Anda di halaman 1dari 5

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Jarak Tanam

Salah satu faktor penentu produktivitas jagung adalah populasi tanaman

yang terkait erat dengan jarak tanam dan mutu benih. Untuk memenuhi populasi

tanaman tersebut, viabilitas benih dianjurkan lebih dari 95% karena dalam

budidaya tidak diperkenankan melakukan penyulaman tanaman yang tidak

tumbuh karena peluangnya untuk tumbuh normal sangat kecil dan biasanya

tongkol yang terbentuk tidak berisi biji ( Suryana, 2003).

Produsen terus mencari metode yang dapat meningkatkan hasil lahan,

mengurangi biaya, ataupun kombinasi keduanya. Jumlah tanaman pada lahan,

sebagai akibat kerapatan tanaman ataupun jarak tanam masih menjadi perhatian

selama beberapa dekade. Dengan penambahan kerapatan, maka jarak tanam

menjadi lebih dekat dan meningkatkan persaingan antar tanaman

(Farnham, 1999).

Penyebab perbedaan hasil dari pengaruh jarak tanam terhadap

pertumbuhan dan produksi jagung belum diketahui pasti. Menurut

Barbieri et al (2000), faktor iklim mempengaruhi produksi jagung pada jarak

tanam yang berbeda. Dengan curah hujan yang lebih banyak akan menghasilkan

produksi jagung lebih tinggi pada jarak yang lebih sempit. Namun berbeda halnya

Westgate et al (1997) yaitu jarak tanam tidak memberikan pengaruh pada

produksi jagung karena tergantung pada intersepsi radiasi sinar matahari.

Universitas Sumatera Utara


Sistem jarak tanam mempengaruhi cahaya, CO2, angin dan unsur hara

yang diperoleh tanaman sehingga akan berpengaruh pada proses fotosintesis yang

pada akhirnya memberikan pengaruh yang berbeda pada parameter pertumbuhan

dan produksi jagung (Barri, 2003). Jarak yang lebih sempit mampu meningkatkan

produksi per luas lahan dan jumlah biji namun menurunkan bobot biji

(Maddonni et al, 2006). Peningkatan produksi akibat pengurangan jarak juga

didapatkan ketika jarak antar tanaman berkurang, persentase peningkatan

produksi perlahan secara nyata ditentukan oleh persentase peningkatan intersepsi

cahaya matahari.

Selain pengolahan tanah, variasi pengaturan jarak tanam merupakan salah

satu cara pengendalian gulma secara kultur teknis, yang dapat untuk

meningkatkan daya saing tanaman budidaya terhadap gulma dan meningkatkan

hasil. Menurut Mintarsih et al (1989), peningkatan kerapatan populasi tanaman

persatuan luas pada suatu batas tertentu dapat meningkatkan hasil biji jagung.

Namun penambahan jumlah tanaman selanjutnya akan menurunkan hasil karena

terjadi kompetesi unsur hara, air, ruang tumbuh dan sinar matahari.

Jarak tanam yang rapat akan meningkatkan daya saing tanaman terhadap

gulma karena tajuk tanaman menghambat pancaran cahaya ke permukaan lahan

sehingga pertumbuhan gulma terhambat, disamping juga laju evaporasi dapat

ditekan (Dad Resiworo, 1992). Namun pada jarak tanam yang terlalu sempit

mungkin tanaman budidaya akan memberikan hasil yang relatif kurang karena

adanya kompetisi antar tanaman itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan jarak

tanam optimum untuk memperoleh hasil yang maksimum. Sebagai parameter

pengukur pengaruh lingkungan, tinggi tanaman sensitive terhadap factor

Universitas Sumatera Utara


lingkungan tertentu seperti cahaya. Tanaman yang mengalami kekurangan cahaya

biasanya lebih tinggi dari tanaman yang mendapat cahaya

(Sitompul dan Guritno, 1995)

Pengendalian Gulma

Keberhasilan pengendalian gulma merupakan salah satu faktor penentu

tercapainya tingkat hasil jagung yang tinggi. Gulma dapat dikendalikan melalui

berbagai karantina: secara biologi dengan menggunakan organisme hidup: secara

fisik dengan membakar dan menggenangi, melalui budidaya dengan pergiliran

tanaman, peningkatan daya saing dan penggunaan mulsa; secara mekanis dengan

mencabut , membabat, menyiang dengan tangan, dan mengolah tanah dengan alat

mekanis, secara kimiawi menggunakan herbisida (Fadhly dan Fahdiana, 2006).

Secara tradisional petani mengendalikan gulma dengan pengolahan tanah

konvensional dan penyiangan dengan tangan. Pengolahan tanah konvensional

dilakukan dengan membajak, menyisir dan meratakan tanah, menggunakan tenaga

ternak dan mesin. Untuk menghemat biaya, pada pertanaman kedua petani tidak

mengolah tanah. Sebagian petani bahkan tidak mengolah tanah sama sekali.

Lahan disiapkan dengan mematikan gulma menggunakan herbisida. Pada

usahatani jagung yang menerapkan sistem olah tanah konservasi, pengolahan

banyak dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali (Utomo, 1997).

Efisiensi pengendalian gulma tergantung efektivitas tindakan yang

memadai untuk mencapai batas minimum pengendalian tertentu. Pengendalian

gulma secara penuh dibawah semua kondisi mungkin tidak diperlukan dan tidak

dianjurkan. Pada semua pertanaman terdapat suatu periode yang saat itu gulma

dipertahankan dibawah batas daya saing tertentu sehingga dicapai produksi

Universitas Sumatera Utara


maksimum dan periode dimana gulma dapat dibiarkan tumbuh tanpa mengurangi

produksi (Sukman dan Yakup, 1991).

Pengendalian gulma dapat dilakukan untuk menekan pertumbuhan gulma

dengan cara pengolahan tanah, penyiangan dan pembubuhan herbisida.

Pengendalian gulma dengan olah tanah ialah tanah langsung diolah sehingga akan

mengurangi pertumbuhan gulma, demikian pula pengendalian gulma dengan

penyiangan yang dilakukan secara manual dengan alat siang serta pengendalian

gulma yang dilakukan dengan cara pembubuhan herbisida

pasca-tumbuh (Ashton dan Monaco, 1991).

Herbisida Pasca tumbuh

Herbisida paling tepat jika diaplikasikan pada saat gulma berada pada

stadia yang peka terhadap pestisida. Umumnya, makin dini tahap perkembangan

OPT, makin peka pula terhadap herbisida, Gulma yang baru berdaun 2-4 helai

lebih mudah dikendalikan dengan herbisida daripada gulma yang sudah tumbuh

besar. Susahnya, perkembangan gulma di suatu lahan atau hamparan kebun tidak

bersamaan (Triharso, 2004).

Kehadiran gulma pada lahan pertanaman jagung tidak jarang

mengganggu dan menurunkan hasil mutu biji. Penurunan hasil bergantung pada

jenis gulma, kepadatan, lama persaingan, dan senyawa allelopati yang dikeluarkan

oleh gulma. Secara keseluruhan, kehilangan hasil yang disebabkan oleh gulma

melebihi kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama dan penyakit (Violic,

2000). Jagung yang ditanam secara monokultur dan dengan masukan rendah

tidak memberikan hasil akibat persaingan intensif dengan gulma

(Clay and Aguilar, 1998).

Universitas Sumatera Utara


Herbisida pasca tumbuh bertujuan agar gulma yang tumbuh setelah

tanaman tumbuh dapat ditekan, sehingga pertumbuhan pertanaman selanjutnya

tidak terganggu,. Dalam pengendalian gulma dikenal adanya masa kritis tanaman

terhadap gulma. Pada jagung, misalnya, masa kritis itu adalah ketika jagung

berumur antara 10-40 hari. Artinya gulma yang tumbuh antara umur kritis

tersebut akan sangat mempengaruhi (menurunkan) hasil jagung. Sedangkan gulma

yang tumbuh sebelum dan sesudahnya tidak banyak mempengaruhi hasil,

meskipun dapat mempengaruhi faktor lainnya (mempersulit pekerjaan di lading,

dsb). Oleh karena itu usaha pengendalian gulma pada tanaman jagung diarahkan

pada masa kritis itu (Djojosumatro, 2008).

Populasi gulma mudah berubah karena perubahan tanaman yang

diusahakan dan herbisida yang digunakan dari satu musim kemusim berikutnya

(Francis and Clegg, 1990). Perubahan jenis gulma dapat berimplikasi pada

perlunya herbisida yang digunakan untuk pengendalian. Pertimbangan utama

pemilihan herbisida adalah kandungan bahan aktif untuk membunuh gulma yang

tumbuh diareal pertanaman.

Atrazin merupakan herbisida selektif terbanyak yang digunakan untuk

mengendalikan gulma berdaun lebar serta rumput setahun pada tanaman jagung

dan sorgum. Jagung sangat toleran terhadap atrazin karena tanaman ini mampu

mendetoksifikasi atrazin oleh enzim glutathione transferase. Atrazin bersifat

sistemik, diserap terutama oleh akar dan sebagian oleh daun, serta

ditranslokasikan secara akropetal (Djojosumatro, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai