.

Akibatnya kondisi ini dapat menimbulkan rasa tidak percaya dan

kemarahan pasien.Selain itu juga dapat menyebabkan penurunan

fleksibilitas sendi, kelemahan otot progresif, dan keletihan (Kneale

& Davis, 2011).

Tujuan dan kriteria hasil yang akan dicapai oleh penulis

dalam masalah nyeri akut ini selama 4 x 24 jam adalah pasien

mengatakan nyeri berkurang, skala nyeri menjadi ringan 1-3,

intensitas nyeri jarang, pasien tampak rileks.

Intervensi keperawatan yang telah dirumuskan penulis

penulis adalah kaji nyeri secara komprehensif, observasi respon


ketidaknyamanan yang pasien rasakan, bantu pasien mendapatkan

posisi yang nyaman yaitu dengan posisi fowler, ajarkan tehnik

relaksasi berupa nafas dalam, kolaborasi pemberian terapi injeksi

ketorolac 30 mg dan fentanyl 50 mg serta asam mefenamat tablet

500 mg.

Implementasi keperawatan yang dilakukan penulis dari

tanggal 3 maret 2015 hingga 6 maret 2015 adalah mengkaji nyeri

yang pasien rasakan dengan respon data objektif yaitu pasien

tampak menyeringai menahan sakit, sedangkan data subjektifnya

yaitu (P= nyeri post operasi fraktur cruris, Q= nyeri seperti disayat,

R= kaki kiri bawah lutut (cruris sinistra 1/3 proksimal), S= skala 9,

T= terasa terus menerus. Sedangkan rasional dari tindakan tersebut

adalah untuk memastikan pengkajian nyeri yang benar dan

mengambil keputusan yang tepat untuk melakukan intervensi

berdasarkan pengkajian. Pada respon pasien, skala nyeri pasien

mencapai 9 karena merupakan persepsi nyeri yang diukur pasien

sendiri secara akurat berdasarkan skala analog visual (Visuale

Analogue Scale, VAS). Nyeri pasien termasuk jenis nyeri somatik

yaitu nyeri yang timbul sebagai akibat cedera atau pembedahan

pada tulang, sendi, otot, kulit dan jaringan ikat (Kneale & Davis,

2011).

Kemudian, mengobservasi respon ketidaknyamanan yang

pasien rasakan dengan respon data objektif yaitu pasien tampak


menyeringai, sedangkan data subjektifnya adalah pasien

mengatakan nyeri tidak tertahankan dan akibat nyeri yang

ditimbulkan pasien susah tidur. Rasional dari tindakan tersebut

adalah nyeri memengaruhi proses kenyamanan dimana nyeri dapat

menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien, karena nyeri

merupakan sensori subjektif dan emosioal yang tidak

menyenangkan yang didapat akibat kerusakan jaringan aktual atau,

sehingga harapan positif klien terhadap penyembuhan mengalami

penurunan (Subijakto, 2011).

Tindakan yang ketiga adalah membantu pasien

mendapatlan posisi yang nyaman, yaitu dengan memposisikan

pasien fowler responya yaitu pasien mengatakan nyeri tidak

tertahankan pada malam hari dan akibat nyeri yang ditimbulkan

pasien semalam masih susah tidur. Sedangkan rasional dari

tindakan posisi semi fowler adalah posisi setengah duduk atau

duduk (45-90 0) dimana bagian kepala lebih tinggi atau dinaikkan

dengan tujuan untuk meningkatkan rasa nyaman, mengurangi

komplikasi akibat immobilisasi, memaksimalkan ekspansi dada

dan ventilasi paru, mengurangi kemungkinan tekanan pada tubuh

akibat posisi yang menetap (Kneale & Davis, 2011).

Kemudian tindakan yang keempat adalah mengajarkan

tehnik relaksasi berupa nafas dalam dengan respon data objektif

yaitu pasien mampu melakukan teknik relaksasi yang diajarkan dan


data subjektifnya yaitu pasien mengatakan dengan relaksasi

membantu mengurangi nyeri yang dirasakan.Rasional dari tindakan

ini adalah teknik relaksasi merupakan teknik yang didasarkan

bahwa tubuh berespon pada ansietas yang merangsang nyeri atau

kondisi penyakitnya.Teknik relaksasi dapat menurunkan

ketegangan fisiologis.Teknik ini dilakukan dengan posisi

berbaring.Hal utama yang dibutuhkan dalam teknik relaksasi

adalah pasien dengan posisi yang nyaman, pikiran yang beristirahat

dan lingkungan yang tenang.Prinsipnya pasien harus mampu

berkonsentrasi (Padila, 2012). Selain itu akibat nyeri juga dapat

menghambat nafas dalam dan batuk, dengan menganjurkan nafas

dalam secara teratur akan lebih banyak oksigen yang masuk ke

aliran darah untuk merespon peningkatan kebutuhan metabolik

khususnya setelah cedera atau pembedahan (Knelae & Davis,

2011).

Dan tindakan yang kelima adalah kolaborasi pemberian

injeksi drip ketorolac 2x 30 mg dan fentanyl 1x50 mg dalam infuse

RL 20 tetes per menit serta pemberian asam mefenamat tablet 500

mg per 8 jam sekali (3 maret 2015) hari berikutnya hanya

pemberian injeksi intravena ketorolac 30 mg dan injeksi fentanyl

50 mg serta asam mefenamat tablet 500 mg via oral per 8 jam

sekali dengan respon nyeri berkurang menjadi skala 6. Rasional

dari tindakan ini adalah bahwa ketorolac dan asam mefenamat


merupaka analgetik jenis non narkotik dan obat antiinflamasi

nonsteroid (NSAID), kelompok obat ini menghambat enzim

siklooksigenase yang penting untuk produksi prostaglandin yaitu

pembawa pesan pada proses peradangan. obat jenis NSAID bekerja

secara perifer pada area yang cedera dengan menghentikan respon

inflamasi. NSAID digunakan untuk mengatasi sakit kepala, cedera,

gangguan musculoskeletal, dan nyeri pasca bedah 1 ml ketorolac

mengandung 10 mg atau 30 mg ketorolac tromethami ne, dosis

maksimal sehari adalah 120 mg, dan untuk nyeri pasca bedah dapat

diberikan dosis 30-90 mg sekali, durasi maksimal pengobatan

ketorolac adalah selama 5 hari karena 10-30 % pasien yang

mengonsumsi NSAID dalam jangka panjang mengalami

kerusakan saluran cerna. Kemudian asam mefenamat mengandung

250 mg atau 500 mg asam mefenamat (Kneale & Davis, 2011).

Sedangkan 1 ml fentanyl mengandung 50 mg, reaksinya 100 kali

morphin, lebih sering dipakai pada analgetik narkotik pada anestesi

regional atau general. Dosis analgetik pasca operasi 50-100 mg

dapat diulanh 1-2 jam bila perlu (Rothrock, 2009).

Evaluasi keperawatan yang didapatkan penulis setelah

dilakukan tindakan adalah sesuai dengan kriteria hasil yang telah

ditetapkan oleh penulis dengan hasil sebagai berikut pasien

mengatakan nyeri post op frakur cruris seperti disayat, nyeri terasa

di kaki kiri tepatnya di bawah lutut, skala nyeri 1, terasa hilang


timbul, intensitas nyeri jarang. Sedangkan evaluasi objektifnya

yaitu pasien sudah tampak rileks.

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

musculoskeletal

Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam

pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh atau satu

ekstremitas atau lebih dengan batasan karakteristik yaitu kesulitan

membolak-balik posisi tubuh, keterbatasan rentang gerak sendi,

ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas aktivitas

kehidupan sehari-hari), melambatnya pergerakan, gerakan tidak

teratur atau tidak terkoor dinasi ((Judith, Wilkinson& Ahern, 2011,

p. 472-478).

Terdapat masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik

karena pasien dengan post operasi ORIF fraktur cruris sinistra akan

mengalami keterbatasan fisik pada ekstremitas bawah kiri yang

independen dan terarah karena faktor penurunan kekuatan, kontrol,

dan massa otot, serta faktor yang berhubungan dengan pembatasan

gerak yang diharuskan karena protokol mekanis dan medis (Kneale

& Davis, 2011).

Dampak yang paling berat dari masalah hambatan mobilitas

fisik pada pasien post operasi ORIF fraktur cruris yaitu

memengaruhi semua aktivitas kehidupan, selain itu akibat

ketidakaktifan musculoskeletal yang sudah pasti atau tidak dapat


dihindari meningkatkan resiko masalah disuse, seperti

tromboembolisme vena dan dekubitus. Dekubitus merupakan

gangguan dari kerusakan lapisan kulit yang potensial dan aktual,

karena penurunan atau tidak adanya mobilitas. Hasil akhir dari

dekubitus yaitu kematian jaringan dengan area terbatas akibat

adanya gangguan dan / atau oklusi suplai darah karena tekanan atau

kekuatan mekanis lain. Hambatan mobilitas fisik juga dapat

menigkatkan statis sirkulasi. Pada terjadi cedera atau trauma sistem

sirkulasi dan juga perubahan kimia darah, pasien akan beresiko

mengalami thrombosis vena provunda (Kneale & Davis, 2011).

Tujuan dan kriteria hasil yang akan dicapai penulis dalam

masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik ini selama 4 x 24

jam adalah hasil kekuatan otot ekstremitas pasien normal skala 5,

pasien mampu melakukan ambulasi dan aktivitas secara mandiri

atau skala ketergantungan 0, pasien mampu mempertahankan

keseimbangan tubuhnya, serta mampu memfasilitasi pergerakan

dengan tulang ekstremitas bawahnya.

Intervensi keperawatan yang telah dirumuskan penulis

adalah kaji kebutuhan pelayanan pasien, kaji skala kekuatan otot

pasien, atur posisi dengan kesejajaran tubuh yang benar dan

nyaman, beri penguatan positif selama aktivitas, ajarkan tehnik rom

pasif dan aktif, kolaborasi dengan ahli fisioterapi dalam

menentukan waktu yang tepat melatih mobilisasi pasien.


Implementasi keperawatan yang dilakukan penulis dari

tanggal 3 maret 2015 sampai 6 maret 2015 yaitu mengkaji

kebutuhan pelayanan pasien serta skala kekuatan ototnya dengan

respon data objektif yaitu dalam melakukan aktivitasnya pasien

dibantu istrinya (skala ketergantungan 2) , skala kekuatan otot

ekstremitas atas kanan 5/ kiri 5 dan ekstremitas bawah kanan 5/ kiri

1, sedangkan respon data subjektifnya yaitu istri pasien

mengatakan ketika makan, mandi, toileting pasien dibantu olehnya.

Rasional dari tindakan ini adalah skala aktivitas ditunjukkan dalam

rentang 0 sampai 4. Dengan skala 0 berarti pasien dapat melakukan

aktivitas secara mandiri atau ambulasi mandiri; skala 1 terbatas

(menggunakan alat bantu, sendiri); skala 2 sangat terbatas

(memerlukan bantuan; skala 3 hanya di kursi; skala 4 tirah baring

total. Selain itu dapat mengidentifikasi kekuatan atau kelemahan

dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan (Kneale &

Davis, 2011).

Tindakan yang kedua adalah mengatur posisi dengan

kesejajaran tubuh yang benar dengan respon data objektifnya yaitu

bagian ekstremitas kiri pasien disangga dengan bantal dan respon

data subjektifnya yaitu pasien merasa nyaman dengan posisi

tersebut. Rasional dari tindakan ini adalah ketika meemposisikan

pasien dengan nyaman dan teknik posisi yang tepat sangat penting
sebagai prinsip mekanika tubuh yang diperlukan untuk menjaga

atau memperbaiki kesejajaran tubuh (Subijakto,2011).

Tindakan yang ketiga adalah mengajarkan tehnik ROM

pasif aktif.Hari pertama yaitu fleksi ekstensi kaki, kemudian dua

hari pasca operasi karenapasien tidak mengalami pusing dan tanpa

diajarka pasien sudah mampu duduk dan miring kanan- kiri dengan

bantuan sehingga pada hari kedua pasca operasi megajrkan pasien

latihan ROM abduksi dan adduksi kaki dengan respon latihan

ROM pada pasien pasif, pasien mengatakan ketika latihan ROM

kaki kiri post op ORIF terasa yeri hebat, pasien belum mampu

untuk abduksi dan adduksi kaki kiri. Rasional dari tindakan ini

ROM adalah derajat untuk mengukur kemampuan suatu tulang,

otot, dan sendi dalam melakukan pergerakan. Manfaat ROM untuk

memperbaiki tonus otot, meningkatkan massa otot, meningkatkan

mobilisasi sendi, memperbaiki toleransi otot untuk latihan (Kneale

& Davis, 2011).

Tindakan yang keempat adalah kolaborasi dengan keluarga

pasien dalam dalam membantu pasien latihan ROM dan manfaat

ROM, dengan respon data objektif yaitu keluarga pasien kooperatif

dan mampu melakukan tehnik ROM yang telah diajarkan.Rasional

dari tindakan ini adalah rasionalnya program yang khusus dapat

dikembangkan untuk menetukan kebutuhan yang berarti atau


menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi, dan

kekuatan (Doenges, 2000).

Tindakan yang kelima adalah melakukan kolaborasi

dengan ahli fisioterapi untuk mengajarkan pasien menapak dengan

kaki yang tidak cedera di samping tempat tidur dan latihan

penggunaan kruk. Pada pasien hari keempat belum dapat dilakukan

latihan menggantung kan kaki dan menapak karena ahli fisioterapi

mengatakan pasien belum mampu dilakukan latihan tersebut

karena karena persiapan latihan berjalan menggunakan kruk atau

walker membutuhkan energi. Persiapan latihan memastikan

kekuatan otot, rentang gerak sendi, status hemodinamik pasien,

hipotensi orthostatik, tingkat kesadaran.Jika tidak ada masalah

maka latihan menggunakan kruk bisa dimulai.Dan pada pasien

untuk sedikit mengegeser kakinya mengatakan nyeri

hebat.Rasional dari tindakan kolaborasi dengan ahli fisioterapi ini

adalah untuk menentukan latihan fisik klien. Dan dampak jika

latihan penggunaan kruk tetap dilakukan tanpa memastikan

kekuatan otot dan rentang gerak sendi adalah nyeri yang pasien

rasakan akan bertambah hebat, bahkan dapat mengganggu aktivitas

pasien serta dapat menimbulkan kekhawatiran, dengan sensasi

nyeri yang lebih pada pasien akan mengalami peningkatan distress

emosional (Kneale & Davis, 2011).


Evaluasi keperawatan yang didapatkan penulis setelah

dilakukan tindakan adalah belum sesuai kriteria hasil yang telah

ditetapkan oleh penulis, yaitu istri pasien mengatakan ketika

makan, mandi, toileting pasiendibantu olehnya namun pasien

sudah mampu ambulasi secara mandiri. Sedangkan evaluasi

objektifnya menunjukkan aktivitas (makan, mandi, toileting,

ambulasi) skala ketergantungan 1, skala kekuatan otot ekstremitas

atas kanan 5/ kiri 5 dan ekstremitas bawah kanan 5/ kiri 3,

pasienbelum mampu menyokong tubuhnya dengan ekstremitasnya.

Dari kriteria hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah

keperawatan hambatan mobilitas fisik belum teratasi, karena pasien

diperbolehkan pulang oleh dokter atas permintaan sendiri sehingga

rencana selanjutnya adalah kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk

latihan menapak dan menggunakan kruk 2 hari kemudian saat

melakukan kontrol.

c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

penurunan aliran darah vena

Ketidakefektifan perfusi jarngan perifer adalah kerusakan

pada membrane mukosa, jaringan kornea, integument atau

subkutan.Batasan karakteristiknya yaitu kerusakan atau kehancuran

jaringan (misalnya kornea, membrane mukosa, integument, atau

subkutan).
Terdapat masalah keperawatan ketidakefektifan perfusi

jaringan perifer karena pembedahan yang dilakukan dengan

memasukkan fiksasi internal dapat menyebabkan gangguan

neurovaskuler, melalui perdarahan pada area bedah akibat

peregangan saraf dan pembuluh darah (Kneale & Davis, 2011).

Dampak yang paling berat pada masalah keperawatan

ketidakefektifan perfusi jaringan perifer adalah terjadinya

penurunan sirkulasi akibat ketidakefektifan perfusi ke perifer dapat

menyebabkan dekubitus.Dan juga dapat menyebabkan kematian

jaringan dengan area terbatas akibat adanya gangguan dan / atau

oklusi suplai darah (Kneale & Davis, 2011).

Tujuan dan kriteria hasil yang akan dicapai penulis dalam

masalah ketidakefektifan perfusi jaringan perifer ini selama 2x24

jam ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

penurunan aliran darah vena akan teratasi dengan kriteria hasil

edema perifer tidak ada, kulit teraba hangat, sensasi normal atau

tidak ada kesemutan.

Intervensi keperawatan yang telah dirumuskan penulis

adalah lakukan pengkajian komprehensif sirkulasi perifer,

tinggikan anggota badan yang terluka 30 derajat atau lebih tinggi

dari jantung, ajarkan pentingnya pencegahan statis vena.

Implementasi keperawatan yang dilakukan penulis dari

tanggal 3 maret 2015 hingga 5 maret 2015 yaitu kaji sirkulasi


perifer pasien dengan respon pasien mengatakan nyeri post op

ORIF fraktur cruris, kulit perifer teraba dingin, tampak pucat,

bengkak, CRT 3 detik, sedangkan data subjektifnya pasien

mengatakan kaki kiri terkadang terasa kesemutan. Rasionalnya

adalah menurut Rasjad (2004) pengkajian sirkulasi penting pada

pasien setelah ditemukan cedera dan dilakukan pemasangan fiksasi

internal, dan pengkjian sirkulasi meliputi 5 P yaitu P (pain atau

nyeri) merupakan gejala tersering yang ditemukan pada kelainan

bedah ortopedi dan perlu diketahui secara lengkap tentang sifat-

sifat dari nyeri, lalu P (paralisis atau hilagnya fungsi) gangguan

atau hilangnya fungsi baik pada sendi maupun pada anggota gerak

dapat disebabkan oleh berbagai sebab seperti gangguan fungsi

karena nyeri yang terjadi setelah trauma, adanya kekakuan sendi

atau kelemahan otot. Kemudian P (paresthesia atau gangguan

sensibilitas) yaitu dapat terjadi bila ada kerusakan saraf pada upper

atau lower motor neuron baik bersifat lokal atau menyeluruh. Dan

P (pulslesness atau tidak ada nadi) yaitu kehilangan denyut arteri,

serta P (palor yaitu perubahan suhu) apakah lebih dingin atau lebih

hangat dari biasanya yang menandakan insufisiensi arterial, rasa

hangat dengan sedikit kebiru-biruan mengindikasikan statis vena,

pengisian ulang kapiler dapat diperiksa dengan bantalan kuku,

normalnya kembali ke warna semula kurang dari 3 detik.


Tindakan yang kedua adalah meninggikan kaki kiri pasien
0
30 dengan bantal, respon data subjektifnya pasien mengatakan

nyamansetelah 15 menit kesemutan hilang.Rasional dari tindakan

ini adalah melancarkan aliran balik vena (pompa darah ke jantung)

karena akibat immobilitas pada klien sehingga terjadi kegagalan

pemompaan otot (Kneale & Davis, 2011).

Tindakan yang ketiga adalah mengajarkan kepada pasien

untuk tidak menekuk dan menyilangkan kaki untuk mencegah

statis vena dengan respon data objektif pasien kooperatif. Rasional

dari tidakan ini adalah statis vena merupakan aliran darah pada

vena yag cenderung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama

pada daerah yang mengalami immobilisasi. Statis vena merupakan

predisposisi terjadinya thrombosis local karena dapat menimbulkan

gangguan mekanisme pembersih terhadap aktivitas faktor

pembekuan darah dan memudahkan terbentuknya trombin.Trombin

adalah enzim yang terbentuk dari protrombin yang mengubah

fibrinogen menjadi fibrin.Enzi mini tidak boleh ada dalam sirkulasi

darah karena dapat sebagai faktor pembekuan darah (Subijakto,

2011).

Evaluasi yang didapatkan penulis setelah dilakukan

tindakan keperawatan adalah sesuai dengan kriteria hasil yang telah

ditetapkan yaitu bagian perifer kaki kiri tidak tampak pucat, tidak
ada edema perifer, teraba hangat, CRT 2 detik, sensasi normal,

tidak ada kesemutan.

d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

Ansietas adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran

yang samar disertai respon autonom (sumber sering kali tidak

diketahui oleh individu); perasaan takut yang disebabkan oleh

antisipasi terhadap bahaya(Judith, Wilkinson & Ahern, 2011, p. 42-

50). Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan

individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk

bergerak menghadapi ancaman (Herdman, 2012, p. 537).

Terdapat masalah ansietas karena pasien merasa mengalami

ancaman terhadap integritas fisik dan dapat mengakibatkan

ketidakmampuan psikologis atau penurunan aktivitas sehari-

hari.Ancaman eksternal yang terkait dengan kondisi psikologis dan

dapat mencetuskan terjadinya ansietas seperti perubahan kondisi

fisik atau penururunan (Ira, 2012).

Dampak yang paling berat dari masalah ansietas pada

pasien dengan post operasi ORIF fraktur cruris yaitu, menurut

Stuart & Laraia (2005) bahwa kesehatan umum individu memiliki

efek nyata sebagai presipitasi terjadinya ansietas. Apabila

kesehatan individu terganggu, maka kemampuan individu untuk

mengatasi ancaman berupa penyakit (gangguan fisik) akan


menurun sehingga bila ansietas tidak diatasi dapat mengganggu

pasien.

Tujuan dan kriteria hasil yang akan dicapai oleh penulis

dalam masalah keperawatan ansietas ini selama 2 x 24 jam adalah

tidak ada gangguan istirahat tidur, ekspresi wajah dan bahasa tubuh

menunjukkan berkurangnya kecemasan. mengatakan secara verbal

ansietas berkurang.

Intervensi keperawatan yang telah dirumuskan penulis

adalah kaji kecemasan yang pasien rasakan, beri informasi proses

penyembuhan pasien, beri tehnik sentuhan dan sikap empati,

kolaborasi dengan keluarga dalam pemberian penguatan positif.

Implementasi keperawatan yang dilakukan penulis dari

tanggal 3 maret 2015 sampai 4 maret 2015 adalah kaji kecemasan

yang pasien rasakan dengan respon data objektif yaitu pasien

tampak menangis ketika dijenguk orangtuanya, sedangkan data

subjektifnya yaitu pasien mengatakan khawatir sakitnya tidak

kunjung sembuh dan tidak dapat beraktivitas seperti semula, pasien

mengatakan susah tidur. Rasional dari tindakan tersebut yaitu

menurut Herdman (2012) cemas ringan meningkatkan kemampuan

pasien dalam mengidentifikasi dan mengatasi masalah. Cemas

sedang membatasi kesadaran akan stimulus lingkungan.

Penyelesaian masalah akan lebih sulit sehingga pasien mungkin

membutuhkan bantuan. Cemas berat mengurangi kemampuan


pasien menyerap informasi dan menurangi kemampuan pasien

mengatasi masalah.Pada pasien termasuk cemas ringan karena

tidak mengganggu kegiatan sehari-hari, dan muncul kadang-

kadang.

Tindakan yang kedua adalah memberikan informasi kepada

pasien tentang penyembuhan patah tulang pasien dengan respon

data objektif yaitu pasien tenang dan kooperatif serta pasien

mengerti tentang penjelasan patah tulang pasien dan keefektifan

latihan yang dijalani. Dan rasional dari tindakan ini adalah

pemberian informasi dasar dapat digunakan untuk menentukan

informasi apa saja yang dibutuhkan oleh pasien. Gangguan kognitf

dapat memengaruhi kemampuan pasien dalam menerima dan

memproses informasi sehingga dapat mengurangi kecemasan (Ira,

2012).

Tindakan yang ketiga adalah berikan tehnik sentuhan dan

sikap empati serta pada tindakan keempat kolaborasi dengan

keluarga pemberian support dengan respon data objektif keluarga

pasien kooperatif sedangkan data subjektif pasien mengatakan

merasa senang selalu ditemani oleh istrinya. Rasional dari tindakan

ini menurut Ira (2012) adalah pada saat ansietas, dukungan orang

terdekat sangat berarti dan bermakna bagi pasien karena pasien

merasa dihargai dan diperhatikan.


Evaluasi keperawatan yang didapatkan penulis setelah

dilakukan tindakan adalah sesuai kriteria hasil sebagai berikut :

pasien mengatakan semangat untuk sembuh, sudah tidak merasa

khawatir.sudah bisa tidur. Kemudian evaluasi objektifnya sudah

tidak menunjukkan gejala kecemasan.

e. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

Resiko infeksi beresiko terhadap invasi organism

patogen.Faktor resikonya yaitu penyakit kronis, kerusakan

jaringan, trauma, peningkatan pemajanan lingkungan terhadap

pathogen, prosedur invasiv (Judith, Wilkinson& Ahern, 2011, p.

423-427).

Terdapat masalah resiko infeksi karena menurut Kneale &

Davis (2011) semua prosedur invasif memungkinkan terjadinya

pemajanan mikroorganisme dan resiko infeksi.Seluruh pasien

beresiko mengalami infeksi misalnya akibat kontaminasi luka

trauma atau infeksi terkait layanan kesehatan. Resiko infeksi akibat

pembedahan meningkat karena sifat prosedur pembedahan

musculoskeletal yang lama dan rumit .

Dampak yang paling berat pada masalah resiko infeksi

adalah jika masalah resiko infeksi yang tidak tertangani dengan

baik maka dapat menimbulkan infeksi pada area yang mengalami

cedera bahkan dapat menyebabkan komplikasi pada penyembuhan

patah tulang yaitu delayed union yaitu patah tulang akan


mengalami penundaan dalam penyembuhanya yaitu lebih dari 4

bulan mengalami penundaan dalam penyembuhanya yaitu lebih

dari 4 bulan dan bahkan non nun dan bahkan non union yaitu

tulang tidak akan mengalami penyembuhan selama jangka waktu

4-1 tahun (Kneale & Davis,2011).

Tujuan dan kriteria hasil yang akan dicapai oleh penulis

dalam masalah keperawatan resiko infeksi ini selama 3 x 24 jam

adalah resiko infeksi akan teratasi dengan kriteria hasil pasien

terbebas dari tanda gejala infeksi (rubor, tumor, dolor, kalor,

fungsio laesa), menunjukkan perilaku hidup sehat.

Intervensi keperawatan yang telah dirumuskan penulis

adalah kaji ttv, kaji tanda-tanda infeksi, kaji kondisi balutan luka

pasien, pertahankan tehnik isolasi selama perawatan luka,

kolaborasi pemberian antibiotik.

Implementasi keperawatan yang dilakukan penulis dari

tanggal 3 maret 2015 hingga 5 maret 2015 yaitu mengkaji

mengkaji TTV pasien dengan respon data objektif yaitu TD= 130/
0
80 mmhg, N= 98x/ menit, RR= 18 x/ menit, S=37,5 C. Rasional

dari tindakan ini adalah tanda-tanda vital adalah suatu cara yang

digunakan untuk mengukur fungsi dasar tubuh. Pengukuran ini

diambil untuk membantu menilai kesehata fisik secara umum

seseorang, memberikan petunjuk penyakit yang mungkin, dan

menunjukkan kemajuan menuju pemulihan.Adanya perubahan


tanda vital yang tidak sesuai batas normal mengindikasikan adanya

kegiatan organ-organ di dalam tubuh.Misal suhu tubuh meningkat

berarti ada metabolisme yang terjadi di dalam tubuh sebagai respon

imun terhadap bakteri atau virus atau jika ada peningkatan denyut

nadi maka ada perubahan pada system kardiovaskuler dan

seterusnya (Subijakto, 2011).

Tindakan yang kedua yaitu mengkaji tanda-tanda infeksi

dengan respon data objektif yaitu tampak bengkak pada bagian

distal luka yaitu di punggung kaki, terasa nyeri, dan terjadi

perubahan fungsi.rasionalnya dari tindakan ini yaitu deteksi dii

terjadinya infeksi memberikan kesempatan untuk intervensi tepat

waktu dan mencegah komplikasi lebih lanjut (Kneale & Davis,

2011).

Tindakan yang ketiga yaitu mengkaji kondisi balutan luka

dengan respon data objektif tampak drain mengeluarkan darah

sebanyak 5 cc/ 8 jam, verban bersih tidak berbau. Rasionalnya

yaitu Setelah pembedahan orthopedik terjadi rembesan cairan

serosa serosanguinosa malalui luka yang dibuang oleh drain. Drain

luka yang dimasukkan setelah pembedahan ortopedik dirancang

untuk mengeluarkan akumulasi cairan yang berlebih, selain itu juga

dapat menjadi fokus infeksi. Dua drain seringkali digunakan untuk

mengeluarkan cairan dari lapisan dalam luka dan dari jaringan

superficial, dan drain dimasukkan melalui luka tusukan yang


terpisah bukan melalui area insisi untuk mengurangi resiko infeksi

(Kneale & Davis, 2011).

Tindakan yang keempat yaitu melakukan perawatan luka

dan melepas drain dengan respon data objektif tampak drain sudah

tidak mengeluarkan darah, jahitan luka tampak bersih, tidak ada

pus, tidak berbau, tidak bengkak. Pembersihan luka bertujuan

membuang berbagai kontaminasi dari area luka (Kneale & Davis,

2011).

Tindakan yang kelima adalah melakukan kolaborasi

pemberian injeksi ceftriaxone 10 ml melalui intravena dan

antibiotic ciprofloxacin 500 mg via oral dengan respon data

objektif yaitu balutan luka tidak berbau ataupun rembes dan

bersih.Rasionalnya dari tindakan ini yaitu pasien yang menjalani

bedah ortopedik beresiko tinggi mengalami infeksi tulang sehingga

penggunaan antibiotik dianjurkan. Ciprofloxacine tablet 250 mg

atau 500 mg indikasi pengobatan infeksi yang disebabkan oleh

bakteri seperti infeksi kulit dan jaringan lunak serta infeksi tulang

dan sendi. Dosis infeksi ringan pada kulit, sendi atau jaringan lunak

2 x 250 mg – 500 mg sehari, pada infeksi berat kulit, sendi atau

jaringan luak 2 x 500 – 750 mg sehari. Sedangkan ceftriaxone

diindikasikan untuk infeksi akibat kuman gram positif atau gram

negative, untuk infeksi tulang sendi jaringan lunak. Tiap vial


ceftriaxone mengandung ceftriaxone sodium 1 gram

(Hexpharmjaya, 2011).

g Evaluasi keperawatan yang didapatkan penulis

setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah sesuai dengan

kriteria hasil yang telah ditetapkan yaitu tidak menunjukkan tanda

gejala infeksi. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa

masalah keperawatan resiko infeksi teratasi sehingga rencana

selanjutnya adalah melakukan rawat jalan dank lien boleh pulang.

B. Simpulan

Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada Tn. I selama empat

hari yaitu sejak tanggal 3 maret 2015 hingga 6 maret 2015, diperoleh

kesenjangan-kesenjangan yang telah dijelaskan pada pembahasan, mulai

dari pengkajian, analisis data, diagnosis keperawatan, implementasi, serta

evaluasinya. Hal tersebut disesuaikan dengan masalah atau keadaan yang

dialami pasien sertadiutamakan masalah keperawatan yang berlandaskan

hirarki maslow. Dalam mengatasi kesenjangan ini, penulis berusaha untuk

memodifikasi asuhan keperawatan mulai dari pengkajian, analisis data,

diagnosis keperawatan, intervensi, serta evaluasi yang sesuai dengan

masalah yang terdapat pada diri pasien dengan harapan agar asuhan

keperawatanpada pasien lebih efektif dengan dampak yang minimal.


DAFTAR PUSTAKA

Andra.(2012). Perdarahan Epidural. (online), (http ://dokterandra .com

/2012/03/04/perdarahan-epidural-di-dalam-kepala-the-silent-

killer/diaksestanggal 8 Mei 2015

Apley.Penatalaksanaan Terapi Latihan Pasca ORIF, (online), (Fisioterapiari

.wordpress.com. Retrived 6 september 2009).

Balipost. (2015). Kenali Penyembuhan Tulang dengan Benar (online), http

://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=2

4&id=70529diaksestanggal 7 januari 2015

Corwin, Elizabeth. (2009). Buku Saku Patofisiologi.Jakarta :EGC

Doengoes,M.E., Moorhouse,M.F. & Geisser,A.C. (2000). Rencana Asuhan

Keperawatan (Terjemahan) Edisi 3.Jakarta : EGC

Eldawati.(2011). Pengaruh Latihan Kekuatan Otot Pre Operasi Terhadap

Kemampuan Ambulasi Dini Pasien Pasca Operasi Fraktur Ekstremitas

Bawah Di RSUP Fatmawati Jakarta.Tesis.21-23.

Febriyana, Dita. (2012). Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Post ORIF

Fraktur Tibia Hari Ke Dua Pada Tn. M di Ruang Wijaya Kusuma Kraton

Kabupaten Pekalongan (online), (https://www.academia.edu /7106831 /7

babIneditadiaksestanggal 7 Januari 2015).

Hexpharmjaya PT, (2011). PT Hexpharmjaya A Kalbe Company.Jakarta :

Departemen Kesehatan.
Kumala, Fransisca. (2010). Pemeriksaan Laboratorium Hematologi,

(online).(http:fransiscakumala.wordpress.com/2010/05/04/pemeriksaanlab

oratorim-hematologi/. Diaksestanggal 8 Mei 2015)

Kneale, Julia dan Peter Davis.(2011). Keperawatan Ortopedik dan

Trauma.Jakarta : EGC.

Lukman dan Nurna Ningsih.(2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan

Gangguan Sistem Muskuloskeletal.Jakarta : SalembaMedika

Muttaqin, Arif .(2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan

Sistem Muskuloskeletal.Jakarta : EGC

M, Judith. Wilkinson. & Nancy, R Ahern. (2011). Buku Saku Diagnosis

Keperawatan Edisi 9.Jakarta : EGC

Potter dan Perry. (2010). Fundamental Keperawatan (Ed. 7 vol. 2).Jakarta :

Salemba Medika

Rasjad, Chairuddin. (2004). Pengantar Ilmu Bedah dan Ortopedi.Makassar :

Bintang Lamumpatue.

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). (2013). RisetKesehatanDasar

RISKESDAS 2013 : Badan Litbangkes, Depkes RI 2013

Sjamsuhidayat R,Warkokarnadihardja,Theddeus OH Prasetyono, Reno Budiman

(Eds.) (2010) .Buku Ajar IlmuBedah.Jakarta : EGC

Sjamsuhidajat, R &Wim de jong (Eds.) (2004).Buku Ajar IlmuBedah.Jakarta :

EGC

SIRS (Noviardi, Adhitya). (2012). KesehatanTulang: Kasus Patah Tulang Akibat

Osteoporosis Cenderung Meningkat (online), http://lifestyle .bisnis .com


/read/20121012/54/99878/kesehatan-tulang-kasus-patah-tulang-akibat-

osteoporosiscenderung–meningkat. diakses tanggal 24 februari 2015

Sridianti, (2014).Pengertian dan Penanganan Patah Tulang (Fraktur) (online ),

http://www.sridianti.com/pengertian-dan-penanganan-patah-tulang-fraktur

.html. diakses tanggal 21 Mei 2015

Subijakto, (2011).Body Mekanik (online), http : Subijakto.com/2011/06/08/ kerja

otot / body mekanik. diakses tanggal 24 Mei 2015

WHO (UndergraduatedITS). (2010). Latar Belakang Menurut Kanis (online),https

://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved

=0CCYQFjAB&url=http%3A%2F%2Fdigilib.its.ac.id%2Fpublic%2FITS-

Undergraduate-196372107100011Chapter1.pdf&ei=WdjrVKf4EpXluQ T

akYDoDg&usg=AFQjCNFVVntSr7q4uLTAAIlFnW3qmksqDQdiakses

tanggal 24 februari 2015


A. Tabel

Tabel 1.1
Derajat Fraktur Terbuka
Derajat Luka Fraktur
a. laserasi kurang dari 1

cm

b. kerusakan jaringan tidak Sederhana, dislokasi


I
fragmen minimal
berarti

c. relative bersih

a. laserasi lebih dari 1 cm

b. tidak ada kerusakan

jaringan yang hebat atau


II Dislokasi fragmen jelas
avulse

c. ada kontaminasi

a. luka lebar dan rusak

hebat
Kominutif, segmental,
b. hilangnya jaringan
III fragmen tulang ada
disekitarnya yang hilang

c. kontaminasi hebat

Tabel 1.2
Klasifikasi Patah Tulang
Jenis Contoh
a. Fisura a. Diafisis metatarsal

b. Serong sederhana b. Diafisis metacarpal

c. Lintang sederhana c. Diafisis tibia

d. Kominutif d. Diafisis femur

e. Segmental e. Diafisis tibia

f. Dahan hijau f. Diafisis radius pada anak

g. Kompresi g. Korpus vertebra Th. XII

h. Impaksi h. Epifisis radius distal, kolum

femur lateral
i. Impresi
i. Tulang tengkorak
j. Patologis
j. Tumor diafisis humerus,

korpus vertebra

Tabel 1.3
Tipe Patah Tulang Epifisis
Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafsis, tetapi
Tipe 1
periosteumnya masih utuh
Periosteum robek di sisi sehingga epifisis dan cakram
Tipe 2
epifisis lepas sama sekali dari metafisis
Tipe 3 Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi

Tabel 1.3 (lanjutan)


Terdapat fragmen patahan tulang yang garis patahnya
Tipe 4
tegak lurus cakram epifisis
Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang
Tipe 5
menyebabkan kematian dari sebagian cakram tersebut
B. Gambar

Gambar 2.1 : Klasifikasi fraktur

Gambar 2.2 : Proses penyembuhan tulang


Gambar 2.3 : Tahap awal ambulasi

Gambar 2.4 : Tahap kedua ambulasi

Gambar 2.5 : Tahap ketiga ambulasi


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama Lengkap : Ulya Hilmawati

2. NIM : P 17420512038

3. Tanggal Lahir : 16 April 1995

4. Tempat Lahir : Magelang

5. Jenis Kelamin : Perempuan

6. Alamat rumah: a. Dusun : Kranjanglor RT 01/ RW 01

b. Kelurahan : Sidosari

c. Kecamatan : Salaman

d. Kab / kota : Magelang

e. Propinsi : Jawa Tengah

7. Telpon: a. HP : 087834317596

b. E-mail : ulyahilma88@gmail.com
B. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. Pendidikan SD di MI Tarbiyatussibyan 2 Sidosari, lulus tahun 2006

2. Pendidikan SLTP di SMP N 3 Salaman, lulus tahun 2009

3. Pendidikan SLTA di SMA N 1 Salaman, lulus tahun 2012

Magelang, 20 Mei 2015

ULYA HILMAWATI

P 17420512038

Anda mungkin juga menyukai