Anda di halaman 1dari 7

PAHAM KEBEBASAN MERUSAK MUSLIMAH DAN PERADABAN

Arini Retnaningsih
Ibarat kuda lepas dari tali kekangnya, pasca peristiwa revolusi Perancis yang meruntuhkan
dominasi gereja dalam kehidupan masyarakat Eropa, ide kebebasan melesat kencang. Liberte
(kebebasan) menjadi nafas dari revolusi tersebut bersama egalite (persamaan) dan fraternite
(persaudaraan). Ketiga ide tersebut lantas menyebar ke sebagian negara Eropa, meruntuhkan
dinding-dinding tirani, memunculkan euforia kebebasan dan kemajuan, sesuatu yang mereka
belum pernah merasakan sebelumnya.
Karena itulah mereka menjadikan ide ini sebagai jiwa dari sistem demokrasi, sistem
ketatanegaraan yang mereka kembangkan. Pengagungan mereka terhadap demokrasi lantas
membuat mereka menyebarkan dan memaksakan ide ini pada negara-negara jajahan yang
mereka kuasai, termasuk negeri-negeri muslim yang sebagiannya mereka jarah dari Daulah
Utsmaniyah pasca perang dunia pertama.
Para penjajah Barat ini memahami bahwa rahasia kekuatan dan kebangkitan Islam terletak pada
ajaran Islam itu sendiri. Karena itu untuk menghancurkan dan mematikan Islam, mereka
berupaya untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya dengan serangan langsung pada
ideologinya, yaitu akidah dan hukum-hukum syara’ yang terpancar darinya.
Akidah Islam mereka serang melalui pluralisme, paham yang menganggap relatif kebenaran
semua agama termasuk Islam. Syariat Islam mereka mutilasi dengan paham sekularisme, yaitu
mengambil syariat Islam hanya pada ranah ibadah yang bersifat individual dan menyingkirkan
aturan-aturan syara’ yang mengatur kehidupan publik seperti hukum-hukum ekonomi, politik,
sosial, keamanan dan pemerintahan. Selanjutnya mereka membunuh karakter kemuliaan umat
Islam dengan liberalisme. Paham kebebasan yang membuat umat tidak lagi mau terikat pada
syariat, lantas mempertuhankan hawa nafsunya.
Pada tahun 2005 lalu, MUI telah mengeluarkan fatwa no 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang
haramnya sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Namun fatwa ini hanya membahas hukum
liberalisasi agama, sementara liberalisasi kehidupan yang tak kalah massif dalam merusak
umat, belum terbahas.
Membedah Paham Kebebasan
Paham kebebsasan adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem demokrasi oleh negara.
Syeikh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Demokrasi Sistem Kufur(2015), menjelaskan
bahwa dalam demokrasi, rakyat dianggap sebagai penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan.
Mereka berhak mengatur sendiri urusannya serta melaksanakan dan menjalankan sendiri
kehendaknya. Agar hal ini bisa terwujud, maka berbagai kebebasan yang bersifat umum
merupakan prinsip yang harus ada dalam sistem demokrasi. Kebebasan umum ini berlaku bagi
seluruh individu rakyat sehingga mereka bisa mewujudkan kedaulatan dan menjalankan
kehendaknya sendiri secara bebas tanpa tekanan dan paksaan.
Kebebasan individu ini tampak dalam empat aspek yaitu kebebasan beragama, berpendapat,
kepemilikan dan kebebasan berperilaku. Keempat prinsip kebebasan ini sama-sama memiliki
efek merusak yang dahsyat.
Kebebasan beragama melahirkan ide pluralisme yang merelatifkan kebenaran agama-agama.
Akal menjadi standar agama. Akibatnya orang bebas berpindah agama, menafsirkan agama,
bahkan tidak beragama.
Kebebasan berpendapat menjadikan manusia bebas mengeluarkan apa yang dipikirkannya
serta menyebarkannya. Muncullah berbagai ide dan pemikiran sesat, rusak dan merusak.
Berbagai penghinaan terhadap agama, dilegalkan atas nama kebebasan berpendapat,
sebagaimana di Perancis yang membebaskan penghinaan terhadap Baginda Rasulullah saw
melalui gambar-gambar tak senonoh yang dipajang di tempat-tempat umum.
Kebebasan kepemilikan melahirkan paham kapitalisme. Siapa yang memiliki modal, mampu
untuk mengakses sumberdaya alam dan mengeksploitasinya. Sementara yang tidak memiliki
modal hanya bisa gigit jari. Maka perekonomian didominasi para pemilik modal. Kesenjangan
sosial melebar. Kekayaan hanya dimiliki segelintir orang.
Sebagai contoh, di Indonesia, lembaga Oxfam menyatakan kekayaan empat milyader terkaya,
lebih tinggi dari total kekayaan 40 persen penduduk miskin – atau sekitar 100 juta orang.
Indonesia masuk dalam enam besar negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi di
dunia. Pada tahun 2016, satu persen orang terkaya memiliki hampir setengah (49 persen) dari
total kekayaan populasi. Hanya dalam satu hari, orang Indonesia terkaya bisa mendapatkan
bunga deposito dari kekayaannya, lebih dari seribu kali daripada dana yang dihabiskan
penduduk Indonesia termiskin untuk kebutuhan dasar sepanjang tahun. Jumlah uang yang
diperoleh setiap tahun dari kekayaan itu bahkan akan cukup untuk mengangkat lebih dari 20
juta orang Indonesia keluar dari jurang kemiskinan (dw.com/id, 23/02/2017).
Ekonomi kapitalis juga memunculkan keserakahan bangsa-bangsa besar untuk memperebutkan
kekayaan dunia, memperoleh bahan mentah dan pasar bagi produksinya. Maka mereka
bersaing untuk menjajah negeri-negeri lain, terutama negeri-negeri Islam yang memiliki
kekayaan alam besar.
Dan yang paling merusak serta mengancam muslimah dan peradaban manusia adalah
kebebasan bertingkah laku. Kebebasan ini telah menimbulkan berbagai kerusakan,
kemerosotan moral dan kehinaan bagi manusia. Namun ide ini telah mengglobal, masuk ke
negeri-negeri kaum muslimin bahkan sampai ke rumah-rumah mereka. Dan mirisnya, ide ini
dijadikan sebagai senjata untuk menghadapi kaum muslimin, mencabut keimanan tanpa
mereka sadari dan mengikis keterikatan mereka pada ajaran agama.
Manifestasi dari ide kebebasan berperilaku di Indonesia dari waktu ke waktu semakin tampak
jelas dan menyentuh banyak aspek kehidupan, di antaranya fenomena-fenomena yang merusak
tatanan kehidupan berikut :
My Body is Mine
Slogan yang dikembangkan kaum feminis ini memiliki pengaruh yang kuat di kalangan
pemuda, terutama muslimah. Dengan anggapan bahwa tubuh adalah milik pribadinya, maka
mereka berpendapat mereka bisa bebas melakukan apa saja terhadap tubuh mereka, berpakaian
apa saja dan menolak campurtangan pihak lain dalam pengaturannya.
Maka jika mereka ingin mengenakan rok mini, menampakkan belahan dada, atau berbaju ketat,
bagi mereka hal tersebut adalah hak asasi. Begitupun yang ingin menutup aurat mereka, namun
tetap tak ingin menyembunyikan kecantikan tubuhnya, tren gaya jilboobs (kependekan dari
jilbab dan boobs: payudara, yang artinya berkerudung tapi menampakkan lekuk payudaranya
di balik pakaian ketat) menjadi pilihan mereka. Mereka sama sekali tidak peduli dengan akibat
dari terbukanya aurat mereka. Jika ada laki-laki yang melirik atau memandang aurat mereka,
mereka tuduh telah melakukan tindak pelecehan.
Tidak hanya itu, mereka juga merasa bebas melakukan apa saja terhadap tubuhnya.
Mentatonya, mengubah kelaminnya, melakukan hubungan seksual dengan siapa yang
disukainya, bahkan mengaborsi bayi yang dikandungnya. Mereka menolak semua aturan atas
tubuh mereka.
Inilah pemahaman yang menyimpang jauh dari agama. Islam telah menegaskan bahwa semua
perbuatan manusia, termasuk atas tubuhnya sendiri akan diminta pertanggungjawabannya
kelak di hadapan Allah, sebagaimana firman-Nya :
‫ارهُ ْم‬
ُ ‫ص‬ َ ‫س ْمع ُ ُه ْم َوأ َ ْب‬
َ ‫علَ ْي ِه ْم‬
َ َ‫ش ِهد‬َ ‫علَ ْينَا قَالُوا َحتَّى ِإذَا َما َجا ُءوهَا‬ َ ‫) َوقَالُوا ِل ُجلُو ِد ِه ْم ل َِم شَ ِهدْت ُ ْم‬20( َ‫َو ُجلُودُهُ ْم بِ َما كَانُوا َي ْع َملُون‬
َ‫س ْمعُكُ ْم َول‬ ُ َ
َ ‫عل ْيك ْم‬َ َ ‫) َو َما كنت ْم ت َ ْستَت ُِرونَ أن يَش َهد‬21( َ‫ش ْيء َوه َُو َخلَقَكُ ْم أ َ َّو َل َم َّرة َوإِلَ ْي ِه ت ُ ْر َجعُون‬
ْ ْ َ ُ ْ ُ َ ‫طقَ كُ َّل‬ َ ‫ّللاُ الَّذِي أ َ ْن‬ َ ‫أ َ ْن‬
َّ ‫طقَنَا‬
َ‫ِيرا مِ َّما ت َ ْع َملُون‬ َّ ‫ظنَ ْنت ُ ْم أ َ َّن‬
ً ‫ّللاَ َل يَ ْعلَ ُم َكث‬ َ ‫اركُ ْم َو َل ُجلُودُكُ ْم َولَك ِْن‬
ُ ‫ص‬َ ‫ أ َ ْب‬22

“Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka
menjadi
saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada
kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab, “Allah
yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata,
dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu
dikembalikan.” Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran,
penglihatan, dan kulitmu kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui
kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Fushilaat: 20-22).

Penyimpangan Orientasi Seksual


Orientasi seksual adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pola ketertarikan
seseorang secara seksual ataupun emosional kepada individu lainnya dengan jenis kelamin
tertentu. Penyimpangan orientasi seksual terjadi ketika ketertarikan muncul terhadap individu
yang tidak seharusnya, seperti yang berjenis kelamin sama. Bentuk penyimpangan seksual
inilah yang kita kenal sebagai LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender).
Di kalangan penganut ide kebebasan, LGBT ini bukanlah penyimpangan, bukan kelainan,
melainkan hanya sekedar perbedaaan orientasi, salah satu pluralitas yang harus diterima dan
merupakan hak asasi bagi manusia. Dengan pemikiran inilah LBGT berkembang begitu cepat
di negeri-negeri muslim sekalipun.

Padahal, LGBT adalah ibarat virus ganas yang menular dengan cepat. Laporan Kementerian
Kesehatan yang dikutip dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional meng ungkap jumlah
Lelaki berhubungan Seks dengan Lelaki (LSL) alias gay sudah mencapai angka jutaan.
Berdasarkan estimasi Kemenkes pada 2012, terdapat 1.095.970 LSL baik yang tampak maupun
tidak. Lebih dari lima persennya (66.180) mengidap HIV. Sementara, badan PBB memprediksi
jumlah LGBT jauh lebih banyak, yakni tiga juta jiwa pada 2011. Padahal, pada tahun 2009
populasi gay hanya sekitar 800 ribu jiwa. Mereka berlindung di balik ratusan organisasi
masyarakat yang mendukung kecenderungan untuk berhubungan seks sesama jenis
(republika.co.id, 23/01/2016).
Yang membuat miris, tidak sedikit organisasi gay ini terdiri dari anak-anak. Akun Twitter
@GayKids_botplg salah satunya. Komunitas ini memiliki ribuan pengikut. Anggotanya rata-
rata berusia belasan dan masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Sekolah Menengah Atas (SMA).
Kata-kata jorok, aneka foto mesum serta tawaran kencan sesama jenis bertebaran di akun ini.
Para pengikut @gaykids_botplg juga banyak yang memasang profil foto badan kekar mereka,
adegan ciuman, bahkan alat vital.
Selain komunitas besar @GayKids_botplg, kelompok-kelompok gay ramaja dari bebagai
daerah pun bermunculan. Ada Gay SMP Bekasi, Gay SMP Tangerang, SMA Gay Jakarta, dan
Say SMA Bekasi (batamnews.co.id, 25/01/2016).
Padahal, jelas semua agama mengharamkan tindak penyimpangan seksual ini. Namun karena
derasnya ide kebebasan yang didukung dunia internasional terutama negara-negara Barat,
LGBT terus menggelinding semakin besar bak bola salju, makin liar tak terkendali.
Pergaulan Bebas
Maraknya pornografi di dunia maya yang setiap harinya terus bertambah sampai ribuan situs,
ketidakmampuan negara untuk memblokirnya, serta longgarnya keterikatan terhadap hukum-
hukum agama, menjadikan pergaulan bebas merebak di tengah generasi muda. Beberapa
waktu lalu di Depok pesta seks di kalangan remaja digerebeg polisi
(pekanbaru.tribunnews.com, 7 Juni 2022). Sebelumnya pesta bikini pasca UN yang digelar di
salah satu hotel mewah di Jakarta telah menghebohkan publik, begitu pula aksi pesta seks pasca
UN di Kendal. Ini hanya sebagian kecil dari fakta yang terungkap, yang mecerminkan
bagaimana pergaulan bebas telah menjadi hal biasa di kalangan pemuda.
Akibat pergaulan bebas ini, hampir tiap hari kita membaca berita di media tentang
ditemukannya bayi yang dibuang, dalam keadaan hidup atau mati. Begitu pula kasus aborsi
meningkat.
Tidak hanya pergaulan bebas, maraknya pornografi membawa berbagai perbuatan keji lain.
Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus meningkat, bahkan pelakunya
seringkali orang terdekat seperti ayah, saudara, paman, guru bahkan ustadz dan pendeta.
Begitu juga muncul berbagai kejahatan seksual seperti sextortion, yaitu pemerasan seksual,
bahkan Indonesia menduduki urutan tertinggi di Asia (mediaindonesia.com, 13/12/2020),
penjualan anak sebagai pekerja seks komersial, dan sebagainya.
Semua kekejian ini merupakan implikasi dari diadosinya kebebasan berperilaku ala Barat.
Nilai-nilai dan aturan agama lantas dipinggirkan, dianggap sebagai pengekang kebebasan.
Waithood
Waithood dalam Bahasa Indonesia bermakna penantian. Istilah ini kini merujuk pada tren untuk
menunda pernikahan. Waithood pertama kali dicetuskan oleh Diane Singerman, profesor
American University, Washington DC, dalam risetnya tentang generasi muda Timur Tengah
yang dipublikasikan pada akhir 2007. Beberapa riset menunjukkan, memasuki abad ke-21,
tren waithood semakin dianggap normal dan akan terus berlanjut.
Ada beragam faktor yang melatarbelakangi penundaan menikah. Mulai dari alasan ingin
melanjutkan pendidikan hingga fokus berkarir. Beberapa di antaranya memang menginginkan
hidup sendiri tanpa dibebani tanggungjawab keluarga. Kondisi perekonomian yang sulit,
sementara menikah dalam kultur masyarakat Indonesia dianggap sebagai momen spesial yang
harus dirayakan dengan meriah, ditambah tuntutan harus memiliki pekerjaan, rumah,
kendaraan dan sebagainya, membuat sebagian pemuda lantas bersikap apatis terhadap
pernikahan.
Di pihak lain, para perempuan muda saat ini lebih banyak memilih berkarir daripada menikah.
Egoisme yang dibangun selama kehidupan mereka, ditambah pemahaman feminisme yang
telah merasuk, membuat mereka menganggap pernikahan hanya memenjarakan mereka dalam
tembok tinggi urusan rumahtangga.
Konsekuensi dari pilihan waithood ini adalah merebaknya pergaulan di luar nikah. Sebagai
naluri alami yang ada pada setiap manusia, naluri seksual menuntut pemenuhan. Tuntutan ini
semakin kuat dengan merebaknya pornografi di berbagai media yang mudah diakses.
Paham kebebasan membebaskan pemenuhan naluri ini pada siapapun yang diinginkan tanpa
ada ikatan pernikahan. Maka kita lihat bagaimana para pemuda menjalani kehidupan yang
lebih buruk daripada binatang, melampiaskan syahwatnya sekehendaknya lantas saat pasangan
perempuannya hamil, ditinggalkan begitu saja atau didorong untuk melakukan aborsi.
Dalam pandangan Islam, seorang pemuda yang telah mampu, justru dianjurkan untuk menikah
segera. Rasulullah saw bersabada :

َّ ‫ َو َم ْن لَ ْم يَ ْستَطِ ْع فَعَلَ ْي ِه بِال‬،ِ‫صنُ ل ِْلف َْرج‬


ُ‫ص ْو ِم فَإِنَّه‬ َ ‫َض ل ِْل َب‬
َ ْ‫ َوأَح‬،‫ص ِر‬ ُّ ‫ فَإِنَّهُ أَغ‬،‫ع منكُم ْال َبا َءة َ فَ ْليَتَزَ َّو ْج‬ َ َ ‫ب َم ْن ا ْست‬
َ ‫طا‬ َّ ‫يَا َم ْعش ََر ال‬
ِ ‫شبَا‬
‫لَهُ ِو َجاء‬

"Hai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian sudah memiliki kemampuan, segeralah
menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan
barangsiapa yang belum sanggup menikah, berpuasalah, karena puasa akan menjadi benteng
baginya." (HR Muttafaq 'alaih).
Karena itulah Islam juga mensyariatkan untuk mempermudah pernikahan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫خَيْـرُ النِّكَـاﺡِ أَيْسَـرُﻩ‬
‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’ )HR. Abu Dawud, Al-Irwaa’ (VI/345)
Dalam riwayat Ahmad,
ً‫إِنَّ أَعْﻈَمَ النَّكَـاﺡِ بَرَكَﺔً أَيَْسَرُﻩُ مُﺆْنَﺔ‬
“Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.”
Childfree
Istilah childfree adalah komitmen untuk tidak memiliki anak dalam perkawinan. Ada beberapa
faktor utama kenapa banyak sekali pasangan yang memilih untuk childfree, seperti tidak siap
menjadi orang tua, faktor ekonomi dan finansial, faktor karir, faktor lingkungan bahkan faktor
fisik diri sendiri maupun fisik pasangan.
Sistem kapitalisme telah membuat akses ekonomi hanya dikuasai segelintir orang. Kekayaan
menumpuk pada golongan ini, sementara kelompok mayoritasnya harus hidup dalam
kekurangan. Biaya hidup, termasuk biaya pendidikan, kesehatan dan keamanan, harus
ditanggung oleh individu. Karena pemerintah tidak memberikan subsidi yang cukup, biaya ini
melambung tinggi menjadi beban berat yang menghantui pasangan-pasangan muda. Maka
banyak dari mereka yang memilih childfree karena kekhawatiran tidak dapat memenuhi
kebutuhan anak dan biaya hidupnya.
Keputusan childfree seringkali beriringan dengan waithood. Para pemuda lebih memilih hidup
bersama tanpa menikah dan tidak memiliki anak. Kondisi ini sudah banyak terjadi di beberapa
negara maju, dan terbukti menurunkan tingkat kelahiran secara signifikan.
Di Jepang, angka kelahiran terus menurun dan mencapat tingkat terendah, yakni 1,3 per wanita
pada tahun 2021 sejak dari dimulainya pencatatan dari tahun 1899 (CNBC Indonesia,
03/06/2022). Di Korea Selatan, data yang dirilis tahun 2022 menunjukkan, Korea mencapai
angka kelahiran terendah di dunia, yaitu hanya 0.81 kelahiran per wanita (kompas.com,
28/08/2022). Di AS, tangka kelahiran pada ahun 2021 juga tercatat sebagai rekor terendah
sejak 1979.
Bila fenomena childfree ini terus berlangsung, maka dikhawatirkan pertumbuhan penduduk
akan negatif dan berimbas pada kepunahan generasi. Childfree ini bertentangan dengan apa
yang menjadi salah satu tujuan pernikahan dalam pandangan Islam, yaitu melestarikan jenis
manusia sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
ْ ‫اجكُ ْم م ِْن لَكُ ْم َو َجعَ َل أ َ ْز َوا ًجا أ َ ْنفُ ِسكُ ْم‬
َّ ‫مِن لَكُ ْم َج َعلَ َو‬
ُ‫ّللا‬ ِ ‫ت مِنَ َو َرزَ قَكُ ْم َو َحفَدَة ً بَنِينَ أ َ ْز َو‬ َّ ‫ۚ ال‬
ِ ‫طيِّبَا‬
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik.
[An-Nahl/16:72]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menikah dan mencari keturunan,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Radhiyallahu anhu:
‫ال ِقيَـا َم ِﺔ يَ ْو َم اْأل ُ َم َم بِكُ ُم ُمكَاثِر فَإ ِ ّنِي ت َزَ َّو ُج ْوا‬،
ْ َ‫ارى ك ََر ْهبَانِيَّ ِﺔ تَكُ ْونُ ْوا َول‬
َ ‫ص‬َ َّ‫الن‬.
“Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada
umat-umat lain pada hari Kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani.”)HR
Al Baihaki)
Sekalipun saat ini kondisi ekonomi serba sulit, namun semestinya orang yang beriman yakin
bahwa Allah telah mengatur rizki setiap orang, termasuk anak-anak yang dilahirkan. Allah
berfirman :
ْ ِ‫ق نَ ْح ُن ن َْر ُزقُ ُه ْم َوإِيَّاكُ ْم إِ َّن قَتْلَ ُه ْم َكانَ خ‬
ً ِ‫طئًا َكب‬
‫يرا‬ ٍ ‫َوال ت َ ْقتُلُوا أ َ ْوالدَكُ ْم َخ ْشيَةَ إِ ْمال‬
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah yang akan
memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah
suatu dosa yang besar.” )QS. Al Israa’ : 31(.
Demikianlah, ide childfree telah memalingkan umat dari tujuan pernikahan yang hakiki,
memandang bahwa pernikahan hanya sekedar sarana bersenang-senang tanpa mau dibebani
tanggung jawab.

Lima fenomena dari sekian banyak fenomena paham kebebasan yang dipaparkan di atas,
memiliki daya rusak yang besar atas umat, khususnya muslimah. Rusaknya muslimah, adalah
awal dari rusaknya peradaban, karena muslimah inilah yang akan melahirkan dan mencetak
generasi penerus yang membentuk peradaban.
Kembali Pada Aturan Allah Sebagai Solusi
Islam adalah agama yang sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan sesuai dengan fitrah
dan tabiat kemanusiaan. Setiap aturan yang diberlakukan Allah SWT menjamin keadilan dan
kebaikan bagi seluruh manusia. Melaksanakan Islam kaaffah bukan berarti mengancam
kebebasan, bahkan justru penyelamatan masyarakat khususnya generasi muda dari kebebasan
yang tidak bertanggung jawab.
Allah telah menggariskan aturan-aturan sempurna dalam kehidupan sosial yang menjamin
kehidupan yang suci dan produktif di kalangan laki-laki maupun perempuan. Islam
mewajibkan kaum muslimin menghiasi diri dengan taqwa dan iffah (penjagaan kesucian diri).
Memerintahkan perempuan mengenakan pakaian yang menutup sempurna seluruh tubuhnya
kecuali wajah dan telapak tangan, menjauhkan dari interaksi yang tidak semestinya antara laki-
laki dan perempuan seperti khalwat, safar perempuan tanpa mahram, campur baur dalam
kehidupan tanpa hajat, dan seterusnya.
Aturan-aturan ini dilengkapi dengan dorongan untuk menikah, bahkan diberikan kemudahan
dalam pernikahan sehingga lebih menjaga kesucian dan kehormatan. Dengan demikian para
muslimah akan hidup dalam kemuliaan. Ketika mereka melahirkan generasi penerus, mereka
mampu mencetaknya sebagai generasi yang produktif dan mulia, generasi pembentuk
peradaban terbaik.

Anda mungkin juga menyukai