Anda di halaman 1dari 15

SIKAP SISWA DAN EMPATI GURU

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah :

Psikologi Pendidikan Islam

Dosen Pengajar :

Ridha Wahyuni, S. Psi., M. Psi

Disusun Oleh :

Dewi Susanti (2020122489)

Maisarah (2020122442)

Norol Islami (2020122439)

Nurul Wahdah (2020122443)

Nurul Wahidah (2020122444)

Siti Zuleha (2020122449)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ULUM KANDANGAN

KELAS KERJASAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DALAM PAGAR KANDANGAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah dengan tepat waktu.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Dengan
kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila ada kesalahan penulisan. Kritik
yang terbuka dan membangun sangat penulis nantikan demi kesempurnaan
makalah. Demikian kata pengantar ini penulis sampaikan. Terima kasih atas
semua pihak yang membantu penyusunan dan membaca makalah ini.

Pantai Hambawang, 28 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1
C. Tujuan Masalah.................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Sikap siswa dan Empati guru ............................................................. 2


B. Beberapa istilah.................................................................................. 5
C. Empati dan simpati............................................................................. 7
D. Perilaku keliru .................................................................................... 9
E. Perkembangan empati ........................................................................ 9

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ...................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Pendidikan Agama Islam. Pendidikan dapat diartikan


sebagai usaha sadar untuk mengembangkan intelektualitas dalam arti bukan hanya
meningkatkan kecerdasan saja, melainkan juga mengembangkan seluruh aspek
kepribadian manusia, yang mencakup aspek keimanan, moral atau mental, prilaku
dan sebagainya. Pembinaan kepribadian atau jiwa utuh hanya mungkin dibentuk
melalui pengaruh lingkungan khususnya pendidikan. Sasaran yang ditempuh atau
dituju dalam pembentukan kepribadian ini adalah kepribadian yang memiliki
akhlak yang mulia dan tingkat kemulian akhlak erat kaitannya dengan tingkat
keimanan.

Dalam pembentukan akhlak siswa, hendaknya setiap guru


menyadari bahwa dalam pembentukan akhlak sangat diperlukan pembinaan dan
latihan-latihan akhlak pada siswa bukan hanya diajarkan secara teoritis, tetapi
harus diajarkan ke arah kehidupan praktis. Agama sebagai unsur esensi dalam
kepribadian manusia dapat memberi peranan positif dalam perjalanan kehidupan
manusia, selain kebenarannya masih dapat diyakini secara mutlak.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan bagaimana sikap siswa dan empati guru ?
2. Jelaskan beberapa istilah ?
3. Jelaskan apa itu empati dan simpati ?
4. Jelaskan bagaimana perilaku keliru ?
5. Jelaskan bagaimana perkembangan empati ?
C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui bagaimana sikap siswa dan empati guru, beberapa istilah,
empati dan simpati, perilaku keliru dan perkembangan empati.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sikap Siswa dan Empati Guru
Dalam konteks hubungan guru dan siswa empati bermakna afeksi fisikal
atau parsialitas guru terhadap siswanya. Afeksi fisikal bermakna penampakan
fisik atau aura guru terkait langsung atau tidak langsung dengan fenomena yang
dihadapi oleh siswanya. Kata parsialitas bermakna guru mengarsirkan atau
menyentuhkan diri pada sisi siswanya, dalam konteks akademik dan pedagogis.
Empati dikonsepsikan sebagai kemampuan guru dalam "membaca" siswa. Secara
harfiah, empati bermakna kemampuan seorang guru merasakan emosi siswa atau
pribadi-pribadi di luar dirinya, khususnya komunitas sekolah.
Pada konteks guru, kata empati umumnya didefinisikan sebagai
kemampuan guru menerima, mempersepsi, dan merasakan secara langsung emosi
siswanya, Tetapi, empati tidak berarti guru menerima siswa seperti apa adanya,
meski tidak juga bermakna bahwa apa adanya dari siswa itu melahirkan "empati
kepasrahan" dari guru. Empati memang kemampuan guru memposisikan diri pada
diri siswa, namun tetap harus mengemban misi pedagogis, sehingga posisi itu bisa
meningkatkan dinamika proses pembelajaran berbasis empati. Empati guru pada
siswa tidak identik dengan pasrah pada keadaan. Keadaan siswa harus diubah
dengan cara berempati kepada mereka.
Menurut Wikipedia, konteks hubungan guru dan siswa, kata empati
didefinisikan sebagai kemampuan guru mengenali, mempersepsi dan merasakan
secara langsung emosi siswanya. Di sini, inti emppati adalah kemampuan guru
memposisikan diri ke dalam diri siswanya tanpa larut dengan keadaan siswanya
itu. Dalam konteks hubungan antara guru dengan siswa, empati dapat
didefinisikan seperti berikut.
1. Empati merupakan pengalaman kesadaran guru pada umumnya.
2. Empati adalah kapasitas guru dalam berpikir dan merasakan diri sendiri
kedalam kehidupan siswa.
3. Empati merupakan respon afektif yang muncul dalam diri guru atas dasar
2
keprihatinan atau pemahaman suasana emosional atau kondisi siswanya,
dan dengan itu muncul kesamaan rasa terhadap apa yang siswa sedang
merasakan atau akan diharapkan oleh siswa untuk merasakan.
4. Empati melibatkan pengalaman internal guru untuk berbagi ke dalam diri
atas pemahaman momentum suasana psikologis siswanya.
5. Empati merupakan kapasitas guru mengetahui secara emosional apa yang
siswa alami sebagai bentuk kerangka referensi bahwa siswa sebagai diri
sendiri, kapasitas mencontoh perasaan siswa untuk ditempatkan pada diri
sendiri dalam "sepatu" siswa.
6. Berempati (to empathize) bemakna bahwa guru berbagi, merasakan
perasaan atau pengalaman siswa.
7. Empati adalah rasa kebersamaan dalam perasaan yan g dialami oleh diri
guru dan yang lain, tanpa membingungkan hubungan di antara dia dengan
siswanya.
8. Empati adalah respon afektif yang tepat dari guru terhadap siswa
selayaknya situasi yang dihadapi sendiri.
9. Empati sering pula dimaknai sebagai kemampuan guru menempatkan diri
sendiri ke dalam "sepatu siswa", atau cara pengalaman guru memandang
keluar atau emosi siswa ke dalam diri sendiri, sebuah sortir resonansi.
10. Empati merupakan perasaan dimana guru ikut merasakan dan memahami
siswa.
11. Empati juga bermakna kemampuan guru menempatkan diri seolah-olah
menjadi seperti siswanya.
12. Empati menjadi salah satu ciri manusia, karena secara naluriah guru sudah
mengembangakan empati sejak masih bayi. Empati yang dimiliki öleh bayi
sangat sederhana, yakni empati emosi.
Empati guru terhadap siswa berkaitan dengan banyak hal, seperti pikiran,
kepercayaan, dan keinginan guru berhubungan dengan perasaan siswanya. Guru
yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan keadaan jiwa atau suasana
hati (mood) siswanya. Karenanya, empati sering dianggap sebagai semacam
3
resonansi perasaan. Dari perspektif lain dapat durumuskan definisi sebagai berikut
ini. Pertama, empati adalah kemampuan guru menyelami perasaan siswanya tanpa
harus tenggelan ke dalam diri siswa itu. Kedua, empati adalah kemampuan guru
mendengarkan perasaan siswanya tanpa harus larut pada kondisi siswanya.
Ketiga, empati adalah kemampuan guru melakukan respon atas keinginan
siswanya yang tidak terucap.
Sikap siswa dan empati guru :
a. Alasan Siswa Bertindak
Alasan bagi seorang siswa memilih untuk bersikap tidak layak, ada kaitan
nya dengan perasaan putus asa. Tidak semua siswa yang kurang beruntung
gagal mewujudkan harapannya. Siswa percaya bahwa gurunya suka dengan
mereka, selama mereka mengerjakan dengan baik pekerjaan mereka.
b. Sikap Tidak Layak
Pendekatan Dreikurs yang berorientasi pada kelompok menguraikan 4
tujuan sikap tidak layak pada siswa. Tujuan ini merupakan tujuan yang salah
yaitu mendapatkan perhatian, mencari kekuasaan, pembalasan dendam dan
menarik diri.
c. Menghadapi Sikap Siswa
4 langkah dasar yang harus dilaksanakan ialah jangan 'terjatuh' dan
bereaksi dengan tanpa berpikir, berikan dorongan, terapkan konsekuensi-
konsekuensi alami dan masuk akal, cbalah untuk bekerjasama dengan siswa
dengan menghubungkan siswa dengan 'tujuan tidak layak' mereka dengan
menempatkan siswa berhubungan dengan tujuan salah' mereka.
d. Mengubah Tujuan.
Langkah terakhir dalam pendekatan Dreikurs katakan bahwa siswa
mempunyai sebuah tujuan yang salah. Guru harus menjelaskan tujuan siswa,
yaitu membantu menjelaskan apakah penafsiran tentang alasan siswa bersikap
tidak layak tersebut benar, alasan kedua bawah hal ini memungkinkan siswa
menjadi sadar terhadap tujuannya dan akhirnya, menyadari pola sikap tidak

4
layak bukanlah cara untuk memperoleh pengakuan dan ikut serta dalam
kelompok yang mereka inginkan.
e. Berempati Kepada Siswa
Kata empati berasal dari bahasa Yunani yang bermakna asfiksi physical
atau parsialitas. Afeksi physical bermakna penampakan fisik atau aura
seseorang terkait langsung atau tidak iangsung dengan fenomena yang
dihadapi dalam hubungannya dengan orang lain. Kata lainnya, seseorang
memposisikan diri pada orang lain atau merasa menjadi bagian dari orang
f. Guru dan Empati
Empati guru terhadap siswa berkaitan dengan banyak hal, seperti pikiran,
kepercayaan, dan keinginan guru berhubungan dengan perasaan siswanya.
Guru yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan keadaan jiwa atau
suasana hati siswanya.
g. Beberapa Istilah
Tanpa kemampuan berempati, guru hanya akan memandang siswanya
seperti robot, tidak manusiawi, antisosial, dan tidak mendidik, dan kontra
pedagogik. Guru harus hati-hati agar tidak bingung memaknai empati dalam
kaitanya dengan makna yang terkandung dalam terminologi lain, seperti
simpati, pity, emotional contagion, Apathys, atau Telepathy.
h. Perkembangan Empati Selayaknya dinamika psikologis yang normal, rasa
empati berkembang terus-menerus pada diri seseorang, termasuk guru. pakar
psikologi sependapat bahwa empati berkembang melalui tahapan tertentu
menuju kematangan yang tertentu pula. kematangan atau maturitas dimaksud
adalah maturitas empati.
B. Beberapa Istilah
Guru harus hati-hati agar tidak bingung memaknai empati dalam kaitannya
dengan makna yang terkandung dalam terminologi lain, seperti sympathy, pty,
emotional contagion, apathy. atau telepathy. Beberapa contoh statemen untuk
menjelaskan istilah-istilah ini disajikan pada bagian tersendiri.

5
1. Sympathy: Simpati guru terhadap siswa bermakna perasaan kasihan dari
guru (feeling of compassion) kepada siswanya, dimana guru secara
bijaksana memandang siswa mereka pada kondisi kurang baik atau kurang
bahagia, sering dijelaskan sebagai "rasa maaf" (feeling sorry) guru bagi
siswanya. Karena siswanya bersalah dia katakan: saya maafkan
kesalahanmu.
2. Pity: Dalam konteks hubungan guru dengan siswa, pity bermakna perasaan
siswa dalam keadaan bermasalah dan memerlukan bantuan (someone have
a trouble and in need of help) guru, sepertinya mereka tidak cukup daya
(cannot fix) mengelola masalahnya sendiri. Misalnya, guru mengatakan
kepada siswanya: Anda agaknya sedang bermasalah, barangkali anda
memerlukan bantuan.
3. Emotional contagion: Dalam konteks hubungan guru dan siswa, emotional
contagion bermakna suatu kondisi ketika guru sedang menyaksikan siswa
menampakkan kondisi emosi tertentu, guru pun merasakan sesuatu yang
sedang terjadi. Misalnya, siswa merasa gundah karena prestasi belajarnya
melorot, guru pun gundah, karena dia merasa sudah mengajar secara
sungguh-sungguh.
4. Apathy adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak peduli atau tidak mau
tahu suasana emosi atau perasaan orang lain. Tidak peduli atau tidak mau
tahu ini adalah respon atau sikap nyata, meski sangat mungkin seseorang
memahami apa yang sedang dirasakan oleh orang lain. Dalam konteks
hubungan guru dan siswa, apatis ini mestinya tidak pernah muncul.
Tindakan apatis guru terhadap siswa tidak dapat dibenarkan oleh aliran
pendidikan apa pun. Guru yang apatis tidak pernah akan tumbuh menjadi
Guru professional.
5. Telepathy, awalnya menupakan fenomena kehidupan paranormal yang
kontroversial, semacam penggunaan energi jarak jauh. Secara definisi
telepati merupakan suasana emosi atau keadaan mental dapat terbaca
secara langsung (read directly), tanpa perlu penjelasan langsung atau
6
meminta orang lain itu mengekspresikannya. Guru yang profesional
dengan pengalamannya yang panjang dan beragam, biasanya mudah
menangkap sinyal-sinyal permasalahan yang dihadapi oleh siswanya.
Tanpa penjelasan khusus dari siswa, dia mengambil tindakan untuk
memecahkan aneka masalah anak didiknya itu.
C. Empati dan Simpati
Kata empati dan simpati telah mendapat tempat khusus dalam literatur
psikologi, dalam proses interaksi antarmanusia organisasi, bahkan di masyarakat.
Pembedaan keduanya dapat dijelaskan tidak hanya dengan definisi, melainkan
tidak kalah pentingnya melalui aksi atau melihat respon yang muncul. Respon
dengan simpati dan empai disajikan berikut ini.
Respon dengan simpati
 Saya simpati dengan keyakinan Anda.
 Saya setuju dengan rencana pendekatan berprestasi dalam sistem penggajian
 Kita berada pada alur berpikir yang sama sekarang
Respon dengan empati
 Saya paham keyakinan Anda dan saya akan membantu memperlancar Anda
mewujudkannya, meski saya berbeda pendapat dalam hal itu.
 Saya ikut merasakan keluhan Anda atas rencana penerapan pendekatan
berprestasi dalam penggajian. Ketika Anda berusaha menolaknya, saya akan
ikut berargumentasi, namun kalau Anda sendiri mengalami kesulitan
mengikuti kebijakan itu, saya pun akan membantu Anda menjelaskannya.
 Saya tidak cukup memahami alur berpikir Anda. Barangkali Anda bisa
menjawab pertanyaan saya; mengapa anda menggunakan alur berpikir
semacam itu.
Di dalam Encyclopaedia Britannica (1999) empati didefinisikan sebagai
"kemampuan untuk mengimajinasi diri sendiri pada tempat dan pemahaman
perasaan, keinginan, cita-cita, dan tindakan orang lain. Empati dibangun melalui
elemen-elemen berikut ini:
1. Imajinasi yang bebas pada kemampuan untuk berimajinasi.
7
2. Eksistensi din yang dapat diakses, seperti kesadaran hati dan kesadaran
pikiran atau self- awareness dan self-consciousness.
3. Eksistensi yang diperoleh dari kesadaran orang lain atau kesadaran yang
didapat dari dunia di luar diri sendiri.
4. Eksistensi yang dapat diakses dari perasaan, keinginan, cita-cita, dan
representasi yang dimiliki bersama antara diri sendiri dengan subjek empati.
5. Kesamaan kerangka referensi estetik.
Menurut Sholehhudin (2006), dalam http://sholehhudin.blogsome.com
mengemukakan beberapa cara yang dapat membantu seseorang untuk
menumbuhkan rasa empati itu.
1. Jangan selalu berpikir "mengapa kita harus berempati?" tapi kita harus
berpikir “mengapa tidak kita harus berempati, karena hal in tidak merugikan"
2. Jangan merasa derajat kita lebih tinggi dari orang lain, melainkan selalu ingat
bahwa kehidupan itu seperti roda, kadang kita di atas, kadang kita di bawah.
3. Jangan kita memberikan perhatian atau bantuan hanya kepada orang yang
menurut kita akan menguntungkan kita saja.
4. Jangan selalu jalan-jalan ke mal, cobalah jalan-jalan ke tempat dimana
banyak orang susah yang berkumpul di sana. Dengan itu kita akan melihat
ada sisi lain dari kehidupan manusia. Kehidupan manusia tidak selalu
menyenangkan, glamour, melainkan banyak juga yang susah memperoleh
pakaian yang bagus, bahkan susah makan dan tempat berteduh.
5. Selalu tebarkan senyum kepada orang lain tapi jangan kebanyakan.
Menurut sholehhudin, rasa empati pada seseorang harus diasah. Bila
dibiarkan rasa empati tersebut sedikit demi sedikit akan terkikis walau tidak
sepenuhnya hilang, tergantung dari lingkungan yang membentuknya. Banyak ségi
positif bila kita berempati, karena dengan itu kita akan agresif dan senang
membantu orang lain. Tapi, saking banyak orang yang tidak peduli akan
maknanya. Merasakan perasaan orang lain secara dan spontan akan bernilai
posiitif bagi diri sendiri dan orang lain.

8
D. Perilaku keliru
Di sekolah, hubungan antara guru dengan guru, guru dengan kepala
sekolah, guru dengan siswa, dan guru dengan tata usaha sering kali dirasakan
sebagai barang-barang yang gampang pecah (teacher relationship are like fragile
things). Setiap saat guru membangun hubungan, namun hamper setiap saat usaha
itu dihancurkan oleh tindakan sendiri. Nyaris setiap saat kata "kebersamaan"
diutarakan, hamper setiap saat pula memunculkan keinginan "kamu" harus sama
dengan "saya". Kreatifitas guru pun dirangsang hanya pada tingkat lisan, dalam
praktik birokrasi pendidikan dan kepala ssekolah seseringnya sangat tidak toleran
terhadap perbedaan cara kerja.
Demikian juga hubungan guru dengan siswa. Apa pun yang dilakukan
guru, idealnya bermuara pada bagaimana siswa dapat belajar dengan baik. Namun
demikian, masih ditemukan perilaku guru yang hanya dimaksudkan memudahkan
dirinya bekerja, bukan menyederhanakan tindakan untuk membuat siswa dapat
belajar efektif. Guru pun harus menjadi pembelajar sepanjang hayat dan belajar
dari proses pembelajaran.
E. Perkembangan Empati
Pada tahun 1997, Douglas Olsen mendefinisikan maturitas atau
kematangan empatik (empathetic maturity) sebagai struktur kognitif yang
menentukan apakah seseorang dapat merasa atau tidak merasa berempati, orang
tertentu merasakannya untuk dan bagaimana besaran anggota kelompok yang ada.
Perbedaan maturitas empatik adalah perbedaan dalam cara seseorang mengaitkan
pemaknaan relasi diri dalam mempersepsi yang lain.
Maturitas empati berarti dapat mengkonseptualisasikan pengalaman
apakah seseorang "seperti saya" atau "berbeda dengan saya". Ini penting, jangan
sampai seorang guru “mau" berempati dengan siswa, tapi salah persepsi, malah
melahirkan ketersinggungan.
Menurut olsen (2001) ada tiga tahap maturitas empatik.
A. Tahap 1. Ini pola paling primitif dan tidak umum bagi orang dewasa (most
primitive pattern and not common in different) dengan dirinya. Alasan-alasan
9
bagi orang lain bertindak, merasakan atau berpikir dipandangannya benar-
benar tidak relevan dan tidak sealur pengalaman dengan dirinya. Pada fase ini
seseorang melihat dan mempersepsi apa yang dilakukan oleh orang lain
benar-benar konkrit dan tidak sejalan dengan apa yang dipersepsi atau
dialaminya.
B. Tahap 2. Pada fase ini dia mengembangkan pola pikir rasional atas perilaku
adalah relevan bagi semua orang. Penalarannya atas perilaku dan perfasaan
adalah legitimasi untuk tingkat koinsidensi mereka dengan orang lain. Pada
fase ini seorang telah menyadari, bahwa ketika orang sakit memerlukan
transfusi darah, dia merasa berempati kepada pasien itu karena rasa
tanggungjawab melakukan pencegahan.
C. Tahap 3. Pada fase ini rasa saling membutuhkan (mutuality) muncul sebagai
sebuah pertimbangan atas perilaku orang. Orang lain depersepsi sebagai
manusia pada cara yang sama dengan dirinya, untuk kemudian mengkreasi
makna ketimbang isi dari makna itu. Persepsi atas orang lain melahirkan
perubahan psikologi pada diri, kemudian lahirlah pengembangan empati
(development of empathy). Seseorang dapat secara empatik mempersepsi
orang lain sepanjang pemahamannya simultan dan tanpa kontradiksi persepsi
bahwa orang lain bertanggungjawab atas perilaku problematiknya.

10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam konteks hubungan guru dan siswa empati bermakna afeksi fisikal
atau parsialitas guru terhadap siswanya. Afeksi fisikal bermakna penampakan
fisik atau aura guru terkait langsung atau tidak langsung dengan fenomena yang
dihadapi oleh siswanya. Kata parsialitas bermakna guru mengarsirkan atau
menyentuhkan diri pada sisi siswanya, dalam konteks akademik dan pedagogis.
Empati dikonsepsikan sebagai kemampuan guru dalam "membaca" siswa. Secara
harfiah, empati bermakna kemampuan seorang guru merasakan emosi siswa atau
pribadi-pribadi di luar dirinya, khususnya komunitas sekolah.
Pada konteks guru, kata empati umumnya didefinisikan sebagai
kemampuan guru menerima, mempersepsi, dan merasakan secara langsung emosi
siswanya, Tetapi, empati tidak berarti guru menerima siswa seperti apa adanya,
meski tidak juga bermakna bahwa apa adanya dari siswa itu melahirkan "empati
kepasrahan" dari guru. Empati memang kemampuan guru memposisikan diri pada
diri siswa, namun tetap harus mengemban misi pedagogis, sehingga posisi itu bisa
meningkatkan dinamika proses pembelajaran berbasis empati. Empati guru pada
siswa tidak identik dengan pasrah pada keadaan. Keadaan siswa harus diubah
dengan cara berempati kepada mereka.

11
DAFTAR PUSTAKA
Buku referensi : psikologi pendidikan sikap siswa dan empati guru/
www.cvalfabeta.com referensi perspektif baru /18/
Sumber Internet
https://id.scribd.com/document/496651742/UAS-Psikologi-Pendidikan-1
https://id.scribd.com/document/452631369/Psikologi-Pendidikan

12

Anda mungkin juga menyukai